PROTOTYPE LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERPOTENSI MEMUNCULKAN BENCANA RUANG KOTA (STUDI KASUS KOTA SOLO)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kota Solo telah banyak mengalami bencana ruang kota dalam sejarah perkembangannya. Setidaknya ada tiga peristiwa tragedi besar yang tercatat dalam sejarah kotanya (lihat Gambar 1-3), yaitu: (1) Geger Pecinan tahun 1742; (2) Boemi Hangoes tahun 1948; dan (3) Kerusuhan Massal tahun 1998. Tiga tragedi itu telah membuat kemerosoton kualitas ruang kota, baik pada elemen fisik kota (seperti rumah yang hancur, kantor yang gosong, pasar yang hangus, rusaknya jalan dan instalasi) maupun pada elelemen non-fisik kota (seperti retaknya kohesi sosial, krisis ekonomi yang panjang, degradasi hukum dan etika).
Gambar 1. Geger Pecinan Tahun 1742 Pada tahun 1700-an, kawasan Kota Solo sudah dihuni oleh 4 bangsa yang berbeda, yaitu Belanda, Cina, Arab dan Pribumi. Peristiwa pembunuhan massal ras Cina oleh ras Belanda di Jakarta tahun 1741 dibalas oleh ras Cina di Solo tahun 1742 melalui bantuan pangeran Kerajaan Mataram Kartasura, yang kemudian disebut sebagai peristiwa Geger Pecinan.
(Keterangan: Foto Eks-Keraton Kartasura, diambil pada tahun 2007 oleh Penulis).
Gambar 2. Boemi Hangoes Tahun 1948 Pada tahun 1948, seiring dengan era kemerdekaan RI, maka untuk mencegah kembalinya Belanda bersarang di Kota Solo, tentara pribumi yang dipimpin oleh Slamet Riyadi membakar gedung-gedung milik Belanda (Politik Boemi Hangoes). Bangunan-bangunan penting seperti pasar, kantor, stasiun, toko dll hangus terbakar. (Keterangan: Foto Kawasan Pasar Gede, diambil pada tahun 1949 oleh J. Anten , tersimpan di Arsip Mangkunegaran).
Gambar 3. Kerusuhan Massal Tahun 1998 Kerusuhan massal di Jakarta tanggal 13 Mei 1998, dengan cepat merambat ke Solo pada tanggal 14 Mei 1998. Perubahan politik dari Orde Baru ke Era Reformasi ditandai dengan tragedi kemanusian, yaitu pembunuhan, pembakaran dan penjarahan oleh pribumi ke non-pribumi. (Keterangan: Foto Purwosari Plaza, diambil pada tahun 2005 oleh Penulis. Saat ini di lokasi tersebut sedang dibangun gedung apartemen yang pertama di Solo).
(2)
1.2. Permasalahan
Bencana ruang kota yang disebabkan oleh tekanan lingkungan sosial, telah terjadi berkali-kali di Solo, baik dalam skala kawasan lokal maupun regional. Berbagai bencana ruang kota itu tentu membuat kualitas kota menjadi sangat merosot. Tragedi itu telah mengambil banyak korban jiwa dan harta, baik dari sesama anggota masyarakat maupun milik pemerintahan kota. Perilaku masyarakat urban yang tidak urbane (santun, beradab, etis, toleran) telah berkali-kali muncul secara fenomenal. Masyarakat Jawa yang dikenal sebagai individu yang berbudi pekerti halus, namun kenyataannya dapat muncul sebagai individu atau kelompok yang kasar dan anarkis. Kondisi kontradiksi inilah yang akan menjadi simpul dari permasalahan penelitian, yaitu masalah psikologi sosial dan arsitektur kota. Penggalian bencana ruang kota yang disebabkan oleh tekanan lingkungan sosial dilakukan untuk memperoleh prototype, yang dikemas dalam berbagai komponen dan indikatornya, sehingga gambaran proses kontradiksi dan variasi kejadian bencana ruang kota dapat terbaca lebih jelas.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1) Komponen apa sajakah yang menimbulkan dehumanisasi di ruang kota Solo dan apa sajakah indikatornya?
2) Bagaimana memodelkan dehumanisasi sehingga berlanjut menjadi tragedi bencana ruang kota?
3) Konsep sosioteknologi apakah yang dapat dibangun dari studi bencana ruang kota di Solo ini?
1.4. Lingkup Laporan Penelitian
Pada tahun kedua (2010), penelitian dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang kedua, yaitu menemukan elemen-elemen pemicu bencana sosial. Pada tahun pertama (2009), telah dilakukan eksplorasi konflik-konflik sosial yang pernah terjadi di Kota Solo selama 260 tahun (1740-2000), untuk menemukan keragaman faktor-faktornya. Selanjutnya, usaha penemuan komponen dan indikator dari faktor-faktor tersebut dibangun melalui
(3)
3
penelitian lapangan pada tahun kedua (2010). Jadi, pada tahun pertama penelitian ini dilakukan melalui model historical-archeology, sedangkan pada tahun kedua dilakukan melalui model studi lapangan (field research). Selanjutnya, setelah mendapatkan jawaban pertanyaan penelitian pertama dan kedua melalui penelitian tahun pertama (2009) dan kedua (2010), maka dilanjutkan dengan pembuatan model dan software pada tahun ketiga (2011). Jadi, pada tahun ketiga kegiatan penelitian adalah berupa validasi rumus dan pembangunan software bencana ruang kota akibat tekanan lingkungan sosial. Software yang selanjutnya disebut sebagai program Early Warning System-Urban Space Disaster-Social Environment Factor (EWS-USD-SEF) adalah semacam sistem peringatan dini adanya bencana ruang kota khusus dari elemen sosial.
1.5. Gambaran Lokasi Penelitian
Kota Solo adalah kota di pedalaman Jawa yang masih menyimpan berbagai tradisi dan artefak kuno dari masyarakat Jawa. Sebagai kota tujuan wisata, baik oleh wisatawan nusantara (Wisnu) maupun wisatawan mancanegara (Wisman), Kota Solo saat ini mempunyai slogan utama: “Solo: The Spririt of Java”. Secara topografis, Kota Solo adalah daerah dataran rendah (+93m) yang menjadi kawasan pertemuan (tempuran) dari empat sungai yang berhulu dari empat penjuru pegunungan, yaitu: (1) Sungai Pepe dari Gunung Merbabu; (2) Sungai Jenes dari Gunung Merapi; (3) Sungai Samin dari Gunung Lawu; dan (4) Bengawan Solo dari Pegunungan Kidul (lihat Gambar 1.4). Kota Solo atau secara legal-formal disebut sebagai Kota Surakarta, terletak dalam wilayah administratif Provinsi Jawa Tengah (lihat Gambar 1.5), mempunyai luasan lahan sekitar 44 km2 dan dihuni oleh sekitar 550 ribu penduduk pada tahun 2009. Kota Solo berkembang menjadi kota multi etnis sejak adanya kerajaan-kerajaan Jawa bermunculan di ruang-ruang kotanya, yaitu Kerajaan Pajang (1546-1586), Kerajaan Kartasura (1680-1742) dan Kerajaan Surakarta (1746-sekarang). Kota Solo telah mengalami 3 periode pemerintahan yang berbeda, yaitu era kerajaan, era kolonial dan era republik.
(4)
Gambar 1.4. Skema Peta Topografi Kota Solo
(Sumber: Penulis, 2009)
Gambar 1.5. Peta Wilayah Kota Solo
(5)
5
Kota Solo berdasarkan kondisi historisnya adalah kota silang budaya (lihat Gambar 1.6). Kota yang secara geografis terletak antara 110o46’49”-110o51’30” BT dan 7o31’43”-7o35’28” LS ini diakui dunia sebagai salah satu kota pertemuan budaya Timur-Barat. Bahkan pada tahun 2008, Kota Solo dimasukkan oleh UNESCO sebagai Kota Warisan Dunia (World Heritage City). Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, Kota Solo saat ini secara fenomenal masih menampakkan diri sebagai kota peradaban Jawa-Eropa-Arab-Cina, meskipun artefak-artefak kuno yang ada semakin mengalami proses deteriorisasi. Berdasarkan kajian sejarah, Keraton Surakarta adalah dinasti terakhir Kerajaan Mataram, sebelum terpecah menjadi 4 (empat) istana seperti sekarang ini (Lombard, 2005), yaitu: (1) Keraton Kasunanan Surakarta (1746); (2) Keraton Kasultanan Yogyakarta (1755); (3) Pura Mangkunegaran Surakarta (1757); dan (4) Pura Pakualaman Yogyakarta (1812). Masing-masing dinasti Kerajanan Mataram Jawa itu (Houben, 2002) masih bertahan sampai sekarang (2009), meskipun telah mengalami banyak kehilangan daerah kekuasaan seiring dengan meleburnya ke empat kerajaan itu ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945.
Gambar 1.6. Kota Solo sebagai Kota Warisan Dunia (World Heritage City)
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif (1999). “MetodePenelitian Historical-Archeology ”,
dalam Henri Chambert-Loir, Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Lombard, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, pp. 201-208.
Budiharjo, Eko dan Djoko Sujarto (1998). Kota yang Berkelanjutan, Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Buwono XII, Paku (2004). Karaton Surakarta, Jayakarta Agung Offset, Jakarta. Blumer, Herbert (1969). Symbolic Interaction: Perspective and Method,
Englewood Cliffs, Prentice Hall, New York.
Carey, P. (1976). Mataram and Its Successors: 1600-1830, Juornal of Modern Asian Studies, Vol. 31, No. 3, pp. 711-734.
Carey, P. (1976). The Origin of Java War (1825-1830), TheEnglish Historical Review, Vol. 91, No. 358, pp. 52-78.
Carey, P. (1986). Waiting for the ‘Just King’: The Agrarian World of South-Central Java from Giyanti (1755) to Java War (1825-1830), Jurnal Modern Asian Studies, Vol. 20, No. 1, pp. 59-137.
Cohen, Nahoum (1999). Urban Conservation, The MIT Press, Cambridge. Dahrendorf, Ralf (1959). Case and Class Conflict in Industrial Society,
Stanford University Press, California.
Eliade, Mircae (1959). Cosmos and History: The Myth of the Eternal Return.
Harper and Row, New York.
Galtung, Johan (1982). The True World: A Transnational Perspective,
The Free Press, New York.
Golany, Gideon (1995). Ethics and Urban Design: Culture, Form and Environmnet, John Wiley and Son Inc, New York.
Graaf, H.J. de (1954). De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga (Translation), Pustaka Grafitipers, Jakarta.
Graaf, H.J. de (1958). De Regering van Sultan Agung, Vorst van Mataram, 1613-1645, en Die van Zijn Voorganger Panembahan Seda-ing Krapjak, 1601-1613(Translation), Pustaka Grafitipers, Jakarta.
Graaf, H.J. de (1961). De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677: De Ontbinding van Het Rijk (Translation), Pustaka Grafitipers, Jakarta.
Hardin, G. (1991). Ecological Economic: The Science and Management of Sustainability. Columbia University Press, New York.
Haryadi dan B. Setiawan (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. PPPSL Dirjen Dikti Depdikbud, Jakarta.
Holdren, J.P., Daily, G.C. and Ehrilich, P.R. (1992). The Meaning of Sustainability, The Biophysical Foundation, Washington D.C.
Houben, Vincent J.H. (2002). Keraton dan Kumpeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870, Bentang Budaya, Yogyakarta.
(7)
42
European Cities. Jurnal Indoor and Built Enviroment diakses tanggal 29 November 2007 dari http://ibe.sagepub.com/cgi/alerts. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1997). Ringkasan Agenda 21
Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Kantor MNLH, Jakarta.
Kartodirdjo (1975). Sejarah Nasional Indonesia 1, Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
KITLV (2008). Foto-Foto Solo 1850-1900, http://www.kitlv.nl/ diakses 20 Oktober 2008.
Klinken, Gerry van (2007). Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia, KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Koestoer, Raldi H. (2001). Dimensi Keruangan Kota: Teori dan Kasus,
UI-Press, Jakarta.
Kusumastuti (2004). Morfologi Kota Konflik: Solo, Makalah Seminar, Solo. Leitmann, Josef (1999). Sustaining Cities: Environmental Planning and
Management in Urban Design. McGraw Hill, New York. Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa (Jilid 1-3), Gramedia, Jakarta. Margana, S. (2004). Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muhadjir, Noeng (1996). Metodologi Penelitian Kualitatif: Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik dan Realisme Methaphisik (Edisi-3), Rake Sarasin, Yogyakarta.
Muljana, Slamet (1968). Runtuhnya Kerajaan Hindu dan Timbulnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara,Bhratara, Jakarta. Ngadijo (1993). Sejarah dan Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat,
Tiga Serangkai, Surakarta.
Notosusanto, Nugroho (1992). Sejarah Nasional Indonesia III,
Balai Pustaka, Jakarta.
Nurhadiantomo (2004). Konflik-Konflik Sosial Pri-Nonpri dan Hukum Keadilan Sosial,
Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Qomarun (2007). Morfologi Kota Solo (1500-2000), Jurnal Dimensi Edisi Juli 2007, Universitas Petra Surabaya.
Qomarun (2009). Prototype Lingkungan Sosial yang Berpotensi Memunculkan Bencana Ruang Kota, Penelitian Hibah Bersaing 2009-Dikti, Jakarta. Raffles, Thomas Stamford (1817). The History of Java (Translation),
Penerbit Narasi, Yogyakarta.
Rapoport, Amos (1982). The Meaning of Built Environment,
Sage Publications, Baverly Hills.
Rapoport, Amos (1980). Human Aspects of Urban Form: Towards a Man-Environment Approach to Urban Form and Design,
Pergammon Press, New York.
Rapoport, Amos (1969). House Form and Culture, Prentice-Hall Inc, New Jersey. Reid (1998). Indonesian Heritage: Sejarah Modern Awal,
(8)
Buku Antar Bangsa, Jakarta.
Rees, William E. (1996). Ecological Footprint, Revisiting Carrying Capacity: Area Based Indicators of Sustainability. Diakses tanggal 5 Juni 2005 dari http://dieoff.otg/page110.htm.
Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, GMU Press, Yogyakarta. Sajid (1984). Babad Sala, Rekso Pustaka, Solo.
Shanta (1998). Babad Kerajaan Pajang, Sasana Pustaka, Surakarta.
Soegijoko, Budhy T.S. (2005). Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad ke-21 (Buku ke-1 dan ke-2), Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.
Srinivas, Hari (1997). Information System in Urban Environmental Management,
Paper Simposium Internasional, Groningen, Belanda. Sudibjo (1980). Babad Tanah Jawi, Departemen P dan K, Jakarta. Sutedjo, Suwondo B. (1986). Arsitektur, Manusia dan Pengamatannya,
Djambatan, Jakarta.
Olthof, W.L. (1941). Babad Tanah Jawi (Translation), Penerbit Narasi, Yogyakarta. Tiknopranoto, R.M., 1970. Sejarah Kutha Sala, Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu, Pelajar, Sala.
Undang Undang RI No. 26/2007. Penataan Ruang. Penerbit Citra Umbara, Bandung.
Valentinelli, Alessandra (2001). Most Frequntly Used Urban Indicators.
Diakses tanggal 9 Februari 2008, dari http://www.petus.eu.com. Vorstensteden, Beeld van de (1998). Djokja en Solo, Asia Maior, Nederland. Wachlin, S. (1994). Woodbury and Page, Phothographers Java,
KITLV Leiden, Belanda.
Watson, Donald et al (2003). Time Saver Standards for Urban Design, McGraw-Hill, New York.
Wiranegara, I.G.P. (2004). Keraton Surakarta: Perjuangan Menuju Eksistensi,
Film Dokumenter, IKJ, Jakarta.
(9)
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
PROTOTYPE LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERPOTENSI
MEMUNCULKAN BENCANA RUANG KOTA
(STUDI KASUS KOTA SOLO)
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian
Nomor Kontrak: 316/SP2H/PP/DP2M/IV/2010, Tertanggal 12 April 2010
Disusun oleh:
Ir. Qomarun, M.M.
Dr. Ir. Arya Ronald
Dr. Moordiningsih, S.Psi., M.Psi.
Ronim Azizah, S.T., M.T.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
OKTOBER 2010
(10)
(11)
iii
RINGKASAN
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena bahwa perkembangan ruang kota di Solo sering mengalami tragedi bencana sosial (kerusuhan massa, penjarahan, pembakaran dan isu terorisme). Penelitian ini bertujuan tidak hanya untuk menjelaskan tragedi tersebut, tetapi juga untuk mengupas komponen dan parameter lingkungan sosial yang berpotensi besar dalam memunculkan bencana sosial pada ruang kota. Manfaat utama dari penelitian ini adalah untuk membantu para stake holder ruang kota (individu, warga, masyarakat dan pemerintah kota) dalam mengetahui gejala-gejala dini adanya proses dehumanisasi (penurunan kualitas manusia) pada lingkungan sosial, yang pada gilirannya akan melahirkan proses deteriorisasi (penurunan kualitas bangunan) pada lingkungan binaan (pembakaran, perusakan, penjarahan, pengeboman). Pada penelitian tahun pertama (Hibah Bersaing Tahun 2009), tim peneliti telah menemukan bahwa konflik terbuka atau manifes (fm) terjadi akibat adanya konflik laten (fl) ditambah dengan adanya pemicu (ft), yang kemudian diformulasikan dengan persamaan: (fm)=(fl)+(ft). Selain itu, pada penelitian awal juga telah menghasilkan hipotesis faktor-faktor utama konflik laten, yaitu: (1) budaya hipokratik; (2) disparitas ekonomi; dan (3) krisis kepemimpinan. Pada penelitian tahap kedua ini (Hibah Bersaing Tahun 2010), maka kegiatan penelitian hanya difokuskan untuk menguji faktor pertama tentang adanya konflik laten, yaitu budaya hipokratik. Selain itu, kegiatan utama pada penelitian tahap kedua ini adalah melakukan publikasi pada jurnal internasional. Proses publikasi internasional akhirnya telah berhasil dilakukan di Jepang pada pertengahan tahun 2010, yaitu pada Journal of Habitat Engineering (JHE), yang diterbitkan oleh Universitas Kyushu. Pada garis besarnya, temuan penelitian tahap kedua ini adalah terbukti benar bahwa budaya hipokratik memang terjadi pada hampir seluruh kawasan, baik di pusat, tengah, maupun pinggir kota, baik oleh kelompok masyarakat miskin, berkecukupan ataupun kaya raya, baik pada instansi kelurahan, kecamatan ataupun balaikota. Observasi dan investigasi telah dilakukan pada kawasan pemerintahan, kawasan pendidikan, kawasan bisnis, kawasan pemukiman, maupun kawasan taman kota. Namun demikian, penelitian ini belum bisa menguji faktor kedua dan ketiga terkait terbatasnya waktu dan dana yang tersedia, sehingga dibutuhkan penelitian tahap lanjut untuk menyelesaikannya. Pada sisi yang lain, parameter dan indikator dari faktor ketiga-tiganya juga masih membutuhkan eksplorasi yang lebih mendalam.
(12)
SUMMARY
The background of the study is a highly frequency of urban social disaster phenomenon in developing the city of Solo (amok, restless, riot, terrorism). The aim of this research is not only to clarify of those social conflicts, but also to explore the indicator and parameter of urban social disaster. The purpose of the study is to help the stake holder knowing early indication of dehumanization and deterioration of urban space. The first period of research (Hibah Bersaing 2009) found that the manifest conflict (fm) was actually happened by both latent conflict and trigger, or it could be written as: (fm) = (fl) + (ft). That research was also giving hypothesis that the main factor of latent conflicts was conducted by economic-disparity, social-leaderless and hypocrite-culture; while the several triggers are conducted by the activity of politic, economic and socio-culture. Furthermore, this period of research (Hibah Bersaing 2010) is actually clarifying to those hypotheses. The other activity of the second period (Hibah Bersaing 2010) is to do publication process on the international journal. Finally, the paper is being successfully on international journal from Japan: Journal Habitat of Engineering (JHE), University of Kyushu, in the middle of 2010. The main finding of the research is the highly significant of hypocrite culture. Observation and investigation has been done in surroundings of urban space, such as: government building; settlement district; education district; central business district; and urban park. The hypocrite-culture is actually appeared to the entire of urban social level (wealthy-needy), public service level (central-local) and urban space level (center-edge). However, the research has yet to explore the second and the third factor; accordingly, the result of study suggests taking the advance research which explores the parameter and indicator of the each formula factor.
(13)
v
DAFTAR ISI
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
Halaman Sampul i
Halaman Pengesahan ii
Ringkasan iii
Summary iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3. Pertanyaan Penelitian 2
1.4. Lingkup Laporan Penelitian 2
1.5. Gambaran Lokasi Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Roadmap Research tentang Kota 10
2.2. Studi tentang Konflik Sosial 15
2.2.1. Pengertian Konflik 15
2.2.2. Teori Konflik Sosial 16
2.2.3. Studi Konflik Sosial di Indonesia 18
2.3. Kerangka Teori 20
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian 21
3.2. Manfaat Penelitian 22
3.3. Urgensi Penelitian 22
3.3.1. Faktor Lingkungan Sosial Kota
sebagai Agenda Kritis 22
3.3.2. Faktor Ruang Kota
sebagai Agenda Strategis 23
3.3.3. Faktor Kota Solo
sebagai Kota Warisan Dunia 24
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Paradigma Penelitian 31
4.2. Proses Penelitian 22
4.3. Mekanisme Penelitian 24
4.4. Lokasi Penelitian 27
4.5. Obyek Penelitian 29
4.6. Pengumpulan Data 30
4.7. Pengolahan Data 30
4.8. Perumusan Temuan 31
(14)
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Kompilasi Data 33
5.2. Analisa-Sintesa Data 34
5.2.1. Kasus 1: Lingkungan Pemerintahan 34
5.2.2. Kasus 2: Lingkungan Pendidikan 35
5.2.3. Kasus 3: Lingkungan Kepolisian 36
5.2.4. Kasus 4: Lingkungan Pemukiman 37
5.2.5. Kasus 5: Lingkungan Taman Kota 38
5.3. Temuan Penelitian 39
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 40
6.2. Saran 40
Daftar Pustaka 41
B. SINOPSIS PENELITIAN LANJUT 44
(15)
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Geger Pacinan, 1742 1
Gambar 1.2. Boemi Hangoes, 1948 1
Gambar 1.3. Kerusuhan Massal, 1998 1
Gambar 1.4. Skema Peta Topografi Kota Solo 4
Gambar 1.5. Peta Wilayah Kota Solo 4
Gambar 1.6. Kota Solo sebagai Kota Warisan Dunia 5 (World Heritage City)
Gambar 2.1. Elemen Kota 7
Gambar 2.2. Perkembangan Teori Pola Kota 9
Gambar 2.3. Roadmap Research dan Posisi Fokus Studi 10 Gambar 2.4. Jumlah Insiden dan Korban Tewas Akibat 15
Kekerasan Non-Separatis di Indonesia (1990-2003)
Gambar 2.5. Kerangka Teori dan Posisi Riset 16
Gambar 4.1. Proses Penelitian Rasionalistik-Kualitatif 21 Gambar 4.2. Skema tentang Metode-Proses-Keluaran Penelitian 22 Gambar 4.3. Langkah Penelitian (Kiri) dan Target Temuan (Kanan) 23
Gambar 4.4. Mekanisme I (2009): 24
Keragaman Urban Social Disaster di Solo
Gambar 4.5. Mekanisme II (2010): 25
Parameter dan Indikator Dehumanisasi
Gambar 4.6. Mekanisme III (2011): 26
Pembuatan Alat EWS-USD-SEF
Gambar 4.7. Generalisasi Tahap I: 28
Kawasan Kraton, Balaikota dan Pasar Gede
Gambar 4.8. Generalisasi Tahap II: 28
Kawasan Mangkunegaran, Pasar Legi dan Sriwedari
Gambar 4.9. Bagan Alir Penelitian 32
Gambar 5.1. Kasus 1: Balaikota Surakarta sebagai
Simbol Kinerja Pemerintahan 34
Gambar 5.2. Kasus 2: Lingkungan Pendidikan sebagai
Simbol Kawasan Masyarakat Santun 35
Gambar 5.3. Kasus 3: Lingkungan Kepolisian sebagai
Simbol Kawasan Penegak Hukum 36
Gambar 5.4. Kasus 4: Lingkungan Permukiman sebagai
Simbol Kawasan Ketentraman 37
Gambar 5.5. Kasus 5: Lingkungan Taman Kota sebagai
(16)
RINGKASAN
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
PROTOTYPE LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERPOTENSI
MEMUNCULKAN BENCANA RUANG KOTA
(STUDI KASUS KOTA SOLO)
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian
Nomor Kontrak: 316/SP2H/PP/DP2M/IV/2010, Tertanggal 12 April 2010
Disusun oleh:
Ir. Qomarun, M.M.
Dr. Ir. Arya Ronald
Dr. Moordiningsih, S.Psi., M.Psi.
Ronim Azizah, S.T., M.T.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
OKTOBER 2010
(17)
2
1. Kompilasi Data
Berbeda dengan tahap penelitian pertama yang mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen kuno, maka pada tahap penelitian kedua ini (Hibah Bersaing 2010) dilakukan melalui kasus-kasus nyata di lapangan (field research). Sebagai suatu langkah penelitian yang berparadigma rasionalistik, maka teknik pengumpulan data yang berupa budaya hipokratik, yaitu kebiasaan berperilaku munafik, bermuka dua, berbohong, berkhianat ataupun beringkar janji, dilakukan melalui metode observasi dan investigasi. Peneliti dalam melakukan penelitian didesain justru menyatu dengan kasus lapangan, yaitu dengan menjadi masyarakat biasa dan berperilaku seadanya, sehingga pihak yang diteliti tidak merasa atau tidak tahu kalau sedang diteliti. Hal ini terkait dengan obyek penelitian yang berupa tindakan-tindakan yang bernilai negatif, seperti korupsi, suap, berbohong dan melanggar aturan. Kompilasi data telah dilakukan pada lima kawasan yang berkategori sebagai simbol-simbol aktifitasnya, yaitu: (1) lingkungan pemerintahan; (2) lingkungan pendidikan; (3) lingkungan kepolisian; (4) lingkungan permukiman; dan (5) lingkungan taman kota. Untuk mendapatkan data penelitian yang valid, proses penelitian yang obyektif dan hasil penelitian yang kredibel, maka penelitian ini mengumpulkan data-data hingga 15 lokasi.
2. Analisa-Sintesa Data
Untuk menggali perilaku budaya hipokratik di lingkungan pemerintahan, maka dilakukan observasi dan investigasi melalui proses mengurus tentang IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Uji ini akhirnya berhasil melibatkan unsur pemerintahan dari tingkat terendah hingga tertinggi, yaitu kelurahan, kecamatan dan pemerintah kota. Pemerintah Kota Surakarta dengan programnya yang berjudul: “Berseri Tanpa Korupsi” telah dipajang di tempat-tempat umum, seperti di kantor-kantor pemerintahan, halte-halte bis kota, taman-taman kota dan kios-kios resmi kota. Namun setelah lebih dari satu dasawarsa, budaya korupsi/suap masih ditemukan pada level kelurahan, kecamatan dan pemerintah kota. Pelayanan satu atap yang diprogramkan ternyata masih bisa bocor dan bahkan ada pihak-pihak yang sengaja menawarkan jalan pintas.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan pendidikan, maka dilakukan observasi dan investigasi pada kawasan pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah atas di tiga lokasi yang berbeda, yaitu: (1) SMU Regina Pacis-Ursulin di Jl. Adisucipto; (2) SMPN 1 Surakarta di JL. MT Haryono dan (3) SDN Cemara Dua di Jl. Monginsidi. Pada kasus ini, peneliti melakukan observasi tentang larangan parkir di jalan raya dekat kawasan itu pada jam 06.30-07.30 dan jam 11.30-13.30. Kondisi di lapangan pada masing-masing lokasi mempunyai keadaan yang sama, yaitu tidak ada yang patuh alias melanggar peraturan yang telah mereka buat sendiri melalui wakil-wakilnya di DPRD atau pimpinannya di Balaikota. Pada kasus di SMU Regina Pacis-Ursulin lebih buruk lagi, yaitu tanda lalu lintas dilarang parkir justru dibuang dan dihilangkan. Saat ini kondisi parkir di lokasi yang dilarang parkir itu tidak hanya satu baris kendaran, melainkan dua baris dan bahkan di seberang jalan juga sudah mulai digunakan sebagai arena parkir.
Untuk menggali perilaku aparat kepolisian tentang budaya hipokratik, maka dilakukan uji tentang mengurus surat-surat berkendaraan (SIM, STNK,
(18)
BPKB) dan observasi penegakan hukum di jalan raya oleh Polantas. Isu budaya ‘nembak’ saat mengurus SIM di lingkungan kepolisian terbukti masih ada ketika peneliti terjun ke lapangan. Hal ini tentu bertentangan dengan isi pengumuman-pengumuman ataupun himbauan yang terpasang di beberapa tempat di kantor yang sama. Sementara itu, terkait mengurus tentang surat-surat kendaraan, seperti STNK dan BPKB, yang dilakukan oleh pihak jasa-jasa tertentu (‘calo’), juga masih dapat ditemui ketika peneliti terjun di lapangan, yaitu pada kantor pelayanan satu atap di Samsat.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan permukiman, maka dilakukan observasi tentang lahir dan berkembangnya PKL di jalan-jalan dekat permukiman. Pada umumnya, kawasan pemukiman adalah kawasan yang menjadi harapan untuk tempat istirahat yang nyaman, tentram dan tenang. Kasus di Kampung Manahan adalah dapat menjadi preseden tentang budaya hipokratik bagi masyarakat umum di tempat-tempat yang lain. Semula PKL di tempat yang menjadi pintu gerbang kampung dilarang oleh beberapa warga, karena selain jalan menjadi sempit maka juga lokasi menjadi kumuh. Namun, ketika ada pihak-pihak yang mengancam terkait ‘masalah nyawa’ bagi pihak yang melarang dan ‘isi perut’ bagi pihak yang mengijinkan, maka PKL dapat terjadi. Musyawarah tingkat RT dan RW justru melegalkan tindakan ilegal. Jadi budaya hipokratik (munafik) sudah merambah kepada lingkungan perumahan-perumahan.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan taman kota, maka dilakukan observasi di kawasan hijau kota di Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo, DAS Kali Anyar dan DAS Kali Tanggul. Kawasan sungai adalah paru-paru kota dan menjadi area publik yang menyenangkan. Namun, seiring dengan banyaknya pemukiman liar dan polusi air, maka kawasan itu menjadi sampah raksasa bagi ruang kota. Peneliti menemukan hal yang sama di tiga lokasi itu, yaitu daerah DAS menjadi area pemukiman liar yang panjang dan berlapis-lapis. Peraturan yang dipasang permanen dan diletakkan di berbagai tempat, hanya menjadi tugu saja dan tidak ada respon atau tanggapan bagi pihak yang berkuasa. Kawasan itu seharusnya menjadi milik bersama seluruh warga kota, tetapi kenyataannya lahan itu telah menjadi milik pribadi dari beberapa warga kota. Jadi budaya hipokratik (munafik) sudah merambah di lokasi-lokasi taman kota dan tempat-tempat publik lainnya.
3. Temuan Penelitian
Berdasarkan 5 kasus penelitian dari 15 lokasi yang berbeda di atas, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya hipokratik telah subur dan mengakar di masyarakat Kota Solo. Pihak stake holder ruang kota (pemerintah dan warga masyarakat) saling berpura-pura, saling melanggar, saling ingkar atau saling bermuka-dua, yang pada gilirannya telah mampu menciptakan konflik laten. Budaya hipokratik selalu terkait dengan peraturan tertulis (seperti: undang-undang, surat keputusan, regulasi) maupun yang tidak tertulis (seperti: norma-norma, adab sopan-santun, mufakat masyarakat). Penelitian ini menunjukkan bahwa hal-hal yang tertulis telah dilanggar secara massal, sehingga hal-hal yang tidak tertulis tentu lebih buruk kondisinya. Sangsi, hukuman, denda ataupun hal-hal lain yang ada dalam peraturan tidak membuat takut bagi para stake holder untuk melanggarnya.
(1)
v
DAFTAR ISI
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
Halaman Sampul i
Halaman Pengesahan ii
Ringkasan iii
Summary iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3. Pertanyaan Penelitian 2
1.4. Lingkup Laporan Penelitian 2
1.5. Gambaran Lokasi Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Roadmap Researchtentang Kota 10
2.2. Studi tentang Konflik Sosial 15
2.2.1. Pengertian Konflik 15
2.2.2. Teori Konflik Sosial 16
2.2.3. Studi Konflik Sosial di Indonesia 18
2.3. Kerangka Teori 20
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1. Tujuan Penelitian 21
3.2. Manfaat Penelitian 22
3.3. Urgensi Penelitian 22
3.3.1. Faktor Lingkungan Sosial Kota
sebagai Agenda Kritis 22
3.3.2. Faktor Ruang Kota
sebagai Agenda Strategis 23
3.3.3. Faktor Kota Solo
sebagai Kota Warisan Dunia 24
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Paradigma Penelitian 31
4.2. Proses Penelitian 22
4.3. Mekanisme Penelitian 24
4.4. Lokasi Penelitian 27
4.5. Obyek Penelitian 29
4.6. Pengumpulan Data 30
4.7. Pengolahan Data 30
4.8. Perumusan Temuan 31
(2)
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Kompilasi Data 33
5.2. Analisa-Sintesa Data 34
5.2.1. Kasus 1: Lingkungan Pemerintahan 34
5.2.2. Kasus 2: Lingkungan Pendidikan 35
5.2.3. Kasus 3: Lingkungan Kepolisian 36
5.2.4. Kasus 4: Lingkungan Pemukiman 37
5.2.5. Kasus 5: Lingkungan Taman Kota 38
5.3. Temuan Penelitian 39
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 40
6.2. Saran 40
Daftar Pustaka 41
B. SINOPSIS PENELITIAN LANJUT 44 C. LAMPIRAN PUBLIKASI INTERNASIONAL 50
(3)
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Geger Pacinan, 1742 1
Gambar 1.2. Boemi Hangoes, 1948 1
Gambar 1.3. Kerusuhan Massal, 1998 1
Gambar 1.4. Skema Peta Topografi Kota Solo 4
Gambar 1.5. Peta Wilayah Kota Solo 4
Gambar 1.6. Kota Solo sebagai Kota Warisan Dunia 5 (World Heritage City)
Gambar 2.1. Elemen Kota 7
Gambar 2.2. Perkembangan Teori Pola Kota 9
Gambar 2.3. Roadmap Research dan Posisi Fokus Studi 10 Gambar 2.4. Jumlah Insiden dan Korban Tewas Akibat 15
Kekerasan Non-Separatis di Indonesia (1990-2003)
Gambar 2.5. Kerangka Teori dan Posisi Riset 16 Gambar 4.1. Proses Penelitian Rasionalistik-Kualitatif 21 Gambar 4.2. Skema tentang Metode-Proses-Keluaran Penelitian 22 Gambar 4.3. Langkah Penelitian (Kiri) dan Target Temuan (Kanan) 23
Gambar 4.4. Mekanisme I (2009): 24
Keragaman Urban Social Disaster di Solo
Gambar 4.5. Mekanisme II (2010): 25
Parameter dan Indikator Dehumanisasi
Gambar 4.6. Mekanisme III (2011): 26
Pembuatan Alat EWS-USD-SEF
Gambar 4.7. Generalisasi Tahap I: 28
Kawasan Kraton, Balaikota dan Pasar Gede
Gambar 4.8. Generalisasi Tahap II: 28
Kawasan Mangkunegaran, Pasar Legi dan Sriwedari
Gambar 4.9. Bagan Alir Penelitian 32
Gambar 5.1. Kasus 1: Balaikota Surakarta sebagai
Simbol Kinerja Pemerintahan 34
Gambar 5.2. Kasus 2: Lingkungan Pendidikan sebagai
Simbol Kawasan Masyarakat Santun 35 Gambar 5.3. Kasus 3: Lingkungan Kepolisian sebagai
Simbol Kawasan Penegak Hukum 36
Gambar 5.4. Kasus 4: Lingkungan Permukiman sebagai
Simbol Kawasan Ketentraman 37
Gambar 5.5. Kasus 5: Lingkungan Taman Kota sebagai
(4)
RINGKASAN
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
PROTOTYPE LINGKUNGAN SOSIAL YANG BERPOTENSI
MEMUNCULKAN BENCANA RUANG KOTA
(STUDI KASUS KOTA SOLO)
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian
Nomor Kontrak: 316/SP2H/PP/DP2M/IV/2010, Tertanggal 12 April 2010
Disusun oleh:
Ir. Qomarun, M.M.
Dr. Ir. Arya Ronald
Dr. Moordiningsih, S.Psi., M.Psi.
Ronim Azizah, S.T., M.T.
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
OKTOBER 2010
(5)
2
1. Kompilasi Data
Berbeda dengan tahap penelitian pertama yang mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen kuno, maka pada tahap penelitian kedua ini (Hibah Bersaing 2010) dilakukan melalui kasus-kasus nyata di lapangan (field research). Sebagai suatu langkah penelitian yang berparadigma rasionalistik, maka teknik pengumpulan data yang berupa budaya hipokratik, yaitu kebiasaan berperilaku munafik, bermuka dua, berbohong, berkhianat ataupun beringkar janji, dilakukan melalui metode observasi dan investigasi. Peneliti dalam melakukan penelitian didesain justru menyatu dengan kasus lapangan, yaitu dengan menjadi masyarakat biasa dan berperilaku seadanya, sehingga pihak yang diteliti tidak merasa atau tidak tahu kalau sedang diteliti. Hal ini terkait dengan obyek penelitian yang berupa tindakan-tindakan yang bernilai negatif, seperti korupsi, suap, berbohong dan melanggar aturan. Kompilasi data telah dilakukan pada lima kawasan yang berkategori sebagai simbol-simbol aktifitasnya, yaitu: (1) lingkungan pemerintahan; (2) lingkungan pendidikan; (3) lingkungan kepolisian; (4) lingkungan permukiman; dan (5) lingkungan taman kota. Untuk mendapatkan data penelitian yang valid, proses penelitian yang obyektif dan hasil penelitian yang kredibel, maka penelitian ini mengumpulkan data-data hingga 15 lokasi.
2. Analisa-Sintesa Data
Untuk menggali perilaku budaya hipokratik di lingkungan pemerintahan, maka dilakukan observasi dan investigasi melalui proses mengurus tentang IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Uji ini akhirnya berhasil melibatkan unsur pemerintahan dari tingkat terendah hingga tertinggi, yaitu kelurahan, kecamatan dan pemerintah kota. Pemerintah Kota Surakarta dengan programnya yang berjudul: “Berseri Tanpa Korupsi” telah dipajang di tempat-tempat umum, seperti di kantor-kantor pemerintahan, halte-halte bis kota, taman-taman kota dan kios-kios resmi kota. Namun setelah lebih dari satu dasawarsa, budaya korupsi/suap masih ditemukan pada level kelurahan, kecamatan dan pemerintah kota. Pelayanan satu atap yang diprogramkan ternyata masih bisa bocor dan bahkan ada pihak-pihak yang sengaja menawarkan jalan pintas.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan pendidikan, maka dilakukan observasi dan investigasi pada kawasan pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah atas di tiga lokasi yang berbeda, yaitu: (1) SMU Regina Pacis-Ursulin di Jl. Adisucipto; (2) SMPN 1 Surakarta di JL. MT Haryono dan (3) SDN Cemara Dua di Jl. Monginsidi. Pada kasus ini, peneliti melakukan observasi tentang larangan parkir di jalan raya dekat kawasan itu pada jam 06.30-07.30 dan jam 11.30-13.30. Kondisi di lapangan pada masing-masing lokasi mempunyai keadaan yang sama, yaitu tidak ada yang patuh alias melanggar peraturan yang telah mereka buat sendiri melalui wakil-wakilnya di DPRD atau pimpinannya di Balaikota. Pada kasus di SMU Regina Pacis-Ursulin lebih buruk lagi, yaitu tanda lalu lintas dilarang parkir justru dibuang dan dihilangkan. Saat ini kondisi parkir di lokasi yang dilarang parkir itu tidak hanya satu baris kendaran, melainkan dua baris dan bahkan di seberang jalan juga sudah mulai digunakan sebagai arena parkir.
Untuk menggali perilaku aparat kepolisian tentang budaya hipokratik, maka dilakukan uji tentang mengurus surat-surat berkendaraan (SIM, STNK,
(6)
BPKB) dan observasi penegakan hukum di jalan raya oleh Polantas. Isu budaya ‘nembak’ saat mengurus SIM di lingkungan kepolisian terbukti masih ada ketika peneliti terjun ke lapangan. Hal ini tentu bertentangan dengan isi pengumuman-pengumuman ataupun himbauan yang terpasang di beberapa tempat di kantor yang sama. Sementara itu, terkait mengurus tentang surat-surat kendaraan, seperti STNK dan BPKB, yang dilakukan oleh pihak jasa-jasa tertentu (‘calo’), juga masih dapat ditemui ketika peneliti terjun di lapangan, yaitu pada kantor pelayanan satu atap di Samsat.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan permukiman, maka dilakukan observasi tentang lahir dan berkembangnya PKL di jalan-jalan dekat permukiman. Pada umumnya, kawasan pemukiman adalah kawasan yang menjadi harapan untuk tempat istirahat yang nyaman, tentram dan tenang. Kasus di Kampung Manahan adalah dapat menjadi preseden tentang budaya hipokratik bagi masyarakat umum di tempat-tempat yang lain. Semula PKL di tempat yang menjadi pintu gerbang kampung dilarang oleh beberapa warga, karena selain jalan menjadi sempit maka juga lokasi menjadi kumuh. Namun, ketika ada pihak-pihak yang mengancam terkait ‘masalah nyawa’ bagi pihak yang melarang dan ‘isi perut’ bagi pihak yang mengijinkan, maka PKL dapat terjadi. Musyawarah tingkat RT dan RW justru melegalkan tindakan ilegal. Jadi budaya hipokratik (munafik) sudah merambah kepada lingkungan perumahan-perumahan.
Untuk menggali perilaku masyarakat di lingkungan taman kota, maka dilakukan observasi di kawasan hijau kota di Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo, DAS Kali Anyar dan DAS Kali Tanggul. Kawasan sungai adalah paru-paru kota dan menjadi area publik yang menyenangkan. Namun, seiring dengan banyaknya pemukiman liar dan polusi air, maka kawasan itu menjadi sampah raksasa bagi ruang kota. Peneliti menemukan hal yang sama di tiga lokasi itu, yaitu daerah DAS menjadi area pemukiman liar yang panjang dan berlapis-lapis. Peraturan yang dipasang permanen dan diletakkan di berbagai tempat, hanya menjadi tugu saja dan tidak ada respon atau tanggapan bagi pihak yang berkuasa. Kawasan itu seharusnya menjadi milik bersama seluruh warga kota, tetapi kenyataannya lahan itu telah menjadi milik pribadi dari beberapa warga kota. Jadi budaya hipokratik (munafik) sudah merambah di lokasi-lokasi taman kota dan tempat-tempat publik lainnya.
3. Temuan Penelitian
Berdasarkan 5 kasus penelitian dari 15 lokasi yang berbeda di atas, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya hipokratik telah subur dan mengakar di masyarakat Kota Solo. Pihak stake holder ruang kota (pemerintah dan warga masyarakat) saling berpura-pura, saling melanggar, saling ingkar atau saling bermuka-dua, yang pada gilirannya telah mampu menciptakan konflik laten. Budaya hipokratik selalu terkait dengan peraturan tertulis (seperti: undang-undang, surat keputusan, regulasi) maupun yang tidak tertulis (seperti: norma-norma, adab sopan-santun, mufakat masyarakat). Penelitian ini menunjukkan bahwa hal-hal yang tertulis telah dilanggar secara massal, sehingga hal-hal yang tidak tertulis tentu lebih buruk kondisinya. Sangsi, hukuman, denda ataupun hal-hal lain yang ada dalam peraturan tidak membuat takut bagi para stake holder untuk melanggarnya.