I penyebarannya. Terbukti dengan tindakan intoleransi dan
I penyebarannya. Terbukti dengan tindakan intoleransi dan
deologi transnasional yang bersifat ekstrim-radikal semakin menguat seiring perkembangan teknologi informasi lewat media sosial sebagai instrumen
terorisme yang terjadi di beberapa waktu lalu di Indonesia.
Hal tersebut menjadi pembicaraan serius antara Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dan Presiden RI Joko Widodo, Rabu (111) di Istana Negara Jakarta. Kiai Said dijamu makan siang oleh Jokowi sembari membicarakan kondisi terkini bangsa dan negara. Obrolan berlangsung santai dan penuh keakraban.
Kepada Kiai Said, Jokowi mengemukakan beberapa persoalan terkait radikalisme dan intoleransi yang kerap kali dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan merapuhkan pondasi kebangsaan yang selama ini telah terjalin kuat.
“Presiden menyampaikan, bagaimana caranya untuk menangkal itu semua. Saya jawab, pertama faktor pemahaman agama yang kurang sempurna, dangkal, dan tidak mendalam,” jelas Kiai Said kepada NU Online.
Maka, menurut Doktor lulusan Universitas Ummul Qurra Makkah ini, langkah jangka panjang dalam sudut pandang pendidikan Islam yaitu dengan meneguhkan pendidikan pesantren. Lewat pemahaman kurikulum Islam ramah dan moderat, hal ini juga bisa diterapkan di sekolah dan madrasah.
“Kurikulum merupakan langkah jangka panjang untuk memahamkan generasi muda akan sejarah dan lahirnya NKRI ini. Juga menegakkan kembali pendidikan Pancasila,” terang Guru besar ilmu tasawuf ini.
Sedangkan langkah jangka pendek, menurutnya, mengisi masjid dan mushalla dengan pengajian-pengajian yang menyejukkan. Di sini dibutuhkan peran ulama, kiai maupun ustadz yang mempunyai komitmen terhadap Islam rahmatan lil alamin.
“Pendidikan dan pengajian yang dilakukan oleh kiai- kiai kampung selama ini menyejukkan. Mereka mengajarkan bagaimana hidup rukun, berbuat baik kepada tetangga, perilaku sopan santun dan ramah kepada siapa pun,” urai Kiai asal Kempek Cirebon ini.
Kiai Said pun jengah terhadap orang atau kelompok tertentu yang menyampaikan Islam dengan marah-marah dan eksklusif (tertutup) sehingga membuat wajah Islam terkesan kaku dan garang.
Dia juga menyoroti eskalasi radikalisme di media sosial yang semakin meningkat. Bahkan medsos dijadikan alat untuk memfitnah dan menyebarkan berita bohong (hoax). Karena itu, mengampanyekan Islam ramah dan toleran di medsos merupakan langkah mendesak saat ini. (Fathoni)
Kenapa Jaringan Teroris Gencar Rekrut Perempuan? Ini Penjelasan Kiai Said
S sebagai sarana indoktrinasi dan distribusi logistik, tetapi juga
el-sel jaringan terorisme yang digerakkan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) saat ini kecenderungannya gencar merekrut perempuan. Tidak hanya dijadikan
dijadikan sebagai “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri.
Terbukti dengan beberapa perempuan yang tertangkap oleh Densus 88 Polri yang hendak melakukan aksi bom bunuh diri. Kasus pertama penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi yang hendak meledakkan diri dengan target Istana Negara.
Kedua, Ika Puspitasari alias Salsabila di Purworejo yang diduga kuat terlibat tindak pidana terorisme, dan ketiga penangkapan Jumiatun Muslim alias Atun alias Bunga alias Umi Delima, istri Santoso, Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Mengapa gencar merekrut perempuan? Terkait dengan kecenderungan tersebut, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mempunyai analisis tersendiri. Penjelasan itu ia kemukakan dalam rubrik opini berjudul Perempuan dan Terorisme yang ditulisnya di Harian Kompas edisi Kamis, 5 Januari 2017.
Menurut penjelasan Kiai Said, ada tiga faktor yang menjadi kecenderungan sel jaringan terorisme NIIS gencar merekrut perempuan.
Pertama, katanya, sel NIIS di Indonesia sedang meniru strategi dan taktik NIIS internasional yang melibatkan perempuan dalam peran-peran kombatan yang selama ini didominasi laki-laki.
“Termasuk pasukan artileri dan pasukan bom bunuh diri,” tulis Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah Ciganjur, Jakarta Selatan ini.
Menurut Guru besar ilmu tasawuf itu, saat ini NIIS di Irak dan Suriah mengalami banyak kekalahan. Menjadikan perempuan pelaku bom bunuh diri atau pasukan artileri dianggap efektif untuk mengelabui lawan.
“Kedua, secara sosiologis perempuan, termasuk anak- anak adalah kelompok rentan,” jelasnya.
Dalam kasus Dian, menurut Kiai Said, betapa perempuan dan anak-anak sangat rentan saat tercuci pikirannya ketika menemukan dan membaca doktrin-doktrin radikal di dunia maya dan di media sosial.
“Dian mengaku sering membuka status-status Facebook para ekstrem jihadis di Suriah dan sering mengonsumsi berita serta artikel keagamaan di situs millahibrahim.net yang berisi ajaran-ajaran radikal Aman Abdurrahman tanpa nalar kritis,” urai Kiai asal Kempek, Cirebon ini.
Ketiga, imbuhnya, banyak studi menunjukkan perempuan yang menjadi TKW mengalami banyak kekerasan fisik dan psikis. Kekerasan ini, menurut Kiai Said melahirkan penyakit psikis berupa marah, gelisah, dan putus asa. Hal ini menjadikan mereka makin rentan terhadap pengaruh apapun.
“Butuh mekanisme pertahanan diri secara benar dalam diri setiap orang. Dalam kasus Dian, mekanisme pertahanan diri justru diperoleh dari jalan yang tidak benar,” terang Kiai Said. (Fathoni)