c. Sajian Data.
Sajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari hasil penelitian yang
kemudian disusun secara sistematis. d.
Verifikasi Data. Dari data yang diperoleh dari hasil wawancara, dan dokumentasi
kemudian peneliti mencari makna dari hasil penelitian atau dari hasil yang terkumpul. Peneliti berusaha untuk mencari pola hubungan serta hal-hal
yang sering timbul. Dari hasil data yang diperoleh peneliti membuat kesimpulan-kesimpulan kemudian diverifikasi.
G. Sistematika Penulisan Sistematika disusun dengan tujuan agar pokok-pokok masalah yang
dibahas disusun secara urut dan teratur. Sistematika penulisan skripsi disusun sebagai berikut:
Penyajian Data
Pengumpulan Data
Kesimpulan-kesimpulan : Penarikan Verifikasi
Reduksi Data
Universitas Sumatera Utara
1. Bagian pendahuluan skripsi
Pada bagian ini berisi judul, halaman pengesahan, halaman motto dan halaman persembahan, pernyataan, sari, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel dan
daftar lampiran. 2.
Bagian isi skripsi Terdiri dari :
BAB I : Pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah atau fokus masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian serta sistematika penulisan skripsi. BAB II : Tinjauan umum terhadap hukum perkawinan di Indonesia yang
meliputi sejarah hukum perkawinan di Indonesia, asas-asas perkawinan, dan syarat-syarat sahnya perkawinan.
BAB III : Tinjauan yuridis terhadap perkawinan sirri yang berisi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, pengertian kawin sirri, faktor-
faktor terjadinya kawin sirri, serta akibat hukum perkawinan sirri terhadap suami istri, anak dan harta.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada bab ini berisi tentang hasil penelitian dan pembahasannya.
BAB V : Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran-saran 3.
Bagian akhir skripsi, berisi daftar pustaka, hasil wawancara dan lampiran- lampiran.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
Sejarah perkembangan Hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang
dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Perkembangan Hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk
kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktik-praktik keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena Hukum Islam dipraktikkan oleh
masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah mu’amalah perkawinan, perceraian, warisan, peradilan, dan tentu saja
dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, Hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah salah jika
dikatakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia.
10
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui
VOC Vereenigde Oots-Indische Compagnie yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan Hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan Hukum Adat. Berangkat
10
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2004, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan Hukum Belanda di Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja
menjalankan syariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia 1602-1800 M Hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya
tanpa ada hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam dan berlaku dikalangan umat Islam.
11
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap Hukum Islam, kendati
perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang
mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga,
keinginan Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
12
Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, Hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam ruang
lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, terrnyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius
terhadap perjalananan Hukum Islam. Hal ini terlihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada Bupati dan Sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan
Hukum Islam tersebut. Sebagai contoh: melalui Stabl. No. 22 pasal 13,
11
Ibid, hal. 9.
12
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diperintahkan kepada Bupati untuk memperhatikan persoalan Agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai
dengan adat kebiasaan masyarakat Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan sejenisnya.
13
Sedangkan perkawinan menurut Hukum Adat berlaku bagi golongan pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang
perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah Hukum Adat ini tidak dikenal. Istilah ini timbul
dalam pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgrone yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.
14
1. Tatanan Patrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis
keturunan ayah atau laki-laki yang merupakan sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam garis pria yaitu ayah,
ayah dari ayah kakek dan seterusnya yang dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini,
maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh lebih berada pada kaum pria dari pihak ayah.
Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh persukuan
adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga yang dibagi atas tiga kategori, yaitu :
13
Ibid, hal. 10.
14
Wila Chandrawila, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Bandung: Mandar Maju, 2002, hal. 73.
Universitas Sumatera Utara
2. Tatanan Matrilineal, yaitu perkawinan dimana pengaturannya menurut garis
keturunan ibu atau perempuan terhadap penentuan keturunan yang merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada
ibu, ibu dari ibu nenek dan seterusnya. 3.
Tatanan Parental, yaitu perkawinan yang hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak yaitu ayah dan ibu.
15
Sejak tahun dua puluhan pada masa dibawah kepemimpinan Belanda, dari golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan
pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928,
telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 organisasi Perempuan Bumiputera antara lain Wanito Oetomo, Putri Indonesia, Wanita Khatolik, Moehammadiyah bagian
Wanita, Serikat Islam bagian wanita. Kongres ini telah berhasil mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia PPPI.
16
Kongres pertama PPPI Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan
perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang
poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Disini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah
Belanda agar melarang poligami.
17
15
Ibid, hal. 74-75.
16
Ibid, hal. 192.
17
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20-24 Juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada kongres
ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang posisi perempuan menurut Hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa
mengenyampingkan Agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk
membentuk sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yng
berlangsung di Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang dan peluang
bagi ruang dan peluang bagi perkawinan berikut seluk beluknya. Kongres ini memutuskan untuk membentuk empat buah komisi kerja yang salah satu
diantaranya akan membahas masalah perkawinan yang berhubungan dengan Agama Islam.
18
Sehubungan dengan kongres-kongres tesebut dapat disimpulkan bahwa gerakan perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di
era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap pembentukan
perundang-undangan perkawinan.
19
Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang
Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari
18
Ibid.
19
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan bahwa undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku
dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila.
20
Pada akhir tahun tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B24299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh Pemerintah dibentuklah Panitia
Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun
suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Keanggotaannya terdiri
dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, Hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan.
21
Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang RUU Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang
berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai Undang-undang
tersebut kepada organisasi dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut.
22
20
Ibid.
21
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 234.
22
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dimajukan itu selalu berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki
keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua
belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15
tahun bagi perempuan.
2. Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang
seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum
agamaperdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat
memenuhi syarat keadilan.
4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masing-
masing sendiri tetap menjadi miliki masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri,
berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus beragama
Islam.
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak,
mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang
tua dan perwalian.
23
Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang
mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga Negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU
Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam pembahasannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh
sekelompok anggota Parlemen dibawah pimpinan Ny.Soemarni, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah
23
Ibid, hal. 234-235.
Universitas Sumatera Utara
RUU Pekawinan yaitu dua buah RUU berasal dari Komisi yang diketuai oleh Mr. Tengku Hasan dan satu buah RUU dari Ny. Soemarnie dan kawan-kawan. Pada
prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting antara pengusulan-
pengusulan tersebut : -
RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga Negara,
juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok keagamaan yang didalamnya poligami diperkenankan.
- Sedangkan dari kelompok Ny. Soemarni meliputi hanya pemberlakuan suatu
Undang-undang Umum yang didalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut
terakhir juga memberikan ruang dan peluang bagi suatu peraturan perudang- undangan perkawinan untuk kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda-
beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setiap warga Negara.
24
Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959. RUU Ny. Soemarni tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena
kendatipun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut tampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota
dari Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami
24
Wila Chandrawila, Op. Cit., hal. 196.
Universitas Sumatera Utara
yang dikandung rancangan ini. Tampaknya perlu dikemukakan disini apa yang menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam.
25
Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963
sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional LPHN, yakni sebuah
Badan Penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional dan Persatuan Hakim Indonesia yang cukup berpengaruh pula. Di dalam seminar ini
diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undang- undang Perkawinan yang seragam. Bagi Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
itu sendiri nampaknya pertemuan ini merupakan dorongan penting, yaitu untuk menyibukkan diri dengan problema terbentuknya suatu perundang-undangan
perkawinan Indonesia sendiri.
26
Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah
dirampungkan sebuah rancangan tentang asas-asas perkawinan. Sampai dengan berakhirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat dalam
agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan.
27
Hampir selama dua bulan dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR
selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan
25
Ibid.
26
Ibid, hal. 197.
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Komisi Hasan, Kelompok Soemarnie dan LPHN, telah berimbang sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama
dua puluh tahun penuh itu untuk membentuk sebuah Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap
mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut.
28
Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari
DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973, Presiden Republik
Indonesia menyampaikannya kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967 dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31
Juli 1973 tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompok- kelompok dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan
terhadap RUU tersebut, sehingga perlu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 dimana pemerintah
diwakili oleh 2 dua menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama. Kemudian pada pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973,
dimana para anggota DPR memberikan pendangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tersebut. Berbicara pada kesempatan itu
sebanyak 9 sembilan orang anggota masing-masing seorang dari fraksi Karya Pembangunan, seorang dari fraksi Partai Demokrasi Pembangunan dan 5 lima
orang dari fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi pandangan
28
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.
29
Dalam rapatnya pada tanggal 30 Nopember 1973, Badan Musyawarah DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi
III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota
sebanyak 10 sepuluh orang. Panitia kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota
sebanyak 10 sepuluh orang yakni dua orang dari fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari fraksi Karya Pembangunan, dua orang dari fraksi Partai Demokrasi
Indonesia dan empat orang dari fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal Ali, S.H.
30
Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan Komisi IX telah mengadakan rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan
RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan Komisi III dan Komisi IX mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari
RUU Perkawinan dibawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto.
31
Dari tanggal 6 Desember 1973 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan tingkat III, dimana panitia kerja yang dibentuk pada
tanggal 6 Desember 1973 lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadakan pembicaraan bersama dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan
tugasnya melakukan rapat-rapat internal panitia untuk menjajaki pendirian
29
Ibid., hal. 198.
30
Rachmadi Usman, Op. Cit., hal. 241.
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masing-masing fraksi sejauh mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa
ke dalam rapat kerja dengan pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum.
Selanjutnya apabila hal-hal ini telah selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup, mengenai rumusan-rumusan yang sifatnya konkrit
dalam bentuk pasal demi pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang baik, toleransi yang besar, dan kesediaan saling
memberi dan menerima dalam musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksi- fraksi yang menyadari akan pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung
jawab sebagai salah satu badan kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya mendapat kesempatan yang besar untuk
mengemukakan pendapatnya masing-masing dan semua pembicaraan disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni mewujudkan Undang-undang Perkawinan yang
sejauh mungkin dapat memenuhi aspirasi hukum yangn hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan bagi perkembangan hukum di masa
depan.
32
Dengan kesadaran dan tujuan yang sama itulah kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat
menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasi secara teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan
dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut
32
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat dilakukan, maka kemungkian dengan melakukan suatu pengecualian dilakukan sebagai suatu pola untuk mengatasi kesulitan tersebut, apabila hal
tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permalasahan tadi akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh
DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerintah. Pasal-pasal
yang mengalami perubahan meliputi pasal 1 dan Pasal 2, dan pasal-pasal yang mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 13, 14, 43
dan 62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan dalam hal-hal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan.
Demikian juga masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan harus melalui prosedur pengadilan.
33
Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV, DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di
DPR, yang menyetujui disahkannya RUU Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja
RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah
disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru berlaku secara efektif sejak
tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah persiapan dan
33
Ibid, hal. 242.
Universitas Sumatera Utara
serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar.
34
Dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan perkawinan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak
berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh dimana sebagian ketentuan dalam pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang
perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 memuat kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan perkawinan
dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksanaannya. Hal ini berarti Undang-undang Perkawinan
akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga Negara Indonesia.
35
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk mengodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, disamping
mengunifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi hukum
perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan memberlakukan berbagai
peraturan perundang-undangan yang lama yang ada sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan masing-masing yang
34
Ibid.
35
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-undang Perkawinan
mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional.
36
Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan
yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan
sendirinya Undang-undang Perkawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga Negara
Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974, juga
tunduk pada ketentuan hukum agamanya atau kepercayaan agamanya sepanjang belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Hal-hal yang diatur dalam
Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya
tersebut.
37
36
Ibid.
37
Ibid, hal. 245-246.
Untuk melaksanakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan
peraturan-peraturan pelaksanaannya, antara lain yang menyangkut tentang masalah-masalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Pencatatan Perkawinan
2. Tata cara pelaksanaan perkawinan
3. Tata cara perceraian
4. Cara mengajukan gugatan perceraian
5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan.
6. Pembatalan perkawinan.
7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
38
Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang No. 1 Tahun 1974. Dalam peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dikemukakan di atas, yang diharapkan akan dapat
memperlancar pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
39
B. Pengertian Perkawinan Kawin nikah menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti