Alat-Alat Bukti

4. Persangkaan-Persangkaan

  Sebagaimana sudah kita ketahui, yang dinamakan “persangkaan” ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah “terkenal” atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang “tidak terkenal”, artinya belum terbukti. Maka dari itu, kalau persangkaan ini dinamakan alat bukt, itu adalah kurang tepat.

  30 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 43

  Adapun yang menarik kesimpulan yang tersebut tadi, adalah Hakim atau Undang-undang. Bila yang menarik kesimpulan itu Hakim, maka persangkaan itu dinamakan “persangkaan Hakim”, sedangkan apabila yang menarik kesimpulan

  itu undang-undang maka persangkaan itu dinamakan ”persangkaan undang- undang”.

  Apabila sukar didapatnya saksi-saksi yang melihat atau mengalami Sendiri peristiwa yang hams dibuktikan, maka dapat diusahakan pembuktian dengan persangkaan-persangkaan Untuk membuktikan suatu peristiwa C, dibuktikan dahulu peristiwa A dan B. Bila peristiwa-peristiwa terakhir ini dapat dibuktikan, dapatlah disimpulkan bahwa peristiwa C memang benar telah terjadi juga. Biasanya dalam suatu perkara gugatan perceraian yang didasarkan kepada perzinahan, adalah sukar sekali, kalau tidak dapat dikatakan tak mungkin, untuk mendapatkan saksi-saksi yang telah melihat sendiri perbuatan zinah itu. Untuk membuktikan peristiwa perzinahan itu perlu sekali Hakim mempergunakan persangkaan-persangkaan. Boleh dikatakan adalah suatu yurisprudensi yang sudah tetap dalam perkara-perkara. perceraian tadi, bahwa, kalau dapat dibuktikan bahwa dua orang laki-laki dan perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu telah bersama-sama menginap dalam kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, maka dipersangkakan bahwa mereka itu benar melakukan perzinahan.

  Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lazimnya dilakukan pembuktian secara langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan persangkaan-persangkaan ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak Kalau dengan bukti tulisan atau kesaksian lazimnya dilakukan pembuktian secara langsung, artinya tidak dengan perantaraan alat-alat bukti lain, maka dengan persangkaan-persangkaan ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak

  Apa yang dalam perkara perdata dinamakan “persangkaan” adalah

  menyerupai yang dinamakan “petunjuk” dalam suatu perkara 31 pidana. Dalam

  perkara pembunuhan misalnya, banyak dipakai petunjuk-petunjuk itu sebagai bukti. Seorang sanksi melihat terdakwa membeli pisau, seorang saksi lain lagi telah melihat beberapa hari sebelumnya terdakwa bercekcok mulut dengan si korban, dan lain sebagainya. Peristiwa tersebut merupakan petunjuk-petunjuk yang dapat memberikan bukti bagi kesalahan terdakwa.

  Contoh-contoh dari persangkaan-persangkaan tersebut ada banyak sekali, misalnya:

  a. Apabila dari terbuktinya sesuatu peristiwa, oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya suatu peristiwa lain, maka terdapatlah apa yang dinamakan “persangkaan undang-undang”. Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan nafkah, bunga pinjaman uang dan pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek maka dengan adanya. tiga surat tanda pembayaran, dari mana ternyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut, terbitlah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika dibuktikan sebaliknya (Pasal 1394 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

  31 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 44 31 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 44

  c. Tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua pekarangan, dianggap sebagai milik bersama, kecuali kalau ada suatu alas hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (Pasal 633 Kitab Undang-undang Hukum Perdata);

  d. Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Artinya, dianggap sebagai anak bapakya (Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

  Dalam contoh-contoh tersebut di atas, undang-undang menyimpulkan sesuatu dari suatu kenyataan.

  Dalam contoh-contoh tersebut di atas (a) dari adanya tiga tanda pembayaran (kwitansi) berturut-turut disimpulkan bahwa semua cicilan atau angsuran telah

  terbayar lunas; 32

  Dalam contoh (b) dari adanya penguasaan (“bezit”) atas suatu benda bergerak, disimpulkan adanya hak milik atas barang tersebut;

  Dalam contoh c) dari adanya tembok perbatasan, disimpulkan suatu milik bersama antara dua tetangga;

  32 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 45

  Dalam contoh d) dari adanya perkawinan disimpulkan bahwa anak yang lahir selama perkawinan itu ditumbuhkan oleh sang suami.

  Apakah dalam hal-hal tersebut di atas di mana undang-undang menyimpulkan terbuktinya sesuatu itu, tidak dibolehkan mengadakan pembuktian lawan? Mengadakan pembuktian lawan pada azasnya selalu diperkenankan. Kekecualian hanyalah terdapat dalam hal, bilamana berdasarkan persangkaan itu undang-undang menyatakan batalnya perbuatan-perbuatan tertentu, karena perbuatan-perbuatan itu semata-mata demi sifat dan ujudnya dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi undang-undang (Pasal 1921 berhubung dengan Pasal 1961 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Misalnya Surat wasiat di mana diberikan keuntungan kepada seorang anak atau ibu dari seorang yang menurut undang-undang tidak boleh menerima keuntungan dari si meninggal. Wasiat demikian itu oleh undang-undang dinyatakan batal, karena dipersangkakan dibuat untuk menyelundupi larangan undang-undang mengenai pewarisan tadi (Pasal 911 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Dalam hal yang demikian itu kita menghadapi suatu “persangkaan undang-undang yang tidak dapat disangkal”, yang pada hakekatnya tidak lagi merupakan suatu peraturan pembuktian, tetapi merupakan suatu peraturan hukum materiil. Sebab, keadaannya sama saja, seandainya undang-undang itu menetapkan bahwa anak atau ibu dari orang yang dimaksudkan itu tidak boleh menerima sesuatu dari si meninggal. Dari apa yang diuraikan di alas dapat kita lihat bahwa persangkaan undang-undang itu pada hakekatnya merupakan pembalikan beban pembuktian.

  Dalam contoh (a) si berutang (debitur) sebenarnya diwajibkan membuktikan terbayarnya semua utangnya, artinya semua cicilan atau angsuran. Tetapi dengan adanya tiga kwitansi berturut-turut, ia dibebaskan dari kewajiban untuk membuktikan pembayaran semua angsuran, dau kepada kreditur lah sekarang

  dibebankan kewajiban 33 untuk membuktikan bahwa ia belum menerima pembayaran semua cicilan.

  Dalam contoh (b) si pemilik sebenarnya diwajibkan membuktikan hak miliknya, tetapi dalam halnya barang bergerak, dengan adanya penguasaan (“bezit”) la dibebaskan dari kewajiban pembuktian tersebut dan kepada setiap pembantah dibebankan untuk membuktikan hal yang sebaliknya.

  Persangkaan undang-undang itu memang didasarkan pada keadaan yang wajar. Adalah suatu hal yang wajar, bahwa sebelumnya orang membayar cicilan bulan Maret, terlebih dahulu ia membayar cicilan-cicilan untuk bulan Januari dan Pebruari. Begitu juga memang lazimnya seorang yang memakai suatu barang sehari-hari, adalah pemilik barang tadi.

  Pernah dipersoalkan, apakah satu persangkaan saja cukup dijadikan bukti untuk mengabulkan suatu gugatan, Ada yang berpendapat, bahwa, karena mengenai persangkaan ini tidak ada suatu pasal undang-undang seperti Pasal 1906 Kitab Undang-udang Hukum Perdata (atau pasal 70 RIB307 Reglemen Daerah Seberang), yaitu pasal yang dilarang untuk memberikan kepercayaan kepada keterangan satu orang saksi, maka satu persangkaan sudah boleh dijadikan bukti untuk mengabulkan suatu tuntutan. Tetapi dalam hal ini kami condong pada

  33 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 45 33 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 45

  Dalam peraturan tentang daluwarsa (“verjaring”) kita ketemukan berupa pasal undang-undang yang menetapkan bahwa beberapa macam penagihan “berdaluwarsa” setelah lewatnya suatu waktu yang sangat pendek, menyimpang dari peraturan umum tentang daluwarsa yang menetapkan bahwa segala tuntutan berdaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. “Daluwarsa pendek” tersebut diperlakukan terhadap misalnya penagihan rekening dokter, rekening losmen, rekening pengacara dsb. Lihat Pasal-Pasal 1968 sampai dengan 1971 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menurut peraturan-peraturan khusus tadi, penagihan-penagihan yang dimaksudkan itu berdaluwarsa dengan lewatnya waktu

  satu tahun 34 (rekening losmen) dua tahun (rekening dokter), lima tahun (rekening

  toko), dan lain sebagainya.

  Orang yang tidak waspada akan mengira, bahwa penagihan-penagihan yang disebutkan itu setelah lewatnya waktu-waktu pendek tapi, sudah tidak dapat dituntut lagi pembayarannya.

  Tetapi, dalam Pasal 1973 Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita baca bahwa orang-orang kepada siapa diajukan daluwarsa yang disebutkan dalam pasal-pasal 1968 sd 1971 itu, dapat menuntut dari mereka yang menggunakan daluwarsa itu supaya mereka bersumpah bahwa mereka itu sungguh-sungguh

  34 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 47 34 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 47

  daluwarsa, maka penagihan itu sudah tidak dapat dituntut di muka Hakim. Para debitur dapat menangkis setiap tuntutan dengan mengajukan daluwarsa dan gugatan akan dinyatakan tidak diterima. “Daluwarsa pendek” tadi sebenarnya tidak lain dari pada suatu persangkaan undang-undang, suatu persangkaan bahwa utang-utang itu sudah terbayar (vermoeden van betaling)”. Dan terhadap suatu persangkaan, tentu saja masih dibolehkan mengadakan suatu pembuktian lawan. Persangkaan pembayaran mengenai penagihan-penagihan istimewa tadi didasarkan kepada kebiasaan bahwa utang-utang semacam itu dibayar dalam waktu yang pendek, Dapat dimengerti bahwa bagi krediturnya (dokter, adpokat, pemilik losmen, dsb.) mengadakan pembuktian lawan (yaitu bahwa penagihan- penagihan itu, meskipun sudah lewat waktunya yang ditetapkan oleh undang- undang, sebenarnya belum dibayar), tentu saja tidak begitu mudah. Dalam keadaan di mana seorang menghadapi kesulitan pembuktian itu memang satu- satunya jalan yang dapat ditempuh ialah memerintahkan suatu sumpah kepada debitur yaitu sumpah pemutus atau decissoir. 35

5. Pengakuan

  Sebagaimana sudah diterangkan, sebenarnya adalah tidak tepat untuk menamakan pengakuan itu suatu alat bukti, karena justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh suatu pihak diakui oleh pihak lawan, maka pihak yang mengemukakan dalil-dalil itu tidak usah membuktikannya. Dengan diakuinya

  35 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 48 35 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 48

  Sebagaimana juga sudah kita lihat, putusan Pengadilan perdata itu selalu memulai dengan menyimpulkan dahulu dalil-dalil manakah yang diakui atau tidak disangkal, sehingga. dalil-dalil itu dapat ditetapkan sebagai ha1-ha1 yang berada “di luar perselisihan” dan dengan demikian dapat ditetapkan sebagai benar. Dali1- dali1 yang sebaliknya, yaitu yang dibantah atau disangkal, itulah yang harus dibuktikan.

  Kita juga sudah melihat pengakuan itu sebagai suatu pembatasan luasnya perselisihan. Dalam perkara-perkara yang diperiksa di muka Hakim, dapat kita lihat bahwa dalil yang dianggap tidak begitu penting atau tidak dapat merugikan, diakui untuk menyingkatkan pemeriksaan. Misalnya dalam perkara-perkara warisan seringkali kita lihat, bahwa hal keahliwarisannya (dalil bahwa penggugat adalah ahliwarisnya) diakui, tetapi disangkal bahwa barang-barang sengketa itu termasuk harta peninggalan (“budel”) dari si meninggal. Dijawabnya bahwa barang-barang sengketa itu adalah milik tergugat sendiri.

  Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, 176 RIB, 311 Reglemen Daerah Seberang). Artinya Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seorang yang khusus dikuasakan untuk itu (Pasal 1925 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, 176 RIB, 311 Reglemen Daerah Seberang). Artinya

  didasarkan pada dalil-dalil tersebut.

  Baiklah ditegaskan di sini bahwa pengakuan yang merupakan bukti yang mengikat dan sempurna tadi adalah pengakuan yang dilakukan di muka sidang Hakim. Pengakuan itu harus diucapkan di muka Hakim oleh tergugat sendiri atau oleh seorang yang khusus dikuasakan untuk itu.

  Pengakuan yang dilakukan di muka Hakim itu tidak boleh ditarik kembali kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa itu telah dilakukan sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Tak bolehlah pengakuan ditarik kembali dengan dalih bahwa orang yang melakukannya khilaf tentang suatu soal Hukum.

  Suatu pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang Pengadilan tidak dapat dipakai selainnya dalam hai-hai di mana diizinkan pembuktian dengan saksi, sedangkan tentang kekuatan pembuktian diserahkan kepada Hakim. Artinya pengakuan di luar sidang Pengadilan itu tidak merupakan bukti yang mengikat, tetapi hanya merupakan bukti bebas. (Pasal 1927, 1928 Kitab Undang-undang Perdata, 175 RIB 312 Reglemen Daerah Seberang). Di samping pengakuan lisan di luar sidang, dalam praktek juga sudah diakui pula adanya suatu pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis, yang juga mempunyai kekuatan sebagai bukti bebas. Sebenarnya saja pengakuan di luar sidang yang dilakukan secara tertulis ini dapat digolongkan pada tulisan-tulisan yang bukan akte, yang

  36 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 49 36 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 49

  Pada waktu kita membicarakan soal pembuktian pada umumnya sudah kami kemukakan bahwa seorang yang mengakui atau membenarkan sesuatu dalil dari pihak lawan, biarpun dalil itu tidak benar, dianggap sebagai seorang yang melepaskan suatu hak perdata, yang memang dibolehkan karena adalah terserah kepada tiap-tiap orang untuk mempertahankan atau melepaskan hak-hak yang berada dalam kekuasannya. Dengan demikian, apabila sengketa itu mengenai hak- hak yang tidak dapat dikatakan “berada dalam kekuasaan” orang yang melakukan pengakuan tadi atau apabila ada kepentingan-kepentingan pihak ketiga yang tersangkut dan karena itu dapat dirugikan karena pengakuan ini, maka dasar pikiran untuk memberikan kekuatan mengikat kepada pengakuan itu tidak berlaku. Boleh dikatakan bahwa orang tidak berhak berbuat bebas terhadap kepentingan-kepentingan semacam ini. Oleh karena itu dapat kita lihat, bahwa dalam suatu perkara “pemisahan kekayaan” antara suami dan isteri, oleh undang- undang yang bersangkutan ditetapkan bahwa dalam suatu gugatan pemisahan

  37 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 50 37 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 50

  Sebagaimana kita ketahui, dalam perkara-perkara perceraian antara orang- orang yang tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), di mana gugatannya didasarkan kepada perzinahan, apabila hal perzinahan ini diakui oleh tergugat, maka dalam praktek gugatan itu dikabulkan atas alasan terbuktinya perzinahan itu. Putusan Hakim semacam itu dalam perkara perceraian-perceraian tadi boleh dikatakan sudah merupakan yurisprudensi tetap, tetapi sebenarnya putusan-putusan seperti itu, sudah menyimpang dari dasar pikiran undang-undang sebagai yang kami gambarkan di atas. Aturan yang masih mengindahkan dasar pikiran tersebut kita ketemukan dalam Ordonansi Perkawinan Orang Indonesia Kristen (Lambaran Negara tahun 1933 No. 74) Pasal

  57, di mana ditentukan bahwa Pengadilan Negeri, dalam perkara perceraian, diwajibkan secara mandiri (“zelfstanding”) mengadakan pemeriksaan tentang benarnya alasan yang dikemukakan untuk menuntut perceraian itu. Maksudnya adalah jelas. Pengakuan di sini tidak mempunyai kekuatan sebagai bukti yang mengikat dan sempurna. Hak-hak yang sungguh-sungguh berada dalam kekuasaan bebas 38 seorang, adalah hak-hak perdata dalam bidang kekayaan di

  mana tidak tersangkut kepentingan-kepentingan pihak ketiga. Hak-hak ini boleh oleh yang empunya dilepaskan dalam suatu sengketa: dengan mengadakan pengakuan, dengan memerintahkan sumpah pemutus.

  “Suatu pengakuan tidak boleh dipisah-pisah untuk kerugian orang yang melakukannya” demikianlah Pasal 1924 (1) Kitab Undang-undang Hukum

  38 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 51

  Perdata, Pasal 176 RIB, Pasal 313 Reglemen Daerah Seberang. Apakah artinya ketentuan ini?

  Pengakuan yang merupakan bukti mengikat dan sempurna adalah pengakuan yang bulat terhadap dalil-dalil pihak lawan, yang mengandung pula pengakuan terhadap tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut. Pengakuan yang demikian itu juga dinamakan pengakuan “murni”. Sebetulnya dalam keadaan yang demikian itu sudah tidak ada perselisihan lagi.

  Di sampingnya pengakuan yang bulat atau mumi tadi, ada pula pengakuan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan tetapi disertai (“diembel- embeli”) dengan suatu uraian yang bertujuan melumpuhkan tuntutan yang didasarkan pada dalil-dalil tadi, yaitu dengan mengajukan peristiwa-peristiwa yang membebaskan dari tuntutan (bahasa Belanda “bevrijdende daadzaken”).

  Larangan untuk “memisah-misahkan” (atau memecah-mecahkan) pengakuan tersebut di atas, ditujukan kepada pengakuan yang diembel-embel ini; yang dilarang ialah memisah-misahkan pengakuan terhadap suatu dalil, dari tambahnya yang berisi peristiwa pembebasan itu. Sebenarnya yang tidak boleh dipecah-pecah itu ialah jawaban suatu pihak atas dalil yang dikemukakan pihak lawan. Kalau jawaban yang berkesimpulan menolak tuntutan tadi dipecah- pecah, ia terbagi atas suatu bagian yang mengandung pengakuan (terhadap dalil pihak lawan) dan suatu bagian yang mengandung uraian tentang suatu peristiwa pembebasan. Ini akan merugikan orang yang mengajukan jawaban tadi. Dan inilah yang dilarang oleh ketentuan yang disebutkan di atas itu. Dengan perkataan Larangan untuk “memisah-misahkan” (atau memecah-mecahkan) pengakuan tersebut di atas, ditujukan kepada pengakuan yang diembel-embel ini; yang dilarang ialah memisah-misahkan pengakuan terhadap suatu dalil, dari tambahnya yang berisi peristiwa pembebasan itu. Sebenarnya yang tidak boleh dipecah-pecah itu ialah jawaban suatu pihak atas dalil yang dikemukakan pihak lawan. Kalau jawaban yang berkesimpulan menolak tuntutan tadi dipecah- pecah, ia terbagi atas suatu bagian yang mengandung pengakuan (terhadap dalil pihak lawan) dan suatu bagian yang mengandung uraian tentang suatu peristiwa pembebasan. Ini akan merugikan orang yang mengajukan jawaban tadi. Dan inilah yang dilarang oleh ketentuan yang disebutkan di atas itu. Dengan perkataan

  

  Sekedar suatu contoh:

  A mendalilkan, bahwa ia sudah menjual dan melever suatu party barang

  kepada B, untuk mana ia sekarang menuntut pembayaran harganya. B menjawab bahwa itu memang Betul, tetapi ia sudah membayar.

  Dengan jawaban ini, B tidak boleh dianggap mengakui dalil-dalil A tentang penjualan dan (penyerahan) barang tadi. Dengan demikian, A tetap diwajibkan membuktikan penjualan dan pengleveran barang. Pada hal, penjualan dan pengleveran barang itu sudah diakui oleh B. Suatu aturan yang aneh dan tidak mudah dimengerti. Lazimnya A juga dapat membuktikan apa yang wajib dibuktikan itu, karena ia tidak akan menjual dam menyerahkan barang tanpa tanda penerimaan.

  Tetapi, ada kalanya juga ia tidak dapat membuktikan lagi penjualan- penjualan dan penyerahan barang itu karena surat-surat mengenai itu sudah hilang.

  Sungguh ia akan merasa dirinya teraniaya oleh peraturan tadi karena jual beli dan penyerahan barang itu, sebenarnya toh sudah diakui oleh si B, sehingga tentang itu sebenarnya tidak ada perselisihan. Itulah akibat peraturan tentang “tidak dibolehkan memecah pengakuan”. Memang sudah selayaknya, kalau peraturan itu sering dikecam, karena ia banyak menimbulkan kekecewaan.

  39 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 52

  Tetapi apakah maksud undang-undang mengadakan peraturan semacam itu? Maksudnya undang-undang ialah untuk melindungi si berutang (debitur) dalam jual beli kecil-kecilan, di mana tidak lazim si pembeli menerima suatu kwitansi untuk pembayarannya. Jual beli eceran, yang banyak dilakukan secara tunai, di mana begitu barang diserahkan, begitu ia bayar. Kalau dengan mengakui jual beli dan penyerahan barang tetapi mengatakan telah membayar, jual beli dan penyerahan barang tadi dianggap terbukti, si pembeli itu berada dalam kedudukan yang merugikan karena ia sekarang diwajibkan membuktikan pembayarannya, sedangkan ia tidak perah menerima suatu kwitansi. Begitulah kiranya jalan pikiran pembuat undang-undang sewaktu ia menciptakan peraturan yang banyak menimbulkan kecaman tadi.

  Dr Wirjono Prodjodikoro SH. dalam bukunya “Hukum Acara Perdata di

  Indonesia” mengatakan bahwa ajaran tentang tidak boleh 40 memisah-misahkan

  pengakuan itu sangat mengecewakan, karena tidak masuk akal dan lagi tidak dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Dikatakan selanjutnya bahwa sebaiknya dalam menghadapi pengakuan dengan tambahan itu, Hakim diberi kebebasan untuk menetapkan seberapa jauh ia akan memberi kekuatan kepada pengakuan itu; seperti halnya apabila ia dihadapkan kepada pengakuan di luar sidang Pengadilan, Apabila Hakim yakin bahwa pihak penggugat jujur haruslah ia dilindungi dengan membebankan pembuktian kepada pihak lawan. Dr. Wirjono Prodjodikoro itu mengusulkan supaya Hakim diberi kebebasan menetapkan kekuatan pembuktian suatu pengakuan dengan tambahan itu, sehingga ia dapat menetapkan dan memutus perkara menurut keadaan. Jadi, pengakuan di muka

  40 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 53

  Hakim itu dapat dibagi dalam pengakuan yang “murni” dan pengakuan yang disertai dengan suatu ”embe1-embel”, yang mengandung suatu kesimpulan tentang tidak dapat diterimanya gugatan. Pengakuan dari golongan yang terakhir ini (yang tidak boleh dipecah-pecahkan itu) ditilik dari macamnya embel-embel yang disertakan itu, dapat dibagi dalam dua macam:

  a. pengakuan dengan klausula;

  b. pengakuan dengan kualifikasi.

  Pengakuan dari macam a. adalah seperti yang diberikan sebagai contoh di atas. Jual beli dan pengleveran barang diakui, tetapi tergugat menyatakan sudah membayar. Atau pembeli mengatakan bahwa si penjual juga mempunyai suatu utang kepadanya, sehingga utang-piutang dapat saling diperhitungkan atau diperjumpakan. Ataupun lagi utang si pembeli kepada si penjual itu sudah dibebaskan.

  Dalam pengakuan dari macam b. tergugat mengakui jual beli dan pengleveran barang, tetapi mengemukakan bahwa jual beli itu adalah atas percobaan. Dengan demikian jual beli tadi adalah dengan syarat tangguh, artinya baru kalau tergugat sudah menyatakan bahwa ia puas dengan barang-barangnya, jual beli itu akan berlangsung. Di sini tergugat itu mengajukan keterangan yang mengenai hakekat hubungan hukum antara dia dengan penggugat. Pengakuan dengan kualifikasi ini menunjukkan bahwa hubungan hukum di antara para pihak

  adalah lain dari pada hubungan hukum yang dijadikan dasar gugatan. 41

  41 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 54

  Menurut pasal 1924 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Pasal 176 RIB, 313 Reglemen Daerah Seberang), larangan memisah-misahkan suatu pengakuan itu tidak berlaku lagi apabila si berutang di dalam melakukan pengakuan tadi, guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu. Apakah maksudnya ini? Yang dimaksudkan ialah bahwa, apabila debitur itu mengakui dalil-dalil penggugat, sambil mengajukan peristiwa-peristiwa pembebasan maka kreditur diwajibkan membuktikan tentang kepalsuannya (tidak benarnya) peristiwa.-peristiwa pembebasan tadi. Jika kreditur berhasil membuktikan tentang kepalsuannya peristiwa-peristiwa pembebasan ini, maka pengakuan yang diembel-embeli tadi, oleh Hakim dapat dianggap sebagai suatu pengakuan murni, yang merupakan bukti yang sempurna terhadap dalil-dalil penggugat.

  Dengan demikian maka penggugat yang menghadapi pengakuan yang disertai dengan peristiwa pembebasan tadi, dapat menempuh dua jalan membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya atau membuktikan akan kepalsuan peristiwa pembebasan. Dalam contoh yang telah berkali-kali kita ambil tentang penjual yang menuntut pembayaran harga barang, penjual itu dapat membuktikan jual beli dan penyerahan barang atau membuktikan bahwa harga itu belum dibayar. Pembuktian yang terakhir ini adalah berat, karena sebagaimana yang telah diutarakan, membuktikan suatu hal yang negatif pada umumnya tidak begitu mudah. Adalah sangat kebetulan sekali misalnya kalau penggugat itu dapat mengajukan saksi-saksi yang mengetahui bahwa pembeli sedang sibuk mencari pinjaman uang untuk membayar harga barang yang dibelinya itu, sehingga Dengan demikian maka penggugat yang menghadapi pengakuan yang disertai dengan peristiwa pembebasan tadi, dapat menempuh dua jalan membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya atau membuktikan akan kepalsuan peristiwa pembebasan. Dalam contoh yang telah berkali-kali kita ambil tentang penjual yang menuntut pembayaran harga barang, penjual itu dapat membuktikan jual beli dan penyerahan barang atau membuktikan bahwa harga itu belum dibayar. Pembuktian yang terakhir ini adalah berat, karena sebagaimana yang telah diutarakan, membuktikan suatu hal yang negatif pada umumnya tidak begitu mudah. Adalah sangat kebetulan sekali misalnya kalau penggugat itu dapat mengajukan saksi-saksi yang mengetahui bahwa pembeli sedang sibuk mencari pinjaman uang untuk membayar harga barang yang dibelinya itu, sehingga

6. Sumpah

  Sebagaimana telah kita lihat, dalam perkara perdata dipakai juga sebagai alat pembuktian sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak. Dalam perkara pidana tentu saja tidak ada sumpah yang dibebankan kepada seorang terdakwa. Jika terdakwa dibolehkan bersumpah, ia akan dapat terlalu mudah meluputkan diri dari penghukuman.

  Dalam perkara perdata sumpah yang diangkat oleh salah satu pihak di muka Hakim itu, ada dua macam:

  1. sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak lawan untuk mengantungkan putusan perkara padanya; sumpah ini dinamakan sumpah pemutus atau decissoir;

  2. sumpah yang oleh Hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada, salah satu pihak (pasal 1929 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

  Sumpah pemutus (decissoir) dapat diperintahkan tentang segala persengketaan yang berupa apapun juga, selainnya tentang hal-hal yang para pihak tidak berkuasa mengadakan suatu perdamaian atau hal-hal di mana pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan.

  Sebagaimana sudah dikemukakan sewaktu kita membicarakan hal pembuktian pada umumnya, dengan memerintahkan sumpah pemutus itu pihak

  42 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 55 42 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 55

  

  dapat dilakukan terhadap suatu hak yang berada dalam kekuasannya untuk melepaskannya, jadi pada azasnya hanya mengenai utang-piutang, hak milik dan warisan. Tak dapat misalnya, dalam suatu perkara perceraian di mana perselisihan itu mengenai perzinahan, satu pihak memerintahkan sumpah pemutus tentang betul atau tidaknya pihak lawan telah melakukan perzinahan. Sumpah pemutus dapat diperintahkan dalam setiap tingkatan perkaranya, bahkan juga apabila tiada

  upaya lain yang mampu untuk membuktikan tuntutan atau 43 tangkisan yang diperintahkan penyumpahannya itu. (Pasal 1930 Kitab Undang-undang Hukum

  Perdata). Bahwa sumpah pemutus dapat diperintahkan “dalam setiap tingkatan perkara’ berarti bahwa sumpah pemutus itu dapat diperintahkan pada detik atau saat mana pun juga sepanjang pemeriksaan: pada permulaan perkara diperiksa oleh Hakim, pada waktu diajukan jawaban, pada waktu diadakan replik, pada waktu diajukan duplik, pada saat perkara sudah akan diputus, bahkan juga kemudian dalam tingkatan banding di muka Pengadilan Tinggi. Dan lagi, sumpah pemutus itu dapat diperintahkan, meskipun tiada pembuktian sama sekali.

  Justru sumpah pemutus ini merupakan ”senjata pamungkas” (artinya senjata terakhir) bagi suatu pihak yang tidak mengajukan suatu pembuktian, ia merupakan suatu senjata yang mudah dipakai, tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakannya. Kalau pihak lawan berani sumpah, orang yang memerintahkan sumpah itu akan kalah.

  43 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 56

  Perintah untuk melakukan suatu sumpah pemutus dapat “dikembalikan”, artinya pihak yang menerima perintah dapat menuntut supaya si pemberi perintah itu sendiri melakukan sumpah. Kalau pemberi perintah ini, setelah sumpah itu dikembalikan, tidak berani bersumpah, ia akan dikalahkan juga. Dalam hal yang demikian, maka terjadilah bahwa senjata itu “makan tuannya sendiri”. Dengan sendirinya kalau sumpah itu dikembalikan, perumusannya harus di balik. Misalnya, kalau sumpah yang diperintahkan itu berbunyi: “Saya bersumpah bahwa benar saya sudah membayar ulang saya”, maka sumpah yang dikembalikan harus berbunyi: “saya bersumpah bahwa benar saya belum menerima pembayaran”.

  Mengenai sumpah pemutus itu oleh Pasal 1932 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan: “Barangsiapa diperintahkan mengangkat sumpah dan menolak mengangkatnya atau menolak mengembalikannya, ataupun barangsiapa memerintahkan sumpah dan, setelah kepadanya dikembalikan sumpah itu, menolak mengangkatnya, harus dikalahkan dalam tuntutan maupun tangkisan nya”. Jelaslah artinya sumpah pemutus (“decissoir”) itu dalam suatu pemeriksaan perkara perdata yang sedang berlangsung di muka Hakim.

  Ia dimaksudkan untuk secara singkat memutuskan suatu perselisihan. 44

  Agar sumpah yang diperintahkan oleh suatu pihak kepada lawannya itu dapat memutuskan atau mengakhiri perkara, maka dengan sendirinya sumpah itu harus mengenai hal atau peristiwa yang menjadi perselisihan. Dengan suatu istilah hukum acara (prosessuil) dikatakan bahwa sumpah itu harus bersifat “litis

  44 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 57 44 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 57

  Apabila sumpah yang dirumuskan itu tidak bersifat litis decissoir, maka. Hakim akan melarang pembebanan sumpah itu, karena tidak membawa akibat yang dikehendaki, yaitu mengakhiri atau memutusi perkara yang sedang berlangsung itu.

  Adapun soal apakah dalam suatu perkara sumpah yang diperintahkan itu memutuskan atau tidak (bersifat “litis decissoir” atau tidak), oleh Hakim Agung dianggap sebagai suatu soal yuridis atau soal hukum dan bukan sebagai suatu penilaian hasil pembuktian. Oleh karena itu, maka, apabila Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mengizinkan suatu sumpah pemutus, sedangkan sumpah itu ditinjau dari duduknya perkara tidak bersifat memutuskan, Mahkamah Agung akan membatalkan putusan.

  Pendapat Mahkamah Agung ini baiknya karena memberikan kesempatan kepada Badan Pengadilan Tertinggi kita untuk membatalkan putusan-putusan di mana secara keliru suatu soal yang sebenarnya tidak bersifat memutuskan (decissoir) dianggap sebagai memutuskan.

  Yurisprudensi di Negeri Belanda ada berlainan dan menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang mengenai penilaian pembuktian atau mengenai fakta (“van feitelijke aard”).

  Siapa yang telah memerintahkan atau mengembalikan sumpah, tidak dapat menarik kembali perbuatannya itu jika pihak lawan sudah menyatakan bersedia mengangkatnya. Dan lagi, apabila orang yang diperintahkan melakukan sumpah pemutus, atau orang yang menerima kembali perintah itu, sudah mengangkat sumpahnya, tak dapatlah pihak lawannya diterima untuk membuktikan kepalsuan sumpah itu. 45

  Selainnya bahwa soal yang disumpahkan itu harus litis decissoir, sumpah itu hanya dapat diperintahkan tentang suatu pembuatan pribadi (Bahasa Belanda “persoonlijke daad”, bahasa Perancis: “fait personnel”) dari orang yang kepada sumpahnya digantungkan pemutusannya perkara itu (Pasal 1931 Kitab Undang- undang Hukum Perdata, Pasal 156 (1) RIB, Pasal 183 (1) Reglemen Daerah Seberang). Perkataan “perbuatan pribadi” tadi sudah lazim ditafsirkan luas yaitu sebagai “segala sesuatu yang mengenai dirinya” si yang bersumpah, sehingga tidak saja suatu perbuatan atau tindakan termasuk di dalamnya, tetapi juga misalnya pengetahuan dari si yang bersumpah bahwa ia sungguh-sungguh tidak tahu bahwa perseroan “Makmur” pada waktu mengadakan transaksi itu sudah berada dalam keadaan pailit. Sumpah seperti ini malahan dalam praktek sudah terkenal dengan nama “sumpah pengetahuan”.

  Berhubung dengan syarat, bahwa sumpah pemutus itu hanya boleh diperintahkan mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah, timbul persoalan apakah mungkin suatu badam hukum diperintahkan bersumpah. Persoalan ini sudah lazim dijawab, bahwa itu adalah diperkenankan. Hanyalah tentunya orang yang mengangkat sumpah itu harus merupakan alat perlengkapan

  45 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 58

  (“organ”) dari badan hukum tersebut, misalnya direktur atau presiden direktur dari suatu perseroan terbatas. Kedudukan itu harus dimiliki orang tersebut pada waktu terjadinya peristiwa yang sedang dipersoalkan di muka Pengadilan itu. Dengan demikian dapat terjadi bahwa pada waktu orang itu melakukan sumpahnya di muka Pengadilan, ia sudah berhenti memangku jabatan tersebut.

  Mengenai sumpah pemutus ini ada sarjana yang menganggapnya sebagai suatu “perjanjian” antara kedua pihak yang bersengketa, untuk mengakhiri perkara mereka, jadi sesuatu yang mirip dengan suatu perjanjian perdamaian. Meskipun dapat diakui bahwa ada terdapat unsur-unsur seperti dalam suatu perjanjian yaitu adanya semacam “ijabkabul”, dan tidak dapat ditariknya kembali penawaran kalau sudah diterima oleh pihak lawan, tetapi hal yang agak aneh bagi suatu “perjanjian” ialah adanya akibat yang merugikan kalau penawaran itu ditolak. Maka dari itu adalah lebih tepat untuk menganggap sumpah pemutus itu sebagai sungguh-sungguh suatu alat bukti, yaitu suatu alat untuk membuat Hakim memperoleh 46 pengetahuan dan keyakinan tentang duduknya perkara, yang

  diperlukan untuk memutusi sengketa.

  Sumpah yang diperintahkan oleh Hakim dinamakan sumpah suppletoir atau sumpah tambahan karena itu dipergunakan oleh Hakim untuk menambah pembuktian yang dianggapnya kurang meyakinkan.

  Hakim dapat memerintahkan sumpah tambahan itu apabila:

  1. tuntutan maupun tangkisan tidak terbukti dengan sempurna;

  2. tuntutan maupun tangkisan itu juga tidak sama sekali tak terbukti.

  46 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 59

  (Pasal 1941 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 155 (1) RIB, pasal 182 (1) Reglemen Daerah Seberang),

  Jadi untuk memerintahkan sumpah tambahan itu ditetapkan bahwa harus terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, yaitu bahwa harus sudah ada sementara pembuktian. Taraf pembuktian yang disyaratkan ini lazim dikenal dengan istilah “permulaan pembuktian”. Adapun permulaan pembuktian bentuknya beraneka warna. Ada pembuktian yang berupa satu kesaksian, ada yang berupa tulisan, ada yang berupa suatu pengakuan di luar sidang, dan lain sebagainya. Pendeknya suatu pembuktian bebas yang oleh Hakim dianggap belum cukup meyakinkan itulah “permulaan pembuktian”.

  Apakah dalam suatu perkara sudah terdapat suatu permulaan pembuktian, adalah suatu hal yang sama sekali berada dalam wewenang Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi untuk mempertimbangkannya. Begitu pula kepada siapa atau pihak yang manakah diperintahkan melakukan sumpah tambahan, adalah termasuk kebijaksanaan Hakim yang memeriksa tentang duduknya perkara, yang tidak tunduk pada Kasasi.

  Sering juga terjadi bahwa dalam tingkat pemeriksaan kasasi, penggugat untuk kasasi mengajukan sebagai keberatan, mengapa musuhnya dan bukan dia yang dibebani sumpah tambahan. Teranglah bahwa keberatan semacam itu harus ditolak, karena persoalan kepada siapa yang akan diperintahkan melakukan sumpah tambahan adalah termasuk kebijaksanaan Hakim pertama, yang memeriksa tentang duduknya perkara.

  Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, sumpah tambahan ini tidak terikat pada syarat bahwa sumpah itu harus mengenai perbuatan 47 pribadi dari si

  yang bersumpah (Lihat Majalah Hukum tahun 1957 No. 1-2, halaman 104).

  Tetapi meskipun demikian, sudah barang tentu bahwa orang hanya dapat bersumpah tentang hal-hal yang diketahuinya. Misalnya saja, tak dapatlah seorang bersumpah bahwa sawah sengketa diperoleh nenek moyang tergugat dengan membuka hutan seratus tahun yang lalu.

  Dengan demikian dapat kita lihat, bahwa sumpah tambahan ini, mengenai syarat-syarat untuk memerintahkannya adalah lebih sempit dari sumpah pemutus, karena harus ada permulaan pembuktian, tetapi mengenai isinya sumpah itu lebih luas karena tidak perlu mengenai perbuatan pribadi dari si yang bersumpah.

  Hakim dapat memerintahkan sumpah juga untuk menetapkan jumlah yang akan dikabulkan nya, misalnya mengenai kerugian yang dituntut atau untuk menetapkan harga barang yang menjadi perselisihan. Sumpah terakhir ini tidak dapat diperintahkan oleh Hakim kepada si penggugat selainnya apabila tidak ada jalan lain lagi untuk menetapkan harga itu. Bahkan dalam hal yang demikian itu Hakim harus menetapkan hingga jumlah mana si penggugat akan dipercaya akan sumpahnya. Sumpah ini lazim dikenal dengan nama “sumpah penaksiran”.

  Sumpah yang oleh Hakim diperintahkan kepada salah satu pihak yang berperkara tak dapat oleh pihak ini dikembalikan kepada pihak lawannya.

  Sumpah harus diangkat di hadapan Hakim yang memeriksa perkaranya.

  47 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 60

  Jika ada suatu halangan yang sah, yang menyebabkan penyumpahan itu tidak dapat dilaksanakan di muka sidang Pengadilan, maka Pengadilan dapat memerintahkan seorang Hakim untuk mengambil sumpahnya, Hakim mana akan pergi ke rumah orang yang harus mengangkat sumpah itu. Jika dalam hai yang tersebut di atas tadi, rumah atau tempat kediaman itu terlalu jauh letaknya ataupun terletak di luar wilayah Pengadilan, maka Pengadilan dapat memerintahkan pengambilan sumpah kepada Hakim atau Kepa1aPemerintah Daerah dari rumah atau tempat kediaman orang yang diwajibkan bersumpah.Sumpah harus diangkat sendiri pribadi. 48 Karena alasan-alasan penting Hakim diperbolehkan mengizinkan

  kepada suatu pihak yang berperkara untuk suruhan mengangkat sumpahnya oleh orang lain yang untuk itu khusus dikuasakan dengan suatu akte otentik. Dalam hal ini surat kuasa harus menyebutkan secara lengkap dan teliti sumpah yang harus diucapkan itu. Tiada sumpah yang boleh diambil selainnya dengan hadirnya pihak lawan atau setelah pihak ini dipanggil untuk itu secara sah.

7. Perjanjian Pembuktian

  Dalam praktek kita melihat adanya perjanjian-perjanjian yang memuat aturan-aturan tentang pembuktian, artinya mengadakan aturan-aturan sendiri yang akan berlaku antara para pihak apabila mereka diwajibkan membuktikan sesuatu dalam hubungan dengan perjanjian-perjanjian tersebut. Suatu perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang akan berlaku antara para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut, dinamakan “perjanjian pembuktian”, yang menurut hukum memang diperbolehkan dalam batas-batas tertentu.

  48 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 61

  Misalnya dalam praktek sering diperjanjikan, hal mana memang diperbolehkan - bahwa antara, para pihak hanya akan berlaku sesuatu macam alat bukti saja, misalnya tulisan. Pembuktian dengan alat bukti lain, misalnya dengan kesaksian, dalam hal yang demikian, tidak diperbolehkan.

  Ada juga diperkenankan untuk menyatakan suatu alat bukti bebas sebagai suatu alat bukti yang mengikat antara kedua belah pihak. Misalnya antara pihak penjual dan pihak pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang yaitu surat yang dibuat oleh seorang pihak ketiga dan karena itu menurut Hukum Pembuktian hanya mempunyai kekuatan pembuktian bebas, akan mempunyai kekuatan sebagai bukti (yang mengikat) tentang diserahkannya sejumlah barang kepada pihak pembeli.

  Juga terdapat perjanjian-perjanjian di mana penggunaan alat bukti tidak diperbolehkan antara para pihak.

  Akhirnya ada juga perjanjian-perjanjian untuk melarang diadakannya suatu pembuktian lawan dalam suatu hal tertentu.

  Perjanjian di atas tadi memang diperbolehkan.

  Yang harus kita anggap terlarang, adalah:

  a. membolehkan para pihak memakai bukti-bukti lain, di mana undang- undang dengan tegas telah menetapkan suatu alat bukti sebagai satu- satunya yang berlaku, sepertinya dalam pasal 150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana ditetapkan bahwa dalam hal tidak adanya a. membolehkan para pihak memakai bukti-bukti lain, di mana undang- undang dengan tegas telah menetapkan suatu alat bukti sebagai satu- satunya yang berlaku, sepertinya dalam pasal 150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata di mana ditetapkan bahwa dalam hal tidak adanya

  mencantumkannya dalam perjanjian kawin, atau dengan surat pertelaan yang ditandatangani oleh notaris dan para pihak yang bersangkutan, surat mana harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian kawin.

  b. meniadakan kemungkinan pembuktian lawan di mana undang-undang secara tegas menjamin adanya hak mengadakan pembuktian lawan itu, seperti dalam Pasal 274 (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang menegaskan bahwa si penanggung (maskapai asuransi) selamanya berhak untuk membuktikan di muka Hakim bahwa harga yang disebutkan dalam polis itu terlampau tinggi.

  c. mengadakan perjanjian yang maksudnya menutup sama sekali setiap pembuktian lawan. Perjanjian semacam ini dapat dianggap sebagai melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, oleh karena berarti menyerahkan suatu pihak kepada kesewenang-wenangan pihak lawannya. Perjanjian pembuktian yang diterangkan di atas, harus kita perbedakan dari suatu macam perjanjian lain, dimana diperjanjikan bahwa sesuatu unsur dari perjanjian itu akan ditetapkan dengan suatu cara tertentu. Misalnya banyak terdapat dalam per- janjian pertanggungan (asuransi), bahwa besarnya kerugian harus ditetapkan oleh beberapa orang ahli. Perjanjian semacam ini tidak mengenai pembuktian, tetapi mengatur cara menetapkan sesuatu. Kitab Undang- undang Hukum Perdata sendiri memperkenankan bahwa dalam

  49 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 63 49 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 63

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24