Perkumpulan Petani Pemakai Air P3A

52 pok merupakan satu kesatuan usahatani dalam mencapai skala ekonomi yang le- bih menguntungkan. Sebagai wahana kerjasama, kelompok menjadi tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama anggota dan antara kelompok dengan pihak lain Anonim, 2001. Berbagai bentuk dan jenis kelompok tani pernah dibentuk dan dikembang- kan di Indonesia. Hadisapoetro Mardikanto, 1993 menyebutkan tentang adanya dua kelompok tani yang dapat dibedakan menurut wilayahnya, yaitu: kelompok tani hamparan atau kelompok tani lapangan, dan kelompok tani tetangga atau kelompok tani domisili. Berdasarkan jenis kelompok, kelompok tani-nelayan KTN dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: KTN dewasa, KTN wanita, dan KTN taruna Anonim, 2001. Berdasarkan kemampuan, yang didasarkan pada sepuluh jurus kemampuan dalam program BIMAS, kelompok tani dapat dibeda- kan menjadi empat kelas, yaitu: kelas pemula, kelas lanjut, kelas madya, dan kelas utama Anonim, 2001.

2. Perkumpulan Petani Pemakai Air P3A

Organisasi petani pengelola air di Indonesia, yang di masa awal pem- bentukannya disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air atau disingkat P3A. Dalam perkembangannya organisasi ini cenderung, dibakukan sehingga meng- hapuskan kelembagaan serupa yang sudah berakar di masyarakat. Pemerintah secara yuridis melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1982 tentang Irigasi, menyatakan adanya suatu lembaga yang disebut Perkumpulan Petani Pemakai Air P3A. Berdasarkan peraturan ini dikembang- kan sejumlah program untuk membentuk dan mengembangkan P3A di seluruh Indonesia, dan peraturan yang lebih khusus mengenai P3A, yaitu: Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1984 tentang Pembinaan Perkumpulan Petani Pemakai Air, Peraturan Pemerintah Nornor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah. Pengembang- an P3A dalam pelaksanaannya cenderung membakukan dan membuat formal organisasi petani pengelola air, yang sebenarnya jauh sebelum keluar peraturan itu petani sudah memiliki suatu organisasi yang berhasil, meskipun sifatnya 53 tradisional dan informal. Hal ini menjadi salah satu sebab banyaknya P3A formal yang tidak berfungsi di lapangan. Menurut Coward dalarn Hartono 2000 fungsi-fungsi pengelolaan sis- tem irigasi yang dilakukan P3A meliputi: tiga tugas spesifik dan dua tugas umum. Ketiga tugas spesifik tersebut adalah: 1 Perolehan air water acquisi- tion, yaitu: tugas mendapatkan air secara tetap maupun pada waktu-waktu ter- tentu; 2 Pengalokasian air water allocation, yaitu: tugas membagi dan men- distribusikan air kepada petani pemakai air; 3 Sistem pemeliharaan mainte- nance system, yaitu: tugas memperbaiki, membersihkan, dan memelihara bangunan serta peralatan irigasi dari suatu sistem jaringan irigasi. Sedangkan dua tugas lainnya yang lebih bersifat umum, tetapi pelaksanaannya berhubungan langsung dengan salah satu atau ketiga tugas di atas adalah: 4 Pengerahan sumberdaya resource mobilitation, yaitu: tugas menghimpun tenaga kerja, bahan-bahan material, uang dan sumberdaya lainnya yang dibutuhkan untuk tugas pemeliharaan jaringan irigasi; dan 5 Pengelolaan konflik conflict management, yaitu: tugas untuk menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang timbul dalam masalah alokasi air irigasi. Kebijakan Penyerahan Pengelolan Irigasi PPI perlu didahului upaya pemberdayaan organisasi atau perkumpulan petani pengelola air P3A agar mampu mengambil alih peran pengelolaan yang selama ini dipegang oleh pemerintah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 77 Tahun 2001 tentang Irigasi, pemberdayaan petani pemakai air merupakan upaya penguatan dan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air. Penguatan perkum- pulan petani pemakai air adalah kegiatan yang mencakup fasilitasi pembentukan perkumpulan petani pemakai air secara demokratis dan mendorong terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai badan hukum yang mempunyai hak dan wewenang atau pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya. Sedangkan peningkatan kemampuan perkumpulan petani pemakai air adalah kegiatan fasilitasi antara lain: pelatihan, bimbingan, pendampingan, penyuluhan, dan kerjasama penge- lolaan, yang dilaksanakan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Ke- giatan tersebut dilakukan dalam rangka mengembangkan kemampuan perkum- pulan petani pemakai air di bidang teknis, keuangan, manajerial administrasi 54 dan organisasi sehingga dapat mengelola daerah irigasi secara mandiri dan ber- kelanjutan. Pemberdayaan ini sasarannya adalah: a terbentuknya kelembagaan perkumpulan petani pemakai air yang dapat melakukan pengelolaan irigasi secara lebih efisien, efektif menyejahtera- kan anggotanya, mempunyai otoritas, otonom, mandiri, dan mernpunyai kesetaraan kedudukan dengan kelembagaan lainnya; b terbentuknya perkumpulan petani pemakai air dengan prinsip satu sistem irigasi satu kesatuan pengelolaan yang berbasis pada potensi lokal; c terbentuknya perkumpulan petani pemakai air sebagai lembaga yang me- wakili petani di dalam forum koordinasi daerah irigasi, dan dengan pihak lainnya; d tewujudnya perkumpulan petani pemakai air yang mempunyai kewenangan dan kemampuan menetapkan hak-haknya dalam penyelenggaraan irigasi; e meningkatnya kemampuan keuangan perkumpulan petani pernakai air se- hingga mampu melaksanakan pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung- jawabnya; f terciptanya iklim yang kondusif bagi pemberdayaan petani dan perkumpul- an petani pemakai air melalui pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan dengan pendekatan partisipatif; dan g terjaminnya hak guna air bagi petani yang diberikan sebagai hak kolektif melalui perkumpulan petani pemakai air, sesuai dengan rencana alokasi yang disepakati bersama. Pemimpin dan Kepemimpinan Diskusi-diskusi tentang kepemimpinan sangat menarik, siapapun peserta- nya, kalangan bisnis, eksekutif, pelajar atau kalangan akademis, maupun praktisi. Banyak eksekutif yang sangat percaya bahwa berkenaan dengan kepemimpinan, “kamu harus mendapatkan atau kamu tidak mempunyai”. Tetapi ketika alhasil penuturan pada: apa yang kamu dapat atau kamu tidak dapat, mereka tidak dapat menyetujui. Pandangan akademis tentang kepemimpinan sangat beragam, dari yang lunak “kami tidak secara nyata mengetahui” sampai pada definisi yang teliti 55 didasarkan pada penelitian yang sangat terbatas. Di tahun 1974, Stogdill menyim- pulkan bahwa terdapat banyak definisi sebanyak dengan orang yang berusaha merumuskan konsep tersebut. Tiga pandangan besar oleh Bass dan Yulk, hasil ka- jian literatur tentang kepemimpinan, membantu menjernihkan suasana. Yulk men- catat bahwa walaupun terdapat banyak ketidaksepahaman konsep, kebanyakan definisi-definisi menekankan kepemimpinan sebagai sebuah proses mempenga- ruhi influence process. Diluar thema umum ini, peneliti tidak setuju banyak as- pek yang lain, termasuk bagaimana pemimpin dikenali, siapa mempunyai penga- ruh, bagaimana pemimpin dibedakan dari pengikutnya, dan faktor-faktor apa da- lam situasi kerja yang mempengaruhi perilaku pemimpin Lau dan Shani, 1992. Lebih lanjut Lau dan Shani 1992 mengemukakan contoh definisi kepe- mimpinan, yaitu: a Kepemimpinan adalah perilaku dari seseorang ketika dia sedang mempengaruhi kegiatan dari suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan; b Kepemimpinan adalah pengaruh interpersonal, digunakan dalam sebuah situa- si, dan diarahkan, melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan khusus atau tujuan-tujuan; c Kepemimpinan adalah kenaikan pengaruh lebih dan di atas pemenuhan mekanis dengan petunjuk rutin dari organisasi; d Kepemimpinan nampak menjadi seni mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan sesuatu yang diyakinkan seharusnya dikerjakan; e Kepemimpinan termasuk mempengaruhi strategi dan tujuan tugas, mempengaruhi pemenuhan dan komitmen dalam peri- laku tugas untuk mencapai tujuan, mempengaruhi identifikasi dan pemeliharaan kelompok, dan mempengaruhi budaya kelompok. Permasalahan pemilihan definisi yang tepat dari istilah kepemimpinan leadership dan pemimpin leader juga dikemukakan oleh Cartwright dan Zander. Menurut Cartwright dan Zander 1968 kepemimpinan adalah sebuah sifat dari sebuah kelompok, sementara yang lain menyebut kepemimpinan adalah karakteristik seseorang. Bagi yang menekankan pada kelompok, kepemimpinan disama-artikan dengan martabat prestige, dengan penguasaan kantor tertentu, dengan kinerja dari aktivitas penting kelompok. Bagi yang menekankan pada individu, kepemimpinan diartikan kepemilikan dari karakteristik tertentu, seperti: dominasi, pengendalian ego, agresivitas, atau kebebasan dari kecenderungan paranoid. 56 Terkait kepemimpinan dalam kelompok, Beebe dan Masterson 1994 me- ngemukakan kepemimpinan sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, memerintah, atau mengendalikan kelompok. Secara tradisional, kajian tentang ke- lompok telah dipusatkan pada orang-orang yang berhasil dalam berbagai posisi kepemimpinan. Peneliti membuktikan bahwa dengan memperhatikan keberhasilan pemimpin-pemimpin tersebut, mereka dapat menentukan atribut-atribut atau sifat- sifat individu yang baik untuk memperkirakan kemampuan kepemimpinan yang baik. Pengenalan, seperti sifat, dapat menjadi sangat bernilai dalam bisnis, peme- rintahan, atau militer yang bertanggung-jawab untuk mengangkat individu ke posisi kepemimpinan. Lebih lanjut dijelaskan Beebe dan Masterson 1994 bahwa kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memper- lihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepemimpinan sebagai perilaku yang mung- kin dapat dikerjakan bersama anggota kelompok untuk memaksimalkan efektivi- tas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktor-faktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi. Menurut Soekanto 1997 kepemimpinan leadership adalah kemampuan seseorang yaitu pemimpin atau leader untuk mempengaruhi orang lain yaitu yang dipimpin atau pengikut, sehingga orang lain tersebut bertingkah laku seba- gaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepe- mimpinan sebagai sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak- hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat. Yukl 1998 mengemukakan bahwa pengaruh seseorang terhadap yang lain dijelaskan dalam hubungannya dengan sebuah proses mempengaruhi sosial social influence process. Menurut Kelman dalam Yulk 1998 terdapat tiga ma- cam bentuk proses mempengaruhi, yaitu: a Instrumental compliance, orang yang 57 ditargetkan melaksanakan sebuah tindakan yang diminta dengan tujuan untuk memperoleh suatu imbalan yang berwujud tangible atau untuk menghindari suatu hukuman yang dikontrol oleh agen tersebut; b Internalization, pengaruh timbul karena dirasakan secara intrinsik sebagai sesuatu yang memang diinginkan dan benar dalam hubungannya dengan nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan rasa harga diri; c Identification, target meniru perilaku agen atau mengambil sikap yang sama untuk menyenangkan agen tersebut atau agar sama seperti agen. Pengaruh influence timbul karena adanya kekuasaan power dari sese- orang pemimpin. French dan Raven Yukl, 1998 mengklasifikasikan berbagai jenis kekuasaan berdasarkan sumber-sumbernya, yaitu: a Reward power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat memperoleh imbalan reward yang diyakini dipunyai agen; b Coercive power, orang yang ditargetkan patuh agar dapat menghindari hukuman yang diyakini dipunyai agen; c Legitimate power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai kewe- nangan; d Expert power, orang yang ditargetkan patuh karena percaya bahwa agen tersebut mempunyai pengetahuan mengenai cara yang terbaik untuk melaku- kan sesuatu; dan e Referent power, orang yang ditargetkan patuh karena menga- gumi atau mengidentifikasikan dirinya dengan agen tersebut dan ingin memper- oleh penerimaan dari agen. Beberapa jenis kekuasaan sangat dekat dengan bebe- rapa proses mempengaruhi menurut Kelman. Instrumental compliance pada da- sarnya dihubungkan dengan reward power dan coercive power. Identifikasi pada dasarnya diasosiasikan dengan penggunaan kekuasaan referen referent power. Internalisasi pada dasarnya dihubungkan dengan expert power. Kekuasaan absah legitimate power berada di semua jenis proses mempengaruhi dan dapat me- nyangkut elemen-elemen dari masing-masing jenis tersebut. Menurut Singh 1961 menyatakan bahwa dalam kegiatan penyuluhan, pe- mimpin digambarkan sebagai inisiator dari suatu aktivitas yang membantu sebuah kelompok bergerak kearah yang diinginkan. Kualitas kepemimpinan tidak hanya cirisifat pribadi yang diperoleh sejak lahir, lebih dari itu kepemimpinan terdiri dari sejumlah keterampilan yang dapat dipelajari, ditingkatkan dan dikembangkan dalam kelompok. Lebih banyak kepemimpinan yang didistribusikan dalam suatu kelompok, lebih efektif fungsi kelompok. Kepemimpinan tidak hanya dipengaruhi 58 oleh kualitas kepribadian seseorang, sebagaimana pada keadaan dari situasi khusus. Kualitas, karakter, dan keterampilan diperlukan seorang pemimpin, dipe- ngaruhi besarnya tingkatan dimana pemimpin berada. Konsep kepemimpinan ber- variasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Pemimpin bertanggung-jawab untuk memberikan inisiasi dan koordinasi aktivitas anggota kelompok dalam me- lakukan tugas mereka untuk mencapai tujuan kelompok. Kepemimpinan dalam suatu kelompok menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kelompok. Peranan Penyuluhan Pertanian Penyuluhan Pertanian di Indonesia Istilah ’penyuluhan’ dikenal secara luas oleh masyarakat di Indonesia, namun sangat sedikit orang yang memahami pengertiannya secara tepat. Bebe- rapa istilah yang merupakan padanan penyuluhan extension, diantaranya: voor- lichting Belanda yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya; Bahasa Jerman mengistilahkan sebagai pemberi saran atau Beratung atau Aufklarung pencerahan yang menekankan pentingnya mempe- lajari nilai-nilai yang mendasari hidup sehat dan pentingnya mengetahui arah langkah kita, atau Erziehung yang mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat; Forderung Austria yang berarti menggiring seseorang ke arah yang diinginkan; Vulgarisation Perancis yang menekankan pentingnya menyeder- hanakan pesan bagi orang awam; Capacitacion Spanyol menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan kemampuan manusia yang dapat diartikan dengan pelatihan Van den Ban dan Hawkins, 1999. Penyuluhan merupakan disiplin ilmu terapan. Margono Slamet 1992 menyebut sebagai disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manu- sia terbentuk, berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang lebih berkualitas. Salah satu bidang terapan penyuluhan adalah pertanian. Penyuluhan pertanian di Indonesia mempu- nyai sejarah yang panjang sejak jaman penjajahan Belanda. Dalam pelaksanaan- nya, penyuluhan pertanian mengalami pasang-surut perkembangan. Pemahaman 59 yang kurang benar terhadap makna ’penyuluhan’ menyebabkan pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan pengertian penyuluhan yang sebenarnya. Soekandar Wiriaatmadja 1977 memberi batasan penyuluhan pertanian sebagai suatu sistim pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani di pedesaan, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahu, dan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, meng- untungkan dan memuaskan. Pengertian serupa disampaikan Margono Slamet 1987 bahwa penyuluhan pertanian adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah pendidikan non-formal untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki- meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Berdasarkan pernyataan di atas, penyuluhan pertanian menempatkan pe- tani sebagai sasaran utama, disamping sasaran yang lain. Dalam sistem agribisnis, menurut Soedijanto 2004, sasaran penyuluhan pertanian berada di 5 sub sistem penyuluhan, yaitu: 1 pengusaha hulu, 2 pengusaha tani, 3 pengusaha hilir, 4 pedagang, dan 5 penyedia jasa penunjang. Proses perubahan dalam penyuluhan pertanian, petani ditempatkan sebagai aktor pemegang peran utama. Penyuluh- an pertanian memandang petani sebagai bagian dari suatu sistem sosial sehingga pendekatan penyuluhan dapat ditempuh dalam: 1 Subsistem perorangan, 2 Subsistem kelompok, dan 3 Subsistem kelembagaan Hubeis, Ruwiyanto, dan Tjitropranoto, 1992. Dijelaskan Margono Slamet 2003 bahwa tujuan utama penyuluhan perta- nian adalah pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usaha- taninya. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penyelenggaraan penyuluhan per- tanian perlu dilakukan lebih profesional. Beberapa hal mengenai pelaksanaan pe- nyuluhan pertanian sesuai dengan kondisi saat ini dan dalam rangka otonomi daerah antara lain: a Penyuluhan pertanian seyogyanya dapat berfungsi melayani kebutuhan informasi para petani; b Penyuluhan pertanian harus lebih memusat- kan perhatian pada kebutuhan pertanian dan petani di daerah kerja masing- 60 masing; c Penyuluhan pertanian harus berorientasi agribisnis; d Penyuluhan pertanian lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kelompok; e Penyuluhan pertanian harus berpihak kepada kepentingan petani; f Penyuluhan pertanian di- lakukan dengan pendekatan humanistik-egaliter; h Penyuluhan pertanian harus dapat dilaksanakan secara profesional; i Penyuluhan pertanian harus dipikirkan, direncanakan; dan dapat dilaksanakan, serta proses dan hasilnya dapat dipertang- gung-jawabkan; dan j Penyuluhan pertanian harus membuahkan rasa puas pada para petani. Pengembangan Kapasitas Petani Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendu- kung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher 1991 menempatkan penyu- luhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan the accelerators of agri- cultural development. Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pembangunan per- tanian. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan petani secara operasi- onal dirumuskan dalam Pedoman Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pemangunan Sistem dan Usaha Agribisnis. Ruang lingkup penyuluhan pertanian dikembangkan yang meliputi: a pengembangan budidya pertanian better far- ming, b pengembangan usaha pertanian better business, c pengembangan kelembagaan pertanian better organization, d pengembangan masyarakat tani better community, e pengembangan lingkungan usaha dan lingkungan hidup better environment, dan f pengembangan kehidupan yang lebih sejahtera better living Pambudy dan Adhi, 2002. Slamet 2003 menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu di- dasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya me- nuju kemandiriannya. Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pem- 61 berdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangkan usahataninya. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: a Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, b Dari pen- dekatan top down ke bottom up, c Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, d Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan e Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan. Dalam konteks penyuluhan pertanian, Soedijanto 2004 menyebutkan tu- juan penyuluhan pertanian adalah menghasilkan manusia pembelajar, manusia penemu ilmu dan teknologi, manusia pengusaha agribisnis yang unggul, manusia pemimpin di masyarakatnya, manusia “guru” dari petani lain, yang bersifat man- diri dan interdependensi. Kemandirian ini meliputi: a Kemandirian material, artinya memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal potensi sumber- daya alam yang mereka miliki sendiri tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar; b Kemandirian intelektual, artinya memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi oleh rasa takut atau tekanan dari pihak lain; c Kemandirian pembinaan, artinya memiliki ka- pasitas untuk mengembangkan diri sendiri melalui proses belajar tanpa harus tergantung pihak luar; dan d Sebagai manusia yang interdepensi, artinya dalam melaksanakan kegiatannya selalu terdapat saling ketergantungan dengan manusia lain di dalam masyarakatnya sebagai suatu sistem sosial. Rahadian dkk 2003 menyatakan bahwa pengembangan sumberdaya ma- nusia petani dan keluarganya diarahkan untuk membentuk petani Indonesia yang berdaya dan memiliki keunggulan-keunggulan sikap dan karakter: a memiliki pengetahuan yang luas baik di bidang agroteknologi maupun agribisnis yang spe- sifik lokalita; b memiliki sikap dan perilaku lebih mandiri serta berkemampuan memecahkan masalah-masalahnya sendiri secara tepat dan efisien; c memiliki sense of agribusiness sehingga perencanaan usaha pertanian selalu berorientasi pasar lokal, dalam negeri dan ekspor; d memiliki ketrampilan agribisnis baik di segmen hulu perbenihan, perpupukan organik, pemilihan usaha produksi produk primer, sekunder dan tersier, pada sisi tengah yang mengefisienkan agroinput dan 62 mengoptimalkan agro-output, di segmen pasca panen dan pengolahan produk primer dan sekunder, serta di segmen pasaran; dan e memiliki ketangguhan da- lam menghadapi masalah dan akibat anomali iklim, terbatasnya sarana produksi, dan gejolak harga, sehingga tetap berkemampuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Untuk mendukung kemampuan petani sesuai yang diharapkan, diperlukan pemilihan isi content dalam penyuluhan pertanian. Campbell dan Barker 1997 mengungkapkan lingkup yang sesuai untuk penyuluhan pertanian meliputi: a Secara teknik dapat dilakukan technically feasible; teknologi yang ditawar- kan dapat memproduksi komoditas di lingkungan petani, dan dapat dicapai oleh petani. b Secara ekonomi menguntungkan economically feasible; penggunaan tekno- logi berdampak pada peningkatan sistem usahatani yang menguntungkan. c Secara sosial dapat diterima socially acceptable; inovasi yang ditawarkan di- terima dan tidak menyebabkan ketidakseimbangan sosial. d Lingkungan yang lestari dan berkelanjutan environmentally safe and sustain- able. Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Petani Berdasarkan artikel-artikel dalam jurnal, pengembangan masyarakat, dike- lompokkan tiga tema utama, yaitu: a Pendekatan self-help membantu diri sen- diri, b Pendekatan technical assistance bantuan teknik, dan c Pendekatan conflict konflik. Kelompok pendekatan self-help menekankan pada orientasi proses, dengan membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masa- lah mereka sendiri. Proses mencapai tujuan tersebut merupakan pembelajaran bagi masyarakat bagaimana meningkatkan kondisi mereka. Kelompok technical assistance menekankan pada penyelesaian tugas, memberi bantuan atau intervensi fisik yang didasarkan informasi teknik, meningkatkan situasi dengan pendekatan secara ekonomi maupun tanggung-jawab sosial. Pendekatan conflict menekankan adanya pembagian yang adil atas sumberdaya dalam masyarakat Christenson, 1989. Secara umum perbandingan ketiga pendekatan pengembangan masyarakat dipaparkan dalam Tabel 2.2. 63 Tabel 2.2. Perbandingan Tiga Pendekatan Pengembangan Masyarakat Pendekatan Peran Agen Perubahan Orientasi Tipe Sasaran Kecepatan Perubahan Keberlanjutan Perubahan Self-Help Fasilitator, Pendidik Proses Kelas menengah Lambat Memuaskan Technical Assistance Penasihat, konsultan Tugas Pemimpin, administrator Moderat Baik Conflict Pengorganisasi, avokat Proses tugas Masy.miskin, minoritas Cepat Lemah Sumber: Christenson 1989 Kegiatan penyuluhan lebih menekankan pada pendekatan self-help, yang didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi. Menurut Littrell dan Hobbs 1989, diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komit- men dalam suatu organisasi atau suatu kelompok akan terjadi kesenjangan kapasi- tas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Pendekatan ini tidak hanya menekankan apa yang dicapai masyarakat, tetapi juga bagaimana untuk mancapainya. Terkait dengan kelembagaan petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi masyarakat petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, selain identifikasi kebu- tuhan-kebutuhan yang timbul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menen- tukan pemenuhannya. Dalam perspektif pengembangan masyarakat, suatu komunitas dapat di- pandang sebagai sebuah konfigurasi yang muncul dan dinamis dari kelompok- kelompok dan tindakan-tindakan yang menunjukkan adanya asosiasi, pelaku, tin- dakan dan konfigurasi kepentingan. Asosiasi adalah organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok berada dalam komunitas yang memusatkan pada penyediaan layanan atau sumberdaya atau mengkoordinasi usaha-usaha lokal. Pelaku adalah pemimpin dan anggota dari asosiasi dan penduduk lain dari komunitas yang me- nantikan mobilisasi. Tindakan adalah proyek, kebijakan, atau tindakan lain untuk meningkatkan kemampuan pelaku yang didasarkan pada tujuan. Konfigurasi ke- pentingan adalah suatu perhatian komunitas yang diwujudkan dengan asosiasi, pelaku, dan tindakan. Pengembangan masyarakat diwujudkan melalui struktur 64 dan penyelesaian tugas. Pembangunan melibatkan asosiasi dan jaringan kerja pelaku, serta merealisasikan gambaran masyarakat Garkovich, 1989. Alasan pentingnya pembangunan organisasi lokal sebagai komponen kun- ci dalam pengembangan kapasitas lokal dikemukakan oleh Esman dan Uphoff dalam Garkovich 1989 karena adanya empat tugas organisasi, yaitu: a tugas dalam organisasi interorganizational task memerlukan banyak cara dalam me- mediasi masyarakat dan negara, b tugas sumberdaya resource tasks mencakup mobilisasi sumberdaya lokal tenaga kerja, modal, material, informasi dan penge- lolaannya dalam pencapaian tujuan masyarakat, c tugas pelayanan service tasks mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan d tugas antar organisasi extra-organizational task memerlukan adanya permintaan lokal ter- hadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar. Dijelaskan Esman 1986 lebih lanjut, kerangka konseptual pengembangan kelembagaan meliputi: a Kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut. b Doktrin, yang dirumuskan sebagai spesifikasi dari nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial. c Program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan de- ngan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut. d Sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut. e Struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerja- nya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting ka- rena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipe- cahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani, 65 seperti: pemberian kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Ke- dua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usa- ha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang terbuka. Masyarakat memperkuat diri de- ngan mengorganisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyara- kat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sum- berdaya pertanian Bunch, 1991. Kerjasama petani dapat mendorong pengguna- an sumberdaya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan Reed, 1979. Pengembangan lembaga merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam norma-norma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Menurut Esman 1986 pengembangan kelemba- gaan dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari orga- nisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang a mewujudkan per- ubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, danatau sosial, b menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan- hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan c memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga. Efektivitas pengembang- an kelembagaan diukur berdasar berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa bagi orang-orang dengan kategori tertentu dan kemampuannya mempertahankan hidupnya dalam suatu jaringan dari unit-unit yang saling mengisi yang memajukan tingkat pertumbuhan sosial- ekonomi Eaton, 1986. Sumardjo 2003 mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mendorong ke- lompok tani berfungsi secara efektif antara lain: a Keanggotaan dan aktivitas kelompok lebih didasarkan pada masalah, kebutuh- an, dan minat calon anggota. 66 b Kelompok berkembang mulai dari informal efektif dan berpotensi serta berpe- luang untuk berkembang ke formal sejalan dengan kesiapan dan kebutuhan kelompok yang bersangkutan. c Status kepengurusan yang dikelola dengan motivasi mencapai tujuan bersama dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama, cenderung lebih efektif untuk meringankan beban bersama sesama anggota, dibanding bila pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri. d Inisiatif anggota kelompok tinggi untuk berusaha meraih kemajuan dan ke- efektifan kelompok karena adanya keinginan kuat untuk memenuhi kebutuh- annya. e Kinerja kelompok sejalan dengan berkembangnya kesadaran anggota, bila ter- jadi penyimpangan pengurus segera dapat dikontrol oleh proses dan suasana demokratis kelompok. f Agen pembaharu cukup berperan secara efektif sebagai pengembang kepe- mimpinan dan kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya peran ke- lompok. Disamping itu, yang dibutuhkan atas kehadiran penyuluh selain me- ngembangkan kepemimpinan adalah kemampuan masyarakat mengorganisir diri secara dinamis dalam memenuhi kebutuhan hidup berkelompok. g Kelompok tidak terikat harus berbasis sehamparan, karena yang lebih menen- tukan efektivitas dan dinamika kelompok adalah keefektifan pola komunikasi lokal dalam mengembangkan peran kelompok. Wileden 1970 mengemukakan prinsip-prinsip kerjasama antar individu dan kelompok dalam masyarakat, yaitu: a membangun kesadaran dan kebangga- an dalam masyarakat, b bekerja melalui dan penguatan keberadaan kelompok, c membangun kerjasama dan kepercayaan setempat, d menggunakan organisa- si dalam bentuk yang paling sesuai, e berusaha untuk perubahan yang sesuai, f memelihara kepercayaan dan stabilitas, g mempersilahkan bantuan luar bila di- perlukan, dan h bekerjasama dengan komonitas yang lain. Dalam penyuluhan pertanian, metode kelompok lebih menguntungkan dari media massa karena umpan balik yang dihasilkan mengurangi salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pe- ngalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. 67 Metode kelompok satu dengan yang lain berbeda di dalam kesempatan mem- peroleh umpan balik dan berinteraksi van den Ban dan Hawkins, 1999. Ke- untungan metode kelompok diungkapkan Albrecht dkk. 1989 sebagai berikut: a Jumlah petani yang dapat dicapai jumlahnya lebih banyak, b Menghemat waktu dibandingkan dengan metode individu, c Biaya per kapita kelompok sasaran berkurang, d Memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari kelompok sasaran, e Adanya peningkatan penilaian kemampuan penyuluh oleh petani, dan f Teknik-teknik dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan per- luasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan. Keberadaan kelembagaan petani cenderung lemah di banyak negara se- dang berkembang. Masalah kelembagaan tani dan kepemimpinan petani dalam penyuluhan pertanian memerlukan pemecahan melalui peningkatan partisipasi petani dan memaksimalkan peran organisasi petani. The World Bank 1996 memberikan kiat untuk keberlangsungan keberadaan kelompok, yaitu: Kelompok menujukan pada suatu kebutuhan yang dirasakan dan kepentingan umum. Ketika orang merasakan adanya permasalahan yang umum, mereka dapat disatukan melalui kegiatan kelompok dan menggerakkan mereka untuk mengubah situasi dengan dukungan pihak luar. Manfaat kegiatan kelompok lebih besar daripada biaya. Manfaat-manfaat yang diperoleh bisa: ekonomi tabungan, peningkatan produksi, pendapatan, dan penghematan waktu, pembentukan modal sosial meningkatkan kemampuan pemecahan masalah secara kolektif, meningkatkan kapasitas individu penge- tahuan dan ketrampilan, psikologis rasa memiliki dan kepercayaan, atau po- litis akses kewenangan yang lebih besar, kewenangan yang lebih besar, dan pengurangan konflik. Menurut van den Ban dan Hawkins 1999 penyuluhan dapat memainkan peran yang berbeda-beda mengenai organisasi petani, diantaranya: 1 mengajari petani bagaimana mencapai tujuan mereka secara lebih efektif dengan mendirikan dan mengelola sebuah organisasi petani yang efektif; 2 menggunakan organisasi tersebut sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan petani melalui cara: 68 a berpartisipasi di dalam pertemuan-pertemuan organisasional, b mengajar di kursus-kursus yang dikelola oleh organisasi ini bagi para ang- gotanya, c menulis artikel di jurnal mereka, d melibatkan wakil-wakil organisasi dalam merencanakan program penyu- luhan, dan e mendorong tukar-menukar pengalaman dan informasi antar anggota; 3 bekerja sebagai karyawan pada dinas penyuluhan organisasi. Efektivitas kegiatan penyuluhan sangat tergantung pada partisipasi sasaran dalam suatu kegiatan. Diperlukan suatu strategi yang tepat untuk membangun partisipasi masyarakat. The World Bank 1997 memberikan panduan berupa prinsip-prinsip kunci dalam praktik pembangunan partisipasi, sebagai berikut: Keunggulan masyarakat; menempatkan kepentingan, kebutuhan, dan kepuasan masyarakat dalam kerangka kegiatan atau proyek. Ketrampilan dan pengetahuan masyarakat harus dilihat sebagai sumbangan po- sitif yang potensial bagi proyek. Partisipasi adalah berbuat dengan pengem- bangan kapasitas masyarakat, dan hal ini dapat dicapai melalui pembangunan dan penguatan pengetahuan dan keahlian masyarakat. Partisipasi masyarakat hendaknya memberdayakan perempuan; memberikan peran yang lebih besar kepada perempuan dalam pengambilan keputusan. Kemandirian sebagai lawan mengawasi; mengurangi pengawasan dan mening- katkan tanggungjawab pada masyarakat lokal. Aksi lokal sebagai lawan respons lokal; mendorong masyarakat lokal untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan dalam parameter yang luas. Menyediakan untuk beberapa spontanitas dalam petunjuk proyek; kegiatan di- kembangkan sesuai kemampuan masyarakat lokal. Upaya penyuluhan dapat dilakukan dengan membangun kelompok sehing- ga menjadi lebih efektif. Howard, Baker, dan Forest 1994 mengidentifikasi ta- hapan pembangunan kelompok dalam empat tahap, yaitu: a Tahap uji-coba dan ketergantungan testing and dependency, b Tahap pencarian dengan konflik marked by conflict, c Tahap pembangunan kekompakan kelompok the deve- lopment of team cohesion, dan d Tahap pencarian dengan pemecahan masalah 69 yang membangun market by constructive problem solving. Selama dalam pro- ses tahapan tersebut, pemimpin menentukan perhatiannya atas dua hal, yaitu: orientasi pada tugas, di setiap tahapan dapat ditentukan perilaku tertentu yang mengarah pada tugas; orientasi pada hubungan individu, diperlukan tindakan yang berbeda kepada anggota sesuai dengan kepribadiannya. Berdasarkan pada di- mensi hubungan individu dan fungsi tugas, dapat diringkas perilaku-perilaku pada tahapan pembangunan kelompok sebagai berikut: Tabel 2.3. Tahapan Pembangunan Kelompok Tahap Orientasi Pada Hubungan Individu Orientasi Pada Fungsi Tugas I Ketergantungan dependency Orientasi orientation II Konflik conflict Organization organisasi III Kohesi cohesion Aliran data data-flow IV Saling tergantung interdependency Pemecahan masalah problem solving Sumber: Howard, Baker, dan Forest 1994 Keberadaan organisasi dan kelembagaan di tingkat lokalitas petani akan memperluas partisipasi petani. Chamala dan Shingi 1997 mengemukakan bebe- rapa permasalahan yang mempengaruhi partisipasi petani dalam organisasi, yaitu: Derajat ketergantungan petani pada out-put dari kegiatan yang diorganisasi. Derajat kepastian dari tersedianya out-put. Tingkat out-put yang akan tersedia sebagai hasil kegiatan kolektif. Tingkat penghargaan dihubungkan dengan tindakan kolektif yang didistribusi- kan secara merata. Tingkat ketersediaan penghargaan dalam kerangka waktu yang dikorbankan. Tingkat penghargaan yang sepadan dengan biaya untuk partisipasi. 70 KERANGKA BERFIKIR Arti Penting Kelembagaan Kelompok Petani Dalam Pembangunan Pertanian Pembangunan pertanian pada dasarnya meliputi pengembangan dan pe- ningkatan pada faktor-faktor: teknologi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan kelembagaan Uphoff, 1986; Johnson 1985 dalam Pakpahan, 1989. Faktor- faktor tersebut merupakan syarat kecukupan sufficient condition untuk mencapai performance pembangunan yang dikehendaki. Artinya, apabila satu atau lebih dari faktor tersebut tidak tersedia atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diperlukan, maka tujuan untuk mencapai performance tertentu yang dikehendaki tidak akan dapat dicapai. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya pertanian adalah masalah kelembagaan pertanian yang tidak mendukung. Untuk itu perlu adanya pembangunan kelembagaan pertanian yang dilandasi pemikiran bahwa: a Proses pertanian memerlukan sumberdaya manusia tangguh yang didukung infrastruktur, peralatan, kredit, dan sebagainya; b Pembangunan kelembagaan untuk pertanian lebih rumit daripada manajemen sumberdaya alam karena memerlukan faktor pendukung dan unit-unit produksi; c Kegiatan pertanian mencakup tiga rang- kaian: penyiapan input, mengubah input menjadi produk dengan usaha tenaga kerja dan manajemen, dan menempatkan output menjadi berharga; d Kegiatan pertanian memerlukan dukungan dalam bentuk kebijakan dan kelembagaan dari pusat hingga lokal; dan e Kompleksitas pertanian, yang meliputi unit-unit usaha dan kelembagaan, sulit mencapai kondisi optimal. Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya mempunyai beberapa pe- ran, yaitu: a tugas dalam organisasi interorganizational task untuk memediasi masyarakat dan negara, b tugas sumberdaya resource tasks mencakup mobili- sasi sumberdaya lokal tenaga kerja, modal, material, informasi dan pengelolaan- nya dalam pencapaian tujuan masyarakat, c tugas pelayanan service tasks mungkin mencakup permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan pem- bangunan atau koordinasi permintaan masyarakat lokal, dan d tugas antar organisasi extra-organizational task memerlukan adanya permintaan lokal ter- 71 hadap birokrasi atau organisasi luar masyarakat terhadap campur tangan oleh agen-agen luar Esman dan Uphoff dalam Garkovich, 1989. Kelembagaan merupakan keseluruhan pola-pola ideal, organisasi, dan akti- vitas yang berpusat di sekeliling kebutuhan dasar. Suatu kelembagaan pertanian dibentuk selalu bertujuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan petani sehingga lembaga mempunyai fungsi. kelembagaan merupakan konsep yang berpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya. Pengelolaan sumberdaya usahatani oleh petani menyangkut pengaturan masukan, proses produksi, serta keluaran sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Kegiatan usaha pertanian akan berhasil jika petani mempunyai kapasitas yang memadai. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan di tingkat petani. Secara tradisional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Kelembagaan petani yang efektif ini diharapkan mampu mendukung pem-bangunan pertanian. Di tingkat petani lembaga diperlukan sebagai: a wahana untuk pendidikan, b kegiatan komersial dan organisasi sumberdaya pertanian, c pengelolaan properti umum, d mem- bela kepentingan kolektif, dan e lain-lain. Keberadaan kelembagaan kelompok petani didasarkan atas kerjasama yang dapat dilakukan oleh petani dalam mengelola sumberdaya pertanian, antara lain: a pemprosesan processing, agar lebih cepat, efisien dan murah; b pe- masaran marketing, akan meyakinkan pembeli atas kualitas dan meningkatkan posisi tawar petani; c pembelian buying, agar mendapatkan harga lebih murah; d pemakaian alat-alat pertanian machine sharing, akan menurunkan biaya atas pembelian alat tersebut; e kerjasama pelayanan co-operative services, untuk menyediakan pelayanan untuk kepentingan bersama sehingga meningkatkan ke- sejahteraan anggota; f bank kerjasama co-operative bank; g kerjasama usaha- tani co-operative farming, akan diperoleh keuntungan lebih tinggi dan kese- 72 ragaman produk yang dihasilkan; dan h kerjasa multi-tujuan multi-purpose co- operatives, yang dikembangkan sesuai minat yang sama dari petani. Kegiatan bersama group action atau co-operation oleh para petani diyakini oleh Mosher 1991 sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Aktivitas bersama sangat diperlukan apabila dengan kebersamaan tersebut akan lebih efektif dalam men- capai tujuan yang diinginkan bersama. Penelitian ini memfokuskan pada kelembagaan petani, yaitu: kelembagaan kelompok petani. Kelembagaan kelompok petani yang dimaksud adalah berada pada kawasan lokalitas local institution yaitu desa, berupa organisasi ke- anggotaan membership organization atau kerjasama cooperatives yaitu petani- petani yang tergabung dalam kelompok Uphoff, 1986. Kelembagaan ini men- cakup juga pengertian organisasi petani. Artinya, selain ‘aturan main’ role of the game atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial, termasuk juga kesatuan sosial-kesatuan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari lembaga itu Anwar, 2003; Ruttan, 1985; Uphoff, 1986. Mengembangkan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Kemandirian self-reliance petani diyakini sebagai muara dari suatu usa- ha pembangunan pertanian. Sarana untuk mencapai kemandirian adalah adanya keswadayaan. Kemandirian dan keswadayaan individu dapat terwujud melalui proses-proses sosial dalam kelembagaan yang ada di masyarakat Christenson dan Robinson, 1989; ECDPM, 2006. Melalui interaksi yang dibangun antar individu dalam masyarakat terjadi proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kapasitas individu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan berbagai aspirasi ma- syarakat yang selalu berkembang diperlukan suatu kelembagaan yang mempunyai kapasitas yang memadai. Kapasitas atau capacity, menurut Kamus Webster, me- rujuk pada kemampuan untuk atau melakukan ability for or to do; kesanggupan capability; suatu keadaan yang memenuhi syarat a condition of being qualified. Kapasitas kelembagaan dapat diartikan sebagai kemampuan kelem- bagaan untuk mencapai tujuan atau visinya. Perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat menuntut upaya pengembangan kapasitas kelembagaan. 73 Pengembangan kelembagaan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana yang dimaksudkan sebagai sarana pendorong proses perubahan dan inovasi. Proses transformasi kelembagaan pada petani melalui pembanguan atau pengembangan kelembagaan seyogyanya dapat menjadikan kelembagaan menjadi bagian penting dalam ke-hidupan petani untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan usahataninya. Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani merupakan suatu perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan, yang menyangkut inovasi-inovasi yang menyiratkan perubahan-perubahan kualitatif dalam norma- norma, dalam pola-pola kelakuan, dalam hubungan-hubungan kelompok, dalam persepsi-persepsi baru mengenai tujuan-tujuan maupun cara-cara. Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan dari organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang a mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, danatau sosial, b menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan- hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan c memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan lembaga Esman, 1986. Pengembangan kelembagaan diarahkan pada upaya peningkatan kapasitas- nya sehingga mampu memenuhi kebutuhan anggota. Artinya, secara sosial-eko- nomis lembaga tersebut: a mempunyai kemampuan untuk mempertahankan ke- langsungan hidupnya; b sejauhmana inovatif mengadakan pembaharuan dipan- dang oleh lingkungannya sebagai memiliki nilai intrinsik, yang dapat diukur se- cara operasional dengan indeks-indeks seperti tingkat otonominya dan pengaruh- nya terhadap lain-lain lembaga; dan c sejauh mana suatu pola inovatif dalam organisasi baru itu menjadi normatif bagi lain-lain kesatuan sosial dalam sistem sosial yang lebih besar Jiri Nehnevajsa dalam Eaton, 1986. Unsur-unsur dalam lembaga, seperti dikemukakan Esman 1986, dapat dijadikan parameter untuk menilai kapasitas suatu lembaga: a Adanya kepemimpinan, yang menunjuk pada kelompok orang yang secara aktif berkecimpung dalam perumusan doktrin dan program dari lembaga tersebut dan yang mengarahkan operasi-operasi dan hubungan-hubungannya dengan lingkungan tersebut. 74 b Adanya spesifikasi nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan metode-metode operasional yang mendasari tindakan sosial anggota. c Adanya program, menunjuk pada tindakan-tindakan tertentu yang berhu- bungan dengan pelaksanaan dari fungsi-fungsi dan jasa-jasa yang merupakan keluaran dari lembaga tersebut. d Adanya sumberdaya-sumberdaya, yaitu masukan-masukan keuangan, fisik, manusia, teknologi dan penerangan dari lembaga tersebut. e Terbentuknya struktur intern, yaitu struktur dan proses-proses yang diadakan untuk bekerjanya lembaga tersebut dan bagi pemeliharaannya. Pengembangan kelembagaan bagi masyarakat petani dianggap penting ka- rena beberapa alasan. Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipe- cahkan oleh suatu lembaga petani. Kedua, organisasi masyarakat memberikan k- elanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengem- bangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam struktur ekonomi yang ter- buka Bunch, 1991. Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumber- daya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan Reed, 1979. Kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan perannya memerlu- kan pengorganisasian dengan ketrampilan-ketrampilan khusus untuk memberikan dorongan dan bantuan secara sistematis. Secara ideal, pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok petani dilakukan melalui pendekatan self-help membantu diri sendiri. Pendekatan yang berorientasi proses, membantu masyarakat dalam belajar bagaimana mengatasi masalah mereka sendiri. Penyuluhan didasarkan premis bahwa masyarakat dapat, akan, dan seharusnya bersama-sama memecah- kan permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan komitmen masyarakat untuk membantu dirinya sendiri, tanpa komitmen dalam kelembagaan akan terjadi kesenjangan kapasitas untuk mencapai efektivitas kegiatan. Dalam kelembagaan kelompok petani, perlu ada penumbuhan kesadaran bagi petani tentang pengaruh luar yang membatasi usahanya, serta identifikasi kebutuhan-kebutuhan yang tim- bul akibat pengaruh tersebut untuk selanjutnya menentukan pemenuhannya. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mencoba merumuskan kapasitas ke- lembagaan petani seperti terlihat pada Tabel 3.1. 75 Tabel 3.1. Identifikasi Kapasitas Kelembagaan Petani Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih + , - - . 1 2 3 4 + 5 6 7 5 5 6 1 5 1 5 8 9 1 6 1 . 5 5 6 , 5 : 4 ; 4 + = 5 5 + 4 1 003 4 + 4 6 ? 5 = 1 2 . 6 A 6 . . = = = = = = 3 = 7 1 1 = 8 1 7 2 76 Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Secara normatif, pembangunan di Indonesia mengarah pada pencapaian masyarakat yang adil makmur dan keadilan sosial ekonomi bagi seluruh masyara- kat Indonesia. Untuk mencapai kondisi tersebut, salah satu upaya yang bisa ditempuh adalah menggerakkan partisipasi masyarakat. Perlu adanya partisipasi emansipatif, yaitu: partisipasi dalam pembangunan bukan semata-mata dalam pe- laksanaan program, rencana dan kebijakan pembangunan, tetapi sedapat mungkin penentuan alokasi sumber-sumber ekonomi semakin mengacu pada motto pem- bangunan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pembangunan sebagai proses peningkatan kemampuan manusia untuk menentukan masa depannya mengandung arti bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam proses itu, masyarakat perlu berperanserta. Peranserta bukan semata-mata melibatkan masyarakat dalam tahap perencanaan atau dalam evaluasi proyek belaka. Dalam peranserta tersirat makna dan integritas keseluruhan proyek itu. Peranserta merupakan sikap keterbukaan terhadap persepsi dan perasaan pihak lain; peranserta berarti perhatian mendalam mengenai perbedaan atau perubahan yang akan dihasilkan suatu proyek sehubungan dengan kehidupan masyarakat; peranserta adalah kesadaran mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pihak-pihak lain untuk suatu kegiatan. Salah satu upaya untuk mengembangkan partisipasi masyarakat adalah melalui organisasi-organisasi lokal Uphoff, et.al. dalam Bryant dan White, 1982. Keterlibatan petani dalam kelembagaan diperlukan karena berbagai alasan, antara lain: Pertama, banyak masalah pertanian yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga petani. Berbagai pelayanan kepada masyarakat petani, seperti: pemberi- an kredit, pengelolaan irigasi, penjualan bahan-bahan pertanian, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut dapat berperan sebagai perantara antara lembaga- lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga swasta dalam rangka sebagai saluran komunikasi atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain. Kedua, organisasi masyarakat memberikan kelanggengan atau kontinuitas pada usaha-usaha untuk menyebarkan dan mengembangkan teknologi, atau pengetahuan teknis kepada masyarakat. Ketiga, untuk menyiapkan masyarakat agar mampu bersaing dalam 77 struktur ekonomi yang terbuka. Masyarakat memperkuat diri dengan meng- organisir dalam suatu organisasi. Melalui organisasi tersebut masyarakat mem- peroleh pengalaman-pengalaman yang berharga dalam mengelola sumberdaya pertanian Bunch, 1991. Kerjasama petani dapat mendorong penggunaan sumber- daya lebih efisien, sarana difusi inovasi dan pengetahuan Reed, 1979. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukung- nya, yaitu: a kemauan, b kemampuan, dan c kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi Slamet, 1992. Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Se- telah itu, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfa- atkan kesempatan-kesempatan itu. Diperlukan usaha khusus untuk membuat ma- syarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Partisipasi masyarakat dalam lembaga-lembaga lokal merupakan mani- festasi keberdayaan masyarakat. Petani yang berdaya, menurut Susetiawan 2000 adalah petani yang secara politik dapat mengartikulasikan menyampai- kan perwujudan kepentingannya, secara ekonomi dapat melakukan proses tawar-menawar dengan pihak lain dalam kegiatan ekonomi, secara sosial dapat mengelola mengatur komunitas dan mengambil keputusan secara mandiri, dan secara budaya diakui eksistensinya. Pemahaman tentang pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strate- gi yang menitikberatkan pada bagaimana memberikan peran yang proporsional agar masyarakat dapat berperan secara aktif dalam aktivitas sosial kemasya- rakatan. Untuk upaya tersebut diperlukan proses pendidikan untuk mengubah sikap masyarakat, dan untuk membangkitkan kegairahan dan hasrat serta ke- percayaan akan kemampuan sendiri, dapat meningkatkan kemampuan swadaya self help perorangan dan kelompok untuk memperbaiki nasib sendiri. Di- samping itu, diperlukan peningkatan kesadaran dan partisipasi politik di ka- langan penduduk, serta meningkatkan semangat gotong-royong dengan mem- perkokoh lembaga-lembaga demokrasi dan memperluas dasar kepemimpinan masyarakat. 78 Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha 1990 antara lain: a Partisipasi dalammelalui kontak dengan pihak lain contact change sebagai salah satu titik awal perubahan sosial; b Partisipasi dalam memperhatikanmenyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima mentaati, memenuhi, melaksanakan, mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; c Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan penetapan rencana; d Partisi- pasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan; e Partisipasi dalam meneri- ma, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan; dan f Partisipasi dalam menilai pembangunan. Beberapa alasan petani berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan program pembangunan antara lain: 1 Petani memiliki infor- masi yang sangat penting untuk merencanakan program; 2 Mereka lebih ter- motivasi untuk bekerja sama dalam program jika ikut bertanggung-jawab di dalamnya; 3 Masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai; dan 4 Banyaknya permasalahan pembangunan pertanian, tidak mungkin dipecahkan secara perorangan. Partisipasi kelompok sasaran da- lam keputusan kolektif sangat dibutuhkan. Strategi pembangunan di negara-negara berkembang memerlukan partisi- pasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaannya karena berbagai per- timbangan yaitu: a meningkatkan integrasi, b meningkatkan hasil dan merang- sang penerimaan yang lebih besar terhadap kriteria hasil, c membantu meng- hadapi permasalahan nyata dari kesenjangan tanggapan terhadap perasaan, ke- butuhan, masalah, dan pandangan komunitas lokal, d membawa kualitas hasil output lebih tinggi dan berkualitas, e meningkatkan jumlah dan ketepatan informasi, dan f memberikan operasi yang lebih ekonomis dengan penggunaan lebih banyak sumberdaya manusia lokal dan membatasi transportasi dan manaje- men yang mahal Claude dan Zamor, 1985. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti mengidentifikasi partisipasi petani da- lam kelembagaan kelompok petani seperti tertera pada Tabel 3.2. 79 Tabel 3.2. Identifikasi Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih 3 8 : + A . 6 = 8 3 ; 1 008 6 6 3 6 8 : 6 , A . 6 = 8 4 1 , ,7. 00 6 2 9 6 B : A ; 4 . 6 6 7 7 . 6 , 7 ,7. 00 3 8 : + , 2 2 = 7 7 7 4 7 80 Pengembangan Kapasitas Petani Petani merupakan orang yang menjalankan usahatani atau melakukan usa- ha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya di bidang pertanian. Ciri- ciri masyarakat petani peasant, seperti: a satuan keluarga rumah tangga petani adalah satuan dasar dalam masyarakat desa yang berdimensi ganda; b petani hidup dari usahatani, dengan mengolah tanah lahan; c pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; d petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, mereka adalah “orang kecil” terhadap masyarakat di atas-desa Shanin dalam Sayogyo, 1993; menunjukkan kompleksitas dan keragaman ka- pasitas yang dimiliki oleh petani. Partisipasi petani dalam pembangunan diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat petani. Agar dapat berpartisipasi diperlukan suatu proses belajar sehingga petani mampu melihat kesempatan-ke- sempatan untuk memperbaiki kehidupan. Diperlukan kemampuan atau ketrampil- an dan kemauan bertindak agar dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Arti- nya, perlu suatu kedewasaan individu agar mampu merespons dengan benar atau berperilaku sesuai kapasitas yang diharapkan. Kapasitas petani direpresentasikan pada kemampuannya memainkan peran, yang berdimensi ganda, dalam komunitas mereka sehingga mampu merespons perubahan-perubahan yang terjadi. Kapasitas petani dilihat dalam perspektif peran sesuai dengan statusnya sebagai petani, pengelola, individu, dan anggota masyarakat Mosher, 1966. Ka- pasitas menandakan ciri-ciri kedewasaan seseorang, seperti: perkembangan penuh full growth, perasaan terhadap pandangan sense of perspective, dan kemandiri- an autonomy Rogers 1994. Kapasitas individu dapat dibedakan dalam tiga ra- nah manusia, yaitu: a kognitif, b afektif, dan c psikomotor. Kemampuan petani menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi ber- bagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisi- pasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi, dan 81 kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada kesediaan pihak luar memfasilitasi masyarakat berpartisipasi. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang me- nyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan kemanfaatan itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988. Selain itu kebutuhan masyarakat merupakan faktor pendorong timbulnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi dalam kelembagaan petani merupakan kesadaran kolektif individu dalam suatu masyarakat yang diwujudkan bentuk kerjasama untuk me- mecahkan berbagai permasalahan secara bersama. Kesadaran ini merupakan wujud modal sosial social capital yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Ter- dapat serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok Fukuyama, 2000. Jika para anggota ke- lompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan menjadi sara- na kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Inti dari modal sosial adalah kepercayaan trust dan kerja-sama cooperation Krishna, 2000. Dalam kehidupan nyata, modal sosial terwujud dalam enam tipe, yaitu: 1 family and kinship connections keluarga dan hubungan kekerabatan; 2 social networks jaringan kerja sosial, atau asosiasi kehidupan; 3 cross- sectoral linkages hubungan lintas sektoral; 4 sosiopolitical capital modal sosio-politik; 5 institutional and policy framework jaringan kerja kelem- bagaan dan kebijakan; dan 6 social norms and value nilai dan norma-norma sosial. Harriss dan Renzio 1997 dalam Carroll 2001. Dalam wujudnya ter- sebut diidentifikasi adanya: a kewajiban-kewajiban dan harapan-harapan, yang tergantung pada kepercayaan lingkungan sosial; b kemampuan aliran informasi dari struktur sosial; dan c Adanya norma yang disertai sanksi Coleman, 2000. 82 Untuk menjelaskan perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani digu- nakan perspektif sosiologi dan perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi yang dimaksud untuk menjelaskan fenomena yang diteliti, berhubungan dengan proses- proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Kelembagaan atau or- ganisasi petani dipandang sebagai gejala sosial yang riil dan mempengaruhi kesa- daran petani serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Sebaliknya, kelembagaan atau organisasi petani sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan- tindakan sosial mereka Weber dalam Johnson, 1994. Tindakan-tindakan sosial, yang tercermin dari perilaku sosial petani dalam kelembagaan petani, dapat dijelaskan melalui berbagai teori, seperti: analisis ke- butuhan sosial, teori perbandingan sosial social comparison theory, teori insen- tif, teori pilihan rasional, teori expectancy-value, teori pilihan rasional, teori pertukaran Sear dkk., 1992. Selain itu, untuk memperjelas interaksi tatap muka dan dinamika-dinamika sosial, diantaranya proses-proses sosial dalam kelembaga- an petani, peneliti mencoba mengaitkan dengan teori pertukaran Homans dan teori pertukaran Blau Johnson, 1990. Di tingkat struktur sosial, peneliti juga mengaitkan dengan teori Parsons yang menjelaskan bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada tujuannya dan diatur secara normatif. Dalam teori ini, orientasi-orientasi alternatif terhadap tujuan dan norma dimasukkan dalam seperangkat variabel berpola yang menggambarkan pilihan-pilihan yang harus dibuat oleh individu, baik secara implisit maupun se- cara eksplisit, dalam hubungan sosial apa saja. Variabel-variabel tersebut menca- kup: a Afektivitas versus netralitas afektif, b Orientasi diri self-orientation versus orientasi kolektivitas, c Universalisme versus partikularisme, d Askripsi versus prestasi achievement, dan e Spesifitas versus kekaburan diffuseness. Variabel-variabel berpola ini merupakan suatu kerangka untuk menganalisa nilai budaya, penghargaan peran sistem sosial, dan pengaturan kebutuhan pribadi se- cara serempak Johnson, 1990. Berdasarkan kajian pustaka, peneliti merumuskan kapasitas petani berda- sarkan kemampuan yang miliki atas statusnya seperti tampak pada Tabel 3.3. 83 Tabel 3.3. Identifikasi Kapasitas Petani Dimensi-dimensi Teoritis Parameter Terpilih ++ ; 5 5 5 , 5 , , 00 5 . 5 5 5 5 1 008 5 5 5 5 008 1 9 9 . 5 5 5 5 6 . , 5 1 . . 5 Sebagai anggota masyarakat mengarah pada kehidupan sosial yang lebih baik better community. Kemampuan yang dimiliki mencakup: a. Menyesuaikan diri dengan komunitas b. Mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah bersama c. Membangun jejaring d. Kepemimpinan dalam masyarakat 3 5 1 84 Peningkatan Kapasitas Petani Melalui Kedinamisan Kelompok Petani Secara umum kelompok-kelompok petani ada karena berbagai alasan: a sarana individu untuk saling berinteraksi; b petani melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu; c adanya saling tergantung; d petani bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan; e petani mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka joint association; f membangun interaksi yang teratur terstruktur oleh atau dengan seperangkat peran dan norma; kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Berbagai faktor mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu ke- lompok meliputi: a struktur kelompok, b karakteristik individu anggota, dan c proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan formal atau informal, kesukarelaan, keanggotaan terbuka atau tertutup, pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi satu atau dua tahap, apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan- tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewengan, tanggapan individu terhadap kerukunan, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Proses-proses yang dibangun kelompok terdiri atas lima tahapan, yaitu: a Tahap pra-afiliasi pre-affiliation stage, investigasi individu apakah kelompok disukai atau tidak; b Tahap perjuangan untuk kekuasaan dan pengendalian struggle for power and control stage, anggota mengetahui kedudukannya dalam hubungannya dengan anggota lain; c Tahap menuju kerukunan move to intimacy stage, anggota menikmati beberapa kesepakatan di dalam norma-norma; d Tahap diferensiasi differentiation stage, kelompok membagi pekerjaan yang harus dikerjakan; dan e Tahap pemisahan separation stage, persiapan dibuat untuk akhir dan kelompok dievaluasi. Interaksi individu dalam suatu kelompok dapat dilihat dalam perspektif sistem sosial. Tindakan sosial secara umum dapat dianalisis dengan melihat 85 unsur-unsur dari sistem sosial dan proses-proses sosial yang terjadi. Secara teori- tis, kelompok yang dinamis ditandai dengan keberadaan unsur-unsur sosial dan terjadinya proses-proses atas unsur-unsur tersebut. Secara empiris, kelompok petani yang dinamis ditentukan oleh peranannya dalam meningkatkan pemenuhan kebutuhan petani, yaitu: a sebagai media sosial yang hidup dan wajar dinamis, b berorientasi untuk mencapai perubahan sesuai dengan tujuan yang disepakati, dan c penyatuan aspirasi cita-cita hidup antara anggotanya. Interaksi antar anggota kelompok akan memberi kesempatan untuk ber- tukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok. Kelompok sebagai wahana belajar-mengajar, merupakan wadah bagi setiap anggotanya untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap dalam berusahatani yang lebih baik dan menguntungkan. Hal ini akan meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan, meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, kelompok menjadi sarana pembentuk- an modal sosial, yaitu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah secara kolektif. Berbagai Faktor Internal dan Eksternal Petani Faktor-faktor Internal Petani Uphoff 1986 memaparkan kegiatan-kegiatan pertanian, yang mencakup in-put, produksi, dan output secara lebih spesifik sebagai berikut: 1 Kegiatan-kegiatan input, meliputi: a Input-input material, seperti: benih, pupuk, bahan kimia: herbisida, insektisida, fungisida, tenaga kerja, peralat- an, dan pakan ternak; b Input-input modal; c Input-input umum, seperti: akses lahan, teknologi, dan kebijakan; d Input-input tidak langsung, seperti: pengelolaan sumberdaya alam, infrastruktur pedesaan, dan pengembangan sumberdaya manusia. 2 Kegiatan-kegiatan produksi, meliputi: a tenaga kerja, dan b manajemen. 3 Kegiatan-kegiatan output, meliputi: a penyimpanan, b pengolahan, c pengangkutan, dan d pemasaran. 86 Pengelolaan sumberdaya pertanian menyangkut pengaturan masukan dan keluaran dalam proses produksi pertanian sehingga mencapai produktivitas yang tinggi. Untuk menjalankan proses produksi pertanian, petani tidak hanya me- nguasai pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai input dan teknik budidaya pertanian, tetapi juga harus memahami kondisi alam, seperti: cuaca. Untuk dapat mencapai produktivitas dan efisiensi yang optimal tidak jarang petani harus menjalankan usaha bersama secara kolektif dengan petani lain. Untuk keperluan ini diperlukan pemahaman mengenai suatu kelembagaan. Secara tra- disional, kelembagaan masyarakat petani sudah berkembang dari generasi ke generasi, namun tantangan jaman menuntut suatu kelembagaan yang lebih sesuai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Perilaku petani, dalam mengelola sumberdaya pertanian, ditentukan oleh apa yang telah dipelajari sebelumnya Sear, Freedman, dan Peplau, 1992. Belajar merupakan perubahan dalam individu Crow dan Crow; Burton; Haggard dalam Knowles, 1978, sebagai hasil pengalaman yang berkaitan dengan interaksi individu dengan lingkungannya. Perubahan ini menyangkut kebiasaan, penge- tahuan, dan sikap mental. Secara umum ada tiga mekanisme utama belajar pada manusia, yaitu: asosiasi atau classical conditioning, reinforcement, dan imitasi. Asosiasi merupa- kan kondisi dimana seseorang berperilaku tertentu karena mengasosiasikan dengan pengalaman sebelumnya. Dasar dari reinforcement menyatakan bahwa orang belajar menampilkan perilaku tertentu karena perilaku itu disertai dengan sesuatu yang menyenangkan dan dapat memuaskan kebutuhan atau mereka belajar menghindari perilaku yang disertai akibat-akibat yang tidak menyenang- kan. Sedangkan imitasi menjelaskan bahwa orang mempelajari sikap dan peri- laku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang menjadi model. Dalam teori belajar ada tiga ciri khusus yang membedakan dengan pe- mikiran yang lain, yaitu: a sebab-sebab perilaku diduga terletak terutama pada pengalaman belajar individu di masa lampau; b cenderung menempatkan penye- bab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengartian subjektif individu terhadap apa yang terjadi; c biasanya diarahkan untuk men- jelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subjektif atau psikologis. 87 Teori belajar sosial oleh Bandura menyatakan bahwa sumber penyebab perilaku bukan hanya eksternal faktor lingkungan tetapi juga internal faktor kognitif Sarwono, 2002. Dijelaskan faktor kesadaran juga dianggap penting. Proses belajar sosial lebih daripada internalisasi norma-norma dan nilai-nilai. Belajar sosial berarti pula belajar untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kerja sama serta kegiatan-kegiatan yang mengandung pertentangan, guna mengatasi situasi-situasi yang baru dan mencapai tujuan-tujuan di dalam suatu konteks ke- sempatan dan keterbatasan. Orientasi ke pemecahan masalah penting bagi keikut- sertaan yang efektif, khususnya dalam suatu masyarakat yang kompleks dan ber- ubah-ubah Jaeger, 1985. Gagne 1965 mengidentifikasi lima domain proses belajar, masing-ma- sing mempunyai praxis, yaitu: a Motor skills ketrampilan gerak, yang dikem- bangkan melalui praktik; b Verbal information informasi tulis, syarat utama untuk belajar yang penyajiannya di dalam suatu pengelolaan; c Intellectual skills ketrampilan intelektual, belajar yang diperlukan sebagai prasyarat ketrampilan; d Cognitive strategies strategi kognitif, belajar yang memerlukan pengulangan kesempatan dimana keraguan berfikir hadir; e Attitudes sikap, dipelajari secara sangat efektif melalui penggunaan model-model kemanusiaan dan “vicarious reinforcement”. Terkait dengan belajar bagi orang dewasa, Lindeman dalam Knowles 1978 mengidentifikasi beberapa anggapan sebagai dasar teori belajar orang dewasa sebagai berikut: a Orang dewasa termotivasi untuk belajar apabila sesuai minat dan kebutuhan sehingga belajarnya akan memuaskan, ini merupakan awal yang tepat untuk memulai aktivitas belajar; b Orientasi belajar orang dewasa adalah dipusatkan pada kehidupan, oleh karena itu unit yang tepat bagi pengelola- an belajar adalah situasi kehidupan; c Pengalaman merupakan sumber belajar, oleh karena itu metode logi pendidikan orang dewasa adalah analisis pengalaman; d Orang dewasa mempunyai kemandirian, oleh karena itu peran pengajar meng- ajak dalam proses penyelidikan saling menguntungkan; e Perbedaan antar individu meningkat, sehingga pendidikan orang dewasa harus membuat penyedia- an secara optimal bagi perbedaan dalam gaya, waktu, tempat, dan langkah belajar. 88 Faktor-faktor Eksternal Petani Proses-proses perubahan perilaku, melalui belajar, tidak terlepas dari ling- kungan yang berada di luar individu atau pihak-pihak yang mempunyai pengaruh kuat terhadap perilaku individu. Kepemimpinan dalam kelompok, oleh Beebe dan Masterson 1994 dianggap sebagai perilaku yang mempengaruhi, menuntun, me- merintah, atau mengendalikan kelompok. Kajian kepemimpinan menyangkut tiga perspektif, yaitu: perspektif sifat, perspektif fungsional, dan perspektif situasional. Kajian perspektif sifat memperlihatkan adanya serangkaian sifat tertentu yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Kajian perspektif fungsional menguji kepe- mimpinan sebagai perilaku yang mungkin dapat dikerjakan bersama anggota ke- lompok untuk memaksimalkan efektivitas kelompok, seperti: tuntutan, pengaruh, atau pengendalian. Kajian perspektif situasional mengakomodasi semua faktor- faktor: perilaku, kebutuhan tugas dan kebutuhan proses, juga memperhitungkan gaya kepemimpinan dan situasi. Hersey, Blancad, dan Johnson 1996 mengemukakan tiga kemampuan umum seorang pemimpin adalah kemampuan dalam: a Mendiagnosa, memaha- mi situasi yang akan dipengaruhi; b Adaptasi, menentukan kombinasi perilaku dan sumberdaya yang dimiliki dengan situasi yang sesuai; dan c Komunikasi, berinteraksi yang mudahdipahami dan diterima dengan orang lain. Kemampuan memotivasi adalah bentuk keterampilan skill yang dimiliki oleh seseorang pemimpin dalam melakukan berbagai kegiatan atau cara yang bertujuan memotivasi atau menggerakkan bawahan agar berprilaku seperti yang diinginkan. Kemampuan memotivasi termasuk dalam kategori interpersonal skill Katz dan Mann dalam Yukl, 1998. Interpersonal skill adalah ketrampilan untuk melakukan hubungan antar pribadi meliputi: pengetahuan tentang manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap, serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakana dan lakukan emphaty, sensitivitas sosial, kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif kemahiran berbicara, kemampuan menyakinkan orangpersuasive- ness, serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif kebijaksanaan, diplomasi, ketrampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai 89 perilaku sosial yang dapat diterima. Ketrampilan antar pribadi berperan mening- kat efektivitas perilaku pemimpin atau manajer yang berorientasi pada hubungan. Pembangunan merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang diren- canakan karena diasumsikan bahwa perubahan tersebut dapat dikendalikan ke sasaran yang tepat. Menurut Lippit; Watson dan Wesley 1958 perubahan berencana adalah perubahan yang terjadi karena adanya keputusan kita untuk memperbaiki sistem kepribadian, sistem kelompok, sistem organisasi, dan sistem kemasyarakatan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat kehidupan yang lebih baik dan memuaskan melalui pertolongan yang diberikan oleh agen-agen per- ubahan. Penyuluhan pertanian terselenggara sebagai salah satu usaha untuk mendu- kung pembangunan pertanian di Indonesia. Mosher 1991 menempatkan pe- nyuluhan pertanian sebagai faktor pelancar pembangunan the accelerators of agricultural development. Penyuluhan pertanian bagi petani dianggap penting karena kemampuan petani dan keputusan-keputusan yang diambil mengenai pelaksanaan usahatani akan sangat menentukan bagi tingkat kecepatan pemba- ngunan pertanian. Slamet 2003 menegaskan penyuluhan pertanian masa depan perlu di- dasarkan pada visi dan misi yang secara jelas menempatkan petani dan usahatani sebagai sentral; pendekatan yang lebih humanistik, yaitu melihat petani sebagai manusia yang berpotensi, yang dihargai untuk dikembangkan kemampuannya menuju kemandiriannya. Dalam kaitan itu orientasi visi dan misi kelembagaan penyuluhan kembali ke khitah penyuluhan itu sendiri, yaitu pengembangan pemberdayaan petani sehingga petani lebih mampu meningkatkan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakatnya secara mandiri dan tidak tersubordinasi oleh kepentingan pihak lain dalam pengembangan usahataninya. Penyelenggaraan pe- nyuluhan pertanian perlu lebih profesional, antara lain memerlukan reorientasi: a Dari instansi ke pengembangan kualitas individu penyuluh, b Dari pendekatan top down ke bottom up, c Dari hirarkhi kerja vertikal ke horizontal, d Dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis, dan e Dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan. 90 Dalam penyuluhan pertanian, metode kelompok lebih menguntungkan dari media massa karena umpan balik yang dihasilkan mengurangi salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pe- ngalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok van den Ban dan Hawkins, 1999. Keuntungan metode kelompok diungkapkan Albrecht dkk. 1989 sebagai berikut: a Jumlah petani yang dapat dicapai jum- lahnya lebih banyak, b Menghemat waktu dibandingkan dengan metode indivi- du, c Biaya per kapita kelompok sasaran berkurang, d Memungkinkan parti- sipasi yang lebih besar dari kelompok sasaran, e Adanya peningkatan penilaian kemampuan penyuluh oleh petani, dan f Teknik-teknik dinamika kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan perluasan informasi dan meningkatkan kesediaan petani membuat keputusan. Dalam kegiatan penyuluhan dengan khalayak sasaran kelompok, perlu upaya untuk mempengaruhi keberadaan atau kedinamisan suatu kelompok. Golembiewski 1962 dalam Vernelle 1994 mengemukakan tiga kategori faktor situasi kelompok, yaitu: a struktur kelompok, b karakteristik individu anggota, dan c proses-proses yang dibangun kelompok. Struktur kelompok meliputi: ukuran, waktu, lokasi, aturan formal atau informal, kesukarelaan, keanggotaan terbuka atau tertutup, pola-pola komunikasi yang dibangun, komunikasi satu atau dua tahap, apakah struktur memperbolehkan umpan balik, tipe dan status tujuan-tujuan kelompok, dan kesepakatan antar anggota. Karakteristik individu anggota, meliputi: peran yang dijalankan, reaksi perilaku individu, status setiap individu di luar kelompok, tanggapan individu terhadap tekanan kelompok, tanggapan individu terhadap kewenangan, tanggapan individu terhadap kerukun- an, agenda terselubung, pengalaman kelompok, kelompok rujukan yang dimiliki oleh anggota yang mempengaruhi sikapnya di kelompok lain. Semakin dinamis situasi kelompok akan mendorong pada peningkatan kapasitas individu dan par- tisipasinya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan uraian di atas secara skematis kerangka berfikir yang diguna- kan dapat dilihat pada Gambar 3.1. dan Gambar 3.2. 91 Gambar 3.2. Hubungan Antar Variabel C C = C3 C8 . C: C+ D D D3 6 D3 D3 C+ C+ C+3 C: C: C:3 C8 = C8 1 C3 C3 C33 C38 C C 1 D8 D8 = 6 D83 D88 FAKTOR-FAKTOR INTERNAL: Status Sosial Ekonomi Petani Kebutuhan Petani Pengalaman Belajar FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL: Kepemimpinan Lokal Peran Pihak Luar Dukungan Penyuluhan Kapasitas Petani Partisipasi dalam Kelembagaan Kelompok Petani Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Gambar 3.1. Kerangka Berfikir Teoritis Kedinamisan Kelompok Pembelajar 92 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berfikir, maka diajukan hipotesis kerja sebagai berikut: 1 Kedinamisan kelompok dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. 2 Kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelom- pok pembelajar, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. 3 Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok tani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok pembelajar, tingkat kapasi- tas petani, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. 4 Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan petani sebagai petani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan peran petani sebagai pribadi dan kepala keluarga. 5 Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pe- ngelola usahatani, kemampuan petani sebagai anggota masyarakat, dan ke- mampuan sebagai pribadi. 6 Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang di- tunjukkan dengan intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi. 7 Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh partisipasi petani dalam kelembagaan, kapasitas petani, tingkat kedina- misan kelompok pembelajar, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan pe- nyuluhan. 93 METODE PENELITIAN Variabel, Definisi Operasional dan Pengukuran Model teoritis yang diuji dalam penelitian ini meliputi beberapa bentuk hubungan antar variabel. Berbagai bentuk hubungan antar variabel tersebut men- cakup sepuluh variabel utama penelitian sebagai berikut: 1 Status Sosial Ekonomi Petani X1 2 Tingkat Kebutuhan Petani X2 3 Tingkat Pengalaman Belajar X3 4 Tingkat Kepemimpinan Lokal X4 5 Intensitas Peran Pihak Luar X5 6 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 7 Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar Y1 8 Tingkat Kapasitas Petani Y2 9 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Petani Y3 10 Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4 Kesepuluh variabel penelitian yang terpilih ini diuji arah dan bentuk hubungan se- cara statistik seperti dinyatakan dalam hipotesis penelitian. Definisi operasional merupakan salah satu unsur penelitian yang mem- beritahukan “bagaimana” caranya mengukur suatu variabel penelitian Singarim- bun dan Effendi, 1995. Dalam pengukuran perlu diperhatikan kedekatan antara realitas sosial yang diteliti dengan ‘nilai’ yang diperoleh dari pengukuran. Instru- men pengukur dipandang baik apabila hasilnya dapat merefleksikan secara tepat realitas atau fenomena yang hendak diukur. Pengukuran pada dasarnya adalah upaya peneliti menghubungkan antara konsep dengan realitas yang akan diukur. Dalam pengukuran perlu ada proses konseptualisasi dan operasionalisasi sehingga tujuan penelitian tercapai. Konsep- tualisasi adalah proses dimana kita menentukan secara tepat apa yang kita maksudkan ketika kita gunakan istilah-istilah khusus. Operasionalisasi dilakukan untuk menjelaskan variabel yang berasal dari suatu konsep abstrak. Variabel- variabel itu perlu diperjelas dan diubah bentuknya sehingga dapat diukur dan digunakan secara operasional. Dengan kata lain, perlu ada indikator-indikator 94 empiris yang bisa menjadi tanda atau fakta yang menjelaskan konsep yang yang menjadi pusat perhatiannya Babbie, 1983; Chadwick, Bahr, dan Albrecht, 1991. Dalam penelitian ini pengukuran dilakukan terhadap sepuluh variabel utama sebagai berikut: Status Sosial Ekonomi Petani X1 Status Sosial Ekonomi Petani adalah karakteristik, bersifat sosial dan ekonomi, dimiliki oleh petani yang menunjukkan stratifikasi petani dalam masyarakat. Ter- dapat enam parameter status sosial ekonomi petani yang dioperasionalkan dalam bentuk indikator, seperti terlihat pada Tabel 6, yaitu: umur X1.1, pendidikan formal X1.2, pendidikan non-formal X1.3, pengalaman berusahatani X1.4, tingkat pendapatan petani X1.5, dan tingkat partisipasi sosial X1.6. Pengukuran indikator dilakukan untuk mendapatkan informasi karakteristik priba- di petani dalam kontinum, nilai total terendah sama dengan jumlah indikator dan tertinggi sama dengan jumlah skor maksimum. Setiap indikator merupakan skala ordinal dengan simbol 1, 2, 3, 4, 5. Berdasarkan Tabel 4.1., untuk pengujian statistik, ukuran karakteristik pribadi petani digunakan empat parameter. Melalui proses transformasi tiap parameter memiliki nilai 0 – 100. Pedoman transformasi berdasarkan rumus sebagai berikut: a Transformasi indeks parameter Jumlah skor yang dicapai per parameter − jumlah skor terkecil Indeks transformasi = x 100 Selisih skor maksimum – skor minimum tiap parameter Keterangan: Selang nilai Indeks Transformasi Indikator 1 – 100 b Transformasi indeks variabel Jumlah indeks parameter tiap variabel Indeks transformasi = x 100 Jumlah total maksimum tiap variabel Keterangan: Selang nilai Indeks Transformasi Indikator 1 – 100 95 Tabel 4.1. Parameter dan Indikator Status Sosial Ekonomi Petani VariabelParameter Indikator X1 Status Sosial Ekonomi Petani X1.1 Umur 1 Lama tahun X1.2 Tingkat pendidikan formal 1 Lama tahun X1.3 Tingkat pendidikan non- formal 1 Macam pendidikan 2 Intensitas pendidikan yang diperoleh 3 Kesesuaian dengan bidang usaha X1.4 Pengalamanan berusahatani 1 Lama berusahatani 2 Intensitas dalam melakukan kegiatan 3 Macam kegiatan yang telah dilakukan X1.5 Tingkat Pendapatan 1 Jumlah rupiah X1.6 Tingkat Partisipasi Sosial 1 Intensitas dalam kegiatan sosial 2 Kualitas dalam mengikuti kegiatan sosial Tingkat Kebutuhan Petani X2 Tingkat kebutuhan petani adalah suatu kondisi kejiwaan pada petani yang memer- lukan pemenuhan agar memperoleh ketentraman hidup, mencakup dua parameter, yaitu: tingkat kebutuhan usahatani X2.1, dan tingkat kebutuhan sosial X2.2. Indikator selengkapnya ditampilkan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Parameter dan Indikator Tingkat Kebutuhan Petani VariabelParameter Indikator X2 Tingkat Kebutuhan Petani X2.1 Tingkat Kebutuhan Usaha- tani 1 Kecukupan penguasaan lahan pertanian 2 Ketersediaan tenaga kerja 3 Tersedianya sarana produksi sesuai de- ngan jenis dan kebutuhan 4 Tersedianya dana pada saat dibutuhkan 5 Ketersediaan teknologi yang sesuai 6 Manajemen usahatani X2.2 Tingkat Kebutuhan Sosial 1 Pemanfaatan waktu luang untuk kegiat- an keluarga 2 Pemanfaatan waktu luang untuk kegiat- an sosial 3 Jumlah sumbangan sosial 4 Keberhasilan yang telah dicapai 96 Pengalaman Belajar X3 Pengalaman belajar adalah kondisi yang dialami oleh petani dalam mengakses informasi yang ada dan menghasilkan perubahan perilaku dalam pengelolaan usahatani. Empat parameter variabel ini meliputi: akses media massa X3.1, interaksi dengan penyuluh X3.2, interaksi dengan petani lain X3.3, dan interaksi dengan pedagang X3.4. Secara rinci indikator-indikator variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Parameter dan Indikator Pengalaman Belajar VariabelParameter Indikator X3 Pengalaman Belajar X3.1 Akses Media Massa 1 Jenis media massa yang diakses 2 Frekuensi dalam mengakses media 3 Kesesuaian informasi dengan kebutuhan usahatani X3.2 Interaksi dengan Penyuluh 1 Jumlah tatap muka yang dilakukan 2 Kualitas tatap muka X3.3 Interaksi dengan Petani lain 1 Intensitas tatap muka yang dilakukan 2 Kualitas tatap muka X3.4 Interaksi dengan Pedagang 1 Intensitas tatap muka yang dilakukan 2 Kualitas tatap muka Tingkat Kepemimpinan Lokal X4 Tingkat kepemimpinan lokal adalah lingkungan personal yang mempengaruhi perilaku individu dalam interaksi sosial dan pengelolaan usahatani, meliputi: fungsional X4.1, dan situasional X4.2. Indikator selengkapnya terlihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Parameter dan Indikator Tingkat Kepemimpinan Lokal VariabelParameter Indikator X4 Tingkat Kepemimpinan Lokal X4.1 Fungsional 1 Adanya proses instrumental 2 Adanya proses proses internalisasi 3 Adanya proses identifikasi X4.2 Situasional 1 Perilaku yang berorientasi hubungan 2 Perilaku yang berorientasi pada tugas 97 Intensitas Peran Pihak Luar X5 Intensitas peran pihak luar adalah kondisi lingkungan yang mempunyai sifat me- nekan dan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumberdaya usahatani, meliputi: pemerintah X5.1, lembaga swadaya masyarakat X5.2, dan lembaga komersial X5.3. Indikator selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5. Parameter dan Indikator Intensitas Peran Pihak Luar VariabelParameter Indikator X5 Intensitas Peran Pihak Luar X5.1 Pemerintah 1 Keberadaan kebijakan 2 Efektivitas implementasi kebijakan 3 Koordinasi antar instansi 4 Kesesuaian dengan kebutuhan petani X5.2 Lembaga Swadaya Masyara- kat 1 Jumlah lembaga yang relevan 2 Macam dukungan terhadap petani 3 Intensitas dukungan X5.3 Lembaga Komersial 1 Jumlah lembaga komersial yang terkait 2 Macam interaksi dengan petani 3 Intensitas interaksi yang dilakukan 4 Bentuk dukungan 5 Sifat hubungan Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 Tingkat dukungan penyuluhan adalah segala bentuk layanan yang diterima petani dari kelembagaan penyuluhan dalam meningkatkan kemampuan petani melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan petani dalam mengelola sum- berdaya usahatani. Tiga parameter variabel ini meliputi: kompetensi penyuluh X6.1, pendekatan penyuluhan X6.2, dan kelembagaan penyuluhan X6.3. Indikator selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6. 98 Tabel 4.6. Parameter dan Indikator Tingkat Dukungan Penyuluhan VariabelParameter Indikator X6 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6.1 Kompetensi Penyuluh 1 Penguasaan materi yang dibutuhkan pe- tani 2 Kemampuan berkomunikasi secara kon- vergen 3 Sikap egalitarian terhadap sasaran 4 Komitmen terhadap profesi penyuluhan partisipatif X6.2 Pendekatan penyuluhan 1 Kesesuaian informasi 2 Ketepatan metode interaktif yang di- gunakan 3 Penggunaan teknik-teknik penyuluhan yang partisipatif 4 Penggunaan media penyuluhan X6.3 Kelembagaan penyuluhan 1 Ketersediaan program penyuluhan par- tisipatif 2 Kemudahan akses secara partisipatif 3 Dukungan fasilitas yang diperlukan 4 Kontinuitas pelaksanaan program Tingkat Kedinamisan Kelompok Pembelajar Y1 Tingkat kedinamisan kelompok pembelajar adalah derajat yang menunjukkan situasi anggota kelompok dan situasi kelompok petani sebagai kelompok pem- belajar. Variabel ini dijabarkan dalam indikator-indikator: a Tujuan kelompok, b Struktur kelompok, c Fungsi tugas, d Pembinaan dan pengembangan kelompok, e Kekompakan kelompok, f Suasana kelompok, g Ketegangan kelompok, dan h Keefektifan kelompok. Dari indikator-indikator tersebut di- kembangkan indeks yang dijabarkan ke dalam 18 item pernyataan. Kapasitas Petani Y2 Kapasitas petani adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan individu petani dalam melaksanakan perannya sesuai dengan status yang dimilikinya se- hingga mampu mengembangkan potensi pribadi, mengelola sumberdaya usaha- 99 tani, dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu komunitas pertanian. Varia- bel ini dijabarkan dalam tiga parameter, yaitu: peran sebagai pengelola usahatani Y2.1, peran sebagai anggota masyarakat Y2.2, dan peran sebagai pribadi dan kepala keluarga Y2.3. Secara rinci indikator-indikator dalam variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7. Parameter dan Indikator Kapasitas Petani VariabelParameter Indikator Y2 Kapasitas Petani Y2.1 Kemampuan sebagai pengelola usahatani 1 Kemampuan teknik usahatani 2 Memanfaatkan potensi sumberdaya alam 3 Mengambil keputusan usahatani 4 Sense of agribusiness 5 Ketrampilan agribisnis 6 Orientasi pada pertanian masa depan Y2.2 Kemampuan sebagai anggota masyarakat 1 Menyesuaikan diri dengan komunitas 2 Mengembangkan kerjasama 3 Membangun jejaring 4 Kepemimpinan dalam pengambilan ke- putusan Y2.3 Kemampuan sebagai pribadi dan kepala keluarga 1 Mempunyai pengetahuan luas 2 Mempunyai perilaku mandiri 3 Ketangguhan menghadapi masalah Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Y3 Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani adalah derajat ke- seluruhan peran-serta petani dalam kegiatan kelembagaan dimana petani tersebut menjadi anggota. Variabel ini terdiri atas dua parameter, yaitu: intensitas keter- libatan Y3.1, dan kualitas keterlibatan Y3.2. Secara rinci indikator-indikator yang menjelaskan variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.8. 100 Tabel 4.8. Parameter dan Indikator Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani VariabelParameter Indikator Y3 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Y3.1 Intensitas keterlibatan 1 Intensitas keterlibatan dalam perenca- naan kegiatan 2 Intensitas keterlibatan dalam pelaksa- naan kegiatan 3 Intensitas keterlibatan dalam peman- faatan hasil 4 Intensitas keterlibatan dalam pemeliha- raan kegiatan 5 Intensitas keterlibatan dalam penilaian kegiatan Y3.2 Kualitas keterlibatan 1 Kesadaran untuk terlibat 2 Peran atau tanggung-jawab yang diambil 3 Fungsi peran yang dilakukan 4 Derajat pemenuhan kebutuhan 5 Derajat motivasi kerjasama 6 Derajat potensi yang dimiliki 7 Jumlah informasi yang diperoleh 8 Ketepatan informasi yang diperoleh 9 Peningkatan kualitas hasil pertanian 10 Efisiensi pengelolaan sumberdaya pertanian 11 Kemudahan dalam pemecahan masa- lah yang dihadapi 12 Derajat integrasi antar anggota Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4 Tingkat kapasitas kelembagaan kelompok petani adalah suatu kondisi yang meng- gambarkan perkembangan kelembagaan kelompok petani dalam melaksanakan fungsi dan peranannya dalam mengelola sumberdaya pertanian, yang mencakup: pencapaian tujuan kelembagaan Y4.1, fungsi dan peran kelembagaan Y4.2, keinovatifan kelembagaan Y4.3, dan keberlanjutan kelembagaan Y4.4. Secara rinci indikator-indikator yang menjelaskan variabel ini dapat dilihat pada Tabel 4.9. 101 Tabel 4.9. Parameter dan Indikator Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani VariabelParameter Indikator Y4 Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4.1 Pencapaian tujuan kelemba- gaan 1 Keberadaan dan kejelasan tujuan 2 Kesesuaian tujuan dengan kebutuhan anggota 3 Tingkat pemenuhan kebutuhan anggota Y4.2 Fungsi dan peran kelemba- gaan 1 Kemampuan memperoleh informasi, tenaga kerja, modal, dan material 2 Kemampuan mengatur informasi, tenaga kerja, modal, dan material 3 Kemampuan memelihara informasi, tenaga kerja, modal, dan material 4 Kemampuan mengerahkan informasi, tenaga kerja, modal, dan material 5 Kemampuan mengelola konflik Y4.3 Keinovatifan kelembagaan 1 Peran kepemimpinan dalam lembaga 2 Fungsi kepemimpinan dalam lembaga 3 Keberadaan nilai-nilai yang mendasari kerjasama 4 Pembagian peran anggota 5 Pola kewenangan dalam lembaga 6 Komitmen anggota terhadap lembaga 7 Ketersediaan sumber-sumber pendanaan 8 Ketersediaan fasilitas-fasilitas fisik 9 Kualitas sumberdaya anggota 10 Keberadaan teknologi yang sesuai Y4.4 Keberlanjutan kelembagaan 1 Sentimen anggota 2 Kesadaran anggota 3 Kekompakan anggota 4 Kepercayaan anggota 5 Ketersediaan bantuan luar 6 Pola komunikasi antar anggota 7 Kerjasama dengan pihak lain Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat eksplanatory, yaitu menjelaskan berbagai hubungan mengenai suatu fenomena interaksi sosial masyarakat, dalam hal ini menyangkut: karakteristik sosial ekonomi petani, berbagai aktivitas petani, kegiatan usahatani, kegiatan petani, dan kelembagaan kelompok petani. Pelaksanaan penelitian meng- 102 gunakan metode survei dan analisis data dilakukan dengan statistika deskriptif maupun statistika inferensial. Jenis data penelitian yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari petani, tokoh masyarakat pemuka panda- pat di lokasi penelitian, dan pejabat dari institusi yang terkait. Pelaksanaan pe- ngumpulan data primer dilakukan dengan: pengamatan, wawancara terstruktur dengan responden terpilih. Selain itu dilakukan wawancara mendalam indepth- interview kepada informan terpilih. Data sekunder diperoleh melalui: penelusur- an hasil-hasil penelitian yang sudah ada, kajian pustaka yang relevan, serta pen- catatan data yang telah dikumpulkan oleh pihak-pihak yang berkompeten, seperti: BPS Biro Pusat Statistik, Dinas Pertanian, dan instansi yang terkait lainnya. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, dengan meng- ambil tiga daerah kabupaten, yaitu: Kabupaten Klaten, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Karanganyar. Ketiga kabupaten dipilih dengan berbagai pertimbang- an. Kabupaten Klaten merupakan lokasi yang mewakili wilayah persawahan komoditas padi dengan institusi sosial gotong-royong paling banyak jumlah- nya BPS, 2003. Kabupaten Grobogan merupakan lokasi yang mewakili wilayah persawahan tadah hujan komoditas palawija dengan institusi sosial gotong- royong paling sedikit jumlahnya BPS, 2003. Kabupaten Karanganyar dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili wilayah dengan areal pegunungan komoditas sayuran. Kecamatan lokasi penelitian dari masing-masing kabupaten terpilih, di- ambil berdasarkan karakteristik yang menonjol atas kondisi usahatani yang di- kelola, yaitu: usahatani padi, usahatani palawija, dan usahatani sayuran. Pemilih- an desa dari masing-masing kecamatan didasarkan pada kriteria yang sama. Dari tiap desa maksimal diambil tiga kelompok tani. Pemilihan kelompok-kelompok petani dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan kelompok- kelompok petani yang ada. 103 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang tergabung dalam suatu kelompok petani yang mengelola sumberdaya-sumberdaya pertanian, yaitu: Ke- lompok Tani Padi Sawah, P3A, Kelompok Tani Palawija, dan Kelompok Tani Sayuran. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan multistage stratified cluster random sampling, yaitu: dengan memilih dan menetapkan lokasi kecamat- an, desa, dan kelompok tani berdasarkan kriteria tertentu; menetapkan anggota kelompok petani berdasarkan statusnya, yaitu: ketua, pengurus, dan anggota; memilih responden secara acak. Setiap desa diambil responden sebanyak 15 orang. Jumlah responden petani secara keseluruhan sebanyak 405 orang, dengan rincian: Lokasi I Kabupaten Klaten pengurus sebanyak 53 orang dan anggota sebanyak 82 orang, Lokasi II Kabupaten Grobogan pengurus sebanyak 52 orang dan anggota sebanyak 83 orang, dan Lokasi III Kabupaten Karanganyar pe- ngurus sebanyak 51 orang dan anggota sebanyak 84 orang. Jumlah responden tokoh masyarakat, baik formal maupun non-formal, sebanyak 46 orang. Berda- sarkan pertimbangan tersebut di atas maka persebaran lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 4.10. Validitas dan Reliabilitas Validitas kesahihan dan reliabilitas keterandalan sangat penting dalam merancang pengukuran suatu penelitian. Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur, sedangkan reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat diper- caya atau dapat diandalkan. Singarimbun dan Effendi 1995 membagi validitas dalam enam jenis, yaitu: a Validitas isi, yang menggambarkan sejauhmana alat ukur mewakili semua dimensi atau aspek dari kerangka konsep. Validitas ini didasari pada pendapat ahli baik dari kajian pustaka maupun pembimbing sesuai dengan tujuan pene- litian dan dari uji validitas logika, yaitu dengan menghubungkan teori kebu- tuhan dengan teori pengambilan keputusan. 104 Tabel 4.10. Persebaran Lokasi Penelitian Kabupaten Kecamatan Desa Kelompok Tani + + b Validitas eksternal, yaitu kemampuan alat ukur untuk mengukur gejala sosial yang memberikan hasil yang sama dengan alat ukur yang sudah ada. c Validitas konstruk, yaitu suatu evaluasi sejauhmana instrumen mengukur konstruk yang secara teoritis diharapkan peneliti untuk diukur. d Validitas prediktif, yaitu kemampuan alat ukur untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. e Validitas budaya, yaitu sejauhmana suatu alat ukur bisa digunakan untuk responden pada suatu masyarakat yang berbeda dimensi budayanya. 105 f Validitas rupa, yaitu jenis validitas yang menekankan aspek “rupanya” suatu alat pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih Singarimbun dan Effendi, 1995. Kerlinger 2004 menyebutkan ada tiga pendekatan untuk mengukur reliabilitas, yaitu: a suatu alat ukur dikatakan relia- bel apabila alat ukur tersebut digunakan berulangkali memberikan hasil yang sama, b suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat ukur tersebut dapat meng- ukur hal yang sebenarnya dari sifat yang diukur, dan c reliabilitas suatu alat ukur dapat dilihat dari galat pengukurannya. Black dan Champion 1992 membagi reliabilitas dalam dua bentuk, yaitu: bentuk eksternal dan bentuk internal. Reliabilitas eksternal terdiri dari dua ben- tuk, yaitu: a bentuk test-retest, dan b bentuk paralel dari test yang sama. Re- liabilitas internal terdiri dari dua bentuk, yaitu: a bentuk teknik splith-half, dan b bentuk diskriminasi soal. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan pendekatan tes-ulang test-retest, yaitu penyajian instrumen ukur pada satu kelompok subyek dua kali dengan memberi tenggang waktu diantara dua penyajian itu. Koefisien korelasi antara kedua distribusi skor ke- lompok tersebut merupakan koefisien reliabilitas yang dihitung dengan rumus Azwar, 2004 sebagai berikut: [ ] [ ] ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ − − − = n Y Y n X X n Y X XY r xy 2 2 2 2 Keterangan: r xy = Koefisien reliabilitas, X dan Y = skor masing-masing variabel, Berdasarkan hasil uji reliabilitas menunjukkan koefisien reliabilitas se- bagai berikut: 106 Tabel 4.11. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian Variabel Utama Kisaran Koefisien Korelasi X1 Status Sosial Ekonomi Petani 0.663 - 0.997 X2 Tingkat Kebutuhan Petani 0.694 - 0.887 X3 Pengalaman Belajar 0.707 - 0.811 X4 Tingkat Kepemimpinan Lokal 0.677 - 0.874 X5 Intensitas Peran Pihak Luar 0.698 - 0.849 X6 Tingkat Dukungan Penyuluhan 0.782 - 0.871 Y1 Tingkat Kedinamisan Kelompok 0.767 - 0.883 Y2 Kapasitas Petani 0.734 - 0.812 Y3 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan kelompok petani 0.816 - 0.854 Y4 Tingkat Kapasitas Kelembagaan kelompok petani 0.767 - 0.883 Keterangan: nyata pada α = 0,05 nyata pada α = 0,01 Analisis Data Data dan semua informasi yang diperoleh dianalisis, baik secara kuanti- tatif maupun kualitatif. Untuk mendiskripsikan variabel penelitian digunakan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya dilakukan pengujian hubungan kausal antar berbagai variabel terpilih untuk menghitung besarnya pengaruh, baik lang- sung maupun tidak langsung. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analisis lintasan path analysis. Analisis dengan model regresi berganda dengan n variabel bebas dapat digambarkan sebagai berikut: Y = b o + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X 3 + …… + b n X n Dimana, Y = variabel terikat X i = variabel bebas ke i, untuk i = 1,2,3,…n b i = koefisien regresi parsial tak baku ke i, untuk i = 1,2,3,….n b o = intersep Selanjutnya apabila S y didefinisikan sebagai simpangan baku contoh dari variabel terikat Y, S x1 , S x2 , S x3 , ….S xn sebagai simpangan baku contoh dari variabel bebas X 1 , X 2 , X 3 ….X n , maka dari model di atas dapat dihitung koefisien regresi baku yang sering disebut juga koefisien beta sebagai berikut: 107 S xi Bi = b i , i = 1, 2, 3….n S y Koefisien lintasan path coeficient pada dasarnya adalah serupa dengan koefisien beta. Apabila C i didefinisikan sebagai koefisien lintasan variabel baku X i variabel bebas X i yang dibakukan sehingga berdistribusi normal dengan nilai rata-rata = 0 dan ragam = 1, maka pada dasarnya koefisien C i dapat dihitung berdasarkan rumus di atas atau dengan kata lain B i = C i . Apabila koefisien lintasan C i telah diketahui, maka beberapa informasi penting akan diperoleh berdasarkan metode analisis lintasan, yaitu: a Pengaruh langsung variabel bebas yang dibakukan X i terhadap variabel terikat Y yang telah dibakukan, yang diukur oleh atau ditunjukkan dengan koefisien lintasan C i . b Pengaruh tidak langsung variabel bebas yang dibakukan X i terhadap variabel terikat Y, melalui variabel bebas yang dibakukan X j yang diukur oleh besaran C j r ij . c Pengaruh galat errorresidual yang tidak dapat dijelaskan oleh model anali- sis lintasan diukur dengan rumus: 2 n C s = 1 − ∑ C j r ij i=1 _ 2 C s = √ C s 2 Besaran C s dalam analisis adalah serupa dengan besaran 1 − R 2 dalam analisis multiple regression. Model analisis lintasan tersebut terutama akan digu- nakan untuk menguji beberapa hipotesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis 1: Tingkat kedinamisan kelompok pembelajar dipengaruhi secara nyata oleh status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan pe- nyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda. 108 Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.1. di bawah. Gambar 4.1. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Satu Hipotesis 2: Tingkat kapasitas petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis analisis jalur path. Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada di bawah: Status Sosial Ekonomi X1 Tingkat Kedinamisan Kelompok Y1 Pengalaman Belajar X3 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 TingkatKepemimpinan Lokal X4 Tingkat Peran Pihak Luar X5 Tingkat Kebutuhan Petani X2 Gambar 4.2. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Dua Status Sosial Ekonomi X1 Kapasitas Petani Y2 Tingkat Kebutuhan Petani X2 Intensitas Peran Pihak Luar X5 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 Pengalaman Belajar X3 Tingkat Kedinamisan Kelompok Y1 Tingkat Kepemimpinan Lokal X4 109 Hipotesis 3: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi se- cara nyata oleh tingkat kedinamisan kelompok tani, tingkat kapasitas individu, status sosial ekonomi petani, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, tingkat kepemimpinan lokal, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur path. Bentuk hubungan antar variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.3 di bawah. Hipotesis 4: Tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani dipengaruhi se- cara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuannya sebagai petani, sebagai anggota masyarakat, dan sebagai pribadi dan kepala keluarga. Gambar 4.3. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Tiga Status Sosial Ekonomi X1 Tingkat Kebutuhan Petani X2 Intensitas Peran Pihak Luar X5 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 Pengalaman Belajar X3 Tingkat Kapasitas Petani Y2 Tingkat Kepemimpinan Lokal X4 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Y3 Tingkat Kedinamisan Kelompok Y1 110 Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur path. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.4. Hipotesis 5: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh kapasitas petani yang ditunjukkan oleh kemampuan sebagai pengelola usahatani, kemam- puan petani sebagai anggota masyarakat, dan kemampuan sebagai pribadi. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.5. Hipotesis 6: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani yang ditunjukkan dengan intensitas partisipasi dan kualitas partisipasi. Gambar 4.5. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Lima Kapasitas Petani Y2 Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4 Sebagai anggota masyarakat Y2.2 Sebagai petani Y2.1 Sebagai pribadi dan kepala keluarga Y2.3 Kapasitas Petani Y2 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Y3 Gambar 4.4. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Empat Sebagai anggota masyarakat Y2.2 Sebagai petani Y2.1 Sebagai pribadi dan kepala keluarga Y2.3 111 Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.6. Hipotesis 7: Kapasitas kelembagaan kelompok petani dipengaruhi secara nyata oleh tingkat partisipasi petani dalam kelembagaan kelompok petani, kapasitas petani, status sosial ekonomi, tingkat kebutuhan petani, pengalaman belajar, intensitas peran pihak luar, dan tingkat dukungan penyuluhan. Uji statistik yang digunakan adalah analisis jalur. Bentuk hubungan antar variabel dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.7. Gambar 4.6. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Enam Intensitas partisipasi Y3.1 Kualitas partisipasi Y3.2 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Y3 Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4 Gambar 4.7. Model Hubungan antar Variabel dalam Hipotesis Tujuh Tingkat Kebutuhan Petani X2 Intensitas Peran Pihak Luar X5 Tingkat Dukungan Penyuluhan X6 Tingkat Kepemimpinan Lokal X4 Pengalaman Belajar X3 Status Sosial Ekonomi X1 Tingkat Kedinamisan Kelompok Y1 Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelembagaan Kelompok Petani Y3 Tingkat Kapasitas Kelembagaan Kelompok Petani Y4 Tingkat Kapasitas Petani Y2 112 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kondisi Umum Provinsi Jawa Tengah merupakan satu dari enam propinsi yang berada di Pulau Jawa. Letaknya di tengah, diapit oleh dua provinsi besar yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur, berada antara 5 40′ dan 8 30′ Lintang Selatan dan antara 108 30′ dan 111 30′ Bujur Timur termasuk Pulau Karimunjawa. Secara administrasi provinsi ini terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah Jawa Tengah pada tahun 2005 tercatat sebesar 3.25 juta hektar atau sekitar 25.04 persen dari luas Pulau Jawa. Luas tersebut terdiri dari 996 ribu hektar 30.60 persen lahan sawah dan 2.26 juta hektar 69.40 persen bukan lahan sawah. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, luas lahan sawah tahun 2005 turun sebesar 0.02 persen dan sebaliknya luas bukan lahan sawah naik sebesar 0.001 persen Anonim, 2005. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi penyangga pangan nasional. Produktivitas padi mencapai sekitar 52.29 kuintal per hektar pada tahun 2005. Seperti umumnya di Indonesia, sektor pertanian di Jawa Tengah mempu- nyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam pembentukan PDB maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, sektor perta- nian memberikan kontribusi sebesar 21.4 persen dalam pembentukan PDRB, serta menyerap kurang lebih 42 persen penduduk bekerja di sektor pertanian.

1. Kabupaten Klaten