• Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari kesepuluh yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat
dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan
satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan istri masing- masing diberikan kutipan akta perkawinan pasal 10-13.
85
F. Larangan Perkawinan
Di dalam Hukum Islam mengenal adanya larangan perkawinan yang dalam fikih disebut dengan mahram orang yang haram dinikahi.
86
Wanita yang haram dinikahi terbagi dalam tiga kelompok yaitu, wanita- wanita seketurunan, wanita-wanita sepersusuan dan wanita-wanita yang haram
dikawini karena hubungan persemendaan.
87
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah SWT, dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.
Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak- anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
Dalam hal larangan perkawinan ini Al Qur’an memberikan aturan tegas dan terperinci. Dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23 Allah SWT dengan dengan tegas
menyatakan yang artinya :
85
Ibid.
86
Abdul Aziz Dahlan, ed, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 1049.
87
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Op. Cit, hal. 146
Universitas Sumatera Utara
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang
menyusukanmu, saudara perempuan yang sepersusuan, ibu-ibu istrimu mertua, anak-anak istrimu di dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya dan kamu ceraikan, maka
tidak berdosa kamu mengawininya. Dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu menantu dan
menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berpijak dari ayat ini maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis sebagai berikut:
88
1. Karena pertalian nasab hubungan darah
a. Ibu, nenek dari garis keturunan ibu atau bapak dan seterusnya ke atas.
b. Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.
c. Saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.
d. Saudara perempuan ibu bibi atau tante
e. Saudara perempuan bapak bibi atau tante
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
g. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
h. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
i. Anak perempuan saudara perempuan sekandung
j. Anak perempuan saudara perempuan seayah.
k. Anak perempuan saudara perempuan seibu.
88
Ibid, hal. 147.
Universitas Sumatera Utara
2. Karena hubungan semenda
a. Ibu dari istri mertua
b. Anak bawaan istri yang telah dicampuri anak tiri.
c. Istri bapak ibu tiri
d. Istri anak menantu
e. Saudara perempuan istri adik atau kakak ipar selama dalam ikatan
perkawinan. 3.
Karena pertalian sepersusuan a.
Wanita yang menyusui seterusnya ke atas. b.
Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah. c.
Wanita saudara sepersusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah d.
Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan ke atas e.
Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunan Sedangkan di dalam UU No. 1 tahun 1974, larangan perkawinan ini telah
diatur dengan jelas seperti yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan :
89
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah ataupun ke atas. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan
menyampng yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu ibubapak tiri. d.
Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibipaman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi
atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
89
Ibid, hal. 148.
Universitas Sumatera Utara
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Selanjutnya di dalam pasal 9 Undang-undang Perkawinan dinyatakan “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang- undang ini.”
90
Pasal di atas menjelaskan larangan bagi seorang pria dan juga wanita untuk melakukan poligami, kecuali ada ketentuan lain yang membolehkan
seorang pria untuk menikah lagi. Artinya Undang-undang Perkawinan maju selangkah dengan poligami sebagai salah satu larangan kawin.
91
Di dalam pasal 39 dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :
Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang hanya memuat secara singkat hal-hal yang termasuk larangan kawin, Kompilasi Hukum Islam
menjelaskannya lebih rinci dan tegas. Bahkan Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mengikut sistematika fikih yang telah baku. Masalah larangan kawin ini
dimuat pada Bab VI pasal 39 sampai pasal 44.
92
1. Karena pertalian nasab :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
90
Ibid.
91
Ibid.
92
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Karena pertalian kerabat semenda :
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita seketurunan istri atau bekas istrinya.
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan :
a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke
atas. b.
Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c. Dengan seorang wnaita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke
bawah. d.
Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e.
Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Sedangkan larangan yang bersifat mu’aqqat atau sementara yang termuat
pada pasal 40 KHI dinyatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu :
93
a Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria
lain. b
Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan pria lain. c
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan perempuan yang telah dikawini, atau karena sepersusuan.
1 Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang
mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istrinya; a.
Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. b.
Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 2
Larangan pada ayat 1 itu tetap berlaku meskipun istrinya telah ditalak raj’i tetapi masih dalam masa ‘iddah.
94
Selanjutnya dalam pasal 54 KHI juga dijelaskan bahwa: 1
Selama seseorang masih dalam keadaan ihram tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak
boleh bertindak sebagai wali nikah. 2
Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, perkawinannya tidak sah.
95
Larangan kawin juga berlaku bagi seorang laki-laki yang telah beristri empat orang dan masih terikat dalam perkawinan atau ditalak raj’i masih dalam
masa ‘iddah. Di dalam pasal 42 dinyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang
mempunyai empat istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih ‘iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali
perkawinan sedang yang lainnya masih dalam ‘iddah talak raj’i.
96
94
Ibid.
95
Ibid.
96
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Jadi jelaslah bahwa batas maksimal bagi seorang suami yang ingin menikah lebih dari seorang istri dalam Hukum Islam dibatasi sampai empat orang
istri dalam waktu yang bersamaan. Jika ia ingin menikah yang kelima kalinya maka harus terlebih dahulu menceraikan salah seorang istrinya. Namun harus
diingat, kebolehan untuk menikah lebih dari seorang istri itu harus melalui prosedur tertentu dan syarat-syarat yang cenderung sangat ketat.
97
Selanjutnya di dalam pasal 44 KHI ada dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
98
97
Ibid.
98
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN SIRRI
A. Pengertian Perkawinan Sirri