Beban Pembuktian

C. Beban Pembuktian

  Salah satu unsur yang sangat penting dalam Hukum Pembuktian adalah masalah pembagian beban pembuktian (bewijstlastburden of roof). Sebagaimana sudah diterangkan, pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti a priori menjerumuskan pihak yang menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan. Soal pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka Pengadilan Kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban perbukitan yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hukum atau undang-undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Hakim atau Pegadilan rendahan yang bersangkutan.

  Dalam hukum pidana sangat jelas bahwa beban pembuktian itu ada pada jaka untuk membuktikan semua hal yang berkaitan dengan tuntutan pidana yang mungkin masih meragukan. Di sisi yang lain tidak ada kewajiban bagi terdakwa

  untuk membuktikan ketidakbersalahannya, 51 kecuali ditentukan lain misalnya

  digunakan nya pembuktian terbalik.

  50 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 54 51 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana,

  Jakarta, 2013, h. 102

  Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah disebutkan di atas, atau Pasal 163 RIB (Pasal 283 Reglemen Daerah Seberang) sebenarnya memang bermaksud memberikan pedoman dalam hal pembagian beban pembuktian itu. Disebutkan di situ bahwa barang siapa mempunyai sesuatu hak atau, guna membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atas peristiwa tersebut.

  Jika si penjual barang menagih pembayaran dari si pembeli, maka ia mendalilkan bahwa ia telah menjual dan melever suatu party barang kepada si pembeli dan bahwa pembeli ini belum atau tidak membayar harga barang tadi. Kalau dalam perkara tersebut, penjual itu dibebani dengan pembuktian tentang adanya jual beli dan penyerahan barang, maka itu dapat kita setujui sepenuhnya. Tetapi, kalau ia juga diwajibkan membuktikan tentang belum atau tidak dibayarnya harga barang, maka menurut pendapat kami itu merupakan beban pembuktian yang terlampau berat, meskipun hal belum atau tidak dibayarnya harga barang itu sebenarnya juga merupakan suatu dalil yang dikemukakan oleh

  penggugat guna mendasarkan haknya untuk menuntut pembayaran. 52

  Dalam contoh-contoh yang disebutkan di alas, dapat dikatakan bahwa si pembeli membantah hak si penjual atas pembayaran dengan menunjuk pada suatu peristiwa yaitu pembayaran, dan seorang yang digugat untuk menyerahkan barang warisan membantah hak penggugat untuk mendapat bagian warisan, dengan menunjuk pada peristiwa pembagian yang telah diadakan, sehingga peristiwa- peristiwa pembayaran dan pembagian warisan itu harus dibuktikan oleh tergugat, tetapi pedoman yang hendak diberikan oleh Pasal 1865 Kitab Undang-undang

  52 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 17

  Hukum Perdata dan Pasal 163 RIB (Pasal 283 Reglemen Daerah Seberang) belum dapat dikatakan jelas.

  Ada yang mengajarkan bahwa peristiwa-peristiwa yang menerbitkan atau menimbulkan sesuatu hak, harus dibuktikan oleh pihak yang menuntut hak tersebut, sedangkan peristiwa-peristiwa yang mematikan atau menghapuskan hak tersebut, harus dibuktikan oleh pihak yang membantah hak itu. Ajaran ini dapat kita terima, tetapi hendaknya Hakim dalam membagi beban pembuktian itu, dalam tingkat terakhir menitikberatkan pada pertimbangan keadilan. Selain dari itu hendaknya dijaga jangan sampai Hakim itu memerintahkan pembuktian sesuatu hal yang negatip. Misalnya, dalam contoh-contoh yang kita ambil di atas itu, hal belum dibayarnya harga barang atau belum dibaginya warisan, adalah hal- hal yang negatif. Si pembeli dapat lebih mudah membuktikan bahwa ia sudah membayar, dari pada si penjual disuruh membuktikan bahwa ia belum menerima pembayaran.

  Malikul Adil dalam bukunya: “Pembaharuan Hukum Perdata Kita” mengatakan bahwa ”Hakim yang insaf akan arti kedudukannya tidak akan lupa bahwa dalam membagi-bagi beban pembuktian, ia harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan hal yang tidak dapat dibuktikan”. Dan penetapan beban pembuktian itu akhirnya banyak bergantung pada keadaan in concreto. 53

  Dalam pada itu, hukum materiil seringkali sudah menetapkan suatu pembagian beban pembuktian, misalnya:

  53 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 18 53 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 18

  b. Siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan (Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

  c. Siapa yang menunjukkan tiga kwitansi yang terakhir, dianggap telah membayar semua cicilan (Pasal 1394 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

  d. Barangsiapa menguasai suatu barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya (Pasal 1977 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

  Lazimnya seorang yang mengatakan sudah membayar utangnya, diwajibkan membuktikan pembayaran itu, tetapi dalam contoh sub c tersebut di atas, orang yang memegang tiga kwitansi terakhir itu dibebaskan dari kewajiban tersebut. Lazimnya seorang pemilik harus dapat membuktikan hak miliknya, tetapi dalam pasal 1977 (1) tersebut di atas, setiap pemegang barang bergerak (”bezitter”) dibebaskan dari kewajiban pembuktian itu.

  Beban pembuktian pada umumnya dibebankan kepada pihak yang menyatakan mempunyai suatu hak atau penggugat, akan tetapi dalam keadaan tertentu bisa saja pembuktian tersebut beralih kepada pihak lawa atau pihak yang

  digugat. 54 Kondisi-kondisi tersebut tergantung pada hal pihak mana yang harus bertanggungjawab dan juga pihak mana yang menguasai alat bukti. Untuk

  mengetahui lebih lanjut mengenai prinsip-prinsip pertanggungjawaban demikian

  54 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, 2013, h. 73 54 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana, Jakarta, 2013, h. 73

1. Prinsip Beban-Beban Pembuktian

  Bertitik tolak dari pedoman ketentuan umum yang digariskan Pasal I 865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR, dihubungkan dengan teori hukum subjektif dan objektif serta teori kepatutan, telah muncul beberapa prinsip penerapan pembagian beban-pembuktian dalam praktik peradilan.

  a. Yang Harus Dibuktikan Hal yang Positif

  Sesuatu hal dikatakan bersifat positif, apabila di dalamnya terdapat fakta, atau di dalamnya terkandung peristiwa atau kejadian. Misalnya penggugat mendalilkan tergugat memutuskan kontrak secara sepihak. Dalam gugatan itu ada fakta atau peristiwa yang positif berupa pemutusan kontrak oleh tergugat. Oleh karena itu, harus dibuktikan, dan yang dibebani wajib bukti adalah penggugat. Sebaliknya, apabila tergugat mengajukan bantahan (counterclaim) terhadap peristiwa itu, kepada nya dipukulkan wajib bukti untuk membuktikan bantahan itu.

  Pada dasarnya, prinsip ini tidak jauh berbeda dengan pedoman yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR. Perhatikan Putusan MA No. 162 KSip1955. Dalam perkara ini, tergugat ditugaskan dan diberi hak oleh penggugat I memungut sewa beberapa pintu toko, mengatakan bahwa toko-toko tersebut tidak _ selalu menghasilkan sewa. Pengadilan berpendapat tergugat telah mengajukan hal yang positif(tidak selalu menghasilkan uang sewa). Oleh karena Pada dasarnya, prinsip ini tidak jauh berbeda dengan pedoman yang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR. Perhatikan Putusan MA No. 162 KSip1955. Dalam perkara ini, tergugat ditugaskan dan diberi hak oleh penggugat I memungut sewa beberapa pintu toko, mengatakan bahwa toko-toko tersebut tidak _ selalu menghasilkan sewa. Pengadilan berpendapat tergugat telah mengajukan hal yang positif(tidak selalu menghasilkan uang sewa). Oleh karena

  b. Hal yang Negatif tidak Dibuktikan

  Suatu hal atau keadaan disebut bersifat negatif apabila:  hal atau keadaan maupun peristiwa yang dikemukakan mengenai sesuatu

  yang tidak dilakukan atau tidak diperbuat oleh yang bersangkutan;  dalam kasus yang seperti itu, tidak patut atau tidak layak (unappropriate)

  memikul kan beban wajib bukti kepada seseorang yang tidak mengenal atau tidak mengetahui maupun orang yang tidak melakukan atau tidak menerima sesuatu untuk membuktikan nya.

  Sehubungan dengan itu, dianggap tidak patut membebani wajib bukti kepada tergugat mengenai negatif, karena tidak mungkin dapat membuktikan hal yang tidak diketahui atau diperbuat nya. Sikap itulah yang ditegakkan penerapan nya dalam putusan MA No.158KSip1954, yang menegaskan, bahwa dalam perkara ini penggugat mendalilkan bahwa cap dagang yang telah didatarkan oleh pihaklawan, telah tiga (3) tahun lamanya tidak dipakai (non usus). Dalam hal tersebut dia harus membuktikan non usus tersebut. Selanjutnya ditegaskan, tidak tepat(tidak patut) bila dalam hal ini bebanpembuktiandipikul kan kepada pihak lawan untuk membuktikan keadaan non usus yang dimaksud.

  Mengenai hal yang bersifat negatif banyak dijumpai dalam kasus perkara.Misalnya dalil yang menyatakan pembeli belum membayar harga, tidak menyerahkan barang, belum membagi waris. Dalam kasus yang seperti itu, Mengenai hal yang bersifat negatif banyak dijumpai dalam kasus perkara.Misalnya dalil yang menyatakan pembeli belum membayar harga, tidak menyerahkan barang, belum membagi waris. Dalam kasus yang seperti itu,

  Penerapan yang melarang pembebanan dipikul kan kepada pihak lawanmengenai hal yang bersifat negatif pada dasarnya masih dalam kerangka pedomanyang digariskan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163 HIR. Hanya ke dalamnyaditambah asas kepatutan dengan jalan membebaskan pihak yang mengajukan hal negatif dari beban wajib bukti.

  c. Pembebanan Secara Proporsional

  Dasar landasan penerapan itu masih bertitik tolak dariketentuan Pasal 1865KUH Perdata, Pasal 163 HIR, tetapi diperluas dengan asas kepatutan sesuai dengan berat ringan nya beban pembuktian yang dihadapi para pihak. Sebagai contohPutusan MA N0. 1057 KPdt1984.Dijelaskan ditinjau dari tata tertib hukumpembebanan pembuktian, masing-masing pihak dibebani wajib bukti unjuk membuktikan dalil gugatan dan dalil bantahan (secara proporsional). Akan tetapi,oleh karena pihak penggugat dianggap lebih layak dibebani wajib bukti untukmembuktikan bahwa apa yang diberikan adalah pesangon, bukan hibah sebagaimanayang didalilkan tergugat, dalam hal penggugat tidak dapat membuktikan

  dalil

  gugatantersebut,

  cukup

  alasan

  membebaskan membebaskan

  Dalam putusan di atas, pada dasarnya tetap dipegang pedoman ketentuanumum pembebanan wajib bukti berdasarkan pembagian sesuai dengan dalil yangdikemukakan para pih7ak. Namun pedoman itu diproporsionalkan sesuai dengan kepatutan dengan cara membebaskan tergugat dari wajib bukti apabila penggugat gagal membuktikandalil nya. Penerapan beban pembuktian berdasarkan pedomanini memunculkan beberapa variabel.

   Kedua dalil yang diajukan para pihak saling memiliki bobot yang sama

  Dalam kasus seperti itu, asas kepatutan atau kelayakan mengajarkan untuk memikul kan beban pembuktian berdasarkan prinsip: diletakkan berdasar keseimbangan, tetapi harus dengan asas proporsional yaitu:

   penggugat wajib membuktikan dalil gugatan;  tergugat wajib membuktikan dalil bantahan.

  Salah satu kasus yang dianggap berpedoman kepada landasan pembebanan pembuktian yang seimbang sesuai dengan bobot dalil yang diajukan masing- masingpihak adalah Putusan MA No.94KSip1956. Penggugat mendalilkan sebagai pemiliktanah berperkara dan keberadaan tergugat di atas ter Salah satu kasus yang dianggap berpedoman kepada landasan pembebanan pembuktian yang seimbang sesuai dengan bobot dalil yang diajukan masing- masingpihak adalah Putusan MA No.94KSip1956. Penggugat mendalilkan sebagai pemiliktanah berperkara dan keberadaan tergugat di atas ter

  Menurut MA dalam kasus ini harus diletakkan beban wajib bukti:  penggugat wajib membuktikan dalil pinjam;

   tergugat wajib membuktikan dalil pembelian.

  Sebenarnya kalau putusan ini diperhatikan secara saksama, mungkin mengandung kekeliruan penerapan beban pembuktian. Alasan nya, ditinjau dan segi bobot terdapat perbedaan berat-ringan nya pembuktian. Oleh karena itu,penerapan yang tepat ditegakkan berdasar asas proporsional sesuai dengan berat-ringan nya pembuktian. Ditinjau dari segi ini secara realistik, dianggap jauh Iebihmudah atau Iebih ringan membuktikan jual-beli tanah dari pada pinjam. Alasan nya,pada umumnya jual-beli tanah selalu dituangkan dalam bentuk akta (Notaris PPATatau di bawah tangan), sedang pinjam-meminjam sering tidak dituangkan dalam bentuk akta.

   Antara kedua dalil yang saling berhadapan, tidak sama bobot

  beratpembuktian, beban pembuktian dipikul kan kepada yang Iebih ringanbobot kesulitan nya.

  Kemungkinan yang sering terjadi antara dalil gugatan yang diajukan penggugat dengan dalil bantahan yang dikemukakan tergugat, tidak sama bobot berat-ringan

  pembuktian nya.

   Kemungkinan pertama, bobot pembuktian dalil penggugat, jauh Iebih

  beratdibanding dalil bantahan tergugat, berarti bobot pembuktian dalil bantahanIebih ringan dari dalil gugatan.

   Kemungkinan kedua, kebalikan dan yang pertama yaitu bobot pembuktian

  dalil bantahan lebih berat dibanding pembuktian dalil gugatan.

  Jadi, dalam praktik mungkin terjadi dalam konkret adanya saling berhadapan dua dalil yang tidak seimbang bobot kesulitan pembuktian nya. Yang satu lebih berat dan yang satu lagi lebih ringan. Dalam kasus yang seperti itu menurut teori kepatutan berdasarkan pembebanan pembuktian yang proporsional, wajib bukti dipikul kan kepada pihak yang lebih ringan bobot kesulitan pembuktian nya. Sebagai contoh Putusan MANQ. 211 KPdt1987. Pertimbangan nya antara lain mengatakan dalam hal dalil gugatan dibantah dengan dalil bantahan yang sama sifat dan bobotdalil nya. maka sistem pembuktian yang diterapkan berdasarkan stelplicht (kewajiban pembuktian)

   Pembebanan pembuktian dipikul kan kepada pihak yang lebih mudah

  membuktikan dalilnya.  Dalam perkara ini, dalil gugat adalah hak waris atas tanah ter perkara,

  sedang dalil bantahan tanah ter perkara telah dibeli dari pewaris.  Ditinjau dari kebiasaan, dalil tergugat lebih mudah membuktikan nya dari

  dalil penggugat, karena pada umumnya jual-beli tanah dituangkan dalam bentukakta (PPAT atau bawah tangan),

   Ternyata tergugat tidak dapat membuktikan dalil nya tentang adanya jual-

  beli dari pewaris (orang tua penggugat), dengan demikian penggugat dianggap telah berhasil membuktikan dalil gugatan nya.

  Kasus yang hampir mirip adalah Putusan MA No. 3322KPdt1991. Dalilbantahan yang diajukan tergugat dibarengi dengan pengakuan bahwa tanah ter perkarasemula adalah hak milik penggugat, tetapi sudah dibeli secara sah dari penggugat melalui kuasa penggugat. Dalam kasus ini menurut pertimbangan peradilan kasasi maka:

   Titik berat wajib bukti jatuh kepada tergugat untuk membuktikan

  kebenaran jual-beli tanah ter perkara dari penggugat melalui kuasa penggugat.

   Ternyata surat kuasa tersebut mengandung cacat, yaitu:

  1) Hanya fotokopi ada tanpa aslinya,

  2) Tanpa dibubuhi tanggal, dan

  3) Dibuat oleh orang yang buta huruf (penggugat dan tergugat buta huruf) cap jempol yang tertera dalam surat kuasa tidak dilegalisir.

  Berdasarkan fakta tersebut, peradilan kasasi menyimpulkan jual beli yang timbul dari suatu kuasa yang tidak sah, adalah jual beli yang tidak sah dan batal demi hukum. Dalam kedua kasus di atas, penerapan beban pembuktian dilakukan melalui pendekatan flexible (flexible approach) dengan jalan menggantungkan beban pembuktian pada dalil gugatan dan dalil bantahan (legal burden dependson the circumstances), tetapi tidak kaku berpegang pada asas Pasal 1865 KUHPerdata, Pasal 163 HIR yang secara tegas berpedoman: siapa mengatakan sesuatu,wajib membuktikan nya (he who asserts must prove). Akan tetapi, penerapanini harus berdasarkan kenyataan objektif tentang adanya dalil yang tidak sama bobot pembuktian nya.

  Namun demikian, dalam praktik tidak selamanya mudah menilai secara objektif apakah terdapat perbedaan bobot kesulitan pembuktian antara dalil gugatan dengandalil bantahan. Ambil kasus Putusan MA No. 1 97 KSip1956, dalam perkara itunampaknya sulit menemukan adanya perbedaan bobot pembuktian antara dalilgugatan dengan dalil bantahan. Akhirnya diletakkan beban wajib bukti secaraproporsional berpedoman kepada ketentuan Pasal 1865 KUH Perdata, Pasal 163HIR. Kasus nya mengenai sengketa jual-beli, penggugat mendalilkan belummenerima seluruh barang yang dibeli sesuai dengan kontrak sedangkan pihak penjual (tergugat) membantah, dan menyatakan sudah menyerahkan seluruhnya. Menurutputusan ini, beban pembuktian mengacu kepada:

   pihak pembelidibebani wajib bukti untuk membuktikan adanya kontrak jual-

  beli dan penyerahan barang belum sempurna;  pihak penjual, dibebani wajib bukti untuk membuktikan kebenaran

  penyerahan seluruh barang yang diperjanjikan.

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan (Fault Liability Liability Based On Fault)

  Prinsip Tanggung Jawab berdasarkan unsur kesalahan. Prinsip ini memiliki pengertian bahwa seorang baru dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan. Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti rugi atas segala kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu.

  Prinsip ini adalah yang berlaku umum seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masing pengangkutan.

  Beban pembuktian (onus of proof) ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pengangkut. Menurut konsep pertanggungjawaban ini bahwa apabila penumpang ingin memperoleh ganti rugi atas kerugian yang diderita, maka penumpang wajib membuktikan kesalahan perusahaan, dengan demikian beban pembuktian dalam konsep pertanggungjawaban ini adalah terletak pada pihak penggugat.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Absolute Strict Liability)

  Menurut prinsip ini setiap pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab membayar setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun (strict liability).

  Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability). Secara absolut dari prinsip ini memiliki arti bahwa Pelaku usaha harus bertanggung jawab secara langsung tanpa mensyaratkan unsur kesalahan tetapi pada kerugian yang ditimbulkan (liability based on risk). Jadi harus ada unsur kesalahan, tetapi karena untuk membuktikan terlalu sulit maka pelaku usaha langsung mengganti kerugian (strict liability pada civil law system).

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24