Analisis penawaran dan permintaan jagung di Indonesia

JORDAN
k

JURUSAN

ILNIU-ILMU

ZULKARNAEN
22.

0972

SOSlAL

EKONOMI

FAKLDLTAS PERTAMIAN

lMSTlTUT PERTANlAN
1992


BOGOR

PERTANIAN

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN
JAGUNG DI INDONESIA

.JORDAN ZULKARNAEN
A 22. 0972

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk iiie~riperoleligelar
Sar.jatia Pertaiiiaii pada Fakultas Pertaiiiati
Institut Pertanjail Bogor

JURUSAN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI PEIU'ANIAN
FAKULI'AS PEKMNIAN
INSTITUT I'ERTANIAN ROGOK

1 9 9 2


Bahwa s e s u n g g u h n y a kemerdekaan i t u a d a l a h h a k s e g a l a
b a n g s a . Dan o l e h s e b a b i t u maka p e n j a j a h a n d i a t a s d u n i a
h a r u s dihapuskan. Karena t i d a k s e s u a i dengan perikemanus i a a n dan p e r i k e a d i l a n
(Pembukaan Undang-Undanq D a s a r 1 9 4 5 R e p u b l i k I n d o n e s i a )

....................................

.............................
...................... J i w a Raga Kami

Bagimu N e g e r i

J O R D A N ZULKARNAEN. Analisis Penawaran dan Permintaan

Jagunq di Indonesia. (Di bawah bimbingan

SRI HARTOYO)

.


Setelah pencapaian swasembada beras maka Pemerintah
telah menyadari perlu untuk mengembanqkan produksi tanaman
pangan nonberas yaitu tanaman palawija. Hal ini pentinq di
samping untuk mempertahankan swasembada juqa untuk meningkatkan sumbangan subsektor pangan terhadap pendapatan
nasional, lapangan pekerjaan di wilayah pedesaan, serta
sebagai sokoguru untuk pengembangan subsektor agroindutri
yang berbasis pada komoditas tersebut.
Jagung merupakan salah satu tanaman palawija yanq
terpenting. Ia juga merupakan tanaman pangan pokok sekaliqus bahan pangan sekunder terutama pada daerah-daerah yang
tidak teririgasi. Jagung juga merupakan sumber pakan bagi
industri peternakan di Indonesia. Dalam perkembangannya
jagung memiliki prospek yang cukup cerah terutama dalam
pengembangan industri hilir.
Penelitian ini mencoba menqetengahkan permasalahan
subsektor jagung dalam ruang lingkup ekonomi mikro di
Indonesia. Dengan demikian maka perkembangan areal panen,
serta beberapa fenomena ekonomi makro seperti impor jagung
dan perkemabngan indusri menjadi sorotan analisis. Di


samping itu beberapa faktor-faktor lainnya seperti implikasi kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pengembangan
pangan khususnya palawija seperti Bimas Palawija menjadi
obyek analisis.
Hasil regresi dengan menggunakan metoda Derajat
Terkecil Sederhana (Ordinary Least SquarelOLS) dan Derajat
Terkecil Dua Tahap (Two Stages Least Square/2SLS) menunjukkan bahwa pendekatan 2SLS memberikan perilaku parameter
yang konsisten dan tidak berbias.
Harga beda kala jagung berpengaruh positif nyata pada
taraf 1%

-

5% baik pada areal, penawaran maupun permintaan

jagung untuk konsumsi langsung atau pun untuk impor.
Sedangkan harga jagung beda kala dalam persamaan permintaan jagung untuk pakan tidak berpengaruh.

Demikian pula

harga beda kala beras berpengaruh positlf terhadap areal

panen jagung serta

permintaan jagung untuk bahan pangan.

Kedua harga komoditas pangan ini memainkan peranan yang
berarti bagi perkembangan produksi dan pasar jagung di
Indonesia. Pelaksanaan Bimas Palawija berpengaruh secara
nyata pada taraf 10% terhadap penawaran jagung. Namun
Bimas Palawija tidak berpengaruh terhadap luas areal panen

jagung.
Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat
dan harga beda kala pakan ayam petelur

berpengaruh pada

taraf nyata 5% terhadap masing-masing peubah endogennya,
yaitu impor bersih dan permintaan jagung untuk pakan.

Perkembangan industri pakan ternyata berpengaruh

terhadap peningkatan permintaan terhadap jagung. Ini
merupakan suatu premis yang membuktikan bahwa agroindustri
memiliki keunggulan di dalam peningkatan permintaan terhadap komoditas pertanian. Pada gilirannya ha1 itu akan
diikuti dengan peningkatan produksi pertanian. Dengan
sendiorinya maka secara riil kenyataan tersebut akan mampu
untuk meninqkatkan kesejahteraan petani.
Dalam perkembangannya pelaksanaan kebijaksanaan Bimas
Palawija berimplikasi pada keberhasilan produksi jagung
yang terus menerus meningkat. Peningkatan produksi jagung
di Indonesia ternyata disamping disebabkan karena peninqkatan jumlah absolut areal panen jagung juga ternyata
disebabkan karena peningkatan produktivitas jagung. Apabila kebijaksanaan bimas jagung merupakan proxi dari adanya
unsur teknologi baik dalam benih unggul, budidaya, serta
penggunaan input dan informasi, maka berpengaruhnya Bimas
Palawija terhadap produksi jagung menunjukan bahwa peningkatan produksi yang terjadi dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari masuknya unsur-unsur teknologi serta kelembagaan
informasi tentang industri jagung. Sebaliknya tidak berpenqaruhnya Bimas Palawija terhadap perkembangan luas
areal panen jagung mungkin disebabkan karena Bimas Palawija tidak mengandung unsur-unsur insentif bagi petani
jagung untuk memperluas areal tanamannya atau mehdorong
petani untuk menanam jagung.

Judul


: ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN

JAGUNG DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Jordan Zulkarnaen
NRP

:

A 22.0972

Program Studi

: Ekonomi ~ e r t a n i a ndan Sumberdaya

~enyetujui,
~ e m b i m b i n gAkademik

IR. SRI HARTOYO, MS.


NIP 131 124 021

dmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian

FI*.
BUNASOR
NIP 130 345 012
TANGGAL LULUS :

SANIM

KATA PENGANTAR
Pertanian tanaman pangan merupakan kegiatan ekonomi
raksasa yang diselengqarakan oleh hampir sebagian besar
rakyat Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Keqiatan
pertanian tanaman pangan merupakan usaha ekonomi sebagian
besar rakyat pedesaan yang mempunyai tujuan mulia yaitu
untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi swasembada beras merupakan puncak prestasi
besar bagi Bangsa Indonesia.

Bagi Indonesia upaya untuk mempertahankan swasembada
beras mendorong k e arah peningkatan produksi beras dan
tanaman pangan lainnya termasuk jagung.

Namun selain

daripada itu tanaman jagung merupakan tanaman pangan kedua
terpenting setelah beras bagi rakyat Indonesia.
Tulisan ini mencoba mengetengahkan tentang Analisis
Penawaran dan Permintaan Jagung di Indonesia. Sebagai
tanaman pangan kedua terpenting setelah beras, jagung
memiliki prospek yang cukup cerah terutama peranannya
dalam meningkatkan pendapatan nasional dan lapangan pekerjaan bagi berjuta-juta

penduduk pedesaan. Di samping itu

jagung merupakan bahan pangan pokok yang penting sebagai
sumber protein dan kalori alternatif beras, serta bahan
baku pakan ternak dan beranekaragam industri.


RI WAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kota Pahlawan, Surabaya, pada tanggal 3 September 1966 sebagai putra kedua dari empat bersaudara dari Ayahanda (Alm.) Akhmad Gazali dan Ibunda
Maria Magdalena Sri Wiyatmi.
Pada tahun 1979 penulis lulus Sekolah Dasar Negeri XV
Gatotan Surabaya. Penulis diterima di Sekolah Menengah
Pertama Negeri I1 Surabaya serta

pada tahun 1982 Penulis

lulus. Selanjutnya Penulis diterima di Sekolah Menengah
Atas Negeri VI Surabaya dan lulus pada tahun 1985.
Tahun 1985 Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(Sipenmaru) sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama
(TPB). Pada tahun 1987 penulis diterima dl Program Studi
Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis aktif bergerak dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan baik di Himpunan' Mahasiswa Islam sejak tahun
1985 maupun penerbitan mahasiswa Gema Almamater IPB pada


tahun 1988-1990. Penulis juga bergerak dalam kegiatan
pengkajian masalah-masalah sosial politik yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi FOLAPMI maupun dalan~ diskusidiskusi di Senat Mahasiswa IPB

UCAI'AN TERIMA KASIH
P e n u l i s menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Ir. Sri Hartoyo, MS. atas bimbingan
dan saran-saran dalam penulisan Laporan Penelitian ini
~ e n u l i sjuga menyampaikan terima kasih kepada Bapak
Dr. Ir. Bunasor Sanim dan Ibu Ir. Jajah K. Wagiono, MEc.
atas segala dorongannya dan bantuan yang diberikan kepada
penulis

dalam berbagai kesempatan.

Kepada

Ibu

Yuni

dan

Ibu

Dina,

staf

CGPRT

CENTRE/ESCAP, penulis ucapkan terima kasih atas segala
bantuannya dalam memperoleh bahan literatur.
Ucapan terima kasih setulusnya penulis sampaikan bagi
Ibu Fathma Effendy dan Bapak M Noor Effendy atas segala
doa dan dorongan moril bagi penulis.
Tidak lupa penulis juga ingin menyampaikan terima
kasih sebesar-besarnya kepada Keluarga Besar Dirdjowijoto
atas dorongan moril dan materi dalam berbagai kesempatan.
Penulis acapkali memperoleh koreksi dan bahan-bahan pemikiran baru dalam setiap kesempatan berdialog dengannya.
~ e n u l i stidak ingin melewatkan untuk mengucapkan
terima kasih setulusnya kepada terkasih

Ida Agustina atas

segala pengorbanannya yang tak kenal lelah membantu penulis d i dalam menyelesaikan pemrosesan data sampai pada
pengetikan

naskah-naskah.

Akhirnya, terima kasih tak terhingga penulis sampaik a n bagi Ibunda tercinta, Maria Magdalena Sri Wiyatmi yang
telah membesarkan dan membimbing penulis serta dengan
tekun senantiasa mendorong penulis untuk menyelesaikan
tulisan ini.
Semoga tulisan ini menambah perbendaharaan penulisan
tentang produksi dan konsumsi jagung dan pengembangan
tanaman pangan di Indonesia.

Bogor,

Nopember

1992

D E N G A N IN1 SAYA
T U L I S IN1
BELUM
LEMBAGA

MENYATAKAN

MERUPAKAN

HASIL

P E R N A H DIPUBLIKASIKAN

BAHWA
KARYA

SKRIPSI
SAYA

SEBAGAI

YANG

SENDIRI

KARYA

SAYA
SERTA

TULIS

MANAPUN.

BOGOR, NOPEMBER 1992
YANG MENYATAKAN

JORDAN ZULKARNAEN

DI

DAFTAR IS1
Halaman

RINGKASAN...

i

PENGESAHAN ...................................... ii

LEMBAR
KATA

.............................................

PENGANTAR ........................................ iii

RIWAYAT
UCAPAN

HIDUP ..........................................iv
TERIMA

KASIH. ................................... V

PERNYATAAN .............................................. vi
DAFTAR IS1 .............................................vii

DAFTAR

..........................................ix
GAMBAR.... ........................................X

BAB I.

PENDAHULUAN ......................................1

DAFTAR TABEL..

................................1
Masalah .......................................8
Tujuan......................................... 8

1. Latar belakang
2.
3.

BAB I1

.............................. 10
Tinjauan Teoritis............................ 10

KERANGKA PEMIKIRAN
1.

2. Tinjauan Studi Penawaran dan Permintaan Ja-

gung di Indonesia.. .......................... 18

...............................22
Sumber Data..... ................... 22

BAB I11 METODE PENELITIAN
1. Jenis dan

. Pengolahan Data .............................. 22
3 . Model Analisis ............................... 22
4 . Elastisitas.................................. 26
2

BAB IV

KONDISI UMUM JAGUNG DI INDONESIA................28
1 . Perkembangan Luas Areal Panen ................ 28
2 . Perkembangan Produktivitas ................... 34
3 . Perkembangan Produksi........................37
4 . Pasca Panen..................................39
5 . Konsumsi dan Penggunaan Jagung ...............41
5.1. Konsumsi ................................43
5.2. Pakan Ternak ............................47
5.3. Industri ................................48
5.4. Ekspor dan Impor ........................ 52

BAB V

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN JAGUNG DI
INDONESIA ....................................... 54

. Hasil Regresi ................................ 54
2 . Analisis Ekonomi ............................. 54

1

2.1. Fungsi Respon Areal ..................... 55
2.2. Fungsi Penawaran Jagung di Indonesia ....57
2.3. Fungsi Permintaan Jagung untuk Bahan
Makanan ................................. G O
2.4. Fungsi Permintaan Jagung untuk Bahan
Pakan ................................... 62

........64

2.5. Fungsi Impor Jagung di Indonesia

3

BAB VI

.

Sifat Pasar dan Analisis Kebijaksanaan .......67

KESIMPULAN DAN SARAN ............................69

.
2.
1

Kesimpulan ...................................69
Saran ........................................71

DAFTAR PUSTAKA ...........................................73
LAMPIRAN-LAMPIRAN

.......................................xi

DAFTAR TABEL
Tabel 1

.

Tabel 2

.

Tabel 3

.

.
5.

Halaman
Elastisitas Pendapatan terhadap Konsumsi
Jagung Tahun 1980

............................. 16

Elastisitas Harga terhadap Konsumsi Jagung
Pipilan di Pedesaan Indonesia Tahun 1978 ...... 17
Elastisitas Pendapatan terhadap Produk Telur.
Daging dan Susu ............................... 17

Tabel 4

Penggunaan Jagung di Indonesia................ 41

Tabel

Konsumsi Jagung per Kapita Menurut Kelas
Pengeluaran Indonesia......................... 4 2

Tabel 6 .

Tingkat Partisipasi Konsumsi Jagung Menurut
Kelas Pengeluaran ( % ) . 1981

Tabel 7 .

Jumlah Bahan Makanan Ternak ~ k u Ransum
k
Konssentrat 1978 .1980 (dalam 000 ton)
45

Tabel 8 .

Komposisi Rata-Rata Biji

Tabel 9 .

Impor Minyak Jagung. Tepung Jagung. dan Gula
Jagung pada tahun 1984 ........................ 49

Tabel 10

...................43

...........
Jaqung...............47

. Perbandingan antara

Produksi. Ekspor dan Impor
Jagung Indonesia (000 ton). 1969 - 1990
51

Tabel 11 . Parameter Regresi 2SLS Model
Tabel 12 . Parameter Regresi 2SLS Model

.......
Respon Areal .....54
Penawaran........56

Tabel 13 . Parameter Regresi 2SLS Model Permintaan
Pangan

........................................ 59

. Parameter Regresi 2SLS Model Permintan
Pakan ......................................... 61
15 . Parameter Regresi 2SLS Model Impor ............ 63

Tabel 14
Tabel

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.

Halaman
Faktor-Faktor yanq Mempenqaruhi Perqeseran
12
Kurva Penawaran Jagunq

......................

Gambar 2.

Faktor-Faktor yanq Mempenqaruhi Perqeseran
Kurva Permintaan Jaqunq

Gambar 3.

Baqan Alir Jaqunq Tahun 1981
(000 metrik ton)

......................13

............................. 44

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Salah satu tujuan penting pembangunan
adalah

tercapainya swasembada pangan.

pertanian

Kecukupan pangan

di Indonesia merupakan aspek yang menyangkut hajat hidup
masyarakat banyak. Di samping itu sejarah telah memberi
pelajaran bagi Bangsa Indonesia bahwa kekurangan pangan
akan menimbulkan ketergantungan ekonomi pada bangsa lain
serta akan menyebabkan kerawanan nasional.
Selama 25 tahun sejak kemerdekaan, pemerintah mencanangkan peningkatan produksi pangan terutama beras.
Pencapaian swasembada beras bertujuan untuk menghemat
devisa maupun mencegah ketergantungan impor (Baharsjah,
Kasryno dan

Darmawan. 1989).

Beras merupakan komoditas

pangan yang sangat penting di Indonesia.

Penawaran beras

diperlakukan oleh Pemerintah sedemikian rupa sehingga
beras merupakan isue politik yang sangat peka serta
strategis (Manwan dan Sawit. 1991).
Sejak teknologi Bimas ditemukan serta diintroduksikan
secara massal, baru 20 tahun kemudian berhasil mendorong
produktivitas beras.

Namun silih berganti teknologi

produksi diperbaiki dan dikembangkan untuk meningkatkan
produksi beras. Pemerintah mengintroduksikan inovasi paket

teknologi Intensifikasi Khusus (Insus) pada tahun 1984.
Insus telah berhasil meningkatkan produktivitas padi
nasional serta melonjakkan produksi padi nasional sehingga
Indonesia berhasil mencapai swasembada

beras.

Kemudian

pada tahun 1987, sejak Insus dirasa mengalami gejala
levelling off, pemerintah kembali menerapkan program Supra
Insus-(Manwan et al. 1991).
(1991)

Supra

Insus

Menurut

Manwan

et a1

berhasil meningkatkan produktivitas

padi antara 6 sampai 8 ton per hektar pada musim hujan
serta 4 sampai 6 ton pada musim kering.
Tercapainya swasembada beras merupakan prestasi yang
tidak pernah diduga sebelumnya terutama oleh para ahli
luar negeri. Mears (1960) menyatakan pesimismenya, bahwa
tercapainya swasembada beras di Indonesia sebagai ha1 yang
sulit kecuali apabila ditemukannya teknologi "mu'jizat"
(Adjid. 1984).
Strategi pencapaian swasembada pangan yang hanya
mengandalkan semata-mata pada peningkatan produksi beras
saja akan menghadapi resiko yang sangat tinggi. Kemarau
panjang yang terjadi pada tahun 1991 telah menyebabkan
penurunan produksi beras.

Produksi beras turun dari 30

juta ton pada tahun 1989 menjadi 29.86 juta ton pada tahun
1991. Menurut laporan Menteri Muda Pertanian RI, Sjarifud-

din Baharsjah (1991) secara keseluruhan tercatat hampir
111,000 hektar tanaman padi puso (Warta Ekonomi. Oktober
1991).

Kerugian pada sentra-sentra

produksi di Jawa dan

Sulawesi Selatan ditaksir berkisar 2.4 trilyun rupiah.
Pemerintah mengantisipasi penurunan produksi ini dengan
melakukan impor senilai US$

800,000

atau senilai sekitar

Rp. 1,6 milyar. Nilai impor sebesar ini hanya untuk menutupi tingkat keamanan pangan dalam stok beras nasional
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, usaha
peningkatan produksi beras masih terus digalakkan untuk
dapat mempertahankan swasembada. Namun usaha terpenting
untuk dapat melestarikan swasembada adalah dengan
diversifikasi pertanian. Diversifikasi yang dimaksud
mengandung pengertian perlunya penganekaragaman serta
peningkatan produksi pangan melalui peningkatan produksi
padi dan palawija serta penganekaragaman konsumsi. Usaha
peningkatan produksi tersebut disamplng untuk mempertahankan swasembada juga sekaligus pentlng untuk memberikan
sumbangan yang cukup besar pada pendapatan nasional dan
kesempatan kerja khususnya bagi penduduk pedesaan. Pada
tahun

1989

subsektor pangan menyumbang sebesar 12.53%

terhadap produk domestik bruto; sedangkan sektor pertanian
secara keseluruhan memberikan sumbangan sebesar

20.59%

terhadap produk domestik bruto (Sri Hartoyo, Limbong,
Siregar, dan

Oktaviani.

1992).

Sedangkan sektor ini

mampu melibatkan hampir sebesar 55% jumlah angkatan kerja
Indonesia.
Usaha Pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan
non beras atau palawija cukup besar sebagai kesatuan paket

kebijaksanaan harga beras.

Hubungan erat harga dan kon-

sumsi antar komoditas pangan serta adanya kebutuhan akan
keragaman konsumsi pangan merupakan dasar bagi Pemerintah
untuk memeberikan perhatian dalam menerapkan kebijaksanaan
pangan di Indonesia.

Salah satu

kebijaksanaan Pemerintah

dalam meningkatkan produksi pangan non beras adalah
penerapan Bimas Palawija.
Bimas Palawija merupakan paket teknologi produksi
sekaligus paket kredit berupa input usaha yang diperuntukkan bagi petani yang menanam palawija.

Paket ini dija-

lankan sejak tahun 1973 hingga saat ini serta telah menjangkau lebih dari 700,000 hektar areal panen tanaman
palawija (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan).
Salah satu tanaman palawija terpenting sebagai bahan
pangan kedua setelah beras adalah jagung (Jauhari, Djulin
dan Soejono. 1988). Dengan konsumsi per kapita di atas 90
kg pada tahun 1980, jagung adalah makanan pokok bagi kirakira 17 juta dari 63 juta penduduk pedesaan yang tinggal
di empat propinsi utama yang memproduksi komoditas ini :
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sulawesi
ra Timur (Jauhari et

dl.

ela at in,

Nusa Tenggd-

1988).

Pada tahun 1980-1981 jagung menyumbang sebesar 10.4%
.terhadap produk domestik bruto tanaman pangan. Akan-tetapi
-

dalam periode 1982-1985 kontribusi jagung menurun menjadi
hanya 2.8% (Kasryno, Noekman dan Sudaryanto.1987).

Ini

menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan, sumbangan

subsektor jagung terhadap produk domestik bruto tidak
dapat diabaikan. Apabila dilihat dari dari sudut usahatani
terlihat bahwa sumbangan subsektor jagung terhadap produk
domestik bruto, sebagaimana sektor pertanian pada umumnya,
mengalami penurunan. Sebaliknya belum diketahui secara
pasti berapa besar sumbangan sektor industri yang berbasis
pada komoditas jagung. Proyeksi k e depan peranan jagung
dalam perekonomian nasional akan terdiferensiasi ke dalam
berbagai sektor ekonomi di samping pada subsektor
usahatani atau on farm business juga akan lebih besar pada
subsektor hilir menyangkut industri pengolahannya. Pada
gilirannya subsektor jasa, meliputi perdagangan dan
perbankan akan dengan sendirinya tumbuh dengan pesat
sejalan dengan pertumbuhan industri.
Namun situasi jagung Indonesia dihadapkan pada
kenyataan fluktuasi produksi yang tajam terutama di
berbagai sentra produksi utama, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Lampung, Sulawesi Selatan serta Nusa Tenggara Barat.
Secara tidak langsung ini mempengaruhi harga jagung
Indonesia yang semakin fluktuatif. Di samping itu jagung
bukan merupakan komoditas palawija yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan komoditas palawija lainnya
(Nyberg. 1975).

Komoditas ini merupakan cadangan bagi

swasembada pangan keluarga petani karena ia memiliki
keunggulan

komparatif

biaya

yang

,

relatif

murah

dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya pada tiaptiap musim tanam.
Sejalan dengan ha1 tersebut ternyata pertumbuhan
permintaan jagung memiliki laju yang semakin semakin
meningkat (Sri Hartoyo et al. 1992).

Laju konsumsi per

kapita mengalami fluktuasi yang tajam pula namun cenderung
menurun dalam kurun waktu 1969-1990. Seiring dengan itu
terjadi kenaikan permintaan untuk pakan dan industri.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peningkatan laju
permintaan jagung diakibatkan karena semakin berkembangnya
industri ternak terutama ayam dan sapi.
Penggunaan jagung untuk pakan meningkat terus dengan
laju kenaikan lebih dari 10% per tahun. Apabila pada tahun
1975 jagung yang digunakan sebagai bahan pakan hanya 15%,

maka pada tahun 1 9 8 5 proporsinya telah mencapai 38%.
Sebaliknya jagung yang digunakan untuk bahan pangan
menurun dari 78% pada tahun 1975 menjadi 48% pada tahun
1985 (Kasryno et al. 1987)

Adanya dua kenyataan yang saling berlawanan ini
menimbulkan masalah adanya kelebihan penawaran pada musim
panen serta kelebihan permintaan pada musim paceklik.
Akibatnya, fluktuasi harga jagung tidak dapat dihindari.
Dalam kerangka pasar maka permasalahan pelik dalam
usahatani jagung nasional adalah ketidakseimbangan atau
tidak efisiennya

pasar jagung.

Sejak tahun 1975 ekspor komoditas ini terus menurun,
karena terus meningkatnya permintaan jagung di dalam
negeri. Di lain pihak, Indonesia juga mengimpor jagung
sejak tahun 1973 sampai sekarang. Hal ini merupakan akibat
dari tidak pastinya penawaranjagung nasional. Nilai impor
jagung pada dekade Cerakhir ini semakin meningkat akibat
dari membengkaknya kebutuhan jagung dalarn negeri untuk
berbagai keperluan terutama industri pakan dan pangan
olahan.
Dengan demikian pengembangan usahatani tanaman jagung
merupakan tantangan yang mendesak. Selain itu pengembangan
produksi

jagung dan palawija pada umumnya adalah bagian

dari usaha diversifikasi untuk menuju struktur pertanian
Indonesia yang lebih berimbang. Hal i n i mengandung
pengertian bahwa peningkatan produksi jagung memiliki
prospek cerah dan permasalahan yang dihadapinya juga masih
rumit.
Untuk itu maka sangat perlu melihac perkembangan
pasar jagung nasional melalui berbagai penelitian yang
intensif dan-berkelanjutan mengenai keragaan dan peubahpeubahnya

yang berpengaruh terhadap penawaran dan permin-

taan jagung secara nasional.

Sebagai antisipasi terhadap

perkembangan permasalahan pertanian pangan Indonesia pada
masa yang akan datang maka penelitian tersebut dilakukan
guna menjadi sumber informasi kebijaksanaan yang sangat
penting baik dalam ruang lingkup ekonomi makro maupun

dalam ruang lingkup pembangunan lintas sektoral pertanian
dan industri serta jasa.

2 . M a s a l a h

Penelitian ini mencoba menganalisis aspek-aspek
penawaran dan permintaan dalam pasar jagung nasional.
Penelitian ini mencoba memecahkan masalah perkembangan
gerak permintaan dan penawaran jagung dalam pasar jagung
nasional serta aspek-aspek yang diduqa mempengaruhi.
Sehubungan dengan ha1 di atas muncul beberapa pertanyaan
yang akan dicoba dijawab dalam penelitian ini, yaitu :
1. Sejauhmana pengaruh peubah harga jagung, konsumsi per

kapita jagung dan harga beras, terhadap permintaan
jagung?
2. Sejauhmana pengaruh perkembangan industri pakan ternak

terhadap permintaan jagung?
3. Sejauhmana pengaruh perkembangan kebijaksanaan Pemerin-

tah khususnya Bimas Palawija terhadap permintaan dan
penawaran jagung di Indonesia?

3. T u j u a n

Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis perkembangan areal panen jagung yang

dipengaruhi oleh perkembangan harga beberapa tanaman
jagunq dan tanaman pangan lainnya.

2. Melihat pengaruh perkembangan industri terutama pakan

terhadap permintaan dan penawaran jagung Indonesia.
3. Menduga elastisitas penawaran dan permintaan

jagung di

Indonesia.
4. Melihat pengaruh kebijaksanaan Pemerintah terhadap

perkembangan permintaan dan penawaran dalam pasar
jagung terutama menyangkut penyebaran teknologi benih
berhasil panen tinggi dan penggunaannya dalam usahatani
serta pelaksanaan paket-paket kredit dan pelaksanaan
sistem hamparan dalam usahatani jagung melalui BIMAS
Palawija.
5. Menganalisis perkembangan impor jagung serta pengaruh-

nya terhadap penawaran dan permintaan jagung di Indonesia.

BAB I1

KERANGKA PEMIKIRAN
1. Tinjauan ~eoritis

Penawaran dan permintaan suatu komoditas merupakan
suatu fungsi yang dipengaruhi oleh berbagai peubah yang
menentukan dalam pasar. Secara grafis maka kedua fungsi
tersebut digambarkan dalam bentuk kurva penawaran dan
kurva permintaan.
Menurut ~outsoyiannis (1976) bahwa di dalam pasar
hubungan antara penawaran dan permintaan suatu komoditas
selalu dipengaruhi oleh peubah-peubahnya secara simultan.
Untuk mengukur secara riil keragaan penawaran dan permintaan komoditas maka di dalam pendekatan ekonometrika atau
statistika ekonomi digunakan pendekatan simultan. Dalam
pendekatan ini maka suatu fungsi mempunyai keterkaitan
erat satu sama lain dengan fungsi lain.
Demikian pula di dalam mengukur keragaan pasar jagung
di Indonesia, terdiri dari beberapa fungsi-fungsi yang
berpengaruh secara simultan. Keragaan penawaran dan permintaan jagung di Indonesia merupakan turunan dari neraca
jagung di Indonesia sebagai berikut:

di mana :
Qst

: Jumlah jagung yang ditawarkan atau merupakan gamba-

ran dari jumlah total produksi jagung di Indonesia.
Stnt : Jumlah stok bersih jagung
Mt

:

Jumlah jagung yang diimpor.

Qdft : Jumlah jagung yang dikonsumsi langsung oleh manusia.
Qdlt : Jumlah jagung yang digunakan untuk pakan.
Qdit : Jumlah jagung yang digunakan untuk industri.
Xt

: Jumlah jagung yang diekspor.

Namun Timmer (1985) menekankan bahwa peranan industri
jagung masih sangat kecil di Indonesia sehingga keberadaannya dapat diabaikan.

Demikian pula dengan stok jagung

Indonesia relatif kecil karena Indonesia seringkali
mengalami kekurangan atau defisit produksi jagung. Dengan
demikian stok bersih jagung juga diabaikan di dalam neraca
jagung di Indonesia. Model neraca jagung di Indonesia
dapat ditulis sebagai berikut:

Jumlah jagung yang ditawarkan dipengaruhi oleh harga
jagung dan teknologi. Apabila harga jagung meningkat maka
jumlah jagung yang ditawarkan akan meningkat pula. Dalam
kurva penawaaran, perubahan ini ditunjuk'kan oleh pergerakan sepanjang kurva. Untuk mengetahui pengaruh teknologi

digunakan proksi kegiatan Bimas P.alawija. Jumlah jagung
yang ditawarkan setelah terdapat Bimas Palawija diduga
lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Di samping itu jumlah jaqung yanq ditawarkan juga
dipengaruhi oleh luas areaal panen, makin tinggi luas
areal panen kama makin tinggi jumlah jagung yang ditawarkan. Sementaara itu luas areal panen jagung sendiri dipengaruhi pula oleh harga jagung dan harga tanaman

kom-

petitor. Apabila harga jagung meningkat mka luas areal
panen diduga akan meningkat. Sebaliknya apabila harqa
tanaman kompetitor meningkat maka luas areal panen jagung
diduga akan mengalami penurunan.
Dalam kegiatan Bimas Palawija, petani diberikan
insentif modal dan pelayanan penyuluhan pertanian serta
jaminan harga jagung. Oleh karena itu dengan adanya Bimas
Palawija diduga akan menyebabkan petani yang menanam
jagung menjadi lebih baanyak sehingga luas areal panen
meningkat. Pengaruh beberapa faktor terhadap luas areal
sering disebut sebagai respon areal.
Adanya perubahan teknoloqi dan kenaikan luas areal
panen dapat ditunjukkan oleh adanya pergeseran kurva
penawaran di S1 ke

S2

(Gambar 1).

8,
9
Pergeseran Kurva Penawaran Jagung.
8,

Gambar 1.

Secara matematis pengaruh beberapa faktor terhadap
jumlah jagung yang ditawarkan dapat ditulis sebagai berikut :
Qst

=

f (Pjt, Pjt-l, At, DP)

di mana:
QSt

: jumlah produksi jagung dalam negeri setelah diku

rangi untuk benih dan susut pada tahun ke t.
Pjt

: harga jagung dalam negeri tahun ke t.

pjt-l : harga jagung dalam negeri tahun ke t-1.
At

:

luas areal panen jagung tahun ke t.

DP

:

peubah boneka pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah
dalam

BrMAS Palawija.

sedangkan hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi
luas areal panen jagung sendiri dapat ditulis dalam bentuk
fungsi respon areal sebagai berikut:
At

=

f (Pjt, Pjt-l, Pbt, Pbt-lr DP)

di mana:
At

: luas areal panen jagung tahun ke t.

Pbt

: harga beras (tanaman kompetitor) pada tahun ke t.

Pbt-l : harga beras pada tahun ke t-1.

DP

: peubah boneka pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah

dalam

BIMAS Palawija.

Komponen lain dalam neraca pengadaan jagung di Indonesia adalah impor. Jumlah jagung yang diimpor dipengaruhi
oleh harga jagung dalam negeri, harga jagung impor serta
nilai tukar Dollar Amerika Serikat (USD) terhadap Rupiah.
Apabila harga jagung dalam negeri meningkat maka jumlah
jagung yang diimpor akan meningkat pula. Sebaliknya apabila harga jagung impor meningkat maka jumlah jagung yang
diimpor akan mengalami penurunan. Apabila terjadi peningkatan nilai USD terhadap Rupiah maka harga impor yang
dinyatakan dalam rupiah menjadi lebih mahal sehingga
jumlah jagung yang diimpor akan mengalami penurunan.
Secara matematis jumlah jagung impor dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Mt

=

f (Pjt, pj- 1 P i , Pijt-l, ERt)

di mana :
Mt

:

jurnlah impor jagung pada tahun ke t.

Pijt

:

harga jagung impor tahun ke t.

Pijt-l: harga jagung impor tahun ke t-1.

Ert

: nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Seri-

kat.
Sementara dari sisi permintaan, jumlah jagung yang
diminta untuk bahan pangan dipengaruhi oleh harga jagung,
harga komoditas pangan lainnya dan pendapatan masyarakat.
Apabila harga jagung meningkat maka jumlah jagung yang

diminta mengalami penurunan dan sebaliknya. Sedangkan
pengaruh harga pangan lainnya terhadap jumlah jagung yang
diminta tergantung pada sifat komoditas pangan lain tersebut. Harga komoditas lain akan mempengaruhi jumlah jagung
yang diminta untuk bahan pangan. Apabila terjadi peningkatan harga.pangan lain menyebabkan kenaikan jumlah jagung
yang diminta, maka sifat komoditas pangan selain jagung
tersebut adalah substitutif. Sebaliknya, komoditas pangan
lain disebut bersifat komplementer apabila kenaikan harga

'

komoditas pangan lain tersebut akan menurunkan jumlah
jagung yang diminta. Dalam kurva permintaan, pengaruh
ketiga faktor di atas ditunjukkan oleh pergerakan sepanjang kurva
Pendapatan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap
permintaan suatu komoditas. Jika komoditas tersebut merupakan komoditas normal maka kenaikan pendapatan dapat
menyebabkan kenaikan jumlah jagung yang diminta, sedangkan
jika komoditas jagung bersifat inferior maka kenaikan
pendapatan akan justru menyebabkan penurunan jumlah jagung
yang diminta. Oleh karena penduduk yang berpendapatan
rendah makin berkurang, maka jagung masih dapat digolongkan menjadi komoditas inferior. Peningkatan jumlah penduduk juga dapat mempengaruhi jumlah jagung yang diminta
untuk bahan pangan. Adanya perubahan pendapatan masyarakat
dapat ditunjukkan oleh adanya pergeseran kurva permintaan
di Dl ke,D2 (Gambar 2).

Gambar 2.

Pergeseran Kurva Permintaan Jagung.

Secara matematis permintaan jagung untuk bahan pangan
dapat ditulis sebagai berikut:
~

d

=ff

~(Pjt, Pjt-l, pbt, ~ b ~ pkt,
- ~ ~, k ~ yt)
- ~ ,

di mana :
Qdft

: jumlah jagung yang dikonsumsi langsung pada tahun

ke t.
Pkt

:

harga kedelai pada tahun ke t.

Pkt-1 : harga kedelai pada tahun ke t-1.
Yt

: pendapatan masyarakat riil tahun ke t

Komponen permintaan selanjutnya adalah permintaan
jagung untuk bahan pakan. Jumlah jagung yang diminta untuk
bahan pakan dipengaruhi oleh harga jagung, harga ransum
ayam petelur serta jumlah absolut industri pakan. Apabila
harga jagung meningkat diduga tidak akan berpengaruh bagi
jumlah jagung yang diminta untuk bahan pakan. Hal ini
disebabkan karena industri pakan masih sering kesulitan
memperoleh bahan baku jagung, karena tidak terjaminnya
stok jagung nasional. Dengan demikian faktor harga

diduga

tidak akan berpenqaruh bagi industri pakan di dalam mengkonsumsi jaqung.
Harqa ransum ayam petelur diduga akan berpenqaruh
kuat terhadap jumlah jaqunq yang diminta untuk bahan
pakan. Hampir 65% komponen pakan ayam petelur adalah
berasal dari bahan jagunq. Di samping itu pertumbuhan
produksi pakan ayam petelur meningkat tajam lima tahun
terakhir ini. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1987
Indonesia telah berhasil mengekspor hasil ternak berupa
telur, baik telur tetas maupun telur untuk konsumsi manusia.

Pada tahun 1987 jumlah pakan ayam petelur yanq

dihasilkan adalah sebesar 350,000 ton (Direktorat Jenderal
Peternakan). Pada tahun 1990 jumlah pakan ayam petelur
yanq dihasilkan sebesar 1,224,000 ton. Dengan demikian
maka diduqa apabila terjadi kenaikan harga pakan ayam
petelur akan menyebabkan jumlah jagung yang diminta untuk
bahan pakan akan meningkat. Selanjutnya jumlah absolut
industri pakan apabila meningkat juga akan menyebabkan
peningkatan jumlah jaqung yang diminta
Secara matematis hubunqan antara jumlah ;agung yanq
diminta untuk bahan pakan denqan faktor-faktor yang mempenqaruhinya dapat ditulis menjadi fungsi sebagai berikut:
Qdlt

=

f (Pjtr Pjt-lr Pftr Pft-lr Ift)

di mana:
Qdlt

: jumlah jagung yanq digunakan sebaqai pakan ternak

pada tahun ke t.

Pft

: harga ransum ayam.petelur tahun ke t.

Pft-l : harga ransum ayam petelur tahun ke t-1.
Ift
: jumlah absolut industri pakan yang direpresentasikan dengan jumlah usaha pakan tahun ke t.

2.

Tinjauan Studi Penawaran dan Permintaan Jagung di
Indonesia

Kuntjoro

(1984) menyatakan bahwa elastisitas

pendapatan agregat jagung untuk daerah pedesaan dan

'

perkotaan sebesar 0.1481, sedangkan elastisitas harga
terhadap permintaan jagunq sebesar 0.3974. Elastisitas
silang antara jagung dengan beras sebesar -0.2596 dan
antara jagung dengan ubikayu sebesar -0.0368.
Hasil studi yang dilakukan oleh Falcon et a1 dalam
Sudradjat (1987) menunjukkan bahwa elastisitas pendapatan
terhadap permintaan langsung jagung untuk konsumsi lanqsung rendah, apabila tidak bisa dikatakan negatif. Ini
menunjukkan bahwa jagung termasuk komoditas inferior. Tyes
dan Rachman (1981) dalam Sudradjat (1987) memperoleh nilai
elastisitas pendapatan terhadap permintaan jagung di
Indonesia sebesar -0.13.
Hasil studi yang dilakukan oleh Nyberg (1970) dalam
Sudradjat (1987) dengan menggunakan analisis regresi
memperoleh nilai untuk elastisitas pendapatan atas jagung
mendekati -0.81. Sedangkan hasil pendugaan Monteverde
(1980) dalam Sudradjat (1987) dengan menggunakan data

SUSENAS diperoleh elastisitas pendapatan untuk berbagai
tipe jagung di pedesaan dan perkotaan seperti ditunjukkan
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Elastisitas Pendapatan Terhadap Konsumsi
Jagung Tahun 1980.
No.
1.
2.
3.

4.

Tipe Jagung
Jagung
Jagung
Jagung
Kulit
Tepung

Pipilan
Muda
Kering dengan
Jagung

Pedesaan

Perkotaan

-0.75
0.39

tidak nyata
tidak nyata

-0.34
-0.53

Sumber : Monteverde (1980) dalam Sudradjat (1987)
~ a s i ipendugaan sebelumnya oleh Monteverde (1978)
mengenai elastisitas harga untuk jagung pipilan di Indonesia di pedesaan Indonesia dengan empat klasifikasi pendapatan dari data SUSENAS ditunjukkan dalam tabel di bawah
ini.
Tabel 2. Elastisitas Harga terhadap Konsumsi Jagung
Pipilan di Pedesaan Indonesia Tahun 1978.
No.

Kuartil Pendapatan

1.
2.
3.

Miskin .
Rendah
Menengah
Tinggi

4.

Sumber : Monteverde (1978)

Elastisitas Harga

dalam Sudradjat

(1987).

Komponen penting penggunaan jagung di Indonesia
selain dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku
industri pakan (Timmer. 1985).

Beberapa hasil studi

mengenai elastisitas pendapatan terhadap konsumsi.jagung
untuk pakan ternak yang menghasilkan telur, daging dan
susu terlihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Elastisitas Pendapatan Terhadap Produk
Telur, Daging dan Susu.
No.

Elastisitas Pendapatan

Produk

SUSENAS~

1.
2.
3.

Telur Ayam
Daging Ayam
Daging ~ a b i
Susu Sapi

1.6
2.2
1.4

-

D G L S ~ WORLD B A N K I F A O ~

1.2
1.3
1.0
1.5

1.5
1.5
1.0

-

Sumber : Dorosh (1985) dalam Sudradjat (1987)
a) Monteverde (1980) dari data SUSENAS
b) Penaksiran Direktorat Jenderal Peternakan
(Directorate Generale of Livestock/DLGS), 1984.
c) FA01 World Bank, 1978.
Hasil studi Altemeier dan Bottema (1991) menunjukkan
bahwa dalam jangka pendek terhadap perubahan 1% harga
harga kacang hijau terhadap respon areal tanaman jagung
nyata sebesar -0.5205 di Jawa tidak berpengaruh nyata.
Sedangkan perubahan harga jagung 1%

terhadap respon areal

tanaman jagung mempunyai nilai positif sebesar 0.7077 di
Jawa serta 0.4696 di luar Jawa berpengauh nyata (Altemeier.

1991).
Hasil studi Sri Hartoyo et a1 (1992) menunjukkan

bahwa elastisitas harga terhadap respon areal jagung pada
wilayah Jawa, Bali, Lampung dan Sulawesi (regional I)
berpengaruh nyata sebesar 0.718. Ini berarti bahwa setiap

1%

perubahan harga jagung di wilayah ini akan diikuti oleh

perubahan luas areal jagung sebesar 0.718%. Untuk wilayah
Sumatera dan Kalimantan (Regional 11) elastisitas harga
jagung terhadap respon areal berpengaruh nyata sebesar
0.174.

Sedangkan di regional 111, yaitu wilayah Indonesia

Bagian Timur lainnya, elastisitas harga jagung terhadap
respon areal jagung tidak berpengaruh nyata sebesar 0.070.
Nyberg (1975) menegaskan bahwa industri pengolahan
jagung utama di Indonesia adalah untuk pakan, terutama
untuk unggas dan babi. Apabila industri pakan dalam negeri
ini berkembang, tampaknya disebabkan perkembangan industri
pakan. Kasryno (1987) menyatakan bahwa penggunaan jagung
untuk industri pakan meningkat terus dengan laju kenaikan
lebih dari 10% per tahun. Apabila pada tahun 1975 jagung
yang digunakan sebagai bahan pakan hanya 15%, maka pada
tahun 1985 proporsinya telah mencapai 38%.

BAB I11
METODE PENELITIAN
1. Jenis dan Sumber Data

Untuk dapat menduga fungsi penawaran dan permintaan
dalam penelitian ini membutuhkan jenis data penawaran dan
permintaan yang bersifat sekunder. Seluruh data tersebut
bersumber dari Biro Pusat Statistik.

2. Pengolahan Data

Data sekunder-diolah menjadi peubah-peubah dan kemudian diolah kembali guna mendapatkan hasil pendugaan
model-model permintaan dan penawaran jagung. Selanjutnya
dimulaipengujian terhadap ada tidaknya autokorelasi,
kolinearitas ganda, interpretasi koefisien estimasi parameter serta nilai-nilai

elastisitas. Pengolahan data ini

menggunakan perangkat lunak Minitab 8.2 Release.

3.

Model Analisis
Untuk menganalisis penawaran dan permintaan jagung

digunakan model ekonometrika. Fungsi persamaan penawaran
dan permintaan terdiri dari lima persamaan struktural,
yaitu: (1) fungsi respon areal (2) fungsi penawaran
(3) fungsi permintaan untuk konsumsi langsung (4) fungsi

permintaan untuk makanan ternak (5) fungsi impor/ekspor.
Model persamaan struktural diuraikan sebagai berikut:

1. Fungsi Persamaan Areal.Respon:
=

At

uO + u1 Pjt

+

+

u2 Pjt-l + u3 Pbt + a4 PbtWl

+

u5 ~p + e at

2. Fungsi Persamaan Penawaran:

Q S ~= aO

+ a1 Pjt +

ff2 PjtTl

+ a 3 At

+ ff4DP + e fft

3. Fungsi Persamaan Permintaan untuk Konsumsi Langsung:

4. Fungsi Persamaan Permintaan untuk Makanan Ternak:
Qdlt

=

r O + r1 Pjt + r2 Pjt-l + r3 Pft + r4 Pft-l

+ r5

+

Ift + e rt

5. Fungsi Persamaan ImporfEkspor
Mt

=

eo + el Pjt + e2 Pjt-l + e 3 Pijt + e4 Pijt-l

-t

+ e5 ERt + e et
6. Persamaan Identitas:

Qst + Mt

=

Qdft + Qdlt

di mana:
At

: luas areal tanaman jaqung yang menunjukkan jumlah

areal yanq ditanami jagung termasuk luas intensifikasi.

Q s ~ : jumlah produksi jagung dalam negeri setelah dikurangi untuk benih dan susut pada tahun ke t dalam
ribuan ton.
Qdft

: jumlah jagung yang dikonsumsi langsung pada tahun

ke t
Qdlt

dalam ribuan ton.

: jumlah jagung yang digunakan sebagai pakan ternak

pada tahun ke t dalam ribuan ton.
Mt

: jumlah impor jagung pada tahun ke t dalam ribuan

ton.
Pjt

: harga jagung dalam negeri tahun ke t setelah dide

flasi dengan indeks harga konsumen tahun dasar
I

1977/1978.
Pjt-l : harga jagung dalam negeri tahun ke t-1, setelah
dideflasi dengan indeks harga konsumen tahun dasar
197711978.
Pbt

: harga padi setelah dideflasi dengan indeks harga

(GNP deflator tahun dasar 1973).
Pbt-l : harga beras pada tahun ke t-1, setelah dideflasi
dengan indeks harga (GNP deflator tahun dasar
1973).
Pkt

: harga kedelai setelah dideflasi dengan indeks

harga konsumen tahun dasar 1977/1978.
Pkt-l : harga kedelai pada tahun ke t-1, setelah dideflasi
dengan

indeks harga konsumen tahun

197711978.

dasar

Yt

:

pendapatan per kapita riil tahun ke t dalam milyar
rupiah.

Pft

:

harga riil pakan ternak ayam ras petelur tahun ke
t

Pft-l : harga riil pakan ternak ayam ras petelur tahun ke
t-1.
Pijt

:

harga jagung impor tahun ke t setelah dideflasi
dengan indeks harga (konsumsi pemerintah deflator
tahun dasar 1973).

,

Pijt-l: harga jagung impor tahun ke t-1, setelah dideflasi
dengan indeks harga (konsumsi pemerintah deflator
tahun dasar 1973).
ERt

:

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS dalam ribuan
rupiah.

DP

:

peubah boneka pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah
dalam

BIMAS Palawija. 0

=

sebelum BIMAS, 1

=

setelah BIMAS.
Dalam sistem persamaan simultan di atas terdapat 6
peubah endogen, yaitu penawaran jagung (Qst), impor jagung
(Mt), permintaan jagung (Qdft), permintaan jagung untuk
industri pakan (Qdlt), respon areal panen jagung (At) dan
harga jagung (Pjt). Sedangkan jumlah peubah eksogen sebanyak 13, yaitu harga beras (Pbt), harga kedelai (Pkt),
harga ransum pakan ayam petelur (Pft), pendapatan perkapita (Yt), dummy Bimas Palawija (Dpt), harga impor jagung
(Pijt),

nilai tukar rupiah terhadap dollar (Ert) dan

jumlah industri pakan (Ift), serta lima peubah beda kala
pada harg jagung, harga beras, harga kedelai, harga pakan
ayam petelur, dan harga impor jagung.
Untuk menduga koefisien persamaan tersebut dilakukan
secara simultan dengan prosedur Derajat ~erkecilDua Tahap
atau two stage least square (2SLS) serta prosedur Derajat
Terkecil Sederhana atau

4.

Ordinary Least Square (OLS).

Elastisitas
I

Elastisitas Penawaran.
Rumus elastisitas penawaran dalam penelitian ini
adalah:

Elastisitas Permintaan untuk Konsumsi
Elastisitas ini terdiri dari :
i. elastisitas harga

ii. elastisitas substitusi tanaman'pangan lainnya.
6Qdf
Pi.
e=X &pi
Qdf

v. elastisitas pendapatan

Elastisitas Permintaan Untuk Pakan
i. elastisitas harga

ii. elastisitas harga pakan

,
e=-

6Qdl

6Pf

Pf
X Qdl

BAB IV
KONDISI UMUM JAGUNG DI INDONESIA
1. Perkembangan Luas Areal Panen

Hasil studi Sri Hartoyo et a1 (1992) menunjukan bahwa
perkembangan luas areal di tujuh provinsi utama penghasil

jagung, yakni Provinsi Jawa Timur , Jawa Tengah, Lampung ,
Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Sulawesi Utara memiliki pola yang berbeda. Pada umumnya luas
areal panen di wilayah tersebut sama-sama mengalami
fluktuasi tajam (Sri Hartoyo et al.

1992).

Jawa Timur

sebagai provinsi terbesar penghasil jagung yang memberikan
kontribusi hampir 75% produksi nasional serta memiliki
luas areal panen paling luas ternyata mengalami fluktuasi

-.

yang tajam antar tahun. Perkembangan luas areal panen
cenderung menunjukkan lambannya laju tahunan rata-rata
dalam periode 1969-1990, yaitu sebesar 2.73%.

Bahkan

selama PELETA IV Jawa Timur mengalami penurunan luas areal
panen antar tahunnya. Selama PELITA I Jawa Timur, sebagaimana

provinsi utama lainnya seperti Jawa Tengah, Lampung

Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, mengalami peningkatan luas areal panen cukup pesat, yakni sebesar 6.39%.

Selama PELITA I1 terdapat kecenderungan turun-

nya luas areal panen dengan laju sebesar -0.68% per tahunnya.
luas

. Sebaliknya

areal

selama

panen

PELITA I11 terjadi peningkatan

dengan

laju

sebesar 5.65%.

Pada

PELITA IV terulang lagi adanya penurunan luas areal panen
(Sri Hartoyo et al.

1992).

Provinsi Jawa Tengah sebagai sentra produksi kedua,
berlawanan secara asimetris dengan Jawa Timur, mengalami
peningkatan luas areal panen sangat pesat selama PELITA I
dengan laju tahunan rata-rata sebesar 13.06%.

Meskipun

juga mengalami fluktuasi namun luas areal panen di Jawa
Tengah selama PELITA I1 dan 111 meningkat dengan laju yang
cenderung menunjukkan angka positif, yakni masing-masing
sebesar 4.84% dan 13.42%. Namun, ternyata pada PELITA IV
mengalami penurunan luas areal panen dengan laju rata-rata
masih positif yakni sebesar 2.91%.
Selama PELITA IV penurunan luas areal panen ini pada
umumnya terjadi di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan. Untuk Sulawesi Selatan selama
PELITA IV juga menajami penurunan luas dengan lajri sebesar
-0.75%. Namun tiga provinsi utama lainnya justru menunjuk-

kan peningkatan luas areal yang sangat tajam. Sumatera
Utara mengalami peningkatan luas areal panen antar tahunnya selama PELITA IV

dengan laju tahunan rata-rata sebe-

sar 20.99%, diikuti Lampung dengan laju sebesar 18.48% dan
Sulawesi Utara serta Nusa Tenggara Timur, masing-masing
sebesar 8.28% dan 0.10%.
Provinsi-provinsi lainnya selain provinsi utama di
atas juga menghasilkan jagung.

Perkembangan luas areal

panen di wilayah tersebut, selain Provinsi Yogyakarta dan

DKI Jakarta, justru semakin meningkat dengan laju yang
cukup pesat.

Namun apabila dilihat dari kontribusi secara

keseluruhan wilayah tersebut masih sangat kecil, maka
perkembangan luas areal panen diduga masih kecil bagi
peningkatan.produksi jagung.
Secara keseluruhan di tingkat nasional, luas areal
panen jagung mengalami fluktuasi yang tajam. Selama PELITA
I laju pertumbuhan luas areal panen sebesar 5.80%.

Pada

PELITA 11, I11 dan IV berturut-turut mengalami pasang
surut dengan laju masing-masing sebesar 0.69%, 6.34% dan
1.06%.

Dalam periode 1969-1990 rata-rata laju tahunan

sebesar 3.63%

(Sri Hartoyo et al.

1992). Jadi laju

pertumbuhan luas panen jagung nasional ternyata mengikuti
pola Jawa Timur.
Secara keseluruhan di tingkat nasional, laju pertumbuhan luas panen j'agung

mengalami fluktuasi yang ta jam.

Pada PELITA I tercapai 5.80%, kemudian turun sebesar 0.69%
pada PELITA 11. Pada PELITA I11 meningkat lagi sebesar
6.34%,

lalu turun lagi menjadi 1.06% pada PELITA IV. Dalam

kurun waktu 1969-1990 laju pertumbuhan luas panen tanaman
pangan di Indonesia sebesar 3.63%

(Sri Hartoyo et al.

1992). Jadi laju pertumbuhan luas panen jagung nasional

mengikuti pola di Jawa serta beberapa provinsi utama
lainnya yaitu Sulawesi Selatan dan Lampung.
Menurut Mink

(1985) pengaruh positif utama pada

peningkatan areal penanaman jagung di Indonesia adalah

program pemerintah dalam memindahkan penduduk dari Jawa ke
pulau lainnya. Jagung seringkali menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perencanaan pertanian bagi wilayahwilayah transmigrasi ini, terutama pada tahun-tahun pertama setelah penempatan

.

Jagung berperan sebagai tanaman

pangan subsisten sebelum tanaman tahunan telah matang dan
menghasilkan uang tunai. Dalam kondisi terisolasi oleh
jarak dan jalan yang buruk, petani transmigran menghadapi
kesulitan mengirim beberapa kelebihan panen jagung ke
pasar (Mink, 1985).
Kuntjoro et a1 (1989) dalam studinya menyatakan bahwa
meningkatnya laju areal panen tanaman pangan termasuk
jagung di luar Jawa berkaitan dengan peningkatan program
transmigrasi yang selalu mengaitkannya dengan program
produksi tanaman pangan, terutama pada tahun-tahun pertama
baru menetap di 'daerah transmigrasi (Kuntjoro, Xusnadi dan
Sayogyo. 1989).
Nyberg (1975) menekankan bahwa penyebab lambatnya
laju perkembangan luas areal panen di Jawa diakibatkan
karena adanya pembangunan sistem irigasi baru serta rehabilitasi irigasi yang cenderung menekan negatif areal
jagung karena para petani cenderung melakukan substitusi
tanaman tegalannya menjadi tanaman padi irigasi. Perkiraan
luas antara

75,000

sampai

100,000

hektar lahan irigasi

baru atau rehabilitasi tercapai dalam periode

1970

sampai

1978. Dalam beberapa kasus perkembangan ini mencakup

potensi tumbuhnya tanaman musim kering pada lahan
beririgasi, di mana sebelumnya penuh resiko dan dengan
hasil yang rendah (Mink, 1985).
Namun kenyataannya

meskipun penghasilan dari

usahatani jagung inferior, ha1 ini tidak mengurangi areal
panen agregat jagung. Beberapa alasan yang berbeda pada
masing-masing tanaman rival.

Pendapatan yang lebih besar

d a r i komoditas ketela pohon merupakan hasil dari
pengerjaan tanah yang lebih lama, dari sembilan sampai dua
belas bulan atau setara dengan tiga kali panen jagung pada
musim yang normal, Di lain pihak hasil bersih yang tinggi
pada kacang tanah dan kedelai ternyata tidak mencerminkan
resiko-resiko yang terhimpun dengan penanaman tanaman ini
serta tidak pula mencerminkan tingkat frekuensi kegagalan
yang cenderung tidak dihitung dalam rata-rata penerimaan
bersih Survey Pertanian. Lagipula tanaman polong-polongan
ini cenderung tidak tumbuh dengan baik pada tanah asam
yang inferior di mana hasil jagung meskipun rendah namun
stabil, namun masih dapat diharapkan. Jadi pendapatan
bersih yang'relatif -rendah pada jagung tidak menjadi
kekuatan menekan yang mengurangi area jagung (Mink, 1985).
Nyberg

(1975) sebelumnya juga berpendapat bahwa

terdapat beberapa alasan mengapa jagung tetap ditanam
meskipun secara relatif tidak lebih menguntungkan dibanding dengan tanaman palawija lainnya. Ia berpendapat
sebagai berikut:

With the relative unprofitability of maize, it raises
the question of why it is produced at all. There seem
to be several reasons.. One relates to the existing
physical conditio