The Leukocyte Profile of Pregnant Friesian Holstein Cows vaccinated with Escherichia coli K99 polivalen vaccine.

(1)

PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (

Friesian Holstein)

BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN

Escherichia coli

K99

POLIVALEN

TRESNA HIDAYAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

ABSTRACT

Tresna Hidayat. The Leukocyte Profile of Pregnant Friesian Holstein Cows vaccinated with Escherichia coli K99 polivalen vaccine. Under the supervisions of ANITA ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI. The objective of this experiment was to study the leukocyte profile of pregnant cows vaccinated with

E.coli K99 polivalen vaccine. Three pregnant Friesian Holsteins cows were used in this experiment. Before the administration of vaccine, the cows were given a series of immunomodulator injection for three days. The vaccinations were administered three times at 8, 6, and 4 weeks before calving. Blood were drawn through jugular vein, first before the administration of vaccines, then weekly until calving. Based on the observation, it can be concluded that the administration of

E.coli K99 polivalen vaccine in pregnant cows not affected the leukocyte profile.


(3)

ABSTRAK

Tresna Hidayat. PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (Friesian Holstein) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN Esherichia coli K99

POLIVALEN. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil leukosit pada induk sapi FH (Freisian Holstein) bunting yang divaksin dengan E.coli K99 polivalen.

Penelitian ini menggunakan tiga ekor induk sapi FH dengan umur kebuntingan sekitar 7 bulan (periode kering kandang). Sebelum divaksin, ketiga ekor induk sapi diberi immunomodulator selama tiga hari berturut-turut. Vaksinasi diberikan sebanyak tiga kali pada 8, 6 dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis, dilakukan pertama kali pada saat induk sapi belum divaksinasi dan selanjutnya dilakukan setiap satu minggu selama 6 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin kepada induk sapi bunting dengan menggunakan vaksin

Escherichia coli K99 polivalen tidak mempengaruhi gambaran leukosit.


(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(5)

PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (Friesian Holstein)

BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN Esherichia coli K99 POLIVALEN

TRESNA HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(6)

Judul Skripsi : Profil Leukosit pada Induk Sapi FH (Friesian Holstein) Bunting yang Divaksin dengan Escherichia coli K99 POLIVALEN. Nama : Tresna Hidayat

NRP : B04104195

Disetujui,

Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi Dr.Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini, MSi Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor


(7)

PRAKATA

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas izin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penulisan ini merupakan perjalanan yang tidak dapat penulis lupakan karena banyak pihak yang terlibat di dalamnya, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr.drh.Anita Esfandiari, MSi dan Ibu Dr.drh.Sus Dherti Widhyari, MSi selaku pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, ilmu, nasihat, saran, dan kesabarannya selama pembuatan skripsi ini, 2. Bapak Dr.drh.Bambang Purwantara, MSc selaku Pembimbing Akademik

yang selalu memberikan dukungan dan perhatian selama penulis menjalani masa kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB,

3. Staf Kandang Ruminansia Besar (Pak Kosasih, Pak Dahlan, Mas David, Mas Jack) dan semua orang disana atas keramahan dan kesediaannya memberikan bantuan selama penelitian,

4. Staf Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH IPB (Pak Djajat, Pak Suryono),

5. Rekan-rekan satu penelitian (Nini, Ophink, Icha, Faisal, Hasan, Ita) atas semua pengorbanan dan kerjasama kalian selama penelitian dan penulisan skirpsi,

6. Sahabat-sahabat terbaik (Lorenk, Kombo, Indra, Dian, Heryu, Mahar, Agus, Lonaldo, Jerry) atas persaudaraan yang kalian berikan,

7. Teman-teman terbaik (Chipo, Dimut, Dinul, Bibin, Nina, Checy, Nini) atas semangat yang kalian berikan,

8. Teman-teman satu kost (Aji monet, Nono, Jali, Bang Cup, Dado, Irwan, Mas Bayu) atas semangatnya,

9. Teman-teman dan senior di IMAKAHI atas pengalaman yang berharga, 10.Saudara seperjuangan (Dwi tuktuk dan Aldi peot) atas perjalanan yang tak

terlupakan,

11.Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa dan perhatian yang sangat besar,

12.Keluarga tercinta (Ade, Bang Arief dan Teh Reni, Muth, Ntie) atas semangatnya,


(8)

13.Last but not least untuk Alva Camelia atas cinta, perhatian, dan kasih sayang selama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2008


(9)

RIWAYAT HIDUP

Tresna Hidayat dilahirkan di Bandung pada tanggal 16 Januari 1986. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari Bapak Sambas dan Ibu Ani Sukatni. Penulis bersekolah di TK Tunas Harapan lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD Muhammadiyah 4 Bandung lulus pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTPN 9 Bandung lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SMUN 15 Bandung lulus pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur SPMB.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kampus. Penulis menjadi anggota Himpro SATLI periode 2005-2008, staf bidang kaderisasi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Cabang IPB periode 2006-2007, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan IMAKAHI Cabang IPB periode 2007-2008.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….………viii

DAFTAR GAMBAR………...………....x

I PENDAHULUAN……….……….………...1

1.1 Latar Belakang………...………...………...1

1.2 Tujuan Penelitian………...………...………...2

1.3 Manfaat Penelitian………...………...……….2

II TINJAUAN PUSTAKA………..……….3

2.1 Sapi Perah……...………...………..3

2.2 Darah………..……….5

2.3 Leukosit………..……….6

2.3.1 Limfosit………...………...………8

2.3.2 Neutrofil………..…………...………..10

2.3.3 Eosinofil………..…...…………..11

2.3.4 Monosit………...………..…...12

2.3.5 Basofil………...………….14

2.4 E. coli………..………...15

2.4.1 Materi virulensi……….…………...16

2.4.2 Vaksinasi E.coli………...….…….…..18

III MATERI DAN METODE……….………...20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian………...…………..20

3.2 Bahan dan Alat………...………….20

3.3 Metode Penelitian………..………...………….20

3.3.1 Pemeliharaan Induk Sapi………....….20

3.3.2 Vaksinasi……….……….21

3.3.3 Pengambilan Darah……….…….21

3.3.4 Pemeriksaan Darah………..21

3.3.4.1 Penghitungan Jumlah Leukosit Total………….………...…..21

3.3.4.2 Diferensiasi Leukosit……….…..21

IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….…...23


(11)

PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (

Friesian Holstein)

BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN

Escherichia coli

K99

POLIVALEN

TRESNA HIDAYAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(12)

ABSTRACT

Tresna Hidayat. The Leukocyte Profile of Pregnant Friesian Holstein Cows vaccinated with Escherichia coli K99 polivalen vaccine. Under the supervisions of ANITA ESFANDIARI and SUS DERTHI WIDHYARI. The objective of this experiment was to study the leukocyte profile of pregnant cows vaccinated with

E.coli K99 polivalen vaccine. Three pregnant Friesian Holsteins cows were used in this experiment. Before the administration of vaccine, the cows were given a series of immunomodulator injection for three days. The vaccinations were administered three times at 8, 6, and 4 weeks before calving. Blood were drawn through jugular vein, first before the administration of vaccines, then weekly until calving. Based on the observation, it can be concluded that the administration of

E.coli K99 polivalen vaccine in pregnant cows not affected the leukocyte profile.


(13)

ABSTRAK

Tresna Hidayat. PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (Friesian Holstein) BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN Esherichia coli K99

POLIVALEN. Dibimbing oleh ANITA ESFANDIARI dan SUS DERTHI WIDHYARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil leukosit pada induk sapi FH (Freisian Holstein) bunting yang divaksin dengan E.coli K99 polivalen.

Penelitian ini menggunakan tiga ekor induk sapi FH dengan umur kebuntingan sekitar 7 bulan (periode kering kandang). Sebelum divaksin, ketiga ekor induk sapi diberi immunomodulator selama tiga hari berturut-turut. Vaksinasi diberikan sebanyak tiga kali pada 8, 6 dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis, dilakukan pertama kali pada saat induk sapi belum divaksinasi dan selanjutnya dilakukan setiap satu minggu selama 6 minggu. Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksin kepada induk sapi bunting dengan menggunakan vaksin

Escherichia coli K99 polivalen tidak mempengaruhi gambaran leukosit.


(14)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya

untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(15)

PROFIL LEUKOSIT PADA INDUK SAPI FH (Friesian Holstein)

BUNTING YANG DIVAKSIN DENGAN Esherichia coli K99 POLIVALEN

TRESNA HIDAYAT

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(16)

Judul Skripsi : Profil Leukosit pada Induk Sapi FH (Friesian Holstein) Bunting yang Divaksin dengan Escherichia coli K99 POLIVALEN. Nama : Tresna Hidayat

NRP : B04104195

Disetujui,

Dr. Drh. Anita Esfandiari, MSi Dr.Drh. Sus Derthi Widhyari, MSi Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui,

Dr. Nastiti Kusumorini, MSi Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor


(17)

PRAKATA

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas izin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penulisan ini merupakan perjalanan yang tidak dapat penulis lupakan karena banyak pihak yang terlibat di dalamnya, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr.drh.Anita Esfandiari, MSi dan Ibu Dr.drh.Sus Dherti Widhyari, MSi selaku pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan bimbingan, ilmu, nasihat, saran, dan kesabarannya selama pembuatan skripsi ini, 2. Bapak Dr.drh.Bambang Purwantara, MSc selaku Pembimbing Akademik

yang selalu memberikan dukungan dan perhatian selama penulis menjalani masa kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan IPB,

3. Staf Kandang Ruminansia Besar (Pak Kosasih, Pak Dahlan, Mas David, Mas Jack) dan semua orang disana atas keramahan dan kesediaannya memberikan bantuan selama penelitian,

4. Staf Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi FKH IPB (Pak Djajat, Pak Suryono),

5. Rekan-rekan satu penelitian (Nini, Ophink, Icha, Faisal, Hasan, Ita) atas semua pengorbanan dan kerjasama kalian selama penelitian dan penulisan skirpsi,

6. Sahabat-sahabat terbaik (Lorenk, Kombo, Indra, Dian, Heryu, Mahar, Agus, Lonaldo, Jerry) atas persaudaraan yang kalian berikan,

7. Teman-teman terbaik (Chipo, Dimut, Dinul, Bibin, Nina, Checy, Nini) atas semangat yang kalian berikan,

8. Teman-teman satu kost (Aji monet, Nono, Jali, Bang Cup, Dado, Irwan, Mas Bayu) atas semangatnya,

9. Teman-teman dan senior di IMAKAHI atas pengalaman yang berharga, 10.Saudara seperjuangan (Dwi tuktuk dan Aldi peot) atas perjalanan yang tak

terlupakan,

11.Ayah dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa dan perhatian yang sangat besar,

12.Keluarga tercinta (Ade, Bang Arief dan Teh Reni, Muth, Ntie) atas semangatnya,


(18)

13.Last but not least untuk Alva Camelia atas cinta, perhatian, dan kasih sayang selama ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2008


(19)

RIWAYAT HIDUP

Tresna Hidayat dilahirkan di Bandung pada tanggal 16 Januari 1986. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari Bapak Sambas dan Ibu Ani Sukatni. Penulis bersekolah di TK Tunas Harapan lulus pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD Muhammadiyah 4 Bandung lulus pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTPN 9 Bandung lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SMUN 15 Bandung lulus pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur SPMB.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kampus. Penulis menjadi anggota Himpro SATLI periode 2005-2008, staf bidang kaderisasi Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia Cabang IPB periode 2006-2007, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan IMAKAHI Cabang IPB periode 2007-2008.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI……….………viii

DAFTAR GAMBAR………...………....x

I PENDAHULUAN……….……….………...1

1.1 Latar Belakang………...………...………...1

1.2 Tujuan Penelitian………...………...………...2

1.3 Manfaat Penelitian………...………...……….2

II TINJAUAN PUSTAKA………..……….3

2.1 Sapi Perah……...………...………..3

2.2 Darah………..……….5

2.3 Leukosit………..……….6

2.3.1 Limfosit………...………...………8

2.3.2 Neutrofil………..…………...………..10

2.3.3 Eosinofil………..…...…………..11

2.3.4 Monosit………...………..…...12

2.3.5 Basofil………...………….14

2.4 E. coli………..………...15

2.4.1 Materi virulensi……….…………...16

2.4.2 Vaksinasi E.coli………...….…….…..18

III MATERI DAN METODE……….………...20

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian………...…………..20

3.2 Bahan dan Alat………...………….20

3.3 Metode Penelitian………..………...………….20

3.3.1 Pemeliharaan Induk Sapi………....….20

3.3.2 Vaksinasi……….……….21

3.3.3 Pengambilan Darah……….…….21

3.3.4 Pemeriksaan Darah………..21

3.3.4.1 Penghitungan Jumlah Leukosit Total………….………...…..21

3.3.4.2 Diferensiasi Leukosit……….…..21

IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….…...23


(21)

4.2 Limfosit………..…...24

4.3 Neutrofil………...……..27

4.4 Eosinofil………...……..39

4.5 Monosit………...……...31

4.6 Basofil………...…….32

V KESIMPULAN DAN SARAN………….………..…...33

5.1 Kesimpulan………...…….33

5.2 Saran………...…...33


(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.Sapi Perah Friesian Holstein...3 2.Pembentukan Leukosit di Sumsum Tulang dan Organ limfoid…...…...……...7

3.Sel Limfosit...8 4.Sel Neutrofil...10 5.Sel Eosinofil...11 6.Sel Monosit...13 7.Sel Basofil...14

8.Escherichia coli...15 9.Jumlah Leukosit Total Induk Sapi Bunting Sebelum dan Setelah Vaksinasi....23 10.Jumlah Limfosit Induk Sapi Bunting Sebelum dan Setelah Vaksinasi…....….25 11.Jumlah Neutrofil Induk Sapi Bunting Sebelum dan Setelah Vaksinasi…...28 12.Jumlah Eosinofil Induk Sapi Bunting Sebelum dan Setelah Vaksinasi………30 13.Jumlah Monosit Induk Sapi Bunting Sebelum dan Setelah Vaksinasi……….31


(23)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Diare merupakan penyebab kematian pada pedet berumur di bawah 6 bulan. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering ditemukan pada kasus diare pedet yang berumur kurang dari 3 hari adalah Escherichia coli

enterotoksigenik K99. Kasus diare seperti ini biasa terjadi pada pedet yang tidak diberi kolostrum (HSLBP 2008). Prevalensi kasus diare pada anak sapi di daerah sentra pengembangan sapi perah (Jawa Barat) berkisar antara 19-40% dengan kematian pedet di bawah umur satu bulan berkisar antara 8-19% sepanjang tahun (Supar 2001).

Pengobatan dan pengendalian penyakit bakterial secara medikasi dengan sediaan obat-obatan antibiotik bukan menjadi pilihan yang terbaik, selain karena kurang efektif sehubungan dengan keberadaan resistensi multipel juga menyebabkan bahaya sampingan yang cukup potensial berkaitan dengan cemaran, residu antibiotik dan kimia toksik pada ternak dan produk-produknya. Antibiotika banyak dipakai untuk pengobatan diare pada anak sapi dalam dua dekade terakhir, namun hasilnya tidak baik karena kasus diare dan mortalitas tetap tinggi (Supar 2001). Salah satu alternatif pengendalian diare pada anak sapi adalah dengan cara vaksinasi pada induk sapi pada saat bunting dengan harapan induk sapi dapat memberikan kekebalan pasif pada anaknya melalui kolostrum pada saat kelahiran. Sapi dan kambing memiliki plasenta tipe syndesmochorial yang tidak memungkinkan terjadinya transfer imunoglobulin dari induk ke janin (Tizard 2000). Itulah sebabnya anak sapi atau kambing lahir dalam keadaan tanpa antibodi di dalam darah. Di lain pihak zat antibodi tersedia di dalam kolostrum sehingga stamina anak yang baru lahir dipasok dari kolostrum yang diproduksi oleh induk (Purbani 2007). Kolostrum atau dikenal juga sebagai “susu pertama” atau “susu imun” adalah sekresi yang dihasilkan kelenjar mamaria mamalia pada tahap akhir kebuntingan sampai beberapa hari setelah melahirkan (Tizard 2000). Kolostrum mamalia mengandung imunoglobulin yang mampu melawan benda asing, termasuk bakteri, virus dan jamur yang masuk ke dalam tubuh. Jumlah IgG dalam kolostrum sapi hampir 40 kali lipat kolostrum manusia. IgG berperan dalam mengaktifkan sel darah putih yang bekerja menahan serangan bakteri, terutama


(24)

E.coli (Purbani 2007). Produksi kolostrum yang berlebih pada awal laktasi belum dimanfaatkan secara maksimal. Kolostrum, khususnya yang berasal dari induk sapi yang divaksinasi dengan vaksin E.coli, dapat dimanfaatkan sebagai produk biologis untuk kepentingan imunisasi pasif bagi anak sapi yang baru lahir sehingga terhindar dari kasus diare.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati profil leukosit pada induk sapi bunting yang divaksin dengan vaksin Escherichia coli K99 polivalen.

Parameter yang diamati adalah jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit yang meliputi jumlah neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang profil leukosit pada induk sapi bunting yang divaksinasi dengan vaksin E.coli K99 polivalen.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah

Sapi adalah hewan ternak terpenting sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit dunia. Sapi Friesian Holstein (FH) terkenal dengan produksi susunya yang tinggi ( + 6350 kg/th), dengan presentase lemak susu sekitar 3-7%. Sapi perah tersebut ada yang mampu berproduksi hingga mencapai 25.000 kg susu/tahun, apabila digunakan bibit unggul, diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan ternak, lingkungan yang mendukung dan menerapkan budidaya dengan manajemen yang baik (Prihatman 2000).

Gambar 1. Sapi Perah Freisien Holstein (www.ansi.okstate.ed.htm 2008)

Menurut Linnaeus (1758) dalam Wikipedia(2008), klasifikasi ilmiah sapi perah adalah sebagai berikut

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Artiodactyla Subordo : Ruminansia Famili : Bovidae Subfamili : Bovinae Genus : Bos


(26)

Sapi perah bibit lokal adalah sapi perah bibit jenis FH (Friesian Holstein) yang berasal dari wilayah sumber bibit sapi perah di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) atau hasil persilangannya dengan pejantan sapi perah FH yang tidak diketahui kemurniannya (Dewan Standarisasi Nasional 1992).

Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi asli Eropa. Secara sejarah, sapi ini berasal dari provinsi Belanda Utara dan Friesland yang terdapat pada daerah Zuider Zee. Sapi ini dapat dikenali dari warna rambut yang khas yaitu warna hitam-putih serta produksi susu yang tinggi (Ansi 2008).

Ciri-ciri fisik sapi Friesian Holstein adalah memiliki bentuk tubuh yang besar, terdapat pola warna hitam putih atau merah putih pada tubuhnya (Ansi 2008), kepala yang panjang, dahi seperti cawan, dan bermoncong luas. Memiliki tanduk yang mengarah ke depan dan ke atas, tanduk pada jantan lebih panjang dibandingkan dengan tanduk pada betina. Betina memiliki ambing yang besar dan simetris (Dewan Standardisasi Nasional 1992). Berat badan pedet sapi yang sehat dapat mencapai 45 kg atau lebih pada saat lahir. Sapi FH dara dapat dikawinkan pada umur 13 bulan ketika beratnya mencapai 400 kg dan diharapkan dapat melahirkan pertama kali pada umur antara 23 sampai 26 bulan. Masa kebuntingan sapi FH adalah 9 bulan (Ansi 2008).

Pemberian pakan pada sapi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu sistem penggembalaan (pasture fattening) ,kereman (dry lot fattening), dan kombinasi dari keduanya. Pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat. Hijauan dapat berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, alfalfa, rumput gajah, rumput benggala, atau rumput raja. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sapi yang sedang dalam masa laktasi memerlukan pakan tambahan sebanyak 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Penambahan jenis kacang-kacangan pada hijauan juga sebaiknya dilakukan. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain pakan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan per hari (Prihatman 2000). Kandang berukuran 1,5 x 2,5 m per ekor, harus terpisah dari rumah +10 m, memiliki drainase dan ventilasi yang


(27)

baik, lantai tidak licin, dan tersedia penampungan kotoran (Disnak Lampung 2008).

2.2 Darah

Darah adalah jaringan cair yang bersirkulasi melalui pembuluh darah, membawa kebutuhan semua sel tubuh dan menerima produk buangan hasil metabolisme untuk dibawa ke organ pembuangan (Jain & AH 1993, Dellman & Eurell 1998). Darah terdiri atas sel darah yang merupakan komponen seluler dan plasma yang merupakan komponen cairan yang kaya akan protein (Dellman & Eurell 1998). Eritrosit, leukosit dan trombosit merupakan komponen seluler darah (Ganong 2002, Dellman & Eurell 1998) dan plasma terdiri atas 91-92% air dan 8-9% bahan terlarut (Dellman & Eurell 1998).

Bahan terlarut darah terdiri atas protein darah, bahan-bahan persedian untuk sel-sel tubuh, produk seluler, dan produk buangan seluler. Sebanyak 6-8% plasma terdiri atas tiga protein darah yaitu albumin, globulin dan fibrinogen (Tuttle & Schottelius 1965). Albumin berperan sebagai protein pengikat dan pembawa dan sebagai pengatur tekanan osmotik (Ganong 2002). Fibrinogen berperan penting dalam koagulasi untuk menjaga hemostasis yaitu untuk mencegah kehilangan darah akibat terlukanya pembuluh darah (Jain & AH 1993). Tiga bentuk globulin (alpha, beta, dan gamma) berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap sel dan bahan asing. Bahan-bahan persediaan untuk sel-sel tubuh dapat berupa glukosa, lemak, asam amino, dan garam (kation : Na, K, Ca, dan Mg. Anion : klorida, bikarbonat, dan fosfat). Produk metabolisme seluler seperti enzim, antibodi dan hormon dan produk buangan seluler seperti urea dan asam urat juga terdapat dalam plasma (Tuttle & Schottelius 1965).

Eritrosit memiliki permukaan sel yang luas yang memfasilitasi pertukaran gas. Eritrosit mengandung hemoglobin yaitu pigmen respiratori yang memungkinkan pengangkutan oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton & Hall 1997) dan karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru (Haen 1995). Selain berfungsi sebagai pengangkutan oksigen dan karbon dioksida, eritrosit juga mengandung karbonik anhidrase yang mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air, sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik beberapa ribu kali


(28)

lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida sehingga pengangkutannya dari jaringan ke paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat dan bersama air membentuk asam karbonat (Guyton & Hall 1997).

Leukosit terdiri atas kelompok sel yang heterogen. Walaupun jumlah leukosit dalam darah lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel darah merah namun diperkirakan setiap mikroliter darah mengandung 5000-10000 leukosit. Leukosit dibagi atas granulosit (neutrofil, eosinofil dan basofil), dan agranulosit (limfosit dan monosit) (Haen 1995).

Trombosit atau platelet memiliki dua peranan penting dalam sistem sirkulasi. Platelet berperan dalam menjaga integritas barisan endotel pembuluh darah, dan berperan penting dalam memperbaiki pembuluh darah yang rusak, khususnya pada tingkat microcirculation dimana kapiler, arteriol dan venula ditemukan (Haen 1995).

2.3 Leukosit

Tubuh mempunyai suatu sistem khusus yang menghancurkan bermacam-macam bahan toksik dan infeksius. Sistem ini terdiri dari leukosit dan sel-sel jaringan yang berasal dari leukosit. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton & Hall1997).

Berdasarkan bentuk inti sel, leukosit dapat dibagi menjadi leukosit mononuklear dan leukosit polimorfonuklear (Haen 1995). Leukosit mononuklear memiliki inti tunggal dan tidak bersegmen. Monosit dan semua limfosit termasuk dalam leukosit mononuklear. Leukosit polimorfonuklear memiliki inti yang bervariasi. Biasanya inti terbagi atas beberapa bagian yang saling berhubungan. Neutrofil, eosinofil dan basofil termasuk dalam leukosit polimorfonuklear (Guyton & Hall 1997).

Beberapa jenis leukosit dapat diklasifikasikan menjadi fagosit yang berfungsi untuk menelan dan menghancurkan serangan agen patogen dan sel neoplastik. Fagosit dalam darah dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu makrofag dan mikrofag. Monosit diklasifikasikan sebagai makrofag dan neutrofil biasanya diklasifikasikan sebagai mikrofag (Haen 1995).


(29)

Jumlah leukosit total dalam peredaran darah sapi normal berkisar antara 6.5-12.0 x 103 / L (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Jumlah leukosit total pada peredaran darah sapi normal bunting 8 dan 9 bulan berturut-turut adalah 7.65x103±1.64 x103 /µL dan 7.64 x103±2.45 x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967).

Gambar 2. Pembentukan leukosit di sumsum tulang dan organ limfoid. (www.irvingcrowley.com 2008)

Pembentukan leukosit sebagian terjadi di dalam sumsum tulang (granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit dan sel-sel plasma) (Guyton & Hall 1997). Leukosit yang dibentuk di sumsum tulang disebut juga leukosit mieloid dan yang dibentuk di jaringan limfe disebut leukosit limfoid (Haen 1995). Leukosit yang dibentuk di sumsum tulang, terutama granulosit, disimpan dalam sumsum tulang sampai diperlukan. Bila kebutuhannya meningkat, bermacam-macam faktor akan menyebabkan granulosit tersebut dilepaskan ke dalam sirkulasi darah (Guyton & Hall 1997).


(30)

2.3.1 Limfosit

Limfosit berperan dalam imunitas yang diperantarai sel dan yang diperantarai oleh antibodi. Berdasarkan ukuran sel, limfosit terdiri dari limfosit kecil yang memiliki ukuran 6-9 µm dan limfosit besar yang memiliki ukuran 9-15 µm. Limfosit kecil mempunyai bentuk yang bulat, tebal atau inti sel

heterochromatik yang sedikit berlekuk, memiliki sitoplasma yang berwarna biru pucat dengan sedikit granula azurophilic. Sementara itu inti sel limfosit besar berlekuk, sitoplasma yang lebih besar dan secara keseluruhan berwarna biru (Dellman & Eurell 1998).

Gambar 3. Sel Limfosit (diaglab.vet.cornell.edu 2008)

Limfosit yang berada di dalam sirkulasi dikelompokkan menjadi tiga tipe fungsional yaitu limfosit T, limfosit B dan sel natural killer (NK) (Dellman & Eurell 1998). Limfosit T bertanggung jawab dalam pembentukan limfosit teraktivasi yang dapat membentuk imunitas diperantarai sel. Limfosit B bertanggung jawab dalam pembentukan antibodi yang memberikan imunitas humoral (Guyton & Hall 1997). Sel natural killer bukan limfosit B maupun limfosit T. Sel ini disebut natural killer karena sel ini akan menyerang sel yang terinfeksi virus dan sel tumor tanpa harus diaktivasi terlebih dahulu oleh antigen yang spesifik (Colville & Bassert 2002).

Limfosit yang berada di dalam peredaran darah kemudian masuk ke dalam jaringan, namun sekitar 70% limfosit yang berada di jaringan akan kembali ke pembuluh darah untuk bersirkulasi. Fenomena resirkulasi limfosit sangat penting karena menciptakan mekanisme distribusi sel limfosit yang menyeluruh yang berhubungan dengan respon imun sistemik. Resirkulasi limfosit juga penting sebagai immune surveillance dimana klon sel yang berbahaya dan tidak diinginkan dihancurkan oleh limfosit sitotoksik yang khusus (Jain & AH 1993).


(31)

Jumlah limfosit di dalam peredaran darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat produksi, resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran limfosit (Jain & AH 1993). Jumlah limfosit di peredaran yang sedikit dapat dipengaruhi oleh preparat kortikosteroid yang meningkatkan perpindahan limfosit dari peredaran darah ke jaringan. Timektomi, radiasi, dan kemoterapi juga menyebabkan rendahnya jumlah limfosit di dalam peredaran darah (limfopenia) yang diakibatkan oleh terjadinya penurunan pembentukan limfosit (limfopoiesis). Limfopenia juga dapat terjadi pada infeksi virus akut yang mengakibatkan peningkatan penghancuran dan atau peningkatan penyimpanan limfosit di organ limfoid atau jaringan lain (Jain & AH 1993).

Tingginya limfosit di peredaran darah (limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif dan proliferatif. Limfositosis fisiologis terjadi biasanya ditandai oleh adanya pelepasan epinefrin. Pada keadaan ini limfosit dimobilisasi dari

marginal pool ke circulating pool sehingga jumlahnya dalam peredaran darah tinggi. Limfositosis fisiologis juga muncul bersamaan dengan adanya neutrofilia (Jain & AH 1993). Limfositosis reaktif sering kali muncul karena infeksi yang kronis, dan limfositosis proliferatif diakibatkan oleh proliferasi limfosit yang parah seperti pada limfoma dan leukimia limfositik akut dan kronis (Colville & Bassert 2002).

Respon imun yang mengarah ke pembentukan antibodi sering kali tidak ditunjukkan sebagai keadaan limfositosis di dalam peredaran darah, walaupun beberapa bukti morfologis kadang-kadang ditemukan (Jain & AH 1993). Sebanyak 60-70% leukosit pada ruminansia adalah jenis limfosit (Dellmann & Eurell 1998). Jumlah limfosit di peredaran darah sapi normal berkisar antara 2.73-7.32 x 103/µL (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Jumlah limfosit di dalam peredaran darah induk sapi normal bunting 8 dan 9 bulan berturut-turut adalah 4.72x103±1.38 x103 /µL dan 4.57 x103±1.26 x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster &Wonnacot 1967).


(32)

2.3.2 Neutrofil

Neutrofil adalah sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang (Jain & AH 1993) yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi pembuluh darah (Guyton & Hall 1997). Dua tipe neutrofil yang biasa berada di peredaran darah tepi adalah band neutrophil dan segmented neutrophil (Haen 1995).

Gambar 4. Sel Neutrofil (diaglab.vet.cornell.edu 2008)

Neutrofil yang matang (segmented neutrofil) mempunyai diameter antara 12 sampai 15 µm dan di dalamnya mengandung inti sel bersegmen

heterochromatik. Sitoplasma neutrofil berwarna biru pucat keabu-abuan dan di dalamnya terdapat granula berwarna merah muda (Dellman & Eurell 1998). Granula-granula tersebut berisi enzim hidrolitik dan bahan antibakterial yang diperlukan dalam membunuh dan mencerna mikoorganisme yang difagosit (Haen 1995).

Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme (Jain & AH 1993), melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut (Haen 1995). Neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi proses peradangan akut (Guyton & Hall 1997).

Jumlah neutrofil di dalam peredaran darah pada dasarnya dipengaruhi oleh tingkat granulopoiesis, tingkat perpindahan sel dari sumsum tulang, pergerakan sel antara circulating pool dan marginal pool, lama hidup sel dan masuknya sel ke jaringan. Oleh karena itu, jumlah neutrofil yang tinggi di dalam


(33)

peredaran darah (neutrofilia) dapat diakibatkan oleh peningkatan pergerakan sel dari marginal pool, penurunan migrasi sel ke jaringan, dan peningkatan produksi dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang (Jain & AH 1993).

Sebaliknya, jumlah neutrofil yang rendah di dalam peredaran darah (neutropenia) dapat diakibatkan oleh tingginya pergerakan di marginal pool, penurunan masa hidup di pembuluh darah, migrasi ke jaringan yang tinggi dan penurunan produksi dan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang (Jain & AH 1993). Jumlah neutrofil pada peredaran darah sapi normal adalah 1.36-4.92 x 103 /µL (Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Jumlah neutrofil di dalam peredaran darah induk sapi normal bunting 8 dan 9 bulan berturut-turut adalah 2.32x103± 0.99 /µL dan 2.58 x103±1.07 x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967).

2.3.3 Eosinofil

Eosinofil seringkali diproduksi dalam jumlah besar pada penderita infeksi parasit dan kemudian akan bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit (Guyton & Hall 1997). Eosinofil mempunyai diameter 10 sampai 15 m (Dellman & Eurell 1998), berwarna merah muda yang cerah, dan memiliki sebuah inti sel yang berlobus (biasanya 2 lobus), mempunyai granula yang terwarnai oleh pewarna asam eosin (Haen 1995) dan kurang bersegmen seperti pada neutrofil matang (Jain & AH 1993).

Gambar 5. Sel Eosinofil (diaglab.vet.cornell.edu 2008)

Eosinofil berperan penting dalam menyerang dan menghancurkan parasit cacing serta dalam beberapa reaksi hipersensitivitas (Haen 1995, Jain & AH 1993). Eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di


(34)

jaringan yang mengalami alergi (Guyton & Hall 1997). Eosinofil berperan pula dalam proses koagulasi dan fibrinolisis secara berturut-turut melalui aktivasi faktor ke XII dan plasminogen (Jain & AH 1993).

Jumlah eosinofil di dalam peredaran darah dapat disebabkan karena peningkatan produksi, peningkatan pelepasan dari sumsum tulang, migrasi sel dari

marginal pool ke circulating pool, dan masa hidup yang lama di peredaran darah sebelum masuk ke jaringan (Colville & Bassert 2002). Jumlah eosinofil yang tinggi di dalam peredaran darah (eosinofilia) sebagai respon adanya infestasi parasit muncul ketika adanya sensitivitas terhadap perkembangan parasit dan produk parasit di dalam tubuh yang merangsang eosinofilia (Jain & AH 1993). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil atau sel fagositik lain, eosinofil akan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit (Guyton & Hall 1997).

Eosinofilia yang terjadi sementara biasanya muncul bersamaan dengan neutrofilia dan limfositosis, yang disebabkan oleh pelepasan epinefrin di dalam peredaran darah. Efek ini terjadi karena adanya mobilisasi eosinofil dari limpa ke dalam sirkulasi darah (Jain & AH 1993).

Jumlah eosinofil yang rendah di dalam peredaran darah (eosinopenia) sulit untuk dideteksi dan dievaluasi karena jumlah normal eosinofil rendah di peredaran darah (Colville & Bassert 2002). Jumlah normal eosinofil di peredaran darah sapi adalah 0.23-1.84 x 103/µL (Smith dan Mangkoewidjojo 1987) dan di dalam peredaran darah induk sapi bunting umur kebuntingan 8 dan 9 bulan secara berturut-turut adalah 0.59x103 ±0.36x103 /µL dan 0.47x103 ± 0.42x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967).

2.3.4 Monosit

Monosit merupakan sel darah putih yang memiliki ukuran paling besar dan memiliki diameter 12 sampai 18 m. Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik. Inti sel panjang, bentuk tidak beraturan, melipat, menekuk, berbentuk seperti tapal kuda dan sedikit berlobus. Sitoplasma besar dan berwarna biru keabu-abuan (Dellman & Eurell 1998)


(35)

Gambar 6. Sel Monosit (diaglab.vet.cornell.edu 2008)

Menurut Haen (1995), fungsi monosit dan makrofag adalah :

1. Monosit dan makrofag berperan penting dalam pertahanan tubuh melawan invasi organisme patogen (antigen) melalui penelanan dan fagositosis,

2. Berperan penting dalam aktivasi respon imun dapatan (spesifik),

3. Berperan penting dalam pertahanan terhadap sel inang yang terinfeksi oleh organisme patogen dan juga terhadap sel neoplastik.

4. Makrofag juga berperan sebagai sel scavenger yaitu perannya dalam memindahkan semua sel mati dan jaringan yang mengalami nekrosa. Sel-sel tersebut mati, diakibatkan karena kerusakan secara mekanis atau dibunuh sebagai hasil dari luka imunologis atau memang telah habis masa hidupnya. Sel-sel tersebut kemudian dimakan dan dihancurkan oleh berbagai bentuk makrofag jaringan.

Jumlah monosit yang tinggi di dalam peredaran darah (monositosis) secara khas ditemukan pada kondisi peradangan yang sub akut dan kronis. Monosit berakumulasi di daerah peradangan dan penghancuran jaringan sebagai respon terhadap faktor-faktor kemotaktik tertentu. Substansi bakteri berupa lipid atau kaya akan lipid seperti bakteri tubercle baccilus dan lipopolisakarida dari bakteri gram negatif, komponen komplemen C3a dan C5a, substansi terlarut dari limfosit T, neutrofil dan sel tumor merupakan faktor kemotaktik bagi monosit (Jain & AH 1993).

Jumlah monosit yang rendah di dalam peredaran darah (monositopenia) sulit untuk dideteksi dan dievaluasi karena jumlah monosit normal rendah di peredaran darah (Colville & Bassert 2002). Migrasi monosit ke jaringan dapat meningkat selama respon peradangan, namun dapat dihambat oleh preparat


(36)

kortikosteroid atau obat immunosupresif lainnya (Jain & AH 1993). Jumlah normal monosit di peredaran darah sapi adalah 0.16-1.62 x 103/µL (Smith dan Mangkoewidjojo 1987).

2.3.5Basofil

Basofil memiliki diameter 10 sampai 15 m, bentuk inti sel

heterochromatic yang tidak beraturan atau bersegmen. Segmentasi inti sel, seperti halnya eosinofil, pada basofil (memiliki 2 atau 3 lobus) juga lebih sedikit dibandingkan dengan neutrofil (Dellman & Eurell 1998).

Gambar 7. Sel Basofil (diaglab.vet.cornell.edu 2008)

Basofil memiliki granula yang berwarna biru kehitaman yang mengisi keseluruhan sitoplasma dan menutupi inti sel (Haen 1995). Bila dibandingkan dengan sel mast, basofil memilki ukuran yang lebih kecil dengan inti sel yang berbentuk bola atau bersegmen dan memiliki granula yang lebih sedikit yang tersebar pada sitoplasma (Dellman & Eurell 1998).

Sel mast dan basofil melepaskan heparin ke dalam darah, yaitu bahan yang dapat mencegah pembekuan darah. Histamin dan sedikit bradikinin dan serotonin juga dilepaskan oleh basofil dan sel mast terutama pada jaringan yang meradang (Guyton & Hall 1997). Basofil dan sel mast berperan penting dalam menjalankan reaksi inflamasi (Dellman & Eurell 1998), sebab antibodi yang menyebabkan alergi, yaitu IgE mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil (Guyton & Hall 1997).

Keberadaan basofil sangat jarang ditemukan di peredaran darah dan sumsum tulang. Keadaan rendah atau tidak ditemukannya basofil di dalam


(37)

peredaran darah (basopenia) merupakan hal yang normal dan tidak mempunyai arti apapun (Jain & AH 1993).

Kadang-kadang basofilia terjadi bersamaan dengan eosinofilia, yang mencerminkan adanya interaksi fungsional diantara kedua tipe sel tersebut. Basofilia merupakan hal yang umum terjadi pada beberapa keadaan seperti dematitis alergis, eczema, dan reaksi hipersensitivitas (Jain & AH 1993).

2.4 E.coli

E.coli adalah bakteri gram negatif berbentuk batang, anaerobik fakultatif dan tidak berspora (Wikipedia 2008), menfermentasi laktosa dan menghasilkan koloni yang khas pada media diferensial seperti MacConkey agar (Gyles dan Charles 1993). E.coli menfermentasi campuran asam pada kondisi anaerob menghasilkan laktat, suksinat, etanol, asetat dan karbondioksida. E.coli tumbuh optimal pada suhu 37°C namun beberapa strain laboratorium dapat bermultiplikasi pada temperatur hingga 49°C (Wikipedia 2008).

Gambar 8. Escherichia coli (www.wikipedia.com 2008)

Menurut Wikipedia (2008) klasifikasi Escherichia coli adalah Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobacteria

Kelas : Gamma Proteobacteria

Ordo : Enterobacteriales

Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Escherichia


(38)

E.coli merupakan organisme fakultatif pada saluran pencernaan, sehingga selama tidak memperoleh elemen genetik untuk membentuk faktor virulensi, mereka tetap hidup namun tidak membahayakan. Strain virulen E.coli dapat menyebabkan gastroenteritis, infeksi traktus urinarius, dan meningitis neonatal. Pada kasus yang jarang terjadi, E.coli juga terlibat dalam Haemolitic-uremic Syndrome (HUS), peritonitis, mastitis, septikemia dan pneumonia gram negatif (Wikipedia 2008).

2.4.1 Materi Virulensi

Menurut Wikipedia (2008), berdasarkan faktor virulensinya pada hewan,

entericE.coli diklasifikasikan menurut virotipenya yaitu :

1. EnterotoxigenicE.coli (ETEC)

Disebabkan oleh bakteri E. coli dari jenis K-99. Infeksi dari strain ini berakibat fatal. Racun menyebabkan cairan yang dipompa ke dalam usus sedemikian banyak sehingga pedet biasanya mati bahkan sebelum gejala diare (mencret) muncul (Manglayang 2008).

ETEC menggunakan adhesin fimbrae untuk berikatan dengan sel enterosit pada usus kecil. ETEC dapat memproduksi dua protein enterotoksin yaitu LT (Heat Labile) enterotoksin yang struktur dan fungsinya sama dengan toksin kholera dan ST (Heat Stabile) enterotoksin yang menyebabkan akumulasi cGMP pada sel target dan sekresi cairan elektrolit yang terus menerus ke lumen usus. Strain ETEC tidak invasif.

2. EnteropathogenicE.coli (EPEC)

Merupakan penyebab diare pada kelinci, anjing, kucing dan kuda. EPEC juga menyebabkan diare, namun mekanisme kolonisasi molekuler dan etiologinya berbeda dengan ETEC. EPEC tidak mempunyai fimbrae, ST dan LT toksin, namun EPEC menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk berikatan dengan sel usus inangnya. Sel EPEC sangat invasif (masuk ke dalam sel enterosit inang) dan membuat respon inflamasi. Perubahan ultrastruktur sel usus merupakan penyebab utama diare yang disebabkan oleh EPEC.


(39)

3. EnterohemorrhagicE.coli (EHEC)

Ditemukan pada sapi dan kambing. Satu-satunya anggota dari viroptipe ini adalah strain O157:H7, yang menyebabkan diare berdarah dan tanpa disertai demam. EHEC dapat menyebabkan hemolytic uremic syndrome dan gagal ginjal yang tiba-tiba. EHEC menggunakan fimbrae bakteri untuk berikatan dengan sel enterosit inang.

Gyles dan Charles (1993) melaporkan bahwa beberapa struktur dan produk E.coli memiliki peran sebagai faktor virulensi pada usus dan jaringan lain. Struktur yang dimiliki dan dapat digunakan sebagai faktor virulensi adalah dinding sel, kapsul dan pili. Produk E.coli yang dapat berperan sebagai faktor virulensi adalah enterotoxin, cytotoxin, hemolysin, dan aerobactin.

Dua kelas faktor virulensi enterotoxigenicE.coli yaitu : a. Pili, yang bertanggung jawab dalam kolonisasi di lumen usus,

b. enterotoksin, yang bertanggung jawab dalam merusak keseimbangan pergerakan cairan dan elektrolit di dalam epitel usus.

Patogenesa diare yang terjadi akibat ETEC terdiri dari dua bagian yaitu kolonisasi pada usus kecil dan produksi serta aksi enterotoksin. Kolonisasi terjadi ketika jumlah ETEC yang cukup masuk ke dalam usus, menempel pada sel epitel dan membelah hingga mencapai jumlah yang besar. Kolonisasi pili menjalankan peranan yang penting untuk proses menempelnya ETEC pada permukaan sel epitel usus (Gyles dan Charles 1993).

Pili berperan dalam penempelan yang spesifik bakteri pada titik pada sel epitel sedangkan kapsular polisakarida menguatkan ikatan antar organisme dan sel epitel. Pili K99 ditemukan pada ETEC dari serogrup 8, 9, 20, 64, dan 101. Produksi antigen K99 dimediasi oleh plasmid dan bergantung pada suhu. Strain dari O grup 101 menghasilkan K99 yang paling banyak dibandingkan dengan strain yang lain dari O grup. Komponen utama K99 juga adhesin dan melekat pada reseptornya, glikolipid gangliosida Neu5Gc-α(2-3)-Gal-β(1-4)Glc-β(1,1) ceramide. Faktor penting pada inang dalam kolonisasi adalah umur, pH lambung, dan kehadiran antibodi spesifik terhadap permukaan antigen ETEC (Gyles dan Charles 1993).


(40)

Diare yang muncul akibat aktivitas enterotoksin pada ETEC pada prinsipnya bekerja sebagai antiabsortif karena bekerja menghalangi transpor Na+ dan Cl- dari lumen ke sel epitel usus yang kemudian terjadi peningkatan sekresi cairan isotonis. Enterotoksin juga merusak motilitas usus yang merupakan faktor untuk memfasilitasi keberadaan ETEC di lumen usus (Gyles dan Charles 1993).

2.4.2 Vaksinasi Escherichia coli

Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang respon imun yang melindungi terhadap agen infeksius (Tizard 2000), dan salah satu upaya untuk mencegah penyakit, serta upaya yang efektif untuk menghindarkan diri dari residu antibakteri dan resistensi bakteri (Soeripto 2002).

Efektifitas suatu vaksin dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, sel pendedah antigen (Antigen Presenting Cell/APC) harus terstimulasi sehingga dapat memproses antigen secara efisien dan melepaskan sitokinin yang tepat. Kedua, sel B dan sel T harus terstimulasi sehingga keduanya dapat membangkitkan sejumlah besar sel memori. Ketiga, sel T helper (Th) harus dapat distimulasi oleh beberapa epitop dalam vaksin sehingga terbentuk beberapa variasi tipe molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan epitop. Faktor terakhir adalah antigen harus dapat bertahan pada tempat yang tepat pada jaringan limfoid sehingga sel yang memproduksi antibodi dapat terstimulasi dan perlindungan dapat bertahan selama mungkin (Tizard 2000).

Bakterin adalah istilah yang digunakan untuk vaksin yang berisi bakteri yang dimatikan. Biasanya bakteri dibunuh dengan formaldehid dan menggabungkannya dengan alum atau adjuvant aluminum hidroksida (Tizard 2000). Sebagaimana vaksin mati lain, kekebalan yang dihasilkan hanya berlangsung relatif pendek, biasanya hanya bertahan tidak lebih dari satu tahun dan kadang untuk jangka waktu yang sangat pendek. Kemampuan bakterin dapat ditingkatkan melalui penambahan antigen yang bersifat imunogenik pada bakteri yang dimatikan. Oleh karena itu bakterin E.coli terhadap kolibasilosis dapat diperkaya dengan penambahan pilus antigen K88 atau K99. Antibodi terhadap antigen tersebut mencegah terjadinya perlekatan E.coli pada dinding usus dan


(41)

oleh karena itu berperan secara signifikan pada respon imun protektif (Tizard 2000).

Vaksin yang diberikan untuk sapi pada dasarnya menggunakan antigen K99 dan pada umumnya sangat efektif (Gyles dan Charles 1993). Vaksin diberikan pada induk pada 6 dan 3 minggu sebelum melahirkan. Pemberian vaksin ini membantu terbentuknya titer antibodi yang tinggi di dalam kolostrum, dan pedet harus mendapat kolostrum sesegera mungkin setelah dilahirkan agar antibodi dapat bekerja efektif (Manglayang 2008).


(42)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Bagian Penyakit Dalam Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, dan Kawasan Usaha Peternakan Sapi Perah (KUNAK) Cibungbulang-Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Mei hingga Juli 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Hewan coba yang digunakan adalah tiga ekor induk sapi FH bunting yang sedang dalam masa kering kandang atau umur kebuntingan sekitar 7 bulan. Induk sapi dipilih yang sehat secara klinis dan berada pada laktasi 2-3 (umur 3-4 tahun).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah immunomodulator (Inmunair®), vaksin E.coli polivalen, alkohol 70 %, larutan Turk, Giemsa 10%, metanol, xylol dan minyak emersi.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disposable syringe, hemositometer, bak pewarnaan, label, kapas, aspirator, mechanical shaker, ice box, venoject berantikoagulan potasium EDTA (K3EDTA), gelas obyek, gelas

penutup dan mikroskop.

3.3 Metode penelitian

3.3.1 Pemeliharaan Induk Sapi

Tiga ekor induk sapi perah FH bunting dipelihara di kandang mulai dari umur kebuntingan sekitar 7 bulan (periode kering kandang) sampai partus. Pakan diberikan 2 kali sehari pada pagi dan sore hari berupa pakan hijauan, konsentrat dan ampas tahu. Air diberikan secara ad libitum.

Induk sapi diberi obat cacing dan multivitamin sebelum divaksin. Tiga hari sebelum vaksinasi induk sapi diberi imunomodulator dengan dosis 0.1 mg/kgBB.


(43)

3.3.2 Vaksinasi

Vaksinasi diberikan sebanyak tiga kali pada 8, 6, dan 4 minggu sebelum induk sapi diperkirakan partus. Pada penelitian ini digunakan vaksin E.coli K-99 polivalen yang berisi antigen O157 dan O9,101, enterotoksigenik E.coli K99 & F41 dengan K99 dan F41 inaktif yang diemulsikan dalam alhidrogel. Vaksin diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5 ml/ekor.

3.3.3 Pengambilan darah

Pengambilan darah dilakukan melalui vena jugularis. Lokasi pengambilan darah terlebih dahulu dibersihkan dengan kapas beralkohol kemudian darah diambil sebanyak 2 ml dengan menggunakan disposable syringe 5 ml. Darah kemudian dipindahkan ke dalam venoject yang berisi antikoagulan potasium EDTA. Sampel darah kemudian dimasukkan ke dalam ice box, dan segera dibawa ke laboratorium untuk dianalisis terhadap jumlah leukosit total dan diferensiasi leukosit.

3.3.4 Pemeriksaan darah

3.3.4.1 Penghitungan Jumlah Leukosit Total

Penghitungan jumlah leukosit total dilakukan dengan menggunakan hemositometer. Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet leukosit dan aspirator sampai tera 0.5. Selanjutnya, larutan Turk dihisap hingga tera 11, aspirator dicabut kemudian dihomogenkan menggunakan mechanical shaker

Beberapa tetes pertama isi pipet dibuang, kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung dan ditutup dengan gelas penutup. Pembacaan dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 40.

3.3.4.2. Diferensiasi Leukosit

Diferensiasi leukosit dilakukan untuk menghitung persentase setiap jenis leukosit. Preparat ulas dibuat dengan meneteskan setetes darah pada gelas obyek kemudian diulas dan dibiarkan kering udara selama beberapa menit. Preparat yang telah dikeringudarakan kemudian difiksasi dengan metanol dan dibiarkan selama 5 menit. Preparat kemudian diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit,


(44)

setelah itu dibilas dengan air dan dikeringkan. Pembacaan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 100. Tiap jenis leukosit dihitung hingga jumlah leukosit mencapai 100. Nilai absolut didapat dengan mengalikan persentase masing-masing jenis leukosit dengan jumlah leukosit total.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah leukosit total

Vaksinasi merupakan pemberian antigen untuk merangsang respon imun yang protektif terhadap sebuah agen infeksius (Tizard 2000). Kisaran normal jumlah leukosit total pada induk sapi bunting dengan umur kebuntingan 8 dan 9 bulan berturut-turut adalah 7.65 ±1.64 x103 /µL dan 7.64 ±2.45 x 103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967). Gambaran jumlah leukosit total induk sapi sebelum dan setelah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Jumlah leukosit total induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi.

Pada minggu ke-0 atau sebelum dilakukan vaksinasi pertama jumlah leukosit total sebesar 6.62 ± 3.82 x 103/µL. Jumlah ini masih dalam kisaran normal.

Pada minggu ke-1 atau satu minggu setelah vaksinasi pertama jumlah leukosit total meningkat menjadi 8.05 ± 0.44 x 103/µL dan pada minggu ke-2 menjadi 9.77 ± 1.77 x 103/µL. Namun demikian jumlahnya masih berada dalam kisaran normal. Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton & Hall 1997). Sumsum tulang akan memproduksi dan memobilisasi leukosit ke peredaran darah sebagai respon terhadap vaksinasi (Coles 1986). Ketika antigen masuk ke dalam tubuh maka antigen akan ditangkap dan diproses sebagai bahan asing. Kemudian informasi ini diteruskan ke sistem pembentukan

Vaksinasi II Vaksinasi III Vaksinasi I Leukosit Total 0 4 6 8 10 12

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (minggu) J u m la h ( 1 0 3 L ) 2


(46)

antibodi atau ke sistem kekebalan yang diperantarai oleh sel. Sistem ini kemudian dengan segera merespon dengan membentuk antibodi spesifik, sel spesifik atau keduanya, yang mampu menghancurkan antigen. Sistem kekebalan dapatan seperti ini juga ’mengingat’ kejadian ini sehingga pada pemaparan berikutnya dengan antigen yang sama, respon yang muncul akan lebih cepat dan efisien (Tizard 2000).

Pada minggu ke-3 atau satu minggu setelah vaksinasi II jumlah leukosit total meningkat menjadi 10.47 ± 1.27 x 103/µL dan menurun pada minggu ke-4 menjadi 9.00 ± 1.20 x 103/µL. Peningkatan dan penurunan jumlah leukosit masing-masing pada minggu ke-3 dan ke-4 diakibatkan oleh vaksinasi pada minggu ke-2. Respon imun sekunder berjalan lebih cepat dan efisien (Tizard 2000), oleh karena itu pada minggu ke-4 jumlah leukosit kembali menurun.

Pada minggu ke-5 dan minggu ke-6 jumlah leukosit total meningkat, berturut-turut menjadi 10.37 ± 1.64 x 103/µL dan 11.20 x 103/µL. Hal ini diduga merupakan respon fisiologis. Seperti yang dijelaskan oleh Tizard (2000), pemberian antigen ketiga ditunjukkan oleh respon imun yang lebih pendek dan respon antibodi yang tinggi.

Pada minggu ke-5 dan ke-6 umur kebuntingan induk sapi sudah memasuki bulan ke-9. Kajian yang dilakukan Nafizi, Ahmadi & Gheisari (2008) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus.

4.2 Limfosit

Limfosit berperan dalam imunitas yang diperantarai sel dan yang diperantarai oleh antibodi (Dellman & Eurell 1998). Kisaran normal jumlah limfosit pada peredaran darah induk sapi bunting umur kebuntingan 8 dan 9 bulan, masing-masing adalah 4.72 ±1.38 x103/µL dan 4.57 ±1.26 x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967). Jumlah limfosit sebelum dan sesudah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar.10.


(47)

Gambar 10. Jumlah limfosit induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi.

Pada minggu ke-0 jumlah limfosit adalah 3.17 ± 2.17 x103/µL. Jumlah ini masih berada dalam kisaran normal.

Pada minggu ke-1 jumlah limfosit meningkat menjadi 4.30 ± 0.52 x 103/µl dan turun kembali pada minggu ke-2 menjadi 3.84 ± 1.07 x 103/µL, dan jumlahnya masih dalam kisaran normal dan masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi atau minggu ke-0. Minggu ke-1 bersamaan dengan satu minggu setelah vaksinasi I. Peningkatan jumlah limfosit di peredaran darah terjadi karena limfosit menjalankan perannya dalam ‘mengenali’ antigen dan memicu respon imun.

Tizard (2000) melaporkan bahwa pemberian antigen akan menyebabkan tubuh hewan akan menjalankan respon kekebalan selular dan humoral. Pembentukan antibodi biasanya melibatkan makrofag, sel T dan sel B. Makrofag akan mengikat antigen melalui reseptor permukaan dan memproses antigen tersebut menjadi sangat imunogenik (Jain & AH 1993).

Antigen ini kemudian dipresentasikan ke T-helper virgin dan sel B. Melalui permukaannya, sel T mengenali porsi carier dan sel B mengenali porsi

hapten dari antigen. Interaksi antar sel melibatkan pengenalan antigen permukaan Ia. Interaksi ini memicu proliferasi klonal sel B dan sel T. Lymphokine dari sel T yang distimulasi antigen akan meningkatkan limfopoiesis yang kemudian diatur oleh faktor dari sel T-suppressor, IL-1 dan substansi inhibitory dari makrofag. Aktivasi antigenik sel B dalam respon imun juga terjadi akibat peran sel T. Sel T

Vaksinasi III Vaksinasi II Vaksinasi I Limfosit 0 1 2 3 4 5 6

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (minggu) J u m la h ( 1 0 3 L )


(48)

yang teraktivasi akan secara langsung menghubungkan silang reseptor permukaan sel pada sel B dan mengaktifkan sel B (Jain & AH 1993).

Perubahan sel B menjadi imunosit pembentuk antibodi atau sel plasma adalah dasar dari respon antibodi humoral. Antibodi yang dibentuk adalah IgM. Namun demikian bersamaan dengan respon imun yang terus berlangsung, antibodi yang dibentuk kemudian adalah IgG (Jain & AH 1993).

Keturunan limfosit yang memiliki reseptor antigen yang spesifik akan mengenali antigen yang sama yang muncul berikutnya dan menjalankan respon yang sama namun dengan respon yang lebih tinggi. Beberapa keturunan limfosit berubah menjadi sel memori yang mempercepat respon imun spesifik, baik itu kekebalan humoral maupun seluler (Jain & AH 1993).

Pada minggu ke-3 jumlah limfosit mengalami peningkatan menjadi 5.43 ± 2.99 x 103/µL, dan pada minggu ke-4 menurun kembali menjadi 4.70 ± 2.17 x 103/µL. Namun demikian jumlahnya masih berada dalam kisaran normal dan masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi atau minggu ke-0. Minggu ke-3 bersamaan dengan satu minggu setelah vaksinasi II.

Pemberian vaksinasi II akan menyebabkan tubuh menjalankan respon imun sekunder. Respon tubuh pada respon imun sekunder sangat berbeda dari respon yang pertama. Respon imun sekunder berjalan lebih cepat dengan pembentukan antibodi yang lebih tinggi (Tizard 2000).

Pada respon imun sekunder, sel memori juga berperan dalam pembentukan antibodi. Menurut Colville dan Bassert (2002) dan Tizard (2000), selain membentuk antibodi, limfosit juga membentuk sel memori yang kemudian akan berkoloni di sumsum tulang. Sel-sel ini tidak berperan dalam respon imun awal terhadap suatu antigen namun bertahan di jaringan limfoid sementara menunggu paparan kedua dari antigen tersebut.

Pada minggu ke-2 dan ke-4 jumlah limfosit mengalami penurunan. Hal ini diduga karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid untuk pembentukan antibodi. Jain & AH (1993) melaporkan bahwa respon imun yang mengarah pada pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah.


(49)

Pada minggu ke-5 dan ke-6 jumlah limfosit meningkat secara berturut-turut menjadi 4.90 ± 1.05 x 103/µL dan 5.71 ± 2.01 x 103/µL, dan jumlahnya masih dalam kisaran normal. Minggu ke-5 dan ke-6 bersamaan dengan satu minggu dan dua minggu setelah vaksinasi III. Jumlah limfosit yang meningkat diduga terjadi bukan sebagai respon terhadap vaksinasi melainkan respon fisiologis. Seperti yang dijelaskan oleh Tizard (2000), pemberian antigen ketiga ditunjukkan oleh respon imun yang lebih cepat dan respon antibodi yang tinggi.

Minggu ke-5 dan ke-6 umur kebuntingan induk sapi sudah memasuki bulan ke-9. Kajian yang dilakukan Nafizi, Ahmadi & Gheisari (2008) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus.

Peningkatan jumlah leukosit total mempunyai arti bahwa jumlah jenis leukosit di peredaran darah meningkat. Peningkatan jumlah neutrofil dan limfosit di peredaran darah berakibat pada peningkatan jumlah leukosit total (Colville dan Bassert 2002).

4.3 Neutrofil

Neutrofil adalah pertahanan sel pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang (Jain & AH 1993) yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi (Guyton & Hall 1997). Kisaran normal induk sapi bunting dengan umur kebuntingan 8 dan 9 bulan secara berturut-turut adalah 2.32x103± 0.99 /µL dan 2.58 x103±1.07 x103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967). Jumlah neutrofil sebelum dan setelah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 11.

Jumlah neutrofil pada minggu ke-0 adalah 2.40 ± 0.89 x 103/µL. Jumlah neutrofil pada minggu ini masih dalam kisaran normal. Minggu ke-1 atau satu minggu setelah vaksinasi pertama jumlah neutrofil meningkat menjadi 2.57 ± 0.25 x 103/µL, namun demikian jumlahnya masih berada dalam kisaran normal.


(50)

Gambar 11. Jumlah neutrofil induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi.

Pemberian antigen dalam hal ini adalah vaksin E.coli akan direspon oleh neutrofil dengan memfagosit dan menghancurkan antigen yang ada pada vaksin tersebut. Ketika masuk ke dalam jaringan neutrofil merupakan sel-sel yang sudah matang yang siap untuk melakukan fagositosis (Guyton & Hall 1998). Neutrofil menjalankan empat tahapan proses fagositosis yaitu chemotaxis, adherence, ingestion dan digestion (Tizard 2000).

Setelah difagositosis, antigen kemudian dicerna oleh makrofag kemudian produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit sehingga menimbulkan aktivasi klon khusus. Selain itu makrofag juga mensekresikan bahan pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton & Hall 1998). Proses selanjutnya adalah pembentukan antibodi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pada minggu ke-2 jumlah neutrofil meningkat menjadi 4.16 ± 2.7 x 103/µL. Tizard (2000) melaporkan bahwa vaksin adalah suspensi dari organisme hidup atau inaktif yang digunakan sebagai antigen yang bertujuan untuk menghasilkan imunitas.

Meningkatnya jumlah neutrofil pada minggu ke-2 diduga akibat induk sapi mengalami stres. Seperti yang dijelaskan oleh Ganong (2002) dan Colville & Bassert (2002), bahwa stres akan menyebabkan terjadinya peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan glukokortikoid dalam darah.

Vaksinasi II

Vaksinasi I Vaksinasi III Neutrofil 0 1 2 3 4 5

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (minggu) J u m la h ( 1 0 3 L )


(51)

Peningkatan glukokortikoid dalam darah memicu pergerakan sementara dari

marginal pool ke circulating pool. Pergerakan sementara neutrofil ke circulating pool akan meningkatkan jumlah neutrofil (neutrofilia) di dalam peredaran darah (Ganong 2002) (Colville dan Bassert 2002).

Pada minggu ke-3 jumlah neutrofil turun menjadi 3.10 ± 1.46 x 103/µL, kemudian menurun kembali pada minggu ke-4 menjadi 2.51 ± 0.97 x 103/µL. Jumlah neutrofil di minggu ke-3 dan ke-4 masih berada pada kisaran normal.

Pada minggu ke-5 jumlah neutrofil mengalami peningkatan menjadi 2.84 ± 1.83 x 103/µL dan pada minggu ke-6 mengalami peningkatan kembali menjadi 3.40 ± 1.52 x 103/µL. Minggu ke-5 dan ke-6 umur kebuntingan induk sapi sudah memasuki bulan ke-9. Kajian yang dilakukan Nafizi, Ahmadi & Gheisari (2008) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus.

Peningkatan jumlah leukosit total mempunyai arti bahwa jumlah neutrofil dan limfosit di peredaran darah meningkat. Peningkatan jumlah neutrofil dan limfosit di peredaran darah berakibat pada peningkatan jumlah leukosit total (Colville dan Bassert 2002).

4.4 Eosinofil

Eosinofil seringkali diproduksi dalam jumlah besar pada penderita infeksi parasit, dan eosinofil bermigrasi ke jaringan yang menderita infeksi parasit (Guyton & Hall 1997). Jumlah eosinofil sebelum dan sesudah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 12.

Kisaran normal jumlah eosinofil pada induk sapi bunting umur kebuntingan 8 dan 9 bulan secara berturut-turut adalah 0.59 ± 0.36 x 103 /µL dan 0.47 ± 0.42 x 103 / L (Conner, LaBelle, Eyster & Wonnacot 1967).

Jumlah eosinofil pada minggu ke-0 atau sebelum vaksinasi I adalah 0.90 ± 0.69 x 103 /µL. Jumlahnya menurun pada minggu ke-1 menjadi 0.81 ± 0.24 x 103 /µL. Namun demikian jumlah eosinofil di peredaran darah induk sapi masih berada pada kisaran normal. Penurunan jumlah eosinofil di dalam peredaran darah (eosinopenia) sulit untuk dideteksi karena secara normal jumlahnya memang sedikit (Colville & Bassert 2002).


(52)

Gambar 12. Jumlah eosinofil induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Pada minggu ke-2 jumlah eosinofil meningkat dan cenderung stabil hingga minggu ke-4. Namun demikian jumlahnya melebihi kisaran normal. Jumlah eosinofil pada minggu ke-2 hingga ke-4 secara berturut-turut adalah 1.58 ± 0.48 x 103 /µL, 1.59 ± 0.42 x 103 /µL, dan 1.50 ± 0.62 x 103 /µL. Jumlah eosinofil sempat meningkat pada minggu ke-5 menjadi 2.22 ± 1.40 x 103 /µL dan turun kembali pada minggu ke-6 menjadi 1.50 ± 0.85 x 103 /µL.

Jumlah eosinofil yang tinggi pada minggu ke-2 hingga minggu ke-6 diduga diakibatkan oleh adanya infeksi kecacingan yang berasal dari lingkungan. Haen (1995) menjelaskan bahwa eosinofil memegang peranan penting dalam memerangi infeksi kecacingan dan juga terlibat dalam reaksi hipersensitifitas tertentu.

Infeksi parasitik dapat merangsang baik respon kekebalan humoral maupun seluler. Antibodi IgG spesifik diproduksi untuk berikatan pada parasit, membuat komplemen, memicu reaksi peradangan dan dapat merusak parasit itu sendiri (Jain & AH 1993). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil atau sel fagositik lain, eosinofil akan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit (Guyton & Hall 1997).

Antibodi IgE spesifik dapat berikatan dengan sel mast jaringan dan menyebabkan degranulasi dan pelepasan substansi bioaktif seperti histamine, ECF-A, dan faktor pengaktivasi platelet (PAF). Lymphokine khusus yang

Vaksinasi II Vaksinasi III Vaksinasi I Eosinofil 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0 1 2 3 4 5 6

J u m la h ( 1 0 3 L ) Waktu (minggu)


(53)

diproduksi limfosit T diaktivasi oleh antigen parasitik akan merangsang produksi dan pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dapat dicerminkan sebagai eosinofilia yaitu meningkatnya jumlah eosinofil di dalam sirkulasi darah (Jain & AH 1993).

4.5 Monosit

Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik (Dellman & Eurell 1998). Jumlah monosit sebelum dan setelah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 13. Jumlah monosit pada minggu ke-0 atau sebelum vaksinasi I adalah 0.21 ± 0.16 x 103/µL. Jumlah monosit pada minggu ke-0 masih berada pada kisaran normal.

Gambar 13. Jumlah monosit induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi.

Pada minggu ke-1 jumlah monosit meningkat menjadi 0.48 ± 0.15 x 103 /µL. Hal ini terjadi karena monosit menjalankan fungsinya dalam memfagositosis dan memproses antigen sebelum limfosit memicu respon antibodi atau kekebalan seluler. Peranan penting lain monosit yaitu sebagai pertahanan tubuh melawan invasi organisme patogen melalui proses penelanan dan fagositosis serta berperan dalam aktivasi respon imun dapatan (Jain & AH 1993, Haen 1995).

Antigen akan difagositosis oleh makrofag dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit Selain itu

Vaksinasi II Vaksinasi III Vaksinasi I Monosit 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (minggu) J u m la h ( 1 0 3 L )


(54)

makrofag juga menyekresikan bahan pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton & Hall 1998).

Pada minggu ke-2 jumlah monosit menurun menjadi 0.28 ± 0.27 x 103/µL. Pada minggu ke-2 jumlah monosit masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi sehingga dapat diduga bahwa monosit masih menjalankan perannya dalam memfagositosis antigen.

Pada minggu ke-3 jumlah monosit mengalami peningkatan menjadi 0.36 ± 0.15 x 103/µL. Jumlah monosit yang meningkat diduga monosit menjalankan perannya kembali seperti pada minggu ke-1 karena minggu ke-3 juga bersamaan dengan satu minggu setelah vaksinasi II.

Pada minggu ke-4 jumlah monosit mengalami penurunan menjadi 0.29 ± 0.03 x 103 /µL. Pada minggu ke-4 jumlah monosit masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi sehingga dapat diduga bahwa monosit masih menjalankan perannya dalam memfagosit antigen

Pada minggu ke-5 dan ke-6 jumlah monosit kembali meningkat secara berturut-turut menjadi 0.40 ± 0.37 x 103/µL dan 0.60 ± 0.47 x 103/µL. Hal ini diduga bukan respon terhadap vaksinasi melainkan respon fisiologis. Seperti yang dijelaskan Tizard (2000) pemberian antigen ketiga ditunjukkan oleh respon imun yang lebih cepat dan respon antibodi yang tinggi.

Minggu ke-5 dan ke-6 umur kebuntingan induk sapi sudah memasuki bulan ke-9. Kajian yang dilakukan Nafizi, Ahmadi & Gheisari (2008) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus.

4.6 Basofil


(55)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa vaksinasi pada induk sapi bunting dengan menggunakan vaksin Escherichia coli K99 polivalen tidak mempengaruhi gambaran leukosit.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel hewan coba yang lebih banyak. Penanganan dan pemeliharaan sapi yang baik sehingga faktor fisiologis seperti stres tidak mempengaruhi gambaran darah pada saat penelitian.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

[Ansi Okstate] 2008. Breeds of Livestock-Holstein Cattle. http://www.ansi.okstate.ed.htm [9 Feb 2008].

Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Edisi ke-4. USA: W.B. Saunders Company

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technician. USA: Mosby, Inc.

Conner, Labella JA, Eyster J, Wonnacot J. 1967. Effect of Pregnancy and Age on Hemograms of Holstein-Friesien Cattle in A Herd with No Evidence of Leukemia. Am J. Vet. Res., Vol. 28, No. 126.

Dellman DH, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Edisi ke-5. USA: A Wolsters Kluwer Company.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung. 2007. Beternak Sapi Perah. Lampung: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung.

[DSN]. Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Sapi Perah Bibit. SNI 01-2735-1992. Pusat Standardisasi-LIPI Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional

Ganong WF. 2002 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi-20. Brahm U, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Review of Medical Physiology.

Guyton CA, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi. Edisi ke-9. Irawati S, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Gyles CL, Charles OT. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infection in Animal. Ames; Lowa State University

[ HSLBP] 2008. Technical Sheet E.coli K99. http://www.hslbp.com// [26 Mei 2008].

Haen JP. 1995. Principles of Hematology. USA: Wm. C. Brown Communications, Inc.

Jain NC, AH. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. USA: Lea & Febiger.

Manglayang Farm Online. 2006. Kenal Cegah Tangkal : Diare pada Sapi Pedet.


(57)

Nafizi S, Ahmadi MR, Gheisari HR. 2008. Hematological Changes of Dairy Cows in Postpartum Period and Early Pregnancy. Comp Clin Pathol (2008). 17:157-163.

Prihatman K. 2000. Proyek pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan. Jakarta; Bappenas.

Purbani E. Minum Kolostrum Biar Nggak Gampang Sakit. Tabloid Dwimingguan Agrina Vol.3 No.57. 11-24 Juli 2007. Hal 23. Kol 1.

Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escherichia coli Enterotoksigenik, Enteropatogenik, dan Verotoksigenik Isolat Lokal untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Babi dan Sapi. Wartazoa. 11(1):36-43

Soeripto. 2002. Pendekatan konsep kesehatan hewan melalui vaksinasi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 21 No. 2 Th. 2002.

Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. Ed. ke-6. USA: W.B. Saunders Company

[ Wikipedia ] 2008. Escherichia coli. http://www.wikipedia.com// [26 Mei 2008].


(1)

Gambar 12. Jumlah eosinofil induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi

Pada minggu ke-2 jumlah eosinofil meningkat dan cenderung stabil hingga minggu ke-4. Namun demikian jumlahnya melebihi kisaran normal. Jumlah eosinofil pada minggu ke-2 hingga ke-4 secara berturut-turut adalah 1.58 ± 0.48 x 103 /µL, 1.59 ± 0.42 x 103 /µL, dan 1.50 ± 0.62 x 103 /µL. Jumlah eosinofil sempat meningkat pada minggu ke-5 menjadi 2.22 ± 1.40 x 103 /µL dan turun kembali pada minggu ke-6 menjadi 1.50 ± 0.85 x 103 /µL.

Jumlah eosinofil yang tinggi pada minggu ke-2 hingga minggu ke-6 diduga diakibatkan oleh adanya infeksi kecacingan yang berasal dari lingkungan. Haen (1995) menjelaskan bahwa eosinofil memegang peranan penting dalam memerangi infeksi kecacingan dan juga terlibat dalam reaksi hipersensitifitas tertentu.

Infeksi parasitik dapat merangsang baik respon kekebalan humoral maupun seluler. Antibodi IgG spesifik diproduksi untuk berikatan pada parasit, membuat komplemen, memicu reaksi peradangan dan dapat merusak parasit itu sendiri (Jain & AH 1993). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk difagositosis oleh eosinofil atau sel fagositik lain, eosinofil akan melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit (Guyton & Hall 1997).

Antibodi IgE spesifik dapat berikatan dengan sel mast jaringan dan menyebabkan degranulasi dan pelepasan substansi bioaktif seperti histamine, ECF-A, dan faktor pengaktivasi platelet (PAF). Lymphokine khusus yang

Vaksinasi II Vaksinasi III Vaksinasi I Eosinofil 0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0 1 2 3 4 5 6

J u m la h ( 1 0 3 L ) Waktu (minggu)


(2)

diproduksi limfosit T diaktivasi oleh antigen parasitik akan merangsang produksi dan pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dapat dicerminkan sebagai eosinofilia yaitu meningkatnya jumlah eosinofil di dalam sirkulasi darah (Jain & AH 1993).

4.5 Monosit

Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik (Dellman & Eurell 1998). Jumlah monosit sebelum dan setelah vaksinasi dapat dilihat pada Gambar 13. Jumlah monosit pada minggu ke-0 atau sebelum vaksinasi I adalah 0.21 ± 0.16 x 103/µL. Jumlah monosit pada minggu ke-0 masih berada pada kisaran normal.

Gambar 13. Jumlah monosit induk sapi bunting sebelum dan setelah vaksinasi.

Pada minggu ke-1 jumlah monosit meningkat menjadi 0.48 ± 0.15 x 103 /µL. Hal ini terjadi karena monosit menjalankan fungsinya dalam memfagositosis dan memproses antigen sebelum limfosit memicu respon antibodi atau kekebalan seluler. Peranan penting lain monosit yaitu sebagai pertahanan tubuh melawan invasi organisme patogen melalui proses penelanan dan fagositosis serta berperan dalam aktivasi respon imun dapatan (Jain & AH 1993, Haen 1995).

Antigen akan difagositosis oleh makrofag dan produk antigeniknya dilepaskan ke dalam sitosol makrofag. Makrofag kemudian melewatkan antigen-antigen tersebut dengan cara kontak sel-ke-sel langsung ke limfosit Selain itu

Vaksinasi II Vaksinasi III Vaksinasi I Monosit 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 1 2 3 4 5 6

Waktu (minggu) J u m la h ( 1 0 3 L )


(3)

makrofag juga menyekresikan bahan pengaktivasi khusus yang meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi limfosit spesifik (Guyton & Hall 1998).

Pada minggu ke-2 jumlah monosit menurun menjadi 0.28 ± 0.27 x 103/µL. Pada minggu ke-2 jumlah monosit masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi sehingga dapat diduga bahwa monosit masih menjalankan perannya dalam memfagositosis antigen.

Pada minggu ke-3 jumlah monosit mengalami peningkatan menjadi 0.36 ± 0.15 x 103/µL. Jumlah monosit yang meningkat diduga monosit menjalankan perannya kembali seperti pada minggu ke-1 karena minggu ke-3 juga bersamaan dengan satu minggu setelah vaksinasi II.

Pada minggu ke-4 jumlah monosit mengalami penurunan menjadi 0.29 ± 0.03 x 103 /µL. Pada minggu ke-4 jumlah monosit masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum vaksinasi sehingga dapat diduga bahwa monosit masih menjalankan perannya dalam memfagosit antigen

Pada minggu ke-5 dan ke-6 jumlah monosit kembali meningkat secara berturut-turut menjadi 0.40 ± 0.37 x 103/µL dan 0.60 ± 0.47 x 103/µL. Hal ini diduga bukan respon terhadap vaksinasi melainkan respon fisiologis. Seperti yang dijelaskan Tizard (2000) pemberian antigen ketiga ditunjukkan oleh respon imun yang lebih cepat dan respon antibodi yang tinggi.

Minggu ke-5 dan ke-6 umur kebuntingan induk sapi sudah memasuki bulan ke-9. Kajian yang dilakukan Nafizi, Ahmadi & Gheisari (2008) menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit secara bertahap terjadi ketika mendekati partus.

4.6 Basofil


(4)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa vaksinasi pada induk sapi bunting dengan menggunakan vaksin Escherichia coli K99 polivalen tidak mempengaruhi gambaran leukosit.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel hewan coba yang lebih banyak. Penanganan dan pemeliharaan sapi yang baik sehingga faktor fisiologis seperti stres tidak mempengaruhi gambaran darah pada saat penelitian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

[Ansi Okstate] 2008. Breeds of Livestock-Holstein Cattle. http://www.ansi.okstate.ed.htm [9 Feb 2008].

Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Edisi ke-4. USA: W.B. Saunders Company

Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technician. USA: Mosby, Inc.

Conner, Labella JA, Eyster J, Wonnacot J. 1967. Effect of Pregnancy and Age on Hemograms of Holstein-Friesien Cattle in A Herd with No Evidence of Leukemia. Am J. Vet. Res., Vol. 28, No. 126.

Dellman DH, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Edisi ke-5. USA: A Wolsters Kluwer Company.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung. 2007. Beternak Sapi Perah. Lampung: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Lampung.

[DSN]. Dewan Standardisasi Nasional. 1992. Sapi Perah Bibit. SNI 01-2735-1992. Pusat Standardisasi-LIPI Jakarta: Dewan Standardisasi Nasional

Ganong WF. 2002 Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi-20. Brahm U, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari : Review of Medical Physiology.

Guyton CA, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi. Edisi ke-9. Irawati S, penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Gyles CL, Charles OT. 1993. Pathogenesis of Bacterial Infection in Animal. Ames; Lowa State University

[ HSLBP] 2008. Technical Sheet E.coli K99. http://www.hslbp.com// [26 Mei 2008].

Haen JP. 1995. Principles of Hematology. USA: Wm. C. Brown Communications, Inc.

Jain NC, AH. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. USA: Lea & Febiger. Manglayang Farm Online. 2006. Kenal Cegah Tangkal : Diare pada Sapi Pedet.


(6)

Nafizi S, Ahmadi MR, Gheisari HR. 2008. Hematological Changes of Dairy Cows in Postpartum Period and Early Pregnancy. Comp Clin Pathol (2008). 17:157-163.

Prihatman K. 2000. Proyek pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan. Jakarta; Bappenas.

Purbani E. Minum Kolostrum Biar Nggak Gampang Sakit. Tabloid Dwimingguan Agrina Vol.3 No.57. 11-24 Juli 2007. Hal 23. Kol 1.

Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner dalam Pengembangan Peternakan: Harapan Vaksin Escherichia coli Enterotoksigenik, Enteropatogenik, dan Verotoksigenik Isolat Lokal untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Babi dan Sapi. Wartazoa. 11(1):36-43

Soeripto. 2002. Pendekatan konsep kesehatan hewan melalui vaksinasi. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 21 No. 2 Th. 2002.

Tizard IR. 2000. An Introduction to Veterinary Immunology. Ed. ke-6. USA: W.B. Saunders Company

[ Wikipedia ] 2008. Escherichia coli. http://www.wikipedia.com// [26 Mei 2008]. [Wikipedia] 2008. Sapi. http://id.wikipedia.org/wiki/Sapi [26 Mei 2008].