LAPORAN VERSI AWAL 20/12/2013 P REVALENSI M INUMAN L OKAL DI W AMENA
Faktor yang mendorong prevalensi milo: budaya, perasaan, stress
Selain dari akibat yang mereka mengamati, peserta juga menyampaikan beberapa pikiran dan pengamatan mereka tentang apa yang mendorong masalah milo di Wamena dan sekitarnya. Satu tema adalah bahwa laki-laki asli Wamena kadang mengalami kekurangan percaya diri sebagai akibat dari berbagai factor – mungkin dia tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau menentukan cara hidupnya, mungkin dia sangat bersaing dengan teman-teman dan saudara untuk mencapai hasil. Mengonsumsikan minuman beralkohol boleh menambahkan perasaan percaya diri.
Kami punya budaya itu budaya hormat, jadi kami susah untuk menyampaikan aspirasi, untuk bicara segala sesuatu. Kami harus dengar orang tua saja, tidak bisa protest ….Jadi mungkin dengan mengonsumsi alcohol itu membuat dia lebih bebas untuk menyampaikan aspirasi, lebih berani, lebih percaya diri. Mungkin itu alasan untuk mereka minum minuman keras tapi sebenarnya dari kecil kami tahu bahwa itu tidak boleh. Karena itu membuat pengaruh yang buruk untuk kami baik dalam kesehatan maupun pergaulan. Terus di dalam agama juga di gereja dari kecil kami di sini mayoritas Kristen dan kami sudah tahu dari kecil bahwa minuman keras tidak boleh ….Tapi ada juga karena rasa ingin tahu, kenapa ini menjadi larangan, mungkin setelah pertama kali minum minuman keras dia rasa lebih berani, mungkin laki-laki rasa lebih jendel, lebih jantan. (Tina)
Menyangkut perasaan ‘jantan’ adalah pengaruh dari teman-teman dan arti minuman sebagan lambing sifat laki-laki:
Laki-laki banyak karena pengaruh teman. Ada yang biasa, o, kalau kamu tidak merokok atau minum minuman kami tidak laki-laki, tidak jantan seperti itu. Jadi laki laki mau menunjukkan bahwa dia laki laki. (Tina)
Yulianus menggambarkan kelakuan minum alcohol sebagai ‘imitasi dari luar’ yaitu sesuatu yang masyarakat asli Wamena sudah belajar dari orang lain, baik Papua maupun non- Papua.
Jadi sebenaryna budaya kami tidak ada itu, minuman keras di sini tidak ada, tetapi pengaruh dari luar, masuk ke sini. Sejak itu kami mulai mengenal dengan itu. Dan sampai sekarang mereka bisa bikin sendiri, istilahnya minuman local. Jadi seperti dari nanas. (Tina)
Dia tahu tapi minuman itu tidak baik, sebenarnya, tetapi bisa jadi kebiasaan. Bukan budaya tapi menjadi kebiasaan di kehidupan dia, karena dia punya uang sedikit sedikit atau bisa bergaul dengan teman yang suka minum alcohol, dia pergi. Mereka minum, bikin pesta minuman bukan satu dua orang tapi ada berapa. Juga bukan satu orang yang tanggung tapi beberapa mereka juga sumbang sumbang. Minuman itu bukan budaya sini tapi itu kebiasaan. Kebiasaan tidak baik yang kita lakukan di sini. (Grecia)
Kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik di Wamena saat ini sangat menyebabkan stress untuk orang asli, menurut peserta. Ini mendorong prevalensi tinggi milo dan kekerasan antara kaum laki-laki, dan kekerasan terhadap perempuan.
Terus ada juga yang stress, mungkin pengaruh punya masalah dengan orang tua, ‘broken home’ atau apa. Itu juga pengaruh dia, mungkin kurang perhatian dari orang tua. Kebanyakan di sini, anak anak yang minum keras punya latar belakang yang berbeda beda. Ada yang karena kurang perhatian, sehingga dia bebas, apa lagi kalau orang tuanya orang yang punya banyak harta, banyak uang, sibuk dengan politik atau bisnis atau lain lain kurang perhatian. Karena terlalu banyak uang jadi bisa foyang foyang saja. (Tina)
Kadang orang yang tidak pernah minum yang tidak tahu minum, karena dia stress dengan keluarga, atau kampus, atau putus sekolah, guru marah ka, dosen marah ka, begitu, dia stress. Nanti teman ajak, ‘ko stress ko harus minum’. Dia tidak bisa tolak bahwa saya tidak tahu minum. Nanti dia mau rasa. Dia ikut minum. Dalam keadaan mabuk itu pikiran stress pikiran itu hilang. Jadi mereka tidak piker, ini dalam mabuk ini ada yang jadi. Nanti kalau baku bunuh baku pukul hukumannya jatuh bagaimana. (Serli)
Setelah peserta diskusi factor perorang yang bisa mendorong mengonsumsikan minuman keras, mereka juga menyampaikan bahwa factor lingkungan juga mendorong konsumsi dan produksi minuman local oleh masyarakat.
Faktor lingkungan lain: ekonomi, kebijakan pemerintah, tindakan pihak polisi, dan marginalisasi masyarakat pribumi
Pertama-tama, adalah penganggurang dan kurang perhatian dari pemerintah kepada kondisi ekonomi masyakarat asli.
Menurut Yulianus,
Kami warga asli di sini tidak ada pekerjaan yang kita bisa prioritaskan jadi seakan- akan kita di rumah tidak ada pekerjaan, jadi jalan pendek pasti kita bisa minum [untuk melewati waktu kosong]. Terus yang berikut, terhitung ekonomi, kita sudah tidak bisa cari uang atau apa di luar tidak ada jalan lain jadi orang tua di rumah, ibu- ibu yang ada disekitar pinggiran kota, salah satu jalan yang paling bagus mereka pasti bikin bikin minuman lokal. Minuman lokal murah, mudah dijangkau, tempatnya dekat, jadi, sudah. Apalagi lingkungan yang tidak teratur, kebanyakan di pinggiran-pinggiran kota, tidak punya pendidikan yang tinggi, yang bagus, jadi kita terbawa ke sana, begitu. (Yulianus)
Tema ini juga muncul pada saat Tina mengusulkan bahwa “karena minuman ini bikin banyak masalah Antara kami, lebih baik dibasmikan saja. ” Martin menjawab:
Yang jelas dibasmi, tapi tolong kita pu maskarakat kecil diberdayakan. Berarti tidak boleh dibiarkan, ditinggalkan, hanya begitu saja.
Terus, Martin menunjukkan satu factor penting dalam masalah kondisi ekonomi masyarakat dan peserta lain setuju. Dia bertanya:
Kenapa yang saya amati khususnya di kota Wamena itu, ada banyak proyek, banyak pekerjaan, dan yang harus menjadi karyawan warga pribumi tapi selama ini yang menjadi karyawan di pembangunan ruko, jalan, tidak ada sama sekali? Kalau memang ada pekerjaan seperti itu semua warga kampung akan fokus ke sana. Tidak ada nganggur-nganggur, nongkrong saja di pinggir kota, di pinggir-pinggir
jalan… Serli menambahkan, “menjadi aibon.” Martin menjelaskan, Jadi yang sangat berdosa sekali pemerintah. P emerintah dosa besar…kok banyak
pembangunan di sini kemudian tidak ada satu pun orang asli yang bisa jadi karyawan, bukan karyawan tapi angkat batu pasir pun, tidak!
Semua peserta menyampaikan perasaan setuju dengan komentar tersebut. Tina melanjutkan,
Jadi karena dia menganggur, tidak ada sesuatu yang focus dia harus kerja, jadi gunakan waktu itu untuk ya, bersenang-senang dengan teman-teman. Seperti minum minuman keras dan lain lain. Dan hal itu memang sangat mengganggu hubungan social yang ada di lingkungan kami.
Ketidakadilan dalam mengimplementasikan pembangunan kota Wamena dan pengaturan lapangan kerja yang hanya prioritaskan orang non-pribumi adalah temuan yang sangat penting dari hasil diskusi ini.
Bisa juga disebutkan bahwa ini temuan penting dalam rangka pemikiran tentang aspirasi masyakarat Wamena terhadap pekerjaan. Paling banyak pengamat berasumsi bahwa orang pribumi ingin menjadi pegawai negeri, tetapi menurut peserta justru dari kaum laki- laki ada yang ingin menggunakan kekuatan fisik untuk menambah keterampilan dalam bidang pembangunan.
Ini sesuatu yang harus diteliti secara lebih mendalam, tetapi yang jelas tipe pekerjaan yang ditawarkan atau tidak ditawarkan bisa mempengaruhi perasaan laki-laki tentang kemampuan diri sendiri, termasuk percaya diri.
Dari sisi lain, temuan ini harus menjadi pertanyaan yang pemerintah dan pengusaha harus menjawab tentang akibat sosio-ekonomi buruk yang bisa muncul karena kebijakan dan kepemimpinan mereka dalam perkembangan dan pembangunan kota dan sekitarnya.
Sebagai bukti bagaimana jauh pemerintah terlibat dalam mengabaikan pembuatan dan penyebaran miras/milo, peserta juga menyampaikan pengamatan mereka tentang keterlibatan pihak polisi dalam membuat, menjual dan membiarkan operasi milo.
Aparat keamanan dan polisi juga buat, dong pengusaha, mereka yang kebanyakan buat. Di kompleks saya itu ada beberapa tempat situ terus selalu saya di situ sama- sama, dan yang saya amati, persoalan besar hanya masalah ekonomi saja. Sehingga semua ada [milo untuk dijual]. Karena sudah tidak ada jalan keluar untuk mencari uang, pasti jalan lebih cepat itu buat milo. Itu yang saya tadi bilang pemerintah harus pikir baik-baik, untuk warga a sli yang tidak punya pekerjaan….Terus yang kedua, sikap yang tidak baik dari pihak kepolisian. Khusunya yang ada di sekitar saya itu, polisi ada yang punya tugas tapi tempat itu tidak dibasmikan. Terus, kadang cerita dengan mereka [yang buat milo, milo bisa dibiarkan] tapi jatah satu teko atau satu plastic. (Martin)
Semua peserta setuju bahwa pemerintah sedang mengabaikan aturannya sendiri dan membiarkan miras didatangkan ke Wamena.
Kalau minuman itu tidak didistribusikan atau didatangkan dari luar, kami masyarakat di sini tidak bisa minum. Tapi mereka [pemerintah] bilang tidak bisa didatangkan tapi masih ada, mereka tipu. Mereka tahu tempat-tempat minuman yang harus dilihat. Terus tidak hanya masyarakat sini yang buat milo, tapi orang pendatang yang jual dan mereka tahu buat. Masyarakat tahu dan pergi beli. Jadi kalau ada berapa LSM yang bisa kerja supaya tidak dibuat atau dijual, itu bisa. Kalau memang pemerintah tetap untuk tidak boleh datangkan minuman, gereja dan beberapa tokoh agama atau tokoh adat, mereka bisa kerjasama untuk tidak boleh ada minuman di daerah ini….Untuk sementara kalau gereja dan pihak lain kerja
untuk tidak ada minuman tapi pemerintah masih distribusikan berarti sama saja, minuman tetap jalan. (Via)
Dengan akibat dari beberapa factor ini, kebiasaan konsumsi miras atau milo sudah, “Bukan anak-anak saja tapi sampai orang tua sampai pejabat bahkan kepa la kampung minum” (Grecia). Menurut peserta, ini karena milo/miras tidak diatasi oleh pihak manapun, termasuk LSM. Mungkin ada yang memiliki dana atau kewajiban untuk melihat masalah ini, termasuk dari sisi ekonomi, budaya, dan psikologis/rehabilitasi, tetapi ini belum direalisasikan di lapangan.
Solusi?
Peserta dari Klinik Kalvari sampaikan beberapa rekomendasi untuk mengurangi masalah miras/milo, baik konsumsinya, akibat sosial dan kesehatan yang buruk maupun produksi dan distribusinya. Mereka menyampaikan bahwa mungkin ada Lembaga LMS yang sudah kerja di masalah miras tetapi mereka tidak pasti. Harus ada dukungan dari pemerintah. Gereja juga bisa menolong tetapi tidak ada arah yang jelas dari pemerintah.
Kita sebenarnya butuh rehabilitasi tapi tidak ada, jadi mau atau tidak keluarga dekat yang harus bantu dia. (Tina)
Saran dari saya, yang harus berperan betul adalah yang pertama gereja harus berperan penting. Terutama keluarga. Gereja tidak boleh diam. Pemerintah tidak boleh diam. Terus didukung dengan beberapa lembaga lembaga lsm yang bisa membantu. Mudah mudahan ke depan, bisa ada perubahan sedikit sedikit. (Yulianus)
Bab 3 Analisis dan Rekomendasi
Akibat prevalensi milo di Wamena
Pertama-tama, kegiatan diskusi tersebut menunjukkan bahwa milo/miras adalah masalah besar di Wamena, termasuk karena milo mendorong masalah sosial lain dan merugikan kesehatan.
Kekerasaan
Konsumsi dan produksi milo mendorong kekerasaan dalam rumah tangga dan menyebabkan konflik dengan aparat kepolisian atau tentara. Peserta rata-rata merasa bahwa suami lebih cenderung pukul istri kalau dia sudah atau sementara konsumsi minuman keras. Terus dia lebih cenderung untuk menyebabkan luka berat pada istrinya. Konflik juga sering muncul antara suami istri menyangkut uang, makanan, anak-anak, atau masalah lain saat suami minum-mabuk, sehingga menyebabkan kekerasan terhadap ibu atau anak-anak. Peserta juga melaporkan bahwa perempuan kadang diperkosa oleh laki- laki (termasuk pacar atau suami) yang sedang mabuk.
Dari sisi lain, orang asli yang mabuk sering menjadi sasaran untuk pihak kepolisian, dengan alasan bahwa pihak keamanan ingin menjaga suasana kota, atau karena memang orang yang sudah konsumsi milo/miras sementara baku marah dengan orang lain atau terlihat merusakkan harta benda. Di kota, sering terjadi bahwa orang mabuk pertengkaran dengan orang pendatang karena orang mabuk tuntut rokok atau minuman dari pendatang yang milik kios. Pada saat polisi intervensi, masalah kecil bisa menjadi masalah besar kalau warga asli melihat polisi melakukan kekerasaan yang terlebih kepada si orang mabuk. Terus, polisi dianggap sebagai pembela orang pendatang, dengan akibat bahwa hubungan antara warga asli dan polisi, dan warga asli dan non-asli justri tambah buruk. Dari sisi lain, pengamat sering melaporkan bahwa pihak polisi senang tangkap orang mabuk dan melakukan beberapa bentuk kekerasan terhadap orang yang tidak mampu membela diri. Contoh, polisi rendam orang mabuk di air dingin, atau pukul, atau suruh makan rica. Menurut masyarakat ini memang kebiasaan pihak polisi terhada orang asli yang sedang mabuk, dengan akibat bahwa konflik besar bisa muncul antara warga asli dan pihak polisi.
Penyakit Berbahaya dan Kematian
Konsumsi milo mendorong seks berisiko tinggi yaitu dengan beberapa pasangan dan/atau tanpa menggunakan kondom. Pemerkosaan juga meningkatkan resiko HIV. Untuk yang sudah positif HIV, konsumsi minuman keras bisa mengganggu jadwal makan dan minum obat, dan membuat orang lupa untuk kembali periksa dan ambil obat di fasilitas kesehatan.
Sebagai akibat dari konsumsi milo, masyarakat juga meninggal dunia, antara langsung karena berlebihan alcohol atau secara tidak langsung, akibat dari kekerasan atau kurang perhatian kepada konsidi badan.
Kemiskinan dan Kesulitan Ekonomi
Milo juga mendorong kemiskinan, biar kadang dianggap oleh masyarakat yang membuat sebagai solusi untuk kelemahan ekonomi. Ini karena kebanyakan masyarakat yang membuat milo juga mengonsumsi milo, jadi tidak ada hasil uang dari penjualannya.
Kalau masyarakat tidak berkebun atau melakukan aktivitas lain untuk mencari nafkah, tetapi tergantung pada jualan milo, kesulitan ekonomi mereka justru menambah daripada menurun. Rumah tangga yang produksikan milo menjadi sasaran gangguan oleh orang mabuk yang tuntut minuman, dan menghadapi resiko sweeping dari pihak keamanan. Karena rumah tangga kurang aman dan sering terganggu oleh masalah terkait dengan milo, warga yang ingin bekerja kegiatan lain juga terganggu dan tidak bisa kerja secara teratur, misalnya pegawai yang harus ke kantor, atau anak-anak yang harus belajar.
Dari sisi lain, kalau orang yang sering konsumsi milo tidak bisa atau tidak mau kerja untuk mencari nafkah, dia tidak bisa menyediakan uang atau barang makan untuk keluarganya.
Seperti diceritakan peserta, setiap kali orang mabuk membuat masalah ada kekerasan terhadap orang dan disuruh membayar denda, harta keluarga bisa dihancurkan.
Masalah Sosial dan Budaya
Konsumsi dan produksi milo menyebabkan masalah sosial dan budaya. Di dalam keluarga, oleh karena kekerasaan dan kemiskinan meningkat di mana ada prevalensi milo, keluarga tidak berfungsi baik dan suami/istri sering keluar, tinggal di tempat lain, dan tidak bisa kerjasama, misalnya kalau perlu membuat acara adat atau anak sekolah perlu uang. Warga yang keluar masuk rumah tangga menganggu orang lain di tempat mereka ‘numpang’ sementara. Dalam norma-norma Wamena, masyarakat harus saling membantu. Tetapi kalau ada warga yang hanya membutuh ditolong dan tidak bisa membantu orang lain, dia tidak punya hubungan baik dengan masyarakat, dan dianggap sebagai orang yang lebih baik dihindari. Contoh kalau ada ibu rumah tangga yang tidak mampu memberikan makanan ke anak-anaknya karena suami minum-mabuk, ibu terpaksa membawa anak- anak ke mana-mana, minta uang dan/atau minta makan. Biar dia memiliki keluarga besar yang bisa menolong mereka, pasti ada yang merasa malas dan tidak mau membantu orang yang perlu bantuan terus.
Dari sisi lain, milo mendorong meningkatkan tingkat kelakuan seks di luar nikah dan sebelum nikah. Ini menyebabkan masalah untuk keluarga yang harus bayar denda atau mengurus masalah hampir setiap hari. Kalau dia sering minum, laki-laki tidak selalu mengakui anak-anak yang dia membuat dengan pasangannya, dengan akibat lebih banyak
‘anak rumput’ atau anak yang tidak diakui oleh bapaknya. Ini membuat masalah untuk anak itu, ibunya, dan orang lain yang harusnya membantu kasih besar anak itu dan memenuhi beberapa kebiasaan budaya.
Dari sisi lain, tingkat kematian karena milo atau penyakit HIV menyebabkan masalah untuk reproduksi sosial. Banyak peserta merasa bahwa kampung-kampung sudah mulai kosong, dan dewasa muda tidak cukup untuk memenuhi peran mereka dalam masyarakat dan sebagai generasi yang harus meneruskan budaya.
Jadi pada umumnya, prevalensi milo/miras di Wamena menyebabkan: kekerasaan dan kerusakan hubungan sosial, gangguan kesehatan dan penyakit besar, dan kemiskinan/kurang gizi.
Oleh karena milo dan miras membuat masalah serius tersebut, peserta kami bertanya, kenapa tidak ada perhatian serious terhadap prevalensi milo dan miras? Kenapa pihak berwajib hanya buang kata-kata saja?
Penyebab prevalensi milo di Wamena Penyebab-penyebat utama prevalensi milo/miras di Wamena adalah:
Kondisi ekonomi masyarakat Kebijakan pemerintah, tindakan aparat kepolisian Laki-laki, percaya diri, dan pekerjaan di kota
Kondisi ekonomi masyarakat
Menurut peserta, di antara masyarakat asli yang membuat milo, banyak merasa terpaksa karena tidak ada jalan lain untuk mencari uang di dibutuhkan untuk makanan, biaya sekolah, dan lain lain. Kondisi ekonomi rakyat mendorong mereka untuk membuat milo, termasuk: untuk yang tinggal di pinggiran kota, tanah-tanah yang direbut atau dijual kepada pemerintah, orang dari luar daerah atau orang pendatang dengan akibat bahwa mereka tidak memiliki tanah yang cukup untuk bekerja kebun secara bagus. Mereka sering alami bahwa ada kekurangan tenaga untuk kerja kebun, dan harga bibit sayur mahal, dan karena harga bahan-bahan di Wamena mahal, hasil kerja kebun tidak cukup untuk membeli barang makan yang mereka perlu, atau membiayakan anak-anak sekolah, apalagi untuk barang lain seperti sepeda motor yang kadang dibutuhkan sebagai mode transportasi. Yang kerja kebun untuk mencari nafkah sangat tergantung pada pelanggar di pasar yang mau beli sayur atau tidak, dengan harga berapa. Karena banyak ibu-ibu menjual sayur yang sama, dan sayur cepat rusak, mereka sering terpaksa jual sayur dengan harga murah. Ibu-ibu yang tinggal jauh dari kota dan pasar-pasar besar harus kena biaya transportasi atau menjual sayur di kampung kepada orang yang memiliki mobil; orang- orang tersebut membawa sayur ke pasar dan terima uang lebih besar. Seringkali diamanti Menurut peserta, di antara masyarakat asli yang membuat milo, banyak merasa terpaksa karena tidak ada jalan lain untuk mencari uang di dibutuhkan untuk makanan, biaya sekolah, dan lain lain. Kondisi ekonomi rakyat mendorong mereka untuk membuat milo, termasuk: untuk yang tinggal di pinggiran kota, tanah-tanah yang direbut atau dijual kepada pemerintah, orang dari luar daerah atau orang pendatang dengan akibat bahwa mereka tidak memiliki tanah yang cukup untuk bekerja kebun secara bagus. Mereka sering alami bahwa ada kekurangan tenaga untuk kerja kebun, dan harga bibit sayur mahal, dan karena harga bahan-bahan di Wamena mahal, hasil kerja kebun tidak cukup untuk membeli barang makan yang mereka perlu, atau membiayakan anak-anak sekolah, apalagi untuk barang lain seperti sepeda motor yang kadang dibutuhkan sebagai mode transportasi. Yang kerja kebun untuk mencari nafkah sangat tergantung pada pelanggar di pasar yang mau beli sayur atau tidak, dengan harga berapa. Karena banyak ibu-ibu menjual sayur yang sama, dan sayur cepat rusak, mereka sering terpaksa jual sayur dengan harga murah. Ibu-ibu yang tinggal jauh dari kota dan pasar-pasar besar harus kena biaya transportasi atau menjual sayur di kampung kepada orang yang memiliki mobil; orang- orang tersebut membawa sayur ke pasar dan terima uang lebih besar. Seringkali diamanti
Karena barang-barang di Wamena semua kenakan ongkos timbang saat naik pesawat, barang-barang jauh lebih mahal daripada tempat lain di Indonesia. Akibatnya, hasil kebun tidak cukup untuk membeli barang penting seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, garam, atau obat, apalagi makanan lebih bergizi seperti daging atau telur. Air minum bersih juga sangal mahal dibeli, dengan akibat bahwa keluarga orang asli terpaksa minum air kali atau masak air. Untuk masak air, butuh minyak tanah atau kayu bakar. Di Wamena, bahan-bahan alam, termasuk air bersih di kali dan kayu bakar di hutan, sudah mulai kurang atau sudah menjadi milik pribadi dengan akibat tidak bersedia untuk masyarakat umum.
Untuk yang menjadi pegawai negeri, gaji masih kurang sekali atau sering tidak dikasih oleh manajer dan pihak pemerintah. Banyak pegawai negeri juga tergantung kepada hasil kebun, atau sering tidak mempunyai uang cukup untuk membeli makanan pokok atau membiayakan anak-anak.
Dari sisi lingkungan sosial, warga asli sering melihat keberhasilan warga pendatang yang jauh lebih kaya dan memiliki tokoh yang penuh dengan barang, atau yang kelihatan tidak mengalami kesulitan ekonomi. Karena merasa termarginalisasi di tanah sendiri, warga asli ada yang mencoba mencari uang cepat dengan produksi milo.
Yang membuat milo bukan warga asli saja tetapi juga orang pendatang yang sudah melihat bahwa bisa mendapat penghasilan besar dengan produksikan milo.
Marginalisasi warga asli dalam lapangan kerja
Menurut peserta, pemerintah kurang memperhatikan lapangan kerja di kota untuk warga asli, khususnya di program pembangunan dan proyek-proyek yang sering dikerjakan di kota Wamena. Menurut pengamatan mereka, proyek dan pekerjaan tersebut dialihkan kepada karyawan non-asli atau pendatang, tetapi sebenarnya pemerintah harus membuka kesempatan untuk warga asli dan warga kampung untuk mengerjakan proyek-proyek tersebut. Ini karena masyarakat juga ingin tambah keterampilan dan pengalaman kerja di bidang bangunan, karena masyarakat butuh proyek yang bisa menarik perhatian dan focus mereka, dan karena kaum laki-laki membutuhkan pekerjaan yang digaji.
Dari sisi lain, warga asli terlalu sering terpaksa untuk memilih satu dari dua pilihan: kerja kebun atau menjadi pegawai negeri. Tetapi, banyak laki-laki merasa bahwa mereka memiliki keterampilan dan keahlian dalam bangunan dan tidak ingin kerja di kantor. Laki- laki asli menyampaikan bahwa mereka badan kuat dan fisiknya cocok untuk kerja bangunan, justru lebih kuat daripada warga pendatang. Jadi kalau mereka tidak diajak kerja, muncul perasaan kecewa dan ganas. Karena bangunan infrastructure sangat menyangkut kebijakan dan kewajiban pemerintah daerah, peserta merasa bahwa Dari sisi lain, warga asli terlalu sering terpaksa untuk memilih satu dari dua pilihan: kerja kebun atau menjadi pegawai negeri. Tetapi, banyak laki-laki merasa bahwa mereka memiliki keterampilan dan keahlian dalam bangunan dan tidak ingin kerja di kantor. Laki- laki asli menyampaikan bahwa mereka badan kuat dan fisiknya cocok untuk kerja bangunan, justru lebih kuat daripada warga pendatang. Jadi kalau mereka tidak diajak kerja, muncul perasaan kecewa dan ganas. Karena bangunan infrastructure sangat menyangkut kebijakan dan kewajiban pemerintah daerah, peserta merasa bahwa
Perasaan laki-laki
Menyangkut pengangguran laki-laki warga asli Wamena, kelakuan konsumi milo disebabkan oleh perasaan laki-laki terhadap zaman pemerintahan Indonesia. Contohnya, banyak peserta menyampaikan bahwa laki-laki minum alcohol karena kurang percaya diri dan kurang berani untuk menyampaikan aspirasinya. Sebagai generasi muda, mereka tidak memiliki arah yang jelas menurut adat-budaya, seperti generasi sebelumnya. Ada yang memang kurang diajar tentang adat atau peran dan tanggungjawab laki-laki. Antara orang tua mereka juga ada yang kena keerasan Negara, meninggal, atau tanah leluhurnya diambil. Sistem kepala suku dan cara kepemimpinan masyarakat menurut adat mulai tidak berlaku di banyak kampung, jadi laki-laki muda tidak akan dapat prestasi atau hasil dengan sistem lama tersebut. Kebanyakan tidak mau kerja kebun lagi, karena di zaman sekarang pekerjaan seperti ini dianggap terbelakang dan terlalu susah. Perubahan ini menyangkut nilai-nilai baru yang dibawa oleh pemerintah Indonesia. Peserta menyampaikan bahwa laki-laki muda sudah melihat contoh laki- laki kaya atau yang disebut ‘maju’ yang punya banyak uang, harta, perempuan, dan main alcohol tetapi tidak banyak bekerja.
Karena tidak ada arah, atau tidak punya kesempatan untuk berhasil secara adat atau secara moderen misalnya lewat pekerjaan di kota yang berarti, laki-laki banyak terbawa kearah konsumsi dan produksi milo.
Kebijakan dan tindakan pihak Negara: pemerintah dan aparat keamanan
Pada umumnya peserta menyampaikan bahwa kebijakan dan tindakan pihak pemerintah terhadap masalah milo adalah sangat mengecewakan. Pemerintah dianggap kurang memperhatikan isu tersebut, dan hanya buang suara dengan larangan yang tidak dikerjakan, atau bahkan membiarkan menularan penyakit milo karena tidak peduli apakah masyarakat habis atau tidak.
Menurut pengamatan masyarakat, hukum tentang milo tidak dikerjakan, pada umumnya. Contohnya minuman keras boleh didatangkan secara tersembunyi di atas pesawat, dan pemeriksaan di bandara tutup mata atau disogok agar miras dibiarkan. Contoh lain, bahan terkunci untuk membuat milo, vernipan, tidak diatur oleh pemerintah. Sebenarnya tidak sulit, menurut peserta, untuk mengatur bahan vernipan supaya hanya tersedia kepada yang membuat roti dalam kuantitas yang sesuai.
Pihak kepolisian sering dianggap sebagai teman, bukan musuh, buat orang yang produksikan milo. Ini karena peserta sudah melihat bahwa polisi tidak membasmikan agen milo atau hasilnya, justru ada polisi yang minta milo sebagai jatah untuk tidak membasmikan tempat-tempat tersebut. Peserta tidak ingin supaya polisi melakukan Pihak kepolisian sering dianggap sebagai teman, bukan musuh, buat orang yang produksikan milo. Ini karena peserta sudah melihat bahwa polisi tidak membasmikan agen milo atau hasilnya, justru ada polisi yang minta milo sebagai jatah untuk tidak membasmikan tempat-tempat tersebut. Peserta tidak ingin supaya polisi melakukan
Lebih penting lagi, peserta menyampaikan bahwa kondisi-kondisi yang menyebabkan masyarakat membuat dan mengonsumsikan milo tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah, provinsi atau pusat. Ini termasuk kebijakan tentang pembangunan kota dan lapangan kerja untuk warga asli, ketidakadilan dalam distribusi dan penggunaan tanah masyarakat yang sering dialihkan kepada orang pendatang untuk membuka usahanya, gaji pegawai negeri yang sangat tidak cukup dan sering tidak dibayar sesuai dengan aturan atau jadwal, dan keamanan kota atau pinggiran kota di mana pihak keamanan dibiarkan untuk menangkap dan menganggu masyarakat.
Oleh karena belum ada perhatian khusus kepada masalah prevalensi milo dan miras di Wamena, termasuk kegiatan lembaga swadaya masyarakat, konsultasi masyarakat atau program rehabilitasi dan bantuan lain, peserta merasa bahwa ini bukti bahwa pemerintah tidak peduli nasib masyarakat.
Bab 4 Rekomendasi
Berdasarkan hasil kegiatan diskusi tersebut, masyarakat mengusulkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi masalah prevalensi milo dan miras di Wamena:
Segera membuka forum konsultasi stakeholders/masyarakat untuk membicarakan prevalensi milo dengan semua pihak. Bersama-sama menyusun strategi (rencana) untuk menanggulangi prevalensi milo dan miras baik penyebabnya maupun akibatnya. Membuka yayasan khususnya untuk mengerjakan strategi ini
Kaum bapak, kepala-kepala suku, dan tokoh-tokoh adat segera membicarakan masalah milo dan kekerasan terhadap perempuan, dan secara terbuka mendukung
ibu dan anak agar tidak terpaksa kena kekerasan oleh suami atau bapak. Kekerasaan seperti dilakukan saat ini tidak diizinkan atau diperbolehkan menurut adat orang Wamena, dan hal ini harus diumumkan dan dikerjakan oleh pemimpin- pemimpin adat
Melihat kembali (mereview) kebijakan pembangunan kota dan membuka peluang training dan pekerjaan untuk warga asli di bidang bangunan Mengatur bahan vernipan
Menangani yang terlibat termasuk agen yang menjual milo dan pegawai yang membiarkan miras didatangkan ke Wamena di bandara Meningkatkan gaji pegawai negeri sekaligus menurunkan harga bahan-bahan di Wamena supaya masyarakat lebih mampu membeli bahan-bahan pokok.
Contohnya perusahaan pesawat tidak harus mengatur ongkos timbang, tetapi kalau ingin beroperasi di daerah Wamena, ongkosnya harus sesuai dengan aturan daerah
Menyediakan bibit sayur ke masyarakat miskin yang kerja kebun, dan menolong dengan transportasi hasil kebun ke pasar Pemerintah harus mendukung cara hidup warga asli dan sistem kebudayaan yang berlaku, sehingga masyarakat tidak merasa terpaksa kasih tinggal kepercayaan dan
kebiasaan mereka