Tinjauan Struktural – Fungsional

a. Tinjauan Struktural – Fungsional

Dalam pandangan teori struktural fungsional tentang keluarga, parsons dan bales membagi dua peran dalam keluarga, yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh laki-laki dan peran emosional atau peran ekspresif yang biasanya dipegang oleh igur perempuan. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nakah untuk kelangsungan hidup seluruh keluarga. Sedangkan peran emosional eks- presif adalah peran pemberi cinta, kelembutan, dan kasih sayang. Laki­laki berada diluar rumah untuk mencari nakah, sedangkan perempuan berada di rumah untuk memberikan kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat tercapai (Megawangi, 1999: 68). Dari aspek fungsional, jika dalam sebuah keluarga terjadi perubahan struktural, maka kemungkinan terjadinya perceraian antara suami istri akan meningkat, masing-masing individu termasuk anak- anak dalam keluarga tersebut yang merupakan elemen dalam sisitem sebuah keluarga akan ikut terpengaruh, bahkan akan membuat sistem keselurahan tidak akan mampu menjalankan fungsinya secara normal.

Model struktural fungsional ini banyak ditemui dalam keluarga penganut budaya patriarkhi yang kaku. Kehidupan dalam keluarga dibawah kendali laki-laki. Posisi perempuan tertata dalam norma dan praktik sosial yang berlaku. Tempat perem puan didalam rumah dan posisinya adalah sebagai makhluk yang berada dalam pengawasan dan pemilikan laki- laki. Sedangkan laki-laki berkegiatan diluar rumah untuk mencari nakah dan menjalin relasi dalam masyarakat. Ke­ mpe mimpinan mutlak berada ditangan laki­laki. Laki­laki­ lah yang menentukan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan karena perempuan itu adalah milik nya. Perempuan menjadi makhluk yang diproteksi, diawasi dan dimiliki oleh laki-laki. Hampir tidak ada celah Model struktural fungsional ini banyak ditemui dalam keluarga penganut budaya patriarkhi yang kaku. Kehidupan dalam keluarga dibawah kendali laki-laki. Posisi perempuan tertata dalam norma dan praktik sosial yang berlaku. Tempat perem puan didalam rumah dan posisinya adalah sebagai makhluk yang berada dalam pengawasan dan pemilikan laki- laki. Sedangkan laki-laki berkegiatan diluar rumah untuk mencari nakah dan menjalin relasi dalam masyarakat. Ke­ mpe mimpinan mutlak berada ditangan laki­laki. Laki­laki­ lah yang menentukan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan karena perempuan itu adalah milik nya. Perempuan menjadi makhluk yang diproteksi, diawasi dan dimiliki oleh laki-laki. Hampir tidak ada celah

Model struktural fungsional menjadikan laki-laki memi- liki posisi diatas perempuan. Hal ini juga berdampak pada kemampuan tawar (bargaining power) perempuan terhadap laki-laki yang kemudian memaksa perempuan untuk tetap tinggal didalam rumah sebagai istri, ibu dari anak-anak, dan pemelihara rumah. Kenyataan ini pada dasarnya menjadi pem­ batasan bagi perempuan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan sosial diluar rumah. Model inilah yang menjadi cikal bakal munculnya pemikiran dan kebiasaan yang taken for granted, bahwa memang ranah perempuan adalah ranah domestik, dan karenanya perempuan selalu dianggap ada pada ranah yang tidak menghasilkan “nilai lebih”. Konsekuensinya, dari segi peran dan status, perempuan dianggap lebih rendah daripada laki­laki. (Tjiptoherjanto, 2012:97)

Pandangan seperti itu tidak berlaku bagi keluarga di Madura. Selain mengemban peran tradisional sebagai ibu rumah tangga, perempuan Madura juga memiliki peran yang sama dengan laki­laki, yaitu sebagai pencari nakah. Mereka selalu siap dalam menghadapi kenyataan dan kesulitan hidup. Parebasan abantal ombak asapo’ angin, tidak saja menggambarkan ketangguhan laki­laki Madura dalam mencari nakah, tetapi juga menggambarkan keperkasaan para perempuannya dalam bekerja diluar rumah. Ungkapan bahwa perempuan hanya lama’ atau alas tidur tidak berlaku bagi perempuan Madura. Bahkan, seringkali perempuan tampak lebih perkasa daripada laki-laki.