Partisipasi petani dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani (kasus di Provinsi Jawa Tengah)

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha per-tanian. Selain daratan, potensi laut juga besar untuk pembangunan perper-tanian. Per-tanian merupakan sektor yang tidak boleh diabaikan, sebab selamanya sektor pertainan tetap menjadi tumpuan penghidupan sebagian besar masyarakat Indone-sia. Dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja 95.5 juta orang, 42.05 persen bekerja di sektor pertanian, sedangkan yang bekerja di sektor perdagangan sebesar 20.13 persen, sektor perindustrian sebesar 12.46 persen, dan sektor jasa sebesar 11.90 persen (Statistik Indonesia, 2007). Jumlah penduduk yang besar (lebih 200 juta) dengan daya beli yang rendah sangat berpotensi mengalami rawan pangan atau mengalami ketergantungan impor pangan yang akan mengganggu ketahanan nasional.

Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia seba-gian besar dibangun oleh petani dengan skala usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian tersebut setiap tahun semakin bertambah jumlahnya de-ngan tingkat kesejahteraan yang masih rendah. Masih rendahnya taraf kesejah-teraan petani terlihat dari hasil Sensus Pertanian (SP) 2003 yang disbandingkan dengan SP 1993. Jumlah rumah tangga petani gurem (kecil) dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 hektar, baik milik sendiri atau menyewa, meningkat 2.6 persen per tahun, dari 10.8 juta rumah tangga tahun 1993 menjadi 13.7 juta rumah tangga tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52.7 persen (1993) menjadi 56.5 persen (2003). Jumlah rumah tangga pertanian sendiri tercatat bertambah 2.2 persen per tahun dari 20.8 juta (1993) menjadi 25.4 juta (2003). Kenaikan persen-tase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia. Membangun pertanian berarti mengembangkan ekonomi petani miskin tersebut.

Skala usaha pertanian yang kecil menghambat petani meningkatkan pen-dapatannya sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Masyarakat pertanian


(2)

miskin selain luas usahataninya yang sempit, juga disebabkan oleh: produktivitas yang rendah; infrastruktur terbatas; aksesibilitas rendah terhadap modal, teknolo-gi, informasi, dan pasar; serta rendahnya kapasitas petani. Di sisi lain, petani hanya mempunyai sedikit kesempatan untuk memanfaatkan waktu luang bagi usaha di luar pertanian (off-farm atau out-farm). Pertanian selama ini belum mampu untuk merespons kelebihan tenaga kerja yang ada, sedangkan transforma-si struktural perekonomian natransforma-sional yang diharapkan dapat memindahkan tenaga kerja pertanian ke sektor nonpertanian tidak kunjung terjadi. Kebijakan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis menjadi pilihan pemerintah saat ini. Strategi revitalisasi pertanian mulai dicanangkan sejak 2005 untuk mengatasi berbagai permasalahan pertanian namun hasil-hasil kongkrit masih belum terlihat.

Pembangunan sektor pertanian sudah selayaknya tidak hanya berorientasi pada produksi atau terpenuhinya kebutuhan pangan secara nasional, tetapi juga harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat petani. Implikasi dari hal ini adalah menempatkan petani sebagai pelaku (bukan obyek) dalam pembangun-an pertpembangun-anipembangun-an dengpembangun-an eksistensinya sebagai mpembangun-anusia ypembangun-ang bermartabat. Terpenuhi-nya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas petani, baik kebutuhan individu maupun kebutuhan sosial petani, dalam situasi lingkungan sumberdaya yang terbatas memerlukan suatu strategi pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas petani, serta terciptanya kelembagaan petani yang tangguh disamping kelembagaan pertanian yang lain.

Pembangunan pertanian merupakan bagian yang terintegral dari pemba-ngunan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Pembapemba-ngunan sebagai proses perubahan, menurut Goulet dalam Todaro (1994), mengandung nilai-nilai: (a) Nafkah hidup, dalam arti kemampuan masyarakat untuk memenuhi atau men-cukupi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang mencakup: pangan, san-dang, perumahan, kesehatan, pendidikan dasar, dan perlindungan; (b) Peningkatan

harga diri, dalam arti berkembangnya rasa percaya diri untuk dapat hidup mandiri terlepas dari penindasan dan tidak dimanfaatkan oleh pihak lain hanya untuk ke-pentingan mereka; dan (c) Diperolehnya kebebasan, dalam arti kemampuan untuk memilih alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk mewujudkan perbaikan


(3)

mutu hidup atau kesejahteraan secara terus menerus bagi setiap individu maupun seluruh warga masyarakatnya.

Globalisasi dan liberalisasi ekonomi, hasil diratifikasinya WTO (World Trade Organization) oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, membawa konsekuensi yang serius bagi perekonomian termasuk di sektor pertani-an. Tingkat asimetri yang tinggi dalam sistem perdagangan dunia menyebakan globalisasi akan membawa dampak yang negatif bagi pertanian negara yang mem-punyai daya kompetitif rendah. Diperlukan strategi dan politik pertanian yang jelas dalam mendukung pertanian dalam negeri dalam menghadapi persaingan global tersebut. Upaya peningkatan daya saing pertanian dapat berupa: pening-katan produktivitas usahatani, peningpening-katan kapasitas petani, dan pengembangan kelembagaan pertanian.

Upaya meningkatkan produktivitas, efisiensi usahatani, dan daya saing pe-tani dilakukan melalui pengembangan kelembagaan perpe-tanian, termasuk di dalam-nya penguatan kapasitas kelembagaan petani. Petani-petani kecil sebaikdalam-nya di-gerakkan untuk bergabung secara kolektif dalam kelompok-kelompok, organisasi atau kelembagaan agar menjadi sutu unit kekuatan produksi yang besar, tangguh dan memiliki produktivitas tinggi. Penumbuhan kelompok-kelompok sekunder masyarakat tani, selain meningkatkan produktivitas usaha juga akan meningkat-kan efisiensi usaha pertanian. Reed (1979) menawarmeningkat-kan dua alternatif untuk mengatasi permasalahan petani kecil, yaitu: (a) konsolidasi lahan usahatani men-jadi usaha yang lebih luas, dan (b) memperluas skala pengelolaan dan penggunaan sumberdaya usahatani tanpa mengubah pemilikan petani, melalui usahatani kor-porasi atau kelompok.

Kelembagaan petani diakui sangat penting dalam pembangunan pertanian (Mosher, 1969; Staatz dan Eicher, 1984; Todaro, 1994). Kelembagaan petani di pedesaan berkontribusi dalam akselerasi pengembangan sosial ekonomi petani; aksesibilitas pada informasi pertanian; aksesibilitas pada modal, infrastruktur, dan pasar; dan adopsi inovasi-inovasi pertanian. Kelembagaan petani ini memiliki peran strategis di Indonesia karena karakteristik pertanian yang terdiri dari lebih 80 persen pertanian rakyat dan lebih 50 persen di antaranya petani gurem. Namun kenyataan memperlihatkan kecenderungan masih lemahnya kelembagaan petani,


(4)

serta besarnya hambatan dalam menumbuhkan kelembagaan pada masyarakat petani. Menurut Suryana (2007) salah satu hambatan implementasi Revitalisasi Pertanian di Indonesia adalah tidak adanya organisasi ekonomi petani yang kokoh sebagai salah satu ciri pertanian modern, Soedijanto (2004) menyebutkan berbagai permasalahan dalam penyuluhan pertanian di Indonesia diantaranya adalah masalah kelembagaan tani dan kepemimpinan petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi seringkali menyebabkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi lebih melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya (van den Ban dan Hawkins, 1999). Perbedaan sosial dan kultural masyarakat petani di negara berkembang dengan asal bentuk kelembagaan yang diadopsi me-nyebabkan kelembagaan petani yang dibangun tidak berkembang. Bunch (1991) menegaskan pembangunan kelembagaan tidak sekedar memindahkan kerangka organisasi, tetapi juga harus memberikan ‘perasaan’ tertentu. Ciri-ciri masyara-kat, perasaan, ketrampilan, sikap dan sikap moral, merupakan darah dan daging suatu lembaga.

Kelembagaan petani yang diharapkan mampu membantu petani keluar dari persoalan kesenjangan ekonomi petani, sampai saat ini masih belum berfungsi se-cara optimal. Kelembagaan pertanian kurang menempatkan petani sebagai peng-ambil keputusan dalam usahataninya, karena dominansi pengaruh intervensi pihak luar petani terhadap kelompok tani (Slamet, 2003). Pengembangan kelembagaan melalui penyuluhan pertanian justru menempatkan petani pada berbagai kelompok binaan yang dibentuk dari atas dan untuk kepentingan atas, sehingga posisi petani lemah dalam pengambilan keputusan kelompok. Kurang berhasilnya proyek-proyek pertanian yang berorientasi pada pembangunan kelembagaan petani, seperti: KUD, corporate farming, dan kelompok-kelompok usaha bersama yang lain; menunjukkan masih perlu kajian yang mendalam terhadap kelembagaan petani.

Implikasi diberlakukannya otonomi daerah, berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak buruk pada perkembangan kelembaga-an petkelembaga-ani, utamkelembaga-anya kelembagakelembaga-an kelompok petkelembaga-ani hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah tidak memberi-kan prioritas bagi pengembangan kelembagaan penyuluhan yang selama ini


(5)

mem-beri kontribusi bagi peningkatan produksi pertanian dan menjadi mitra petani dalam memfasilitasi kelembagaan kelompok petani. Kegiatan penyuluhan per-tanian di banyak daerah, termasuk Jawa Tengah, dikatakan hampir sampai pada titik nadir. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional, dengan luas lahan sawah sebesar 996 ribu hektar, luas lahan tegal/kebun sebesar 753 ribu hektar, dan ladang sebesar 11 ribu hektar. Hampir semua komoditas pertanian penting dihasilkan di Provinsi Jawa Tengah yang diusahakan oleh 5.9 juta (42 persen) penduduk di provinsi ini (Jawa Tengah Dalam Angka 2006). Potensi pertanian yang besar perlu didukung dengan ke-beradaan kelembagaan petani yang kuat, namun akhir-akhir ini justru mengalami stagnasi.

Mendasarkan pada kondisi kelembagaan petani saat ini khususnya kelem-bagaan kelompok petani, yang dipandang sebagai strategi sosial dalam pemba-ngunan pertanian, maka dirasa perlu untuk mengkaji aspek-aspek yang berpenga-ruh pada stagnasi dan kemunduran yang terjadi dalam kelembagaan kelompok petani ini.

Masalah Penelitian

Pada kenyataannya sebagian besar produk-produk pertanian di Indonesia dihasilkan oleh usahatani dengan luasan yang sempit-sempit. Dengan skala usaha yang kecil sangat sulit bagi petani untuk mengelola usahatani secara efisien. Glo-balisasi dan liberalisasi ekonomi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh petani. Petani Indonesia harus mengusahakan pertanian di dalam lingkungan tro-pika yang penuh resiko, seperti banyaknya hama, tidak menentunya curah hujan, dan sebagainya. Selain itu, kondisi infrastruktur yang belum memadai, serta kebijakan-kebijakan pertanian yang secara ekonomi dan politik kurang berpihak. Para petani dituntut ekstra hati-hati dalam menerima inovasi karena kegagalan memanfaatkan inovasi akan berakibat fatal dalam ekonomi rumah tangga petani. Dalam menjalankan usahanya, petani juga harus berhadapan dengan pelaku-pe-laku usaha yang lain di bidang pertanian. Belum ada atau lemahnya kelembagaan petani akan berakibat pada rendahnya posisi tawar petani yang berakibat pada


(6)

rendahnya tingkat kesejahteraan petani dan rendahnya dukungan pada pemba-ngunan pertanian secara nasional.

Pengembangan kelembagaan petani, termasuk didalamnya kelembagaan kelompok petani, sudah menjadi salah satu program pembangunan pertanian sejak Orde Baru. Upaya-upaya pengembangan kelembagaan petani oleh pemerintah se-lama ini belum mampu menghasilkan kelembagaan petani yang dinamis, kuat, dan mandiri. Kelembagaan kelompok petani semestinya mampu memenuhi kebutuh-an-kebutuhan petani, mampu meningkatkan daya saing, serta mampu mendukung kotinyuitas usaha, namun sampai saat ini kelompok-kelompok petani masih me-nunjukkan tingkat perkembangan yang masih rendah. Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih mengembangkan potensi-potensi lokal justru ber-dampak buruk pada keberadaan kelembagaan kelompok petani.

Secara ringkas permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam peneliti-an ini meliputi: (a) Sejauh mana kedinamisan kelompok sebagai pembelajar, kapasitas petani,

partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan kapasitas kelem-bagaan kelompok petani, serta bagaimana keterkaitan masing-masing variabel tersebut?

(b) Faktor-faktor determinan apa saja yang lebih berpengaruh dalam pengem-bangan kapasitas kelembagaan kelompok petani? dan

(c) Bagaimana strategi intervensi (penyuluhan) yang tepat, yang kondusif bagi peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok petani?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan permasalahan yang dipaparkan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas ten-tang kelembagaan kelompok petani, serta faktor-faktor yang berpengaruh terha-dap pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Kapasitas kelemba-gaan kelompok petani dianalisis melalui kedinamisan kelompok sebagai wahana belajar, kapasitas petani, dan kesadaran kolektif untuk berpartisipasi dalam ke-lembagaan sehingga mengarah pada pencapaian kapasitas keke-lembagaan kelompok petani yang diinginkan.


(7)

(1) Untuk mendeskripsikan tingkat kedinamisan kelompok sebagai sarana pem-belajar, tingkat kapasitas petani, tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, dan tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani;

(2) Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat partisipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani;

(3) Untuk mengidentifikasi dan menjelaskan pengaruh berbagai faktor terhadap tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani; dan

(4) Untuk merumuskan suatu strategi penyuluhan yang sesuai untuk mendorong petani dalam peningkatan kelembagaan kelompok petani yang efektif dalam mengelola sumberdaya pertanian secara berkelanjutan.

Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini mencoba menganalisis permasalahan kurang berkembangnya kelembagaan kelompok petani menjadi lembaga yang tangguh dan mandiri. Ka-pasitas kelembagaan kelompok petani sangat diperlukan dalam kondisi dan situasi yang dihadapi petani saat ini. Kedinamisan kelompok, kapasitas petani, dan parti-sipasi anggota dalam kelembagaan kelompok petani diduga menjadi faktor utama yang terkait dengan permasalahan kelembagaan kelompok petani ini sehingga memerlukan pendalaman yang lebih komprehensif dalam mengungkap hubungan kausalitas diantaranya.

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan berbagai kegunaan dalam pe-numbuhan dan pengembangan kelembagaan kelompok petani dalam usaha mem-pertahankan eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan keluarga anggota dan masyarakatnya. Secara praktis, pemahaman terhadap berbagai faktor yang terkait partisipasi petani dalam kelembagaan akan menghasilkan konsep intervensi atau

capacity building yang tepat bagi pengembangan kelembagaan petani yang efektif.

Hasil-hasil penelitian ini diharapkan akan menghasilkan rumusan-rumusan yang bisa dijadikan pertimbangan bagi pengembangan kelembagaan kelompok petani yang tepat untuk dilaksanakan di Provinsi Jawa Tengah pada khususnya dan di daerah lain yang serupa, yang berpotensi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan petani.


(8)

Pada akhirnya, hasil penelitian ini dapat menjadi perbandingan dari ke-luaran penelitian yang lain sebagai sarana untuk membuka wacana diskusi dan tukar informasi. Selain itu pengujian atau usaha untuk menindaklanjuti terhadap temuan-temuan yang ada merupakan sesuatu yang bermanfaat sehingga akan se-makin mendorong terhadap kemajuan ilmu penyuluhan pembangunan pada umumnya dan pengembangan kelembagaan petani khususnya. Upaya penguatan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan salah satu strategi yang diperlukan dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan yang efektif dan efisien.


(9)

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Pengertian Pembangunan

Secara etimologik, istilah pembangunan berasal dari kata dasar ‘bangun’ diberi imbuhan ‘pem - an’. Kata ‘bangun’ bisa berarti: sadar atau siuman (aspek fisiologis); bangkit atau siuman (aspek perilaku); bentuk (aspek anatomi); se-bagai kata kerja berarti membuat, mendirikan, atau membina (gabungan aspek fisiologi, aspek perilaku, dan aspek bentuk). Konsep ‘pembangunan’ (develop-ment) seringkali dianalogkan dengan konsep-konsep: pertumbuhan (growth), rekonstruksi (recontruction), modernisasi (modernization), westernisasi (wester-nization), perubahan sosial (social change), pembebasan (liberation), pembaruan

(innovation), pembangunan bangsa (nation building), pembangunan nasional

(national development), pengembangan (progress), dan pembinaan (construction)

(Ndraha, 1990; Suryono, 2001).

Pembangunan dapat dilihat dalam paradigma yang berbeda. Terdapat tiga kelompok teori pembangunan yang dianggap penting secara literatur, yaitu:

Pertama, kelompok teori modernisasi yang menekankan pada faktor manusia dan nilai-nilai budaya sebagai pokok persoalan dalam pembangunan. Kedua, kelom-pok teori ketergantungan (dependency theory) sebagai reaksi terhadap teori modernisasi yang dianggap kurang memadai, bahkan menyesatkan. Ketiga, kelompok teori-teori yang belum memiliki nama sebagai reaksi terhadap teori ketergantungan yang disebut sebagai teori atau ide pembangunan yang lain

(another development) (Suryono, 2001).

Kajian klasik perspektif modernisasi antara lain dikerjakan oleh David Mc.Clelland, Max Weber, WW. Rostow, Alex Inkeles dan David H. Smith. Teori Mc.Clelland menekankan aspek-aspek psikologi individu. Proses pembangunan diartikan sebagai upaya dalam membentuk manusia wiraswasta dengan N-ach yang tinggi melalui pendidikan individual masa anak-anak, terutama dalam lingkungan keluarga dengan kata lain memanipulasi mental anak didik sejak dini. Teori Weber menekankan pada nilai-nilai budaya. Nilai-nilai masyarakat antara


(10)

lain yang melalui agama, memiliki peran menentukan dalam mempengaruhi ting-kah laku individu. Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan kepada sikap yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, maka proses pem-bangunan dalam masyarakat dapat terlaksana.

Teori pertumbuhan ekonomi yang dipelopori Rostow melihat perubahan sosial, yang disebutnya sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Asumsi dari teori ini adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami ‘tradisional’ dan akhirnya menjadi ‘modern’. Sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Perubahan sosial terjadi dalam lima tahapan pembangunan ekonomi, yaitu: tahap pertama adalah masyarakat tradisional, kemudian berkembang menjadi prakondisi tinggal landas, lantas diikuti masyarakat tinggal landas, kemudian masyarakat pematangan per-tumbuhan, dan akhirnya mencapai masyarakat modern yang dicita-citakan (Su-warsono dan So, 2000). Teori ini menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai lembaga-lembaga sosial dan politik ini diperlukan untuk menghimpun modal serta merekrut tenaga teknis, tenaga wiraswasta dan teknologi (Suryono, 2001).

Teori Inkeles dan Smith menekankan pada lingkungan material atau ling-kungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Di sini bukan manipulasi mental yang dipakai sebagai instrumen pengubah, tetapi pengalaman kerja yang dialami secara nyata oleh pelaku yang mengubah sikap dan tingkah lakunya. Pendidikan dianggap cara yang paling efektif untuk membentuk manusia modern. Menurut Inkeles, karak-teristik pokok yang akan dimiliki oleh manusia modern meliputi: terbuka terhadap pengalaman baru; memiliki sikap untuk semakin independen terhadap berbagai bentuk otoritas tradisional, seperti orangtua, kepala suku, dan raja; percaya ter-hadap ilmu pengetahuan termasuk percaya akan kemampuannya untuk me- nundukkan alam semesta; memiliki orientasi mobilitas dan ambisi hidup yang tinggi; memiliki rencana jangka panjang; aktif terlibat dalam percaturan politik (Suwarsono dan So, 2000).


(11)

Pembangunan Sebagai Proses Perubahan Berencana

Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang diren-canakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat. Menurut Lippitt; Watson dan Wesley (1958) perubahan be-rencana adalah perubahan yang terjadi karena adanya keputusan kita untuk mem-perbaiki sistem kepribadian, sistem kelompok, sistem organisasi, dan sistem ke-masyarakatan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik dan memuaskan melalui pertolongan yang diberikan oleh agen-agen perubahan.

Selanjutnya Lippit, Watson dan Wasley (1958) sesuai rumusan Margono Slamet (1986) mengemukakan perubahan berencana tersebut terbagi dalam bebe-rapa fase antara lain :

(1) Fase menumbuhkan kebutuhan untuk berubah. Pada fase ini perlu dilakukan: (a) Perumusan perumusan kesulitan-kesulitan, ketegangan-ketegangan, keti-dakpuasan dan kekecewaan yang harus diterjemahkan; (b) kesadaran akan masalah yang sebenarnya yang harus dipecahkan; (c) adanya suatu keinginan untuk berubah; dan (d) adanya keinginan untuk meminta pertolongan dari luar sistem sosialnya.

(2) Fase membangun hubungan untuk perubahan. Perkembangan hubungan kerja dengan pelaksana perubahan yang terjadi karena adanya masalah-masalah baru yang dihadapi sistem klien. Keberhasilan atau kegagalan proyek per-ubahan akan tergantung pada kualitas hubungan kerja antara agen perper-ubahan dengan sistem klien.

(3) Fase mencari kejelasan atau melakukan diagnosis terhadap masalah klien (sa-saran perubahan). Tugas penting yang harus dilakukan oleh sistem klien ada-lah bekerja sama dengan agen perubahan untuk mendiagnosis hakekat kesu-karan yang dihadapi oleh sistem klien. Untuk itu agen perubahan memerlukan berbagai informasi yang dapat diperoleh melalui kegiatan wawancara, peng-amatan, test dan lain-lain.

(4) Fase menguji berbagai alternatif dan tujuan-tujuan pemecahan masalah, da-lam sistem klien menterjemahkan hasil diagnosis tersebut kedada-lam berbagai alternatif pemecahan masalah dan mendefinisikan maksud dan tujuan per-ubahan.


(12)

(5) Tahap mentransformasikan maksud dan tujuan pemecahan masalah kedalam usaha-usaha perubahan nyata. Keberhasilan usaha-usaha perubahaan diukur melalui cara dimana rencana dan tujuan tersebut ditransformasikan dalam keberhasilan yang nyata.

(6) Tahap generalisasi dan stabilisasi perubahan. Dapat dan tidaknya tercapai tu-juan akan tergantung pada keadaan sistem klien yang stabil dan ajeg. Sering-kali perubahan yang sering dihasilkan, cenderung menjadi hilang setelah usaha perubahan itu berakhir dan sistem klien tergelincir kembali kedalam tingkah laku yang lama. Karena itu perlu dilakukan evaluasi yang positif dan pemberian imbalan.

(7) Tahap memutuskan hubungan antara klien dan agen perubahan. Hal ini di-lakukan untuk mencegah timbulnya ketergantungaan masyarakat kepada agen perubahan. Dalam tahap ini perlu dipertanyakan apakah sistem klien telah mempelajari berbagai teknik pemecahan masalah dengan cukup baik. Apakah perubahan internal terhadap sistem klien menimbulkan konflik dengan ling-kungannya dan lain-lain. Jadi ada kemungkinan suatu proyek perubahan da-pat dilakukan serta pengakhiran proyek dilanjutkan dengan memberikan ja-minan bahwa agen perubahan akan melanjutkan konsultasi atau melakukan perubahan yang diperbaharui.

Selanjutnya Margono Slamet (1986) mengemukakan lima model meng-gerakkan masyarakat dalam perubahan berencana:

(1) Pendahuluan (initiation). Pada tahap ini ditandai oleh adanya prakarsa untuk melakukan perubahan yang diikuti oleh usaha untuk menyadarkan orang-orang yang berkepentingan akan adanya masalah yang perlu dipecahkan. Dalam hubungan ini tokoh-tokoh masyarakat dimana perubahan akan di-selenggarakan harus segera diberitahu tentang ide-ide tersebut. Setelah itu sasaran perubahan yang tepat harus segera ditentukan .

(2) Pengesahan (legitimation). Pada tahap ini mendapatkan persetujuan dari orang-orang yang berkuasa tentang ide-ide yang akan dibawakan. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat penting artinya bagi kelangsungan peru-bahan. Untuk itu penyuluh harus dapat menemukan: (a) organisasi-organi-sasi/orang-orang yang akan yang akan diperkirakan yang akan bersimpati dan


(13)

mendukung usaha yang akan dilancarkan; (b) Organisasi/organisasi yang akan mendapat prestise karena adanya perubahan tersebut; (c) Organisasi yang secara potensial akan menentang perubahan yang akan yang akan di-selenggarakan; (d) Organisasi atau orang yang mau menjadi sponsor dalam mengadakan sponsor bagi sumberdaya.

(3) Difusi = Penyebaran (Difussion). Difusi yaitu: (a) menyebarluaskan pemba-haruan kepada masyarakat yang akan disertai perubahan, (b) perlu membuka saluran komunikasi kepada masyarakat setempat dalam menyalurkan ide-ide pembaharuan dan memperoleh umpan balik dari masyarakat tersebut, (c) me-lancarkan kampanye untuk menggairahkan masyarakat agar menerima dan menjadikan ide ide perubahan itu menjadi milik mereka, (d) melibatkan orang-orang setempat dalam melakukan kegiatan kegiatan tersebut di atas. (4) Organisasi (organization). Pengorganisasian orang-orang yang terlibat dalam

pengalokasian sumber daya merupakan hal yang harus mendapat perhatian utama. Untuk melaksanakannya dengan baik perlu adanya: (a) tujuan yang jelas, (b) alternatif-alternatif untuk mencapai tujuan tersebut, (c) pengambilan keputusan (d) pembagian tanggung jawab dan tugas (e) rencana dan jadwal kerja yang jelas.

(5) Bergerak (action). Semua yang telah direncanakan dengan matang harus benar-benar dilaksanakan. Dalam pelaksanakan program kerja para peserta perlu memperoleh motivasi lebih lanjut. Setiap tahap yang telah dicapai atau-pun sedang diselenggarakan perlu diawasi dan dimotivasi lebih lanjut. Setiap tahap yang sedang dicapai ataupun sedang diselenggarakan perlu diawasi dan dimonitor terus menerus untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan se-susi dengan rencana atau perlu diperbaiki. Setelah kegiatan yang diinginkan terlaksana, perlu diselenggarakan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana hasil yang dicapai sesuai dengan rencana semula. Hasil evaluasi menjadi da-sar dalam memulai program kerja baru .

Adapun kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi perubahan antara lain : (1) Kekuatan Pendorong (Motivational Force), yakni kekuatan kekuatan yang

ada dalam masyarakat yang mendorong orang untuk berubah. Kekuatan ini berasal dari segala aspek situasi yang merangsang kemauan klien untuk me-


(14)

lakukan perubahan yang disarankan. Kekuatan tersebut seperti: (a) Ketidak- puasan terhadap situasi yang ada dan menginginkan situasi lain, (b) adanya pengetahuan tentang perilaku yang ada dan yang seharusnya bisa ada, (c) Adanya tekanan dari luar seperti kompetisi, keinginan menyesuaikan diri dan lain-lain.

(2) Kekuatan bertahan (Resisten Force). Kekuatan ini bertujuan mempertahankan apa yang telah ada dalam masyarakat dan menolak perubahan atau pem-baharuan. Kekuatan ini mempunyai akibat dan bersumber dari: (a) menen-tang segala macam bentuk perubahan, ( b) Menenmenen-tang tipe perubahan tertentu saja (c) Sudah puas dengan keadaan yang ada, (d) Beranggapan bahwa sum-ber perubahan itu tidak tepat, (e) Kekurangan atau tidak tersedianya sumsum-ber- sumber-daya yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan yang diinginkan.

(3) Kekuatan pengganggu (Intervering Forces), yakni kekuatan pengganggu yang memperlambat perubahan. Kekuatan ini bersumber dari: (a) Kekuatan dari masyarakat yang bersaing untuk memperoleh dukungan seluruh masyara-kat dalam proses pembangunan, (b) Kesulitan atau kekompleksan perubahan yang berakibat lambatnya penerimaan masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan, (c) Kekurangan sumberdaya yang diperlukan dalam bentuk kurang pengetahuan, tenaga ahli, ketrampilan, pengertian, biaya, sarana dan lain lain.

Terakhir perlu dipahami pula bahwa pengambilan keputusan untuk me-lakukan perubahan berencana antara lain: (1) Keputusan perorangan (optional decision) yang bersifat individu dan sukarela; (2) Keputusan bersama, yang ber-sifat mengikat anggota-anggota suatu kelompok yang terlibat dalam kegiatan tertentu; (3) Keputusan penguasa (authority decision), yakni keputusan yang diambil oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam suatu bidang tertentu (Rogers, 1995).

Pembangunan Pertanian di Indonesia

Menurut Todaro (1994) bahwa pembangunan bukan semata-mata fenome-na ekonomi, tetapi pembangufenome-nan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan soal pengorganisasian dan peninjauan kembali


(15)

keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Jadi selain peningkatan pendapatan dan

out-put, juga berurusan dengan perubahan mendasar tentang kelembagaan, sosial, dan struktur administrasi serta sikap masyarakat dan bahkan dalam banyak hal, kebiasaan dan kepercayaan.

Sumberdaya pertanian meliputi masukan (in-put) atau keluaran (out-put)

yang dibutuhkan dan dihasilkan dari proses usahatani. In-put dalam usahatani adalah segala sesuatu yang diikutsertakan di dalam proses produksi, meliputi: lahan, tenaga kerja, sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida/herbisida, alat-alat pertanian), irigasi dan sebagainya. Out-put dalam usahatani terdiri atas: produk dan hasil tanaman atau ternak. Usahatani (the farm) merupakan lahan di-mana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lain, melakukan usaha bercocok tanam atau memelihara ternak (Mosher, 1966).

Uphoff (1986) memaparkan kegiatan-kegiatan pertanian, yang mencakup in-put, produksi, dan output secara lebih spesifik sebagai berikut:

I. Kegiatan-kegiatan input, secara umum dilaksanakan oleh kelembagaan lokal. A.Input-input material, meliputi: (1) Benih dan persemaian: dibeli, dipertu-karkan, diawetkan; (2) Nutrien: pupuk kimia biasanya disalurkan melalui lembaga lokal, sumberdaya nutrien lain lebih sering disediakan oleh rumah tangga; (3) Kimia: herbisida, insektisida, fungisida; (4) Tenaga: tenaga ter-nak, tenaga traktor; (5) Alat: bajak, cangkul, sekop, dan lain-lain; (6) Pa-kan ternak: biasanya disediaPa-kan oleh rumah tangga petani, dibeli.

B.Input-input modal, meliputi: (1) Pinjaman jangka pendek (produksi), di-gunakan untuk tanaman musiman; (2) Pinjaman jangka menengah, diguna-kan untuk peralatan dan pembelian yang lain; dan (3) Pinjaman jangka panjang, kebanyakan untuk pembelian lahan.

C.Input-input umum, biasanya dikelola oleh kelembagaan nasional, meliputi: (1) Akses lahan: sistem kedudukan lahan, penyusunan bagi hasil tanaman, dan lain-lain; (2) Teknologi, berupa: informasi mengenai produk-produk, praktik atau teknik-teknik baru, yang secara umum dikembangkan melalui penelitian; (3) Kebijakan: harga, subsidi, dan lain-lain.

D.Input-input tidak langsung, mencakup: (1) Pengelolaan sumberdaya alam: perlindungan dan persediaan tanah, air, hutan, dan sumberdaya alam lain;


(16)

(2) Infrastruktur pedesaan: jalan, penyediaan air, perumahan, dan sebagai-nya; (3) Pengembangan sumberdaya manusia: pendidikan, melek huruf, kesehatan, dan sebagainya.

II. Kegiatan-kegiatan produksi, biasanya dilaksanakan oleh individu atau kelom-pok usaha, mencakup beberapa pertukaran tenaga kerja atau input.

A.Tenaga kerja, berupa kegiatan-kegiatan kerja: (1) Untuk tanaman musim-an: penyiapan lahan, penanaman, penyiangan, pemupukan, perlindungan tanaman, pengelolaan air (jika irigasi memungkinkan), pemanenan, dan pemilihan benih (mengulang siklus produksi); (2) Untuk tanaman tahunan, sama seperti nomor satu kecuali: kurang intensitas penyiapan lahan dan pemanenan, kemungkinan grafting dan atau pemangkasan; (3) Untuk ter-nak: penyediaan pakan, kandang, pengendalian penyakit, pengambilan hasil (pemerahan, pencukuran, penyembelihan), dan perkembangbiakan. B.Manajemen, kegiatan pembuatan keputusan: (1) Memperoleh atau

me-mastikan input; (2) Mengarahkan, koordinasi, pengawasan input tenaga kerja; (3) Menentukan jumlah, macam, dan jangka waktu produksi; dan (4) Menjaga keseimbangan antara input dan output agar mencapai nilai output lebih tinggi dari input.

III. Kegiatan-kegiatan output, umumnya dilaksanakan oleh kelembagaan lokal. A.Penyimpanan; pasca panen dan atau pasca pengolahan

B.Pengolahan; secara manual dan atau dengan mesin

C.Pengangkutan; untuk pengolahan, penyimpanan, dan atau penjualan D.Pemasaran; borongan dan atau eceran.

Pengelolaan sumberdaya pertanian menyangkut pengaturan masukan dan keluaran dalam proses produksi pertanian sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Untuk menjalankan proses produksi pertanian, petani tidak hanya me-nguasai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai input dan teknik budidaya pertanian, tetapi juga harus memahami kondisi alam, seperti: cuaca. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal tidak jarang petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif dengan petani lain. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan. Secara tra-disional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke


(17)

generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani.

Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masya-rakat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, Sjahrir (1988) menekankan perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pelaksanaan program, rencana dan kebi-jakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pembangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat.

Sumberdaya-sumberdaya pertanian perlu didorong untuk dikelola secara optimal dalam rangka meningkatkan kemandirian dan daya saing sektor pertanian. Menurut rumusan hasil Konpernas XII PERHEPI, pengelolaan sumberdaya per-tanian dihadapkan pada permasalahan struktural dan permasalahan kultural. Permasalahan struktural menyangkut faktor-faktor eksternal yang kurang mendu-kung, seperti: rendahnya teknologi yang diterapkan, terbatasnya akses modal, kelembagaan dan manajemen, kurangnya dukungan pemasaran, dan kelembagaan yang tidak mendukung. Sedangkan permasalahan kultural ditandai oleh ciri ma-syarakat Indonesia yang tingkat karsa-nya relatif rendah terutama diperani oleh ‘budaya lunak’ yang dicirikan: tidak adanya orientasi ke depan, tidak adanya keyakinan terhadap hari esok yang lebih baik, cepat menyerah, refreatism (lebih berorientasi pada akherat), dan lamban.

Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan pe-ningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan (Uphoff, 1986; Johnson (1985) dalam Pakpahan, 1989). Faktor-faktor tersebut merupakan syarat kecukupan (sufficient condition) untuk mencapai

performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diper-lukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai.


(18)

Pembangunan kelembagaan pertanian dilandasi pemikiran bahwa: (a) Per-tanian memerlukan pengubahan sumberdaya alam menjadi produk yang berguna melalui penggunaan sumberdaya manusia yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; (b) Pembangunan lembaga untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; (c) Kegiatan pertanian mencakup tiga rangkaian: penyiapan

input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manaje-men, dan menempatkan output menjadi berharga; (d) Kegiatan pertanian memer-lukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan investasi berupa lembaga dari pusat hingga daerah; dan (e) Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan lembaga, sulit mencapai kondisi optimal.

Memberdayakan Petani

Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usa-ha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Da-lam menjalankan usahataninya, petani memegang peranan sebagai seorang juru tani (cultivator) dan seorang pengelola atau manajer (Mosher, 1966). Sebagai juru tani, petani memelihara tanaman atau bercocok tanam dan hewan guna mendapat-kan hasil-hasilnya yang berfaedah, pada umumnya memerlumendapat-kan ketrampilan ta-ngan, otot dan mata. Sebagai pengelola, petani harus mengambil keputusan atau menetapkan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada untuk kegiatan usahatani-nya. Selain itu, petani adalah seorang manusia anggota sebuah keluarga dan ang-gota masyarakat setempat. Sebagai perorangan, petani mempunyai empat kapasi-tas, yaitu: bekerja, belajar, berpikir kreatif, dan bercita-cita. Sebagai anggota ma-syarakat, langkah-langkah yang diambil petani sangat dipengaruhi oleh sikap dan hubungan dalam masyarakat setempat.

Dalam kegiatan pertanian, masyarakat petani masih membutuhkan suatu layanan yang semakin luas dan kompleks cakupannya. J. Di Franco (Maunder, Addison H., 1972) mengidentifikasi cakupan tanggung jawab layanan pertanian di masa mendatang meliputi: (a) Produksi pertanian; (b) Pemasaran, distrihusi dan pengolahan produk pertanian; (c) Konservasi, penggunaan dan perbaikan sumber-daya alam; (d) Pengelolaan usahatani dan ekonomi rumah tangga; (e) Kehidupan


(19)

keluarga; (f) Pengembangan generasi muda; (g) Pengembangan kepemimpinan; (h) Pengembangan masyarakat dan pembangunan sumberdaya.

Layanan pengembangan masyarakat dan pembangunan sumberdaya ma-nusia sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat. Menurut Margono Slamet (2000) istilah `berdaya' diartikan sebagai tahu, mengerti, faham, ter-motivasi, berkesempatan melihat peluang, berenerji, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, mampu bertindak sesuai situasi. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan (2000) adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan (menyampaikan perwujudan) kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksis-tensinya.

Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strate-gi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasya-rakatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga swasta dan masyarakat sendiri (Saputro, 2001).

Sejalan dengan proses reformasi di negara Indonesia terjadi pula per-ubahan pendekatan pembangunan. Pembangunan yang semula bersifat sen-tralistik, topdown, sekarang diarahkan pada otonomi daerah dan bersifat

buttom-up. Perhatian pembangunan yang selama ini lebih pada pertumbuhan ekonomi sehingga kurang memperhatikan aspirasi masyarakat, mulai bergeser pada usaha-usaha yang mendorong peningkatan kemampuan masyarakat untuk berkembang, memperluas dan memperbanyak kesempatan-kesempatan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan secara mandiri.

Tuntutan tentang paradigma baru dalam pembangunan sudah lama di-kemukakan oleh berbagai kalangan. Pada masa pemerintahan Orde Baru tun-tutan tersebut tidak ditanggapi dengan serius. Tuntun-tutan paradigma baru pem-bangunan ada sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mulai menuju


(20)

perubahan sikap sebagai akibat tekanan dalam sistem pembangunan nasional. Dasar filosofi pembangunan yang dianut oleh pemerintah Orde baru mendasar-kan pada asumsi bahwa masyarakat itu terbelamendasar-kang, tidak maju, dan bodoh, se-hingga diperlukan suatu tindakan atau intervensi dari pihak luar (pemerintah). Tekanan struktural ini berakibat pada kemandirian menjadi hilang. Pemba-ngunan justru menempatkan orang miskin menjadi ”para penerima derma”

(beneficiaries) proyek-proyek pembangunan, ”para penganut” teknologi-tekno-logi baru, para konsumen jasa pelayanan publik yang kurang terkoordinasi, bu-ruh harian dan sebagainya. Untuk itu pengembangan masyarakat mestinya ber-usaha untuk menghilangkan tekanan struktural yang membuat masyarakat tidak berdaya.

Pandangan baru pembangunan didasarkan pada asumsi yang berbeda ten-tang cara yang tepat untuk menggerakkan masyarakat. Menurut pandangan baru ini untuk mengadakan pembangunan diperlukan perombakan yang mendasar mengenai seluruh lembaga, proses dan hubungan yang ada di masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Hambatan utama (dalam pe-rombakan adalah sikap fatalisme, sikap menerima nasib, dan sikap ketegantungan dan kurang yakin akan kemampuan diri yang secara tradisional menjadi sikap penduduk.

Dalam pembangunan diperlukan proses pendidikan yang berdasarkan pan-dangan luas untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegai-rahan dan hasrat, serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkat-kan kemampuan swadaya (self help) perorangan dan kelompok untuk memper-baiki nasib sendiri. Disamping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan parti-sipasi politik di kalangan penduduk serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan memperkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepe-mimpinan masyarakat. Dengan kata lain, paradigma baru pembangunan ini lebih mendasarkan pada suatu teori pembangunan humanistis daripada teori pemba-ngunan teknokrasi. Mendasarkan pada kerangka pikir di atas maka pendekatan masyarakat yang paling tepat adalah melalui pemberdayaan.


(21)

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi menempati posisi penting dalam praktik dan pemikiran pem-bangunan. Partisipasi sering dikaitkan dengan kegiatan pembangunan dalam masyarakat, digunakan untuk memberi gambaran pada kegiatan penyuluhan dan pembangunan kapasitas lokal dan kemandirian masyarakat. Partisipasi mempu-nyai banyak perbedaan dalam praktik sesuai negara-negara, sektor-sektor, dan tipe-tipe kegiatan. Partisipasi secara sederhana dapat diartikan sebagai peran serta seseorang atau sekelompok orang anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Aspek-aspek penting partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, menurut Carry (1970), meliputi: (a) prasyarat partisipasi, (b) tipe partisipasi, (c) tipe-tipe partisipan, (d) hubungan partisipan pada lokalitas, dan (e) tahapan pengorga-nisasian yang berhubungan dengan partisipasi.

Banyak penerjemahan terhadap istilah partisipasi, The World Bank (1996) mendifinisikan partisipasi sebagai sebuah proses dimana stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan inisiatif dan keputusan-ke-putusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Pretty (1994), dan Adnan et al. (1992) dalam Pretty dan Vodouhe (1997) mengemuka-kan tipologi partisipasi, yaitu: bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam pro-gram dan proyek pembangunan. Partisipasi dapat disusun dalam tujuh tipe, yaitu: (a) Partisipasi pasif (passive participation); masyarakat berpartisipasi secara ikut-ikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat.

(b) Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving); masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi informasi. Masya-rakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja.

(c) Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation); masyarakat ber-partisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh profesi-onal.

(d) Partisipasi untuk memperoleh insentif material (participation for material in-centive); masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumberdaya, seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material.


(22)

(e) Partisipasi fungsional (funcional participation); masyarakat berpartisipasi de-ngan pembentukan kelompok-kelompok yang dikaitkan dede-ngan tujuan proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar.

(f) Partisipasi interaktif (interactive participation); masyarakat berpartisipasi da-lam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga lokal baru atau penguatan yang lain. Masyarakat menentukan keputusan dan mem-punyai tanggung-jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik.

(g) Pengembangan diri (self-mobilization); masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk sumber-daya dan bantuan teknis yang diperlukan, tetapi tetap menguasai sumbersumber-daya yang digunakan.

Howard, Baker, dan Forest (1994) membedakan keterlibatan dalam tiga tipe, yaitu: keterlibatan fisik (physical involvement), jika sekelompok kecil orang berkumpul di suatu ruangan; keterlibatan sosial (social involvement), jika mereka berdiskusi, bertukar pikiran mengungkapkan perasaan, kebutuhan dan harapan; keterlibatan psikologis (psychological involvement), jika mereka terlibat diskusi aktif, mendalami pilihan-pilihan program, hingga menjadi disepakati sebagai ru-musan dan pemecahan masalah.

Slamet (2003) membagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan dalam lima jenis, yaitu: (a) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya; (b) Ikut memberi input dan me-nikmati hasilnya; (c) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menik-mati hasil pembangunan secara langsung; (d) Menikmenik-mati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input; dan (e) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya.

Menurut Mubyarto (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai kese-diaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain:


(23)

(a) Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial.

(b) Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya.

(c) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputus-an (penetapkeputus-an renckeputus-ana). Perasakeputus-an terlibat dalam perenckeputus-anakeputus-an perlu ditumbuh-kan sedini mungkin di dalam masyarakat. Partisipasi ini disebut juga partisi-pasi dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan politik yang me-nyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis.

(d) Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.

(e) Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pem-bangunan.

(f) Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Howard, Baker, dan Forest (1994) mengemukakan beberapa alasan sese-orang termotivasi untuk terlibat dalam suatu program tertentu, antara lain:

(a) Pola partisipasi masyarakat ditentukan secara umum oleh lingkungan sosial mereka; di beberapa kelompok, komunitas, keluarga partisipasi merupakan suatu kebiasaan atau fungsi budaya.

(b) Sebagai rasa tanggung-jawab masyarakat.

(c) Masyarakat berpartisipasi jika merasa mampu. Kemampuan dan kepercayaan diri biasanya timbul dari akses pada informasi, pengalaman, dan pelatihan. (d) Ekspresi dan aktualisasi diri. Kepuasan terhadap prestasi, penghargaan, dan

harapan pencapaian adalah bentuk penting motivasi. (e) Sebagai pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup.

(f) Keterlibatan seringkali merupakan derajat minat pribadi. Karena ditantang oleh kekuatan luar dan partisipasi dipandang sebagai suatu yang bermakna.

IADB (2001) menyatakan bahwa partisipasi sangat penting untuk keber-lanjutan pembangunan. Hal ini bisa terjadi karena:


(24)

Partisipasi memberdayakan dan menggerakkan masyarakat sebagai pelaku dan pengawas dari pembangunan yang mereka lakukan, sehingga membantu men-ciptakan dan memelihara demokrasi dan pemerintahan yang baik;

Partisipasi memperbaiki rancangan proyek dengan mengurangi biaya peng-amatan dan data, faktor-faktor sosial budaya sesuai dengan prioritas dan ke-butuhan yang dirasakan masyarakat sehingga mengurangi juga biaya supervisi; Proses partisipasi dapat meningkatkan temuan dan pembelajaran sosial, sehing-ga dapat menciptakan komitmen terhadap perubahan sosial;

Partisipasi dapat menguatkan kapasitas lembaga lokal, seperti: ketrampilan ma-najemen, kemandirian, kepercayaan, transparansi, akuntabilitas, dan akses ter-hadap sumberdaya luar. Kapasitas lembaga lebih besar memperbaiki proyek secara berkelanjutan.

Oakley et al. (1991) dalam Kumar (2002) mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:

(a) Efisiensi (Efficiency): Partisipasi dapat menjamin penggunaan secara efektif sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggung-jawab da-lam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi.

(b) Efektivitas (Effectiveness): Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek-proyek lebih efektif melalui: pengambilan keputusan mengenai tujuan dan strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif.

(c) Kemandirian (Self-reliance): Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal, tidak hanya dapat mengatasi mentalitas ketergantungan, tetapi juga dapat mening-katkan kesadaran, kepercayaan diri, dan pengawasan atas proses pembangun-an.

(d) Jaminan (Coverage): Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran.

(e) Keberlanjutan (Sustainability): Partisipasi masyarakat dianggap sebagai se-buah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan.

Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata


(25)

melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan.

IADB (2001) memperlihatkan urutan mekanisme partisipasi berdasarkan pada timbulnya pengawasan masyarakat terhadap keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka adalah sebagai berikut:

Menurut Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White (1982) mengemukakan bahwa kontribusi gerakan pengembangan masyarakat dan pelajaran yang dapat di-ambil guna mengembangkan peranserta, terkait dengan suatu studi yang mencatat

! " #

$ %

$


(26)

sebagai berikut: (a) Peranserta janganlah dijadikan program yang terpisah; ia me-rupakan suatu proses dan oleh sebab itu hendaknya dipadukan dengan kegiatan-kegiatan lain; (b) Peranserta harus didasarkan pada organisasi-organisasi lokal; (c) Distribusi yang lebih adil akan mendorong lebih banyak partisipasi; dan (d) Perlu diciptakan mata rantai antara berbagai tingkat, dan hendaknya pembangunan tidak didasarkan pada upaya-upaya yang terpisah-pisah.

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung-nya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidup-an. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan-kesempatan itu. Akhirnya, diperlukan usaha khusus untuk membuat masyarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya.

Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang me-nyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.

Kemampuan menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sum-berdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasa-lahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan


(27)

kesem-patan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan.

Tjokroamidjojo (1984) melihat empat aspek penting dalam rangka partisi-pasi dalam pembangunan, yaitu: (a) Terlibatnya dan ikut sertanya rakyat sesuai dengan mekanisme proses politik dalam suatu negara turut menentukan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah; (b) Meningkat-kan artikulasi (kemampuan) untuk merumusMeningkat-kan tujuan-tujuan dan terutama cara-cara dalam merencanakan tujuan yang sebaiknya; (c) Partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi dan rencana yang telah ditentukan dalam proses politik; (d) Adanya perumusan dan pelaksana-an program-program partisipatif dalam pembpelaksana-angunpelaksana-an ypelaksana-ang berencpelaksana-ana. Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai pertimbangan yaitu: (a) meningkatkan integrasi, (b) meningkatkan hasil dan merangsang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, (c) membantu menghadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, kebutuhan, masalah, dan pandang-an komunitas lokal, (d) membawa kualitas hasil (output) lebih tinggi dan berkuali-tas, (e) meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan (f) memberikan opera-si yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manuopera-sia lokal dan membatasi transportasi dan manajemen yang mahal (Claude dan Zamor, 1985).

Tjokroamidjojo (1984) mengungkapkan ada tiga hal yang perlu diperhati-kan dalam rangka partisipasi masyarakat, yaitu: (a) masalah kepemimpinan, (b) komunikasi, dan (c) pendidikan. Peranan kepemimpinan sangat menentukan ka-rena pembangunan memerlukan pemimpin yang mempunyai atau menerima ga-gasan pembaharuan, mampu berkomunikasi dan menerjemahkan proses-proses yang berlangsung. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat diperlukan pe-mimppemimpin formal yang mempunyai legalitas dan pepe-mimppemimpin in-formal yang mempunyai legitimitas. Komunikasi merupakan sarana yang me- mungkinkan gagasan, kebijakan, dan rencana mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Komunikasi dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang inheren di dalam proses pembaharuan. Selain


(28)

memberikan kesadaran, pendidikan memberikan prasyarat kemampuan serta pe-ngembangan nilai-nilai dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang.

Perspektif sosiologi mengamati pengaruh-pengaruh sosial-ekonomi terha-dap masyarakat, sedangkan perspektif ekonomi memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan yang dibuat masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Bryant dan White (1982) mengemukakan model ekonomi partisipasi dengan rumus: P = [(B x Pr) – (DC + OC)] R

Partisipasi (P) adalah sebuah fungsi dari manfaat (Benefits – B) yang akan di-peroleh, dikalikan dengan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability – Pr), dikurangi dengan dua jenis biaya yakni biaya langsung (direct costs – DC) dan biaya oportunitas (opportunity costs – OC); semuanya itu dikalikan dengan besarnya resiko yang sanggup ditanggung (Risks – R).

Ohama (2001) menyebutkan bahwa pendekatan partisipasi merupakan salah satu strategi dalam pengembangan masyarakat. Pendekatan partisipatif di-yakini sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat menuju kemandirian dan pembangunan berkelanjutan. Sebagai suatu metode praktis dalam memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat, pendekatan ini mempunyai beberapa kekuatan, yaitu: (a) tumbuhnya kesadaran masyarakat berkenaan dialog yang saling meng-untungkan merupakan pembentukan visi, usaha bersama yang baru, orientasi pen-capaian penanaman nilai melalui pengalaman belajar; (b) pembangunan organisasi berkenaan kerjasama pengambilan keputusan secara demokratis, pelaksanaan dan evaluasi secara efektif, pengelolaan kegiatan organisasi merupakan piranti sosial untuk menambah pengalaman pada kerjasama; (c) pengembangan kemampuan berkenaan penambahan dan internalisasi PSK (pengetahuan, sikap, dan keahlian) untuk kemandirian pengelolaan sumberdaya merupakan pengelolaan organisasi secara sesuai; dan (d) jaringan kerja berkenaan konsolidasi jaringan organisasi bagi transaksi sumberdaya dan pembagian pengalaman secara lebih efektif meru-pakan penguatan dasar yang umum untuk menyuarakan minat dan perhatian.


(29)

Modal Sosial: Modal Bagi Pengembangan Kerjasama Kolektif

Modal sosial (social capital) merupakan salah satu konsep untuk men-jelaskan realitas sosial pada berbagai tingkatan. Modal sosial secara sederhana dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkin-kan terjalinnya kerjasama di antara mereka (Fukuyama, 2000). Jika para ang-gota kelompok mengharapkan bahwa angang-gota-angang-gota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sarana kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan (trust) dan kerja-sama (cooperation) (Krishna, 2000).

Harriss dan Renzio (1997 dalam Carroll (2001) mengungkapkan gambar-an modal sosial dalam kehidupgambar-an nyata dgambar-an membaginya dalam 6 tipe, yaitu: (a) Family and kinship connections (Keluarga dan hubungan kekerabatan),

ber-hubungan dengan satu rumah tangga, keluarga besar, dan marga, didasarkan pada pertalian darah atau etnik.

(b) Social networks (Jaringan kerja sosial), atau asosiasi kehidupan. Terdapat pada kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang menghubungkan individu dengan berbagai keluarga atau kelompok kekerabatan dalam kegi-atan-kegiatan umum untuk berbagai tujuan (ekonomi, sosial/budaya, politik. (c) Cross-sectoral linkages (Hubungan lintas sektoral), yang diterjemahkan

“ja-ringan kerja dari ja“ja-ringan kerja” dimana hubungan bersama organisasi mempunyai berbagai sektor di dalam masyarakat dalam pencarian pemecah-an pada berbagai permasalahpemecah-an.

(d) Sosiopolitical capital (Modal sosio-politik), menggambarkan hubungan antara masyarakat sipil dengan negara, memberikan masyarakat kemampu-an untuk menengahi konflik dengkemampu-an mendengar, salurkemampu-an, dkemampu-an penyelesaikemampu-an berbagai masalah.

(e) Institutional and policy framework (Jaringan kerja kelembagaan dan kebi-jakan), atau serangkaian aturan-aturan formal dan norma-norma (konstitusi, hukum, peraturan, kebijakan) yang mengatur kehidupan masyarakat.

(f) Social norms and value (Nilai dan norma-norma sosial), didefinisikan se-bagai sesuatu yang terdapat di dalam kelompok sosial atau bangsa dalam


(30)

berbagi kepercayaan budaya dan mempunyai fungsi pada masyarakat se-bagai satu kesatuan.

Pembagian lebih lanjut, tiga tipe pertama dikategorikan sebagai tingkat mikro, sedangkan tiga tipe kedua merupakan tipe makro dari modal sosial. Pengelom-pokkan tipologi ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Coleman (2000) mengemukakan tiga bentuk yang diidentifikasi dalam modal sosial, yaitu: (a) kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergan-tung pada kepercayaan lingkungan sosial; (b) kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan (c) Adanya norma-norma yang disertai sanksi.

Tabel 2.1. Tipologi Modal Sosial

Kriteria Tipe Interaksi Sosial

Distribusi manfaat Individu Kelompok Masyarakat Sumber interaksi

sosial

Sifat dasar interaksi

Struktural – kognitif

Jalinan di dalam – di luar komunitas Dipusatkan antar pribadi atau kelompok Lemah atau kuat

Vertikal – horisontal

Penilaian sosial Bermanfaat atau membahayakan (untuk kebaikan masyarakat)

Tingkat dan bidang Keluarga/kekerabatan Asosiasi kehidupan lokal Hubungan lintas sektoral Modal sosio-politik

Jaringan kerja kelembagaan Nilai dan norma-norma sosial Sumber: Carroll (2001)

Petani dan Perubahan Perilaku Karakteristik Petani

Istilah ‘petani’ dari banyak kalangan akademis sosial akan memberikan pengertian dan definisi yang beragam. Sosok petani ternyata mempunyai banyak dimensi sehingga berbagai kalangan memberi pandangan sesuai dengan ciri-ciri


(31)

yang dominan. Moore mencatat tiga karakteristik petani, yaitu: subordinasi legal, kekhususan kultural, dan pemilikan de facto atas tanah. Wolf memberikan istilah

peasants untuk petani yang dicirikan: penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan otonom tentang proses cocok tanam (Lansberger dan Alexandrov, 1981).

Shanin menunjuk pada ciri-ciri masyarakat petani (peasant) sebagai beri-kut: (a) satuan keluarga (rumah tangga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; (b) petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah (lahan); (c) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; (d) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa (Sayogyo, 1993).

Soekartawi dkk. (1986) mengidentifikasikan ‘petani kecil’ dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Berusahatani dalam lingkungan tekanan penduduk lokal yang meningkat, (b) Mempunyai sumberdaya terbatas sehingga menciptakan tingkat hidup yang rendah, (c) Bergantung seluruhnya atau sebagian kepada produksi yang subsisten, dan (d) Kurang memperoleh pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya.

Petani merupakan kelompok masyarakat yang memegang peranan penting, baik di negara industri maupun negara berkembang. Usahatani kecil merupakan bentuk usaha yang mengolah lahan terbatas, menggunakan semua atau sebagian tenaga kerja keluarga sendiri dalam kesatuan usaha ekonomi yang mandiri. Usahatani merupakan bentuk usaha paling banyak dan memasok sebagian besar hasil produksi pertanian. Tipe usahatani yang paling sering ditemui di banyak negara adalah usahatani keluarga, mereka terorganisir menurut masing-masing struktur keluarga tani yang berlaku.

Blanckenburg dan Sachs (1989) menyebutkan bahwa salah satu ciri ter-penting masyarakat pertanian yang membedakannya dari masyarakat industri adalah makna kelompok primer sebagai unsur membentuk masyarakat. Kelom-pok primer ditandai oleh kecilnya kelomKelom-pok, lemahnya tingkat formalisasi, baik fungsi yang dipikul oleh kelompok maupun persatuan dan solidaritas anggota kelompok, juga lemahnya keterkaitan dengan norma-norma kelompok. Dalam masyarakat pertanian, kelompok primer lebih penting artinya dibandingkan


(32)

kelompok sekunder yang bercirikan organisasi rasional, berorientasi ke tujuan yang spesifik, dan mempunyai jumlah anggota yang lebih banyak.

Membangun Kemandirian Petani

Kemandirian adalah sebuah konsep yang utuh, tetapi memiliki berbagai muka dan tercermin dalam berbagi bidang kehidupan (Kartasasmita, 1997). Ke-mandirian (self-reliance) pertanian mengandung pengertian yang lebih jauh dari swasembada (self-sufficiency) yang secara hakiki menuntut kebutuhan dari produksi sendiri. Kemandirian di tingkat petani adalah menciptakan penerimaan yang mampu menutupi pengeluarannya. Dengan perkataan lain, kemandirian me-rupakan fungsi dari berbagai peubah bebas yang berkaitan erat dengan peningkat-an pendapatpeningkat-an, yakni efisiensi, sistem perdagpeningkat-angpeningkat-an, laju ekspor, sistem moneter dan kelembagaan yang inovatif serta organisasi yang bersifat adaptif (Amang, 1997). Saefullah dkk. (2003) menyebutkan perbedaan self-reliance setiap orang disamping disebabkan oleh faktor yang bersifat individual, seperti: character building, kepribadian, pengalaman, dan sebagainya; juga seringkali disebabkan oleh faktor sumberdaya.

‘Kemandirian’, dalam Kamus Webster’s berasal dari kata self-reliant (adj.): not dependent on others: having confidence in and exercising one’s own powers or judgement (tidak tergantung pada orang lain: mempunyai kepercayaan dan pengambilan kekuasaan dan keputusan sendiri) atau self-reliance (noun):

reliance upon one’s own efforts, judgement, or ability (mandiri pada usaha-usaha, pertimbangan, atau kemampuan sendiri). Verhagen (1996) mengemukakan bah-wa kemandirian (self-reliance) adalah suatu suasana atau kondisi tertentu yang membuat seorang individu atau sekelompok manusia yang telah mencapai kondisi itu tidak lagi tergantung pada bantuan atau kedermawanan pihak ketiga untuk mengamankan kepentingan individu atau kelompok.

Dijelaskan oleh Verhagen (1996), sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Swadaya adalah setiap tindakan sukarela yang di-lakukan oleh seorang individu atau kelompok manusia yang bertujuan untuk pemuasan kebutuhan-kebutuhan atau aspirasi-aspirasi individual atau kolektif. Pemilikan yang terbatas dan akses pemilikan yang juga terbatas terhadap


(33)

sumber-daya menyebabkan tingkat kemandirian yang rendah. Dalam hal ini ketergan-tungan terhadap faktor eksternal menjadi sangat tinggi. Penyatuan potensi, serta penumbuhan nilai-nilai untuk menghargai diri sendiri dan sesama, kepercayaan, komunikasi dan kerjasama, yang diwujudkan dalam suatu wadah kelompok, pada akhirnya menjadi organisasi, diyakini sebagai strategi dalam meningkatkan ke-mandirian masyarakat (Saefullah dkk., 2003).

Perilaku Belajar Dalam Individu

Dalam perspektif teori belajar, perilaku individu atau seseorang ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya (Sear, Freedman, dan Peplau, 1992). Pendekatan perilaku dengan teori belajar ini merupakan dasar Behaviorisme. Belajar merupakan perubahan dalam individu (Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978), sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, penge-tahuan, dan sikap mental.

Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu:

asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupa-kan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasimerupa-kan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan (atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenang-kan). Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan peri-laku sosial dengan meniru sikap dan periperi-laku yang menjadi model.

Dalam teori belajar ada tiga ciri khusus yang membedakan dengan pe-mikiran yang lain, yaitu: (a) sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau; (b) cenderung menempatkan penye-bab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi; (c) biasanya diarahkan untuk men-jelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis.

Teori belajar sosial oleh Bandura menyatakan bahwa sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal (faktor lingkungan) tetapi juga internal (faktor


(34)

kognitif) (Sarwono, 2002). Dijelaskan faktor kesadaran juga dianggap penting. Proses belajar sosial lebih daripada internalisasi norma-norma dan nilai-nilai. Belajar sosial berarti pula belajar untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama serta kegiatan-kegiatan yang mengandung pertentangan, guna mengatasi situasi-situasi yang baru dan mencapai tujuan-tujuan di dalam suatu konteks ke-sempatan dan keterbatasan. Orientasi ke pemecahan masalah penting bagi keikut-sertaan yang efektif, khususnya dalam suatu masyarakat yang kompleks dan ber-ubah-ubah (Jaeger, 1985).

Gagne (1965) mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-ma-sing mempunyai praxis, yaitu: (a) Motor skills (ketrampilan gerak), yang dikem-bangkan melalui praktik; (b) Verbal information (informasi tulis), syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; (c) Intellectual skills

(ketrampilan intelektual), belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; (d) Cognitive strategies (strategi kognitif), belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; (e) Attitudes (sikap), dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”.

Bloom (Knowles, 1978) mengidentifikasi tiga ranah dari tujuan pendidik-an, yaitu: (a) kognitif, yang berhubungan dengan menimbulkan dan memperoleh pengetahuan dan pengembangan kemampuan dan kecakapan; (b) afektif, yang menggambarkan perubahan dalam minat, sikap, dan nilai, serta pengembangan apresiasi dan penyesuaian yang memadai; dan (c) psikomotor.

Terkait dengan belajar bagi orang dewasa, Lindeman dalam Knowles (1978) mengidentifikasi beberapa anggapan sebagai dasar teori belajar orang dewasa sebagai berikut: (a) Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila sesuai minat dan kebutuhan sehingga belajarnya akan memuaskan, ini merupakan awal yang tepat untuk memulai aktivitas belajar; (b) Orientasi belajar orang dewasa adalah dipusatkan pada kehidupan, oleh karena itu unit yang tepat bagi pengelola-an belajar adalah situasi kehiduppengelola-an; (c) Pengalampengelola-an merupakpengelola-an sumber belajar, oleh karena itu metode logi pendidikan orang dewasa adalah analisis pengalaman; (d) Orang dewasa mempunyai kemandirian, oleh karena itu peran pengajar meng-ajak dalam proses penyelidikan saling menguntungkan; (e) Perbedaan antar


(35)

individu meningkat, sehingga pendidikan orang dewasa harus membuat penyedia-an secara optimal bagi perbedapenyedia-an dalam gaya, waktu, tempat, dpenyedia-an lpenyedia-angkah belajar. Rogers (1994) mengemukakan tiga karakteristik sebagai ciri yang menan-dakan kedewasaan seseorang di dalam masyarakat, yaitu: perkembangan penuh

(full growth), perasaan terhadap pandangan (sense of perspective), dan keman-dirian (autonomy). Perkembangan penuh merupakan perluasan dan pemanfaatan semua bakat yang dimiliki seseorang dan proses pergerakan ke arah kematangan. Kedewasaan menunjukkan akumulasi pengalaman sebagai pertimbangan yang membantu seseorang mengembangkan pemikiran dalam hubungannya dengan orang lain. Kemandirian menujuk pada tanggung-jawab terhadap keputusan yang diambil dan adanya kesukarelaan.

Pemahaman Terhadap Perilaku Sosial

Dalam perspektif sosiologi, kompleksitas kehidupan masyarakat merupa-kan kenyataan sosial yang rumit sehingga memerlumerupa-kan suatu teori yang dapat menggambarkan dan menjelaskan perilaku sosial manusia atau struktur sosial-nya. Ada beberapa cara untuk mengklasifikasi pelbagai tingkatan kenyataan sosial, Johnson (1994) menyebutkan empat tingkatan sebagai berikut:

(a) Tingkatan Individu: tingkat perilaku (behavioral) versus tingkat subyektif. Tingkatan ini menempatkan individu sebagai pusat perhatian untuk analisa yang paling utama, tetapi sering juga pada satuan-satuan perilaku atau tin-dakan sosial individu.

(b) Tingkat Antarpribadi (interpersonal); meliputi interaksi antar individu yang berhubungan dengan komunikasi simbolis, penyesuaian timbal-balik, nego-siasi mengenai bentuk-bentuk tindakan yang saling tergantung, kerjasama atau konflik antar pribadi, pola-pola adaptasi bersama atau yang berhubung-an satu sama lain terhadap lingkungberhubung-an yberhubung-ang lebih luas.

(c) Tingkat struktur sosial; lebih bersifat abstrak dari kedua tingkatan di atas. Perhatian pada pola-pola tindakan atau jaringan-jaringan interaksi yang di-simpulkan dari pengamatan terhadap keteraturan dan keseragaman yang terdapat dalam waktu dan ruang. Satuan-satuan yang penting dalam tingkat-an ini dapat dilihat sebagai posisi-posisi sosial dtingkat-an pertingkat-antingkat-an-pertingkat-antingkat-an sosial.


(36)

(d) Tingkat Budaya; meliputi arti, nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya yang dimiliki bersama oleh anggota suatu masyarakat (atau seke-lompok anggota). Dalam pengertian yang luas, istilah kebudayaan terdiri dari produk-produk tindakan dan interaksi manusia, termasuk benda-benda ciptaan manusia berupa materi dan dunia kebudayaan non-materiil. Ke-budayaan non-materiil sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi penge-tahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta tata cara yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Perilaku sosial dapat dipandang dalam berbagai perspektif, seperti pers-pektif sosiologi, atau perspers-pektif psikologi. Beberapa teori sosiologi menjelaskan keteraturan sosial yang mendasar yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Solidaritas sosial dan integrasi me-rupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim. Pandangan Durkeim didasarkan pada asumsi bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Dalam pandangannya, kenyataan atau fakta sosial bersifat eksternal, memaksa individu, dan harus dijelaskan de-ngan fakta sosial yang lain. Pandade-ngan berbeda diungkapkan oleh Weber, bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial (Johnson, 1994).

Interaksi sosial oleh setiap individu dalam suatu masyarakat sangat diper-lukan. Robert Weiss (1974) dalam Sear dkk (1992), analisis kebutuhan afiliatif didasarkan pada enam “ketentuan hubungan sosial”, hal-hal penting yang di-berikan berbagai hubungan bagi individu antara lain: (a) Kasih sayang merupakan rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erat; (b) Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberi-kan oleh hubungan dengan teman, rediberi-kan sekerja, atau teman seregu. Hubungan semacam ini memungkinkan adanya persahabatan dan memberikan rasa mempu-nyai kepada kelompok; (c) Harga diri diperoleh jika orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan; (d) Rasa per-satuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu kita pada saat kita membutuhkan; (e) Bimbingan diberikan oleh konselor, guru,


(1)

material;

- Adanya kemampuan mengelola konflik. (3) Adanya keinovatifan kelembagaan, meliputi:

- Adanya peran kepemimpinan dalam kelembagaan;

- Fungsi kepemimpinan dalam kelembagaan berjalan;

- Adanya nilai-nilai yang mendasari kerjasama;

- Adanya pembagian peran anggota;

- Adanya pola kewenangan dalam kelembagaan;

- Adanya komitmen anggota terhadap kelembagaan;

- Tersedia sumber-sumber pendanaan;

- Tersedia fasilitas-fasilitas fisik;

- Kualitas sumberdaya anggota memadai;

- Adanya teknologi yang sesuai. (4) Keberlanjutan kelembagaan, meliputi:

- Sentimen anggota baik;

- Kesadaran anggota tinggi;

- Kekompakan anggota terjadi;

- Kepercayaan anggota besar;

- Tersedia bantuan luar;

- Pola komunikasi antar anggota dua arah;

- Adanya kerjasama dengan pihak lain.

Diagram mengenai strategi penyuluhan pertanian dalam meningkatkan kapasitas petani, partisipasi dalam kekelembagaan kelompok petani, dan kapasi-tas kelembagaan kelompok petani terlihat pada Gambar 5.14.


(2)

DUKUNGAN PENYULUHAN PERTANIAN

♦ Kompetensi penyuluh ♦ Pendekatan terhadap khalayak

sasaran

♦ Kelembagaan penyuluhan pertanian

KAPASITAS PETANI:

♦ Pendidikan non-formal ♦ Pengalaman berusahatani ♦ Status ekonomi

♦ Dorongan kebutuhan ♦ Pengalaman belajar

PENINGKATAN PARTISIPASI PETANI DALAM KELEMBAGAAN:

Penyadaran:

- Penumbuhan kebutuhan riil petani - Pentingnya partisipasi kelembagaan - Menumbuhkan kepemimpinan lokal

- Menumbuhkan kerjasama usaha berkelanjutan - Membangun wawasan tentang tujuan kelembagaan - Menciptakan komitmen kebersamaan

Pengorganisasian:

- Peningkatan kemampuan manajemen sumberdaya - Peningkatan kemampuan pengambilan keputusan bersama - Pengembangan kepemimpinan

- Penyediaan sarana dan prasarana kelembagaan

Pemantapan:

- Pemantapan terhadap visi

- Membangun jaringan dan kerjasama antar kelembagaan

Gambar 5.14. Strategi Penyuluhan Dalam Meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani

♦ Tujuan tercapai

♦ Fungsi dan peran berjalan ♦ Adanya keinovatifan ♦ Adanya keberlanjutan

PROSES

MASUKAN KELUARAN

LINGKUNGAN PETANI:

♦ Dukungan kepemimpinan lokal ♦ Peran pihak luar (pemerintah,

swasta, dan kelembagaan lain)

LINGKUNGAN KELOMPOK:

♦ Kedinamisan sebagai kelompok pembelajar


(3)

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada pembahasan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

(5) Tingkat kedinamisan kelompok sebagai sarana pembelajar bagi petani keba-nyakan pada kategori sedang. Kelompok petani kurang menunjukkan aktivitas yang berarti, karena sangat bergantung pada pembinaan yang dilakukan oleh instansi terkait. Tingkat kapasitas petani secara umum berada pada kategori sedang, namun kemampuan petani sebagai pengelola usahatani relatif rendah yang menunjukkan masih rendahnya budaya agribisnis yang dimiliki. Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani berada pada tingkat sedang, dalam beberapa aspek seperti: perencanaan, pemeliharaan, dan pe-nilaian hasil, petani tampak kurang terlibat secara aktif. Terdapat kesenjangan yang cukup mencolok antara petani berstatus tinggi (ketua dan pengurus kelompok) dengan petani berstatus rendah (anggota kelompok) karena pengaruh budaya paternalistik, di samping itu lemahnya pemahaman anggota terhadap arti penting kelembagaan petani sebagai wahana mencapai tujuan dalam berusahatani. Kapasitas kelembagaan kelompok petani berada pada ketegori sedang. Kelembagaan petani yang ada kurang mampu memenuhi kebutuhan anggotanya. Peran kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya kurang maksimal. Ada kesadaran petani untuk kerjasama namun kurang efektif memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki, dan lemah dalam mengem-bangkan jaringan kerjasama dengan pihak lain.

(6) Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani rendah dalam mendukung keberadaan kelembagaan kelompok petani. Kondisi ini disebab-kan oleh rendahnya pendididisebab-kan formal, rendahnya pendapatan petani, tingkat partisipasi sosial petani yang juga rendah, serta kurang terpenuhinya tingkat kebutuhan petani, dan kurangnya dukungan penyuluhan yang partisipatif. Relatif rendahnya tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani disebabkan oleh rendahnya tingkat kedinamisan kelompok dan


(4)

rendah-nya tingkat kapasitas petani. Rendahrendah-nya aspek-aspek: tingkat kesadaran atas kebutuhan riil, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan dukungan penyuluhan, menyebabkan pada rendahnya kedinamisan kelompok sebagai wahana pembelajar. Sedangkan, rendahnya tingkat pendidikan non-formal, pengalaman berusahatani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, dan dukungan penyuluhan menyebabkan terhadap rendahnya kapasitas petani.

(7) Kapasitas kelembagaan kelompok petani rendah karena tingkat pemenuhan kebutuhan yang rendah, rendahnya intensitas peran pihak luar, dan kurangnya dukungan penyuluhan. Rendahnya tingkat partisipasi petani dalam an kelompok petani juga menyebabkan pada rendahnya kapasitas kelembaga-an kelompok petkelembaga-ani. Hal ini disebabkkelembaga-an tingkat kedinamiskelembaga-an kelompok seba-gai wahana belajar yang rendah dan kapasitas petani yang juga rendah. (8) Tingkat dukungan penyuluhan pertanian, baik langsung maupun tidak

lang-sung, menyebabkan pada peningkatan kapasitas petani, peningkatan partisi-pasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, serta mendorong kapartisi-pasitas kelembagaan kelompok petani. Strategi penyuluhan pertanian yang tepat adalah dilaksanakan dengan meningkatkan kapasitas petani dan berusaha me-ningkatkan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani. Peningkat-an dukungPeningkat-an penyuluhPeningkat-an pertPeningkat-aniPeningkat-an dilakukPeningkat-an melalui proses-proses: penya-daran, pemberdayaan, pengorganisasian, pemantapan dan penguatan terhadap petani dan kelembagaan kelompok petani. Untuk melaksanakan peran tersebut penyuluhan membutuhkan dukungan kompetensi penyuluh yang memadai dan pendekatan penyuluhan yang partisipatif sehingga sesuai dengan tingkat ka-pasitas petani dan kelembagaan kelompok petani, serta kelembagaan penyu-luhan yang lebih kuat.

Saran

Beberapa saran yang dapat dikemukakan terkait dengan hasil dan pemba-hasan adalah:

(1) Peningkatan partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dapat di-lakukan melalui: peningkatan kapasitas petani, peningkatan pemenuhan


(5)

kebu-kapasitas petani seyogyanya dilakukan melalui proses pembelajaran yang partisipatif melalui penyuluhan, terutama melalui interaksi petani dengan lingkungan sosialnya dan partisipasinya dalam kelembagaan kelompok petani. Usaha memfasilitasi oleh pihak luar untuk mengoptimalkan peran kelembaga-an kelompok petkelembaga-ani ykelembaga-ang ada hendaknya dilakukkelembaga-an secara proporsional sesuai dengan kapasitas petani, dan tidak didominasi intervensi kepentingan pihak luar yang berlebihan, serta penyadaran petani atas kebutuhan riil menjadi ke-butuhan yang dirasakan oleh petani, dan memanfaatkan kepemimpinan lokal. (2) Peningkatan dukungan penyuluhan pertanian yang partisipatif lebih kondusif

bagi kedinamisan kelompok dan peningkatan kapasitas petani, yang mampu memotivasi petani untuk berpartisipasi dalam kelembagaan kelompok petani. Penyuluhan pertanian seyogyanya dirancang dengan memberikan muatan

(content area) pada penguatan kapasitas petani sekaligus mengarah pada pe-nguatan kapasitas kelembagaan kelompok petani. Upaya yang sebaiknya di-lakukan oleh pihak-pihak pemangku kepentingan, terutama pemerintah ada-lah: (a) Meningkatkan kapasitas para penyuluh lapangan, (b) Menggunakan cara-cara atau pendekatan partisipatif yang berorientasi pada kebutuhan petani dalam melakukan kegiatan penyuluhan, dan (c) Memperkuat kelembagaan penyuluhan.

(3) Diperlukan upaya peningkatan dukungan penyuluhan pertanian agar mampu mengembangkan kapasitas petani secara individu dan kapasitas kelembagaan kelompok petani di tingkat lokal. Selain penyuluh pertanian lapangan mempu-nyai kompetensi tinggi dan mempumempu-nyai komitmen pada kepentingan khalayak sasaran, juga diperlukan atas keberadaan kelembagaan-kelembagaan pertanian yang lain di tingkat lokal. Kelembagaan penyuluhan pertanian pada setiap daerah kabupaten/kota seyogyanya mengambil peran secara proporsional un-tuk mensinergikan kegiatan-kegiatan agribisnis yang dilaksanakan oleh petani secara individu, kelembagaan kelompok petani, maupun kelembagaan pertani-an ypertani-ang lain untuk peningkatpertani-an pendapatpertani-an dpertani-an kesejahterapertani-an petpertani-ani.

(4) Mengingat tingkat kompetensi penyuluhan yang masih rendah, maka untuk menjamin pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang berkualitas diperlukan


(6)

pe-ningkatan kompetensi tenaga-tenaga penyuluh yang profesional. Kini telah diperlukan standar kompentensi yang jelas atas profesi tenaga penyuluh sehingga dapat menjadi acuan bagi upaya-upaya pengembangan kompetensi penyuluh, baik melalui pendidikan formal, non-formal maupun upaya lainnya. Pengembangan lembaga sertifikasi profesi (LSP) penyuluh tampaknya sudah menjadi kebutuhan yang mendesak.

(5) Pendekatan partisipatif dalam kegiatan penyuluhan dinilai paling sesuai dalam upaya pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani, namun selama ini pemahaman terhadap pendekatan partisipatif oleh tenaga penyuluh lapang-an slapang-angat beragam. Diperluklapang-an adlapang-anya usaha penyamalapang-an pemahamlapang-an atas pendekatan penyuluhan partisipatif terhadap tenaga-tenaga penyuluh di la-pangan melalui berbagai latihan atau lokakarya, baik bagi calon tenaga penyu-luh maupun penyegaran bagi para penyupenyu-luh yang sudah ada dengan paradigma penyuluhan yang partisipatif.