Proses transformasi pengetahuan ( knowledge)

Gambar 4. Proses transformasi pengetahuan ( knowledge)

Supardi dan Rony adalah dua igur perantau yang sudah berproses melewati tahapan-tahapan sampai dimana mereka ber-

dua sekarang berada pada posisi “pembawa”. Beberapa saudara dan kerabat sudah mereka ajak merantau. Mekanisme yang mereka

lakukan dalam berinteraksi dengan perantau “baru” berdasarkan referensi pengalaman mereka ketika pada awal masa merintis di perantauan dan masih mengikut pada saudara yang sudah dulu

merantau. Seperti disampaikan Supardi berikut:

“kalau pembagian gaji saya pada awal ikut kakak (perantau sebelumnya) termasuk enak. Anggap saja saya hanya modal tenaga. Setiap pelanggan yang cukur rambut saya mendapat enam puluh persennya. Misalkan tarif dua puluh ribu saya dapat dua belas yang delapan ribu buat yang saya tumpangi. Namun kalau untuk cukur jenggot dan kumis ongkosnya semua boleh untuk saya”

Sedangkan Rony menyampaikan bahwa sistem pembagian hasil tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan. Pembagian dapat dilakukan setiap hari atau pada kurun waktu yang disepakati misalnya satu minggu sekali.

“bayaran ada yang mingguan dan harian tergantung pada pemilik, tapi saya juga boleh minta kalau memang sedang butuh. Karena saya kan dianggap bukan bekerja pada orang yang saya ikuti tapi saudara yang datang dari jauh”

Selain mendapatkan pembagian hasil, perantau pendatang juga mendapatkan fasilitas kebutuhan primer dari “pembawanya”. Bagi perantau pendatang mereka mendapatkan dukungan untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Khususnya untuk perantau yang masih belum berkeluarga maka semua kebutuhan primer dapat dipenuhi oleh “pembawa”. Sedangkan bagi perantau yang akhir­ nya berkeluarga dengan inisiatif sendiri memisahkan dari “pem- bawanya”, meskipun tidak ada permintaan untuk memisahkan tempat tinggal. Rony mengungkapkan pengalamannya setelah ber- ke luarga dan memilih untuk menempati rumah kontrakan sendiri:

“kalau saya sudah berkeluarga ya sudah pisah, meski- pun saudara saya yang saya ikuti itu tidak pernah minta saya pindah bahkan pernah meminta saya tetap mema- kai rumah dia yang lain”

Keinginan berbagi dan mengentaskan sesamanya bagi peran­ tau Madura selain karena tuntutan tradisi juga merupakan intuisi

spiritualitas. Kim (2000) menyebutkan bahwa masyarakat tradi­ sional Asia­India, Tibet, Jepang, Cina, Korea dan Asia Tenggara dipe ngaruhi oleh sistem religi dan ilosoi yang kental. Seperti di­ ung kapkan oleh Supardi, yang telah merantau di Semarang (Jalan Tentara Pelajar) sejak tahun 1985 ini bahwa dia merasa punya tanggung jawab moral untuk ikut membantu saudaranya di daerah yang belum bekerja.

“aku ngajak tretan-saudara- karena disana juga nggak ada pekerjaan. Kalo tak ajak kesini tenaga tukang cukur “aku ngajak tretan-saudara- karena disana juga nggak ada pekerjaan. Kalo tak ajak kesini tenaga tukang cukur

Bentuk ilantropi diaspora secara umum dari perantau Madura seperti yang diuraikan Supardi dan Rony bukan hanya dilakukan oleh komunitas tukang cukur. Secara keterikatan kultural perantau Madura dari berbagai profesi, terutama yang bergerak di sektor informal juga melakukan arisan. Dalam arisan tersebut kesepakatan tentang jumlah iuran arisan, dimana akan dikocok dan ketentuan lainnya. Program arisan yang dilakukan oleh perantau Madura ini dilakukan biasanya bersamaan dengan pengajian bulanan. Untuk tukang cukur iuran arisan berkisar nominal sebesar tiga ratus ribu rupiah. Sedangkan untuk pedagang soto arisan berkisar pada angka satu juta rupiah perbulan.

Geertz (2009) menuliskan bahwa pemahaman akan budaya baru didasarkan pada gagasan dengan melibatkan penafsiran.

Penempatan tindakan­ritual budaya, adat istiadat, ailiasi politik dan sebagainya dalam konteks spesiik dan lokal dimana konstruksi budaya dilakukan. Konstruksi budaya “baru” yang dilahirkan oleh komunitas perantau Madura ini merupakan bukti untuk pengelolaan sumber daya (resources) dengan cara yang lebih profesional dapat menguatkan proil ekonomi dan sosial.