Larangan Perkawinan Tinjauan Yuridis Mengenai Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus di Kecamatan Medan Deli, Kotamadya Medan, Sumatera Utara)

• Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan istri masing- masing diberikan kutipan akta perkawinan pasal 10-13. 85

F. Larangan Perkawinan

Di dalam Hukum Islam mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fikih disebut dengan mahram orang yang haram dinikahi. 86 Wanita yang haram dinikahi terbagi dalam tiga kelompok yaitu, wanita- wanita seketurunan, wanita-wanita sepersusuan dan wanita-wanita yang haram dikawini karena hubungan persemendaan. 87 “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah SWT, dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak- anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari Dalam hal larangan perkawinan ini Al Qur’an memberikan aturan tegas dan terperinci. Dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23 Allah SWT dengan dengan tegas menyatakan yang artinya : 85 Ibid. 86 Abdul Aziz Dahlan, ed, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 1049. 87 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 146 Universitas Sumatera Utara saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu mertua, anak-anak istrimu di dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya dan kamu ceraikan, maka tidak berdosa kamu mengawininya. Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu menantu dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Berpijak dari ayat ini maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut: 88 1. Karena pertalian nasab hubungan darah a. Ibu, nenek dari garis keturunan ibu atau bapak dan seterusnya ke atas. b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah. c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu. d. Saudara perempuan ibu bibi atau tante e. Saudara perempuan bapak bibi atau tante f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah. h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu. i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung j. Anak perempuan saudara perempuan seayah. k. Anak perempuan saudara perempuan seibu. 88 Ibid, hal. 147. Universitas Sumatera Utara 2. Karena hubungan semenda a. Ibu dari istri mertua b. Anak bawaan istri yang telah dicampuri anak tiri. c. Istri bapak ibu tiri d. Istri anak menantu e. Saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan perkawinan. 3. Karena pertalian sepersusuan a. Wanita yang menyusui seterusnya ke atas. b. Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah. c. Wanita saudara sepersusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah d. Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan ke atas e. Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunan Sedangkan di dalam UU No. 1 tahun 1974, larangan perkawinan ini telah diatur dengan jelas seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan : 89 a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas. Perkawinan dilarang antara dua orang yang : b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyampng yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibubapak tiri. d. Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibipaman susuan. e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. 89 Ibid, hal. 148. Universitas Sumatera Utara f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Selanjutnya di dalam pasal 9 Undang-undang Perkawinan dinyatakan “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang- undang ini.” 90 Pasal di atas menjelaskan larangan bagi seorang pria dan juga wanita untuk melakukan poligami, kecuali ada ketentuan lain yang membolehkan seorang pria untuk menikah lagi. Artinya Undang-undang Perkawinan maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan kawin. 91 Di dalam pasal 39 dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan : Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal yang termasuk larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mengikut sistematika fikih yang telah baku. Masalah larangan kawin ini dimuat pada Bab VI pasal 39 sampai pasal 44. 92 1. Karena pertalian nasab : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau keturunannya. b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu. c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. 90 Ibid. 91 Ibid. 92 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Karena pertalian kerabat semenda : a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. c. Dengan seorang wanita seketurunan istri atau bekas istrinya. d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. 3. Karena pertalian sesusuan : a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wnaita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Sedangkan larangan yang bersifat mu’aqqat atau sementara yang termuat pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu : 93 a Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain. c Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 93 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan. 1 Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2 Larangan pada ayat 1 itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’i tetapi masih dalam masa ‘iddah. 94 Selanjutnya dalam pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa: 1 Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. 2 Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah. 95 Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalak raj’i masih dalam masa ‘iddah. Di dalam pasal 42 dinyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai empat istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih ‘iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i. 96 94 Ibid. 95 Ibid. 96 Ibid. Universitas Sumatera Utara Jadi jelaslah bahwa batas maksimal bagi seorang suami yang ingin menikah lebih dari seorang istri dalam Hukum Islam dibatasi sampai empat orang istri dalam waktu yang bersamaan. Jika ia ingin menikah yang kelima kalinya maka harus terlebih dahulu menceraikan salah seorang istrinya. Namun harus diingat, kebolehan untuk menikah lebih dari seorang istri itu harus melalui prosedur tertentu dan syarat-syarat yang cenderung sangat ketat. 97 Selanjutnya di dalam pasal 44 KHI ada dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. 98 97 Ibid. 98 Ibid. Universitas Sumatera Utara BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SIRRI

A. Pengertian Perkawinan Sirri

Dokumen yang terkait

Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Setelah Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

9 108 156

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 35 116

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Penelitian di Desa Wanayasa Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah)

0 5 80

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Tinjauan Yuridis Mengenai Perkawinan Antara Bibi dan Keponakan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam.

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA TIDAK ADANYA IZIN POLIGAMI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 1

Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Penelitian di Desa Wanayasa Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah).

0 0 3

Perkawinan Siri dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Segi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (Studi kasus di Desa Bontoloe Kec. Bissappu kab. Bantaeng) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 80