Analisis Komprehensif tentang Kebertahanan Perusahaan

5.2.1 Analisis Komprehensif tentang Kebertahanan Perusahaan

5.2.1.1 Ukuran Perusahaan

  Variabel ukuran perusahaan terbukti signifikan dalam mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri dengan tingkat kepercayaan 99. Nilai marjinal pada titik rata-rata sample sebesar 0,0438948. Setiap peningkatan ukuran perusahaan sebesar 1 berakibat kepada peningkatan probabilitas kebertahanan perusahaan sebesar 4,39, ceteris paribus. Hubungan positif ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa perusahaan yang berukuran besar lebih mampu untuk bertahan di dalam industri ketimbang perusahaan kecil.

  Tanda positif menunjukkan bahwa kelangsungan hidup akan lebih mudah bagi perusahaan-perusahaan yang masuk dengan skala lebih besar sebab lebih mudah bagi mereka mencapai minimum efficient scale (MES). Audretsch dan Mahmood (1995) mengatakan bahwa perusahaan kecil yang baru masuk ke dalam industri melekat dengan ukuran yang merugikan, yaitu sejauh mana tingkat output perusahaan tersebut berada di bawah MES. Semakin besar kesenjangan ini, semakin besar pula cost disadvantage yang ditanggung yang kemudian mengarah ke probabilitas kelangsungan hidup yang lebih rendah.

  Selain itu perusahaan besar juga akan lebih mudah untuk mendapatkan akses kredit permodalan ketimbang perusahaan kecil. Kekuatan modal ini tentu berperan penting bagi sebuah perusahaan untuk memperbesar kapasitas bisnis usahanya. Ketika kapasitas bisnisnya semakin besar, permintaan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan otomatis menjadi lebih banyak, jumlah mesin juga ikut meningkat, sehingga ukuran perusahaan tersebut akan terus tumbuh menjadi lebih besar sehingga mampu berproduksi jauh lebih efisien. Keuntungannya adalah perusahaan tersebut menjadi lebih mampu bertahan di pasar.

5.2.1.2 Produktivitas Perusahaan

  Variabel produktivitas perusahaan terbukti signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri dengan tingkat kepercayaan 90. Nilai marjinal pada titik rata-rata sample sebesar 0,0183969. Setiap peningkatan produktivitas perusahaan sebesar 1 berakibat kepada peningkatan probabilitas kebertahanan perusahaan sebesar 1,84, ceteris paribus. Hubungan positif ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa perusahaan yang semakin produktif akan lebih mampu untuk bertahan dalam industri.

  Perusahaan dimana pun dalam industri apa pun pasti berupaya dengan berbagai cara untuk terus meningkatkan produktivitasnya sebab indikator ini secara tidak langsung mampu menggambarkan kinerja baik buruknya sebuah perusahaan. Logika dasarnya adalah perusahaan yang memiliki performa yang baik atau memiliki produktivitas yang tinggi berkorelasi positif dengan kelangsungan hidup. Hasil regresi ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Doms et.al. (1995) Wagner (2011) Eriksson et.al. (2009) Greenaway dan Kneller (2007) bahwa semakin tinggi produktivitas sebuah perusahaan akan memiliki tingkat kebertahanan yang semakin tinggi di dalam pasar.

  Produktivitas perusahaan dalam penelitian ini diproksi dari produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja bisa juga menunjukkan seberapa besar rata-rata output yang mampu dihasilkan oleh tiap pekerja. Jika produktivitas tenaga kerja di sebuah perusahaan meningkat, output yang dihasilkan menjadi semakin optimal dan membuat kinerja perusahaan berjalan semakin efisien. Seiring hal tersebut maka kemampuan perusahaan untuk bertahan dalam industri juga ikut meningkat.

5.2.1.3 Intensitas Kapital Perusahaan

  Variabel intensitas kapital terbukti signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri dengan tingkat kepercayaan 99. Nilai marjinal pada titik rata-rata sample sebesar 0,0180942. Setiap peningkatan kapital perusahaan sebesar 1 berakibat kepada peningkatan probabilitas kebertahanan perusahaan sebesar 1,81, ceteris paribus. Hubungan positif ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa perusahaan dengan kapital yang semakin besar akan lebih mampu untuk bertahan dalam industri.

  Perusahaan yang memiliki intensitas kapital tinggi sama artinya memiliki variable to fixed cost ratio yang rendah yang kemudian dapat memacu peningkatan kebertahanan perusahaan dalam industri. Logika yang mendasarinya adalah, in short-run shutdown rule, perusahaan akan tetap beroperasi selama dia mampu menutup variable costs sehingga perusahaan dengan teknik produksi variable cost yang rendah akan lebih mampu menahan guncangan ketimbang perusahaan dengan variable cost yang tinggi. Doms et.al.(1995) mengatakan bahwa kapital dapat memberikan dampak positif pada kebertahanan perusahaan melalui dua cara. Pertama, penggunaan teknologi manufaktur dapat langsung meningkatkan produktivitas perusahaan dengan demikian membuatnya bertahan. Hal ini didukung oleh penelitian Griliches dan Siegel (1991) dan Brynjolfson dan Hitt (1993) bahwa produktivitas dan penggunaan teknologi manufaktur berhubungan positif. Kedua, penggunaan teknologi canggih mungkin sebuah proksi terhadap kemampuan manajerial yang tidak teramati sebab perusahaan yang memiliki sistem manajemen yang baik cenderung mengadopsi teknologi baru bahkan mengeksploitasinya demi mengoptimalkan kinerja produksi. Kapital yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi seluruh modal yang mencakup nilai gedung, tanah, kendaraan, mesin, dan kapitalmodal lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan dengan nilai kapital yang semakin besar akan lebih mampu bertahan terhadap guncangan di dalam industri daripada perusahaan-perusahaan yang memiliki kapital yang lebih kecil.

5.2.1.4 Ekspor Perusahaan

  Variabel ekspor perusahaan terbukti signifikan dalam mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri dengan tingkat kepercayaan 99. Nilai marjinal pada titik rata-rata sample sebesar 0,0007009. Setiap peningkatan ekspor perusahaan sebesar 1 berakibat kepada peningkatan probabilitas kebertahanan perusahaan sebesar 0,07, ceteris paribus. Hubungan positif ini sesuai dengan hipotesis sebelumnya dimana semakin besar ekspor perusahaan maka akan semakin besar kemungkinan perusahaan tersebut untuk bertahan dalam industri.

  Wagner (2011) berargumen bahwa ekspor dapat dianggap sebagai bentuk diversifikasi risiko melalui penyebaran penjualan di pasar yang berbeda dengan kondisi siklus bisnis yang berbeda. Oleh karena itu, ekspor mungkin memberikan kesempatan untuk menggantikan penjualan ke luar negeri ketika terjadi guncangan negatif yang menimpa pasar dalam negeri. Selanjutnya non-eksportir pada umumnya kurang efisien daripada eksportir sehingga non-eksportir lebih mungkin untuk gagal dari eksportir. Beberapa penelitian juga menghubungkan ekspor dengan produktivitas perusahaan seperti yang dikatakan Eriksson et.al. (2009) dalam penelitiannya bahwa perusahaan yang lebih produktif dengan sendirinya terseleksi menjadi eksportir atau bisa juga sebaliknya yakni perusahaan belajar mengekspor sehingga menjadi lebih produktif. Greenaway dan Kneller (2007) berargumen bahwa sunk cost dikeluarkan tidak hanya bagi perusahaan ketika baru memasuki industri tapi juga memasuki pasar ekspor dimana sunk cost dari melakukan ekspor, antara lain penelitian terhadap kepatuhan syarat produk, jaringan distribusi, iklan dll. Jadi, hanya perusahaan dengan produktivitas yang lebih tinggi yang mampu memenuhi hal tersebut. Perusahaan dengan produktivitas yang lebih rendah hanya akan menjual untuk pasar domestik, sementara perusahaan dengan produktivitas terendah akan gagalkeluar dari pasar.

5.2.1.5 Krisis Global Tahun 2008 – 2009

  Variabel dummy krisis global terbukti secara signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan dalam industri dengan tingkat kepercayaan 99. Nilai marjinal pada titik rata-rata sample sebesar -0,0465374. Ketika terjadi krisis, probabilitas kebertahanan perusahaan menurun sebesar 4,65 dibandingkan ketika tidak terjadi krisis, ceteris paribus. Hubungan negatif ini juga sesuai dengan hipotesis sebelumnya bahwa krisis global pada tahun 2008 – 2009 akan menurunkan tingkat kebertahanan perusahaan di industri pembekuan perikanan.

  Krisis global 2008 bermula dari resesi ekonomi yang melanda Amerika. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Kemudian krisis tersebut berkembang menjadi krisis global yang membuat daya beli masyarakat di setiap negara pada umumnya menjadi turun. Ketika terjadi krisis, negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang dan banyak negara maju lainnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif. Pertumbuhan ekonomi yang negatif di negara maju ini lah yang menjadikan GDP per Capita-nya turun yang artinya mencerminkan daya beli mereka yang juga ikut turun.

  Salah satu penghubung bagaimana krisis yang mulanya mengguncang pasar finansial Amerika dan kemudian merambah ke pasar barang dan kemudian mempengaruhi perekonomian di banyak negara adalah melalui keterbukaan perdagangan ekspor impor. Di Indonesia sendiri pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 sebesar 6,1 yakni turun dari 6,3 tahun 2007. Dampak krisis di indonesia semakin terlihat pada tahun 2009 ketika ekspor tumbuh negatif sebesar - -9,7 dan pertumbuhan ekonomi semakin turun menjadi 4,6. Meskipun beberapa ekonom menyatakan bahwa dampak krisis global di Indonesia saat itu tidak sebegitu hebat jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura karena Indonesia memiliki rasio ekspor per PDB yang relatif lebih kecil, sektor yang terkena dampaknya saat itu tetap saja industri-industri dalam negeri yang bersifat export oriented yang salah satu diantaranya adalah industri pembekuan perikanan.

  krisis global

  alam (d 100

  Gambar 6.5 Jumlah Perusahaan Pembekuan Perikanan Tahun 2006 – 2011

  Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

  krisis global

  n) 60000

  to am 50000 al 40000

  Uni Eropa

  Gambar 7.5 Volume Ekspor Perikanan Beku ke Amerika, Jepang, Uni Eropa

  Sumber : UN Comtrade, diolah

  Gambar 6.5 menunjukkan bahwa krisis global yang terjadi pada periode 2008 – 2009 telah menekan kebertahanan perusahaan pembekuan perikanan. Pada tahun 2009 sebanyak 80 unit perusahaan tumbang. Hal ini bisa dijelaskan melalui penurunan ekspor perikanan beku di tiga wilayah tujuan utama (lihat Gambar 7.5). Meskipun krisis 2008 memberikan efek depresiasi dimana saat itu rupiah Gambar 6.5 menunjukkan bahwa krisis global yang terjadi pada periode 2008 – 2009 telah menekan kebertahanan perusahaan pembekuan perikanan. Pada tahun 2009 sebanyak 80 unit perusahaan tumbang. Hal ini bisa dijelaskan melalui penurunan ekspor perikanan beku di tiga wilayah tujuan utama (lihat Gambar 7.5). Meskipun krisis 2008 memberikan efek depresiasi dimana saat itu rupiah

  dan banyak menimpa di negara maju. Oleh sebab itu, penurunan permintaan perikanan beku oleh Amerika, Eropa dan Jepang tentu membawa dampak serius bagi kebertahanan industri pembekuan perikanan dalam negeri.

  Pada tahun 2009 terlihat bahwa penurunan paling tajam terjadi di Amerika yaitu sebesar (22) dibandingkan dengan Jepang (4) dan UE (8). Hal tersebut tidak mengherankan karena titik episentrum krisis memang terjadi di Amerika. Pada bagian profil indusri sebelumnya telah diceritakan bahwa 53 ekspor perikanan beku disumbang oleh spesies krustasea dimana udang beku memegang

  93 didalamnya. Hal tersebut kemudian menjadi krusial karena Amerika sendiri selama ini adalah tempat pemasaran lebih dari separuh udang beku Indonesia. “Sejak krisis global tahun 2008, permintaan ekspor udang terus merosot. Menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia, Iwan Sutanto, pasar udang relatif segmented. Selama ini tujuan utama ekspor udang sebagian besar ke satu negara, yaitu AS dengan pangsa pasar 50–60 dari total ekspor. Diversifikasi pasar seperti ke Timur Tengah dan Eropa Timur belum dapat diharapkan karena mereka

  tidak makan udang”. 22 Dari informasi tersebut maka diduga bahwa tumbangnya perusahaan pada tahun 2009 banyak didominasi oleh perusahaan udang beku. Di