Tinjauan Sosial – Konlik

b. Tinjauan Sosial – Konlik

Friedrich Engels dalam bukunya Origins of The Family, Private Property, and The State (1884), bahwa pembagian peran dalam pola hubungan suami istri dalam keluarga merupakan penindasan perempuan yang paling parah. Adalah Collins

(1975) yang kemudian menerapkan teori Engels ini menjadi teori sosial konlik yang secara tidak langsung menjadi teori bantahan untuk Struktural fungsional. Menurut Collins, struktural fungsional menjadikan institusi keluarga menganut sistem patriarkat. Kedudukan suami, istri, dan anak­anak menjadi bentuk vertikal yang dianggap sebagai struktur yang opaling ideal. Padahal menurut perspektif sosial konlik, struktur keluarga yang ideal adalah companionship, yang hubungannya horizontal (Megawangi, 1999:86)

Model sosial konlik ini menganggap bahwa penganut struktural fungsional tentang keluarga telah melestarikan pola relasi hierarkis yang menindas perempuan. Agama, nilai-nilai, dan budaya dianggap sebagai sperstruktur dalam institusi keluarga yang kemudian meromantisasi nilai hakiki seorang perempuan dengan hal-hal yang dianggap baik oleh agama, nilai-nilai, dan budaya yang berlaku pada masya- rakat. Misalnya, anggapan tentang perempuan yang baik, adalah perempuan yang selalu menurut pada suami dan mengabdi hanya untuk suami dan anak-anaknya. Puji-pujian yang diberikan pada peran emosional ekspresif seorang perempuan, bagi model konlik dianggap upaya untuk me­ men jarakan perempuan dalam sangkar emas. Sehingga banyak perempuan yang terbius dan mau mengorbankan dirinya untuk menjalankan peran keibuannya.

Pandangan dari model sosial­konlik memang kede­ ngarannya lebih membela kaum perempuan. Sosial konlik dengan tegas menyuarakan pendapatnya bahwa perempuan harus disadarkan dari tidur panjang dalam buaian puja puji melalui budaya, norma, bahkan dengan agama tentang peran keibuannya yang sebenarnya adalah opium untuk melenakan mereka dalam ketertindasan. Ungkapan “ratu rumah tangga” untuk perempuan yang mengabdikan hidupnya hanya untuk melayani suami dan anak-anak dirumah adalah kata lain “pembantu rumah tangga”.

Namun, bagi perempuan Madura, keikutsertaan mereka dalam mencari nakah dan berbagi ranah publik dengan laki­ laki bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya patriarkhi yang mendarah daging pada masyarakat Madura. Bukan juga untuk sebuah pembuktian siapa yang berkuasa atas siapa. Perempuan Madura tidak merasa perlu untuk merebut hak-hak utama yang menjadi dasar perjuangan emansipasi, karena sejak dulu mereka sudah memilikinya. Dibandingkan dengan perempuan pada umumnya, mereka lebih maju dalam melepaskan belenggu ketertindasan perempuan. Bagi mereka, sebenarnya perempuan mampu mengerjakan apapun jika mereka mau dan menginginkannya.

Pada umumnya perempuan Madura dapat menerima kondisi ekonomi keluarga apa adanya, sekalipun dalam keadaan yang sangat sulit sekalipun. Mereka akan secara ikhlas terlibat langsung mencari nakah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja apapun yang mampu mereka lakukan, menjadi buruh atau bahkan menjadi pembantu rumah tangga. Namun, sekalipun diluar rumah mereka menjadi pembantu rumah tangga, perempuan Madura tidak akan terima jika didalam rumah tangganya dia diperlakukan sebagai pem- bantu. Salah satu sikap laki-laki dalam keluarga yang oleh perempuan Madura dianggap mencerminkan anggapan tersebut adalah jika suami menjatah uang belanja untuk mereka. Perempuan Madura tidak suka e taneng atau djatah uang belanjanya dalam jumlah tertentu. (Inilah gambaran dari syair nyaman ongghu andik lake oreng madhure, belenje ngala dhibi ).Sikap suami menjatah uang belanja dianggap sebagai sikap yang tidak menghargai perempuan sebagai istri yang harus dilibatkan dalam pengelolaan keuangan dalam rumah tangga karena mereka juga membantu mencari nakah. Pada keluarga Madura, pengatur keuangan dalam rumah tangga adalah tugas istri.

Jika terjadi kegagalan dalam ekonomi keluarga, maka yang akan dipersalahkan adalah pihak istri. Dalam pengaturan keuangan keluarga dalam masyarakat Madura berlaku adagium yang berbunyi masea jhelena tegghu mon kerrengnga jurut, tak kera bede ollena (meskipun jalanya kuat kalau keramba ikannya ikannya rapuh tidak aka nada hasilnya). Laki­laki yang tidak menyerahkan pengelolaan keuangan pada perempuan akan dikatakan sebagai lake ta’ lalake’ tape bebine’ (suami yang tidak laki-laki, tapi perempuan), sedangkan perempuannya akan merasa menjadi bine; tape ta’ bini (perempuan tapi bukan istri).