commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum elit mempunyai kekuasaan besar dalam suatu kelompok atau masyarakat dan mampu memperoleh bagian terbesar dari suatu sistem kekuasaan.
Kaum elit adalah kelompok kekuasaan yang paling tinggi dalam suatu sistem politik sehingga mampu menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
Kaum elit juga sering memegang peranan penting di beberapa negara berkembang Aidit Alwi dan Zainal AKSP, 1989:3.
Pada masa Orde Baru berkuasa kekuasaan hanya bergulir pada kelompok elit tertentu. Keberadaan partai politik kurang berperan sebagai saluran aspirasi
dan kepentingan masyarakat, serta alat kontrol kekuasaan. Campur tangan elit terhadap partai politik menyebabkan partai politik tidak dapat melakukan kontrol
atas pelaksanaan kekuasaan secara maksimal. Kondisi masyarakat yang masih kental dengan budaya patronase juga
dianggap sebagai faktor untuk memperlancar kemenangan Golkar pada masa Orde Baru. Hal tersebut seperti dikemukakan Max Weber dalam Yahya Muhaimin
1980:21 bahwa birokrasi patrimonial ialah suatu sistem birokrasi yang jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki birokrasi lebih didasarkan pada hubungan
familier, hubungan pribadi, dan hubungan bapak dan anak buah patron client. Selain itu, para pejabat pribumi atau elit lokal dalam konteks masa penjajahan
merupakan suatu kelas penguasa yang ditakuti dan dikagumi, tetapi di satu sisi juga merupakan wakil-wakil bawahan dari kekuasaan asing Heather Sutherland,
1983:25. Elit lokal merupakan bagian dari perguliran kekuasaan sehingga sangat
mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat untuk masyarakat di tingkat lokal. Oleh karena itu, peran elit lokal perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh
pada penyampaian pesan kepada masyarakat. Apabila penyampaian pesan tersebut salah maka akan mengakibatkan persepsi yang salah juga pada masyarakat. Selain
itu, elit lokal sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang
commit to user
harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka dapat berjalan lancar sehingga proses
demokrasi dapat terwujud. Akan tetapi, kekuasaan elit masa Orde Baru digunakan untuk mengatur kehidupan bersama dan dituangkan dalam berbagai peraturan
perundangan. Ada negara yang memandang keikutsertaan setiap manusia dalam penggunaan kekuasaan untuk mengatur kehidupan bersama sebagai suatu hal
yang baik, tetapi ada juga yang memandang sebaliknya. Negara yang memandangnya buruk lazim dikategorikan sebagai negara oligarki, sebaliknya
negara yang memandangnya baik dikategorikan sebagai negara demokrasi. Suatu negara disebut negara demokrasi apabila melibatkan partisipasi warga negara
dalam mengambil keputusan yang akan mempengaruhi jalannya kehidupan bersama. Partisipasi tersebut dapat berbentuk tuntutan dan dukungan maupun
kontrol atau pengawasan. Proses demokrasi ditandai dengan adanya pemilu, partai politik dan wakil
rakyat. Pada hakikatnya pemilihan umum pada masa Orde Baru adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya sesuai dengan azas
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pemilihan umum pada dasarnya adalah suatu lembaga demokrasi yang memilih anggota-anggota perwakilan
rakyat dalam MPR, DPR, dan DPRD yang bertugas untuk bersama-sama dengan pemerintah menetapkan kebijakan politik dan menjalankan pemerintahan Ali
Moertopo, 1974:61. Pada saat pemerintah Orde Baru mengambil alih kepemimpinan nasional
dari tangan Soekarno, pemerintah menyadari arti penting penyelenggaraan pemilu yang dijadikannya sebagai sebuah strategi agar kepentingan dirinya dan militer
secara umum dapat terakomodir dengan sempurna. Pemilu dijadikan mekanisme kekuatan politik, baik berupa partai-partai politik, ormas, orsospol, maupun
kelompok penekan untuk dapat mengontrol atau sekurang-kurangnya mempengaruhi tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah. Dengan kata lain,
kedudukan sistem pemilu merupakan alat untuk melegitimasi kekuasaan yang ada sehingga diharapkan aspirasi suatu kelompok tersebut dapat diimplementasikan
commit to user
dan pemilu menjadi awal sukses pemerintahan Orde Baru dalam upaya menata sistem politik.
Penguasa Orde Baru menilai partai-partai politik pada tahun 1955-1965 sebagai sumber permasalahan kemerosotan kehidupan bangsa sehingga perlu
diatur agar mudah dikendalikan. Hal ini menyebabkan banyak dari partai politik tidak diperbolehkan kembali tampil mengusung partainya, sedangkan di lain pihak
Presiden Soeharto telah memilih Sekretariat Besar Sekber Golkar untuk menjadi alat legitimasi kekuasaannya di Indonesia
Dalam perkembangannya, Golkar menjadi sebuah kekuatan politik yang luar biasa tangguh. Golkar yang menerapkan prinsip tiga jalur yakni ABRI,
Birokrasi, dan Golkar menjadi tulang punggung kekuatan politik Orde Baru. Kiprah Golkar dalam kancah perpolitikan nasional tidak diragukan lagi. Hal ini
dibuktikan dengan kemenangan Golkar pada pemilu pertama tahun 1971 sejak Orde Baru berkuasa. Sekber Golkar berhasil menunjukkan dominasi politiknya
atas partai-partai dengan meraup 62,8 persen suara 227 kursi, sementara NU meraih 18 persen 58 kursi, dan PNI 6,93 persen suara 20 kursi. Berdasarkan
hasil pemilu pada tahun 1971 tersebut Sekber Golkar yang kemudian berubah nama menjadi Golkar selalu memperoleh kemenangan disetiap pemilu selama
Orde Baru dengan perolehan suara mencapai lebih dari 50, bahkan sering lebih dari 60 dan 70, termasuk di banyak daerah-daerah di Indonesia
http:www.kpu.go.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=41. Kemenangan Golkar secara berturut-turut membuktikan bahwa partai
Golkar benar-benar memperoleh kekuasaan penuh dalam pemerintahan. Hal ini bearti tujuan Golkar dalam berpolitik telah tercapai karena memperoleh kekuasaan
merupakan suatu tujuan dalam kehidupan politik. Disamping itu mempertahankan kekuasaan merupakan suatu usaha untuk melanjutkan tujuan yang akan dicapai
Arbi sanit, 2003:51. Sejumlah penelitian tentang Golkar pada masa Orde Baru yang dilakukan
Nishihara 1972, Imam Pratignyo 1984 , dan Leo Suryadinata 1992 secara umum menyatakan adanya suatu sistem dan mekanisme politik yang sengaja
dirancang oleh rezim Orde Baru dalam rangka memenangkan Golkar pada setiap
commit to user
pemilu. Sistem dan mekanisme inilah yang menjadikan Golkar mampu untuk eksis dalam perpolitikan Indonesia sepanjang Orde Baru berkuasa.
Penelitian tentang demokrasi dan partai politik dilakukan Maurice Duverger 1981. Penelitian ini membahas seputar partai politik dan kelompok-
kelompok organisasi berpengaruh yang berkecimpung dalam proses politik. Sedangkan penelitian tentang pemilu masa Orde Baru dilakukan William Liddle
1992 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu sejak tahun 1971 masa Orde Baru dikelola serta dikontrol sangat ketat oleh pemerintah.
Beberapa penelitian yang dilakukan tersebut sejalan dengan realita yang terjadi, karena sejak pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 Golkar
terus menerus berhasil memperoleh kemenangan sebagai mayoritas tunggal. Kemenangan Golkar dalam pemilu secara kontinyu ini dimungkinkan salah
satunya karena peran elit lokal setempat Kemenangan Golkar yang dipengaruhi elit lokal setempat pada beberapa
pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat lokal bahkan tingkat nasional selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah tersebut sangat menarik
untuk dikaji terutama peran elit lokal yang merupakan faktor terpenting kemenangan Golkar di beberapa daerah pada masa Orde Baru, salah satunya
adalah Kabupaten Sragen. Di daerah Sragen berdasarkan data menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Sragen adalah pemeluk agama Islam, akan
tetapi menariknya, sepanjang Pemilu Orde Baru, Golkar mampu keluar sebagai pemenang. Partai berbasis Islam tidak pernah mendapatkan suara mutlak di
daerah Sragen. Hal tersebut tidak terlepas dari peran elit lokal setempat. Kajian perkembangan politik lokal cukup menarik dibahas karena selama
pemerintahan otoriter kekuatan politik di luar negara ditekan dan dimatikan. Peran negara yang begitu kuat pada masa Orde Baru menyebabkan kelompok elit yang
memerintah leluasa memainkan perannya sebagai kelompok yang berpengaruh. Adapun alasan penulis untuk mengkaji tentang Golkar dikarenakan sebelum
menjadi partai politik Golkar dikenal sebagai golongan kekaryaan yang sudah enam kali memenangkan Pemilu di Indonesia dan berhasil menempatkan
commit to user
wakilnya dalam lembaga perwakilan rakyat sehingga Golkar dapat dikatakan identik dengan Orde Baru.
Penulis menjadikan Kabupaten Sragen sebagai lokasi penelitian karena Sragen merupakan daerah pedesaan yang sebagian besar penduduknya bermata
pencaharian petani dan tidak berpendidikan tinggi. Sragen daerahnya dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah utara Bengawan yang terdiri dari perbukitan
yang tandus dan gersang. Secara ekonomi, penduduknya dalam kategori miskin. Sedangkan daerah selatan Bengawan merupakan daerah pertanian yang subur dan
secara ekonomi lebih baik. Jadi tidak mengherankan apabila para elit lokal dengan mudah mempengaruhi masyarakat untuk memilih Golkar. Selain itu, selama 30
tahun Orde Baru berkuasa, seluruh jalur pemerintahan sipil atau para elit lokal mulai dari departemen turun melalui gubernur, bupati, camat, kepala desa, atau
lurah diindoktrinasi bahwa Pemilu berarti menusuk tanda gambar Pohon Beringin, yakni tanda gambar Golkar.
Sebagai pembatasan masalah pada penulisan ini didasarkan atas perolehan suara Golkar tahun 1992 dan 1997. Tahun 1992 dipilih dengan alasan bahwa pada
masa itulah kondisi pemerintah dalam keadaan stabil baik ekonomi maupun politik, tetapi menariknya jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya
tahun 1992 Golkar di Kabupaten Sragen berhasil tampil sebagai pemenang meskipun mengalami penurunan. Tahun 1997 dipilih sebagai batasan akhir karena
pada tahun ini pemilu terakhir saat Orde Baru masih berkuasa dan dilaksanakan berdasarkan UU.No.2 Tahun 1985 yang diikuti tiga peserta pemilu yaitu PDI,
PPP, dan Golkar. Tema ini menarik dan penting untuk diteliti untuk mengetahui sejauh
mana peran elit lokal dalam kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen Tahun 1992-1997. Hal ini perlu diteliti karena sebenarnya Golkar sebagai partai politik
telah “dianakemaskan” oleh pemerintah dan proses pemilu sendiri bersifat sentralisasi. Oleh karena itulah penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih
dalam tentang peran elit lokal dalam kemenangan Golkar di Kabupaten Sragen pada pemilu 1992 dan 1997.
commit to user
B. Perumusan Masalah