PROFIL INDUSTRI PEMBEKUAN PERIKANAN INDONESIA
3.4 Lokasi Perusahaan Pembekuan Perikanan
Rata-rata selama tahun 2006 – 2011, 53 perusahaan berlokasi di Pulau Jawa, sedangkan 47 sisanya terletak di luar Pulau Jawa. Berdasarkan Tabel 4.3 maka lima besar wilayah dengan kepadatan jumlah perusahaan secara berurutan adalah Jawa Timur (22), Sulawesi (21), Jawa Tengah (18), Sumatera (10), dan Kalimantan (7). Karena kode KLUI industri baru dipisah sejak KBLI 2009 terbit, analisis jenis perusahaan berikut ini menggunakan data terbaru tahun 2012. Dari 353 unit perusahaan pada tahun 2012, 66,5 nya merupakan industri pembekuan ikan, sedangkan 33,5 nya merupakan industri pembekuan udang. Jika dilihat per KabupatenKota, secara berurutan perusahaan pembekuan ikan banyak berlokasi di Banyuwangi, Bitung, Jakarta Utara, Makassar, Pasuruan, dan Denpasar, sedangkan perusahaan pembekuan udang banyak berlokasi di Tarakan, Medan, Lampung Timur, Sidoarjo, dan Pangkajene. Namun distribusi ini boleh jadi sangat berbeda dari sebelumnya, khususnya sebelum tragedi tumbangnya 80 unit perusahaan pada tahun 2009 akibat krisis global.
Tabel 4.3 Sebaran Perusahaan Pembekuan Perikanan di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa Tahun 2006 – 2011 (dalam unit)
Pulau Jawa
Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur
Luar Pulau Jawa
Tahun
Maluku- Jumlah
Sumatera
Bali-NST
Kalimantan
Sulawesi
Papua
Sumber : BPS, Industri Besar Sedang (diolah)
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Maluku
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Selatan
6 Sulawesi Utara
10 Bali 4
Gambar 7.3 Lokasi Perusahaan Pembekuan Ikan Menurut Propinsi Tahun 2012
Sumber : BPS, Industri Besar Sedang (diolah)
Papua Barat
8 lainnya
Sulawesi
24 Sumatera Utara
Jawa Timur
Gambar 8.3 Lokasi Perusahaan Pembekuan Udang Menurut Propinsi Tahun 2012
Sumber : BPS, Industri Besar Sedang (diolah)
3.5 Perkembangan Ekspor Impor Perikanan Beku
Pengolahan secara modern seperti pembekuan umumnya ditujukan untuk komoditas ekspor (KKP, 2007). Daerah pemasaran ekspor antara lain ke Amerika, Jepang, Uni Eropa, Thailand, dan China. Selama periode 2006 – 2011 nilai ekspor perikanan beku tumbuh negatif dengan rata-rata -3,4. Krisis global saat itu berimbas kepada lesunya permintaan perikanan beku sehingga pada tahun 2009 ekspor menurun -31 dari tahun sebelumnya. Sementara peningkatan yang terjadi pada tahun 2010 – 2011 disebabkan oleh lonjakan permintaan udang beku Indonesia yang berstatus bebas penyakit EMS. Dari hasil perhitungan data ekspor selama periode tersebut, Propinsi Jawa Timur menyumbang 28 dari rata-rata keseluruhan nilai ekspor, diikuti Kalimantan Timur 19, Sulawesi Selatan 13, dan Sumatera Utara 7. Di sisi lain impor perikanan beku Indonesia justru meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 37,3. Impor ini sebagian besar didatangkan dari China, Kanada, dan USA. Hal tersebut bisa jadi disebabkan pengenaan tarif masuk yang rendah. Mendatangkan produk perikanan beku dari China dikenakan tarif sebesar 0, sedangkan dari Kanada dan USA sebesar 5. Impor tersebut diduga dikonsumsi habis untuk domestik sebab data perikanan beku yang kembali diekspor (re-export) sebesar 0 unit.
Tabel 5.3 Pertumbuhan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Perikanan Beku Indonesia atas Harga Konstan Tahun 2005, 2006 – 2011 (ribu USD)
Rerata pertumbuhan ()
Sumber : UN Comtrade, diolah
Gambar 9.3 Distribusi Volume Ekspor Perikanan Beku Indonesia berdasarkan Negara Tujuan Tahun 2010 – 2013 (rata-rata persen)
Sumber : UN Comtrade diakses melalui WITS, diolah 9
Gambar 10.3 Distribusi Volume Impor Perikanan Beku Indonesia berdasarkan Negara Asal Tahun 2010 – 2013 (rata-rata persen)
Sumber : UN Comtrade diakses melalui WITS, diolah
Karena KKP masih menggabung pencatatan ekspor dan impor antara ikan segardingin hasil industri hulu dan ikan beku hasil industri hilir, data ekspor dan impor diambil dari UN comtrade. Data ini menggunakan HS 2007 dengan kode 030421; 030422; 030429; 030611; 030612; 030613; 030614; 030619; 030710; 030729; 030739; 030749; 030759; 030760; dan 030799. Komoditas ikan hanya dihitung dari eksporimpor bentuk fillet, tidak mengikutsertakan ikan utuh HS 0303.
Dari rata-rata volume ekspor, krustasea berkontribusi 53, diikuti ikan
26, dan moluska 21. Di dalam golongan krustasea, udang beku berkontribusi
93. Dari rata-rata ekspor udang beku (frozen shrimps and prawns HS 030613) selama tahun 2000 – 2013, Vietnam menduduki peringkat teratas dengan rata-rata ekspor 189 ribu ton, India 166 ribu ton, Thailand 155 ribu ton, Ecuador 115 ribu ton, Indonesia 111 ribu ton, China 93 ribu ton, dan Malaysia 42 ribu ton. Penurunan yang terjadi di China pada tahun 2007 – 2008 adalah dampak dari keputusan US FDA tentang larangan impor beberapa jenis bahan makanan dari China. Salah satunya adalah produk udang beku yang ditepungi yang ditemukan mengandung obat-obatan berbahaya. Penurunan drastis di Thailand dan Vietnam sejak tahun 2011 disebabkan wabah penyakit EMS yang menjangkit para petani udang. Pada tahun 2013, produksi udang budidaya Thailand menurun hampir 60 dari sebelumnya. Pada tahun tersebut 80 area Mekong Delta, Vietnam, sudah terinfeksi EMS dan mendorong para pembudidaya untuk menggunakan antibiotik ethoxyquin yang hal ini kemudian justru memunculkan masalah baru untuk masuk pasar Jepang. Produksi diintensifkan di Indonesia dan India yang berstatus bebas EMS untuk mengisi kekosongan suplai udang di dunia.
Thailand Indonesia
China 0 Malaysia
Gambar 11.3 Grafik Volume Ekspor Udang Beku Indonesia Beserta Pesaingnya di Pasar Internasional Tahun 2000 – 2013 (ribu ton)
Sumber : UN Comtrade, diolah
3.6 Kendala dan Masalah Industri Pembekuan Perikanan
3.6.1 Tingkat Utilisasi Belum Optimal
Belum optimalnya utilitas kapasitas industri dari kapasitas terpasangnya. Para pengusaha banyak mengeluhkan jika pabrik mereka kekurangan bahan baku. Peneliti menduga hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, aktivitas ekspor ikan mentah gelondongan, seperti 70 ikan tuna dari total tangkapan
langsung diekspor ke luar negeri. 10 Kedua, kurangnya cold storage sehingga tidak mampu menyerap dan mengatur lalu lintas pasokan bahan baku dari industri hulu
ke industri hilir saat terjadi oversupply. Faktanya jumlah cold storage milik Indonesia hanya 30 dari milik Thailand yang padahal Thailand sendiri tidak
termasuk sepuluh negara produsen perikanan tangkap terbesar di dunia. 11
Tabel 6.3 Tingkat Utilitasi Kapasitas Industri Pengolahan Perikanan
Sumber : Kementerian Perindustrian
Seandainya para pengusaha berinisiatif mendatangkan bahan baku impor akan menjadi sulit karena Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah mengatur larangan impor ikan dalam SK Dirjen Kelautan dan Perikanan No. 231 Tahun 2011 tentang pengaturan jenis-jenis ikan yang dapat diimpor. Meskipun begitu statistik menunjukkan bahwa bahkan sebelum dikeluarkannya kebijakan larangan
10 Wiji Nurhayat, “70 Tuna Indonesia diekspor ke Thailand hingga Jepang”. http:finance.detik. comread2014041013184425511531036270-tuna-indonesia-diekspor-ke-thailand-hingga-
jepang, diakses pada 12082014
11 Fauzul Muna, “Industrialisasi Perikanan : Cold Storage Tanah Air hanya 30 dari Thailand”. http:industri.bisnis.comread2014071599243295industrialisasi-perikanan-cold-storage-di-
tanah-air-hanya-30-dari-thailand, diakses pada 12082014 tanah-air-hanya-30-dari-thailand, diakses pada 12082014
Tabel 7.3 Kontribusi Bahan Baku Impor Industri Pembekuan Perikanan atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005, Tahun 2006 – 2011 (persen)
Bahan Baku
Kontribusi Bahan
Tahun
Total Bahan Baku
Impor
Baku Impor ()
Sumber: BPS, Industri besar sedang (diolah)
Perdebatan mengenai banjirnya ekspor ikan gelondongan mungkin karena ikan harganya sangat mahal bila dapat dijual dalam keadaan hidup, berikutnya turun harga secara berurutan ke bawah, ikan segar, ikan beku, ikan kaleng, ikan
asin dan tepung ikan. 12 Meskipun begitu tindakan tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat UU No.452009 Pasal 25 B bahwa pengeluaran hasil produksi
usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan nasional. Jika tidak segera dibenahi, konflik kepentingan antara pengusaha yang ingin mendapatkan untung besar dengan cara menjual ikan dalam bentuk mentah dan pemerintah yang menginginkan multiplier effect dari keberadaan pabrik-pabrik pengolahan perikanan akan terus menjadi masalah. Di satu sisi peneliti menilai masalah kekurangan bahan baku ini juga tidak bisa dinyatakan sebagai masalah industri pengolahan, justru sebaliknya adalah masalah industri hulu (perikanan tangkap dan perikanan budidaya) oleh karena ketidakmampuannya menyediakan bahan baku bagi industri hilir.
12 Soen’an Hadi Poernomo, “Dilema Industri Perikanan”.http:103.7.52.50index.phparsipc853 DILEMA-INDUSTRI-PERIKANAN-?category_id=, diakses pada 04032015
3.6.2 Hambatan Tarif dan Non-Tarif
Rangkuti (2012) dalam penelitiannya menulis bahwa salah satu tujuan dari kesepakatan World Trade Organization adalah untuk meningkatkan transaksi perdagangan produk pertanian dunia termasuk didalamnya produk perikanan dengan cara meminimalisasi hambatan berbentuk tarif dan nontarif. Dalam perkembangannya, penerapan hambatan tarif tidak bisa lagi diandalkan oleh sebuah negara sebagai kebijakan proteksi karena komitmen para anggota WTO yang terus menurunkan tarif impor. Begitu juga dengan kebijakan kuota impor, subsidi ekspor, dan berbagai bentuk hambatan non tarif lainnya.
Uni Eropa sebagai salah satu sasaran penjualan produk perikanan beku adalah yang paling tinggi dalam memberlakukan kebijakan tarif ketimbang Jepang dan Amerika. Contoh sejak tahun 2000 hingga sekarang untuk produk udang beku Indonesia, Amerika mengenakan tarif masuk impor MFN sebesar 0 dan Jepang
1, sementara Uni Eropa 12,75.
Tabel 8.3 Tarif Impor Udang Beku dan Fillet Beku Indonesia di Uni Eropa
Udang beku (HS code 030613)
Fillet beku (HS code 030420)
Tahun
Tahun
MFN Tariff
GSP Tariff
MFN Tariff
GSP Tariff
Sumber : TRAINS diakses melalui WITS
Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) yaitu semacam perjanjian preferential antara negara-negara Uni Eropa untuk memberlakukan penurunan tarif impor terhadap komoditas dari negara-negara berkembang. Di Indonesia, eksportir yang ingin mendapatkan reduksi tarif melalui skema GSP di Uni Eropa harus memiliki SKA (Surat Keterangan Asal) yang dapat diurus di Kementerian Perdagangan. SKA ini juga nanti bisadigunakan untuk penelusuran (traceability) negara produsen produk
tersebut. 13 Meskipun tampak ada keringanan melalui preferential tariff, ekspor perikanan ke Uni Eropa juga masih adalah wilayah paling complicated dalam hal
regulasi terkait standar kesehatan dan keamanan produk pangan. Kebijakan ini muncul seperti bentuk baru dari hambatan non tarif.
Tabel 9.3 Daftar Regulasi Standar Keselamatan Pangan di Uni Eropa
Council Directive
1997 Aturan umum mengenai penerapan sistem
9778EC
border control untuk produk-produk yang masuk ke kawasan Uni Eropa yang berasal dari negara-negara dunia ketiga dimana didalamnya termasuk produk jenis pangan dan bahan pangan yang berasal dari hewan
Council Directive
2001 Tentang aturan umum standar keselamatan
9259EC
produk
EC No. 7052001
2001 Kebijakan proteksi khusus untuk beberapa
produk perikanan yang berasal dari indonesia
EC No. 4662001
2001 Tentang taraf maksimum bagi pencemar
tertentu dalam bahan pangan. Diantaranya mengatur taraf timbal, kadmium, raksa, dan logam berat dalam bahan pangan termasuk produk hasil pangan.
Simamora, S Dinati. Langkah dan Strategi Ekspor ke Uni Eropa : Produk Udang, 2014.
EC No. 1782002
2002 Tentang prinsip umum dan persyaratan hukum
pangan, pembentukan otoritas keamanan pangan eropa, dan penetapan prosedur yang terkait dengan keamanan pangan.
EC No. 8522004
2004 Ratifikasi SPS dari WTO dan standar
keamanan bahan pangan yang termuat dalam codex alimentaris. Persyaratan umum produksi primer, persyaratan teknis, HACCP, dan pendaftaranpengakuan usaha makanan.
EC No. 8532004
2004 Tentang peraturan kesehatan spesifik untuk
pangan asal hewan, berupa pengakuan dari perusahaan, identifikasi penandaan, impor, dan informasi rantai pangan
EC No. 2362006
2006 Larangan ekspor produk perikanan indonesia
yang mengandung logam berat serta histamine.
Sumber : Direktorat Jendral Pemasaran Produk Hasil Perikanan KKP, 2011
Regulasi-regulasi tersebut semakin memperketat masuknya produk pangan Indonesia termasuk produk perikanan beku ke Uni Eropa. Disamping itu sebagian besar pabrik pada saat proses produksi juga diduga masih menggunakan zat kimia untuk tujuan tertentu, seperti daya tahan dan penampilan produk dan sebaliknya justru mengabaikan pentingnya proses metal detection. Kedua hal tersebut berakibat kepada tingginya kasus penolakan ekspor. Berdasarkan tingginya kasus sejak tahun 2004 maka pada tahun 2006 Uni Eropa menerbitkan Council Decision No.236 yang isinya mewajibkan semua produk perikanan Indonesia yang masuk
ke Uni Eropa diuji kandungan logam berat dan histamin melalui proses RASFF 14 . Namun nampaknya para pengusaha sudah bisa beradaptasi dengan hal tersebut
terlihat dari jumlah penolakan yang semakin menurun.
Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) adalah suatu sistem pengecekan dan pemberitahuan secara cepat antar negara anggota danatau negara eksportir tentang adanya produk (pangan dan pakan) impor yang dicegah masuk atau dikembalikan ke negara asal.
Tabel 10.3 RASFF Produk Hasil Perikanan Indonesia di Uni Eropa
Total Kategori Produk
shrimps, milkfish,
Antibiotik
catfish, eel, etc
Histamin
21 5 4 5 1 2 38 tuna butterfish,
Logam berat
20 4 20 7 4 63 octopus, prawn, lobster, tuna etc
CO
5 24 3 2 1 35 tuna, tilapia shrimps, tuna,
Mikrobiologi
7 9 1 4 2 24 frogleg, octopus, etc
Organoleptic
2 1 3 shrimps, lobster
Bad hygiene
4 prawn, tuna escollar, octopus,
Sumber : Direktorat Jendral Pemasaran Produk Hasil Perikanan KKP, 2011
3.6.3 Mahalnya Biaya Distribusi
Tingginya biaya distribusi bahan baku dari lokasi sumberdaya perikanan tangkap ke lokasi pabrik pengolahan. “Sebagian besar industri pembekuan perikanan berkumpul di wilayah barat khususnya Pulau Jawa sementara jenis bahan baku yang dibutuhkan umumnya berada di wilayah timur. Biaya distribusi ikan dari Ambon ke Jatim rata-rata untuk 1 kg ikan mencapai Rp 1.800,-. Jika distribusi sampai ke Jakarta biaya bisa mencapai Rp 2.000,- per kg. Jika dibandingkan dengan harga mendatangkan ikan impor dari luar negeri, khususnya
impor dari Cina, biaya yang dibutuhkan sampai Jakarta hanya Rp 700 per kg”. 15
Tommy Hermawan, “Sistem Logistik Ikan Nasional, Sebuah Tinjauan Kebijakan”
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Spesifikasi Data
Data dalam penelitian ini adalah data sampel dari perusahaan industri besar dan sedang kode 15124 (KBLI 2005) selama periode 2006 – 2011. Kode 15124 tersebut adalah industri pembekuan ikan dan biota air lainnya yang seterusnya dalam penelitian ini disebut sebagai industri pembekuan perikanan. Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Karena penelitian ini menggunakan industri skala besar sedang, jumlah tenaga kerja minimum di dalam dataset adalah 20 orang. Penelitian dimulai dari tahun 2006 karena banyaknya ID yang hilang di tahun-tahun sebelumnya, sedangkan tahun 2011 dijadikan tahun akhir penelitian karena sejak KBLI 2009 terbit untuk menggantikan KBLI 2005, kode ID perusahaan turut berubah sehingga tidak match jika digunakan.
4.2 Spesifikasi Model
4.2.1 Model Empiris Kebertahanan Perusahaan (Firm Survival)
Model kebertahanan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model yang diadaptasi dari model Evans (1987) dan model Doms et.al. (1995) selaku jurnal utama sebagai acuan. Peneliti melakukan beberapa modifikasi terhadap model untuk kepentingan penelitian ini. Di antara nya penambahan variabel bebas yang yang dianggap paling cocok dalam menjelaskan performa kebertahanan perusahaan di industri pembekuan perikanan di Indonesia, termasuk juga penghilangan beberapa variabel dari jurnal utama, seperti jumlah pabrik, dan teknologi karena data tersebut memang tidak tersedia. Persamaan kebertahanan perusahaan yang digunakan sebagai berikut
Prob(Kebertahanan) = f(ukuran, produktivitas, ekspor, intkapital, krisis)
Tabel 1.4 Definisi Variabel pada Persamaan Kebertahanan Perusahaan
Variabel terikat yang menunjukkan probabilitas
Kebertahanan kebertahanan perusahaan
1 = perusahan bertahan
0 = perusahaan tumbang
(berhubungan positif)
Audretsch dan Mahmood (1995) mengatakan bahwa perusahaan kecil yang baru
Variabel bebas yang
masuk ke dalam industri
menjelaskan ukuran
menanggung cost
perusahaan. Nilainya diproksi
disadvantage yang lebih besar
Ukuran
dari jumlah tenaga kerja
ketimbang yang ditanggung
perusahaan yang kemudian
oleh perusahaan besar.
ditransformasi ke dalam
Perusahaan yang masuk
logaritma natural.
dengan ukuran awal yang semakin besar akan lebih
mampu bertahan dalam pasar ketimbang yang berukuran kecil (Evans, 1987). (berhubungan positif)
Variabel bebas yang
menjelaskan tingkat
Jika produktivitas di sebuah
produktivitas perusahaan yang
perusahaan meningkat, output
Produktivitas
diproksi dari produktivitas
yang dihasilkan menjadi
tenaga kerja. Nilainya
semakin optimal dan membuat
diperoleh dari
kinerja perusahaan berjalan
semakin efisien. Seiring hal semakin efisien. Seiring hal
ini kemampuan perusahaan
jumlah tenaga kerja
untuk bertahan dalam industri juga ikut meningkat.
kemudian ditransformasi ke
dalam logaritma natural.
(berhubungan positif)
Variabel bebas yang
menjelaskan seberapa banyak
Logika yang mendasarinya
penggunaan input capital.
adalah, in short-run shutdown
Capital ini mencakup nilai
rule, perusahaan akan tetap
modal gedung, tanah, mesin,
beroperasi selama dia mampu
kendaraan, dan nilai modal
Intensitas
menutup variable costs
lainnya. Maka dihitung dari
kapital
sehingga perusahaan dengan
nilai modal tetap teknik produksi variable cost jumlah tenaga kerja yang rendah, atau dengan kata
lain memiliki intensitas kapital yang tinggi, akan lebih
kemudian ditransformasi ke
mampu menahan guncangan
dalam logaritma natural.
dalam pasar. (berhubungan positif)
Perusahaan eksportir lebih
Variabel bebas yang
unggul dari non-eksportir
menjelaskan persentase ekspor
karena memiliki pasar yang
perusahaan.
lebih luas, yaitu pasar
Ekspor
Nilainya diperoleh dari
domestik dan internasional, sehingga lebih mampu
nilai ekspor � bertahan (Wagner, 2011).
nilai output� x100
Perusahaan yang lebih produktif dengan sendirinya terseleksi menjadi eksportir
atau sebaliknya yakni atau sebaliknya yakni
Variabel bebas (berbentuk dummy variable) yang ingin
Variabel ini diikutsertakan
melihat pengaruh krisis global
karena periode penelitian
terhadap kebertahanan
melintasi masa krisis global.
Krisis
perusahaan.
Krisis global saat itu diduga berpengaruh negatif terhadap
1= krisis = 2008 dan 2009
kebertahanan perusahaan
0= tidak krisis = 2007, 2010,
dalam industri pembekuan
dan 2011
perikanan melalui penurunan ekspor perikanan beku.
4.2.2 Model Empiris Pertumbuhan Perusahaan (Firm Growth)
Persamaan yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan perusahaan adalah sebagai berikut,
Pertumbuhan= f(ukuran, produktivitas, ekspor, intkapital)
Tabel 2.4 Definisi Variabel pada Persamaan Pertumbuhan Perusahaan
Variabel terikat yang menunjukkan pertumbuhan
Pertumbuhan
ukuran perusahaan.
Pertumbuhan ukuran diproksi dari pertumbuhan tenaga kerja.
ln +1 ln
S = ukuran = jml tenaga kerja
(berhubungan negatif)
Audrescth dan Mahmood (1995) mengatakan bahwa perusahaan yang baru muncul
Variabel bebas yang
di pasar berada pada
menjelaskan ukuran
suboptimal scale of output.
perusahaan.Nilainya
Oleh sebab itu perusahaan
Ukuran
diproksidari jumlah tenaga
yang berukuran semakin kecil
kerja perusahaan yang
akan memiliki pertumbuhan
kemudian ditransformasi ke
yang lebih cepat untuk
dalam logaritma natural.
mengejar Minimum Efficient Scale (MES), sebaliknya perusahaan yang berukuran semakin besar akan memiliki pertumbuhan yang lambat. (berhubungan positif)
Peningkatan kapital dan
Variabel bebas yang
advanced technologies bisa
menjelaskan tingkat
meningkatkan produktivitas
produktivitas perusahaan yang (Doms et.al., 1995). Strategi
Produktivitas
diproksi dari produktivitas
peningkatan ekspor juga
tenaga kerja. Nilainya
ditujukan untuk meningkatkan
diperoleh dari
produktivitas (Greenaway dan Kneller, 2007). Sehingga
nilai output
produktivitas perusahaan itu
jumlah tenaga kerja
sendiri diduga berhubungan sendiri diduga berhubungan
positif dengan pertumbuhan
dalam logaritma natural.
perusahaan seperti yang ditemukan Doms et.al. (1995)
Variabel bebas yang
(berhubungan positif)
menjelaskan seberapa banyak
penggunaan input capital.
Doms et.al. (1995)
Capital ini mencakup nilai
mengatakan bahwa kapital
modal gedung, tanah, mesin,
dan teknologi manufaktur
kendaraan, dan nilai modal
dapat memberikan dampak
Intensitas
lainnya. Maka dihitung dari
positif pada pertumbuhan
kapital
perusahaan melalui
nilai modal tetap
peningkatan produktivitas
jumlah tenaga kerja
perusahaan. Hal itu disebabkan karena dengan
kemudian ditransformasi ke
mesin, pekerja mampu bekerja
dalam logaritma natural.
lebih efektif dan efisien (berhubungan positif)
Wagner (2011) berargumen ekspor dapat dianggap bentuk
Variabel bebas yang
diversifikasi risiko melalui
menjelaskan persentase ekspor
penyebaran penjualan di pasar
perusahaan.
yang berbeda dengan kondisi
Ekspor
Nilainya diperoleh dari
siklus bisnis yang berbeda.
nilai ekspor Sehingga ekspor bisa �
memberikan kesempatan
nilai output� x100
untuk menggantikan penjualan ketika terjadi guncangan di dalam negeri yang selanjutnya meningkatkan pertumbuhan.
4.3 Metode Pengolahan Data
Data diolah dalam bentuk pooled cross-section. Alasannya karena peneliti mendefinisikan kebertahanan dan pertumbuhan berdasarkan skema per tahun, bukan point to point (tahun 2006 terhadap tahun 2011 –– cross section). Hal ini berarti data dari tiap periode dikumpulkan menjadi satu. Data mentah yang masih dalam bentuk nilai nominal akan dideflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar. IHPB industri yang digunakan diambil pada tingkat jeniskelompok barang (ikanudang beku fishshrimp, frozen) dengan tahun dasar 2005 (2005 = 100). Sementara khusus mendeflasi nilai ekspor akan digunakan IHPB barang ekspor pada tingkat komoditas yang sama dengan IHPB industri. Karena penelitian ini hanya menganalisis firm exit, pengolahan tidak akan menyertakan perusahaan- perusahaan yang baru masuk (entry) di sepanjang tahun berjalan (2007 – 2011).
Variabel terikat kebertahanan dalam model firm survival berbentuk binary choice, 1 untuk perusahaan bertahan dan 0 untuk perusahaan tumbang. Ketentuan kode 1 atau 0 diberikan atas dasar ada tidaknya perusahaan dalam jangka 1 tahun. Karena studi ini meneliti tahun 2006 – 2011, maka skema kebertahanan dibuat per periode yakni 2006 – 2007, 2007 – 2008 dst.
Variabel terikat pertumbuhan dalam model firm growth diproksi dari pertumbuhan tenaga kerja. Nilainya didapat dari selisih antara logaritma natural tenaga kerja tahun initial dengan tahun berikutnya. Karena untuk mencari nilai pertumbuhan dibutuhkan syarat minimal memiliki dua tahun data, otomatis hanya perusahaan bertahan yang memenuhi kriteria tersebut. Dengan kata lain pertumbuhan perusahaan pada model firm growth ini hanya diestimasi dari data perusahaan bertahan pada model firm survival.
Variabel-variabel bebas yang digunakan baik pada model firm survival maupun model firm growth kecuali variabel dummy krisis akan mengikuti pola initial condition. Hal ini dikarenakan tahun dasar memiliki informasi data yang lengkap sekalipun perusahaan tersebut ditemukan tumbang pada tahun berikutnya.
4.3.1 Metode Regresi Probit
Penelitian ini ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri pembekuan perikanan. Oleh sebab itu variabel terikat yang digunakan berbentuk binary choice dimana Y=1 sebagai perusahaan bertahan dan Y=0 sebagai perusahaan tumbang. Variabel terikat berbentuk binary menjadi tepat jika diestimasi dengan metode yang menggunakan fungsi Cummulative Distribution Function, yaitu sebuah fungsi penghubung nonlinear yang berjalan dari interval (0,1) ke garis aktual. Metode regresi yang menggunakan fungsi CDF salah satunya adalah metode probit. Probit merupakan metode regresi yang mengestimasi seberapa besar probabilitas terjadinya kejadian sukses dan kejadian tidak sukses. Metode ini dianggap sesuai dengan penelitian kebertahanan karena probit menggunakan pendekatan perilaku dalam memilih yang rasional.
Hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan regresi probit adalah normalitas data dan goodness of fit dari model yang digunakan. Uji normalitas data akan terpenuhi ketika jumlah observasi lebih dari 30. Goodness of fit menunjukkan seberapa akurat model yang digunakan dalam memprediksi variabel terikat. Karena perbedaan properti dimana metode probit bekerja dengan cara memaksimumkan nilai likelihood, bukan meminimumkan error seperti metode OLS, nilai Pseudo R2 atau McFadden R2 pada model probit tidak bisa digunakan sebagai tolak ukur goodness of fit. Oleh sebab itu indikator goodness of fit pada model probit akan dilakukan melalui pendekatan lain, yaitu
Sensitivity : menggambarkan proporsi seberapa besar observasi kejadian
sukses dinyatakan sebagai kejadian sukses secara tepat oleh model. Specificity : menggambarkan proporsi seberapa besar observasi kejadian
tidak sukses dinyatakan sebagai kejadian tidak sukses secara tepat oleh model.
Correctly Classified : indikator yang menggambarkan keberhasilan model
dalam memprediksi dengan benar secara keseluruhan kejadian sukses dan kejadian tidak sukses.
4.3.2 Metode Regresi OLS
Penelitian ini juga ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan perusahaan dalam industri pembekuan perikanan. Variabel terikat yang bersifat continuous seperti ini bisa diestimasi dengan metode regresi OLS (Ordinary Least Squares). Metode OLS bekerja dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat eror sehingga garis estimasi yang paling dekat dengan aktual adalah yang memiliki eror paling minimum. Asumsi yang harus dipenuhi oleh estimator OLS bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Best artinya estimator efisien karena memiliki varians yang minimum, linear artinya estimator merupakan fungsi linear, dan unbiased artinya nilai ekspektasi dari estimatornya sama dengan nilai aktual atau nilai parameter tetap (tidak berubah signifikansinya) meskipun dalam pengambilan sample yang berulang atau penambahan sample. Pada metode OLS setidaknya model harus terbebas dari tiga masalah utama,
Multikolinearitas: adanya hubungan linear antar variabel-variabel bebas
dalam model. Autokorelasi: adanya hubungan antar eror dari estimator yang digunakan
dalam model, namun permasalahan ini umumnya ditemukan dalam olah data runtun waktu.
Heteroskedastisitas: keadaan dimana varians dari eror tiap observasi dalam
model tidak konstan.
4.3.3 Pengujian Heckman
Mengikuti prosedur Evans (1987) dan Doms et.al. (1995), pertumbuhan perusahaan hanya akan diestimasi dari perusahaan bertahan (if Y=1) pada model kebertahanan. Artinya perlu untuk mensensor perusahaan tumbang (Y=0) ketika mengestimasi model pertumbuhan. Pemilihan sample yang tidak acak seperti ini berpotensi menimbulkan bias pada hasil regresi pertumbuhan perusahaan. Hal yang mendasarinya adalah dimungkinkan adanya keterkaitan karakteristik antara dimensi model kebertahanan dan dimensi model pertumbuhan.
Heckman menawarkan sebuah uji statistik untuk melihat ada tidaknya hubungan antara selected equation dan outcome equation. 16 Pengujian seperti ini
juga dilakukan oleh Evans (1987) dan Doms (1995) di dalam penelitiannya. Untuk memastikan bahwa model bersifat independen, akan dilakukan uji chi- square untuk ρ (rho). Rho adalah korelasi antara eror e pada persamaan pertama
dengan eror µ pada persamaan ke dua. Desain hipotesis yang digunakan adalah H0 : ρ =0 (tidak ada korelasi antar eror) dan H1 : ρ ≠0. Tolak H0 jika ditemukan
Prob>chi2 signifikan dari alfa 5. Jika H0 ditolak artinya ada keterkaitan dimensi atau karaktersitik antar model akibat pemilihan sample yang tidak acak (sample selection problem). Solusinya adalah menggunakan regresi heckman twostep. Pada heckman twostep akan diberikan hasil regresi outcome equation beserta nilai variabel lambda (inverse mills ratio). Contohnya seperti hasil regresi pertumbuhan yang ditampilkan dalam jurnal Doms (1995). Secara sederhana, permasalahan ini mirip dengan kasus misspecification error, yaitu ketika variabel lambda yang semestinya penting diikutsertakan namun dibiarkan ommited dalam spesifikasi outcome equation sehingga hasil regresi akan menjadi bias. Hal lainnya yang perlu diperhatikan saat menggunakan heckman adalah variabel bebas pada kedua
persamaan model tidak boleh betul-betul sama. 17
16 Selected equation yang dimaksud pada penelitian ini adalah persamaan kebertahanan, sementara outcome equation adalah persamaan pertumbuhan.
17 The selection equation should contain at least one variable that is not in the outcome equation. (This is true in general not just for STATA).
BAB 5