Prevalensi Minuman Lokal di Wamena Papua
LAPORAN VERSI AWAL 20/12/2013 P REVALENSI M INUMAN L OKAL DI W AMENA
Laporan Hasil Diskusi dan Rekomendasi dari Masyarakat
Jenny Munro, Ph.D.
Patricio Wetipo
Didukung oleh: Yayasan Humi Inane Jayawijaya
Didanai oleh: Canadian Institutes of Health Research
Desember 2013
© Jenny Munro and Patricio Wetipo, 2013
LAPORAN VERSI AWAL 20/12/2013
Kata Pengantar
Dengan laporan ini kami menyediakan hasil dari kegiatan diskusi tentang minuman keras, minuman local, jender, dan kekerasan di Wamena. Pada saat kami mengadakan diskusi- diskusi tersebut pada tahun 2012, kejadian-kejadian kekerasaan di Wamena meningkatkan perhatian masyarakat kepada hal-hal minuman keras dan kekerasaan.
Pertama, dua anggota TNI mengemudi sepeda motor sesudah mengonsumsikan minuman beralkohol; motor menabrak anak balita di jalan kampong. Keluarga korban merasa bahwa anak sudah meninggal akhirnya beberapa anggota keluarga menyerang anggota TNI. Satu anggota TNI meninggal langsung dan satu kena luka-luka berat. TNI membalas dengan menurun ke kampong secara pasukan, membakar rumah-rumah penghuni kampong, menembak sembarang, dan mengejar masyarakat yang mengungsi dari lokasi (lihat laporan LSM). Insiden Honelama ini menarik perhatian internasional dan membuat suasana tidak aman di Wamena dan sekitarnya selama kira-kira satu minggu. Saya dengan anak-anak saya melarikan diri dari kota ke kampong setelah dengar bunyi tembakan karena tentara sudah membakar daerah pasar Sinakma dan saat itu menuju ke pasar Misi dekat rumah kami.
Yang kedua, dua ibu menjadi korban kekerasaan di satu kampong kecil dalam waktu tiga minggu. Yang pertama ditikam oleh suami yang mabuk dan, menurut keluarga dan orang kampong, kena kelainan otak sejak anak balita mereka meninggal dua bulan lalu. Korban ibu masuk rumah sakit dan untung dia sembuh. Keluarga laki-laki berusaha untuk menangkap saudara mereka yang sudah melarikan diri agar menyelesaikan masalah tanpa tumpah darah orang lain.
Kemudian, mayat perempuan muncul di pinggir kali We di pinggiran kota Wamena. Perempuan sudah beberapa minggu hilang dan terakhir kali terlihat dekat rumah di mana laki-laki seringkali minum-mabuk. Kecurigaan tentang kematian perempuan dan siapa yang pelaku hampir menimbulkan perang suku di kampung saya karena keluarga perempuan merasa bahwa pelaku adalah orang dari suku yang musuh dengan mereka. Saya dengan anak-anak saya melarikan diri dari kampong kembali ke kota karena ada suasana kurang nyaman. Ternyata, kami dapat informasi dari belakang bahwa pelaku adalah suaminya sendiri.
Sebagai akibat dari kejadian-kejadian ini kami konsultasi dengan kepala suku dan pihak- pihak lain yang merasa bahwa hal-hal minuman keras memang harus dipertimbang oleh masyarakat. Tetapi, kami juga harus menjaga kemungkinan bahwa konflik dan perasaan emosi bisa muncul dan mengutamakan keamanan peserta dan masyarakat umum.
Oleh karena masalah yang kami ingin teliti ternyata sangat dekat dengan kenyataan kampong dan kota sekarang, banyak peserta ingin mengambil bagian dan ada motivasi Oleh karena masalah yang kami ingin teliti ternyata sangat dekat dengan kenyataan kampong dan kota sekarang, banyak peserta ingin mengambil bagian dan ada motivasi
Ironisnya, bahwa setelah saya keluar dari Indonesia saya dapat ancaman dari pihak intelijens Wamena dengan peringatan bahwa saya tidah usah kembali ke Wamena karena masyarakat tidak ingin berbicara dengan saya lagi. Menurut saya, ancaman ini membuktikan bahwa apa yang kami telah diskusi adalah isu yang sangat penting dan menyangkut kelakuan yang tidak terus terang oleh baik pihak pemerintah maupun pihak keamanan.
Jenny Munro
Ringkasan Eksekutif
Kami tidak harus jalan jauh atau tinggal lama di Wamena sebelum prevalensi dan akibat miras (minuman keras) dan milo (minuman lokal) kelihatan. Milo, yaitu ‘minuman lokal’ bisa dibedakan dari miras (minuman keras) karena milo adalah minuman beralkohol yang diproduksikan dari buah-buahan di daerah Wamena. Minuman keras (miras) biasanya didatangkan dari luar daerah, biar dilarang. Laporan ini mulai dari kegiatan untuk mengembalikan hasil temuan penelitian saya antara mahasiswa asli Wamena yang kuliah di Sulawesi Utara pada tahun 2005-2006. Pada saat mahasiswa yang saya kenal baik mulai pulang ke Wamena, saya dengar bahwa masalah milo dan miras yang mereka mengalami diluar daerah sudah lebih parah lagi di kampung sendiri. Perkembangan ini terjadi cepat, dalam waktu 10 tahun terakhir.
Metode-Metode
Untuk melanjutkan diskusi dengan masyarakat Wamena tentang milo dan miras, saya dan beberapa mitrakerja melakukan kelompok diskusi. Jumlah peserta 75 orang, termasuk bapak-bapak di kampung, ibu-ibu di kampung dan di kota, muda-mudi yang tinggal di kampung dekat kota, dan tiga lembaga swadaya masyarakat yang memiliki aktivitas yang menyangkut minuman beralkohol: Klinik Kalvari dan Yukemdi (HIV/AIDS dan penyakit menular seks) dan Humi Inane (kekerasan terhadap perempuan). Kami secara informal tukar pikiran tentang prevalensi miras/milo dan penyebabnya, kondisi saat ini, dan akibat milo/miras yang mereka amati di Wamena dan daerah.
Hasil Temuan Utama
Hasil temuan dari diskusi-diskusi tersebut adalah beberapa tema yang menyangkut prevalensi miras/milo dan akibatnya di Wamena.
Keadaan miras/milo sudah lebih besar daripada apa yang dikirakan, dan akibatnya jauh lebih buruk dari apa yang diketahui Milo menjadi factor utama yang meningkatkan prevalensi HIV antara masyarakat asli Wamena Milo menjadi factor utama yang meningkatkan prevalensi kekerasan, baik terhadap perempuan di dalam konteks rumah tangga maupun di antara orang pribumi dan pihak kepolisian dan orang non-asli
Penyebab prevalensi milo termasuk: o Kelemahan kondisi ekonomi masyarakat asli di kota dan pinggirannya
o Kekurangan kesempatan bekerja di kota untuk putra daerah, contohnya di bidang pembangunan/proyek yang dikerjakan oleh karyawan non-asli
o Perasaan bahwa orang yang kerja kebun tidak akan berhasil o Pemerintah tidak melaksanakan hokum berlaku tentang larangan
miras/milo miras/milo
o Perasaan ‘ingin coba’, kurang ‘percaya diri’, atau ‘stress’ antara laki-laki, yang disebabkan oleh perubahan sosial dan marginalisasi di kota dan sekitarnya
Tidak ada program atau kegiatan khusus untuk tangani akibat dari milo atau untuk merehabilitasikan orang yang kebiasaannya minum dan mabuk
Rekomendasi Kunci
Masalah milo harus segera diangkat sebagai masalah yang paling penting di daerah Wamena dan dikerjakan oleh semua pihak yang terkait
Pemerintah dan pengusaha harus membuka peluang kerja untuk putra daerah di
kota yang sesuai dengan keinginan mereka
Kepala suku dan tokoh perempuan harus segera berbicara masalah perubahan
dalam pola perkawinan dan kekerasan dalam rumah tangga
Suara-suara kepala suku harus memimpin masyarakat dalam melindungi ibu dan
anak di rumah tangga
Harus ada lembaga dan program dengan dana khusus untuk meneliti dan
mengerjakan masalah konsumsi milo, termasuk kegiatan penguatan ekonomi, keterampilan/beasiswa, dan rehabilitasi atau conseling untuk menolong masyarakat yang kena akibat buruk dari milo baik pelaku maupun korban
Pemerintah dan pihak internasional (donor) harus melihat situasi ekonomi antara
masyarakat di pinggiran kota agar mereka tidak terbawa ke penjualan milo dan kena akibat penjara atau kekerasan
Kondisi masyarakat yang disebut dengan istilah ‘stress’ harus diteliti dan dikerjakan, kenapa sampai masyarakat merasa kondisi buruk ini
Karena konsumsi milo seringkali menyebabkan masalah antara pihak keamanan/kepolisian dan orang asli, harusnya kepolisian dilatihkan dalam cara menyelesaikan konflik tanpa kekerasan
Bab 1 Pendahuluan
Latar Belakang
Latar belakang kegiatan ini adalah hasil penelitian yang perlu diumumkan dan dirumus oleh masyarakat. Penelitian tersebut telah dilakukan pada tahun 2005-2006 antara mahasiswa orang Wamena (termasuk orang Lembah, orang Walak, orang Lani dan orang Yali) di Sulawesi Utara oleh Munro.
Kedua, latar belakang penelitian ini adalah pernyataan dari teman-teman dan saudara- saudari asli Wamena bahwa malasah milo (minuman local, atau minuman yang terbuat dari gula, buah-buahan dan vernipan secara pribadi di rumah dengan murah dan akan dijual murah atau dikomsumsi oleh pembuat dan teman-teman) sudah menjadi masalah besar di Wamena, dan pembuatan dan pengonsumsian milo saat ini naik tajam dengan masalah kekerasaan dan kerusakan social yang mengikuti kelakuan mabuk. Dari teman- teman kami juga mendengar tentang beberapa orang yang meninggal akibat konsumsi kelebihan, terus mi-lo mendorong wabah penyakit HIV. Akhirnya, kami merasa sudah cukup saat ini kami harus melihat masalah mi-lo ini dari sisi ilmu, ekonomi, budaya dan politik, mulai dari pendapat-pendapat dan pengalaman masyakarat sendiri.
Waktu Munro dengar tentang kesempatan dana untuk mengembalikan hasil data penelitian 2005-2006 khusus tentang minuman, ini menjadi kesempatan untuk mulai diskusi hal milo secara serius dengan partisipasi dari masyarakat.
Dengan kerjasama dengan Yayasan Humi Inane, konsultasi dengan Dewan Adat Balim LaPago, dan nasehat ahli kesehatan dari Universitas Cenderawasih, kami menyusun suatu bentuk diskusi yang diadakan dengan beberapa pihak masyakarat.
Hasil Penelitian yang Disampaikan
Pada saat diskusi, Munro menyampaikan beberapa hasil penelitian. Pertama, tentang laki- laki. Minuman keras dan kelakuan mabuk dari pihak laki-laki membuat banyak masalah. Ada beberapa contoh:
Mahasiswi tidak mau gabung lagi dengan laki-laki saat ada acara atau kegiatan dari organisasi mahasiswa atau organisasi gereja. Ada beberapa orang Lembah yang dilarang masuk kegiatan dan acara yang dipimpin oleh orang Wamena Barat dan orang Walak, alasannya biasanya minum dan bikin kacau.
Minuman bisa membuat masalah dengan masyarakat local orang Indonesia. Contohnya mahasiswa Wamena minum dan bikin ribut, bikin rusak barang, atau diajak baku-pukul oleh orang rambut lurus. Pihak keamanan bisa dipanggil dan Minuman bisa membuat masalah dengan masyarakat local orang Indonesia. Contohnya mahasiswa Wamena minum dan bikin ribut, bikin rusak barang, atau diajak baku-pukul oleh orang rambut lurus. Pihak keamanan bisa dipanggil dan
Bisa membuat masalah keluarga karena laki-laki tinggal sama-sama terus minum dan baku marah, baku pukul, ada yang luka parah. Uang yang digunakan untuk minuman biasanya dikasih oleh orang tua atau pihak lain untuk tujuan seperti kuliah atau buat acara di gereja, dan uang disalahgunakan, akhirnya perasaan dan kepercayaan sudah tidak ada.
Dari masyarakat rambut lurus mulai bicara banyak kambing hitam orang Papua semua sebagai orang tukang mabuk dan kelakuan tidak baik. Mereka gunakan alasan pernah lihat banyak mahasiswa mabuk dll.
Kedua, kalau mahasiswi juga minum, mereka tidak biasa baku pukul atau bikin masalah tetapi biasanya kelakuan tidak dikontrol, akhirnya bisa tidur dengan laki-laki atau dekat- dekat dengan laki-laki yang bukan paitua mereka akhirnya bikin laki-laki juga baku pukul.
Ketiga, alasan apa yang mereka kasih tentang kenapa minum mabuk? Stress – sudah ada masalah dalam kehidupan mereka seperti masalah dengan ortu,
pacar, teman-teman, dan mereka gunakan miras sebagai obat untuk kurangi perasaan stress dan merasa senang senang. Kalau khusus untuk mahasiswa kadang alami kesulitan uang semester, uang ujian, terus merasa rindu sama keluarga dan pikir apakah keluarga di Wamena sudah lupa mereka?
Hampir sama tetapi ada yang bilang keadaan politik terus ekonomi dan sosial sekarang ini buat mereka malas, putus asa, tidak tahu ke arah mana ada hasil jadi mereka kecewa dan lebih suka minum.
Terpengaruh teman-teman atau lingkungan, dan ada juga yang merasa buatan orang lain bikin mereka kacau, seperti mantan pacar atau saudara yang sudah meninggal.
Masalah ini saya anggap serius sekali karena ada yang meninggal langsung karena kelebihan alcohol, ada yang meninggal secara tidak langsung karena saat mabuk tidak jaga diri akhirnya kena celakah, kena penyakit, atau buat salah sama orang lain, seperti suami pukul istri dan anak atau saudara baku pukul. Oleh karena itu saya kami ingin dengar pikiran dan pengalam ibu-bapa tentang hasil penelitian ini dan tentang masalah miras ini.
Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah pertama, untuk mengembalikan hasil penelitian tentang masalah dan akibat minuman keras di antara mahasiswa asal Wamena yang telah dilakukan pada tahun 2005-2006 di Sulawesi Utara. Tujuan kami dengan mengembalikan hasil tersebut adalah meningkatkan kesadaran tentang akibat-akibat social yang terkait dengan minuman keras; menguatkan kapasitas lokal untuk melihat dan menjawab Tujuan kegiatan ini adalah pertama, untuk mengembalikan hasil penelitian tentang masalah dan akibat minuman keras di antara mahasiswa asal Wamena yang telah dilakukan pada tahun 2005-2006 di Sulawesi Utara. Tujuan kami dengan mengembalikan hasil tersebut adalah meningkatkan kesadaran tentang akibat-akibat social yang terkait dengan minuman keras; menguatkan kapasitas lokal untuk melihat dan menjawab
Perspektif dan Metodologi Penelitian
Metodologi yang kami menggunakan berdasar pada perspective kualitatif. Penekanan dari metodologi kualitaif ini adalah pemahaman terhadap suatu gejala. Dalam metodologi ini cara hidup, cara pandang maupun ungkapan emosi dari warga masyarakat yang diteliti berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi itulah justru yang digunakan. Keseluruhan hal tersebut dipahami melalui temuan-temuan substansif (apa yang dicari peneliti), yang terbungkus dalam konteks-konteks, situasi-situasi tertentu, nuansa kebiasaan dan keterlibatan sejumlah pelaku.
Metode Penelitian Lapangan
Metode yang kami menggunakan adalah diskusi kelompok (focus group discussion). Kami telah membuat diskusi berkelompok 7 kali dengan sejumlah 75 peserta.
Jenis Kelamin: Perempuan = 39, Laki-laki =36 Umur: 18 – 63 tahun Pendidikan: Nol – Sudah Sarjana (S1) Untuk menambah pengertian, kami menceritakan masalah ini dengan beberapa informan
kunci, termasuk pemimpin LSM, gereja, dan pihak keamanan.
Pertanyaan Diskusi (Pedoman)
Apakah bapa-ibu setuju dengan hasil ini atau tidak? Apa yang kurang? Bagaimana minuman keras buat masalah di dalam dan diluar keluarga? Apakah miras menjadi masalah khusus untuk orang Wamena yang merantau
daripada yang tinggal di Wamena? Kalangan atau kelompok mana yang berisiko tinggi untuk kena masalah karena minuman? Alasan-alasan kenapa laki-laki dan perempuan gunakan minuman keras atau mabuk? Bagaimana miras dan masalah berikut bisa membuat gangguan kesehatan?
Apa miras menjadi factor dalam penularan penyakit HIV di Wamena? Kenapa dan bagaimana? Apakah miras bikin masalah antara suami-istri, anak-orang tua, pendatang dan orang asli? Bagaimana? Ada yang bisa cerita dari pengalaman pribadi? Apa yang bisa dibuat untuk mengatasi masalah yang muncul akibat miras? Apakah ada komentar atau pertanyaan lain?
Lokasi Studi
Kami memilih peserta yang tinggal di kota Wamena dan peserta yang tinggal di desa-desa dekat kota Wamena. Mereka dipilih untuk mewakili beberapa wawasan yang berbeda tentang keberadaan minuman keras di lingkungan mereka masing-masing, dan kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari minuman keras.
Kerangka Analisis Data
Kami menggunakan kerangka analisis data yang berdasarkan antropologi dan metodologi kwalitatif. Kami merekam kegiatan diskusi dan mencatat tentang apa yang dikatakan peserta pada saat diskusi berjalan. Kaset (file digital) didengar ulang dan tema-tema dicatat. Pernyataan atau pengalaman peserta yang penting kami catat. Setelah beberapa tema-tema dan poin-poin penting disusun, kami mengecek ulang analisis kami dengan beberapa peserta dan informan kunci yang mempunyai pengalaman banyak dengan hal- hal minuman keras dan masalah di antara masyarakat.
Pertimbangan Etis
Kami mengambil beberapa langkah untuk melindungi peserta yang mengambil bagian dalam kegiatan diskusi kelompok. Pertama-tama, kami menyediakan surat keterangan dan minta peserta membaca dan mencatat nama atau menandatangani daftar peserta. Secara langsung kami membicara tentang risiko mengambil bagian dan tujuan diskusi, dan menjawab pertanyaan peserta. Oleh karena kebiasaan jender di daerah ini mengutamakan suara laki-laki di atas wawasan perempuan, kami seringkali mengadakan diskusi hanya dengan laki-laki atau hanya dengan perempuan dan tidak secara campur. Kedua, karena kemungkinan perasaan emosi akan muncul, kami sebelum membuka diskusi bicara norma- norma yang akan mengatur cara diskusi. Kami bersama-sama minta peserta tidak menceritakan hasil diskusi diluar dengan orang sembarang alasan yang mempunyai pengalaman atau wawasan bisa menjadi malu. Ketiga kami siapkan pelayanan tambahan untuk peserta yang sendiri merasa bahwa mempunyai masalah dengan minuman keras Kami mengambil beberapa langkah untuk melindungi peserta yang mengambil bagian dalam kegiatan diskusi kelompok. Pertama-tama, kami menyediakan surat keterangan dan minta peserta membaca dan mencatat nama atau menandatangani daftar peserta. Secara langsung kami membicara tentang risiko mengambil bagian dan tujuan diskusi, dan menjawab pertanyaan peserta. Oleh karena kebiasaan jender di daerah ini mengutamakan suara laki-laki di atas wawasan perempuan, kami seringkali mengadakan diskusi hanya dengan laki-laki atau hanya dengan perempuan dan tidak secara campur. Kedua, karena kemungkinan perasaan emosi akan muncul, kami sebelum membuka diskusi bicara norma- norma yang akan mengatur cara diskusi. Kami bersama-sama minta peserta tidak menceritakan hasil diskusi diluar dengan orang sembarang alasan yang mempunyai pengalaman atau wawasan bisa menjadi malu. Ketiga kami siapkan pelayanan tambahan untuk peserta yang sendiri merasa bahwa mempunyai masalah dengan minuman keras
Untuk menjaga kerahasiaan peserta, dalam laporan ini kami menggunakan nama sandi atau memanggil ‘peserta’ saja.
Oleh karena suasana waktu kami membuat kegiatan di Wamena ternyata kurang aman, kami tidak terlalu banyak mengumumkan hasil diskusi kepada pejabat atau kepala suku yang tidak ikut diskusi, atau kepada masyarakat pada umumnya. Waktu itu kami merasa bahwa hasil tentang keterlibatan polisi dan pihak pemerintah dalam proses membuat, menjual dan mengonsumsikan minuman keras akan menambah emosi masyarakat yang sudah sangat kecewa dan tersinggir akibat kekerasaan militer yang terjadi di inciden Honeilama. Kedua, karena ada dua perempuan yang menderita kekerasaan berat oleh laki- laki di lingkungan kegiatan, kami tidak merasa bebas untuk membicarakan hal-hal minuman keras pada saat keluarga korban masih dalam proses duka atau membalas dendam. Keputusan-keputusan ini kami mengambil setelah beberapa kepala suku, kepala kampung dan anggota masyarakat dikonsultasikan.
Bab 2 Hasil Diskusi Kelompok
Bapak-Bapak (14 June 2012, 12 Peserta) Ukuran masalah milo: kematian dan kehancuran generasi muda
Menurut Bapak-Bapak di kampung, minuman keras, dan khususnya minuman lokal, merupakan factor yang paling pengaruh kematian muda-mudi dan orang dewasa di kampung. Yos katakan, “Milo itu bikin habis kita semua dan semua masyarakat Papua”.
Semua peserta kenal beberapa pemuda dan laki-laki umur dewasa yang telah meninggal dunia akibat dari kelebihan alcohol dalam tubuh. Lain juga meninggal karena baku pukul, baku tikam, atau baku bunuh saat keadaan mabuk. Selain itu mereka amati orang yang seringkali minum alcohol tidak ingat makanan akhirnya bisa meninggal akibat kurang gizi dan kurang perhatian kesehatan diri.
Bapak-bapak berpendapat bahwa orang yang seringkali minum mabuk sulit mau lepas kelakuan itu karena menjadi kebiasaan dia. Dia menjadi malas kerja barang lain, termasuk kerja kebun. Kalau seorang laki-laki sudah kawin dan punya anak, dia pasti tidak akan perhatian kebutuhan istri dan anak-anak. Suami yang mabuk seringkali pukul istri dan marah-marah istri. Rumah tangga tidak bisa tenang kalau ada orang tukang minum yang berdomisil di situ.
Ada pula pemikiran bahwa orang pemabuk bisa ditolong untuk lepas minuman tetapi kesadaran ini sangat susah dibangun dengan lingkungan yang penuh sekali dengan tempat jual minuman, orang-orang yang ikut minum, dan bahan-bahan untuk membuat minuman sendiri gampang dijangkau oleh semua warga, dari petani ke pegawai. Kelemahan ekonomi, sekaligus dengan ketagihan alcohol, mendorong partisipasi masyarakat dalam pembuatan minuman keras untuk menjual atau mengonsumikan dalam rumah pribadi.
Akibat dari gangguan kesehatan, tidak memperhatikan kebutuhan dasar diri sendiri dan keluarga, maupun kematian mempunyai dampak yang sangat buruk kepada generasi masa depan. Perasaan dan pernyataan dari Bapak-Bapak adalah bahwa generasi muda sangat sulit untuk membuat dan memelihara anak, dengan hasil nanti ke depan tidak ada keturunan lagi. Bapak Sem katakan:
Ini masalah untuk masa depan kita, kalau kita tidak tangani minuman yang sekarang berkembang secara liar di kota dan di kampung, kami akan habis, begitu saja.
Faktor yang mendorong milo: kondisi politik
Umumnya mereka berpendapat bahwa minuman keras secara sengaja dibawa masuk ke lingkungan hidup orang asli oleh pemerintah NKRI dan maksud dari tindakan itu adalah Umumnya mereka berpendapat bahwa minuman keras secara sengaja dibawa masuk ke lingkungan hidup orang asli oleh pemerintah NKRI dan maksud dari tindakan itu adalah
Indonesia sudah tahu kelemahan kita jadi mereka bawa masuk minuman alcohol untuk habiskan orang Papua...ini kan politik halus Indonesia yang masih berjalan sampai sekarang.
Menurut peserta kelompok ini, Indonesia membawa masuk minuman keras (whisky, spiritus dll) biar saat ini sudah terlarang oleh pemerintah daerah, terus masyarakat Indonesia juga bawa masuk pengetahuan tentang cara-cara membuat minuman lokal (air nenas) dan bahan terkunci, vernipan.
Bapak-Bapak merasa bahwa pembuatan dan penjualan milo sebenarnya didukung oleh pemerintah setempat karena, pertama, tidak ada tindakan untuk membasmi milo di tempat produksi atau tempat agen jualan, dan kedua, di antara mereka banyak sudah melihat bahwa aparat polisi seringkali terima minuman atau uang dari tempat produksi/jualan milo.
Solusi?
Kesimpulan dan rekomendasi dari Bapak-Bapak adalah untuk membuat semacam tim lapangan yang secara gelap/rahasia bisa caritahu di mana ada agen yang buat dan/atau jual minuman keras. Mereka ingin membangun jaringan yang lebih baik dengan pihak polisi supaya bisa ada intervensi langsung kepada tempat-tempat tersebut dan ketersediaan milo di kampung mereka bisa dikendalikan. Hukuman untuk membuat dan menjual milo juga harus lebih keras. Tetapi, menurut kaum Bapak ini, seperti dikatakan Bapak Jon,
Kami tidak bisa banyak harap sama pemerintah karena mereka tidak ambil tindakan untuk melihat masalah yang sangat berat ini. Mereka tidak peduli dengan nasib kita.
Ibu-Ibu (20 Juni 2012, 11 Peserta; 24 Juni 2012, 8 Peserta)
Pada kesempatan kita berbicara dengan ibu-ibu di kampung, kami mengajak mereka untuk menceritakan masalah minuman keras di lingkungan mereka, sekaligus dengan akibat- akibat minuman keras khusus kepada perempuan.
Akibat prevalensi milo/miras: Kekerasan, kemiskinan, dan penyakit
Ibu-Ibu sampaikan bahwa mereka yang paling banyak kena masalah akibat suami minum- mabuk di rumah. Mereka dimarahi, dipukul, dan diabaikan. Mereka tidak bisa dapat uang dari suami untuk masak makanan di rumah, beli sabun mandi dan sabun untuk mencuci pakaian, apalagi bayar uang sekolah anak-anak. Ibu Yuli katakan,
Kalau dia mabuk, dia berani bicara apa-apa pahadal dia biasanya malu atau takut mau bicara itu...Mereka biasanya keluar kata-kata kecurigaan sama istri, atau apa yang mereka tidak senang di dalam rumah tangga, semua mereka bicara.
Karena seringkali dapat marah dan pukul oleh suami yang sudah minum, Ibu-Ibu biasanya lari diri dari rumah dan lokasi sekitarnya kalau suami sementara minum-mabuk. Ini bisa menyelamatkan mereka dari kekerasaan tetapi bikin kacau di rumah karena anak-anak lagi dibawa lari atau dititip sama orang lain. Menurut Ibu Merry,
Kami ini susah sekali kalau suami minum, apalagi di membuat milo di rumah. Kami harus lari ke saudara terus dan minta tolong, tinggal dan makan di orang punya rumah.
Sebagai akibat, “Anak tidak bisa diurus baik dalam keadaan begitu” (Ibu Seli) dan, “Anak yang sudah besar sedikit seringkali dibiarkan biar saudara yang urus ” (Ibu Dessy). Terus kalau istri lari, suami bisa lebih marah lagi dan mencari dia dimana-mana sampai dapat dan
“pukul hancur.” Sementara kegiatan ini berjalan ada dua ibu yang justru kena masalah seperti ini, yaitu mereka lari dan dapat kejar oleh suami yang keadaan mabuk. Setelah ibu ditangkap oleh suami, suami pukul istri.
Ibu-Ibu juga menyadari bahwa suami seringkali minum-mabuk di tempat lain, dia paling juga sempat tidur dengan perempuan lain dan bisa membawa penyakit ke rumah. Tetapi yang menjadi masalah lebih berat untuk ibu-ibu: saat mabuk suami juga biasanya tuntut berhubungan sex akibat gairah sudah naik dengan keadaan beralkohol. Kalau ibu tidak mau berhubungan seks, bisa dipukul lagi atau diperkosa oleh suami.
Sebagai indicator sejauh mana ibu-ibu saat ini mengalami kesulitan karena prevalensi konsumsi alcohol oleh suami, Ibu Nelly mengatakan,
Kami minta tolong, apa saja ibu dorang bisa buat karena dulu saya tidak tinggal begini tapi sekarang kehidupan saya memang setengah mati.
Faktor lingkungan: Perubahan zaman dan penguatan kekuasaan laki-laki
Kalau seorang istri kena pukul atau masalah terus di rumah karena suami minum-mabuk, seringkali ibu susah atau memang tidak bisa minta cerai atau lapor kepada pihak polisi. Ibu-ibu sebut beberapa alasan.
Pertama, banyak antara saudara laki-laki setuju bahwa suami mempunyai hak untuk memukul istri. Menurut pihak tertentu, suami hanya boleh pukul istri kalau dia tidak menjalankan tugas ibu rumah tangga secara baik. Contoh yang diceritakan: kalau ibu tidak siapkan suami punya makanan, kalau ibu tidak menjaga anak-anak baik, kalau ibu tidak melayani laki-laki punya saudara dengan sediakan makanan, dan kalau ibu membuat suami merasa malu di depan keluarga. Adapun ibu-ibu yang setuju bahwa istri yang tidak menjalankan tugas boleh dapat pukul, tetapi bukan pukul hancur. Alasan mereka kasih, “Sekarang banyak perempuan jadi pemalas dan tidak kerja apa-apa jadi siapa tidak ganas kalau ada ibu tapi dia tahu rokok pinang saja” (Ibu Nelly).
Tetapi masalah yang ibu-ibu ceritakan, ada suami yang merasa bahwa mereka punya hak tidak terbatas, dan boleh memukul istri kapan saja mereka rasa ganas, mabuk, atau tersinggir oleh istri. Misalnya, “Saya pernah dapat pukul karena saya pulang tidak ada uang dan dia haus rokok” (Ibu Agustina).
Kedua, masalah kekerasaan susah dibatasi oleh ibu sendiri karena mas kawin yang dibayar oleh suami harus sebagian atau semua dikembalikan dan saudara yang telah terima mas kawin ini tidak semua setuju untuk membuat perceraian. Akhirnya ada ibu-ibu yang merasa takut dan sangat rumit mau cerai:
Saya takut saya punya saudara nanti bagaimana. Mereka mau bantu saya atau tidak. Karena di sini sudah ada pikiran kalau sudah kawin itu keluarga tidak tanggung jawab lagi, suami yang harus urus saya. (Ibu Marta)
Ketiga, masalah pemukulan dan kekerasaan lain di rumah jarang di bawa ke pihak polisi karena ada perasaan bahwa polisi tidak bisa menolong mereka, dan justru lapor ke polisi akan menciptakan persoalan lebih besar di rumah, termasuk kekerasaan yang lebih jahat.
Ketiga, seperti Ibu Yeni katakan, “Saya kenapa kawin gereja, cuma itu yang saya pikir,” dalam arti, yang kawin gereja susah mau cerai daripada yang kawin adat. Dan, yang kawin
gereja kadang-kadang tidak memenuhi semua kebiasaan adat, akhirnya saudara yang tersinggir tidak ingin membantu ibu lagi kalau masalah kekerasan menjadi dalam rumah tangga.
Kesimpulan dari Ibu-Ibu adalah bahwa minuman keras saat ini sudah banyak tersedia di Wamena dan semua laki- laki “ingin coba” dan ingin mabuk terus karena merasa enak, “jago”, dan “berani”. Keadaan ini tidak seperti 3-5 tahun lalu.
Solusi?
Rekomendasi dari Ibu-Ibu adalah bahwa bahan vernipan tidak boleh tersedia secara bebas seperti sekarang dan harus dikontrol supaya hanya orang yang perlu membuat kue bisa mendapatnya.
Rekomendasi kedua adalah bahwa ada rehabilitasi lewat gereja atau keluarga untuk duduk sama-sama dan berbicara soal minuman di dalam rumah tangga itu.
Ketiga, masyarakat asli harus secara terbuka berbicara masalah kekerasaan terhadap perempuan, karena laki-laki kebanyakan menganggap istri boleh dipukul kapan saja dan keluarga menganggap bahwa kalau sudah kawin suami punya hak untuk memuku istrinya. Apalagi kalau belum bayar mas kawin, perkembangan yang seringkali muncul saat ini, keluarga pihak perempuan akan lepas tangan.
Muda-Mudi (24 Juni 2012, 20 peserta) Akibat buruk milo/miras
Muda-mudi sangat sadar bahwa minuman keras adalah masalah besar untuk orang remaja dan orang Wamena secara umum. Welem menceritakan perasaan tentang perkembangan milo sebagai “tradisi moderen” yang berkembang dibawah pemerintahan Indonesia:
Saya tidak alami zaman dulu tapi menurut cerita orang tua, zaman dulu waktu belum ada pemerintah, kami hidup sangat sederhana dan bahkan orang tua umur panjang…tetapi saat pemerintah masuk itu mulai macam-macam jenis makanan
dan bermacam-macam jenis minuman masuk dan itu mulai impor ke dalam Jayawijaya akhirnya orang mulai belajar. Dari situ ada kesadaran kami orang Balim itu untuk in gin coba dan ingin minum akhirnya saat ini….saat ini menjadi tradisi, tradisi modern, hal ini merusakkan kami.
Banyak muda-mudi mengungkapkan perasaan khawatir bahwa minuman akan menghabiskan masyarakat asli. Lilis mengatakan:
Kalau seandainya memang pemerintah belum atasi, hal ini tetap akan berkembang di Jayawijaya. Dan satu per satu kami akan habis. Kami akan habis dengan minuman.
Mereka juga merasa bahwa banyak masalah yang sudah muncul sebagai akibat dari mengunsumsi milo, termasuk kekerasan dan penyebaran penyakit HIV. Menurut Paulus,
Masalah pembunuhan, perkosaan, jadi di sini pada saat ulang tahun, orang suka adakan acara malam, acara goyang. Pada saat minum, muncul pikiran yang tidak baik. Terjadi conflik, pembunuhan antara teman dengan teman. Juga, mudah sekali menjadi pasangan. Penyakit pindah dari orang ke orang, di wamena ini penyakit HIV sangat beredar. Semakin lama orang Papua akan habis.
Apa yang mendorong prevalensi miras/milo?
Tentang factor-faktor yang mendorong kelakuan minum-mabuk antara muda-mudi, mereka tunjukkan beberapa hal.
Pertama, ada perasaan bahwa muda-mudi kurang dididik oleh orang tua dalam keluarga, ataupun ada orang tua yang sering minum dan kelakuan itu mempengaruhi anaknya untuk ikut minum. Men urut Vero, “Kami ingin hidup bebas,” biar akibat dari minuman termasuk pembunuhan, perkelahian, pertengkarang, dan otak maupun fisik yang terganggu dan menjadi lemah.
Kedua, muda-mudi mengungkapkan bahwa mereka minum untuk melampiaskan perasaan malu yang muncul dalam beberapa hal- hal. Bony katakan, “Mau melaksanakan secara Kedua, muda-mudi mengungkapkan bahwa mereka minum untuk melampiaskan perasaan malu yang muncul dalam beberapa hal- hal. Bony katakan, “Mau melaksanakan secara
pacaran mau laksanakan secara sadar itu malu. Akhirnya melampiaskan malu itu dengan konsumsi miras, ak hirnya malu hilang dari pikiran” (Bony). Bony juga mengatakan bahwa,
Miras ini berkembang karena orang-orang tertentu yang melaksanakan agen ini karena dia sudah malas bekerja lagi. Karena dengan itu dia anggap itu gampang untuk mendapatkan dan menjamin dia punya hidup. Karena harganya juga mahal, banyak konsumsi.
Di kalangan muda-mudi banyak juga merasa bahwa orang Wamena kurang ikuti ajaran agama atau adat.
Kami tidak ikuti aturan agama dan adat. Kalau kita ikuti di adat karena ini peraturan yang pertama sudah ada itu nanti hal hal begini jelas tidak akan masuk. Karena ini kita sudah melanggar. Apalagi gereja punya aturan sudah masuk lagi. Miras sangat dilarang oleh gereja. (Laorens)
Kondisi politik dan penanggungjawab pemerintah
Ada pemikiran antara muda-mudi bahwa pejabat dan polisi sendiri sudah terlibat dalam mengonsumikan banyak milo dan/atau menjual milo. “Yang konsumiskan milo kebanyakan dari pemerintah sendiri.”
Mereka mempunyai tanggapan begini karena seringkali mereka tahu posisi agen milo tetapi tidak ada tindakan dari pihak polisi atau pemerintah. Muda-mudi merasa kecewa dan mengeluarkan emosi bahwa, “Pemerintah biasanya banyak yang konsumsi miras padahal mereka yang sendiri sudah buat Perda. Tapi mereka sendiri yang melanggar Perda itu.” (Peserta Perempuan)
Peserta lain merasa bahwa “Vernifan harus dilarang dan tidak dijual lagi di Jayawijaya.” Terkait dengan masalah ini peserta merasa bahwa “orang bandara” terima sogok dan membiarkan produk terlarang masuk di Wamena, termasuk “kami punya pejabat sendiri”. Oleh karena situasi begini, ada yang mengatakan bahwa, “Pemerintah kurang ada penanganan, dalam hal apa saja.”
Kondisi budaya saat ini dan perasaan muda-mudi
Selain dari mengengali minuman keras secara langsung, peserta juga merasa aka peran untuk organisasi budaya/adat dan gereja untuk membantu anak-anak mengindari dari minuman alcohol. Elva berkata,
Kita seakan-akan itu bunuh diri. Jadi itu tergantung dari kita iman masing masing. Belum ada kesetiaan dan belum mendalami iman secara benar sebagai orang kristiani.
Dari sisi budaya, muda-mudi mengeluarkan beberapa wawasan yang penting dan menarik untuk pengertian kami tentang pemakaian alcohol. Selain dari masalah percaya diri, perasaan malu, perubahan zaman dan keadaan politik yang sudah diceritakan, mereka merasa bahwa budaya asli menjadi factor yang mendorong kelakuan minum-mabuk. Contohnya, Petrus menjelaskan secara mendalam,
Saya minta maaf karena saya juga tukang minum, saya selama ini juga rasakan, tapi tidak tahu akibatnya dari mana. Saya gampang diajak, orang ajak itu tidak pernah bilang malas….Saya ingin sadar tapi kadang karena diajak, ikut lagi. Contohnya macam ada rapat, tapi diajak dari teman lain untuk melakukuan hal hal yang tidak sebenarnya dilakukan saya ikut jalan di situ dan rapat ditinggalkan. Sebenarnya ingin ikut tapi dengan keinginan dan kemauan kesitu makanya kesitu dan ini sebenarnya harus ditinggalkan. Menurut saya sebenarnya ingin sadar. Tapi dengan minuman keras telah diajak, ikut.
Sesudah Petrus katakan yang tersebut, teman lain menambah, Kesetiaan kawan. Kami orang Wamena lembah, kesetiaan kawan, mungkin nomor
satu. Biar bilang sudah berhenti tapi teman kasih, tidak mungkin sekali kita tolak. Itu tidak mungkin.
Lain mengatakan keinginan ‘coba’, Kita orang Wamena ingin coba. Kita sudah tahu, seandainya teman jalan ya, yang
meninggal gara gara dia miras begitu contoh tapi kita tidak pernah menyadari. Dia meninggal itu gara gara apa? Baru kita mau ingin lagi. Kenapa sampai sering terjadi begitu? ”
Solusi?
Secara umum, muda-mudi merasa bahwa kurang ada sosialisasi dan kesadaran tentang minuman.
Mungkin karena beraktivitas sampai karena kecapaican kelelahan, Langsung konsumsi yang mentah-mentah, tubuh terbakar dalam dan mereka langsung meninggal dunia.
Solusi atau rekomendasi yang disampaikan oleh muda-mudi termasuk pelakasaanan hukum/larangan minuman yang sudah ada secara benar. Andi merasa bahwa,
“Pemerintah hanya buang suara,” sementara Elius katakan, “Dong Cuma bicara, bicara, bicara tapi tidak ada tindakan di lapangan.” Lain katakan, “Polisi sendiri punya tempat [jual minum.”
Yayasan Yukemdi Peduli AIDS (22 June 2012, 9 peserta) Keadaan milo sekarang: perubahan sosial, perubahan jender
Staff Yukemdi pada umumnya adalah orang asli Wamena. Mereka mempunyai banyak pengalaman di tengah masyarakat, di jalan, dan dengan kaum muda sebagai konselor HIV yang mendidik tentang HIV atau mendampingi klien pada saat tes HIV atau sudah positif HIV. Kebanyakan merasa bahwa minuman keras tiba-tiba meningkat banyak sekali di Wamena dan sekitarnya, khusus minuman local atau milo yang dibuat di rumah pribadi. Tapi peningkatan kelakuan minum- mabuk lebih umum disebabkan oleh “perubahan zaman” dan khususnya sifat laki-laki dalam perubahan ini. Contohnya,
Pengaruh zaman ini, banyak hal hal baru dari luar yang tidak baik tapi ada perasaan ingin coba yang paling kuat di kalangan muda mudi.
Kata peserta, Dulu masyarakat tidak bisa menjangkau minuman keras tetapi karena sudah tahu
membuat air nenas sendiri dan bahan-bahan juga tersedia dan murah, terus tempat buat/beli juga semakin lama semakin banyak, akhirnya sekarang alcohol gampang sekali terjangkau dan tidak mahal lagi.
Oleh karena milo itu hal baru, “Kelakuan mabuk dicoba oleh semua umur dan jender dan kelakuan mabuk seringkali menjadi kebiasaan yang turun menurun dari Bapak, Kakak, Om, kepada yang masih muda. ”
Perubahan sosial lain adalah acara malam yang dulu hanya kadang-kadang diadakan tetapi sekarang bisa menjadi hamper tiap malam di tiap kampong. Ini juga terjadi karena listrik sudah disambung di banyak kampung sekitar Wamena kota jadi penghuni desa juga bisa memutar lagu dan pasang lampu pada acara malam. Kegiatan minum-mabuk sering terjadi di acara-acara tersebut yang tidak diawasi atau diamankan oleh orang tua atau pihak lain.
Biar mi-lo bisa dikonsumsi oleh semua pihak masyarakat, ada perasaan bahwa laki-laki yang lebih cenderung tertarik kepada mi-lo.
Beralkohol itu paling banyak laki-laki yang minum dan ini terkait dengan perasaan laki-laki, macho, jago, dll. Dia minum depan teman-teman dan bertindak seperti jago. Tidak malu lagi tapi justru percayaan diri menjadi tinggi sekali. (Freddy)
Pihak kepolisian dan pemerintah
Perubahan lain yang ditunjuk oleh peserta ada keberadaan pihak lain yang mendorong minuman keras tetapi tidak dipengaruh oleh pemimpin adat atau kepala suku maupun pejabat yang ingin mengendalikan produksi dan konsumsi mi-lo, yaitu polisi dan pendatang.
Pendatang juga membuat minuman dan menjual vernipan banyak kepada agen yang mau buat minuman. (Peserta)
Polisi menjual dan membeli milo dan/atau terima minuman atau uang untuk biarkan tempat-tempat itu. (Peserta)
Peserta menjelaskan bahwa dari pemerintah sudah ada Perda tetapi tidak ada tindakan, minuman dibiarkan dibawa naik ke Wamena lewat pesawat dan tempat buat mi-lo tidak dibasmikan. Tidak ada pelaksanaan atau realisasi dari apa yang pemerintah pernah bicara, yaitu bahwa mi-lo tidak boleh dibuat. Pernyataan ini diperkirakan sangat tidak cukup untuk menangani masalah yang muncul akibat minuman keras yang sudah bersedia secara luas di kalangan masyarakat.
Akibat dari prevalensi milo: HIV, pemerkosaan, kematian
Ada kematian secara langsung dan tidak langsung akibat minuman keras. Yukemdi sebagai yayasan yang tangani HIV/AIDS melihat bahwa sebenarnya minuman lokal menjadi factor nomor satu yang mendorong epidemic HIV di Wamena. Ada beberapa aspek:
Karena alcohol, orang lebih cenderung untuk melakukan sex pra dan luar nikah, dan tidak pernah pikir kondom. (Sali)
Pengaruh alcohol pemerkosaan juga sering terjadi di dalam rumah tangga maupun di luar. Kedua, “karena dia seringkali minum dan melakukan seks sembarang, laki-laki (bisa juga perempuan) membawa pulang penyakit kepada istri/suami. ”
Pada saat acara malam, minuman justru membuat muda-mudi berani untuk melakukan seks, dan banyak seks bebas terjadi di acara tersebut. Peserta menambah, “Mereka bikin sex bergantian, satu perempuan dengan laki-laki lima. ”
Untuk kalangan yang sudah berisiko tinggi, seperti anak-anak jalanan, becak-becak, pekerja dan seks jalan, peserta mengatakah, “Alkohol mempengaruhi kelakuan seks bebas, cium aibon, nonton pornografi. Bahan-bahan ini saling mempengaruhi kelakuan anak-anak muda. ”
Dari sisi pengobatan, masalah kelakuan minum-mabuk juga muncul. Mereka yang peminum “susah diobati” dan bisa ditolak untuk mengobati karena mereka tidak datang secara rutin, tidak datang pada waktu tertentu. Terus pengaruh minuman, mereka yang positif seringkali masih melakukan sex tanpa kondom dan menyebarkan penyakit HIV. Pengaruh ketagihan dengan minuman keras, peserta mengatakan, “Klien seringkali tidak ingat makanan dan tidak hidup secara sehat dengan akibatnya cepat sakit dan meninggal dunia. ”
Solusi?
Setahu peserta Yukemdi, sampai sekarang tidak ada program dari pemerintah atau LSM yang tujuan menangani masalah minuman keras atau ingin merehabilitasi yang sering disebut sebagai “tukang mabuk.” Hanya yayasan yang kerja masalah lain, seperti HIV, pelanggaran HAM, dan kekerasan dalam rumah tangga, seringkali secara tidak langsung harus menghadapi masalah mi-lo.
Jadi harusnya ada dukungan terhadap program LSM yang menyangkut milo, dan/atau lembaga yang khusunya focus terhadap mengurangi akibat buruk dari milo.
Dari sisi lain, hanya tindakan dari pemerintah dan perubahan dalam keterlibatan pihak keamanan dalam prevalensi milo bisa atasi masalah ini.
Yayasan Humi Inane (Wamena, 30 Juni, 3 peserta) Akibat milo: kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan negara
Staff Yayasan Humi Inane melihat masalah milo dari sisi kekerasaan yang dialami oleh perempuan (ibu dan anak) yang disebabkan oleh laki-laki, dan kekerasaan yang dilakukan pada masyarakat asli oleh pihak keamanan (Polisi, Brimob, Tentara, dll). Yayasan ini sering membantu korban perempuan untuk membuat laporan dan mengurus masalah antara pelaku dan korban. Mereka juga menolong laki-laki yang seringkali minum-mabuk, memukul istri atau orang lain, atau perkosa perempuan dan menghadapi masalah dari keluarga korban.
Kekerasan dalam rumah tangga tidak selalu dilaporkan kepada polisi, malah masyarakat selesaikan masalah secara pribadi dengan cara adat yang dipimpin oleh pihak netral di kampong. Kalau kekerasan terjadi Antara orang yang tinggal di district lain, atau menyangkut masalah berat seperti pembunuhan, pihak kepolisian bisa dipanggil sebagai mediator. Kalau masalah kekerasan tidak diselesaikan dengan baik dan dengan pembayaran denda, pihak korban bisa membalas dendam.
Kami sekarang membuat kelompok konseling untuk laki-laki yang sering mabuk dan berkelahi dengan orang akibat tidak control diri lagi. Kami bicara tentang kenapa dia minum, bagaimana dia bisa berhenti dan kalau dia minum, bagaimana bisa amankan diri dari orang dan hindari konflit.
Tetapi kebanyakan pekerjaan peserta ini adalah menolong korban perempuan yang dipukul atau diperkosa. Menurut staff, hampir 100% insiden yang mereka tangani menyangkut kerekasan terhadap perempuan oleh laki-laki yang sedang dibawa pengaruh minuman.
Pada saat suami mabuk, dia sangat mengganggu keamanan di rumah tangga. Dia kasih hancur barang, dia tuntut berhubungan seks, dia tuntut makanan padahal uang tidak ada. Kesalahan kecil apapun dia bisa serang istri dan anak dengan emosi yang tidak dikontrol. Yang minum dengan teman-teman bisa minum berhari-hari, dan bisa sebut alasan malu kalau istri tidak layani mereka dengan makanan atau kalau istri terlihat tidak jaga anak baik sampai mereka menganggu bapanya. Ini bisa menjadi alasan untuk pukul istri. Dari sisi lain, saat mabuk suami bisa angkat masalah yang lama atau yang sulit untuk bicara secara sadar. Istrinya mungkin ada pikiran untuk melarikan diri supaya hindari masalah seperti ini, tetapi ada yang takut bahwa suami akan kejar dia dan bikin masalah di tempat lain. Apalagi, suami bisa lebih marah lagi dan pukul hancur dia.
Hambatan lain: kekurangan program yang focus pada penyebab kekerasaan
Korban perempuan kebanyakan tidak mau diantar ke rumah sakit kecuali dalam kondisi darurat, tetapi menurut aturan hukum kalau korban mau melapor ke pihak keamanan harus membawa laporan dari doctor yang menyaksikan luka-luka yang dialami oleh korban. Laporan tersebut bisa ditulis oleh dokter mana saja. Tetapi, membuat laporan tersebut bisa kenakan biaya sebesar 300.000 rupiah, jadi sering terjadi korban yang tidak mampu membayar biaya ini. Yayasan memiliki dana terbatas dan kebanyakan dana bisa dihabiskan dengan biaya-biaya seperti ini, daripada memberikan bantuan langsung kepada korban, atau melaksanakan kegiatan untuk merehabilitasikan pelaku.
Untuk menolong perempuan yang alami kekerasan di kampong, Yayasan mengimplementasikan program ‘Kampung Bebas Kekerasan’ dan melatihkan perempuan kampong untuk menjadi pelapor kekerasan. Tetapi, penyebab-penyebab kekerasan baik di dalam rumah tangga maupun kampong dan kota kurang diperhatikan oleh pihak donor dan pemerintah setempat.
Klinik Kalvari (18 June 2012, 10 peserta) Akibat dari prevalensi milo: penularan HIV, peningkatan kekerasan, pembayaran denda,
dan stigmatisasi orang Wamena
Staff Klinik Kalvari sering melihat akibat buruk dari penularan minuman keras dan minuman local di Antara masyarakat asli Wamena, yaitu orang yang terinfeksi HIV. Menurut pengamatan staff yang dilakukan konseling dengan pasien, seringkali terjadi bahwa laki-laki saat beralkohol melakukan seks diluar nikah, mungkin dengan perempuan jalan.
Kami di klinik temu banyak akibat dari minuman, nomor satu orang saat minum tidak sadar melakukan seks dengan bebas dan kena HIV. Bukan dengan istri atau pasangan tetap tapi mungkin perempuan jalan. Kalau dia dating kami bilang terinfeksi HIV kadang dia kaget tapi dia juga tahu, dari kesalahan dia. (Grecia)
Ada yang punya masalah dengan istri, keluar minum, tidur dengan perempuan lain. Lain ada yang kerja diluar daerah jadi tidak sama-sama dengan istri. Jadi banyak kalau ada laki laki positif kita biasa suruh bawa istri tes juga. Kalau istri positif, dia biasanya kaget. ‘Saya selalu di rumah baru kenapa saya bisa kena ini, paling suami saya yang bawa.’Lain ada ibu yang suami sudah meninggal. Dia mungkin biasanya jualan malam seperti jual pinang di pinggir jalan, mungkin pada saat begitu karena dia juga butuh uang dia berhubungan. Waktu dia sakit dia datang periksa dia juga positif. Saat dia jalan dengan laki laki itu mungkin mereka juga minum sama-sama. (Grecia)
Mengonsumsikan alcohol dan kebiasaan minum juga menjadi hambatan dalam penanggulangan dan pengobatan HIV.
Kami biasanya saran pasien untuk tidak minum alcohol, tetapi pada saat dia mulai rasa sehat, ada banyak teman teman punya kebiasaan minum, dia akan datang ke klinik tidak sesuai dengan jadwal control. (Tina)
Penularan HIV adalah satu akibat dari mengonsumsikan milo. Hasil lain adalah bahwa kekerasan sering terjadi Antara keluarga, suami-istri, teman dan saudara. Kekerasan ini bisa menyebabkan hukum adat seperti denda pembayaran babi 30 ekor sampai 200 ekor sesuai dengan keadaan korban. Serli menunjukkan, “Pembayaran ini tidak bisa dihapus karena alasan minum atau mabuk. Harus bayar.” Seringkali anggota keluarga semua disuruh sumbang untuk membayar denda, dengan akibat bahwa tidak memiliki harta untuk kebutuhan lain seperti biaya sekolah, perbaiki rumah, sumbangan mas kawin atau pada saat ada acara duka.