BAB III
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SIRRI
A. Pengertian Perkawinan Sirri
Pernikahan merupakan sunnatullah bagi manusia. Selain untuk melanjutkan keturunan, dan menyalurkan fitrah seksual, Islam menganjurkan
menikah bagi insan yang mampu sebagai wujud ibadah kepada Allah. Pada awalnya, pernikahan manusia berjalan secara alami sangat sederhana, tanpa
memerlukan pengaturan yang kompleks. Dari waktu ke waktu, aturan mengenai pernikahan, berkembang mengikuti perkembangan masyarakat.
99
Sebagai sebuah institusi tertua, pernikahan merupakan lembaga hukum yang sangat sentral. Dari perkawinan akan lahir hubungan hukum privat seperti
hubungan hukum nasab, kewarisan, status harta dalam perkawinan maupun sasat putusnya perkawinan dan lain-lain, maupun hubungan hukum publik, seperti
hubungan dengan masyarakat dan negara. Campur tangan intervensi negara terhadap lembaga perkawinan dapat dipahami, karena dampak hubungan hukum
yang dilahirkannya sangat luas. Negara menginginkan semua hubungan hukum warganya berjalan teratur dan pasti. Disinilah pencatatan perkawinan menjadi
penting bagi negara.
100
Indonesia sebagai sebuah Negara juga memandang hubungan hukum perkawinan tidak hanya sebagai hubungan privat semata, tetapi juga mengandung
99
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Perdana Media, 2004, hal. 8.
100
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991, hal. 16
Universitas Sumatera Utara
unsur hubungan publik. Oleh karena itu, pernikahan perlu diatur oleh negara melalui peraturan perundang-undangan, seperti pada Undang-undang No .1 tahun
1974, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam Inpres No.1 tahun 1991.
101
Secara etimologi bahasa nikah sirri artinya nikah yang dilakukan secara diam-diam rahasia. Sirri berasal dari bahasa Arab yaitu sirrun yang artinya diam
rahasia sebagai lawan kata dari jahr yang mengandung arti terang-terangan, nikah sirri dikenal dalam konteks hukum positif.
102
1. Pengertian yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh, sebagaimana yang ditulis
oleh Syaikh Mahmud Syaltut, ada dua bentuk nikah sirri yaitu: Menurut arti terminologis nikah sirri mempunyai tiga pengertian, yaitu:
a. Akad pernikahan yang dilakukan tanpa saksi, tanpa publikasi dan tanpa
pencatatan. Para ahli fiqh bersepakat melarang nikah sirri semacam ini. b.
Akad pernikahan yang dihadiri oleh para saksi, tetapi mereka diharuskan untuk merahasiakan pernikahan tersebut. Para ahli fiqh berbeda pendapat
mengenai sahnya nikah sirri seperti ini, sebagian ulama seperti Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa pesan agar saksi merahasiakan
terjadinya pernikahan tidak berpengaruh terhadap sahnya akad nikah sebab adanya saksi telah menjadikan nikah tersebut tidak sirri lagi. Sebagian
ulama yang lain seperti Imam Malik dan ulama yang sependapat dengannya, berpendapat bahwa adanya pesan untuk merahasiakan
pernikahan telah mencabut kesaksian dari ruh dan tujuan disyariatkannya,
101
Ibid.
102
IKAHI, Majalah Hukum Varia Peradilan No. 297 Agustus 2010, Jakarta: IKAHI, 2010, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
yaitu publikasi i’lan oleh karena itu maka pernikahan tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanabilah hukum nikah sirri semacam ini adalah
makruh.
103
2. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan mahasiswa pada tahun
1980-an yaitu suatu akad pernikahan yang dilangsungkan antara seorang laki- laki dan perempuan dengan wali yang bukan wali nasab, melainkan cukup
wali sesama mukmin, guru, kyai atau yang lain, dan disaksikan oleh para saksi yang diminta untuk merahasiakan pernikahan itu kecuali pada pihak-pihak
tertentu. Dalam pernikahan ini kedua mempelai ditekankan untuk sebisa mungkin tidak melakukan hubungan suami istri, melainkan cukup dengan
bentuk-bentuk kemesraan selain hubungan suami istri. Apabila kedua mempelai telah merasa memiliki kemampuan yang cukup maka dipersilahkan
untuk melangsungkan pernikahan seperti yang diatur dalam Hukum Islam.
104
3. Pengertian nikah sirri yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia
pada umumnya, yaitu pernikahan yang dilaksanakan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang terdapat dalam syariat Islam, tetapi tanpa melalui
Pegawai Pencatat Nikah sehingga pernikahan tersebut tidak dicatat dalam Akta Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
105
103
Muhammad Sahnun bin Said al-Tanukhi, Khoiruddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer Di Indonesia
dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002, hal. 143.
104
A. Malik Madani, Makalah : “Nikah Sirri dalam Perspektif Hukum Islam”,
Yogyakarta, 2001, hal. 3.
105
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hal.109.
Universitas Sumatera Utara
Nikah sirri, atau yang bagi masyarakat awam disebut pula nikah bawah tangan, memiliki dua pengertian. Pertama, nikah sirri secara fiqh, yaitu nikah
yang dirahasiakan dan hanya diketahui pihak yang terkait. Pihak terkait ini merahasiakan pernikahan itu, dan tidak seorang pun dari mereka diperbolehkan
menceritakan akad tersebut kepada orang lain. Kedua, nikah sirri dalam persepsi masyarakat, yakni pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi ke KUA.
Masyarakat menganggap, pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap dikatakan sirri selama belum didaftarkan secara resmi ke
KUA. Hukum Indonesia tidak mengenal istilah “nikah sirri”, dan tidak mengatur secara khusus. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan
yang tidak dicatatkan dan dianggap ada dengan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang, khususnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat
2, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
106
Istilah kawin sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat Islam, sebab kitab Al-Muwatha’ mencatat bahwa istilah kawin sirri berasal dari
ucapan Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, maka dia berkata yang artinya “Ini nikah sirri dan aku tidak memperbolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku rajam”. Pengertian
kawin sirri dalam persepsi Umar tersebut didasarkan oleh adanya kasus perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang
106
Dampak Nikah Sirri: Al-Arham Edisi 18 B, http:rahima.or.idindex.php?option=com _contentview = articleid=474:dampak-nikah-sirri--
al-arham-edisi-18-bcatid=19:al-arham Itemid=328, 10 Agustus 2011, pukul. 17.33 WIB.
Universitas Sumatera Utara
perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum lengkap meskipun sudah ada yang datang. Maka perkawinan semacam ini
menurut Umar dipandang sebagai nikah sirri. Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak
boleh dan jika itu terjadi harus difasakh batal. Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi para saksi dipesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan
yang mereka saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu pernikahan sirri dan harus difasakh, karena yang menjadi syarat
mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman. Keberadaan saksi hanya pelengkap. Maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah
perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ibnu Mundzir berpendapat bahwa nikah semacam itu adalah sah. Abu Hanifah dan
Syafi’i menilai nikah semacam itu bukanlah nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumuman. Karena itu kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi
ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada waktu melakukan aqad nikah sudah cukup mewakili pengumuman, bahkan meskipun minta dirahasiakan, sebab
menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu berkaitan dengan fungsi saksi.
Ulama sepakat bahwa fungsi saksi adalah pengumuman kepada masyarakat tentang adanya perkawinan.
107
107
Analisa tentang kawin kontrak di Indonesia Acara SIGI, http:yoancicilia.blogspot. com200803analisa-tentang-kawin-kontrak-di.html, 10 Agustus 2011, pukul 21.45 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Istilah kawin sirri atau nikah di bawah tangan di Indonesia sendiri mulai dikenal setelah lahirnya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
mengharuskan pencatatan terhadap setiap peristiwa perkawinan, masyarakat lebih memerhatikan keabsahan perkawinan dari sudut pandang agama, tanpa melihat
manfaat perkawinan bila perkawinan dicatatkan.
108
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya telah diatur tata cara melakukan perkawinan, maka harus
dipenuhi persyaratan administrasinya, baru dilangsungkan akad nikah, yang kemudian baru dikeluarkan bukti adanya pernikahan.
109
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 menegaskan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Hal
senada diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 5 ayat 1 : “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus
dicatat.” Lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pada ayat 1 : “Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
110
Dengan adanya keharusan mencatat perkawinan oleh Undang-undang, maka lahirlah istilah nikah sirri untuk menyebut pernikahan yang dilakukan tanpa
pencatatan. Atau nikah dibawah tangan bagi pernikahan yang meskipun dicatat,
108
IKAHI, Op.Cit., hal. 49
109
Satria Effendi, MA, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 41
110
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tapi tidak oleh petugas yang ditunjuk undang-undang. Selain pandangan yang membedakan antara nikah sirri dengan nikah dibawah tangan, ada pula pandangan
yang menyamakan keduanya. Nikah sirri disebut juga dengan kawin syar’i, kawin modin dan kawin kyai. Pada dasarnya perkawinan sirri adalah suatu perkawinan
yang dilakukan menurut hukum agama saja tanpa tunduk pada peraturanundang- undang yang berlaku. Berdasarkan pada harapan masyarakat kita, dalam rangka
terciptanya kepastian hukum perkawinan, maka dalam tubuh Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah diletakkan beberapa asas atau dasar tentang hukum
perkawinan nasional. Salah satunya adalah pasal 2 ayat 1 yang menerangkan bahwa: “Perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayannya itu”.
111
Berdasarkan pasal ini, secara eksplisit menentukan berlakunya hukum Islam di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Selanjutnya pasal
2 ayat 2 menetukan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari pasal 2 ayat 2 dapat dimengerti agar
setiap perkawinan hendaknya dicatatkan pada kantor pencatat nikah yang ditunjuk oleh pemerintah.
112
Memang secara nyata pengertian perkawinan sirri tidak terlihat dalam pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat dalam pasal 2
terutama ayat 1 maka nyatalah bahwa perkawinan sirri itu tercakup didalamnya. Namun perkawinan sirri memenuhi unsur-unsur larangan yang tersirat dalam
pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tetang Perkawinan yang tidak
111
Ibid. hal. 95.
112
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
mengakui bahkan tidak memperbolehkan adanya perkawinan sirri atau perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor yang berwenang untuk itu. Karena
perkawinan sirri itu merupakan perkawinan yang tidak terdaftar maka menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan khususnya pasal 2 ayat 2,
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 2 dan pasal 10 ayat 3, perkawinan sirri itu tidak dibenarkan. Berdasarkan uraian teresebut di atas dapat disimpulkan
bahwa perkawinan sirri adalah perkawinan yang terjadi sehubungan dengan terpenuhinya unsur-unsur perkawinan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang khususnya hanya terjadi pada masyarakat yang menganut Agama Islam.
113
Membahas masalah perkawinan, tidak bisa terlepas dari hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Perkawinan ini merupakan perwujudan dari
tata cara hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk membentuk suatu keluarga rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu masalah perkawinan tidak berhubungan dengan masalah pribadi semata, akan tetapi juga
berhubungan dengan masalah keagamaan.
114
Sebagai masalah keagamaan sudah pasti hukum agama memiliki peran yang sangat penting. Hukum ini berisi ketentuan atau ajaran yang mengatur
tentang kehidupan manusia. Sehingga sebagai pemeluk agama harus tunduk dan patuh terhadap ketentuan yang berada dalam ajaran agama yang mereka anut.
113
Ibid.
114
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Perdana Media, 2004, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dengan masalah perkawinan, hal ini tidak boleh terlepas dari ketentuan-ketentuan yang diatur oleh agama yang mereka anut. Dalam
kenyataannya di negara kita, pengaruh agama yang paling dominan terhadap peraturan-peraturan hukum masyarakat kita adalah di dalam hukum
perkawinan.
115
Perkawinan yang bahasa arabnya disebut nikah adalah aqad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan
menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara keduanya. Perkawinan dalam arti luas adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat
Islam. Sedangkan sirri berasal dari kata sirriyyun yang berarti secara rahasia atau secara sembunyi-sembunyi. Jadi, perkawinan sirri adalah perkawinan yang
dilaksanakan secara rahasia atau sembunyi-sembunyi, itu dimaksudkan bahwa perkawinan itu dilakukan semata-mata untuk menghindari berlakunya hukum
negara yaitu Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
116
Dalam praktiknya perkawinan sirri ini adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun
maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
117
115
Ibid.
116
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal.243
117
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan secara rahasia, terselubung, atau sembunyi-sembunyi.
Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sementara itu jika dilihat dari perespektif hukum
pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu penyimpangan.
118
Banyak hal yang bisa dijadikan faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan sirri dalam masyarakat Indonesia, diantaranya adalah :
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan sirri adalah aqad nikah antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan yang pelaksanaannya hanya didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam agama Islam saja tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengharuskan setiap perkawinan itu harus dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang berwenang
untuk mendapatkan perlindungan hukum.
B. Faktor-faktor Terjadinya Perkawinan Sirri