Identifikasi Masalah Kerangka Pemikiran

Universitas Kristen Maranatha membina relasi yang akrab dengan lawan jenis, serta dua dari lima orang pasien thalassemia 40 memilih untuk berhenti sekolah. Pasien thalassemia tersebut cenderung memiliki derajat optimisme rendah dalam dimensi pervasiveness. Dua dari lima pasien thalassemia 40 menyatakan bahwa dirinya dapat bergaul dengan siapa saja, empat orang 80 menganggap orang yang tidak mau bergaul dengannya adalah orang yang kurang baik. Pasien thalassemia tersebut cenderung memiliki derajat optimisme tinggi dalam dimensi personalization. Tiga dari lima pasien thalassemia 60 merasa lebih nyaman bergaul dengan sesama pasien thalassemia, salah seorang pasien thalassemia 20 memandang bahwa tidak ada yang mau bergaul dengannya karena dirinya menderita penyakit thalassemia. Pasien thalassemia tersebut cenderung memiliki derajat optimisme rendah dalam dimensi personalization. Berdasarkan hasil survei awal tersebut, tampak pasien thalassemia memiliki derajat optimisme yang berbeda-beda, yang tampak dalam perbedaan dimensinya permanence, pervasiveness, dan personalization. Melalui fakta yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui derajat optimisme pada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana gambaran derajat optimisme pada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Universitas Kristen Maranatha

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran mengenai derajat optimisme pada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut mengenai derajat optimisme pada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung melalui dimensi-dimensinya, yaitu permanence, pervasiveness, dan personalization.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoretis

• Memberikan sumbangan informasi bagi ilmu psikologi, khususnya Psikologi Klinis mengenai optimisme. • Diharapkan dapat mendorong peneliti lain untuk mengembangkan dan mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai optimisme pada pasien thalassemia.

1.4.2. Kegunaan Praktis

• Memberikan informasi kepada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun mengenai derajat optimisme dirinya yang diharapkan dapat Universitas Kristen Maranatha mempertahankan atau meningkatkan derajat optimisme dalam menjalani hidup sebagai pasien thalassemia. • Memberikan informasi kepada keluarga dan teman pasien, mengenai derajat optimisme yang dimiliki pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun sehingga keluarga dan teman pasien dapat membantu mempertahankan atau meningkatkan derajat optimisme dalam menjalani hidup sebagai pasien thalassemia. • Memberikan informasi kepada pihak rumah sakit dan tim dokter, mengenai derajat optimisme pada pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun sehingga dapat membimbing untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat optimisme yang dimiliki pasien thalassemia dalam menjalani pengobatan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Pasien thalassemia mayor usia 15-19 tahun yang menjalani rawat jalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung selanjutnya disebut pasien thalassemia saja berada pada tahap perkembangan remaja Santrock, 2002. Pada rentang usia ini keadaan individu berkaitan dengan transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Ketika memasuki usia remaja, individu berusaha melakukan pencarian identitas untuk ‘menemukan’ siapa dirinya, bagaimana dirinya, dan arah tujuannya untuk menempati suatu tempat sentral dalam perkembangannya dengan cara mencoba melakukan berbagai hal yang menarik bagi dirinya. Pada masa ini individu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh orang-orang dalam konteks Universitas Kristen Maranatha sosialnya yang meliputi keluarga, teman-teman sebaya, teman dekat lawan jenisnya pacar, dan sekolah. Menurut Piaget dalam Santrok, 2002, remaja usia 15 tahun memasuki tahap pemikiran formal operasional, pada tahap ini pemikiran remaja lebih abstrak daripada pemikiran seorang anak. Remaja semakin berpikir tentang pemikiran itu sendiri, seperti bertanya mengenai mengapa memikirkan sesuatu yang sedang dipikirkannya. Selain abstrak, pemikiran remaja juga idealistis. Remaja mulai berpikir tentang ciri-ciri ideal bagi mereka sendiri dan orang lain, serta membandingkan diri mereka dan orang lain dengan standar-standar ideal. Remaja sudah dapat membayangkan mengenai hal-hal yang mungkin terjadi pada dirinya, mereka mulai berpikir hipotesis mengenai sebab dan akibat dari suatu hal. Dengan kata lain remaja memiliki cara pandang yang berbeda dengan anak-anak. Memasuki remaja, pasien thalassemia mulai menyadari bahwa dirinya menderita penyakit tertentu sehingga memiliki perbedaan dengan remaja lain pada umumnya. Dalam melanjutkan hidupnya, pasien thalassemia melakukan pengobatan atas kesadaran diri mereka sendiri, serta melakukan aktivitas sehari- hari seperti sekolah, bermain dengan teman-teman sebaya ataupun teman dekat lawan jenisnya pacar. Sebagai pasien thalassemia tidak mudah untuk melibatkan diri dalam lingkungan masyarakat. Thalassemia memberikan dampak secara fisik, sehingga mereka merasa menerima penolakan dari masyarakat baik dalam lingkungan sekolah, maupun lingkungan sosial. Selain itu, terdapat pula dampak secara psikologis yang dirasakan pasien thalassemia, di antaranya menyebabkan beban Universitas Kristen Maranatha emosional, rasa putus asa, kecemasan, rendah diri, dan kesulitan bersosialisasi. Dengan status sebagai penderita thalassemia memberikan dampak tersendiri pada kelangsungan hidup mereka dalam memenuhi tugas dan tuntutannya sebagai remaja. Dampak secara fisik dan psikologis menjadi suatu tantangan bagi pasien thalassemia. Salah satu hal yang harus dimiliki oleh pasien thalassemia untuk menghadapi tantangan tersebut adalah optimisme. Dengan adanya optimisme dalam diri pasien thalassemia diharapkan dapat membantu untuk bertahan saat menghadapi masa-masa sulit dalam menjalani sisa hidupnya dengan tetap memiliki keyakinan untuk hal yang lebih baik. Selain itu juga diperlukan adanya harapan ketika mengalami ketidakberuntungan. Dengan keyakinan dan adanya harapan pasien thalassemia dapat kembali bangkit dari penolakan-penolakan dari masyarakat yang mereka rasakan dan melanjutkan hidup mereka. Pasien thalassemia memiliki cara pandang yang berbeda-beda terhadap suatu hal, berkaitan dengan bidang kehidupan. Cara individu memandang kehidupan dan keadaan baik maupun keadaan buruk yang terjadi dalam kehidupannya dikenal dengan optimisme Seligman, 1990. Seligman 1990 mengungkapkan bahwa individu yang pesimistik lebih mudah untuk menyerah dan lebih sering mengalami depresi, sedangkan individu yang optimistik memiliki kesehatan yang lebih baik. Seligman 1990 mengungkapkan bahwa yang menentukan derajat optimisme adalah kebiasaan individu memakai cara tertentu dalam menjelaskan situasi yang terjadi pada dirinya explanatory style. Explanatory style adalah suatu kebiasaan berpikir yang dipelajari seiring dengan Universitas Kristen Maranatha pengalaman hidup sejak masih kecil dan setelah masa remaja cenderung akan menetap seumur hidupnya Seligman, 1990. Explanatory style yang optimistik akan memunculkan daya tahan ketika menghadapi kejadian buruk atau menghindari ketidakberdayaan yang berkepanjangan. Explanatory style pasien thalassemia berpengaruh terhadap cara mereka memahami dirinya. Apakah pasien thalassemia merasa bahwa dirinya berharga dan pantas mendapat hal-hal baik, ataukah tidak berharga dan tidak memiliki harapan, tergantung pada corak explanatory style yang dimilikinya. Explanatory style juga berpengaruh terhadap kesehatan fisik Seligman, 1990. Explanatory style dapat mengubah ketidakberdayaan dengan baik. Orang yang optimistik akan bertahan dari ketidakberdayaan, tidak mudah putus asa atau mengalami depresi ketika menghadapi kegagalan. Kehilangan harapan, depresi, dan cara pandang yang pesimistik dapat menurunkan aktivitas sistem kekebalan tubuh. Dengan adanya optimisme akan mempengaruhi kesehatan seseorang berkaitan dengan cara hidup yang sehat dan mengikuti anjuran dokter. Selain itu, dukungan sosial yang hangat merupakan hal yang sangat penting dalam kesehatan fisik. Orang yang pesimistik jika menghadapi kegagalan lebih mudah mengalami depresi yang berkepanjangan kemudian akan menjadi pasif, menghentikan semua kegiatan dan menghindari lingkungannya, seperti tidak mau bergaul dengan teman-teman. Menurut Seligman 1990 terdapat tiga dimensi dalam explanatory style yang menentukan apakah seseorang itu memiliki derajat optimisme tinggi atau rendah dalam menghadapi suatu situasi, yaitu permanence, pervasiveness, dan Universitas Kristen Maranatha personalization. Ketiga dimensi ini dilihat dalam dua keadaan, yaitu keadaan yang baik good situation dan keadaan yang buruk bad situation. Dimensi permanence merupakan persepsi individu mengenai jangka waktu berlangsungnya suatu keadaan yang dihadapi. Dimensi ini berkaitan dengan waktu, yaitu apakah suatu kejadian bersifat permanent menetap atau temporary sementara. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme tinggi akan berpikir bahwa keadaan buruk bad situation hanya bersifat sementara PmB- Temporary, seperti ketika merasa lemas pasien thalassemia akan berpikir bahwa dirinya akan kembali segar setelah melakukan transfusi darah. Dalam keadaan yang baik good situation, pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme tinggi akan menjelaskan bahwa keadaan baik good situation yang mereka hadapi sebagai akibat dari sesuatu yang bersifat menetap permanent, seperti ketika merasakan tubuhnya segar mereka berpikir bahwa mereka akan sehat dan melakukan transfusi darah dengan teratur PmG-Permanent. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme rendah berpikir bahwa keadaan yang baik good situation hanya bersifat sementara temporary. Mereka akan berpikir bahwa dirinya diterima masyarakat karena orang lain belum mengetahui statusnya sebagai penderita thalassemia, atau karena orang lain tidak menyadari adanya perbedaan bentuk tubuh pada dirinya PmG-Temporary. Sedangkan ketika menghadapi keadaan buruk bad situation, pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme rendah akan memandang bahwa keadaan buruk tersebut bersifat menetap permanent, misalnya pasien thalassemia tidak mau Universitas Kristen Maranatha meminum obat karena berpikir bahwa obat tersebut tidak memberikan manfaat untuk tubuhnya PmB-Permanent. Dimensi kedua adalah pervasiveness, merupakan persepsi individu mengenai ruang lingkup dari suatu keadaan yang dihadapi, yaitu menyeluruh universal atau tertentu specific. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme tinggi memiliki penjelasan yang bersifat specific ketika menghadapi keadaan yang buruk bad situation, mungkin mereka merasa tidak berdaya dengan adanya penyakit thalassemia yang dideritanya namun tetap baik di dalam kehidupan lainnya, seperti berprestasi di sekolah PvB-Specific. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme tinggi akan berpikir bahwa keadaan yang baik good situation akan menyebar pada berbagai aspek kehidupannya, seperti ketika berprestasi di sekolah mereka berpikir akan memiliki banyak teman PvG-Universal. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme rendah akan memiliki penjelasan yang universal ketika menghadapi keadaan yang buruk bad situation, mereka berpikir sebagai penderita thalassemia mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi maka mereka akan menyerah di semua bidang kehidupannya, seperti berhenti sekolah dan menghabiskan waktu dengan berdiam diri di rumah PvB-Universal. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme rendah akan berpikir bahwa keadaan yang baik good situation hanya terjadi pada saat tertentu saja, seperti teman-teman mau berbicara dengannya karena dirinya mendapat nilai yang baik pada mata pelajaran tertentu PvG-Specific. Universitas Kristen Maranatha Dimensi yang ketiga adalah personalization, yaitu persepsi individu mengenai siapa penyebab dari suatu keadaan yang dihadapi. Ketika pasien thalassemia mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit thalassemia dan menerima penolakan dari orang lain, ia dapat menyalahkan dirinya sendiri internal atau menyalahkan orang lain external. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme tinggi mengganggap pihak lain sebagai penyebab dari penolakan yang diterimanya, seperti kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai thalassemia yang diberikan oleh pemerintah PsB-External dan ketika mengalami keadaan yang baik good situation akan berpikir bahwa penyebab dari keadaan baik tersebut adalah dirinya sendiri, karena kemampuannya seperti bersikap ramah sehingga mereka diterima dan dapat berbaur dengan masyarakat PsG-Internal. Pasien thalassemia yang memiliki derajat optimisme rendah akan menyalahkan dirinya sendiri atas keadaan buruk bad situation yang menimpanya dan akan berpikir bahwa dirinya tidak berharga, seperti ketika mereka ingin berkenalan dengan orang baru dan mengalami penolakan, mereka akan menyalahkan diri sendiri karena penyakit yang dideritanya PsB-Internal. Ketika menghadapi keadaan yang baik good situation, ia berpikir bahwa yang menyebabkan semua keadaan baik adalah lingkungan di luar dirinya, seperti menjadi ketua kelompok diskusi di kelas karena tidak ada murid lain yang bersedia pada posisi tersebut PsG-External. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi explanatory style yang dimiliki seseorang apakah memiliki derajat optimisme tinggi atau rendah. Tiga hal Universitas Kristen Maranatha yang mempengaruhi pembentukan explanatory style dalam diri seseorang, yaitu explanatory style ibu significant person, kritik orang dewasa, dan krisis yang dialami pada masa kanak-kanak Seligman, 1990. Faktor pertama dan yang utama adalah explanatory style yang dimiliki oleh ibu sebagai pengasuh utamanya significant person. Cara pandang ibu significant person dalam kejadian tertentu yang dialaminya dapat mempengaruhi explanatory style seseorang. Menurut Seligman 1990, anak-anak melihat bagaimana cara significant person memandang suatu situasi lalu anak meniru cara pandang significant person melalui proses yang disebut modelling. Jika pasien thalassemia memiliki ibu significant person yang memandang bahwa suatu keadaan baik good situation yang dihadapinya adalah sesuatu yang menetap, menyeluruh di semua bidang kehidupan, dan jika di masa kanak-kanak mereka mendengar bahwa significant person mereka berkata bahwa kejadian baik seperti ini akan selalu mereka alami, menyeluruh di bidang kehidupan mereka, dan ini semua disebabkan oleh diri mereka sendiri, maka dengan proses mendengar dan meniru pasien thalassemia pun akan memandang bahwa keadaan baik yang dialami dirinya merupakan sesuatu yang menetap, menyeluruh, dan disebabkan oleh dirinya PmG-Permanent, PvG-Universal, PsG- Internal. Pasien thalasssemia tersebut memiliki derajat optimisme tinggi. Jika pasien thalassemia mendengar significant person-nya ketika menghadapi situasi buruk bad situation berkata bahwa lain kali ia akan berhasil, ia tidak akan gagal di bidang yang lain, dan penyebab dari kegagalan yang dialaminya adalah karena pihak lain, ia akan meniru significant person dalam Universitas Kristen Maranatha menghadapi suatu situasi. Pada saat pasien thalassemia menghadapi keadaan buruk bad situation ia berkomentar bahwa keadaan yang buruk hanya bersifat sementara, hanya pada hal-hal tertentu saja, dan bukan merupakan kesalahan dirinya PmB-Temporary, PvB-Specific, PsB-External. Jika pasien thalassemia memiliki ibu significant person yang memandang bahwa suatu keadaan baik good situation berkata bahwa suatu keadaan baik yang dihadapinya adalah sesuatu yang sementara, hanya pada bidang kehidupan tertentu, dan keadaan tersebut disebabkan oleh orang lain, maka pasien thalassemia pun akan memandang bahwa keadaan baik yang dialami dirinya merupakan sesuatu yang sementara, sebagian, dan disebabkan oleh orang lain PmG-Temporary, PvG-Specific, PsG-External. Pasien thalassemia tersebut memiliki derajat optimisme rendah. Jika pasien thalassemia mendengar significant person-nya ketika menghadapi situasi buruk bad situation yang menimpanya adalah sesuatu yang menetap dan menyeluruh di semua bidang kehidupan dan jika di masa kanak- kanak mereka mendengar bahwa significant person mereka berkata bahwa kejadian buruk seperti ini akan selalu mereka alami, menyeluruh di bidang kehidupan mereka, dan ini semua disebabkan oleh diri mereka sendiri, maka dengan proses mendengar dan meniru pasien thalassemia pun akan memandang bahwa keadaan buruk yang dialami dirinya merupakan sesuatu yang menetap, menyeluruh, dan karena kesalahan dirinya PmB-Permanent, PvB-Universal, PsB-Internal. Universitas Kristen Maranatha Faktor yang kedua adalah kritik orang dewasa. Kritik yang diberikan orang dewasa akan mempengaruhi diri anak. Hal ini disebabkan karena anak akan mendengarkan dengan teliti, bukan hanya isi kritik tersebut tetapi juga cara pengucapannya. Anak akan memperhatikan bagaimana cara orang dewasa menyampaikan kritiknya. Anak mempercayai kritik yang diterimanya dan hal ini akan mempengaruhi bagaimana ia mengembangkan explanatory style yang dimilikinya Seligman, 1990. Jika kritik yang diterima pasien thalassemia bersifat temporary sementara dan specific spesifik, maka pasien thalassemia akan mempercayai bahwa meskipun dirinya menderita penyakit thalassemia namun keadaan buruk tidak akan mempengaruhi bidang kehidupan lainnya. Sebaliknya, jika pasien thalassemia mengalami kegagalan kemudian ia mendapat kritikan bahwa dirinya tidak pernah membanggakan keluarga, semua usaha yang dilakukannya akan sia-sia, tidak ada yang dapat dilakukannya lagi permanent dan universal, maka pasien thalassemia akan mempelajari kritik yang diterimanya. Faktor yang ketiga adalah krisis masa kanak-kanak. Optimisme juga dipelajari melalui bagaimana seseorang menanggapi krisis yang dialami pada masa kanak-kanak. Hal ini berkaitan dengan segala bentuk pengalaman traumatik yang dialami saat kanak-kanak misalnya pertengkaran atau perceraian orang tua, mendapatkan perlakuan kasar, atau kehilangan sesuatu yang dianggap sangat berharga. Pasien thalassemia yang pernah mengalami krisis pada masa kanak- kanak dan mampu melaluinya, maka mereka akan mengembangkan kebiasaan berpikir bahwa keadaan buruk dapat diatasi dan akan berubah menjadi lebih baik PmB-Temporary. Sebaliknya, pasien thalassemia yang tidak mampu mengatasi Universitas Kristen Maranatha krisis yang dialami ketika kanak-kanak, maka mereka akan mengembangkan konsep bahwa keadaan buruk tersebut akan terus terjadi pada dirinya dan tidak dapat diubah PmB-Permanent. Ketiga faktor ini yang kemudian membentuk suatu kebiasaan berpikir yang dapat terlihat melalui explanatory style pasien thalassemia ketika menghadapi keadaan baik good situation maupun keadaan buruk bad situation, apakah pasien thalassemia tersebut memiliki explanatory style yang optimistik atau pesimistik. Selain itu, faktor genetik juga merupakan salah satu hal yang turut membentuk explanatory style anak Seligman, 1995. Genetik yang dimaksud disini adalah pengalaman yang didapat karena faktor gen, misalnya pasien thalassemia yang memiliki fisik yang cukup menarik, tidak terlalu berbeda dengan remaja pada umumnya, dan memiliki sikap extrovert, biasanya akan disenangi dan memperoleh perhatian dari lingkungannya. Mereka lebih memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi yang merupakan cerminan dari cara pandang optimistik yang mereka miliki, sehingga dalam menjalani suatu hal mereka yakin bahwa mereka dapat melakukannya dengan baik. Pasien thalassemia yang memiliki fisik yang kurang menarik, berbeda dengan remaja pada umumnya, dan memiliki sikap introvert, biasanya kurang disenangi dan kurang memperoleh perhatian dari lingkungannya. Mereka cenderung kurang memiliki rasa percaya diri, sehingga dalam melakukan suatu hal mereka cenderung pasif dan kurang menonjolkan diri mereka. Sikap seperti ini mencerminkan cara pandang pesimistik seseorang. Universitas Kristen Maranatha Pemaparan di atas secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut: Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

1.6. Asumsi Penelitian