Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

(1)

Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur

Tanjungbalai

Skripsi

Oleh :

Pristiwani

111121021

Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

2013


(2)

(3)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesempatan kepada peneliti, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai”.

Skripsi ini terlaksana karena arahan, masukan, dukungan dan koreksi dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II, Bapak Ikhsanudin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep, selaku dosen pembimbing skripsi saya

dalam Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan USU yang telah banyak memberi masukan dan dukungan, serta telah mengajari apa yang tidak saya ketahui sebelumnya sehingga saya dapat mengerti dan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan benar.

4. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes selaku Dosen Penguji I dan Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns, MNS selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan


(4)

saran dan sumbangan pemikiran mulai dari proposal hingga skripsi ini diselesaikan.

5. Ibu dr. Diah Retno selaku Direktur Rumah Sakit Umum Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian ini.

6. Kepala Bidang Keperawatan beserta staff RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, yang telah membantu dalam proses penelitian.

7. Kepala Ruangan VIP, Bedah, Penyakit Dalam, Perinatologi, Anak dan Obgyn Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yang telah memberi izin dan membantu saya dalam penelitian ini

8. Ayah dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan dukungan moral dan doa agar dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.

9. Denny Priyatna, SP, suami saya tercinta yang selalu memberikan dukungan moral, materil dan doa agar dapat cepat menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman sejawat Ekstensi Pagi Keperawatan USU 2013, terima kasih atas bantuan dan semangatnya selama ini.

Akhir kata peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan. Peneliti sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan dating.


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Lembar Pengesahan

Prakata………...i

Daftar Isi ………..iii

Daftar Skema………....vi

Daftar Tabel………..vii

Abstrak……….viii

Bab I. Pendahuluan 1.1Latabelakang ... 1

1.2Rumusan masalah ... 3

1.3Tujuan penelitian ... 3

1.4Manfaat penelitian ... 3

1.4.1 Bagi Rumah Sakit ... 3

1.4.2 Bagi Pendidikan keperawatan ... 4

1.4.3 Bagi Penelitian keperawatan ... 4

Bab II. Tinjauan Pustaka 2.1 Peran ... 5

2.1.1 Definisi Peran ... 5

2.1.2 Peran perawat ... 5

2.2 Infeksi nosokomial ... 8

2.2.1 Definisi ... 8

2.2.2 Faktor-faktor yang memepengaruhi infeksi nosokomial ... 8

2.2.3 Gejala infeksi nosokomial ... 10

2.2.4 Indikator infeksi nosokomial ... 10

2.3 Peran perawat dalam infeksi nosokomial ... 12

2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit ... 14

2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung ... 16

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi ... 31

2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular ... 32

2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis ... 36

2.3.6 Peran Perawat Dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan Dari Penularan Infeksi Nosokomial ... 37


(6)

Bab III. Kerangka Penelitian

3.1 Kerangka penelitian ... 41

3.2 Definisi Operasional ... 42

Bab IV. Metodologi Penelitian 4.1 Desain penelitian ... 43

4.2 Populasi dan sampel penelitian ... 43

4.2.1 Populasi penelitian ... 43

4.2.2 Sampel penelitian ... 43

4.3 Lokasi dan waktu penelitian ... 44

4.4 Pertimbangan etik dalam penelitian ... 44

4.5 Instrumen penelitian ... 45

4.6 Uji validitas dan reliabilitas ... 47

4.6.1 Uji validitas ... 47

4.6.2 Uji reliabilitas ... 48

4.7 Prosedur pengumpulan data ... 49

4.8 Analisis data ... 50

Bab V. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 5.1 Hasil Penelitian ... 52

5.1.1 Karakteristik Responden ... 52

5.1.2 Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial ... 54

5.2 Pembahasan ... 55

Bab VI. Simpulan dan Saran 6.1 Simpulan ... 60

6.2 Saran ... 60

6.2.1 Bagi Rumah Sakit ... 60

6.2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 61

6.2.3 Bagi Penelitian Keperawatan ... 61


(7)

Lampiran

1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Instrumen penelitian

3. Surat Keterangan Validitas 4. Hasil Reliabilitas

5. Surat Izin Penelitian 6. Hasil Tabulasi Data

7. Jadwal Defenitif Penelitian 8. Rencana Anggaran Penelitian 9. Lembar Bukti Bimbingan 10.Daftar Riwayat Hidup


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan data

demografi responden ... 53 Tabel 2. Distribusi frekuensi peran perawat dalam pengendalian infeksi

nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur


(10)

Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013

Penulis : Pristiwani

NIM : 111121021

Jurusan : Ekstensi Tahun Akademik : 2012/2013

Abstrak

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.


(11)

The role of nurse in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai

Pristiwani, Diah Arruum

Abstract

Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.


(12)

Judul : Peran Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai 2013

Penulis : Pristiwani

NIM : 111121021

Jurusan : Ekstensi Tahun Akademik : 2012/2013

Abstrak

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien selama dirawat yang terjadi selama 72 jam dimana sebelumnya pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit. Infeksi nosokomial berkaitan langsung dengan peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Adapun peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan untuk mengendalikan terjadinya infeksi nosokomial yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi; melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan teknik random sampling dan didapatkan 61 perawat sebagai sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di ruang rawat inap RSUD Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial baik sebesar 37,7% dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial cukup baik sebesar 62,3%. Peneliti mengharapkan kepada pihak rumah sakit untuk meninggkatkan mutu asuhan keperawatan dengan mengadakan pelatihan tentang infeksi nosokomial.


(13)

The role of nurse in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital Tanjungbalai

Pristiwani, Diah Arruum

Abstract

Nosocomial infections is an infection that is acquired the patients for being treated occurring during 72 hours where formerly the patient does not show signs and a symptom of infection on the way to the hospital. The role of nurse to control the occurrence of nosocomial infections such as maintaining the cleanliness of hospitals that are based on hospital policy and practice of nursing, aseptic techniques including monitoring hand washing and the use of isolation, reporting to the doctor if any problems with signs and symptoms of infection at the time of provision of health services, performing isolation if the patient shows signs of infectious disease, limiting the exposure of patients to infection that comes from visitors, hospital staff, other patients, or tools used for diagnosis or nursing care; maintaining security of equipment, drugs and supplies in treatment of nosocomial infection transmission room. This research is a descriptive design with random sampling techniques and using 61 nurses as the sample. It has been recognized the role of nurses in control of nosocomial infections at Dr. T. Mansyur public hospital, Tanjungbalai, Sumatera Utara. The result showed that role of nurses in control nosocomial infections good of 37.7 % and role of nurse in control nosocomial infections good enough of 62.3 %. Researchers expects to the hospital to improve the quality of nursing services with a training about nosocomial infections.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Rumah sakit merupakan instansi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang salah satunya adalah perawat (Arwani, 2005). Perawat dalam menjalankan fungsinya berperan sebagai pemberian perawatan, pembuatan keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, pembuatan kenyamanan, komunikator, dan pendidik (Potter & Perry, 2005).

Infeksi nosokomial sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh yang dapat meningkatkan morbidilitas dan mortalitas sehingga hari rawat yang lebih lama dan beban biaya menjadi lebih besar (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial juga dapat meningkatkan ketidakmampuan dalam pemenuhan antibodi pasien sehingga akan memperpanjang masa penyembuhan pasien yang pada akhirnya akan menambah biaya pengeluaran pasien maupun institusi yang menanggung biaya (Potter & Perry, 2005).

Di dunia terdapat 10% dari 1,4 juta pasien rawat inap mengalami infeksi nosokomial tiap tahun.Di Amerika Serikat ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial. Infeksi nosokomialterus meningkat sampai mencapai lebih 40% di Asia, Amerika Latin, dan Afrika (Dimyati, 2011). Penelitian yang dilakukan di 11


(15)

rumah sakit di Jakarta pada 2004 menunjukkan 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi nosokomial (Spritia, 2010). Berdasarkan Kepmenkes nomor 129 tahun 2008 tentang standar pelayanan minimal Rumah Sakit, jumlah infeksi nosokomial yang dapat ditoleransi yaitu sebesar ≤1,5%, sehingga dari data tersebut terlihat masih tingginya angka kejadian infeksi nosokomial sehingga perlu adanya upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial.

Pengendalian infeksi nosokomial yang dilakukan perawat menurut WHO (2002) yaitu menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan; mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial.

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti terkait kejadian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai diperoleh data sebagai berikut: infeksi karena pemasangan infus tahun 2010 sebesar 5,7% dan tahun 2011 sebesar 6,5%. Infeksi karena pemasangan kateter tahun 2010 sebesar 7,3% dan tahun 2011 sebesar 8,5%. Infeksi karena perawatan luka tahun 2010 sebesar 0,3% dan tahun 2011 sebesar 2,6%. Hal tersebut mencerminkan bahwa dari tahun ke tahun angka


(16)

kejadian infeksi mengalami peningkatan. Berdasarkan dari angka kejadian infeksi nosokomial yang terdiri dari infeksi karena pemasangan infus, infeksi karena pemasangan keteter, infeksi karena perawatan luka dan infeksi luka operasi tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu “Bagaimana peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara?”.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi untuk mengidentifikasi peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.


(17)

1.4.2Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan pengembangan dan keterampilan yang berharga bagi peneliti, sehingga dapat menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh untuk penelitian dimasa mendatang. Selain itu juga menyediakan informasi mengenai peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.

1.4.3Bagi Penelitian Keperawatan

Dapat menambah informasi bagi penelitian keperawatan mengenai peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial sehingga memberikan ide bagi penelitian keperawatan selanjutnya.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peran

2.1.1 Definisi Peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan diri seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat (Hidayat, 2006). Sedangkan menurut Kozier (2005) mendefinisikan peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap sesorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak, 2006).

2.1.2 Peran Perawat

Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktivitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formulanya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode etik professional. Dimana setiap setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk kejelasan (Mubarak,


(19)

asuhan keperawatan, pembuat keputusan klinik, sebagai pelindung atau advokat kepada klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator dan sebagai pendidik. Sedangkan Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 dalam Hidayat (2007) terdiri dari:

a) Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan.

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar dapat direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan kompleks.

b) Peran sebagai advokat.

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya. Hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian.


(20)

c) Peran edukator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.

d) Peran koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.

e) Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.

f) Peran konsultan

Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informais tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

g) Peran pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.


(21)

2.2Infeksi Nosokomial 2.2.1 Definisi

Nosokomial berasal dari bahas Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/ rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai suatu infeksi yang diperoleh pasien atau sesorang di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008) adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada saat masuk rumah sakit.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat terjadi karena intervensi yang dilakukan seperti pemasangan infus, kateter, dan tindakan-tindakan operatif lainnya yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pasien tersebut selama dirawat maupun sesudah dirawat.


(22)

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial

Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi nosokomial adalah:

a) Faktor-faktor luar (extrinsic factor) yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi nosokomial seperti petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan sebagainya), peralatan, dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator, kain/doek, kassa, dan lain-lain), lingkungan seperti lingkungan internal seperti ruangan /bangsal perawatan, kamar bersalin, dan kamar bedah, sedangkan lingkungan eksternal adalah halaman rumah sakit dan tempat pembuangan sampah/pengelolahan limbah, makanan/minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada penderita, penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar/ruangan/bangsal perawatan dapat merupakan sumber penularan), pengunjung/keluarga (keberadaan tamu/keluarga dapat merupakan sumber penularan).

b) Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

c) Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.


(23)

d) Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita.

2.2.3 Gejala Klinis Infeksi Nosokomial

Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter & Perry, 2005). Gejala klinis local akan memberikan gambaran klinik sesuai dengan organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya. Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2010).

Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari pada gejala infeksi local. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise, nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter & Perry, 2005).

2.2.4 Indikator Infeksi Nosokomial

Indikator infeksi nosokomial menurut Depkes tahun 2001 meliputi Angka Pasien Dekubitus, Angka Kejadian dengan jarum infus, dan Angka Kejadian Infeksi Luka Operasi. Ketiga indikator ini dapat dijelaskan sebagai berikut:


(24)

a) Angka Pasien dengan Dekubitus (Dekubitus Ulcer Rate)

Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan/atau jaringan yang dibawahnya yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam. Angka pasien dengan dekubitus adalah banyaknya penderita yang menderita Dekubitus dan bukan banyaknya kejadian Dekubitus. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka pasien dengan dekubitus (APD) adalah:

Banyaknya pasien dengan dekubitus/bulan

X 100% Total pasien tirah baring total bulan itu

b) Angka Infeksi karena Jarum Infus (Intravenous Cabule Infection Rate)

Infeksi karena jarum infus adalah keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus di rumah sakit, dan timbul setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit kecuali infeksi kulit karena sebab-sebab lain yang tidak didahului oleh pemberian infus atau suntikan lain. Infeksi ini ditandai dengan rasa panas, pengerasan dan kemerahan (kalor, tumor, dan rubor) dengan atau tanpa nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus dalam waktu 3 x 24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka kejadian infeksi karena jarum infus (AIKJ) adalah:


(25)

Banyaknya kejadian infeksi kulit karena jarum infus/bulan

x 100% Total kejadian pemasangan infus pada bulan tersebut

c) Angka Kejadian Luka Operasi (Wound Infection Rate)

Adanya infeksi nosokomial pada semua kategori luka sayatan operasi bersih yang dilaksanakan di rumah sakit ditandai oleh rasa panas (kalor), kemerahan (color), pengerasan (tumor), dan keluarnya nanah (pus) dalam waktu lebih dari 3 x 24 jam kecuali infeksi nosokomial yang terjadi bukan pada tempat luka. Rumus yang digunakan untuk mengukur Angka infeksi luka operasi (AILO) adalah

Banyaknya infeksi luka operasi bersih/bulan

x 100% Total operasi bersih bulan tersebut

2.3 Peran Perawat Dalam Infeksi Nosokomial

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dan perawat bertanggung jawab menyediakan lingkungan yang aman bagi klien terutama dalam pengendalian infeksi dalam proses keperawatan. Perawat juga bertindak sebagai pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter & Perry, 2005). Jumlah tenaga pelayanan kesehatan yang kontak langsung dengan pasien, jenis dan jumlah prosedur invasif, terapi yang diterima, lama perawatan, dan standar asuhan


(26)

keperawatan mempengaruhi risiko terinfeksi. Faktor standar asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik; peralatan dan obat yang sesuai, siap pakai dan cukup; ruang perawatan yang secara fisik dan hygiene yang memadai; aspek beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga keperawatan, dan jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008).

Peran perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan konsultasi mengenai semua aspek pencegahan dan pengendalian infeksi dengan menggunakan metode yang berdasarkan bukti penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya (Brooker, 2008). Pelaksanaan praktik asuhan keperawatan untuk pengendalian infeksi nosokomial adalah bagian dari peran perawat (WHO, 2002).

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection menyatakan bahwa peran perawat pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial yaitu: (1) menjaga kebersihan rumah sakit yang berpedoman terhadap kebijakan rumah sakit dan praktik keperawatan; (2) pemantauan teknik aseptik termasuk cuci tangan dan penggunaan isolasi, (3) melapor kepada dokter jika ada masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pada saat pemberian layanan kesehatan; (4) melakukan isolasi jika pasien menunjukkan tanda-tanda dari penyakit menular; (5) membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengujung, staf rumah sakit, pasien lain, atau peralatan yang digunakan untuk diagnosis atau asuhan keperawatan;


(27)

(6) mempertahankan keamanan peralatan, obat-obatan dan perlengkapan perawatan di ruangan dari penularan infeksi nosokomial.

2.3.1 Peran Perawat Dalam Menjaga Kebersihan Rumah Sakit

Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat membungkus dan membuang alat-alat yang kotor dengan cara yang tepat. Spesimen laboratorium dari semua pasien ditangani seolah-olah spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi. Semua materi sampah yang berasal dari pasien di buang ditempat sampah khusus (Potter & Perry, 2005).

Setelah memberikan suntikan, perawat harus membuang jarum pada tempat yang tahan tusukan. Jangan pernah melepaskan, membengkokkan atau mematahkan jarum suntik yang telah digunakan dengan tangan. Jarum yang secara tidak sengaja tertinggal di linen atau dengan ceroboh dibuang ke tempat sampah dapat menyebabkan infeksi (Potter & Perry, 2005).

Perawat dalam membuang sampah cair yang terkontaminasi (misalnya darah, urin, tinja, jaringan dan duh tubuh lainnya) memerlukan penanganan khusus karena resiko infeksi terhadap petugas kesehatan yang menangani. Perawat memakai sarung tangan, kacamata pelindung dan celemek, buang sampah cair pada wastefel atau ke dalam toilet kemudian disiram. Wadah tempat sampah cair didesinfeksi dengan larutan klorin 0,5% selama 10 menit (Depkes, 2007).


(28)

Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit meliputi: a) Pembersihan rutin diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit untuk

tampak bersih, dan bebas dari debu dan tanah.

b) Kebanyakan dari mikroorganisme terdapat dalam lingkungan/benda yang kotor, dan tujuan pembersihan rutin adalah untuk membuang kotoran tersebut. Baik sabun ataupun deterjen memiliki aktivitas antimikroba, dan proses pembersihan pada dasarnya tergantung pada tindakan mekaniknya.

c) Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai, tabir, perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, dan semua peralatan medis yang dapat digunakan kembali.

d) Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi, dan tingkat pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan area ke salah satu dari empat zona rumah sakit:

- Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal domestik (misalnya administrasi dan perpustakaan).

- Zona B: perawatan pasien yang tidak terinfeksi, dan tidak rentan, dibersihkan dengan prosedur yang tidak menerbangkan debu. Sapu atau pembersih debu tidak dianjurkan. Penggunaan larutan deterjen dapat meningkatkan kualitas pembersihan. Hama di area lain yang


(29)

tampak kontaminasi dengan darah dan cairan tubuh terlebih dahulu dibersihkan.

- Zona C: pasien yang terinfeksi (bangsal yang terpisah). Bersihkan dengan larutan deterjen/disinfektan, dengan peralatan pembersih yang terpisah untuk setiap ruangan.

- Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau kawasan yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman, unit perawatan intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisis. Bersihkan menggunakan larutan deterjen/disinfektan dan peralatan kebersihan yang terpisah.

Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus dibersihkan setiap hari.

e) Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber infeksi dari lingkungan.

- Pemantauan dialisis air sesuai standar untuk jumlah bakteri.


(30)

2.3.2 Peran Perawat Dalam Pemantauan Teknik Aseptik Termasuk Cuci Tangan dan Penggunaan Alat Pelindung

Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci tangan yang baik dan benar, terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk mencuci tangan (WHO, 2002).

Syarat-syarat mencuci tangan dengan ptimal menurut WHO (2002) meliputi: a) Untuk pencuci tangan :

- Penggerak air: wastafel besar yang membutuhkan sedikit perawatan, dengan perangkat antisplash dan pengendali tanpa menggunakan tangan.

- Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur.

- Fasilitas pengering tanpa kontaminasi (handuk sekali pakai jika memungkinkan).

b) Untuk disinfeksi tangan:

Disinfektan tangan dengan cairan pencuci beralkohol dengan teknik antiseptik untuk membersihkan tangan secara fisik.


(31)

1) Prosedur

Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan. Perhiasan harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Prosedur kebersihan tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan tangan sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan bawah.

Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada pasien:

- Perawatan rutin (minimal):

- Pencuci tangan dengan sabun tanpa anti septik

- Atau pembersih tangan cepat dan higenis (digosok) dengan larutan beralkohol.

Pencuci tangan antiseptik (sedang) ―pensucian hama pada pasien yang

terinfeksi:

- Pencuci tangan higenis dengan sabun antiseptik mengikuti standar prosedur (misalnya satu menit)

- Pembersih tangan cepat dan higenis: seperti yang sebelumnya. Tindakan pembedahan:

- Pada tindakan pembedahan cuci tangan meliputi tangan dan lengan bawah, cuci dengan sabun antiseptik dan waktu berkisar 3-5 menit.


(32)

- Pembersihan tangan dan lengan bawah: mencuci tangan biasa, kemudian cuci tangan dengan menggunakan desinfektan, lalu menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi dengan menggunakan desinfektan lalu keringkan.

2) Ketersediaan sumber daya

Peralatan dan produk yang ada di seluruh rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan tidaklah sama. Produk yang digunakan dan tata cara mencuci tangan juga akan berbeda tergantung pada ketersediaan alat dan fasilitas mencuci tangan (WHO, 2002).

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan minimal (rutin) dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian tangan minimal; peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sabun cair, handuk sekali pakai; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan tentukan waktu kontak antara tangan dan disinfektan, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan mencuci tangan dengan sumber daya terbatas meliputi wastafel, air dan sabun,dan handuk pribadi; membersihkan tangan hingga


(33)

higenis dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan minimal; Peralatan mencuci tangan meliputi: air bersih, sabun, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan cara menggosok dan tentukan waktu kontak dengan alkohol dan bersihkan hingga kering dengan handuk.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan dengan teknik aseptik dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencuci tangan antiseptik; peralatan yang digunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, sikat antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk sekali pakai; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan tentukan waktu kontak tangan dengan disinfektan, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya terbatas: Pencuci tangan dengan antiseptik; peralatan mencuci tangan dengan wastafel besar, air dan sabun, sikat antiseptik (dilakukan selama satu menit), handuk pribadi; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok dan


(34)

tentukan waktu kontak dengan disinfektan atau alkohol, bersihkan hingga kering dengan handuk.

- Sumber daya sangat terbatas: Pencucian tangan sederhana; peralatan mencuci tangan air bersih, sabun, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok; pembersihan dapat dengan menggunakan alkohol, gosok hingga kering.

Menurut WHO (2002), tindakan mencuci tangan steril (maksimal) dapat dilakukan berdasarkan ketersediaan sumber daya dapat dilakukan sebagai berikut:

- Sumber daya yang baik: Pencucian dari tangan ke lengan bawah; peralatan mencuci tangan dengan menggunakan wastafel besar, air dan alat pengalir air otomatis, penyikat antiseptik berkualitas baik (kontak selama 3 sampai 5 menit), handuk sekali pakai yang steril; membersihan tangan untuk prosedur bedah dengan menggosok; sabun yang digunakan lembut dan berkualitas baik, disinfektan tangan dilakukan dua kali.

- Sumber daya terbatas: Pencucian dari tangan ke lengan bawah secara sederhana; peralatan mencuci tangan dengan wastafel besar, air dan sabun kering, handuk pribadi; membersihkan tangan


(35)

hingga bersih dengan menggosok; desinfektan tangan dilakukan dua kali.

- Sumber daya sangat terbatas: pencucian dari tangan ke lengan bawah secara sederhana;peralatan mencuci tangan dengan menggunakan air bersih, sabun kering, handuk yang dicuci setiap hari; membersihkan tangan hingga bersih dengan menggosok; pembersihan menggunakan alkohol dilakukan dua kali.

Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker, sarung tangan, dan kacamata pelindung (WHO, 2002).

a) Gaun pelindung

Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila masuk ke ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi pasien, setelah gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan lingkungan lain.

b) Masker

Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas tidaklah efektif. Masker kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif melawan mikroorganisme.

1) Masker digunakan dalam berbagai situasi. Persyaratan mengenakan masker berbeda untuk tujuan yang berbeda.


(36)

2) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan masker untuk bekerja di ruangan operasi, merawat pasien yang terganggu kekebalannya, untuk tusukan rongga tubuh. Cukup dengan sebuah masker bedah.

3) Pelindung bagi perawat: perawat harus mengenakan masker ketika merawat pasien dengan infeksi pernafasan, atau saat melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan serupa.

4) Pasien dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus mengenakan masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang perawatan mereka.

c) Sarung tangan

Sarung tangan digunakan untuk:

1) Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya terganggu, prosedur invasif.

2) Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan selaput lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.

3) Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan melalui sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang serupa.


(37)

6) Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan untuk sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya pori-pori atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu jenis sarung tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks dapat terjadi, dan pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan untuk mengevaluasi dan mengelola masalah ini.

d) Kacamata pelindung

Bila melakukan prosedur invasive yang dapat menimbulkan dorplet atau percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh lainnya, perawat harus menggunakan kacamata pelindung. Contoh dari prosedur invasif termasuk irigasi luka besar di abdomen atau insersi keteter arterial ketika perawat menjadi asisten dokter. Kacamata pelindung dapat tersedia dalam bentuk kacamata plastik. Kacamata harus terpasang pas sekeliling wajah shinnga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan kacamata (Garner, dalam Potter & Perry, 2005).


(38)

Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik aseptik dapat terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini:

a) Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih adalah infeksi nosocomial yang lebih sering ditemukan; 80% dari infeksi ini berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif dalam pencegahan infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002) meliputi:

1) Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.

2) Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.

3) Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopi, urodinamik testing, cystografi).

4) Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter Menggunakan sarung tangan steril untuk memasukkannya dan menyambungkan dengan urin bag.

5) Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan kateter.

6) Memasang kateter dengan menggunakan pelumas/pelicin sebelum memasukkan.

Praktek lain yang dianjurkan dan terbukti mengurangi infeksi meliputi: 1) Mempertahankan aliran kateter dengan baik.


(39)

3) Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.

4) Mempertahankan kelancaran aliran urin dari kandung kemih dalam urin bag dengan meletakkan urin bag lebih rendah dari kandung kemih. Kateter yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter (lateks, silicone) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.

Bagi pasien dengan gangguan perkemihan :

1) Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.

2) Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter sesering mungkin.

Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur dalam pemasangan kateter meliputi : persiapan alat yang yang terdiri dari kateter steril, urin bag, spuite untuk membuat balon pada kateter, sarung tangan steril, larutan antiseptic, kain kassa, pelumas, kantong plastic tempat sampah. Sebelum memulai prosedur, bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih kemudian keringkan dengan handuk bersih. Kenakan sarung tangan steril atau yang telah didesinfeksi pada kedua tangan. Gunakan kateter kecil sesuaikan dengan system drainase yang baik. Untuk pasien perempuan, pegang bagian labia dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lainnya membersihkan uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan. Sedangkan untuk pasien laki-laki, tarik kulit pada ujung penis kebawah dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lain membersihkan kepala penis dan saluran uretra dengan kapas steril yang telah diberi larutan desinfektan.


(40)

Letakkan benda-benda kotor pada kantung plastik yang tidak bocor, lepaskan sarung tangan dengan cara membalikkannya tidak memegang daerah yang kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan (Tietjen, 2004).

Titik temu antara selang kateter dan urin bag harus tetap tertutup dan tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep pada urin bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah masuknya bakteri. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam kandung kemih. Kateter dan urin bag harus diganti bila waktu pemasangan sudah beberapa hari atau minggu (Tietjen, 2004).

Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan pemasangan keteter. Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan sebelum dan sesudah prosedur (Tietjen, 2004).

Perawat dalam merawat pasien dengan sistem drainase (drainase luka, cairan empedu dan cairan tubuh lainnya) harus tetap menjaga selang drainase bagian luar tetap bersih. Semua selang harus tetap tersambung selama penggunaan. Wadah drainase hanya boleh dibuka pada saat membuang atau mengeluarkan cairan drainase (Poter & Perry, 2005).


(41)

Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase dengan menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus mendesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum menusuk selang drainase kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung selang drainase yang terbuka seperti kateter, sehingga urin terhindar dari kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah mengambil specimen urin, tutup dan kunci kembali selang kateter (Poter & Perry, 2005).

b) Infeksi Intravaskuler

Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler menurut WHO (2002) meliputi :

1) Menghidari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi medis.

2) Mempertahankan teknik asepsis dalam memsang kateter intravaskuler dan perawatannya.

3) Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin. 4) Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan. 5) Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler

Infus

1) Tangan harus dicuci sebelum memasang infus dengan teknik aseptik. 2) Cuci dan desifeksi kulit di tempat memasukkan infus dengan larutan


(42)

3) Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian jarum infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan darah yang dapat membuat aliran tidak lancar.

4) Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.

Sedangkan menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan handuk. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik aseptik (jangan menyentuh daerah tusukan pada botol infus). Memakai sarung tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi daerah vena yang akan dipasang infus dengan gerakan memutar kearah luar dari tempat pemasangan. Perhatikan daerah pemasangan infus terhadap tanda flebitis. Fiksasi daerah luka pada pemasangan infus dengan kasa steril kemudian plester. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang terkontaminasi darah ke dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah medis. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan larutan klorin 0,5% (Tietjen, 2004).

Pada saat perawat mengambil spesimen dari selang drainase atau menusukkan jarum ke ujung selang intravena untuk memberi obat (injeksi bolus), perawat harus mendesinfeksi dengan menyeka bagian luar selang infus dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum memasuki sistem (Tietjen, 2004).


(43)

Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi : jumlah tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam apakah terjadi tanda-tanda flebitis. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96 jam untuk mengurangi flebitis. Infus set juga harus diganti jika rusak atau secara rutin setiap 72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan menyentuh daerah tusukan jarum atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah tusukan jarum tersebut dengan alkohol 60-90% (Tietjen, 2004).

c) Infeksi Luka

Cara lain untuk mengurangi masuknya mikroorganisme adalah perawatan luka dengan prinsip steril. Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka, perawat harus membersihkan bagian sekitar luka. Perawat menyeka bagian dalam luka kemudian bagian luarnya dengan menggunakan kasa steril. Perawatan luka dilakukan kurang dari 72 jam. Untuk luka tertentu dilakukan setiap hari misalnya luka karena penyakit Diabetes Melitis (Tietjen, 2004).

Satu peralatan luka digunakan untuk satu pasien, namun jika penggunaan peralatan luka secara bergantian tidak dapat dihindari, alat-alat tersebut harus secara adekuat dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya (Potter & Perry, 2005).


(44)

2.3.3 Peran Perawat Dalam Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi

Infeksi nosokomial dapat terjadi secara sisitemik dan lokal. Tanda dan gejala infeksi dapat berupa adanya merah dan bengkak pada daerah yang terinfeksi, nyeri dan ada drainase atau lesi. Pada saat mengkaji perawat menggunakan sarung tangan. Infeksi sistemik terjadi setelah pengobatan infeksi lokal gagal. Infeksi sisitemik menimbulkan gejala yang lebih besar lagi misalnya pembengkakan kelenjar limfe, hilangnya nafsu makan. mual dan muntah (Potter & Perry, 2005).

Perawat melakukan pengkajian terhadap tanda dan gejala infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien. Bila ditemukan tanda dan gejala infeksi atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan pasien, perawat melaporkan hal– hal tersebut kepada dokter (Potter & Perry, 2005).

Bila proses penyakit atau organisme penyebab penyakit sudah teridentifikasi, dokter dapat lebih efektif meresepkan pengobatan terhadap situasi tersebut, misalnya dengan pemberian antibiotik yang spesifik untuk mikroorganisme penyebab infeksi. Sehingga masalah-masalah atau tanda dan gejala infeksi pasien dapat teratasi atau diminimalkan (Potter & Perry, 2005).


(45)

2.3.4 Peran Perawat Dalam Melakukan Isolasi Terhadap Pasien Dengan Penyakit Menular.

Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain. Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya. Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:

a) Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan agen ini dalam aerosol (ukuran partikel <5 µm).

b) Infeksi droplet: droplet yang menular (ukuran partikel > 5 µm).

c) Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui terkontaminasi benda.

Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan pada standar yang ada, meliputi:

a) Standar rutin tindakan pencegahan yang harus diikuti perawat untuk merawat semua pasien.

Standar (rutin) tindakan pencegahan diterapkan untuk perawatan semua pasien. ini termasuk membatasi perawat kontak dengan sekret atau cairan biologis, lesi kulit, mukosa membran, dan darah atau cairan tubuh. Perawat harus memakai sarung tangan, masker, dan gaun setiap kontak yang dapat menyebabkan kontaminasi.


(46)

Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien menurut WHO (2002) :

1) Cuci tangan segera setelah kontak dengan materi infeksi. 2) Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.

3) Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi. 4) Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.

5) Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati. 6) Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi.

7) Pastikan bahwa peralatan perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang terkontaminasi dengan bahan infektif dibuang, atau didesinfeksi atau disterilisasi pada setiap penggunaan kepada pasien.

8) Pastikan penanganan limbah yang baik.

9) Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi infektif, linen dapat direbus.

Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:

1) Gaun: harus dari bahan yang bisa dicuci, dapat di kancing atau diikat di belakang, jika perlu dengan celemek plastic.

2) Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup. 3) Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan


(47)

b) Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.

1) Tindakan pencegahan berikut digunakan untuk pasien selain yang dijelaskan di atas: Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel<5 µm) (misalnya TBC, cacar air, campak). Berikut ini diperlukan:

- ruangan perawatan dengan ventilasi yang cukup, pintu ditutup, setidaknya pertukaran udara per jam.

- perawat mengenakan masker di ruangan pasien.

- pasien tetap berada di dalam ruangan perawatan.

2) Tindakan pencegahan terhadap droplet (ukuran droplet > 5 pm) (misalnya bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernapasan). Prosedur berikut diperlukan:

- Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia.

- Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.

- Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika meninggalkan ruangan.

3) Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang tidak dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi. Prosedur berikut diperlukan :

- Pasien ditempatkan pada ruang perawatan sendiri jika tersedia; penggabungan pasien jika memungkinkan.


(48)

- Perawat memakai sarung tangan saat memasuki ruangan; gaun pelindung khusus untuk merawat pasien yang beresiko terkontaminasi.

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan meninggalkan ruangan.

- Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.

- Pembersihan lingkungan san peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi. 4) Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang

sangat berbahaya dimana dapat menularkan melalui berbagai cara. Prosedur meliputi :

- Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.

- Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan bagi semua memasuki ruangan.

- Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan pembakaran jarum, jarum suntik.

- Desinfeksi instrumen medis.

- Pembersigan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh.

- Desinfeksi linen.

- Membatasi pengunjung dan staf.

- Desinfeksi harian dan desinfeksi terminal.


(49)

- Pengambilan spesimen pasien dan carlabor pengiriman ke laboratorium

Menurut Potter dan Perry (2005), bila ruangan isolasi tidak tersedia tempatkan pasien dalam satu kamar dengan pasien yang menderita infeksi dengan mikroorganisme yang sama. Bila ruangan tidak tersedia dan pengelompokkan tidak mungkin, pertahankan pemisahan minimal dengan jarak 1 meter antara pasien yang terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga dengan pengunjung. Jika pasien yang diketahui dan diduga terkena infeksi saluran pernafasan harus menggunakan masker pada saat keluar dari kamar.

2.3.5 Peran Perawat Dalam Membatasi Paparan Pasien Terhadap Infeksi yang Berasal Dari Pengujung Dan Peralatan Diagnosis

Sumber infeksi nosokomial mungkin pasien, petugas rumah sakit, atau bisa juga tamu. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam masa inkubasi (tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis (Tietjen, 2004).

Sasaran penjamu yang sensitif adalah pasien, petugas rumah sakit, dan bisa juga tamu yang dating membawa infeksi. Daya tahan tubuh masing-masing berbeda, ada yang kebal, ada yang menjadi karier tanpa gejala, ada yang langsung terkena infeksi dan sakit (Tietjen, 2004).


(50)

Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung. Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya penularan infeksi (Tietjen, 2004).

2.3.6 Peran Perawat Dalam Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan Dari Penularan Infeksi Nosokomial.

Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap alat-alat yang terkontaminasi dapat mengurangi bahkan memusnahkan mikroorganisme. Di sentral perawatan kesehatan dilakukan desinfeksi dan mensucikan barang-barang yang dapat digunakan kembali.

a) Pembersihan

Pembersihan dilakukan untuk membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek (Rutala, dalam Potter & Perry, 2005). Biasanya pembersihan dilakukan dengan menggunakan air dan cara mekanis dengan atau tanpa detergen. Objek menjadi terkontaminasi bila kontak dengan sumber infeksi, maka bila objek tersebut merupakan objek sekali pakai, objek tersebut langsung dibuang. Sedangkan untuk objek yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan, didesinfeksi atau disterilisasi sebelum digunakan kembali (Potter & Perry, 2005).


(51)

Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan pasien seperti stetoskop, sfigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya (Potter & Perry, 2005).

Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai pelindung terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau sabun dibutuhkan untuk pembersihan (Potter & Perry, 2005).

Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek disebut bersih:

1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang mengalir untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas karena dapat menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan detergen memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman patogen pada objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada objek yang susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang. 3) Bilas objek dengan air hangat.

4) Keringkan objek kemudian lakukan desinfeksi dan sterilisasi.

5) Bersihkan sarung tangan dan bak tempat objek diletakkan untuk desinfeksi dan sterilisasi.


(52)

b) Disenfeksi

Disenfeksi merupakan proses yang digunakan untuk memusnahkan semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh spora bakteri (Rutala, dalam Potter & Perry, 2005). Biasanya dilakukan dengan mengguanakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernafasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya dilakukan pada pakaian, linen, tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan dengan menggunakan campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah (Potter & Perry, 2005).

c) Sterilisasi

Sterilisasi merupakan proses yang dipakai untuk memusnahkan seluruh mikroorganisme beserta sporanya (Potter & Perry, 2005). Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara fisika ataupun kimia dengan cara pemanasan, pemberian zat kimia , radiasi atau filtrasi (penyaringan). Di rumah sakit alat dan bahan yang sering digunakan adalah autoklaf (uap dibawah tekanan), gas etilon oksida (EO), dan cairan kimia. Sterilisasi panas dapat dipakai untuk mensterilakan alat-alat bedah, dan perlengkapan dari kain. Sebelum disterilkan terlebih dahulu dicuci hingga bersih. Sterilisasi panas dapat dilakukan dengan memakai udara kering, uap air, atau air panas. Otoklaf adalah salah satu alat yang dipakai dalam sterilisasi panas. Sterilisasi dengan menggunakan air panas dengan cara merebus alat-alat operasi dapat dilakukan


(53)

Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi : 1) Sterilisasi dengan pemanasan

- Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 121 o C selama 30

menit, atau suhu 134 o C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu

132 oC selama 18 menit untuk prion).

- Sterilisasi kering: panaskan di suhu 160 oC selama 120 menit, atau

di suhu 170 0C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering

dianggap kurang dapat diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi basah, khususnya untuk perangkat medis yang berongga.

2) Sterilisasi dengan bahan kimia

- Sterilisasi dengan Etilen oksida dan formaldehid sudah tidak dipakai di banyak negara kerena karena menyimpan dan mengandung emisi gas rumah kaca.

- Asam perasetik banyak digunakan di Amerika Serikat dan negara-negara lain dalam sistem pengendalian otomatis.


(54)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Dalam gambar ini terlihat bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dikategorikan baik, cukup, dan kurang. Maka dapat digambarkan sebagai berikut :

Skema 3.1

Kerangka penelitian peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial :

- Menjaga kebersihan rumah sakit;

- Pemantauan teknik aseptik dan Baik

penggunaan alat pelindung diri;

- Melaporkan kepada dokter jika Cukup

ada tanda dan gejala infeksi;

- Melakukan isolasi pasien dengan Kurang

penyakit menular

- Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan;

- Mempertahankan keamanan peralatan terhadap infeksi nosokomial ( WHO, 2002)


(55)

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Peran perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial yang meliputi: menjaga kebersihan rumah sakit; pemantauan teknik aseptik dan penggunaan alat pelindung diri; melapokan kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi; melakukan

pengaturan jarak pasien di ruang perawatan jika ruang isolasi tidak ada untuk pasien dengan penyakit menular; membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung, staf, pasien dan peralatan; mempertahankan keamanan peralatan terhadap infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

Kuesioner

dengan 36 pernyataan yaitu

nomor 1-36 dengan pilihan jawaban untuk pernyataan positif 1= Tidak pernah dilakukan 2= Kadang-kadang dilakukan 3= Sering dilakukan 4=

Sangat sering dilakukan Sedangkan pilihan jawaban untuk pernyataan negatif 4= Tidak pernah dilakukan 3= Kadang-kadang dilakukan 2= Sering dilakukan 1=

Sangat sering dilakukan Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial terdiri atas 3 kriteria penilaian. Kurang= 36-72, Cukup= 73-108, Baik= 109-144. Ordinal


(56)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai.

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai sebanyak 157 orang.

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini, ditentukan melalui teknik random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak. Sampel yang menjadi responden pada penelitian ini mempunyai kriteria yaitu perawat yang bersedia menjadi responden, perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap, dan tidak sedang cuti.

Berdasarkan rumus yang dikutip dari Setiadi (2007) sebagai berikut :

n =

N


(57)

Keterangan : n = Jumlah sampel N = Jumlah Populasi

d = Tingkat ketepatan absolut yang diinginkan (d=0,1)

n =

157

1+157 (0,12) = 61,089

Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 61 perawat.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai. Adapun pertimbangan pemilihan rumah sakit tersebut karena belum pernah dilakukan penelitian tentang peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dan peneliti melihat sejauh mana peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit tersebut. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Oktober 2012.

4.4 Pertimbangan Etik Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti tetap berpedoman pada prinsip-prinsip etik penelitian yaitu: pertama prinsip informed consent, jika responden bersedia menjadi responden maka harus terlebih dahulu menandatangani lembar persetujuan menjadi responden (Informed consent) tetapi jika responden menolak maka peneliti tidak


(58)

memaksa dan tetap menghormati haknya. Kedua prinsip anonymity yaitu tidak memberikan atau mencantumkan identitas responden pada kuesioner yang diisi dan hanya menuliskan kode pada lembar kuesioner. Ketiga prinsip kerahasiaan, peneliti menjamin kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya dan hanya kelompok data tertentu yang dilaporkan pada hasil penelitian.

4.5 Instrumen Penelitian

Peneliti dalam pengumpulan informasi dari responden menggunakan alat pengumpulan data dalam bentuk kuesioner. Karena belum tersedianya instrumen yang terstandar untuk tes peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial, maka peneliti menyusun sendiri instrumen penelitian ini dalam bentuk kuesioner berdasarkan dari tinjauan pustaka.

Peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu: tidak mengharuskan peneliti tetap bersama responden selama pengisian kuesioner, dapat dibagikan secara serentak kepada seluruh responden, dapat dijawab oleh responden sesuai dengan kecepatan masing-masing dan menurut waktu senggang responden. Instrumen ini juga mempunyai kelemahan yaitu: responden sering tidak teliti menjawab sehingga ada jawaban yang kosong. Untuk mengurangi kelemahan kuesoiner tersebut peneliti melakukan cross-check terhadap sebagian responden.


(59)

Kuesioner ini dibagi dalam dua bagian yaitu: 4.5.1 Data Demografi

Data demografi ditujukan untuk mengeksplorasi informasi terkait karakteristik demografi dan pengalaman responden. Informasi yang diteliti mencakup usia, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, lama bekerja, status pekerjaan dan pernah/tidaknya mengikuti pelatihan pengendalian infeksi nosokomial.

4.5.2 Peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial

Kuesioner ini berisi pertanyaan tentang peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial. Alat ukur yang digunakan dalam kuesioner ini adalah berupa pertanyaan yang menggunakan skala likert sebanyak 36 pernyataan.

Keseluruh pernyataan dalam kuesioner ini merupakan pernyataan tertutup dengan pilihan jawaban tidak pernah dilakukan (TP), kadang-kadang dilakukan (KD), dan sering dilakukan (SR), dan sangat sering dilakukan (SS). Pernyataan dalam kuesioner ini terdiri dari pernyataan positif dan pernyataan negatif. Pernyataan positif terdiri dari 26 pernyataan yaitu 1,2,3,4,5,8,10,11,12,13,14,15,16,17,19,20,22, 23,24,26,27,28,29,30,35, dan 36. Pernyataan positif dengan jawaban tidak pernah dilakukan diberi nilai 1, kadang-kadang dilakukan diberi nilai 2, sering dilakukan diberi nilai 3, dan sangat sering dilakukan diberi nilai 4. Pernyataan negatif terdiri dari 10 pernyataan yaitu 6,7,9,18,21,25,31,32,33, dan 34. Pernyataan negatif dengan jawaban tidak pernah dilakukan diberi nilai 4, kadang-kadang dilakukan diberi nilai 3, sering dilakukan diberi nilai 2, dan sangat sering dilakukan diberi nilai 1.


(60)

Maka nilai yang paling rendah adalah 36 dan nilai paling tinggi adalah 144. Skala ukur yang digunakan dalam pengukuran variabel ini adalah skala ordinal yaitu membagi menjadi 3 kategori (baik, cukup, kurang). Berdasarkan rumus statistik yang dikutip dari Sudjana (2002),

Rentang kelas

p =

Banyak kelas

Dimana p merupakan panjang kelas dengan rentang sebesar 108 (selisih nilai tertinggi dan terendah) dan banyak kelas adalah 3 (baik, cukup dan kurang). Dengan menggunakan p=36, maka diperoleh peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial yaitu :

Kurang = 36-72 Cukup = 73-108 Baik = 109-144

4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas

4.6.1 Uji Validitas

Validitas merupakan indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun tersebut mampu mengukur apa yang akan kita ukur, maka perlu dikonsultasikan dengan pakar dan ahlinya. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan oleh ahli manajemen keperawatan yang memahami tentang peran perawat dalam pengendalian


(61)

Universitas Sumatera Utara. Hasil uji validitas diperoleh skor 4 untuk tiap-tiap item kuesiner yang berarti kuesioner valid dan tanpa revisi. Kelemahan kuesioner pada penelitian ini adalah uji validitas hanya dilakukan oleh satu orang ahli padahal seharusnya dilakukan oleh tiga orang ahli.

4.6.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas merupakan uji yang dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dari waktu ke waktu.

Uji reliabilitas dilakukan kepada 30 orang perawat pelaksana yang bekerja di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Manan Simatupang Kisaran, dimana responden dalam uji tersebut mempunyai karakteristik dan kriteria yang sama dengan responden penelitian. Responden yang menjadi sampel untuk uji reliabilitas berbeda dengan sampel yang akan dijadikan sebagai responden penelitian. Dalam penelitian ini digunakan uji reliabilitas internal yang diperoleh dengan cara menganalisa data dari satu kali pengetesan. Untuk kuesioner peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial diuji dengan menggunakan Cronbach Alpha, karena skor dalam instrumen variabel peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial oleh perawat merupakan rentang dari beberapa nilai (skala likert). Nilai Cronbach Alpha dalam penelitian ini sebesar 0,867 dan menurut Pollit dan Hungler (1995) yang


(62)

menyatakan bahwa kuesioner dikatakan reliabel bila nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,70. Jadi dengan kata lain kuesioner dalam penelitian ini dikatakan reliabel.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti mendapat surat izin dari Institusi Pendidikan Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan surat izin dari lokasi penelitian yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yang berkoordinasi dengan Bidang Keperawatan dan Kepala Ruangan masing-masing ruang Rawat Inap. Sebelum membagi kuesioner peneliti terlebih dahulu membuat daftar nama perawat pelaksana ruang rawat inap yaitu ruang VIP, Bedah, Penyakit Dalam, Obgyn, Perinatologi dan ruang Anak, kemudian setelah itu membuat nomor urut dengan menggabungkan semua daftar nama perawat-perawat pelaksana tersebut. Dengan menggunakan tabel random didapat nama perawat yang menjadi responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 61 responden dengan kriteria bersedia menjadi responden, merupakan perawat pelaksana dan tidak sedang cuti. Dimana didapatkan sampel dari ruang VIP sebanyak 14 responden, ruang Bedah sebanyak 10 responden, ruang Penyakit Dalam sebanyak 9 responden, ruang Obgyn sebanyak 11 responden, ruang Perinatologi sebanyak 8 responden, ruang Anak sebanyak 9 responden.


(63)

menjelaskan waktu, manfaat dan cara pengisian kuesioner kepada calon responden. Setelah calon responden menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian ini maka responden diminta untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden. Selanjutnya responden mengisi kuesioner penelitian sampai batas waktu yang telah ditentukan, sebelumnya responden diberi waktu untuk bertanya apabila ada pernyataan yang kurang jelas. Setelah responden selesai mengisi kuesioner maka peneliti memeriksa kembali kelengkapan jawaban kuesioner. Apabila ada data yang kurang maka responden diminta untuk melengkapinya kembali. Setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan analisa data.

4.8 Analisis Data

Setelah semua data terkumpul maka peneliti mengadakan analisa data. Analisis data yang diterapkan adalah analisis univariat yaitu suatu prosedur pengolahan yang menggambarkan data dengan cara ilmiah dalam bentuk tabel. Analisis ini dimulai dengan tahap editing untuk memeriksa kelengkapan data, kemudian memberikan kode untuk memudahkan dalam tabulasi. Selanjutnya memasukkan data ke dalam komputer telah diolah dengan menggunakan program statistik komputer.

Hasil analisis data demografi; usia, lama kerja, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, status pekerjaan, data tentang pelatihan dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase.


(64)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. T. Mansyur Tanjungbalai. Penelitian dilakukan 24 September sampai 29 September 2012 dengan jumlah responden sebanyak 61 orang perawat pelaksana

di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai yaitu Ruang VIP, Bedah, Penyakit Dalam, Perinatologi, Anak dan Obgyne. Hasil penelitian menguraikan karakteristik responden dan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Karakteristik Responden

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai, diperoleh data karakteristik responden sebagai berikut :


(65)

Tabel 1. Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan data demografi responden (n=61)

Karakteristik Responden F %

Usia

- < 29 tahun - 30-37 tahun - >38 tahun Jenis kelamin

- Laki-laki - Perempuan Status perkawinan

- Menikah

- Belum menikah Tingkat pendidikan

- SPK

- D-III Keperawatan - Sarjana Keperawatan Lama kerja

- < 5 tahun - 6-10 tahun - > 11 tahun Status pekerjaan

- PNS - Non PNS

Pelatihan infeksi nosokomial - Pernah

- Tidak pernah

39 16 6 19 42 37 24 0 55 6 33 26 2 27 34 6 55 63,9 26,2 9,8 31,1 68,9 60,7 39,3 0 90,2 9,8 54,1 42,6 3,3 44,3 55,7 9,8 90,2

Berdasarkan pada Tabel 1. diketahui bahwa mayoritas perawat berada pada usia kurang dari 29 tahun sebesar 63,9%, mayoritas perawat berjenis kelamin perempuan sebesar 68,9%, mayoritas sudah menikah sebesar 60,7%, mayoritas perawat lulusan D-III Keperawatan sebesar 90,2%, mayoritas bekerja kurang dari 5 tahun sebesar 54,1%, dengan status pekerjaan mayoritas non PNS sebesar


(66)

55,7% dan mayoritas perawat belum pernah mengikuti pelatihan tentang pencegahan infeksi nosokomial sebesar 90,2%.

5.1.2 Peran Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial

Hasil penelitian tentang peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dapat dilihat dari tabel dibawah ini :

Tabel 2. Distribusi frekuensi peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumaha Sakit Umum Daerah Dr. T. Mansyur Tanjungbalai

Peran Perawat Dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial

Jumlah Persentase

Kurang baik Cukup Baik

0 38 23

0 62,3 37,7

Jumlah 61 100,0

Hasil penelitian pada Tabel 2. menunjukkan bahwa peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial mayoritas berada pada rentang cukup baik sebesar 62,3%, sedangkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial pada rentang kurang baik tidak ada.


(67)

5.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa mayoritas peran perawat cukup baik dalam pengendalian infeksi nosokomial sebesar 62,3%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suhartanto (2009) di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang yang menunjukkan bahwa mayoritas peran perawat berada pada rentang cukup baik dalam pengendalian infeksi nosokomial yaitu sebesar 41,3%.

Potter dan Perry (2005) menyatakan bahwa perawat memiliki peran dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Peran perawat tersebut dapat dilihat dalam pelaksanaan praktik asuhan keperawatan yang dilakukan (WH0, 2002). Asuhan keperawatan yang kurang bermutu akan mengakibatkan terjadinya infeksi nosokomial yang berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh yang dapat menyebabkan hari rawat lebih lama dan beban biaya menjadi lebih besar bahkan dapat menyebabkan kematian (Darmadi, 2008).

Berdasarkan konsep tersebut bahwa pengendalian infeksi nosokomial merupakan salah satu peran yang penting bagi perawat di rumah sakit yang berarti 62,3% mencerminkan belum optimal peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit. Hal tersebut dapat dibuktikan berdasarkan item pada kuisioner peneliti yaitu tentang perawatan luka yang kadang-kadang dilakukan dengan membersihkan dari arah luar kemudian ke dalam luka sebesar 27,9%, satu set instrumen peralatan luka kadang-kadang digunakan untuk lebih dari satu orang pasien


(68)

sebesar 57,4%, penggantian kateter sering dilakukan setelah terpasang lebih satu minggu sebesar 59,0%, penggunaan kateter steril jarang dilakukan pada saat pemasangan kateter sebesar 24,5%, penggunaaan sarung tangan sering tidak dilakukan pada saat memasang infus sebesar 45,9%, penggantian cairan infus sering dilakukan dengan menyentuh tempat tusukan pada botol infus sebesar 23,0% dan memasukkan obat melalui selang infus sering dilakukan tanpa mendesinfeksi permukan selang infus sebesar 21,3%.

Hasil penelitian pada item tersebut merupakan bagian dari peran dalam teknik aseptik. WHO (2002) menyatakan bahwa salah satu peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial adalah pemantauan teknik aseptik. Teknik aseptik harus diterapkan pada semua prosedur asuhan keperawatan yang melibatkan membran mukosa, darah, dan cairan tubuh (CDC, 2002). Teknik aseptik yang paling utama yang harus dilakukan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah mencuci tangan (Larson, 2005). Mencuci tangan tetap dilakukan walaupun sudah memakai sarung tangan atau alat pelindung lainnya (Depkes, 1998).

Berkaitan dengan tindakan mencuci tangan, item kuisioner peneliti menunjukkan bahwa masih ada perawat yang jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah merawat luka pasien sebesar 11,5%, perawat jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah pemasangan kateter sebesar 8,2%, dan perawat yang jarang mencuci tangan sebelum dan sesudah memasang infus sebesar 19,7%.


(69)

tidak tindakan mencuci tangan dengan baik dan benar (WHO, 2002). Disamping ketersediaan fasilitas, beban kerja, tenaga perawat juga mempengaruhi praktek mencuci tangan (Darmadi, 2008).

Penelitian di RSUD DR. T. Mansyur tersebut sejalan dengan penelitian Antoniak (2004) yang berjudul Handwashing Compliance: A Teriary Canadian-accredited Hospital in The Middle East Promotes a Multidisciplinary Approach to Address The Challenges of Handwashing Compliance menunjukkan bahwa praktek mencuci tangan mempunyai beberapa kendala yaitu kurangnya waktu, sabun dan handuk yang tidak tersedia, beban kerja yang berat, kurangnya tenaga perawat, iritasi produk sabun pencuci tangan.

Data lain yang menunjukkan belum optimalnya peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial di Rumah Sakit Dr. T. Mansyur Tanjungbalai adalah angka kejadian infeksi nosokomial dari tahun 2010 dan 2011 mengalami kenaikan. Angka kejadian infeksi nosokomial tersebut berdasarkan atas tindakan pemasangan infus, keteter dan perawatan luka. Angka kejadian infeksi karena pemasangan infus tahun 2010 sebesar 5,7% dan tahun 2011 sebesar 6,5%. Infeksi karena pemasangan kateter tahun 2010 sebesar 7,3% dan tahun 2011 sebesar 8,5%. Infeksi karena perawatan luka tahun 2010 sebesar 0,3% dan tahun 2011 sebesar 2,6%.

Data tersebut memperlihatkan masih tingginya angka kejadian infeksi nosokomial. Kepmenkes nomor 129 tahun 2008 menyatakan bahwa jumlah infeksi nosokomial yang dapat ditoleransi yaitu sebesar ≤1,5%.


(70)

Fenomena di rumah sakit tersebut dapat disebabkan karena mayoritas perawat tidak pernah mengikuti pelatihan tentang infeksi nosokomial sebesar 90,2% sehingga keterampilan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial tergolong masih belum baik. Ivancevich et al (2007) menyatakan bahwa latihan atau pelatihan dapat memperbaiki pengetahuan. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk membentuk tindakan atau perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2007). Sehingga dapat dikatakan bahwa pelatihan tentang infeksi nosokomial akan mempengaruhi pengetahuan dan tindakan perawat dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Semakin sering mengikuti pelatihan maka pengetahuan dan keterampilan akan semakin meningkat.

Keterampilan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan dapat dilihat dari tindakan perawat dalam menerapkan Standar Operasional Prosedur yang

telah ditentukan di Rumah Sakit (Depkes, 2001). Asuhan keperawatan yang sesuai dengan Standar Operasional Prosedur dapat mencegah terjadinya infeksi

nosokomial (Potter & Perry, 2005). Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Dr. T. Mansyur Tanjungbalai diketahui bahwa ada beberapa tindakan asuhan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dalam rentang baik sebesar 37,7%.

Tindakan tersebut dapat dilihat pada item kuisioner yaitu sterilisasi instrumen perawatan luka sangat sering dilakukan sebelum dipergunakan sebesar 49,2%,


(71)

membuang kapas/kasa setelah perawatan luka ketempat sampah medis sangat sering dilakukan sebesar 39,3%, menggunakan sarung tangan steril sering dilakukan pada saat memasang kateter sebesar 45,9%, menggunakan katater steril sangat sering dilakukan sebesar 32,8%, dan mendesinfeksi daerah yang akan dipasang sangat sering dilakukan sebesar 36,1%.


(72)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas peran perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dalam rentang cukup baik. Hal tersebut dilihat berdasarkan pada tindakan perawatan luka, pemasangan kateter, dan pemasangan infus.

Tindakan tersebut yaitu satu set instrumen perawatan luka sering digunakan untuk lebih dari satu orang pasien, perawatan luka sering dilakukan dengan membersihkan dari arah luar kemudian ke dalam luka, penggantian kateter sering dilakukan setelah terpasang lebih satu minggu, penggunaan kateter steril jarang dilakukan pada saat pemasangan kateter, penggunaaan sarung tangan sering tidak dilakukan pada saat memasang infus, penggantian cairan infus sering dilakukan dengan menyentuh tempat tusukan pada botol infus dan memasukkan obat melalui selang infus sering dilakukan tanpa mendesinfeksi permukan selang infus.

6.2 Saran

6.2.1 Bagi Rumah Sakit

Diharapkan rumah sakit dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan terutama kemampuan perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial dengan cara


(1)

KATEGORI PERAN (3 KATEGORI)

Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid

2

38

62.3

62.3

62.3

3

23

37.7

37.7

100.0

Total

61

100.0

100.0


(2)

(3)

JADWAL DEFENITIF PENELITIAN

No Kegiatan

April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Mengajukan judul

2

Menetapkan judul penelitian

3 Menyusun Bab 1

4 Menyusun Bab 2

5 Menyesun Bab 3

6 Menyusun Bab 4

7 Menyerahkan proposal penelitian 8 Mengajukan sidang proposal

9 Sidang proposal

10 Revisi proposal penelitian

11

Mengajukan izin penelitian

12 Pengumpulan data

13 Analisa data

14

Penyusunan laporan/skripsi

15 Pengajuan sidang skripsi

16 Ujian sidang

17 Revisi

18 Mengumpulkan skripsi


(4)

(5)

RENCANA ANGGARAN PENELITIAN

1.

PROPOSAL

a.

Print proposal

Rp. 200.000

b.

Biaya internet

Rp. 100.000

c.

Fotocopy sumber-sumber tinjauan pustaka

Rp. 100.000

d.

Fotocopy perbanyak proposal

Rp. 50.000

e.

CD

Rp. 10.000

2.

PENGUMPULAN DATA

a.

Surat Izin penelitian

Rp. 100.000

b.

Transportasi

Rp. 100.000

c.

Fotocopy lembar ceklis dan persetujuan penelitian

Rp. 50.000

d.

Souvenir

Rp. 200.000

3.

ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN LAPORAN

a.

Biaya rental dan print

Rp. 300.000

b.

CD

Rp. 10.000

c.

Penjilidan

Rp. 150.000

d.

Fotocopy laporan penelitian

Rp. 150.000

4.

BIAYA TAK TERDUGA

Rp. 200.000

___________

Total

Rp.1.720.000


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Pristiwani

Tempa/Tanggal Lahir

: Air Joman, 12 Januari 1985

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Jln. Jamin Ginting Gg.Sederhana No.4A, Medan

Pendidikan

:

1.

SD Negeri no 010244 Air Joman

Tahun 1992-1997

2.

SLTP Negeri 1 Air Joman

Tahun 1997-2000

3.

SMA Negeri 1 Kisaran

Tahun 2000-2003

4.

D3 Keperawatan USU

Tahun 2004-2007

5.

S1 Keperawatan USU

Tahun 2011-2013

Riwayat Pekerjaan

: