Studi Deskriptif Mengenai Derajat Self-Compassion Pada Perawat Rawat Inap di Rumah Sakit "X" Bandung.
i Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung. Penelitian ini dilakukan kepada perawat rawat inap berjumlah 140 orang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Alat ukur yang digunakan merupakan alat ukur yang dibuat oleh Neff (2003) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Riasnugrahani pada tahun 2012. Setelah itu, alat ukur tersebut diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris oleh Sarintohe pada tahun 2012 dan telah disetujui oleh Neff. Penghitungan validitas dan reliabilitas dilakukan oleh Riasnugrahani dengan menggunakan teknik korelasi dari Pearson dan Alpha Cronbach dengan 26 item valid dengan 0.323-0.606 dan 0.8182 yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa perawat rawat inap rumah sakit “X” yang memiliki derajat self-compassion tinggi sebanyak 75,7% dan perawat rawat inap rumah sakit “X” yang memiliki derajat self-compassion rendah sebanyak 24,3%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Saran yang diberikan peneliti adalah melakukan penelitian korelasi mengenai hubungan self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi, khususnya maternal criticism.
(2)
ii Universitas Kristen Maranatha This research was conducted to determine the degree of self-compassion in inpatient nurses at the hospital “X” Bandung. This research was conducted to inpatient nurses amounted to 140 people. The method used in this research is descriptive method with survey techniques. The instrument that being use to collect data created by Neff (2003) which has been translated into Indonesian by Riasnugrahani in 2012. After that, the instruments translated back into English by Sarintohe in 2012 and has been approved by Neff. Validity and reliability calculation done by Riasnugrahani using Pearson correlation and Cronbach alpha and the result was 26 items were valid with value 0.323-0.606 and 0.8182 is high. Based on the results of data processing, it is known that the inpatient nurses hospital "X" which has a high degree of self-compassion as much as 75.7% and inpatient nurses hospital "X" which has a low degree of self-compassion as much as 24.3%. The conclusion of this study is majority of nurse-patient hospital “X” has a high degree of self-compassion. Advice from researcher is to conduct research about correlation between self-compassion and self-compassion factor, especially maternal criticism.
(3)
vi
Universitas Kristen Maranatha LEMBAR PENGESAHAN
Abstrak ... i
Abstract ... ii
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi... vi
Daftar Bagan ... x
Daftar Tabel ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12
1.3.1 Maksud Penelitian ... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13
1.4 Kegunaan Penelitian ... 13
1.4.1 Kegunaan Teoritis... 13
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 13
1.5 Kerangka Pemikiran ... 14
(4)
Universitas Kristen Maranatha BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Self-Compassion ... 30
2.2 Komponen Self-Compassion ... 32
2.2.1 Self-Kindness ... 32
2.2.2 Common Humanity ... 33
2.2.3 Mindfulness ... 34
2.3 Kaitan Antar Komponen ... 36
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Compassion ... 37
2.4.1 Faktor Internal ... 37
2.4.1.1 Personality ... 37
2.4.1.2 Compassion for Other ... 42
2.4.1.3 Jenis Kelamin ... 44
2.4.2 Faktor Eksternal ... 45
2.4.2.1 The Role of Parents ... 45
2.4.2.1.1 Attachment ... 46
2.4.2.1.2 Maternal Critism ... 47
2.4.2.1.3 Modeling of Parent ... 48
2.4.2.2 The Role of Culture ... 48
2.5 Dampak Self-Compassion ... 50
2.6 Tahap Perkembangan Dewasa ... 52
2.6.1 Teori Pentahapan Menurut Daniel Levinson ... 55
2.7 Pengertian Perawat dan Keperawatan ... 57
(5)
Universitas Kristen Maranatha
2.9 Tugas Perawat ... 61
2.10 Kode Etik Perawat ... 63
2.10.1 Definisi Kode Etik ... 63
2.10.2 Prinsip-Prinsip Etika Perawat ... 64
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 67
3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 67
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 68
3.3.1 Variabel Penelitian ... 68
3.3.2 Definisi Konseptual ... 68
3.3.3 Definisi Operasional ... 68
3.4 Alat Ukur ... 69
3.4.1 Kuesioner Self-Compassion ... 69
3.4.2 Prosedur Pengisian Alat Ukur ... 70
3.4.3 Sistem Penilaian Alat Ukur ... 70
3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang... 71
3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 72
3.4.5.1Validitas Alat Ukur ... 72
3.4.5.2Reliabilitas Alat Ukur ... 72
3.5 Populasi ... 73
3.5.1 Populasi Sasaran ... 73
(6)
Universitas Kristen Maranatha
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel... 73
3.6 Teknik Analisis Data ... 74
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden ... 75
4.2 Hasil Penelitian ... 77
4.3 Pembahasan ... 79
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 93
5.2 Saran ... 94
5.2.1 Saran Teoritis ... 94
5.2.2 Saran Praktis ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 96
DAFTAR RUJUKAN ... 98 LAMPIRAN
(7)
x
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1.5 Kerangka Pikir ... 28 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ... 67
(8)
xi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Alat Ukur ... 70
Tabel 3.2 Sistem Penilaian Setiap Komponen Self-Compassion ... 70
Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 75
Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Usia ... 75
Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bekerja ... 76
Tabel 4.4 Gambaran Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 76
Tabel 4.5 Pengelompokkan Responden Berdasarkan Derajat Self-Compassion ... 77
Tabel 4.6 Tabulasi Silang Derajat Self-Compassion dan Self-kindnes ... 77
Tabel 4.7 Tabulasi Silang Derajat Self-Compassion dan Common Humanity ... 78
(9)
xii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kisi-Kisi Kuesioner Self Compassion Lampiran 2 : Lembar Persetujuan
Lampiran 3 : Kuesioner Data Penunjang dan Kuesioner Self-Compassion Lampiran 4 : Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Self-Compassion Lampiran 5 : Tabel Data Mentah
Lampiran 6 : Hasil Crosstab Self-Compassion dan Data Penunjang Lampiran 7 : Biodata Peneliti
(10)
1 Universitas Kristen Maranatha
1.1 Latar Belakang Masalah
Peningkatan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat di berbagai bidang serta meningkatnya pengetahuan masyarakat berimplikasi pada meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Selain itu kesadaran hukum masyarakat yang juga semakin baik di mana masyarakat lebih menyadari akan hak-haknya dan menuntut perawat untuk melaksanakan kewajiban dan tugas profesinya dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Pada hakikatnya keperawatan merupakan suatu profesi yang mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan, artinya profesi keperawatan lebih mendahulukan kepentingan kesehatan masyarakat di atas kepentingan sendiri. Sebagai tenaga profesional, seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya harus menjamin terlaksananya tugas tersebut dengan baik dan bertanggung jawab secara etis dan moral. Dengan demikian setiap perawat akan menunjukkan sikap etis profesional yang baik dalam setiap penampilan dan tindakannya, termasuk dalam mengambil keputusan ketika merespon sebuah situasi yang sulit. Pemahaman yang mendalam tentang etika dan moral serta penerapannya menjadi bagian penting dalam memberikan asuhan keperawatan dimana nilai-nilai pasien selalu menjadi dasar pertimbangan dan dihormati (Hasyim, 2012).
(11)
Universitas Kristen Maranatha Menurut The International Council of Nurses, perawat adalah seseorang yang memberikan perawatan secara individu atau kelompok kepada orang lain dari segala usia, keluarga, kelompok, dan komunitas, sakit atau sehat. Selain itu termasuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, dan merawat orang yang sakit, cacat, dan orang yang akan meninggal (http://www.icn.ch/about-icn/icn-definition-of-nursing/, 12 April 2010). Oleh karena itu, tugas yang dilakukan oleh perawat berkaitan dengan membantu dan merawat orang lain yang berarti itu berhubungan dengan nyawa seseorang sehingga memiliki beban psikologis dengan resiko tinggi.
Rumah sakit “X” Bandung adalah instansi pelayanan jasa kesehatan yang selalu berupaya untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang unggul, terbaik dan terpercaya. Hal tersebut didukung oleh sumber daya manusia yang unggul serta peralatan medis dan non medis yang berkualitas sehingga menjadikan rumah sakit “X” sebagai pilihan utama untuk pelayanan rumah sakit. Perawat adalah karyawan yang memiliki kontribusi paling besar dan aset utama dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit “X” Bandung.
Pelayanan rumah sakit terdiri dari pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan terhadap pasien rumah sakit yang menempati tempat tidur perawatan karena keperluan observasi, diagnosis, terapi, rehabilitasi medik dan pelayanan medik lainnya. Pelayanan rawat inap merupakan pelayanan medis yang utama di rumah sakit dan merupakan tempat untuk interaksi antara pasien dan pihak-pihak yang ada di dalam rumah sakit dan berlangsung dalam waktu yang lama. Pelayanan rawat inap melibatkan pasien,
(12)
Universitas Kristen Maranatha dokter, dan perawat dalam hubungan yang sensitif yang menyangkut kepuasan pasien, mutu pelayanan dan citra rumah sakit. Perawat rawat inap memiliki tuntutan pekerjaan yang lebih berat, menangani pasien yang sakit parah, dan bertemu dengan pasien secara kontinu. Seperti menangani pasien yang sakit stroke, jantung, demam berdarah, kanker stadium lanjut, dan sebagainya. Serta perawat rawat inap lebih banyak berhubungan dengan pasien. Pasien sering mengeluh akan penyakitnya dan dari sisi keluarga pasien juga banyak menuntut/komplain.
Selain rawat inap ada juga perawatan rawat jalan di dalam pelayanan rumah sakit. Berbeda dengan rawat inap, perawat rawat jalan memiliki tuntutan pekerjaan yang lebih sederhana, seperti membantu dokter menyiapkan alat-alat, menimbang, memeriksa tekanan darah pasien, dan memberikan obat-obat apa saja yang diperlukan. Perawat rawat jalan bekerja atas perintah atau instruksi dokter. Pada pelayanan rawat jalan frekuensi pertemuan antara perawat dan pasien lebih singkat jika dibandingkan dengan perawat yang bertugas di ruang rawat inap. Perawat di ruang rawat jalan bertemu dengan pasien hanya saat hari pemeriksaan saja, akan tetapi perawat lebih sering bertemu dengan dokter yang memeriksa pasien (Mariyanti, 2011). Dengan demikian, peneliti memilih untuk melakukan penelitian pada perawat rawat inap karena kegiatan keperawatannya lebih banyak berhadapan dengan pasien.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki tugas-tugas untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien, menetapkan diagnosa keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai
(13)
Universitas Kristen Maranatha dengan Standard Operating Procedure (SOP) keperawatan, membuat evaluasi keperawatan sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan, dan membuat dokumentasi keperawatan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) keperawatan.
Ketika menjalankan pekerjaannya, perawat rawat inap rumah sakit “X” diharapkan mampu untuk memberikan tindakan keperawatan dengan mengembangkan sikap yang sesuai dengan kode etik keperawatan. Kode etik keperawatan tersebut salah satunya mencakup hubungan perawat dengan klien yang di dalamnya terkandung autonomy (kemandirian), beneficience (berbuat baik), nonmaleficience (tidak merugikan), fidelity (menepati janji), dan confidentiality (kerahasiaan).
Prinsip autonomy menyatakan bahwa perawat menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien sebagai individu yang mampu membuat keputusan sendiri (Hasyim, 2012) misalnya sebelum mengambil darah atau memandikan pasien, perawat rawat inap rumah sakit “X” meminta ijin terlebih dahulu kepada pasien dan jika pasien tidak memberikan ijin, perawat tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk melakukan perawatan kepada pasien tersebut. Prinsip beneficience menyatakan perawat berbuat baik dan mendatangkan manfaat bagi pasien (Hasyim, 2012) misalnya perawat rawat inap rumah sakit “X” bersedia menolong pasien yang meminta bantuan, seperti ketika tengah malam pasien meminta tolong untuk diantarkan ke kamar mandi dan memberikan semangat kepada pasien agar cepat sembuh.
(14)
Universitas Kristen Maranatha Prinsip nonmaleficience artinya perawat berupaya untuk tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada pasien (Hasyim, 2012) misalnya perawat rawat inap rumah sakit “X” berhati-hati saat memasang infus atau menyuntik pasien agar tidak melukai pasien. Prinsip fidelity menyatakan bahwa perawat harus setia pada komitmennya dan menepati janji kepada pasien (Hasyim, 2012) misalnya perawat rawat inap rumah sakit “X” menepati janji kepada pasien tentang kapan saja perawat akan melakukan keperawatan kepada pasien, dan prinsip confidentiality menyatakan bahwa perawat harus menjaga informasi tentang pasien (Hasyim, 2012) misalnya perawat rawat inap rumah sakit “X” tidak memberitahu orang lain mengenai kondisi pasien tanpa persetujuan dari pasien.
Berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada 37 perawat rawat inap rumah sakit “X” tentang kesulitan-kesulitan yang dialami saat melakukan keperawatan, perawat rawat inap rumah sakit “X” mendapatkan tanggapan yang kurang menyenangkan dari para pasien, seperti pasien yang bersikap tidak ramah, tidak membalas senyum dan salam dari perawat rawat inap rumah sakit “X”, pasien yang kurang kooperatif dan tidak bersedia diberi perawatan, dan pasien yang memaksakan kehendaknya. Tanggapan tersebut terkadang membuat perawat rawat inap rumah sakit “X” merasa bersalah dan perawat berpikir apakah karena mereka kurang kompeten yang membuat pasien menunjukkan sikap yang kurang menyenangkan, sehingga lebih lanjut dalam menghadapi tugas selanjutnya perawat menjadi ragu-ragu, gugup, dan tidak percaya diri, padahal perawat rawat inap rumah sakit “X” sudah memperlakukan pasien dengan sebaik mungkin.
(15)
Universitas Kristen Maranatha Berdasarkan hasil kuesioner, 26 perawat rawat inap rumah sakit “X” (70,27%) menyatakan merasa kesulitan untuk membina komunikasi dengan pasien, misalnya saat perawat rawat inap rumah sakit “X” menghadapi pasien yang kurang kooperatif, banyak memiliki keinginan dan banyak mengeluh karena penyakit yang mereka rasakan. Para pasien tersebut seringkali memaksakan kehendaknya yang terkadang membuat perawat takut melakukan kesalahan dan merugikan pasien, misalnya saat pasien menolak untuk minum obat dan menolak untuk makan makanan yang diberi oleh perawat karena merasa makanan tersebut kurang enak dan tidak ada rasanya, sehingga pasien makan makanan lain yang dibawakan oleh keluarganya. Ucapan para pasien dalam menolak makanan yang diberikan perawat rawat inap rumah sakit “X” terkadang membuat para perawat merasa tersinggung, padahal perawat rawat inap sudah bertanya dengan sikap yang ramah.
Berdasarkan kode etik, perawat rawat inap rumah sakit “X” harus tetap bersabar dan tidak boleh mengatakan hal-hal yang dapat menyinggung perasaan pasien. Dengan demikian, para perawat tidak boleh membeda-bedakan perlakuan kepada pasien yang kurang mereka sukai, meskipun perawat terkadang merasa tidak nyaman dan kurang menyukai pasien yang mereka rawat.
Selain kesulitan dalam membina komunikasi dengan pasien, 15 perawat rawat inap rumah sakit “X” (40,54%) menyatakan pernah gagal ketika memasang infus kepada pasien dan gagal mengambil darah yang membuat pasien menjadi kesakitan, hal tersebut membuat perawat rawat inap menjadi merasa bersalah, ragu-ragu, dan bahkan ada pasien yang tidak ingin dirawat oleh perawat tersebut.
(16)
Universitas Kristen Maranatha Dalam menghadapi hal ini, perawat rawat inap rumah sakit “X” menjadi sedih, kecewa, merasa dirinya gagal untuk merawat pasien, dan menjadi tidak percaya diri memberikan perawatan kepada pasien, sedangkan perawat rawat inap rumah sakit “X” merasa sudah berusaha melakukan keperawatan dengan sebaik mungkin terhadap semua pasien yang ditanganinya.
Para perawat rawat inap rumah sakit “X” sudah meminta maaf kepada pasien yang ditangani dan tidak memaksakan kehendaknya. Berdasarkan kode etik mereka harus tetap bersabar dalam merawat para pasien, bersikap ramah kepada pasien, dan melatih kemampuannya dalam memberikan tindakan keperawatan supaya tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik pada pasien. Selain itu, tindakan pasien yang tidak ingin dirawat oleh perawat rawat inap rumah sakit “X” yang sudah melakukan kesalahan, membuat perawat juga merasa kurang percaya dengan kemampuan mereka sendiri.
Selain itu, 10 perawat rawat inap rumah sakit “X” (27,02%) juga menghadapi pasien yang bersikap tidak acuh dan tidak ramah kepada mereka, misalnya pasien yang tidak membalas salam yang diucapkan perawat atau senyum yang diberikan perawat, atau pasien yang pulang tanpa memberitahu, padahal mereka belum selesai melakukan perawatan. Para perawat rawat inap rumah sakit “X” terkadang bertanya-tanya apakah mereka kurang kompeten yang membuat pasien berperilaku seperti itu.
Berdasarkan hasil kuesioner tentang kesulitan-kesulitan yang dirasakan perawat rawat inap rumah sakit “X”, terlihat bahwa kegiatan keperawatan yang dilakukan oleh perawat rawat inap rumah sakit “X” banyak berkaitan dengan
(17)
Universitas Kristen Maranatha pemberian perhatian kepada pasien. Para perawat rawat inap rumah sakit “X” tetap menjalankan kode etik, tetap berusaha sebaik mungkin dalam melakukan perawatan, dan tetap bersikap ramah kepada pasien, meskipun pasien menunjukkan sikap yang kurang sesuai dengan harapan mereka. Perawat rawat inap rumah sakit “X” tidak bisa memaksakan kehendak kepada pasien, berbuat baik kepada pasien, tidak melukai pasien, menepati janji, dan menjaga kerahasiaan pasien. Menurut Neff (2003), hal ini dinamakan compassion for other, yaitu kemampuan individu untuk menyadari dan melihat secara jelas penderitaan orang lain, serta merasakan kebaikan, kepedulian, dan pemahaman terhadap penderitaan orang lain.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” melakukan compassion for other dengan merasakan penderitaan pasien, merawat pasien, memberikan kepedulian dan pemahaman terhadap penderitaan pasien, serta meletakkan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi. Menurut Neff (2011) seseorang tidak akan secara penuh atau optimal dalam memberikan compassion for other sebelum memiliki self-compassion. Individu yang memiliki derajat self-compassion tinggi, dapat memperlakukan dirinya sama baiknya sebagaimana mereka memperlakukan orang lain (Neff, 2011). Berdasarkan keterangan itu, perawat rawat inap rumah sakit “X” tidak akan bisa melakukan compassion for other secara penuh sebelum mereka memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat self-compassion tinggi dapat secara penuh dan optimal dalam memberikan keperawatan di pekerjaannya, khususnya dalam merawat pasien.
(18)
Universitas Kristen Maranatha Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Self-compassion terdiri dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness.
Menurut Neff (2003), self-kindness adalah kemampuan individu untuk bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan daripada menghakimi diri atau self-judgement. Common humanity adalah kesadaran individu bahwa kegagalan merupakan bagian dari kehidupan manusia daripada merasa sendirian dalam kegagalan tersebut atau isolation. Mindfulness adalah kemampuan individu untuk melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan daripada merespon kegagalan tersebut secara berlebihan atau over-identification.
Kasih sayang atau compassion diberikan kepada diri sendiri ketika mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh keadaan external yang menyakitkan dan sulit untuk ditanggung. Ketika kebanyakan orang memperlakukan diri mereka dengan kurang baik dan lebih keras dibandingkan memperlakukan orang lain (Neff, 2003), individu dengan derajat self-compassion yang tinggi dilaporkan memperlakukan diri mereka sama baiknya sebagaimana mereka memperlakukan orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan derajat self-compassion lebih tinggi memiliki emotional intelligence yang
(19)
Universitas Kristen Maranatha lebih tinggi, maksudnya mereka lebih mampu untuk mempertahankan keseimbangan emosinya ketika berhadapan dengan permasalahan (Neff, 2011). Adanya derajat self-compassion yang tinggi di dalam diri perawat rawat inap rumah sakit “X” terhadap kegagalan yang dialaminya, dapat mendukung penyembuhan pada pasien secara optimal.
Berdasarkan kuesioner yang dibagikan kepada 37 perawat rawat rumah sakit “X” Bandung, tentang derajat komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang dimiliki perawat rawat inap “X”, 20 orang diantaranya (54,1%) bersikap toleran terhadap kegagalan yang mereka alami, misalnya kegagalan dalam pekerjaannya seperti gagal memasang infus kepada pasien, gagal mengambil darah, dan gagal merawat pasien yang dirawatnya sehingga nampak seolah-olah tidak ada kemajuan dan tidak kunjung sembuh, tetapi mereka menerima kekurangan mereka, menyadari kesalahan yang mereka lakukan. Hal itu dinamakan self-kindness yaitu bersikap hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri (Neff, 2003), sedangkan 17 orang lainnya (45,9%) mengkritik diri dan menyalahkan dirinya secara berlebihan saat mengalami kegagalan dan sulit menerima kegagalan itu, misalnya merasa dirinya tidak mampu dan membenci dirinya sendiri dan merasa kemampuan yang dimiliki tidak seperti teman-temannya yang lain saat mengalami kegagalan. Hal ini dinamakan self-judgement, yaitu mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau penderitaan (Neff, 2003).
(20)
Universitas Kristen Maranatha Selain komponen self-kindness, 29 orang di antaranya (78,4%) menganggap kegagalan yang dialami tersebut sebagai kejadian yang pada umumnya dialami semua manusia dan menganggap bahwa semua manusia pasti mengalami kegagalan dalam hidup. Mereka menyatakan bahwa pada umumnya seseorang perlu menghadapi kegagalan dulu sebelum mencapai keberhasilan, kegagalan mendewasakan manusia atau melatih manusia untuk menjadi orang yang lebih baik lagi, hidup tidaklah sempurna sehingga pasti akan ada kegagalan, dan kegagalan merupakan proses hidup yang harus dilewati semua manusia pada umumnya. Hal ini dinamakan common humanity yaitu kesadaran individu bahwa kesulitan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari kehidupan yang dialami oleh semua manusia, bukan hanya dialami oleh diri sendiri (Neff, 2003), sedangkan 8 orang lainnya (21,6%) menganggap kegagalan yang dialami bukanlah suatu kejadian yang dialami semua manusia, mereka menganggap seharusnya mereka bisa menghindari kegagalan itu karena orang lain juga bisa mencapai keberhasilan. Hal ini dinamakan isolation yaitu saat individu menganggap hanya dirinya yang mengalami kegagalan dan menganggap kegagalan bukanlah kejadian yang dialami semua manusia (Neff, 2003).
Selain komponen diatas, 22 orang diantaranya (59,5%) memberikan reaksi emosi terhadap kegagalan tersebut tidak secara berlebihan, yaitu perawat memang merasa sedih saat mengalami kegagalan tetapi tidak sampai merasakan sedih selama berbulan-bulan. Mereka juga berusaha untuk memperbaiki kegagalan tersebut, misalnya dengan cara belajar dan latihan dengan lebih giat agar mereka tidak melakukan kesalahan lagi ketika memberikan perawatan kepada pasien. Hal
(21)
Universitas Kristen Maranatha ini dinamakan mindfulness yaitu kemampuan individu untuk menerima dan melihat secara jelas perasaan dan pikiran diri sendiri saat mengalami kegagalan dengan apa adanya, tidak disangkal atau ditekan (Neff, 2003), sedangkan 15 orang lainnya (40,5%) menghadapi kegagalan yang mereka alami secara berlebihan, seperti tidak mau lagi menghadapi kegiatan yang membuat mereka gagal, merasa sedih sampai berbulan-bulan, tidak mau melakukan kegiatan apapun setelah mengalami kegagalan, dan merasa takut untuk menghadapi kejadian yang sama. Hal ini dinamakan over-identification yaitu saat individu menyangkal atau bereaksi secara berlebihan terhadap kegagalan yang dialami (Neff, 2003).
Berdasarkan hasil kuesioner di atas, diketahui bahwa perawat rawat inap di rumah sakit “X” memiliki derajat self-compassion yang bervariasi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini ingin mengetahui derajat self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung.
(22)
Universitas Kristen Maranatha 1.3.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui derajat self-compassion pada perawat rawat inap di rumah sakit “X” Bandung berdasarkan gambaran dari masing-masing komponen self-compassion, dan faktor-faktor yang mempengaruhi self-compassion, yaitu personality, compassion for other, jenis kelamin, role of parents, dan role of culture.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Kegunaan teoritis penelitian ini adalah:
1. Menambah informasi mengenai self-compassion pada bidang Psikologi yaitu Mental Health, khususnya pada perawat.
2. Memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai hubungan self-compassion.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Kegunaan praktis penelitian ini adalah:
1. Menambah informasi kepada perawat rawat inap rumah sakit “X” tentang self-compassion yang mereka miliki, sehingga dapat menjadi masukan bagi perawat untuk mempertahankan serta mengetahui cara untuk meningkatkan self-compassion yang mereka miliki agar lebih sejahtera secara emosional dan dapat berpikir positif.
(23)
Universitas Kristen Maranatha 2. Menambah informasi kepada keluarga perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk membimbing perawat agar dapat mempertahankan dan meningkatkan derajat self-compassion perawat rawat inap rumah sakit “X” agar dapat lebih optimis dan optimal dalam menjalani pekerjaannya.
3. Menambah informasi kepada kepala perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk menyediakan sarana tertentu kepada perawat agar dapat mempertahankan dan meningkatkan derajat self-compassion perawat rawat inap rumah sakit “X” agar dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas.
1.5 Kerangka Pemikiran
Perawat adalah seseorang yang memberikan perawatan secara individu atau kelompok kepada orang lain dari segala usia, keluarga, kelompok, dan komunitas, sakit atau sehat. Selain itu termasuk mempromosikan kesehatan, mencegah penyakit, dan merawat orang yang sakit, cacat, dan orang yang akan meninggal (http://www.icn.ch/about-icn/icn-definition-of-nursing/).
Perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki tugas untuk mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien, menetapkan diagnosa keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Keperawatan, membuat evaluasi keperawatan sesuai dengan tujuan, membuat dokumentasi keperawatan sesuai dengan SOP Keperawatan.
(24)
Universitas Kristen Maranatha Hubungan perawat dengan pasien berkaitan dengan beberapa prinsip yaitu, prinsip autonomy, beneficience, nonmaleficience, confidentiality, dan fidelity. Prinsip autonomy (kemandirian) merupakan kewajiban perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk menghormati pasien sebagai pribadi yang mandiri. Prinsip beneficience (berbuat baik) berkaitan dengan kewajiban perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk melakukan hal yang baik dan tidak membahayakan orang lain. Prinsip nonmaleficience yaitu tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik dan psikologis kepada pasien. Prinsip confidentiality (kerahasiaan) berkaitan dengan kewajiban perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk menjaga privasi pasien. Prinsip fidelity (menepati janji) berkaitan dengan kewajiban perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk setia kepada kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” diharapkan untuk menerapkan kode etik tersebut, karena jika perawat rawat inap rumah sakit “X” melanggar ketentuan kode etik ini, maka mereka akan mendapatkan sanksi berupa teguran secara lisan dan tulisan seperti Surat Peringatan I sampai dengan III serta dikeluarkan atau diserahkan kepada pihak yang berwajib apabila kesalahannya benar-benar fatal dan melanggar undang-undang keperawatan yang belaku, sehingga kewajiban perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk menghargai hak dan martabat pasien, tidak memaksa pasien, berbuat baik dan adil, tidak melukai pasien, jujur, menepati janji, dan menjaga privacy pasien membuat mereka lebih banyak dituntut untuk memberikan compassion for others. Compassion for others yaitu kemampuan individu untuk menyadari, melihat, dan merasakan kebaikan,
(25)
Universitas Kristen Maranatha kepedulian, dan pemahaman terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain (Neff, 2003). Dalam hal ini, perawat rawat inap rumah sakit “X” memberikan compassion for others kepada pasien.
Menurut Neff (2011) seseorang memerlukan self-compassion terlebih dahulu sebelum memberikan compassion for other secara penuh kepada orang lain. Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” memerlukan self-compassion agar mereka dapat lebih optimal dalam merawat dan menolong pasien ketika melakukan praktik di rumah sakit dan saat memberikan perawatan kepada para pasien.
Self-compassion adalah keterbukaan dan kesadaran individu terhadap penderitaan diri sendiri, tanpa menghindar dari penderitaan itu, memberikan pemahaman dan kebaikan terhadap diri sendiri ketika menghadapi penderitaan, kegagalan, dan ketidaksempurnaan tanpa menghakimi diri, serta melihat suatu kejadian sebagai pengalaman yang dialami semua manusia (Neff, 2003). Self-compassion perawat rawat inap rumah sakit “X” adalah adanya keterbukaan dan kesadaran perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk tetap memberikan kebaikan kepada diri sendiri saat mengalami kegagalan dalam kehidupannya, misalnya kegagalan dalam melakukan keperawatan, tidak menghindari kegagalan dan melihat kegagalan yang dialami sebagai kejadian yang pada umumnya dialami oleh semua manusia.
Self-compassion terdiri dari tiga komponen yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2009). Self-kindness pada perawat rawat inap rumah sakit “X” berdasarkan teori dari Neff (2003) adalah kemampuan bersikap
(26)
Universitas Kristen Maranatha hangat dan memahami diri sendiri saat menghadapi kegagalan dan ketidaksempurnaan dalam kehidupannya, misalnya dalam merawat pasien. Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat self-kindness tinggi, akan menyayangi dirinya saat ia mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan seperti kesalahan ketika memasang infus dan mengambil darah pasien. Ia akan menerima dan memahami kekurangannya serta menoleransi kegagalannya tersebut. Ia secara aktif memberikan kenyamanan dan menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kegagalan dalam merawat pasien, daripada merasa marah karena harapannya tidak terpenuhi.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat self-kindness rendah akan mengkritik dan menyalahkan dirinya secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan (self-judgement). Saat perawat rawat inap rumah sakit “X” melakukan kesalahan dalam merawat pasien, mereka akan menyalahkan dirinya sendiri, misalnya dengan mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa suatu hal yang memalukan ia dapat melakukan kesalahan dalam merawat pasien sehingga pasien terluka atau betapa bodohnya ia karena tidak bisa menghindari kesalahan itu. Ia terus-menerus mengkritik diri dan merasa tidak berguna karena kekurangannya itu.
Komponen berikutnya adalah common humanity. Common humanity pada perawat rawat inap rumah sakit “X” berdasarkan teori Neff (2003) adalah kesadaran bahwa kegagalan atau kesalahan yang mereka lakukan merupakan kejadian yang pada umumnya dialami oleh semua manusia, khususnya oleh perawat. Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat common humanity
(27)
Universitas Kristen Maranatha tinggi akan menganggap bahwa kesalahan dalam memasang infus merupakan kejadian yang menjadi bagian dari kegiatan perawat rawat inap rumah sakit “X”, mereka menyadari bahwa perawat lain juga pada umumnya pernah melakukan kesalahan yang sama, bukan hanya dirinya sendiri yang memiliki kekurangan atau melakukan kesalahan dalam menolong dan merawat pasien.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat common humanity rendah akan memiliki perspektif yang sempit dengan berpikir bahwa hanya dirinya yang bodoh dan melakukan kesalahan dalam merawat dan menolong pasien, sedangkan perawat lain tidak pernah melakukan hal itu (isolation). Ia dapat mencari-cari alasan atau mencari kekurangannya yang lain dibandingkan rekannya yang juga melakukan kesalahan dan merasa hanya dirinya yang paling banyak memiliki kekurangan. Ia berpendapat bahwa perawat lain boleh melakukan kesalahan, tetapi dirinya sendiri tidak boleh melakukan kesalahan. Ia merasa terisolasi, merasa hanya dirinya yang menderita, dan hanya dirinya yang menghadapi situasi tidak adil.
Komponen berikutnya dari self-compassion adalah mindfulness. Mindfulness pada perawat rawat inap rumah sakit “X” berdasarkan teori dari Neff (2003) adalah kemampuan untuk menerima dan melihat secara jelas kegagalan atau kesalahan yang dilakukan dalam kehidupan, tanpa menyangkal atau melebih-lebihkan kegagalan dan perasaan yang dirasakan. Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat mindfulness tinggi akan berpikir secara moderat saat ia melakukan kesalahan, seperti kesalahan dalam memasang infus, perawat rawat inap rumah sakit “X” akan melihat kesalahannya tersebut dengan apa adanya
(28)
Universitas Kristen Maranatha misalnya tidak bersedih dalam waktu berbulan-bulan saat mengalami kegagalan tersebut.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat mindfulness rendah akan bereaksi secara berlebihan terhadap kegagalan atau kesalahan yang dilakukan (over-identification). Perawat rawat inap rumah sakit “X” akan terpaku pada kegagalan dan ketidakmampuan yang dimiliki, dimana perawat rawat inap rumah sakit “X” akan merasa takut dan cemas akan kegagalan tersebut. Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” menganggap bahwa ia akan melakukan hal yang sama pada saat ia merawat pasien di waktu yang lain. Perawat rawat inap rumah sakit “X” juga akan terus bersedih karena kegagalannya itu atau ia akan melupakan kegagalannya agar tidak terus-menerus merasakan kekecewaan dan kesedihan karena telah melukai pasien.
Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen itu, maka dikatakan perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat yang rendah pada salah satu atau lebih dari satu komponen, maka dikatakan perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat self-compassion yang rendah (Neff, 2003).
Menurut Curry & Barnard (2011), terdapat keterkaitan antara ketiga komponen self-compassion yang dapat saling memengaruhi satu sama lain. Jika individu memberikan perhatian, kelembutan, pemahaman, dan kesabaran terhadap kekurangan dirinya (self-kindness), mereka tidak akan merasa malu karena kekurangannya dan tidak akan menarik diri dari orang lain (Brown, 1998 dalam
(29)
Universitas Kristen Maranatha Curry & Barnard, 2011). Perawat rawat inap rumah sakit “X” akan lebih memilih untuk mengakui dan membagikan hal itu dengan orang lain, sehingga mereka juga bisa mengamati bahwa masih banyak perawat lain yang juga melakukan kesalahan (common humanity).
Saat perawat rawat inap rumah sakit “X” melihat lingkungan dan menyadari bahwa kegagalan dan kesalahan merupakan kejadian yang pada umumnya dialami semua manusia (common humanity), perawat rawat inap rumah sakit “X” juga akan menyadari bahwa saat orang lain mengalami kegagalan, mereka tidak mengkritik orang tersebut tetapi menghibur orang lain itu dengan memberikan perhatian, kelembutan, dan pemahaman akan kegagalannya tersebut, sehingga dengan mengamati hal itu perawat rawat inap rumah sakit “X” bisa menyadari bahwa seharusnya mereka juga melakukan hal yang sama kepada dirinya sendiri saat mengalami kegagalan atau saat melakukan kesalahan, bukan terus-menerus mengkritik diri secara berlebihan (self-kindness).
Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” terus mengkritik diri secara berlebihan, mereka akan terus fokus pada kesalahan atau kegagalan yang dialami, dan muncul ketakutan bahwa kegagalan itu akan terjadi dimasa yang akan datang, sehingga mereka melebih-lebihkan perasaannya. Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” mengkritik diri dengan wajar (self-kindness), mereka akan memperhatikan kegagalannya tapi dengan mengadopsi sudut pandang yang seimbang, bukan melebih-lebihkan bahwa kegagalan tersebut akan terjadi di bidang yang serupa (mindfulness).
(30)
Universitas Kristen Maranatha Saat perawat rawat inap rumah sakit “X” melihat kesalahan atau kegagalan yang dialami secara apa adanya (mindfulness), mereka akan menghindari pemberian kritik yang berlebihan (self-kindness) dan akan menyadari bahwa semua orang juga pernah mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan (common humanity). Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi atau over-identification, hal itu akan membuat perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki perspektif yang sempit bahwa hanya mereka yang mengalami kegagalan dan membuat mereka menarik diri dari orang lain. Saat perawat rawat inap rumah sakit “X” melihat kegagalan atau kesalahan pada umumnya dilakukan oleh semua manusia (common humanity), mereka tidak akan merasa terasa terancam oleh kekurangannya, sehingga tidak akan bereaksi secara berlebihan atau melupakan kesalahan dan kegagalan yang dialami (mindfulness).
Self-compassion dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu personality, compassion for other, dan jenis kelamin, sedangkan faktor eksternal yaitu role of parent dan role of culture. Self-compassion dipengaruhi oleh personality, berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI (Neff, Rude et al., 2007) ditemukan bahwa self-compassion berkaitan dengan level neuroticism yang rendah. Hubungan ini dapat terjadi karena mengkritik diri dan perasaan terasing yang menyebabkan rendahnya self-compassion memiliki kesamaan dengan neuroticism. Menurut Robbins (2001) dalam Mastuti (2011), individu dengan derajat yang rendah dalam neuroticism cenderung berciri tenang, bergairah, dan aman, sedangkan individu dengan derajat tinggi dalam neuroticism cenderung tertekan, gelisah, dan tidak aman. Selain itu, neuroticism
(31)
Universitas Kristen Maranatha mengidentifikasi kecenderungan individu apakah mulai mengalami stress, mempunyai ide yang tidak realistis, dan mempunyai coping response yang maladaptif. Dengan demikian, individu dengan derajat neuroticism tinggi cenderung memiliki derajat self-compassion yang rendah. Hal ini juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat neuroticism tinggi.
Self-compassion juga berhubungan positif dengan agreeableness, extroversion, dan conscientiousness, tetapi tidak ditemukan hubungan dengan openness to experiences. Individu dengan extroversion cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan (Robbins, 2001 dalam Mastuti, 2005) dan agreeableness merujuk kepada kecenderungan individu untuk tunduk kepada orang lain (Robbins, 2001 dalam Mastuti, 2005). Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat tinggi dalam agreeableness dan extroversion akan berorientasi pada sifat sosial dan tidak terlalu khawatir dengan pandangan orang lain tentang mereka, karena hal itu dapat mengarah pada rasa malu dan perilaku menyendiri. Hal itu dapat membuat individu melihat pengalaman negatif sebagai pengalaman yang pada umumnya dialami semua manusia yang berkaitan dengan derajat self-compassion tinggi (Neff, Rude et al., 2007 dalam Neff, 2009).
Begitu pula dengan conscientiousness, menurut Costa & McCrae (1997) dalam Mastuti (2005), conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Hal ini
(32)
Universitas Kristen Maranatha dapat membantu individu untuk lebih memperhatikan kebutuhan mereka dan untuk merespon situasi yang sulit dengan sikap yang lebih bertanggung jawab (Costa & McCrae, 1997 dalam Mastuti, 2005). Dengan demikian, individu dapat merespon situasi itu dengan tanpa memberikan kritik yang berlebihan yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff, 2009). Hal ini juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan derajat conscientiousness tinggi.
Self-compassion tidak berhubungan dengan openness to experience, karena trait itu mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi yang aktif dan memiliki pilihan yang bervariasi untuk bisa membuka pikiran (Costa & McCrae, 1992), dan mungkin dimensi ini yang tidak sesuai dengan self-compassion.
Self-compassion juga dipengaruhi oleh compassion for other. Neff (2011) mengungkapkan bahwa individu membutuhkan self-compassion terlebih dahulu agar dapat lebih optimal dalam melakukan compassion for other. Perawat rawat inap rumah sakit “X” membutuhkan sumber dari dalam dirinya sendiri sebelum dapat menolong orang lain, misalnya dalam merawat pasien. Namun, Neff (2011) juga mengungkapkan jika individu secara terus-menerus memberikan compassion for other akan mengarah pada compassion fatigue atau kelelahan karena terus memberikan perhatian kepada orang lain yang dapat membuat individu memiliki derajat self-compassion yang rendah.
Self-compassion juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Penelitian menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengulang-ulang pemikiran mengenai kekurangan yang ia miliki yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang
(33)
Universitas Kristen Maranatha rendah (Neff, 2011). Wanita juga cenderung lebih peduli, empati, dan lebih suka memberi kepada orang lain daripada pria. Wanita lebih disosialisasikan untuk merawat orang lain, membuka hati mereka tanpa pamrih kepada teman, dan orang tua mereka, tetapi mereka tidak berpikir untuk peduli kepada diri mereka sendiri yang dapat membuat wanita memiliki derajat self-compassion lebih rendah daripada pria. Hal tersebut juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan jenis kelamin wanita.
Role of parents juga dapat memengaruhi derajat self-compassion pada perawat rawat inap rumah sakit “X”. Role of parents terdiri dari attachment, maternal critism, dan modeling of parents. Attachment merupakan suatu ikatan emosional yang kuat antara individu dan pengasuhnya (Bowlby, 1969 dalam Santrock 2003). Attachment dengan orang tua dapat memengaruhi derajat self-compassion individu (Neff, 2011). Jika individu mendapatkan secure attachment dari orang tua mereka, mereka akan merasa bahwa mereka layak untuk mendapatkan kasih sayang. Mereka akan tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat dan bahagia, merasa aman untuk percaya bahwa mereka dapat bergantung kepada orang lain untuk mendapatkan kehangatan dan dukungan. Perasaan diri berharga dan layak untuk mendapatkan kasih sayang dapat membuat individu juga merasa layak untuk menyayangi dirinya sendiri yang berkaitan dengan derajat self-compassion yang tinggi (Neff & McGehee, 2009). Hal itu juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X”.
Selain itu, jika individu mendapatkan insecure attachment dari orang tua mereka, mereka akan merasa tidak layak mendapatkan cinta dan kasih sayang, dan
(34)
Universitas Kristen Maranatha tidak bisa percaya kepada orang lain. Individu yang mendapatkan insecure attachment dapat memiliki derajat self-compassion yang lebih rendah daripada individu yang mendapatkan secure attachment (Neff, 2011). Jika individu merasa tidak layak mendapatkan kasih sayang, ia juga akan merasa tidak layak jika mendapatkan kasih sayang dari dirinya sendiri. Hal itu juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” Bandung.
Maternal critism juga dapat memengaruhi self-compassion yang dimiliki perawat rawat inap rumah sakit “X”. Individu yang mendapatkan kehangatan dan hubungan yang saling mendukung dengan orang tua mereka, serta menerima dan compassion kepada mereka, cenderung akan lebih memiliki self-compassion tinggi daripada individu yang tinggal dengan orang tua yang “dingin” dan sering mengkritik (Brown, 1999 dalam Neff, 2003). Individu dengan orang tua yang sering mengkritik dan memiliki derajat self-compassion yang rendah dan mengalami anxiety serta depresi saat mereka dewasa. Mereka akan menginternalisasikan kritikan yang diberikan orang tua dan akan membawa hal itu sampai mereka dewasa (Neff, 2011). Hal ini juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan maternal critism tinggi.
Selain itu lingkungan keluarga yang dapat mempengaruhi self-compassion pada perawat rawat inap rumah sakit “X” adalah model orang tua yang mengkritik diri dan orang tua yang self-compassion saat mereka menghadapi kegagalan atau kesulitan (Neff dan McGehee, 2008). Orang tua yang sering mengkritik diri, akan menjadi model bagi perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk melakukan hal itu saat ia mengalami kegagalan. Individu akan belajar untuk mengamati apa yang
(35)
Universitas Kristen Maranatha dilakukan oleh orang lain dan kemudian mungkin akan mengambil tingkah laku tersebut (Bandura, 1991 dalam Santrock, 2003). Hal ini dapat berkaitan dengan adanya modelling pada self-compassion pada orang tua.
Self-compassion juga dipengaruhi oleh budaya (role of culture). Dikatakan bahwa budaya Asia terlihat merupakan budaya collectivism dapat memiliki derajat self-compassion yang tinggi. Budaya collectivism yang lebih memperhatikan lingkungan dalam bertingkah laku, dapat melihat bahwa pada umumnya setiap orang mengalami masalah (common humanity) yang berkaitan dengan derajat self-compassion tinggi (Markus dan Kitayama, 1991 dalam Neff, Pisitsungkagarn, Hsieh 2008). Berbeda dengan budaya individulism yang lebih memperhatikan kepentingan pribadi. Namun budaya collectivism juga dapat berkaitan dengan derajat self-compassion yang rendah. Mereka akan melihat diri sendiri berdasarkan pada penilaian dan perbandingan dengan orang lain yang membuat individu lebih sering mengkritik diri mereka sendiri (Heine et al., 1999; Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997 dalam Neff, 2008). Hal ini juga dapat terjadi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan budaya collectivism.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan self-compassion tinggi, akan memahami kekurangannya dalam merawat pasien, berempati terhadap hal itu, dan menggantikan kritikan terhadap dirinya dengan memberikan respon yang lebih baik. Ia dapat memberikan rasa aman dan perlindungan kepada dirinya dan menyadari bahwa kekurangan dan ketidaksempurnaan merupakan bagian dari kehidupan. Ia lebih terhubung dengan orang lain yang juga memiliki kekurangan
(36)
Universitas Kristen Maranatha dan kerentanan. Pada waktu yang bersamaan, ia bisa melepaskan keinginannya untuk menjadi lebih baik daripada orang lain, sehingga ia bisa melihat kekurangan atau kegagalan yang dihadapi secara objektif, tanpa menghindari atau melebih-lebihkan hal itu.
Perawat rawat inap rumah sakit “X” dengan self-compassion rendah, akan terus-menerus mengkritik diri secara berlebihan saat mengalami kegagalan atau saat menghadapi kekurangan dirinya dalam kehidupannya, misalnya saat menolong atau merawat pasien. Ia hanya memperhatikan kekurangannya tanpa memperhatikan kelebihan yang dimiliki, sehingga ia memiliki pandangan yang sempit bahwa hanya dirinya yang memiliki kekurangan dan menghadapi kegagalan. Ia juga menghindar dari kekurangan yang dimiliki atau kegagalan yang dihadapi agar tidak terus-menerus merasakan perasaan sedih atau kecewa. Ia juga dapat melebih-lebihkan kegagalan yang dihadapi dengan fokus pada kegagalan yang akan ia hadapi di masa lalu, tanpa memperhatikan kegagalan yang ia hadapi saat ini.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat disusun dalam bagan sebagai berikut:
(37)
Universitas Kristen Maranatha 1.1.Bagan Kerangka Pikir
Bagan 1.5 Kerangka Pikir
Tinggi Self - Compassion
Rendah Mindfulness
Common Humanity
Self-Kindness
Perawat Rawat Inap Rumah Sakit
“X” Bandung
Faktor- faktor yang mempengaruhi: 1. Faktor Internal
• Personality
• Compassion for other • Jenis kelamin
2. Faktor Eksternal • The role of parent
- Attachment - Maternal critism - Modeling of parents • The role of culture
(38)
Universitas Kristen Maranatha
1.6 Asumsi Penelitian
• Self-compassion pada perawat rawat inap rumah sakit “X” terdiri dari komponen self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Jika perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat yang tinggi dalam ketiga komponen, maka perawat rawat inap rumah sakit “X” memiliki derajat self-compassion yang tinggi.
• Perawat rawat inap rumah sakit “X” dalam menjalankan keperawatan membutuhkan self-compassion untuk dapat memberikan compassion for other secara penuh kepada orang lain, khususnya kepada pasien.
• Self-compassion perawat rawat inap rumah sakit “X” dipengaruhi oleh faktor internal yaitu personality, compassion for other dan jenis kelamin pada perawat rawat inap rumah sakit “X”, serta faktor eksternal yaitu role of parent yang terdiri dari attachment, maternal critism, dan modeling parent dari orang tua perawat rawat inap rumah sakit “X”, serta dipengaruhi oleh role of culture.
• Perawat rawat inap rumah sakit “X” dapat memiliki derajat self-compassion yang bervariasi.
(39)
93 Universitas Kristen Maranatha 5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 140 perawat rawat inap rumah sakit “X”, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Perawat rawat inap rumah sakit “X” sebagian besar memiliki derajat
self-compassion yang tinggi.
2. Perawat rawat inap rumah sakit “X” sebagian besar memiliki derajat self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang tinggi.
3. Derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dipengaruhi oleh extroversion, conscientiousness, dan neuroticism. Semakin tinggi derajat extroversion dan conscientiousneess, maka semakin tinggi derajat self-compassion. Semakin rendah derajat neuroticism, maka semakin tinggi derajat self-compassion.
4. Derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dipengaruhi oleh maternal support dan secure attachment. Semakin tinggi derajat maternal support dan secure attachment, maka semakin tinggi derajat self-compassion.
5. Faktor budaya collectivism memengaruhi derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X”. Semakin collectivism budaya pada perawat rawat inap rumah sakit “X”, semakin tinggi derajat self-compassion.
(40)
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi, khususnya maternal criticism.
2. Peneliti lain dengan jumlah sampel cukup banyak disarankan untuk menambahkan pertanyaan open question tentang faktor-faktor yang memengaruhi, agar memperoleh data yang lebih mendalam.
3. Peneliti lain dengan jumlah sampel yang lebih sedikit, disarankan untuk melakukan metode pengambilan data dengan wawancara dalam menjaring data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion, selain menggunakan metode pembagian kuesioner, agar memperoleh data yang lebih mendalam.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi perawat rawat inap rumah sakit “X” yang memiliki derajat self-compassion rendah disarankan untuk dapat lebih membuka diri dan berbagi cerita dengan teman atau orang-orang terdekatnya agar dapat memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” dapat melihat bahwa pada umumnya setiap orang pernah mengalami kegagalan yang membuat perawat
(41)
Universitas Kristen Maranatha bisa lebih menerima kegagalan, dapat mengendalikan emosinya, dan lebih menyayangi dirinya sendiri.
2. Bagi keluarga perawat rawat inap rumah sakit “X” disarankan untuk mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dari perawat rawat inap rumah sakit “X” sebelum menegur mereka atas kesalahan yang dilakukan, khususnya dalam kegiatan keperawatan. Jika perawat melakukan kesalahan, akan lebih baik apabila memberi penjelasan sebelum memberikan hukuman atau konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan oleh perawat rawat inap rumah sakit “X”. Selain itu, keluarga juga disarankan untuk memberi pujian, disamping memberikan kritikan kepada perawat.
3. Bagi kepala perawat rawat inap rumah sakit “X” disarankan untuk menyediakan sarana bagi perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk berdiskusi, berkonsultasi, dan membicarakan permasalahan yang mereka hadapi, baik permasalahan pekerjaan maupun permasalahan pribadi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempertahankan derajat self-compassion pada perawat rawat inap rumah sakit “X”.
(42)
96 Universitas Kristen Maranatha Arikunto. Suharsimi. 2011. Manajemen Penelitian. Cetakan XI. Jakarta: Rineka
Cipta.
Barnard, Laura K. & John F. Curry. 2011. Self Compassion: Conceptualization, Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.
Damayanti, Denidya. 2013. Buku Pintar Perawat Profesional Teori & Praktik Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Mantra Books.
Hasyim, Masruroh & Joko Prasetyo. 2012. Etika Keperawatan. Yogyakarta: Bangkit.
Heffernan M, Quinn Griffin M.T, McNulty S.R, Fitzpatrick J.J. 2010. Self Compassion and Emotional Intelligence in Nurses, 366-373. International Journal of Nursing Practice.
Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.
Mariyanti, Sulis. 2011. Burnout Pada Perawat yang Bertugas di Ruang Rawat Inap dan Rawat Jalan RSAB Harapan Kita, Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul.
Mastuti, Endah. 2005. Analisis Faktor Alat Ukur Kepribadian Big Five (Adaptasi dari IPIP) pada Mahasiswa Suku Jawa, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 85-101. Psychology Press.
__________. 2009. Self-Compassion. In M.R Leary & R.H Hoyle (Eds). Handbook of Individual Differences in Social Behaviour, 561-573. New York: Guilford Press.
__________. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publisher. Neff, Kristin dan Pittman McGehee. 2009. Identity, 225-240.
Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Psychological Press.
(43)
Universitas Kristen Maranatha Neff, Kristin D.; Pisitsungkagarn, Kullaya; Hsieh, Ya-Ping. 2008.
Self-Compassion and Self-Construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology.
Rammstedt, Beatrice & John, Oliver P. 2006. Measuring Personality in One Minute or Less: a 10 Item Short Version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality.
Santrock. 2002. Life Span Development. Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik, M.S.W. Edisi V. Jakarta: Erlangga.
_______. 2003. Adolescent. Diterjemahkan oleh Dra. Shinto B. Adelar, M.Sc & Sherly Saragih S.Psi. Jakarta: Erlangga.
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII. Bandung: Rosda.
Wulan, Kencana & M. Hastuti. 2011. Pengantar Etika Keperawatan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
(44)
98 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Researcher. ( http://www.self-compassion.org, diakses 20 Desember 2012)
Anonim. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Anonim. 2010. Definition of Nursing. ( http://www.icn.ch/about-icn/icn-definition-of-nursing/, diakses 13 Desember 2012).
(1)
93 Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang self-compassion pada 140 perawat rawat inap rumah sakit “X”, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Perawat rawat inap rumah sakit “X” sebagian besar memiliki derajat
self-compassion yang tinggi.
2. Perawat rawat inap rumah sakit “X” sebagian besar memiliki derajat self-kindness, common humanity, dan mindfulness yang tinggi.
3. Derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dipengaruhi oleh extroversion, conscientiousness, dan neuroticism. Semakin tinggi derajat extroversion dan conscientiousneess, maka semakin tinggi derajat self-compassion. Semakin rendah derajat neuroticism, maka semakin tinggi derajat self-compassion.
4. Derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X” dipengaruhi oleh maternal support dan secure attachment. Semakin tinggi derajat maternal support dan secure attachment, maka semakin tinggi derajat self-compassion.
5. Faktor budaya collectivism memengaruhi derajat self-compassion yang tinggi pada perawat rawat inap rumah sakit “X”. Semakin collectivism budaya pada perawat rawat inap rumah sakit “X”, semakin tinggi derajat self-compassion.
(2)
Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoritis
1. Bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai self-compassion, disarankan untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara self-compassion dengan faktor-faktor yang memengaruhi, khususnya maternal criticism.
2. Peneliti lain dengan jumlah sampel cukup banyak disarankan untuk menambahkan pertanyaan open question tentang faktor-faktor yang memengaruhi, agar memperoleh data yang lebih mendalam.
3. Peneliti lain dengan jumlah sampel yang lebih sedikit, disarankan untuk melakukan metode pengambilan data dengan wawancara dalam menjaring data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi self-compassion, selain menggunakan metode pembagian kuesioner, agar memperoleh data yang lebih mendalam.
5.2.2 Saran Praktis
1. Bagi perawat rawat inap rumah sakit “X” yang memiliki derajat self-compassion rendah disarankan untuk dapat lebih membuka diri dan berbagi cerita dengan teman atau orang-orang terdekatnya agar dapat memiliki sudut pandang yang lebih luas terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Dengan demikian, perawat rawat inap rumah sakit “X” dapat melihat bahwa pada umumnya setiap orang pernah mengalami kegagalan yang membuat perawat
(3)
95
Universitas Kristen Maranatha bisa lebih menerima kegagalan, dapat mengendalikan emosinya, dan lebih menyayangi dirinya sendiri.
2. Bagi keluarga perawat rawat inap rumah sakit “X” disarankan untuk mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dari perawat rawat inap rumah sakit “X” sebelum menegur mereka atas kesalahan yang dilakukan, khususnya dalam kegiatan keperawatan. Jika perawat melakukan kesalahan, akan lebih baik apabila memberi penjelasan sebelum memberikan hukuman atau konsekuensi atas kesalahan yang dilakukan oleh perawat rawat inap rumah sakit “X”. Selain itu, keluarga juga disarankan untuk memberi pujian, disamping memberikan kritikan kepada perawat.
3. Bagi kepala perawat rawat inap rumah sakit “X” disarankan untuk menyediakan sarana bagi perawat rawat inap rumah sakit “X” untuk berdiskusi, berkonsultasi, dan membicarakan permasalahan yang mereka hadapi, baik permasalahan pekerjaan maupun permasalahan pribadi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan mempertahankan derajat self-compassion pada perawat rawat inap rumah sakit “X”.
(4)
96 Universitas Kristen Maranatha Arikunto. Suharsimi. 2011. Manajemen Penelitian. Cetakan XI. Jakarta: Rineka
Cipta.
Barnard, Laura K. & John F. Curry. 2011. Self Compassion: Conceptualization, Correlates, & Interventions. American Psychological Assosiation.
Damayanti, Denidya. 2013. Buku Pintar Perawat Profesional Teori & Praktik Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Mantra Books.
Hasyim, Masruroh & Joko Prasetyo. 2012. Etika Keperawatan. Yogyakarta: Bangkit.
Heffernan M, Quinn Griffin M.T, McNulty S.R, Fitzpatrick J.J. 2010. Self Compassion and Emotional Intelligence in Nurses, 366-373. International Journal of Nursing Practice.
Kumar, Ranjit. 2010. Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Edisi ke-3. London: Sage Publication.
Mariyanti, Sulis. 2011. Burnout Pada Perawat yang Bertugas di Ruang Rawat Inap dan Rawat Jalan RSAB Harapan Kita, Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul.
Mastuti, Endah. 2005. Analisis Faktor Alat Ukur Kepribadian Big Five (Adaptasi dari IPIP) pada Mahasiswa Suku Jawa, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga.
Neff, Kristin. 2003. Self-Compassion: An Alternative Conceptualization of a Healthy Attitude Toward Oneself. Self and Identity, 85-101. Psychology Press.
__________. 2009. Self-Compassion. In M.R Leary & R.H Hoyle (Eds). Handbook of Individual Differences in Social Behaviour, 561-573. New York: Guilford Press.
__________. 2011. Self-Compassion. New York: Harper Collins Publisher. Neff, Kristin dan Pittman McGehee. 2009. Identity, 225-240.
Self-Compassion and Psychological Resilience Among Adolescents and Young Adults. Psychological Press.
(5)
97
Universitas Kristen Maranatha Neff, Kristin D.; Pisitsungkagarn, Kullaya; Hsieh, Ya-Ping. 2008.
Self-Compassion and Self-Construal in the United States, Thailand, and Taiwan. Journal of Cross-Cultural Psychology.
Rammstedt, Beatrice & John, Oliver P. 2006. Measuring Personality in One Minute or Less: a 10 Item Short Version of the Big Five Inventory in English and German. Journal of Research in Personality.
Santrock. 2002. Life Span Development. Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi, S.Psi & Drs. Juda Damanik, M.S.W. Edisi V. Jakarta: Erlangga.
_______. 2003. Adolescent. Diterjemahkan oleh Dra. Shinto B. Adelar, M.Sc & Sherly Saragih S.Psi. Jakarta: Erlangga.
Soehartono, Irawan. 2011. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya, Cetakan VIII. Bandung: Rosda.
Wulan, Kencana & M. Hastuti. 2011. Pengantar Etika Keperawatan. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya.
(6)
98 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
Neff, Kristin. 2009a. Self Compassion Scale for Researcher. (http://www.self-compassion.org, diakses 20 Desember 2012)
Anonim. 2009. Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Anonim. 2010. Definition of Nursing. (http://www.icn.ch/about-icn/icn-definition-of-nursing/, diakses 13 Desember 2012).