Berkonflik dengan Hukum dalam Peradilan Pidana Anak Studi di Lembaga Bantuan Hukum Medan
. B.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini sesuai dengan latar belakang diatas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia?
2. Bagaimana Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan
Hukum ? 3.
Bagaimana Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik Dengan Hukum
Dalam Peradilan Pidana Anak oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk :
a. Mengetahui Pengaturan Bantuan Hukum di Indonesia.
b. Mengetahui Pengaturan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik dengan
Hukum. c.
Mengetahui Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma Kepada Anak Golongan Masyarakat Kurang Mampu Yang Berkonflik dengan
Hukum dalam Peradilan Pidana Anak Oleh Lembaga Bantuan Hukum Medan.
2. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah :
a. Secara Teoritis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kepentingan Ilmu
Pengetahuan Hukum Acara Pidana dalam penegakan hukum secara luas dan memberikan pemahaman tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara
cuma-cuma oleh Lembaga Bantuan Hukum Kepada Anak Golongan Masyarakat kurang mampu yang berkonflik dengan hukum dalam Proses
Peradilan Pidana Anak. b.
Secara Praktis : Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum dalam memperhatikan hak-hak tersangkaterdakwa anak dalam
proses peradilan pidana anak dan juga masalah bantuan hukum kepada tersangka yang tidak mampu dan buta hukum.
D. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Bantuan Hukum Cuma-cuma
Konsep bantuan hukum dipergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah asing yang berbeda, yaitu legal aid dan legal assistence. Istilah legal aid
dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti sempit yang berupa pemberian jasa-jasa di bidang hukum kepada seseorang yang terlibat
dalam suatu perkara secara cuma-cuma bagi mereka yang tidak mampu. Dengan demikian yang menjadi motivasi utama dalam konsep legal aid adalah
menegakkan hukum dengan jalan membela kepentingan dan hak asasi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta hukum.
8
Sedangkan pengertian legal assistence mengandung pengertian yang lebih luas dari legal aid, istilah legal assistence dipergunakan untuk menunjuk
pengertian bantuan hukum yang diberikan baik kepada mereka yang tidak mampu yang diberikan secara cuma-cuma maupun pemberi bantuan hukum oleh para
Penasehat Hukum yang mempergunakan honorarium.
9
Disamping kedua istilah tersebut diatas yang diterjemahkan dengan bantuan hukum, dikenal juga istilah
legal services yang dalam bahasa Indonesia lebih tepat bila diterjemahkan dengan istilah pelayanan hukum. Konsep legal services mencakup pengertian yang lebih
luas lagi dibanding dua konsep bantuan hukum sebelumnya. Pada konsep legal services tercakup kegiatan :
10
a. Memberi bantuan hukum kepada anggota masyarakat yang
operasionalnya bertujuan
menghapuskan kenyataan-kenyataan
diskriminatif dalam penegakan dan pemberian jasa bantuan antara rakyat miskin yang berpenghasilan kecil dengan masyarakat kaya
yang menguasai sumber dana dan posisi kekuasaan;
b. Dan dengan pelayanan hukum yang diberikan kepada anggota
masyarakat yang memerlukan, dapat diwujudkan kebenaran hukum itu sendiri oleh aparat penegak hukum dengan jalan menghormati
setiap hak yang diberikan hukum bagi setiap anggota masyarakat tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin;
c. Disamping untuk menegakkan hukum dan penghormatan kepada hak
yang diberikan hukum kepada setiap orang. Legal services dalam operasionalnya lebih cenderung untuk menyelesaikan setiap
persengketaan dengan jalan menempuh cara perdamaian;
8
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2000 hal. 333
9
Ibid
10
Ibid
Ada juga hubungan antara cara-cara pemerintah atau campur tangan negara dengan realisasi tujuan bantuan hukum, yakni perlindungan hukum yang
merata. Menurut Cappeleti Gordley dalam artikelnya yang berjudul “Legal aid :
modern themes and variations ”, seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto :
11
“... Didalam sistem hukum Romawi Kuno, maka bantuan hukum merupakan bagian dari patronase politik. Di dalam periode abad
menengah, maka bantuan hukum menjadi bagian dari bidang moral. Pekerjaan tersebut dilakukan sebagai suatu derma. Setelah revolusi
Perancis, maka bantuan hukum menjadi bagian dari proses hukum, artinya pada waktu itu kepada warga masyarakat diberikan hak yang
sama untuk berurusan dengan Hakim”. Dari hubungan antara bantuan hukum dengan campur tangan negara atau
pemerintah tersebut, Cappelletti dan Gordley membagi bantuan hukum dalam dua model, yakni yuridis-individual dan model kesejahteraan. Pola yuridis-individual
masih mewarisi ciri- ciri pola klasik dari bantuan hukum yaitu : “Permintaan akan
bantuan hukum atau perlindungan hukum tergantung pada warga masyarakat yang memerlukannya. Warga masyarakat yang memerlukan bantuan hukum menemui
Pengacara, dan Pengacara akan memperoleh imbalan atas jasa-jasa yang diberikannya dari negara.
12
Pada bantuan hukum model kesejahteraan, campur tangan negara dituntut untuk lebih intensif. Bantuan hukum dipandang sebagai bagian dari usaha negara
untuk mewujudkan kesejahteraan, bagian dari program pengembangan sosial atau perbaikan sosial, yaitu
: “Kewajiban-kewajiban negara atau pemerintah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar warga masyarakat, menimbulkan hak-hak
11
Soerjono Soekanto, Bantuan Hukum: Suatu Tinjauan Sosio Yuridis Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 hal.11
12
Ibid, hal.12
tertentu, dimana bantuan hukum merupakan salah satu cara untuk memenuhi hak- hak tersebut”.
13
Lain halnya dengan Schuyt, Groenendijk dan Sloot, menurut mereka bantuan hukum biasanya dibedakan ke dalam lima jenis, yaitu :
14
a Bantuan hukum preventif yang merupakan penerangan hukum dan
penyuluhan hukum kepada warga masyarakat luas; b
Bantuan hukum diagnostik yaitu pemberian nasehat hukum yang lazim disebut dengan konsultasi hukum;
c Bantuan hukum pengendalian konflik yang merupakan bantuan
hukum konkrit secara aktif. Jenis bantuan hukum seperti ini yang lazim dinamakan bantuan hukum bagi warga masyarakat yang
kurang mampu atau tidak mampu secara sosial ekonomis;
d Bantuan hukum pembentukan hukum yang intinya adalah untuk
memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar; e
Bantuan hukum pembaharuan hukum yang mecakup usaha-usaha untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui hakim atau
pembentuk undang-undang dalam arti materil.
Untuk memperoleh pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan bantuan hukum di Indonesia, berikut akan dikutip beberapa pendapat ataupun
rumusan tentang bantuan hukum : Yang pertama, Santoso Poesjosoebroto berpendapat bahwa bantuan
hukum atau legal aid diartikan sebagai berikut :
15
“...Bantuan hukum baik yang berbentuk pemberian nasehat hukum maupun yang berupa menjadi kuasa dari seseorang yang berperkara yang
diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya honorarium kepada seorang Pembela atau
Pengacara”
13
Ibid
14
Ibid, hal 27
15
Ibid, Hal.21
Dari rumusan diatas mengenai bantuan hukum diperoleh gambaran umum mengenai bantuan hukum namun secara relative masih terbatas ruang
lingkupnya. Rumusan yang lebih sempit lagi pernah dikemukakan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia, yang berpendapat :
16
“Yang dimaksud dengan bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang terdakwa dari seorang Penasehat Hukum, sewaktu
perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses
pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan”
Todung Mulya Lubis dalam tulisannya berjudul “Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia Sebu
ah Studi Awal” merumuskan bantuan hukum yang lebih luas yaitu :
17
“Bantuan Hukum merupakan salah satu upaya mengisi hak asasi manusia HAM terutama bagi lapisan termiskin rakyat kita, yang tujuan bantuan
hukum tersebut tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi
juga struktural”
Dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 tidak merumuskan secara jelaseksplisit tentang pengertian bantuan hukum, tetapi dari pasal 54 undang-
undang tersebut dapat disimpulkan bahwa bantuan hukum merupakan hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi seorang Penasehat Hukum atau lebih,
untuk kepentingan pembelaan perkara pidana bagi tersangka atau terdakwa, selama dalam waktu pemeriksaan dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
16
Ibid
17
T. Mulya Lubis, Gerakan Bantuan Hukum di Indonesia Sebuah Studi Awal Dalam Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum: Kearah Bantuan Hukum Struktural, Bandung:
Alumni, 1981, Hal.12
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum secara cuma-cuma pada
pasal 1 angka 3 merumuskan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai berikut : “Bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat
tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan
hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu”.
Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat pada pasal 1 butir 9 merumuskan bantuan hukum sebagai berikut : “Bantuan Hukum adalah jasa
hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu”.
Dalam undang-undang No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dijelaskan bahwa : “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh
Pemberi Bantuan Hukum lembaga bantuan
hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan undang-
undang Secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum orang atau kelompok orang miskin.
2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Sebelum lahirnya Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan
dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah diundangkannya Undang-undang
Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum , dan saat ini Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.
18
Berdasarkan pasal 1 butir 2 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
1. Anak yang melakukan tindak pidana, atau
2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Berdasarkan pengertian diatas, maka M. Nasir Djamil dalam bukunya
mengungkapkan Undang-undang No.3 tahun 1997 tersebut telah mencampur- adukkan dua pengertian yang sama sekali berbeda pendekatannya, yakni :
19
1. “Anak nakal” didefinisikan sebagai anak yang melakukan tindak
pidana crimes actor; dader. Perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana adalah perbuatan yang sesuai
dengan asas legalitas, yakni perbuatan yang dilarang undang-undang. Dalam hukum pidana, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali
berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang sudah ada. Pakar hukum pidana Hamel 1972 dan Noyon
Langemeyer, menyatakan bahwa straft baar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidanakan dengan kesalahan;
2. “Anak nakal” didefinisikan sebagai pelaku kenakalan delinquency,
yakni melakukan perbuatan selain tindak pidana straft baar feit;
18
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum.,cet.II, Jakarta Timur : Sinar Grafika, 2013 Hal.32
19
Ibid., Hal.36
crimes. Maksudnya, melakukan perbuatan selain tindak pidana, yang karenanya tidak terikat dengan asal legalitas;
3. Pengertian “anak nakal” ini memberikan pembedaan antara tindak
pidana straft baar feit; crimes dengan kenakalan anak juvenile delinquency. Disisi lain, pengertian anak nakal ini sebenarnya adalah
kriminalisasi atas kenakalan anak sebagaimana pasal 1 butir 2 huruf b Undang-undang No.3 tahun 1997. Karena ada ketidakjelasan
pemaknaan “peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan
”, karena bisa menimbulkan interprestasi.
Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum dibagi
menjadi 3 tiga golongan, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang menjadi korban tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Yang
dimaksud dengan Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun namun belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
20
Sedangkan yang dimaksud dengan anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan
fisik, mental danatau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
21
Kemudian yang dimaksud dengan anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat danatau dialaminya.
22
20
Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 1 angka 3
21
Ibid., Pasal 1 angka 4
22
Ibid., Pasal 1 angka 5
Ada 2 dua kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu :
23
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila
dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Kenakalan anak sering disebut dengan “Juvenile Delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa
delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku disuatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.
24
Menurut Anthony M.Platt definisi delinquency adalah perbuatan anak yang meliputi: pertama, perbuatan tindak pidana bila dilakukan oleh orang
dewasa; Kedua, perbuatan yang melanggar aturan negara atau masyarakat; Ketiga, perilaku tidak bermoral yang ganas, pembolosan, perkataan kasar dan tidak
senonoh, tumbuh di jalan dan pergaulan dengan orang yang tidak baik yang memungkinkan pengaruh buruk bagi anak di masa depan.
25
23
M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal.33
24
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Bandung: Armico, 1984 hal.34 dalam buku Maidin Gultom, Op.Cit., Hal.55
25
Anthony M Platt, The Child Savers: The Invention of Delinquency. Chicago: The University of Chicago Press. Second Edition. Enlarged Hal. 138 dalam buku Marlina, Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorativer Justice, Bandung : Refki Aditama, 2009, Hal.38
Adanya perbedaan pandangan penggunaan istilah delinquency, disebabkan pendekatan yang digunakan, latar belakang akademik, kekhususan
ilmu yang digunakan dalam mengartikan delinquency. Perbedaan tersebut dapat dikategorikan dalam tiga pengertian, yaitu :
26
1. The legal Definition definisi secara hukum, yaitu definisi yang
menitikberatkan pada perbuatannya atau perbuatan melanggar yang dilakukan seseorang anak yang diklasifikasikan sebagai delinquency.
Perbuatan yang digolongkan sebagai delinquency tentunya diatur dalam hukum yang tertulis, sehingga secara legal definition,
delinquency adalah sejumlah tindakan yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dinyatakan tindakan kriminal. Tindak kriminal yang
dilarang diatur dalam perundang-undangan;
2. The role definition definisi pemerannya, yaitu definisi yang
menitikberatkan pada pelaku tindakan yang diklasifikasikan sebagai anak atau delinquency. Fokus utama dalam menentukan pengertian
delinquency yaitu umur seseorang dibandingkan jenis pelanggaran yang dilakukannya, sehingga pengertian delinquency mengacu pada
siapa yang dianggap delinquent. Delinquent yaitu seseorang yang mendukung sebuah bentuk pelanggaran dalam sebuah periode waktu
tertentu dan berada dalam lingkungan pola perilaku menyimpang. Pelaku sendiri telah mempunyai komitmen lebih dahulu terhadap
perbuatan melanggar dengan mengikuti perilaku melanggarnya;
3. The societal responce defenition definisi atas dasar tanggapan
masyarakat, yaitu menitikberatkan pada penilaian masyarakat sebagai anggota kelompok masyarakat yang bereaksi terhadap pelaku
tindak dan pada akhirnya menentukan apakah pelaku dan perbuatannya tersebut merupakan delinquency atau tidak. Aturan
yang dibuat masyarakat di lingkungan pelaku bertujuan untuk melakukan perlindungan dan tanggung jawab pelaku yang melanggar
atau delinquency.
Ketiga definisi diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam pembahasannya delinquency selalu melibatkan pemahaman ketiga definisi
tersebut.
26
Ibid.,
Paul Tappan mengemukakan “Juvenile Delinquent is a person who has been adjudicated as such by a court of proper jurisdiction thought he may be no
different, up who are not delinquent ”. anak yang delinkuen adalah seseorang
yang telah diputus dengan jurisdiksi pengadilan yang tepat meskipun mungkin putusan pengadilan dan putusan hakim berbeda, meskipun bukan dari kelompok
anak yang tidak delinkuen artinya bahwa juvenile adalah perilaku seorang anak yang melanggar norma-norma yang telah ditentukan oleh lingkungan sekitarnya
dan perilaku tersebut dapat dijerat oleh kewenangan dari pengadilan anak.
27
Menurut Kartini Kartono, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahatdursila, atau kejahatankenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
patologi secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bantuk
pengabaian tingkah laku yang menyimpang.
28
Perbedaan defenisi delinkuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan
delinkuen. Berdasarkan defenisi delinkuensi diatas disimpulkan, delinkuensi adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau norma-
norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku didalam kelompok masyarakat atau negara dimana anak tersebut bertempat tinggal yang bersifat anti sosial dan
atau melawan hukum.
29
27
Ibid, Hal.39
28
M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal. 35
29
Marlina, Op.Cit., Hal. 41
3. Pengertian Golongan Masyarakat Kurang Mampu
Sebagai negara yang sedang berkembang, keadaan perekonomian Indonesia belumlah menggembirakan. Meskipun pembangunan ekonomi sudah
berjalan puluhan tahun, kemiskinan masih tetap merupakan gambaran umum. Ukuran menetukan Golongan masyarakat kurang mampu atau biasa dikatakan
sebagai masyarakat miskin merupakan masalah yang sulit untuk dipecahkan. Akan tetapi, dewasa ini pada tanggal 17 Desember 2013, kementerian sosial
mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial No.146HUK2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak mampu.
Dalam Keputusan Menteri Sosial No.146HUK2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu pada bagian kedua
menetapkan bahwa fakir miskin dan orang tidak mampu memiliki kriteria sebagai berikut :
a. Tidak mempunyai sumber mata pencaharian danatau mempunyai
sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar;
b. Mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi
konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana; c.
Tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah;
d. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk
setiap anggota rumah tangga;
e. Mempunyai kemampuan hanya menyekolahkan anaknya sampai
jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; f.
Mempunyai dinding rumah terbuat dari bambukayutembok dengan kondisi tidak baikkualitas rendah, termasuk tembok yang sudah
usangberlumut atau tembok tidak diplester; g.
Kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayusemenkeramik dengan kondisi tidak baikkualitas rendah;
h. Atap terbuat dari ijukrumbla atau gentengseng asbes dengan kondisi
tidak baik kualitas rendah; i.
Mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran;
j. Luas lantai rumah kecil kurang dari 8m
2
orang; dan k.
Mempunyai sumber air minum bersala dari sumur atau mata air tak terlindungiair sungaiair hujan dan lainnya.
Dalam Undang-undang Bantuan Hukum No.16 Tahun 2011 tidak diuraikan secara eksplisit tentang golongan masyarakat kurang mampu. Akan
tetapi dapat kita lihat dalam persyaratan yang ditentukan bagi golongan penerima Bantuan Hukum secara Cuma-cuma. Pada pasal 14 Undang-undang Bantuan
Hukum tentang syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum pada ayat 1 poin c dijelaskan bahwa penerima bantuan hukum harus melampirkan surat
keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa
golongan masyarakat tidak mampu adalah mereka yang memiliki surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat.
4. Pengertian peradilan pidana dan peradilan pidana anak
Peradilan pidana di Indonesia merupakan satu sistem, artinya peradilan di Indonesia harus dilihat, diterima dan diterapkan sebagai satu kesatuan yang
terdiri dari bagian-bagian yang tidak boleh bertentangan satu sama lain.
30
Sistem merupakan suatu kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian, dimana
antara bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling berkaitan satu sama lain, tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping tumpang-tindih.
Istilah “Criminal Justice System” atau sistem peradilan pidana menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan
mempergunakan pendekatan sistem.
31
Remington dan Ohlin mengemukakan : “Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya”
32
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan jaringan network peradilan yang menggunakan hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam
30
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002 Hal.305
31
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung : Binacipta, 1996 hal. 14
32
Ibid.,
konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan
kepastian hukum
saja akan
membawa bencana
berupa ketidakadilan.
33
Sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem. Pertama, substansi merupakan hasil atau produk sistem termasuk
undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang berlaku menggantikan Het Herziene Inlandsch Reglement Stbl.
1941 No.44, serangkaian ketentuan sistematis untuk memberikan arahan atau petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sehari-
hari. Kedua, struktur yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri dan Lembaga Pemasyarakatan.
Ketiga, kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain, kultur merupakan penggerak atau bensin dari sistem peradilan
pidana.
34
Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem peradilan pidana
merupakan konstruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia didalamnya ada aparatur hukum, pengacara dan terdakwa, serta masyarakat yang
saling berkaitan dalam membangun realitas yang mereka ciptakan. Aparatur hukum membawa pengetahuan yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari
untuk membangun realitas. Melalui proses dialektika, dunia peradilan pidana terus
33
Ibid.,Hal. 16
34
Anthon F.Susanto, Wajah Peradilan Kita: Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Bandung : PT.Refika Aditama, 2004
Hal.76
menerus mengalami apa yang dinamakan oleh Berger dengan eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
merupakan representasi dari proses yang melibatkan komunikasi dalam pembentukan realitas. Proses ini menjelaskan realitas peradilan, sementara aturan
normatif merupakan refleksi dari proses interaksi yang demikian itu.
35
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai
dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
36
Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan
sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat
penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.
37
Sistem peradilan pidana anak adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait didalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses
lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses kepengadilan anak.
Ketiga, pengadilan anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-
35
Ibid., hal.77
36
Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat 1
37
M.Nasir Djamil, Op.Cit., Hal.43
pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir institusi penghukuman.
38
E. Metode Penelitian