Skripsi Perkembangan Industri Pembekuan iid
HALAMAN PENGESAHAN
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
iii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Masalah yang tengah menghambat perkembangan industri pembekuan perikanan selain terlihat dari penurunan kontribusinya terhadap PDB juga bisa dilihat dari tren penurunan jumlah perusahaan pada beberapa tahun belakangan. Penelitian ini mendokumentasikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan di industri pembekuan perikanan. Analisis menggunakan data perusahaan besar dan sedang periode 2006 – 2011 yang diperoleh dari BPS. Hasil menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan ukuran lebih besar, produktivitas lebih tinggi, intensitas kapital lebih tinggi, rasio ekspor lebih tinggi, dan tidak terjadi krisis cenderung untuk bertahan. Hasil lainnya menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan ukuran lebih kecil, produktivitas lebih tinggi, rasio ekspor lebih tinggi cenderung untuk tumbuh lebih cepat. Intensitas kapital memiliki dampak yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan perusahaan. Hal ini dapat dijelaskan melalui karakteristik industri yang bersifat padat karya.
Kata kunci: kebertahanan; pertumbuhan; industri pembekuan perikanan
ABSTRACT
The things that obstruct the development of fishery freezing industry apart from the declining on its contribution to GDP also can be seen from the declining number companies earlier. This research documents the determinants of firm survival and growth in fishery freezing industry. The analysis uses data of LMEs (large and medium enterprises) for period 2006 - 2011 taken from BPS. The results indicate that firms with larger size, higher productivity, higher capital intensity, higher export ratio, and no crisis occurs are likely to survive. The other results indicate that firms with smaller size, higher productivity, higher export ratio are likely to grow faster. The capital intensity has insignificant impact on firm growth. It is related to industrial characteristic that labor intensive.
Keywords: survival; growth; fishery freezing industry
iv
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan luas laut yang membentang kurang lebih 5,8 juta km 2 , Indonesia tumbuh menjadi salah satu negara penghasil ikan terbesar di dunia. Berdasarkan
laporan FAO 1 , pada tahun 2012 produksi perikanan tangkap dunia mencapai 79 juta ton. Indonesia menempati peringkat ke dua terbesar dunia dengan produksi
perikanan tangkap sebesar 5,8 juta ton diikuti USA 5,1 juta ton dan Peru 4,8 juta ton. Cina menempati peringkat pertama dengan produksi 16 juta ton. Dari total hasil perikanan tangkap dan budidaya pada tahun 2012, Cina menyumbang 17,4 share perikanan dunia sementara Indonesia 6,8. Dengan kekayaan alam dan keanekaragaman hayati Indonesia yang berlimpah, komoditi hasil bumi perikanan berpeluang untuk menjadi sumber penerimaan negara (Kemenperin, 2011).
Meskipun Indonesia mampu menghasilkan belasan juta ton dari total produksi perikanan tangkap dan budidaya, sumber daya tersebut nampaknya relatif belum memberikan banyak kontribusi terhadap basis industri pengolahan perikanan dalam negeri. Tabel 1.1 menampilkan nilai PDB yang dihasilkan oleh sektor perikanan, baik industri hulu maupun industri hilir selama rentang periode 2006 – 2011. Tabel tersebut menginformasikan dua hal. Pertama, rata-rata laju pertumbuhan PDB industri hilir (pengolahan perikanan) hanya sebesar 4,05 dimana angka ini lebih kecil dari rata-rata laju pertumbuhan PDB industri hulu (perikananan tangkap dan budidaya) yang sebesar 5,52. Kedua, jika dirata-rata ditemukan bahwa nilai PDB industri hilir adalah lima kali lebih kecil dari nilai PDB yang dihasilkan oleh industri hulu. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan industri pengolahan perikanan relatif lebih lambat dibandingkan pertumbuhan industri perikanan tangkap dan budidaya dan juga dapat dikatakan bahwa secara umum ekonomi perikanan Indonesia masih didominasi aktivitas nelayanpembudidaya ketimbang pengolahannya.
1 FAO (Food and Agriculture Organization): organisasi pangan dan pertanian dunia
Universitas Indonesia
Tabel 1.1 Produk Domestik Bruto Sektor Perikanan atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000, 2006 – 2011 (milyar rupiah)
Lapangan
Laju rata-
a. industri
b. industri
hilir PDB
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan
Berdasarkan KBLI 2005, industri pengolahan perikanan adalah industri yang didalamnya terdapat enam subsektor industri pengolahan yang menurut jenis pengolahannya dapat dikelompokkan menjadi industri pengolahan modern dan pengolahan tradisional. Industri pengolahan perikanan modern mencakup industri pengalengan dan industri pembekuan, sementara industri pengolahan perikanan tradisonal mencakup industri pengasinan, industri pengasapan, dan industri pemindangan. Secara umum letak perbedaannya ialah jika dibandingkan dengan industri pengolahan perikanan tradisional, industri pengolahan perikanan modern dalam operasinya lebih banyak menggunakan mesin-mesin berteknologi dan juga menggunakan jenis bahan baku komoditi perikanan yang bernilai ekonomi tinggi.
Tabel 2.1 berikut ini menampilkan angka kontribusi yang dihasilkan oleh tiap-tiap subsektor industri pengolahan perikanan selama tahun 2006 – 2011. Pada tingkat subsektor, industri pembekuan perikanan memberikan kontribusi PDB paling besar relatif dibandingkan dengan subsektor industri-industri pengolahan perikanan lainnya. Hal tersebut juga diantaranya yang menjadi salah satu alasan untuk fokus meneliti industri pembekuan perikanan selain karena alasan utama, yaitu ditemukannya masalah di dalam industri ini. Di sisi lain Tabel 2.1 tersebut juga memperlihatkan bahwa angka kontribusi tersebut terus menurun. Kontribusi PDB industri pembekuan menurun dari 0,21 tahun 2006 menjadi 0,19 tahun
2011. Penurunan kontribusi juga dialami oleh industri pengalengan dari 0,04 tahun 2006 menjadi 0,03 tahun 2011. Sementara fluktuasi kontribusi dari subsektor industri pengasinan, industri pengasapan, dan industri pemindangan sulit untuk diamati karena kontribusinya yang relatif sangat kecil.
Tabel 2.1 Kontribusi PDB Industri Pengolahan Perikanan terhadap PDB Indonesia atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000, 2006 – 2011 (persen)
Lapangan Usaha
Industri Pengolahan Perikanan
0.44 0.43 0.41 0.42 0.41 0.40
1. Industri Skala Besar Sedang
0.27 0.26 0.27 0.26 0.25
0.00
a. Industri pengasinan
b. Industri pengalengan
0.04 0.03
0.00
c. Industri pengasapan
d. Industri pembekuan
0.21 0.20 0.19 0.21 0.20 0.19
0.00
e. Industri pemindangan
0.00
f. Industri pengolahan lainnya
2. Industri Skala Kecil
0.17 0.16 0.15 0.14
PDB Indonesia
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan, diolah
Dalam roadmap pengembangan klaster industri prioritas industri berbasis agro tahun 2010 – 2014, industri pembekuan diposisikan sebagai industri inti selain industri pengalengan dan industri pengolahan rumput laut. Keunggulan industri pembekuan perikanan dibandingkan jenis industri pengolahan perikanan lainnya bisa dijelaskan antara lain oleh tiga hal. Pertama, penyerapan tenaga kerja di industri pembekuan perikanan adalah paling besar dibandingkan di industri- industri pengolahan perikanan lainnya. Kedua, ikan beku terbukti memberikan nilai tambah (value added) paling besar relatif dibandingkan dengan berbagai bentuk olahan perikanan lainnya. Dari rata-rata keseluruhan value added olahan perikanan selama tahun 2006 – 2011, ikan beku memegang share 57 diikuti ikan kaleng 30, ikan asin 6, ikan pindang 2, ikan asap 1 dan lainnya 4. Ketiga, ikan beku memiliki peluangprospek yang besar untuk bersaing di pasaran internasional karena olahan jenis ini relatif lebih disukai dibandingkan bentuk olahan lainnya karena mutunya yang hampir setara dengan kualitas ikan segar.
Hasil perikanan yang bahan bakunya berlimpah di lautan nusantara dan produknya begitu diminati kalangan internasional berpotensi menjadi sumber devisa negara. Pengolahan ikan secara modern seperti olahan ikan beku umumnya ditujukan untuk komoditas ekspor (KKP, 2007). Berdasarkan perhitungan data volume ekspor dari UN comtrade pada tahun 2011, sebanyak 43 perikanan beku diekspor ke Amerika, Jepang 27, Uni Eropa 11 dan lain-lain 19. Dari volumenya, krustasea adalah penyumbang terbesar dengan kontribusi 45, diikuti ikan 29, dan moluska 26. Pada golongan krustasea tersebut, komoditas udang beku (frozen shrimps and prawns) mendominasi 96 didalamnya. Gambar 1.1 memperlihatkan bahwa volume ekspor perikanan beku Indonesia meningkat dari 217 ribu ton tahun 2006 dengan nilai 11,4 juta USD menjadi 248 ribu ton tahun 2011 namun dengan nilai yang justru menurun, yakni hanya sebesar 9,6 juta USD. Penurunan nilai ekspor paling tajam terjadi pada tahun 2009, yakni sebesar -31. Diduga hal tersebut disebabkan lesunya daya beli sebagian besar negara importir sebagai imbas dari krisis global. Sedangkan peningkatan ekspor yang terjadi sejak tahun 2011 diduga dipengaruhi oleh lonjakan permintaan udang beku Indonesia untuk mengisi pasokan udang dunia sebab sebagian besar negara penghasil udang di asia terjangkit wabah EMS yang berakibat terjadinya penurunan supply.
volume (ribu ton)
value (juta USD)
Gambar 1.1 Tren Ekspor Perikanan Beku Indonesia ke Pasar Internasional atas Dasar Harga Konstan Tahun 2005, 2006 – 2011
Sumber : UN Comtrade, diolah
Masalah yang tengah menghambat perkembangan industri pembekuan perikanan selain terlihat dari penurunan kontribusinya terhadap PDB juga bisa dicermati dari fenomena menurunnya jumlah perusahaan sepanjang 2006 – 2011. Selama periode tersebut jumlah perusahaan tumbuh dengan rata-rata -8,3. Thomas Darmawan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), menuturkan bahwa pada beberapa tahun
belakangan banyak perusahaan pengolahan udang dan ikan beku bertumbangan. 2 Jumlah perusahaan menurun dari 399 unit tahun 2006 menjadi 258 unit pada
tahun 2011. Pada tahun 2008 sebanyak 40 unit perusahaan ditemukan tumbang. Angka tersebut meningkat menjadi dua kali lipatnya, yakni 80 unit, pada tahun 2009. Kemerosotan selama periode 2008 – 2009 tersebut diduga merupakan dampak buruk dari krisis global. Jika dilihat secara spasial, 62 perusahaan yang tumbang pada tahun 2009 berlokasi di Pulau Jawa dimana Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Tengah memiliki tingkat kemerosotan paling tinggi, sedangkan
38 sisanya berlokasi di luar Pulau Jawa dimana wilayah kemerosotan paling tinggi terjadi di Propinsi Sulawesi Selatan dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Gambar 2.1 Jumlah Perusahaan di Industri Pembekuan Perikanan (unit)
Sumber : BPS, industri skala besar dan sedang
2 Veri Nurhansyah Tragistina, “Industri pengolahan ikan dan udang bertumbangan“http:industri. kontan.co.idnewsindustri-pengolahan-ikan-dan-udang-bertumbangan-1, diakses pada 03 142015
Pada tahun 2011, industri pembekuan perikanan mampu menyerap 6,98 dari seluruh tenaga kerja pada industri makanan dan mampu menyerap 1,1 dari seluruh tenaga kerja pada industri manufaktur. Jika diamati dari ruang lingkup industri pengolahan perikanan itu sendiri, industri pembekuan unggul dengan kemampuannya menyerap 56 tenaga kerja berikutnya industri pengalengan
20, industri pengasinan 7, industri pemindangan 3, dan industri pengasapan
1. Artinya, industri pembekuan perikanan memiliki peran yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja di antara industri-industri pengolahan perikanan lainnya. Meskipun begitu, statistik menunjukkan bahwa belakangan ini jumlah tenaga kerja di industri pembekuan terus merosot. Jumlah tenaga kerja menurun dari 72 ribu orang tahun 2006 menjadi 51 ribu orang tahun 2011. Selama periode tersebut jumlah tenaga kerja tumbuh negatif dengan rata-rata -6,6. Krisis global ketika itu berakibat kepada penurunan jumlah tenaga kerja tahun 2009 sebesar -15,65. Pertumbuhan tenaga kerja ini pada gilirannya dapat mencerminkan pertumbuhan perusahaan karena jumlah tenaga kerja merupakan salah satu proksi untuk mengukur size perusahaan (Carrizosa, 2006). Dengan kata lain, penurunan pertumbuhan tenaga kerja yang terjadi di industri pembekuan perikanan ini selanjutnya dapat dinyatakan juga sebagai penurunan pertumbuhan perusahaan di industri pembekuan perikanan.
Gambar 3.1 Jumlah Tenaga Kerja di Industri Pembekuan Perikanan
Sumber : BPS, industri skala besar dan sedang
1.2 Perumusan Masalah
Pada tingkat makro terlihat bahwa secara umum telah terjadi penurunan kontribusi PDB pada industri pengolahan perikanan selama tahun 2006 – 2011. Secara spesifik penurunan kontribusi PDB relatif hanya dialami pada industri pembekuan perikanan dan industri pengalengan perikanan, sedangkan fluktuasi kontribusi PDB pada industri pengasinan perikanan, industri pemindangan perikanan, dan industri pengasapan perikanan sulit diamati karena kontribusinya yang relatif sangat kecil. Pada tingkat mikro, masalah yang tengah dihadapi oleh industri pembekuan perikanan juga terlihat dari fenomena penurunan jumlah perusahaan dan jumlah tenaga kerja sepanjang tahun 2006 – 2011. Selama periode tersebut jumlah perusahaan tumbuh -8,3, sementara jumlah tenaga kerja tumbuh -6,6. Hal ini merupakan indikasi bahwa diduga masalahnya terletak pada performa kebertahanan dan pertumbuhan perusahaan. Analisis kebertahanan biasa dilakukan terhadap industri-industri yang jumlah para pemain didalamnya terus berkurang dalam kurun beberapa tahun. Jika hal ini dibiarkan, perkembangan industri pembekuan perikanan di Indonesia dapat dipastikan semakin mengalami kemunduran. Hal ini tentu juga bisa mempengaruhi pendapatan devisa dari sektor kelautan perikanan karena industri pembekuan perikanan memegang persentase ekspor paling besar dibandingkan industri-industri pengolahan perikanan lainnya. Selain itu dampak kemunduran ini juga bisa langsung berimbas kepada peningkatan jumlah pengangguran apalagi mengingat bahwa industri pembekuan perikanan relatif paling banyak menyerap tenaga kerja di antara subsektor industri-industri pengolahan perikanan lainnya.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya maka tujuan dari riset ini adalah ingin meneliti
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi performa kebertahanan perusahaan di industri pembekuan perikanan.
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi performa pertumbuhan perusahaan di industri pembekuan perikanan.
1.4 Metodologi Penelitian
1.4.1 Metode Pengumpulan Data
Studi ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya Badan Pusat Statistik (BPS), UN Comtrade, publikasi dari lembaga-lembaga Pemerintah seperti Kementerian Perindustrian RI dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
1.4.2 Metode Pengolahan Data
Data diolah dalam bentuk pooled cross-section. Data mentah yang masih dalam nilai nominal akan dideflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar untuk mendapatkan nilai riilnya. Karena penelitian ini hanya menganalisis firm exit, pengolahan data akan mengeluarkan perusahaan-perusahaan yang baru masuk (entry) ke dalam industri di sepanjang tahun berjalan (2007 – 2011). Selanjutnya model kebertahanan perusahaan akan diestimasi dengan metode regresi probit, sementara model pertumbuhan perusahaan diestimasi dengan metode regresi OLS.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Objek penelitian ini terfokus pada industri pembekuan ikan dan biota air lainnya kode 15124 (KBLI 2005). Karena komoditi dalam industri ini tidak hanya mencakup ikan tapi juga ada krustasea dan moluska, penelitian ini seterusnya akan menyebutnya sebagai industri pembekuan perikanan. Analisis dilakukan pada level perusahaan. Data sampel yang digunakan hanya dari statistik industri besar sedang, dengan kata lain tidak menyertakan statistik industri kecil yang bertenaga kerja kurang dari 20 orang. Tahun penelitian dibatasi selama tahun 2006 – 2011. Hal tersebut dikarenakan terlalu banyak data ID perusahaan yang hilang dibawah tahun 2006, sedangkan tahun 2011 dipilih sebagai tahun akhir penelitian karena sejak peralihan dari KBLI 2005 ke KBLI 2009, industri ini dipecah menjadi dua industri (kode 10213 dan 10293) sehingga dalam terapannya data ID perusahaan ikut berubah dan menjadi tidak match jika digunakan.
1.6 Hipotesis
Ukuran perusahaan signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan
dengan arah positif dan mempengaruhi pertumbuhan perusahaan dengan arah negatif.
Produktivitas perusahaan signifikan dalam mempengaruhi kebertahanan
perusahaan dan pertumbuhan perusahaan dengan arah positif. Ekspor signifikan dalam mempengaruhi kebertahanan perusahaan dan
pertumbuhan perusahaan dengan arah positif. Intensitas kapital signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan dan
pertumbuhan perusahaan dengan arah positif. Krisis global signifikan mempengaruhi kebertahanan perusahaan dengan
arah negatif.
1.7 Sistematika Penulisan BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis penelitian, metode penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 : TINJAUAN LITERATUR
Bab ini akan menjelaskan teori-teori yang relevan terhadap penelitian. Selain itu, pada bab ini juga dilengkapi dengan pembahasan jurnal utama dan rangkuman dari penelitian sebelumnya.
BAB 3 : PROFIL INDUSTRI PEMBEKUAN PERIKANAN
Bab ini akan menceritakan gambaran umum dan karakteristik dari industri pembekuan perikanan di Indonesia yang meliputi pohon industri, struktur pasar, sebaran perusahaan, perkembangan ekspor, dll.
BAB 4 : METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan membahas lebih detail mengenai model penelitian yang digunakan, diantaranya ialah menjelaskan alasanjustifikasi dari variabel- variabel yang digunakan, bagaimana mengolah data, termasuk bagaimana teknik mengestimasi model penelitian ini.
BAB 5 : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan memuat analisis dan pembahasan, baik secara deskriptif maupun ekonometrika, yang diharapkan mampu menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan sebelumnya sebagai tujuan penelitian.
BAB 6 : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian penutup dari laporan penelitian, meliputi bagian kesimpulan penemuan, saran atau rekomendasi kebijakan, dan keterbatasan penelitian atas segala kekurangan penelitian ini.
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
2.1 Teori Kebertahanan Perusahaan
2.1.1 Kebertahanan Perusahaan pada Jangka Pendek
Secara sederhana kebertahanan perusahaan dapat dipahami sebagai kemampuan dari kelangsungan hidup perusahaan di dalam pasar. Dengan kata lain ada situasi-situasi dimana perusahaan menjadi gagal bertahan atau tumbang di dalam pasar. Pada jangka pendek perusahaan akan shut down ketika P Gambar 1.2 Keputusan Berhenti Beroperasi pada Jangka Pendek 3 Sumber : Mankiw, N. Gregory. (2004). Principles of Economics. Hal. 297 Shut down pada jangka pendek memiliki pengertian tidak berproduksi sama sekali yang bersifat temporary, berbeda dengan definisi exit yang artinya keputusan untuk keluar selamanya dari industri. Keputusan untuk shut down 3 Perusahaan akan memutuskan untuk shut down ketika total revenue lebih kecil daripada variabel cost (TR persaingan sempurna diasumsikan AR=MR=P, maka persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi P Universitas Indonesia Universitas Indonesia 2.1.2 Kebertahanan Perusahaan pada Jangka Panjang Gambar 2.2 Keputusan Keluar dari Pasar pada Jangka Panjang 4 Sumber : Mankiw, N. Gregory. (2004). Principles of Economics. Hal 299 Berbeda dengan jangka pendek, perusahaan akan memutuskan untuk keluar dari industri pada jangka panjang ketika P Perusahaan akan memutuskan untuk exit ketika TR ini mencakup variable cost dan fixed cost. Ketika perusahaan memutuskan keluar selamanya dari pasar, perusahaan tidak lagi menanggung beban fixed cost berbeda dengan jika perusahaan hanya memutuskan untuk shut down. 2.2 Teori Pertumbuhan Perusahaan Kebertahanan perusahaan atau kelangsungan hidup perusahaan memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan perusahaan. Perusahaan muncul di pasar, jika mampu bertahan maka dia akan tumbuh. Ketika berbicara pertumbuhan perusahaan (firm growth), sebetulnya kita sedang membicarakan pertumbuhan ukuran perusahaan (firm size growth) (Carrizosa, 2006). Wissen (2002) mengatakan bahwa perubahan ukuran adalah sebuah kejadian yang penting dalam siklus demografi perusahaan. Ada beberapa pendekatan dalam mengukur size dari perusahaan itu sendiri dan diantaranya yang sering diajukan dalam literatur adalah jumlah aset, jumlah output, nilai tambah, dan jumlah tenaga kerja. Carrizosa (2006) menyebutkan bahwa a) jumlah aset sifatnya terlalu rigid, meskipun aset cukup baik dalam menjelaskan ukuran perusahaan industri manufaktur tapi kurang tepat sebagai ukuran perusahaan jasa, b) jumlah output terlalu volatile sebagai ukuran perusahaan selain itu output sangat mungkin dipengaruhi keputusan manajerial, seperti strategi marketing dan kondisi finansial dan sifatnya sensitif terhadap inflasi dan nilai tukar, c) nilai tambah cukup baik dalam menjelaskan ukuran perusahaan karena menjelaskan proses peningkatan kapasitas nilai output, dan d) jumlah tenaga kerja adalah indikator yang paling banyak digunakan dalam menjelaskan sebuah ukuran perusahaan, berlaku tidak hanya bagi perusahaan manufaktur tapi juga perusahaan jasa, sifatnya juga tidak terlalu rigid dan tidak terlalu volatile, jumlah tenaga kerja dikatakan merefleksikan bagaimana proses internal dijalankan dan beradaptasi terhadap perubahan aktivitas. Pendekatan ini dibangun pada konteks pasar persaingan sempurna. “Teori ekonomi klasik telah mempelajari pertumbuhan perusahaan secara tidak langsung karena bermaksud untuk menemukan ukuran yang paling optimal (Viner, 1932). Pertumbuhan perusahaan sehingga diartikan sebagai perubahan antara satu kondisi ekuilibrium dan ekuilibrium lainnya” (Carrizosa, 2006, Hal. 43). Gambar 3.2 Perubahan Ukuran Perusahaan 5 Sumber : Pindyck Rubinfeld (2013). Microeconomics, Hal. 301 – 303, dibuat kembali Menurut Hart (2000), “perusahaan-perusahaan akan tumbuh hingga mereka mencapai ukuran yang memberikan minimum average cost” (Hal. 232). Gambar 3.2(a) mengilustrasikan proses pertumbuhan ukuran perusahaan sejak pertama kali perusahaan masuk pasar (short run) hingga perjalanannya (long run). 6 Dari yang semula masuk dengan initial size sebesar q1 kemudian perusahaan tumbuh membesar menjadi q3. Argumen klasik berpendapat bahwa persaingan akan mendorong perusahaan mencapai bagian paling bawah dari kurva biaya rata-rata jangka panjang (Geroski, 1999). Hal tersebut juga sudah 5 Gambar 3.2(a) memperlihatkan bagaimana competitive firm membuat keputusan output yang memaksimalkan profit. Pada jangka pendek, perusahaan yang baru masuk ke dalam industri akan berproduksi pada q1 (dimana P=MR=SMC) sehingga profit yang didapat sebesar wilayah ABCD. Kemudian perusahaan tersebut terus tumbuh hingga jangka panjang, seandainya market price tetap pada 40, perusahaan akan meningkatkan produksinya dari q1 menjadi q3 (dimana P=MR=LMC) sehingga profit yang diperoleh ikut meningkat dari ABCD menjadi EFGD. Pada saat bersamaan positif economic profit yang besar ini akan menarik para pemain baru untuk masuk industri. Jumlah perusahaan yang semakin banyak akan menggeser kurva supply ke kanan bawah (Gambar 3.2(b). Output industri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sehingga market price ikut turun menjadi P2 atau sebesar 30. Akibatnya fraksi output yang dijual oleh per perusahaan pun ikut menurun dari q3 menjadi q2 (dimana P=LAC). Pada keseimbangan yang baru ini tiap perusahaan menerima zero economic profit artinya tidak ada insentif bagi perusahaan untuk enter atau exit dari industri. 6 Pada Gambar 3.2 pertumbuhan ukuran perusahaan dianalogikan dari pertumbuhan output karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya output juga salah satu proksi dari size perusahaan. dibuktikan dalam Gambar 3.2(a) dimana market competition akhirnya mendorong perusahaan berproduksi pada titik q2. Produksi pada skala q2 merupakan skala yang paling optimal karena memberikan biaya rata-rata jangka panjang yang paling minimum. 2.3 Hubungan Ukuran terhadap Kebertahanan dan Pertumbuhan Gambar 4.2 Perbandingan Biaya dan Pertumbuhan antara Perusahaan Kecil dan Perusahaan Besar 7 Sumber : Martin, Stephen (1993). Industrial Economics: Economic Analysis and Public Policy Carrizosa (2006) mengatakan bahwa bagian cost-minishing pada kurva long run average cost bukan single level of output, melainkan wide range. Setelah titik MES dicapai, economies of scale berhenti dan dilanjutkan dengan constant return to scale yaitu kondisi dimana peningkatan output tidak mempengaruhi biaya rata-rata, dan selanjutnya masuk ke fase diseconomies of scale dimana peningkatan output akan mengakibatkan peningkatan biaya rata-rata. 7 Diasumsikan semua perusahaan tumbuh menuju Minimum Efficient Scale (MES), yaitu level output terendah dimana skala ekonomi telah dimanfaatkan seluruhnya. Skala ekonomi atau economies of scale adalah situasi dimana penggandaan output bisa dicapai dengan biaya kurang dari dua kali lipatnya (Pyndick Rubinfeld, 2013). Ilustrasi di atas menyimpulkan beberapa hal, pertama ukuran perusahaan berhubungan negatif dengan pertumbuhannya. Perusahaan yang berukuran lebih kecil ( a ) akan memiliki pertumbuhan yang relatif lebih besar (lebih cepat) sebesar a , sementara perusahaan yang berukuran lebih besar ( b ) akan memiliki pertumbuhan yang lebih kecil (lebih lambat) sebesar b . Kedua, perusahaan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat tumbang karena menghadapi biaya rata-rata yang lebih tinggi, yakni a , sebaliknya perusahaan yang berukuran lebih besar lebih mungkin untuk bertahan di dalam industri karena memiliki biaya rata-rata yang lebih rendah, yakni b . Ketiga, menurut Carrizosa (2006) anggapan semua perusahaan di industri yang sama akan konvergen ke ukuran yang sama, yakni q2 pada Gambar 3.2(a) sebelumnya kurang tepat. Karena pada Gambar 4.2 kembali dijelaskan bahwa titik terendah pada kurva LRAC memiliki wide range sehingga hal ini mendamaikan antara bukti empiris dan kenyataan bagaimana perusahaan dengan berbagai ukuran bisa hidup berdampingan dalam industri yang sama. 2.4 Penelitian tentang Kebertahanan dan Pertumbuhan Perusahaan 2.4.1 Jurnal Utama The relationship between firm growth, size, and age: estimates for 100 manufacturing industries by David S. Evans (1987) Penelitian ini melibatkan 42339 perusahaan dari 100 industri manufaktur di AS selama tahun 1976 – 1980 untuk mencari hubungan antara usia dan ukuran perusahaan terhadap kebertahanan dan pertumbuhan perusahaan. Secara teknis Evans mendefinisikan survival sebagai perusahaan yang ada di tahun 1976 kemudian ada lagi di tahun 1980. Artinya jika ada perusahaan yang hilang di pertengahan tahun, asalkan muncul kembali di tahun 1980, tetap diberi kode 1 (bertahan) sementara perusahaan yang tidak muncul di tahun 1980 diberi kode 0 (tumbang). Fakta bahwa perusahaan tidak exist pada tahun 1980 bisa berarti beberapa hal. Mungkin memang bangkrut, mungkin saja secara sukarela bubar sendiri, mungkin telah bergabung (merger) dengan perusahaan lain, atau mungkin Penelitian ini melibatkan 42339 perusahaan dari 100 industri manufaktur di AS selama tahun 1976 – 1980 untuk mencari hubungan antara usia dan ukuran perusahaan terhadap kebertahanan dan pertumbuhan perusahaan. Secara teknis Evans mendefinisikan survival sebagai perusahaan yang ada di tahun 1976 kemudian ada lagi di tahun 1980. Artinya jika ada perusahaan yang hilang di pertengahan tahun, asalkan muncul kembali di tahun 1980, tetap diberi kode 1 (bertahan) sementara perusahaan yang tidak muncul di tahun 1980 diberi kode 0 (tumbang). Fakta bahwa perusahaan tidak exist pada tahun 1980 bisa berarti beberapa hal. Mungkin memang bangkrut, mungkin saja secara sukarela bubar sendiri, mungkin telah bergabung (merger) dengan perusahaan lain, atau mungkin Evans (1987) menggunakan pertumbuhan tenaga kerja sebagai proksi pertumbuhan perusahaan. Variabel bebas yang digunakan untuk menganalisis kebertahanan dan pertumbuhan, antara lain ukuran, usia dan jumlah pabrik. Model yang digunakan Evans (1987) adalah sebagai berikut, S = ukuran perusahaan (size), nilainya diproksi dari jumlah tenaga kerja A = umur perusahaan (age) B = jumlah pabrik (number of plants) = fungsi pertumbuhan μ = error = tahun awal = 1976 ′ = tahun akhir = 1980 Secara teknis Evans hanya menggunakan data perusahaan bertahan (kode 1) untuk meneliti model pertumbuhan perusahaan. Oleh sebab itu data sample untuk mengestimasi variabel terikat pertumbuhan perusahaan perlu disensor. Mensensor perusahaan tumbang (kode 0) ketika mengestimasi pertumbuhan dari perusahaan bertahan. Terkait hal ini Evans akan menghadapi masalah sample selection bias akibat pemilihan sample yang tidak acak. Formulasi perhitungan variabel bebas dalam penelitian ini bertahun data 1976 untuk mengestimasi variabel terikat kebertahan dan pertumbuhan ke tahun ′ 1980 (point to point). Observasi dikeluarkan jika ′ kurang dari 1978 atau jika kurang dari 1974. Ini menyiratkan dua hal pertama, pertumbuhan hanya menyertakan perusahaan-perusahaan yang minimal hilang data di tahun 1977 saja, dan maksimal perusahaan-perusahaan exist di sepanjang tahun 1976 – 1980. Kedua, ternyata untuk menentukan keberadaan perusahaan pada tahun 1976 (tahun awal penelitian) juga ditentukan Evans dari keberadaan perusahaan sejak tahun 1974. Dengan kata lain sebetulnya Evans memiliki data mentah 1974 – 1980. Kemudian saat mengestimasi kebertahanan dan pertumbuhan perusahaan, Evans (1987) memisahkan regresi antara perusahaan muda dan perusahaan tua. Perusahaan muda didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki usia 6 tahun atau lebih muda pada tahun 1976. Sedangkan perusahaan tua didefinisikan memiliki usia 7 tahun atau lebih tua pada tahun 1976. Hasil temuan penelitian ini antara lain, 1) Ukuran dan usia perusahaan berhubungan negatif terhadap pertumbuhan perusahaan. Tingkat pertumbuhan perusahaan berhubungan negatif terhadap ukuran perusahaan yang terbukti pada 89 industri, dan terhadap usia perusahaan pada 76 2) Ukuran dan usia perusahaan berhubungan positif terhadap kebertahanan perusahaan. Hubungan positif antara kemampuan perusahaan untuk bertahan dengan ukurannya terbukti pada 81 industri, sedangkan hubungan positif dengan umur perusahaan terbukti pada 83 industri. 3) Ukuran dan usia perusahaan berhubungan negatif terhadap variablitias pertumbuhan perusahaan., yang terbukti pada 85 dari industri untuk umur perusahaan dan 80 dari industri untuk ukuran perusahaan. The Role of Technology Use in The Survival and Growth of Manufacturing Plantsby Mark Doms, Timothy Dunne, Mark J. Roberts (1995) Studi ini memiliki fokus penelitian pada hubungan intensitas kapital dan penggunaan teknologi dalam produksi terhadap kebertahanan dan tingkat pertumbuhan perusahaan. Penelitian ini melibatkan 6090 perusahaan manufaktur di US selama periode tahun 1987 – 1991. Prob(Exit) = f(Age, Size, Productivity, Technology, Capital-intensity) Variabel terikat (exit) diberi kode 1 jika bertahan selama 1988 – 1991 dan 0 jika tumbang. Sementara variabel terikat growth diproksi dari pertumbuhan tenaga kerja. Berbeda dengan Evans (1987) yang menghitung labor growth dengan logaritma natural, Doms dkk menghitungnya dari employment 1991 – employment 1987 employment 1987. Variabel-variabel bebas seperti umur, ukuran perusahaan, dan tingkat teknologi dinyatakan dalam bentuk dummy. Produktivitas perusahaan diproksi dengan dua pendekatan, produktivitas tenaga kerja dan produktivitas total faktor. Kesamaan dengan Evans, formulasi perhitungan setiap variabel bebas digunakan data pada tahun awal (point to point). Hasil temuan dari fokus penelitian ini adalah teknologi dan intensitas kapital terbukti memberikan dampak positif signifikan pada kebertahanan dan pertumbuhan perusahaan. Artinya penggunaan capital yang semakin besar dan penggunaan teknologi yang semakin canggih mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan di pasar. Pada model kebertahanan, ditemukan bahwa usia, ukuran, dan produktivitas tenaga kerja berhubungan positif terhadap kebertahanan perusahaan. Perusahaan dengan umur lebih tua, ukuran lebih besar, dan produktivitas tinggi akan mampu bertahan di pasar. Pada model pertumbuhan, ditemukan bahwa ukuran dan usia perusahaan berhubungan negatif dengan tingkat pertumbuhan perusahaan. Artinya, perusahaan yang lebih dulu berdiri (semakin tua) akan tumbuh lebih lambat daripada perusahaan muda. Dan perusahaan yang berukuran semakin besar juga tumbuh lebih lambat daripada perusahaan kecil. 2.4.2 Penelitian-penelitian tentang Kebertahanan dan Pertumbuhan Perusahaan Tabel 1.2 Tabel Rangkuman Jurnal Kebertahanan dan Pertumbuhan Perusahaan Peneliti (Periode Penelitian) Judul Penelitian Fokus Penelitian Metode Regresi Meneliti tiga aspek Ukuran dan usia The Relationship dalam industri berhubungan negatif Between Firm manufaktur di US , dengan pertumbuhan Evans, David S. Growth, Size, and (1976 – 1980) Usia, ukuran, dan yaitu pertumbuhan, perusahaan, Age: Estimates for jumlah pabrik yang kebertahan, dan Probit dan OLS dimiliki perusahaan variabilitas berhubungan positif Manufacturing pertumbuhan dengan kebertahanan Teknologi dan The Role of Studi ini berfokus capital intensity Doms, Dunne, dan Technology Use in meneliti hubungan Usia, ukuran, (1987 – 1991) berpengaruh positif Robeths the Survival and intensitas kapital dan teknologi, intensitas terhadap Growth of teknologi terhadap kapital, dan Probit dan OLS kebertahanan dan perusahaan dan perusahaan. pertumbuhannya Universitas Indonesia Small Open Perusahaan yang Economy Firms in melakukan ekspor Eriksson, Smeets, International Meneliti pengaruh (1993 – 2003) akan cenderung lebih dan Warzynski Trade: ekspor terhadap Ukuran, impor, dan bertahan Evidence from dibandingkan yang tidak melakukan Usia dan ukuran Meneliti hubungan berhubungan positif Age, Size, Growth, usia dan ukuran terhadap Dunne dan Hughes (1975 – 1985) and Survival: perusahaan terhadap Usia dan ukuran kebertahanan, UK Companies kebertahanan dan Probit dan OLS In the 1980s pertumbuhan berhubungan negatif perusahaan di Inggris terhadap pertumbuhan. Meneliti tiga jenis Ekspor dan two-way Export, Import and perdagangan trading berhubungan Wagner, Joachim Firm Survival: (2001 – 2004) internasional, yaitu Ekspor, impor, usia, positif terhadap First Evidence ekspor, impor, dan ukuran, dan kebertahanan For Manufacturing Probit dan OLS two-way trading pada produktivitas perusahaan di negara in Germany perusahaan Universitas Indonesia Tabel 2.2 Tabel Rangkuman Penelitian Kebertahanan dan Pertumbuhan Perusahaan Studi Kasus di Indonesia Peneliti (Periode Penelitian) Judul Penelitian Objek Penelitian Metode Regresi Meneliti faktor-faktor Kelima variabel internal yang Faktor Penentu internal tersebut mempengaruhi Ukuran, ekspor, Sadat, Dea N. Kebertahanan (2002 – 2006) signifikan berhubungan positif terhadap perusahaan untuk produktivitas, dan Manufaktur di Probit kebertahanan bertahan di industri capital-intensity Indonesia perusahaan di industri manufaktur di manufaktur Indonesia Indonesia Analisis Studi ini memiliki Signifikansi Ukuran, profit, Nilai impor China fokus menganalisis Dampak Impor kepemilikan modal berhubungan positif dampak dari penetrasi Wulandari, Laela China terhadap asing, bahan baku signifikan terhadap (2002 – 2007) impor TPT China D. Kebertahanan dan impor, PDRB, kebertahanan terhadap kebertahanan Pertumbuhan produktivitas, perusahaan, sebaliknya Probit dan OLS dan pertumbuhan Industri Tekstil capital-intensity, tidak terbukti signifikan perusahaan dalam dan Produk dan impor barang mempengaruhi industri TPT Tekstil (TPT) sejenis dari China pertumbuhan Indonesia Indonesia Universitas Indonesia 3.1 Gambaran Umum Industri Pengolahan Perikanan Ikan merupakan salah satu sumber bahan makanan bergizi yang baik untuk tubuh karena mengandung diantaranya protein, lemak, vitamin, dan mineral. Manusia sudah sejak lama memanfaatkan ikan untuk kebutuhan pangan. Peningkatan jumlah penduduk disertai pergeseran pola makan masyarakat dari red meat ke white meat adalah faktor-faktor yang mendesak permintaan ikan yang lebih banyak. Di satu sisi ikan begitu diminati, namun di sisi lain ikan dikenal sebagai bahan makanan yang tidak tahan lama dan ketersediaannya juga bergantung pada faktor alam. Semula orang menangkap ikan hanya untuk dimakan pada hari itu saja sebab 2 – 3 hari kemudian bisa dipastikan ikan tersebut mulai membusuk. Melihat karakteristik ikan yang seperti itu maka dibentuklah basis pengolahan perikanan. Menurut Damayanti (2012) komponen industri pengolahan muncul karena adanya tiga sebab utama, yaitu a) ketika hasil tangkap harus disimpan dalam waktu yang relatif lama b) ketika hasil tangkap harus dibawa dari lokasi penangkapan ke pasar dalam jarak yang relatif jauh, dan c) ketika hasil tangkap diperuntukan untuk tujuan ekspor. Menurut jenis pengolahannya, industri pengolahan perikanan dapat dibedakan menjadi industri pengolahan modern dan industri pengolahan tradisional. Industri pengolahan modern mencakup industri pengalengan dan industri pembekuan, sedangkan industri pengolahan tradisonal mencakup industri pengasapan, industri pengasinan, dan industri pemindangan. Secara umum selain berbeda pada kompleksitas teknik mengolah seperti penggunaan mesin-mesin berteknologi, perbedaan juga terletak pada jenis bahan baku yang digunakan dimana industri pengolahan perikanan tradisional pada umumnya menggunakan jenis komoditas ikan yang bernilai ekonomi rendah dan bergizi rendah relatif dibandingkan jenis bahan baku di industri pengolahan perikanan modern. Universitas Indonesia Tabel 1.3 Ruang Lingkup Industri Pengolahan Perikanan KBLI 2005 KBLI 2009 Keterangan 10221 Industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota air dalam kaleng 15121 10222 Industri pengolahan dan pengawetan udang dalam kaleng 10211 Industri pengasinanpengeringan ikan 15122 10291 Industri pengasinanpengeringan biota air lainnya 10212 Industri pengasapan ikan 15123 10292 Industri pengasapan biota air lainnya 10213 Industri pembekuan ikan 15124 10293 Industri pembekuan biota air lainnya 10214 Industri pemindangan ikan 15125 10294 Industri pemindangan biota air lainnya 10219 Industri pengolahan dan pengawetan ikan lainnya 15129 10299 Industri pengolahan dan pengawetan lainnya untuk biota air lainnya Sumber : BPS, Tabel Kesesuaian Lapangan Usaha KBLI 2009 KBLI 2005 cetakan 2 Tabel 2.3 Volume Produksi Industri Pengolahan Perikanan Menurut Jenis Olahan Tahun 2002 – 2012 (unit ton) 8 Sumber : Statistik Kelautan Perikanan 8 Produksi ini hanya berasal dari input bahan baku perikanan tangkap, tidak termasuk bahan baku dari perikanan budidaya. Dan ini hanya volume ikan, tidak termasuk krustasea dan moluska. Gambar 1.3 di bawah ini menampilkan nilai output industri pengolahan perikanan beserta subsektor industri didalamnya yang dihitung atas harga konstan tahun 2005 selama 2006 – 2011. Nilai output industri pengolahan perikanan menurun dari 180 juta rupiah pada tahun 2006 menjadi 99 juta rupiah tahun 2011. Secara umum nilai output tersebut tumbuh negatif dengan rata-rata -11,26. Jika diamati dengan seksama, pola penurunan nilai output sektor industri pengolahan perikanan serupa dengan pola penurunan pada subsektor industri pembekuan perikanan. Pada periode yang sama industri pembekuan perikanan menurun dari 140 juta rupiah tahun 2006 menjadi 64 juta rupiah tahun 2011. Nilai output industri pembekuan ini tumbuh negatif dengan rata-rata -14,85. Pada tingkat subsektor tidak semua industri mengalami penurunan, peningkatan output terjadi pada industri pengalengan dengan rata-rata pertumbuhan 2 dan industri pengasapan dengan rata-rata pertumbuhan 34,6 selama periode tersebut. pengolahan perikanan 180005309.5 115883262.7 79947072.3 83543540.5 83307551.2 99071177.4 pengalengan Gambar 1.3 Nilai Output Industri Pengolahan Perikanan berdasarkan Tingkat Subsektor atas Harga Konstan Tahun 2005, 2006 – 2011 Sumber : BPS, Industri Besar Sedang (diolah) Gambar 2.3 di bawah menyajikan grafik jumlah perusahaan pada industri pengolahan perikanan beserta tingkat subsektornya selama tahun 2006 – 2011. Jumlah perusahaan industri pengolahan perikanan secara umum tumbuh negatif dengan rata-rata -6,6. Jumlah perusahaan pengolahan perikanan menurun dari 862 unit tahun 2006 menjadi 648 unit tahun 2011. Pada periode yang sama, jumlah perusahaan pembekuan perikanan juga menurun dari 398 unit tahun 2006 menjadi 258 unit tahun 2011. Jumlah perusahaan pembekuan perikanan tumbuh negatif dengan rata-rata -8,3. pengolahan perikanan Gambar 2.3 Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan Perikanan berdasarkan Tingkat Subsektor Tahun 2006 – 2011 (unit) Sumber : BPS, Industri Besar Sedang (diolah) Gambar 3.3 di bawah ini memperlihatkan tren jumlah tenaga kerja industri pengolahan perikanan berikut juga pada masing-masing subsektor didalamnya selama tahun 2006 – 2011. Selama periode tersebut pertumbuhan tenaga kerja industri pengolahan perikanan bernilai negatif dengan rata-rata -4,3. Jumlah tenaga kerja industri pengolahan perikanan praktis menurun dari 115 ribu pada tahun 2006 menjadi 92 ribu tahun 2011. Jika diamati dengan seksama, pola penurunan jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan perikanan serupa dengan pola penurunan subsektor industri pembekuan perikanan. Pada periode Gambar 3.3 di bawah ini memperlihatkan tren jumlah tenaga kerja industri pengolahan perikanan berikut juga pada masing-masing subsektor didalamnya selama tahun 2006 – 2011. Selama periode tersebut pertumbuhan tenaga kerja industri pengolahan perikanan bernilai negatif dengan rata-rata -4,3. Jumlah tenaga kerja industri pengolahan perikanan praktis menurun dari 115 ribu pada tahun 2006 menjadi 92 ribu tahun 2011. Jika diamati dengan seksama, pola penurunan jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahan perikanan serupa dengan pola penurunan subsektor industri pembekuan perikanan. Pada periode pengolahan perikanan 115449 106296 109757 95361 Gambar 3.3 Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan Perikanan berdasarkan Tingkat Subsektor Tahun 2006 – 2011 (satuan orang) Sumber :BPS, Industri Besar Sedang (diolah) 3.2 Gambaran Industri Pembekuan Perikanan Pembekuan adalah proses pengolahan bahan baku ikan mentah dari mulai pencucian hingga pembekuan dalam freezer dalam suhu rendah (-12°C – -30°C) dengan tujuan mengubah kandungan air dalam tubuh ikan menjadi kristal es sehingga mampu menghambat aktivitas bakteri dan enzim (Murniyati dan Sunarman 2000 Hal. 78 – 79). Berkat kemajuan teknologi, ikan yang telah dibekukan kini mampu memperpanjang daya tahannya hingga beberapa bulan bahkan hingga beberapa tahun ke depan. Gambar 4.3 Pohon Industri Pembekuan Perikanan Sumber : Sistem Informasi Agroindustri Berorintasi Ekspor: Bank Indonesia 2011b, dibuat Universitas Indonesia Industri Hulu (upstream) Sektor ini bertugas menyediakan bahan baku yang akan digunakan sebagai input industri pengolahan. Sektor yang dimaksud adalah sektor perikanan tangkap dan sektor perikanan budidaya. Jika perikanan tangkap memperoleh hasil dengan cara menangkap ikan dan biota air lainnya di laut dan perairan umum, perikanan budidaya adalah hasil membudidayakan ikan dan biota air lainnya di kolam, tambak, karamba, dan media sejenis lainnya. Volume produksi perikanan meningkat dari 7.488 ribu ton tahun 2006 menjadi 19.416 ribu ton tahun 2013. Selama periode tersebut perikanan budidaya mengalami pertumbuhan 25,7 atau lebih cepat dari pertumbuhan perikanan tangkap yang sebesar 3,5. Mulai tahun 2010 produksi perikanan budidaya lebih tinggi dari produksi perikanan tangkap. Peningkatan pada tahun 2010 disumbang oleh budidaya daya tambak dengan nilai 24 trilyun dan budidaya kolam dengan nilai 14 trilyun. Pada tahun 2013, 68,5 hasil perikanan disumbang dari perikanan budidaya dan 31,5 sisanya disumbang perikanan tangkap. 70 hasil budidaya pada tahun tersebut disumbang oleh komoditas rumput laut, ikan nila 7, udang 5, dan ikan bandeng 5. Hal ini menandakan bahwa kedepannya perikanan budidaya berpotensi besar mendongkrak produksi perikanan Indonesia. Gambar 5.3 Volume Produksi Perikanan Tahun 2006 – 2013 (ribu ton) Perikanan Tangkap 4.806 5.044 5.003 5.108 5.384 5.714 5.829 6.115 Perikanan Budidaya 2.682 3.193 3.855 4.709 6.278 7.929 9.676 13.301 Total Sumber : Statistik Kelautan Perikanan Universitas Indonesia Industri Hilir (downstream) Sebagian hasil perikanan sektor hulu sudah bisa dipasarkan dalam bentuk segar, baik untuk konsumsi domestik maupun langsung diekspor, sedangkan sebagian lagi diserap oleh sektor hilir. Sektor hilir atau biasa disebut sebagai industri pengolahan ini menggunakan bahan baku yang dibeli dari TPI atau dari pemasok untuk kemudian diolah di dalam pabrik pengolahan. Rangkaian proses produksi di dalam pabrik pembekuan perikanan adalah seperti berikut, Gambar 6.3 Tahapan Proses Produksi Perikanan Beku 3.3 Struktur Pasar Industri Pembekuan Perikanan Menyatakan struktur pasar sebuah industri, apakah perfect competition, monopolistic competition, oligopoly, atau monopoly, dapat diketahui dengan cara mengukur konsentrasi pasar. Tingkat konsentrasi ditujukan untuk mengukur tingkat persaingan dalam industri. Pengukuran yang sering digunakan ekonom dan banyak diajukan dalam literatur adalah rasio CR4 dan indeks HHI. CR4 adalah rasio konsentrasi dari empat pangsa terbesar atau persentase nilai penjualan oleh empat perusahaan terbesar. Rasio kurang dari 60 dinyatakan sebagai competitive market dan jika lebih dari 60 mengindikasikan ada domminant firm dari beroligopoli. Rasio konsentrasi yang rendah mengindikasikan derajat kompetisi yang tinggi sementara rasio konsentrasi yang tinggi mengindikasikan tidak ada kompetisi (Parkin : 238). Sedangkan indeks HHI didapatkan dari jumlah kuadrat pangsa pasar setiap perusahaan yang bersaing dalam industri. HHI lebih baik dibandingkan dari CR4 karena menyediakan kombinasi informasi pangsa pasar dari seluruh perusahaan di dalam pasar. Menurut US Department of Justice, pengkategorian indeks HHI sebagai berikut; HHI Competition Level < 1500 Unconcentrated Markets 1500-2500 Moderately Concentrated Markets > 2500 Highly Concentrated Markets Sumber : US Department of Justice Tabel 3.3 Tabel Indeks CR4 dan HHI Industri Pembekuan Perikanan Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah Tabel 3.3 memperlihatkan angka indeks CR4 dan HHI industri pembekuan perikanan selama tahun 2006 – 2011. Berdasarkan CR4 maka industri pembekuan perikanan masuk ke dalam competitive market. Berdasarkan HHI maka industri pembekuan perikanan masuk ke dalam kategori unconcentrated markets. Kedua hasil tersebut menyimpulkan sebuah hal yang sama, yakni sebuah pasar yang tidak terkonsentrasi dan juga tidak adanya domminant firm sehingga kemampuan untuk mengontrol harga pasar lebih sulit ketimbang industri dengan pasar yang relatif lebih terkonsentrasi. Ada banyak pemain di dalam industri pembekuan perikanan dan mereka cenderung mempunyai size atau pangsa pasarnya tidak jauh berbeda. Secara spesifik maka struktur pasar dari industri pembekuan perikanan ini masuk ke dalam kategori pasar persaingan monopolistik. Jenis pasar seperti ini biasanya menggunakan strategi iklan dan mendiferensiasi produk untuk ber- kompetisi dengan para pesaingnya.BAB 3 PROFIL INDUSTRI PEMBEKUAN PERIKANAN INDONESIA