Identifikasi Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD) pada Peternakan Sapi Friesian-Holstein di Jawa-Bali

2

LYDIA ULFAH HERODITA. Identifikasi Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD) pada
Peternakan Sapi Friesian'Holstein (FH) di Jawa'Bali. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH
dan CECE SUMANTRI.
Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD) atau sindrom granulosipati merupakan
penyakit genetik akibat adanya gen resesif autosomal pada sapi. Defisiensi ini pada sapi bersifat
lethal atau mati dini. Mutasi titik pada nukleotida 383 gen CD18 menyebabkan defisiensi β2'
integrin pada sel darah putih yang akan menyebabkan berkurangnya jumlah protein yang
berperan dalam penempelan sel darah putih pada dinding vaskular untuk masuk kedalam jaringan
yang terserang patogen. Kelainan ini bersifat resesif. Penelitian ini bertujuan mengetahui
frekuensi alel subunit CD18 yang menyebabkan BLAD pada sapi Friesian'Holstein (FH) dari
peternakan di Jawa'Bali menggunakan metode PCR'RFLP. Sebanyak 965 sampel telah
diekstraksi dan diisolasi DNAnya. Ruas gen CD18 ekson 2 kromosom 1 berhasil diamplifikasi
secara in vitro dengan panjang 106 pb. Analisis RFLP terhadap amplikon CD18 dengan enzim
pemotong HaeIII menunjukkan hasil monomorfik, hal ini dapat diartikan bahwa 100% sampel
yang telah diidentifikasi memiliki genotipe homozigot dominan ( ) sehingga frekuensi alel
sebesar 1 dan alel sebesar 0. Deteksi dini kelainan genetik BLAD perlu dilakukan terutama
pada sapi perah pejantan bibit unggul untuk mencegah penyebaran kelainan genetik tersebut.

LYDIA ULFAH HERODITA. Identification of Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD)

on Holstein'Friesian cattle in Java ' Bali. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and CECE
SUMANTRI.
Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency (BLAD) or granulocyphaty syndrome is genetic
disorder cause of autosomal resesif gene in cattle. This deficiency in cattle is lethal or died in early
life. Point mutation at nucloetide 383 of CD 18 gene cause disorder deficiency β2'integrine
molecule on the surface of leukocyte, in that decreasing the ability leukocytes into vascular and
enter the infected tissues. It is a resesif disorder. The objective of this study is to know frequency
allele CD 18'subunit cause BLAD in Holstein'Friesian(HF) cattle from Java'Bali using PCR'
RFLP methode. Have to much from 965 samples already DNA extracton and isolation.
Chromosome 1 exon 2 internode CD 18 gene was succesfull amplified with lenght 106 bp. RFLP
analysis to CD 18 amplicon with restriction enzyme Hae III indicate result monomorf, that make
sense 100% samples have homozygote dominan genotipe ( ) with the result that frequency of
allele is 1 and for allele is 0. Earlier detection genetic disorder BLAD haved to do especially to
male superior bovine or female superior can reduce genetic disorder.

9

%/% ,'%3%.0
Kelainan genetik merupakan salah satu
kelainan pada ternak yang disebabkan oleh

mutasi pada material genetik. Jika ekspresi
mutan dalam keadaan heterozigot maka
penampilannya tampak normal, keadaan itu
disebut sebagai karier, sehingga homozigot
resesif yang merugikan dapat muncul
sewaktu'waktu jika terjadi perkawinan antar
individu heterozigot. Kelainan genetik ini
mudah menyebar, mengikuti inseminasi
buatan.
Inseminasi buatan (IB) membutuhkan
jantan unggul yang telah diseleksi, unggul
dalam hal ini hanya berdasarkan karakter
unggulnya, misal bobot badan atau produksi
susu yang lama kelamaan seleksi hanya terjadi
pada sifat unggulnya sehingga muncul mutasi.
Mutasi terjadi pada satu alel dan bersifat
resesif yang tertutupi oleh alel pasangannya
yang normal. Setiap karakter dikendalikan
oleh sepasang faktor (hukum mendel) yang
memiliki hubungan dominan'resesif.

Pejantan'pejantan unggul hasil seleksi
untuk inseminasi buatan (IB) ternyata ada
diantaranya
yang
heterozigot
yang
menyebabkan bovine leukocyte adhesion
deficiency (BLAD). Mutasi tersebut tidak
tampak dan tidak mudah diketahui karena
bersifat resesif yang tertutupi oleh sifat'sifat
unggul lainnya. Inseminasi buatan dilakukan
untuk menghindari terjadinya inbreeding dan
untuk peningkatan mutu genetik sapi perah
FH yaitu penyebaran gen'gen unggul yang
memiliki kemampuan produksi susu dan
ketahanan terhadap penyakit.
Pertama kali BLAD diketahui di Amerika
Utara yang kemudian menyebar ke negara'
negara lainnya (Patel et al. 2007).
Diterangkan oleh Olson (2002) dalam Čítek

and Bláhová (2004) bahwa pejantan yang
diketahui berperan sebagai sumber gen mutan
penyebab BLAD adalah pejantan unggul yang
bernama Carlin'M Ivanhoe Bell berasal dari
Amerika Utara. Bell mendapatkan warisan
gen mutan dari kakeknya (Osborndale
Ivanhoe, lahir 1952) yang mewariskannya ke
induk jantan dari Bell (Pennstate Ivanhoe Star,
lahir tahun1963).
Bovine Leukocyte Adhesion Deficiency
(BLAD)
atau
sindrom
granulosipati
merupakan penyakit genetik akibat adanya
gen resesif autosomal pada sapi (Paape et al.
2003). Defisiensi ini pada sapi bersifat lethal
atau mati dini karena sel darah putih tidak
mampu menempel pada dinding vaskular.


Kemampuan sel'sel darah putih menempel ke
dinding vaskular salah satunya diatur oleh gen
CD18.
Mutasi titik gen CD18 pada nukleotida
383 menyebabkan substitusi asam aspartat
menjadi glisin pada asam amino 128
(D128G). Sapi yang memiliki gen homozigot
resesif akan mengalami BLAD sedangkan
sapi yang memiliki gen heterozigot akan
menjadi karier. Mutasi lain juga terjadi pada
nukleotida 775 namun bersifat silent (tidak
berekspresi) (Čítek & Bláhová, 2004). Mutasi
pada nukleotida 383 menyebabkan sapi
penderita BLAD mengalami penurunan
jumlah ekspresi β2 heterodimeric integrin pada
permukaan sel darah putihnya (Čítek and
Bláhová, 2004).
Integrin adalah molekul adhesi yang
terlibat
dalam

mekanisme
)%2, ,4)4
.,-/ *+)' keluar dari pembuluh darah ke
dalam jaringan untuk membunuh patogen
yang masuk ke dalam tubuh (Shuster et al.,
1992). Tanpa β2 heterodimeric integrin, sel
darah putih tidak mampu masuk ke jaringan
tubuh dan menghancurkan patogen (Shuster et
al. 1992). Sehingga patogen akan hidup terus
dalam jaringan tubuh yang akan menyebabkan
ternak mati dini ketika dilahirkan.
Sapi yang menderita BLAD mengalami
kerusakan pada aktivitas kemotaktis dan
pagositis sel'sel darah putihnya yaitu pada β2'
integrin (Paape et al. 2003) sehingga mudah
terinfeksi bakteri, luka lama sembuh,
pertumbuhan terhambat (Nagahata et al. 1997;
Ribeiro et al. 2000) dan seringkali mati pada
usia muda (Perkins 2001). Hal tersebut bisa
mempengaruhi kelangsungan peternakan sapi

perah terutama di negara berkembang seperti
Indonesia. Dampak nasional yang bisa
dirasakan adalah turunnya produksi susu
nasional.
Frekuensi ternak sapi FH yang bersifat
sebagai karier BLAD di beberapa negara
cukup tinggi. Di Indonesia sudah ada laporan
penelitian mengenai BLAD di daerah
Baturraden pada sapi FH (Muttaqin 2007).
Penelitian mengenai kasus ini di Indonesia
masih perlu dilakukan di daerah lain. Hal ini
dikarenakan sumber sapi FH yang ada di
Indonesia merupakan hasil impor dari luar
yang sangat terbuka sekali peluang adanya
gen mutan penyebab BLAD.
-&-%.
Penelitian ini bertujuan mengetahui
frekuensi
alel
subunit

CD18
yang
menyebabkan BLAD pada peternakan sapi
Friesian'Holstein di Jawa'Bali.

10

%3/- %. ,$2%/
Penelitian dilaksanakan sejak bulan
Desember 2008 hingga Mei 2009 di
Laboratorium Fungsi Hayati dan Perilaku
Hewan Departemen Biologi, FMIPA ' IPB.

%#%.
Sampel darah sapi perah FH yang
digunakan berasal dari pusat pembibitan
pemerintah dan peternakan sapi perah rakyat
sebanyak 965 sampel.
Sampel yang berasal dari pusat pembibitan
pemerintah meliputi 5 lokasi yaitu Balai Besar

Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari – Jawa
Timur (32)2, Balai Inseminasi Buatan (BIB)
Lembang – Jawa Barat (30)1, Balai
Pembibitan
Ternak
Unggul
(BPTU)
Baturraden – Jawa Tengah (97)1, Balai
Embrio Transfer (BET) Cipelang – Jawa
Barat (57)2, Balai Pengembangan Pembibitan
Ternak Sapi Perah (BPPT'SP) Cikole – Jawa
Barat (88)2.
Sampel yang berasal dari peternakan sapi
perah rakyat meliputi 14 lokasi yaitu
Peternakan Fakultas Peternakan (FAPET –
IPB) – Jawa Barat (17) 2, Ngantang – Jawa
Timur (47)2, Boyolali – Jawa Tengah (49)2,
Koperasi Peternakan Susu Bandung Utara
(KPSBU) Cilumber – Jawa Barat (98)2,
KPSBU Pasar Kemis – Jawa Barat (95)2,

Lembang – Jawa Barat (34)1, Pondok
Rangoon – Jakarta (32)1, PT. Puri Purnama
Bangli – Bali (51)3, KPS Kunak – Bogor
(44)2, Koperasi Peternakan Susu Bandung
Selatan (KPBS) Pengalengan – Bandung
(55)2, KPS Gunung Gede ' Sukabumi (53)2,
Yayasan Tsukisima Among Tani – Sukabumi
(24)2, Peternakan Rakyat Tulung Agung (17)2,
Peternakan Rakyat Malang (45)2.
1.
2.
3.

Koleksi Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
(2002, 2004, 2006, 2007 FAPET IPB),
Koleksi Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M. Sc.
Koleksi yang dilakukan pada penelitian ini.

,/* ,
,.0%$5)'%. 4%$2,'! Pengambilan darah

yang dijadikan sebagai sumber DNA
dilakukan pada leher (vena jugularis) atau
pada vena kogsigialis di pangkal ekor bagian
bawah (dekat anus) menggunakan tabung
vakum (vaccutainer) dengan jarum venoject.
Kemudian sampel darah diawetkan dalam
alkohol 95% sampai dikerjakan lebih lanjut.
Setiap sapi yang disampling, harus dilengkapi

dengan sejarah induk, asal bibit dan sifat'sifat
produksi yang lain.
34/ %34)
! Ekstraksi dan isolasi
DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA
Mini Kit for Fresh Blood (GeneAid) yang
dimodifikasi. Modifikasi dilakukan untuk
membuang etanol dari sampel dan melisis sel
menggunakan proteinase K.
Sebanyak ± 200 Ol sampel darah dalam
etanol diendapkan dengan disentrifuse pada
kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Endapan
sel dicuci 2 kali dengan bufer yang
mengandung Tris 10mM, EDTA 10mM, pH 8
untuk membersihkan sisa'sisa etanol. Endapan
sel'sel darah kemudian disuspensikan dalam
bufer 350 Ol. Sel'sel darah dilisis dengan
sodium dodesil sulfat 1% dan proteinase'K
0,125 mg/ml. Pelisisan dilakukan dalam
inkubator pada suhu 550C selama 2 jam
sambil dikocok pelan. Tahap berikutnya
mengikuti metode standar Genomic DNA Mini
Kit for Fresh Blood (GeneAid) (Lampiran 1).
Beberapa sampel yang lainnya diekstraksi
dengan menggunakan metode manual
berdasarkan Sambrook et al (1989) yang telah
dimodifikasi. Sebanyak ± 300 Ol sampel darah
dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml kemudian
disentrifuse 3500 rpm selama 5 menit.
Endapan sel yang diperoleh dicuci dengan
bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH
8,00), kemudian diendapkan lagi. Endapan sel
disuspensikan dalam bufer 1x STE, kemudian
dilisis dengan SDS 1% dan proteinase'K 0,25
mg/ml. Proses pelisisan dilakukan dalam
inkubator bersuhu 55oC selama 2 jam sambil
dikocok pelan menggunakan rotator. Tahap
selanjutnya adalah memisahan DNA dari
bahan organik lainnya dengan menambahkan
40 ul larutan NaCl 5M, 400ul larutan phenol,
dan 400ul CIAA (kloroform : isoamilalkohol
= 24 : 1) dan dikocok pelan pada suhu ruang
selama 2 jam. Selanjutnya, campuran tersebut
disentrifuse 7000 rpm selama 5 menit.
Supernatan
yang
mengandung
DNA
dipindahkan ke tabung baru dalam volume
terukur untuk dilakukan pemurnian DNA
dengan metode pengendapan alkohol yaitu
menambahkan 2x volume alkohol absolut dan
1/10x volume 5M NaCl lalu dinkubasi dalam
freezer minimal 2 jam. Molekul DNA
dipisahkan dari alkohol absolut dengan cara
disentrifuse 7000 rpm selama 10 menit.
Supernatan dibuang dan endapan DNA dicuci
dengan alkohol 70%. Endapan DNA yang
telah murni kemudian disuspensikan dalam
80ul bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH
8,00).

10

%3/- %. ,$2%/
Penelitian dilaksanakan sejak bulan
Desember 2008 hingga Mei 2009 di
Laboratorium Fungsi Hayati dan Perilaku
Hewan Departemen Biologi, FMIPA ' IPB.

%#%.
Sampel darah sapi perah FH yang
digunakan berasal dari pusat pembibitan
pemerintah dan peternakan sapi perah rakyat
sebanyak 965 sampel.
Sampel yang berasal dari pusat pembibitan
pemerintah meliputi 5 lokasi yaitu Balai Besar
Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari – Jawa
Timur (32)2, Balai Inseminasi Buatan (BIB)
Lembang – Jawa Barat (30)1, Balai
Pembibitan
Ternak
Unggul
(BPTU)
Baturraden – Jawa Tengah (97)1, Balai
Embrio Transfer (BET) Cipelang – Jawa
Barat (57)2, Balai Pengembangan Pembibitan
Ternak Sapi Perah (BPPT'SP) Cikole – Jawa
Barat (88)2.
Sampel yang berasal dari peternakan sapi
perah rakyat meliputi 14 lokasi yaitu
Peternakan Fakultas Peternakan (FAPET –
IPB) – Jawa Barat (17) 2, Ngantang – Jawa
Timur (47)2, Boyolali – Jawa Tengah (49)2,
Koperasi Peternakan Susu Bandung Utara
(KPSBU) Cilumber – Jawa Barat (98)2,
KPSBU Pasar Kemis – Jawa Barat (95)2,
Lembang – Jawa Barat (34)1, Pondok
Rangoon – Jakarta (32)1, PT. Puri Purnama
Bangli – Bali (51)3, KPS Kunak – Bogor
(44)2, Koperasi Peternakan Susu Bandung
Selatan (KPBS) Pengalengan – Bandung
(55)2, KPS Gunung Gede ' Sukabumi (53)2,
Yayasan Tsukisima Among Tani – Sukabumi
(24)2, Peternakan Rakyat Tulung Agung (17)2,
Peternakan Rakyat Malang (45)2.
1.
2.
3.

Koleksi Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc
(2002, 2004, 2006, 2007 FAPET IPB),
Koleksi Dr. Ir. R. R. Dyah Perwitasari, M. Sc.
Koleksi yang dilakukan pada penelitian ini.

,/* ,
,.0%$5)'%. 4%$2,'! Pengambilan darah
yang dijadikan sebagai sumber DNA
dilakukan pada leher (vena jugularis) atau
pada vena kogsigialis di pangkal ekor bagian
bawah (dekat anus) menggunakan tabung
vakum (vaccutainer) dengan jarum venoject.
Kemudian sampel darah diawetkan dalam
alkohol 95% sampai dikerjakan lebih lanjut.
Setiap sapi yang disampling, harus dilengkapi

dengan sejarah induk, asal bibit dan sifat'sifat
produksi yang lain.
34/ %34)
! Ekstraksi dan isolasi
DNA dilakukan menggunakan Genomic DNA
Mini Kit for Fresh Blood (GeneAid) yang
dimodifikasi. Modifikasi dilakukan untuk
membuang etanol dari sampel dan melisis sel
menggunakan proteinase K.
Sebanyak ± 200 Ol sampel darah dalam
etanol diendapkan dengan disentrifuse pada
kecepatan 3500 rpm selama 5 menit. Endapan
sel dicuci 2 kali dengan bufer yang
mengandung Tris 10mM, EDTA 10mM, pH 8
untuk membersihkan sisa'sisa etanol. Endapan
sel'sel darah kemudian disuspensikan dalam
bufer 350 Ol. Sel'sel darah dilisis dengan
sodium dodesil sulfat 1% dan proteinase'K
0,125 mg/ml. Pelisisan dilakukan dalam
inkubator pada suhu 550C selama 2 jam
sambil dikocok pelan. Tahap berikutnya
mengikuti metode standar Genomic DNA Mini
Kit for Fresh Blood (GeneAid) (Lampiran 1).
Beberapa sampel yang lainnya diekstraksi
dengan menggunakan metode manual
berdasarkan Sambrook et al (1989) yang telah
dimodifikasi. Sebanyak ± 300 Ol sampel darah
dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml kemudian
disentrifuse 3500 rpm selama 5 menit.
Endapan sel yang diperoleh dicuci dengan
bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH
8,00), kemudian diendapkan lagi. Endapan sel
disuspensikan dalam bufer 1x STE, kemudian
dilisis dengan SDS 1% dan proteinase'K 0,25
mg/ml. Proses pelisisan dilakukan dalam
inkubator bersuhu 55oC selama 2 jam sambil
dikocok pelan menggunakan rotator. Tahap
selanjutnya adalah memisahan DNA dari
bahan organik lainnya dengan menambahkan
40 ul larutan NaCl 5M, 400ul larutan phenol,
dan 400ul CIAA (kloroform : isoamilalkohol
= 24 : 1) dan dikocok pelan pada suhu ruang
selama 2 jam. Selanjutnya, campuran tersebut
disentrifuse 7000 rpm selama 5 menit.
Supernatan
yang
mengandung
DNA
dipindahkan ke tabung baru dalam volume
terukur untuk dilakukan pemurnian DNA
dengan metode pengendapan alkohol yaitu
menambahkan 2x volume alkohol absolut dan
1/10x volume 5M NaCl lalu dinkubasi dalam
freezer minimal 2 jam. Molekul DNA
dipisahkan dari alkohol absolut dengan cara
disentrifuse 7000 rpm selama 10 menit.
Supernatan dibuang dan endapan DNA dicuci
dengan alkohol 70%. Endapan DNA yang
telah murni kemudian disuspensikan dalam
80ul bufer TE (Tris 10mM, EDTA 10mM, pH
8,00).

11

%$2,'! Satu pool DNA sampel
terdiri dari 6'10 sampel DNA dengan
konsentrasi yang terukur. Beberapa sampel
(antara 6'10 sampel) dengan proporsi yang
sama dicampur menjadi satu sampel. Untuk
menjamin kepastian semua sampel DNA
tercampur rata maka pool diinkubasi 370C
selama satu jam.
Metode pool DNA merupakan metode
yang sangat praktis untuk mengurangi
besarnya biaya dalam proses deteksi kelainan
genetik ini, karena salah satu masalah dalam
melakukan deteksi penyakit ini adalah
besarnya jumlah sampel dan peluang
munculnya kelainan tersebut relatif kecil.
Pool
DNA
sampel
adalah
metode
pengelompokan DNA hasil ekstraksi dari
sampel yang digunakan menjadi satu sampel
(pool). Pool DNA ini kemudian dianalisis
lebih lanjut dan jika dalam pool DNA sampel
ditemui mutan, maka semua anggota pool
tersebut diperiksa satu persatu (Mahfud 2009).
Dengan demikian waktu deteksi lebih singkat
(Churchill et al. 1993), hasil deteksi lebih
cepat diketahui dan akurat.
$2')+)3%4)
! Amplifikasi gen CD18
dilakukan secara in vitro melalui teknik PCR'
DNA dengan menggunakan forward primer
5´'TCA ACG TGA CCT TCC GGA GG'3´
dan reverse primer 5´'CCC AGA TTC TTG
ACG TTG AC'3´ sama dengan primer yang
digunakan Zsolnai & Fesus (1996). Reaksi
PCR dilakukan dalam volume 25 Ol yang
terdiri atas 100 ng DNA sapi FH, campuran
dNTP masing'masing 120OM, MgCl2 100OM,
dan Taq polymerase 1 unit beserta bufernya
(RBC) dan masing'masing primer 1OM.
Reaksi PCR berlangsung dalam mesin
thermocycler TaKaRa PCR Thermal Cycler
MP4 dengan kondisi yang telah diatur yaitu
pradenaturasi pada suhu 94oC selama 5 menit
yang dilanjutkan dengan 30 siklus (denaturasi
94oC selama 1 menit, annealing atau
penempelan primer pada suhu 57oC selama 1
menit, dan ekstensi DNA yaitu pemanjangan
primer atau polimerase pada suhu 72oC
selama 1 menit), dan diakhiri dengan ekstensi
akhir DNA pada suhu 72oC selama 10 menit.
,/,34) $-/%4)! Deteksi mutasi gen CD18
alel D128G pada nukleotida 383 dilakukan
melalui teknik RFLP menggunakan enzim
restriksi endonuklease HaeIII (GG↓CC)
(Čítek & Bláhová 2004, Shuster et al. 1992,
Zsolnai dan Fésüs 1996). Hasil amplifikasi
sampel yang mengalami mutasi akan
terpotong pada asam amino 128 (D128G)
menyebabkan substitusi asam aspartat
menjadi glisin. Sedangkan sampel yang

normal tidak akan terpotong oleh enzim
HaeIII karena tidak memiliki situs pemotong.
Mutasi lain juga terjadi pada nukleotida 775
namun bersifat silent (tidak berekspresi)
(Čítek & Bláhová, 2004). Sebanyak 3 ul
produk PCR dicampur dengan 0,4 ul bufer
enzim HaeIII, 0,3 ul enzim HaeIII, dan 0,3 ul
air steril. Campuran tersebut diinkubasi pada
suhu 38oC selama semalam.
Jika produk PCR yang dipotong dengan
enzim HaeIII menghasilkan potongan pita
DNA sebesar 21 pb dan 85 pb berarti tidak
mengalami mutasi (sapi normal, homozigot
DD). Jika produk PCR yang dipotong dengan
enzim HaeIII menghasilkan potongan pita
DNA sebesar 21 pb, 19 pb, dan 66 pb berarti
terjadi mutasi basa
digantikan
(sapi
BLAD, homozigot resesif dd). Sedangkan jika
produk PCR yang dipotong dengan enzim
HaeIII menghasilkan potongan pita DNA
sebesar 21 pb, 19 pb, 66 pb dan 85 pb berarti
sapi karier (heterozigot Dd).
Visualisasi produk PCR dan hasil restriksi
dilakukan
menggunakan
metode
polyacrilamide gel electroforesis (PAGE) 6%
yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak
mengikti metode Tegelstrom (1986) yang
dimodifikasi oleh Farajallah et al. (1998).
Modifikasi dilakukan terhadap volume
pereaksi dan optimasi waktu'waktu reaksi.
Elektroforesis dijalankan pada tegangan 180
Volt selama 40 menit dalam bufer 1x TBE
(Tris 0,5 M, asam borat 0,65 M, EDTA 0,02
M).
,6% .%%. 2, %3! Bahan'bahan yang
digunakan dalam pewarnaan perak adalah
larutan fiksasi CTAB 0,1% (b/v), larutan
perak, larutan pengembang dan larutan asam
asetat 0,1% (v/v). Larutan perak dibuat segar
dengan mencampurkan AgNO3 0,23 g , NaOH
10N 10 Ol, dan ammonia 25% 0,8 ml. Larutan
pengembang dibuat dengan mencampurkan
Na2CO3 4 g dan formaldehida 100 Ol dalam
air destilata 200 ml.
.%')4)4 + ,3-,.4) %','. Analisis frekuensi
alel
mutan
dilakukan
dengan
cara
mengurangkan satu dengan banyaknya alel
normal. Alel normal dihitung dari dua kali
sampel normal homozigot ditambah dengan
banyaknya sampel karier kemudian dibagi
dengan dua kali jumlah total sampel yang
teramplifikasi.
Rumus yang digunakan memakai hukum
% 1 ,).5, 0 sebagai berikut:
27

8

9

:7; 2

12

dimana :
p = frekuensi alel normal
q = frekuensi alel mutan/BLAD
DD = jumlah ternak normal
Dd = jumlah ternak carier BLAD
Dd = jumlah ternak mutan/menderita BLAD
N = jumlah seluruh sampel
setelah
terlebih
dahulu
dilakukan
pengelompokan hasil elektroforesis menjadi
tiga kelompok yaitu normal (homozigot
dominan, DD), karier (heterozigot, Dd), dan
menderita BLAD/mutan (homozigot resesif,
dd).
Sebanyak 965 sampel telah diekstraksi dan
diisolasi DNAnya. Ruas gen CD18 ekson 2
kromosom 1 berhasil diamplifikasi secara in
vitro menggunakan pasangan primer RRMB'F
(B11) & RRMB'F (B12) dengan panjang 106
pb (Gambar 1). Persentase keberhasilan
amplifikasi adalah 100% (Lampiran 2).
Analisis RFLP terhadap amplikon CD18
dengan enzim pemotong HaeIII menunjukkan
hasil yang monomorfik. Pita'pita hasil
visualisasi tersebut menggambarkan alel
homozigot normal yang menghasilkan
potongan pita DNA sebesar 21 pb dan 85 pb
(Gambar 2).
;
>
?
<

;

; = 25

Gambar 2 Penampakan pola pita DNA hasil
PCR. Panjang fragmen produk PCR
106 pb. Kolom 1: Marker, kolom 2,
3, 4: produk PCR.
Amplikon yang monomorfik menunjukkan
bahwa tidak terjadi mutasi basa
menjadi

basa , hal ini dapat diartikan bahwa 100%
sampel yang telah diidentifikasi memiliki
genotipe homozigot dominan ( ) sehingga
frekuensi alel sebesar 1 dan alel sebesar
0.
Produk PCR menggunakan BLAD'FW
dan BLAD'RV sesuai dengan Zsolnai dan
Fésüs (1996) menghasilkan ruas DNA sebesar
106 pb. Seluruh sampel yang berhasil
diamplifikasi PCR menghasilkan pita tunggal,
sehingga tidak dapat dibedakan sampel DNA
mana yang menggunakan metode manual
maupun menggunakan DNA'extraction kit.
Beberapa kelebihan menggunakan kit yaitu
waktu kerja yang lebih singkat.
Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA
ditentukan oleh konsentrasi sampel DNA, taq
polymerase, dinukleotida, ion Mg, dan primer
(Muladno 2002). selain itu suhu annealing
juga memegang peranan penting dalam
keberhasilan amplifikasi karena pemanjangan
DNA dimulai dari penempelan primer.
Selanjutnya, 965 produk PCR tersebut
direstriksi dengan menggunakan satu enzim
restriksi yaitu HaeIII (Zsolnai dan Fésüs
1996) untuk mendeteksi adanya mutasi pada
subunit CD18 alel D128G (Lampiran 3).
Teknik visualisai DNA hasil PCR dan Hae
III menggunakan PAGE 6% yang dilanjutkan
dengan pewarnaan perak karena mempunyai
resolusi yang memadai untuk konsentrasi
DNA < 10 ng/pita (Sambrook et al. 1989).
Sedangkan jika menggunakan agarosa dengan
pewarnaan ethidium bromide membutuhkan
konsentrasi DNA > 100 ng/pita.
Semua sampel asal Jawa'Bali (62 ekor
jantan dan 903 betina) yang telah dianalisis
mempunyai genotipe homozigot dominan
yang normal. Dengan begitu frekuensi
sapi pembawa alel BLAD (mutasi pada
CD18) atau heterozigot
di Jawa'Bali
adalah 0%.
Sapi yang bergenotipe
(BLAD) tidak
ditemukan karena sapi yang diambil
darahnya sebagai sampel adalah sapi dewasa.
Hal ini wajar karena sapi dengan genotip
homozigot resesif
akan mengalami
kematian sebelum dewasa (Perkin 2001).

12

dimana :
p = frekuensi alel normal
q = frekuensi alel mutan/BLAD
DD = jumlah ternak normal
Dd = jumlah ternak carier BLAD
Dd = jumlah ternak mutan/menderita BLAD
N = jumlah seluruh sampel
setelah
terlebih
dahulu
dilakukan
pengelompokan hasil elektroforesis menjadi
tiga kelompok yaitu normal (homozigot
dominan, DD), karier (heterozigot, Dd), dan
menderita BLAD/mutan (homozigot resesif,
dd).
Sebanyak 965 sampel telah diekstraksi dan
diisolasi DNAnya. Ruas gen CD18 ekson 2
kromosom 1 berhasil diamplifikasi secara in
vitro menggunakan pasangan primer RRMB'F
(B11) & RRMB'F (B12) dengan panjang 106
pb (Gambar 1). Persentase keberhasilan
amplifikasi adalah 100% (Lampiran 2).
Analisis RFLP terhadap amplikon CD18
dengan enzim pemotong HaeIII menunjukkan
hasil yang monomorfik. Pita'pita hasil
visualisasi tersebut menggambarkan alel
homozigot normal yang menghasilkan
potongan pita DNA sebesar 21 pb dan 85 pb
(Gambar 2).
;
>
?
<

;

; = 25

Gambar 2 Penampakan pola pita DNA hasil
PCR. Panjang fragmen produk PCR
106 pb. Kolom 1: Marker, kolom 2,
3, 4: produk PCR.
Amplikon yang monomorfik menunjukkan
bahwa tidak terjadi mutasi basa
menjadi

basa , hal ini dapat diartikan bahwa 100%
sampel yang telah diidentifikasi memiliki
genotipe homozigot dominan ( ) sehingga
frekuensi alel sebesar 1 dan alel sebesar
0.
Produk PCR menggunakan BLAD'FW
dan BLAD'RV sesuai dengan Zsolnai dan
Fésüs (1996) menghasilkan ruas DNA sebesar
106 pb. Seluruh sampel yang berhasil
diamplifikasi PCR menghasilkan pita tunggal,
sehingga tidak dapat dibedakan sampel DNA
mana yang menggunakan metode manual
maupun menggunakan DNA'extraction kit.
Beberapa kelebihan menggunakan kit yaitu
waktu kerja yang lebih singkat.
Tingkat keberhasilan amplifikasi DNA
ditentukan oleh konsentrasi sampel DNA, taq
polymerase, dinukleotida, ion Mg, dan primer
(Muladno 2002). selain itu suhu annealing
juga memegang peranan penting dalam
keberhasilan amplifikasi karena pemanjangan
DNA dimulai dari penempelan primer.
Selanjutnya, 965 produk PCR tersebut
direstriksi dengan menggunakan satu enzim
restriksi yaitu HaeIII (Zsolnai dan Fésüs
1996) untuk mendeteksi adanya mutasi pada
subunit CD18 alel D128G (Lampiran 3).
Teknik visualisai DNA hasil PCR dan Hae
III menggunakan PAGE 6% yang dilanjutkan
dengan pewarnaan perak karena mempunyai
resolusi yang memadai untuk konsentrasi
DNA < 10 ng/pita (Sambrook et al. 1989).
Sedangkan jika menggunakan agarosa dengan
pewarnaan ethidium bromide membutuhkan
konsentrasi DNA > 100 ng/pita.
Semua sampel asal Jawa'Bali (62 ekor
jantan dan 903 betina) yang telah dianalisis
mempunyai genotipe homozigot dominan
yang normal. Dengan begitu frekuensi
sapi pembawa alel BLAD (mutasi pada
CD18) atau heterozigot
di Jawa'Bali
adalah 0%.
Sapi yang bergenotipe
(BLAD) tidak
ditemukan karena sapi yang diambil
darahnya sebagai sampel adalah sapi dewasa.
Hal ini wajar karena sapi dengan genotip
homozigot resesif
akan mengalami
kematian sebelum dewasa (Perkin 2001).

13

Tabel 2 Persentase ternak karier BLAD hasil uji PCR di beberapa negara
,0% %

%, %#

Amerika
Serikat

California
Iowa
Pennsylvania
Seluruh Amerika

Czech
India

% ),

-4/%3%

-$'%#

@

407
124
756
3584
844

13%
11,3%
9,0%
9,95%
7,9%

377

3,22%

Patel et al. 2007

0
4%

Muttaqin. 2007

Arrayet et al. 2002
Kelm et al. 1997
Wanner et al. 1998
Shuster at al. 1992
Citek et al. 2006

Indonesia

Lembang
BPTU Baturaden
%6% %')A

Iran

Khorazan
Center of Iran

30
37
700
433

3,33%
1%
1%
10,8%

Norouzy A. 2005
Rahimi G. 2006
Nasreen F. 2009
Nagahata et al. 1996

Romanian Black
Spotted Cattle

90

0

Vitasescu'Balcan R et al.
2006

120

1,67%

Akyuz & Ertugrul. 2006

Pakistan
Jepang
Romania
Turki

30 ♂ & 34 ♀
80 ♀
=<

,.,')/)%. ).)(

(Powel 1996) melainkan karena sifatnya
yang letal sebelum sapi mencapai usia
dewasa. Industri sapi perah
Amerika
mengalami kerugian sekitar US$5 juta per
tahunnya (Shuster et al. 1992).
Tabel 1 Peluang keturunan yang memiliki gen
resesif BLAD

;
C