KONTRADIKSI TERUMBU KARANG BUKAN PENYERAP BLUE KARBON

KONTRADIKSI TERUMBU KARANG BUKAN PENYERAP BLUE KARBON

Terumbu karang membentuk struktur masif kalsium karbonat di perairan laut tropis dangkal. Walaupun ekosistem terumbu karang menutupi kurang dari 0,1 persen wilayah permukaan bumi (Lutz et al., 2014), tetapi terumbu karang bertanggungjawab pada deposit kalsium karbonat di dalam laut. Terumbu karang memproduksi sejumlah besar kalsium karbonat yang seringkali diartikan bahwa ekosistem ini merupakan tempat penyimpanan karbon yang berasal dari atmosfer. Bagaimana - pun, bukan itu yang terjadi, karena ketika kalsium mengalami proses presipitasi oleh karang selama proses kalsifikasiyaitu proses dimana organisme yang mendeposit karbon inorganik dalam bentuk padat untuk membentuk skeleton atau cangkang kalsium karbonat maka karbon dioksida sebenarnya terbentuk. Proses biologis lainnya, sebagai tambahan proses kalsifikasi, juga berakibat pada jumlah karbon dioksida yang dihasilkan atau dikonsumsi oleh ekosistem terumbu karang. Proses metabolik ini termasuk respirasi yang menghasilkan karbon dioksida dan proses fotosintesis yang menggunakan karbon dioksida.

Pada beberapa area terumbu yaitu pada rataan terumbu karang, umumnya didominasi oleh organisme laut yang berfotosintesis seperti rumput laut dan padang lamun yang merupakan penyerap karbon-dioksida. Bagaimanapun, sebagian besar area terumbu lainnya dihuni oleh organisme non fotosintesis yang aktivitas respirasinya merupakan sumber dari karbon dioksida. Akibatnya, pada sebagian besar sistem terumbu karang, hasil karbon dari proses fotosintesis dan respirasi cenderung berada dalam kondisi yang seimbang, dan produk bersih hanya memberi sedikit kontribusi pada keseluru- han karbon dioksida yang diperlukan untuk karang yang didominasi oleh hasil kalsifikasi (Lutz et al., 2014). Sebagai hasil dari keseluruhan proses, karang merupakan sumber karbon dioksida yang secara global menyumbang

sebanyak 0,02 – 0,08 miliar metrik ton karbon dioksida per tahun ke atmosfer (Ware et al., 1993). Konsekuensinya, walaupun karang merupakan sumber yang menyumbang karbon ke atmosfer, tapi jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa laut berfungsi sebagai sumber karbon. Koropitan (2008), telah melakukan riset siklus karbon di Laut Jawa dengan mempertimbangkan sistem karbonat laut, arus laut, dan suplai dari daratan. Berdasarkan data yang ada, telah dikembangkan model matematika untuk mencoba meniru mekanisme di Laut Jawa. Penelitian ini menyim- pulkan bahwa Laut Jawa berpotensi melepaskan karbon ke atmosfer dalam kisaran 0,001 – 0,003

mol C/m 2 per tahun. Angka ini termasuk kecil (kurang dari 0,1%) dibanding dengan peluang pelepasan karbon pada lokasi up welling ekuator di Lautan Pasifik, yang merupakan carbon source terbesar dari perairan global.

Lokasi upwelling, yang memiliki temperatur permukaan laut yang rendah karena naiknya massa air dari lapisan bawah, namun memiliki kandungan Dissolve Inorganic Carbon (DIC), atau kandungan karbon anorganik terlarut yang tinggi. Beberapa publikasi di jurnal internasional menunjukkan bahwa daerah up welling umumnya bersifat sebagai carbon source. Penelitian yang dilakukan di lepas pantai Barat Sumatra (lokasi up welling) oleh suatu lembaga ke lautan Jepang pada bulan Agustus 2005 menunjukkan bahwa nilai perbedaan

tekanan parsial CO 2 antara laut dan udara pada kisaran +16 sampai +27 µatm (Pranowo et al., 2010). Nilai positif menunjukkan bahwa perairan ini bersifat sebagai carbon source. Ada pula hasil riset lainnya pada bulan Februari 1984 yang dilakukan oleh lembaga meteorologi Jepang. Mereka mengukur perbedaan tekanan parsial ini pada sepanjang jalur yang memotong perairan selatan memasuki Selat Lombok, Selat Makassar sampai ke arah Laut Sulawesi. Hasilnya tetap menunjukkan nilai positif yang berkisar pada +4 sampai +20 µatm (Pranowo et al., 2010).

(Hutahaean, 2013). Secara keseluruhan potensi

penyerapan karbon, maka mangrove yang diikuti

Science, Technology, and Engineering,

Penyimpanan Lempok Durian. Jurnal

Agria 1(2): 95-98. 219,8 juta ton per tahun. Jumlah ini sebesar

laut Indonesia mampu menyerap CO 2 sebesar

padang lamun dan terumbu karang menempati

Y.H. Hui, (Ed)., Crc Pr I Lic. 135.

posisi teratas. Estimasi serapan karbon per tahun

Santoso, B., Herpandi, A.P. Puspa, dan P. Rindit, Indonesia tiap tahun (Hutahaean, 2013). Untuk

10,99% dari total karbon yang diserap oleh laut

disajikan pada Gambar 3.

McHaugh, T. H., J. F. Aujard and J. M.

Krochta.1994. Plasticized Whey Protein

2013. Pemanfaatan Karagenan dan Gum

Edible Film: Water Vapor Permeability

Arabic Sebagai Edible Film Berbasis

Properties. Journal of Food Science, 59:

Hidrokolid. Jurnal Agritech 33(2): 140-

416-419,423.

Milani, J., and G. Maleki, 2012. Hidrocolloids in

Skurtys, O., C. Acevedo, F. Pedreschi, J. Enronoe,

Food Industry.In: Valdez, B. (ED) Food

F. Osorro,and J.M. Aguilera, 2010. Food

Industrial Processes-Methods and

Hydrocolloid Edible Films and

equipment; InTech: Croatia, 17-38.

Coating. Department Food Science and Technology, Universidad de Santiago de

Mindarwati, E., 2006, Kajian Pembuatan Edible

Chile.Nova Science Publisher, Inc.,

Film Komposit dari Karagenan Sebagai

Santiago: 66 pp.

Pengemas Bumbu Mie Instant Rebus. [Tesis]. Program Studi teknologi Pasca

Suryaningrum, D.T.H., B. Jamal, dan

Panen, Institut Pertanian Bogor, Bogor:

Nurochmawati. 2005. Stydi Pembuatan

83 hal.

Edible Film dari Karagenan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 2(4):1-

Nugroho, A.A., Basito, dan R. K.A. Baskara,

2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka Dengan Pengaruh Penambahan

Winarno, F.G. 1990. Pengantar Teknologi

Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang

Pangan. PT Gramedia. Jakarta: 89 hal.

Gambar 3. Estimasi perbandingan penyerapan karbon oleh terumbu karang, mangrove, lamun dan

Terhadap Karakteristik Fisik dan

rawa-rawa air laut (sumber : Nellemann et al., 2009)

Mekanik. Jurnal Teknosains Pangan

Winarti, C., Miskiyah, dan Widaningrum. 2012.

2(1):73-79.

Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis

Penelitian COREMAP Fase II tahun

yang disebut juga dengan eutrofikasi (Mc Cook,

Pati. Jurnal Litbang Pertanian 31(3):85- 2008 menyebutkan bahwa kondisi terumbu

Rachmawati, A. K. 2009, Ekstraksi dan

1999). Terkait dengan pertumbuhan algae yang

Karakterisasi Pektin Cincau Hijau

karang di 14 kabupaten di Indonesia berada

akan terus berkembang mengikuti perubahan

(Premna oblongifolia. Merr) untuk

dalam kondisi baik, dengan rata-rata tutupan

ikim, kenaikan CO 2 di udara diharapkan tidak

Yuguchi, Y., T.T. Thuy, H. Urakawa, and K. karang batu hidup sebesar 33,50% dan tutupan

Pembuatan Edible Film.[Skripsi].

terus terjadi seperti yang diramalkan bahwa akan

Kajiwara 2002. Structural Characteristics algae sebesar 44,67% (Anonim, 2010).

Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas

terjadi kenaikan CO 2 sebanyak dua kali lipat pada

of Carrageenan Gels: Temperature and Persentase tutupan alga yang lebih besar

Maret, Surakarta: 61 hal.

tahun 2065 (Wigley, 1999). Pemanasan global di

Concentration Dependence. Food menunjukkan bahwa di dalam ekosistem terumbu

daerah tropis tidak saja menyebabkan coral

Hydrocolloids 16: 515-522. karang peran alga lebih besar daripada peran

Santoso,B., F. Pratama, dan R. Pambayun, 2005.

bleaching (Wilkinson, 2000) dan berkurangnya

Aplikasi Edible Coating Komposit pada

karang batu sebagai penyerap CO 2 dan

rasio GP/R pada karang hidup, tetapi juga

penghasil O 2 . Indonesia yang memiliki iklim

meningkatkan rasio GP/R pada algae (Elfwing

tropis sangat sesuai untuk pertumbuhan algae.

&Tendergren, 2000). GP/R adalah rasio

Adanya perubahan iklim dan aktivitas manusia

perbandingan antara selisih produktivitas bersih

juga berdampak positif terhadap pertumbuhan

dan kotor dengan hasil respirasi (mg O 2 /h) (Mc

algae di terumbu karang, karena bertambahnya

Closkey et al., 1978).

nutrisi yang terus mengalir dari darat ke laut atau

Oseana, Volume XLI, Nomor 2, Tahun 2016 : 14- 20

ISSN 0216-1877

Produktivitas primer pada terumbu

minyak bumi dan gas alam. Proses tenggelamnya

karang berkaitan dengan sistem respirasi atau

CO 2 melalui biota laut tersebut, umumnya disebut

fotosintesis. Pertukaran CO 2 di laut terjadi secara

dengan pompa biologis (biological pump).

Archaster typicus (ASTEROIDEA, ECHINODERMATA): SISTEMATIKA, Reaksi fisis juga memiliki berperan

biologis melalui organisme laut yang

berfotosintesis, seperti fitoplankton atau alga

dalam penyerapan CO 2 , baik dari atmosfer ke

PERGESERAN HABITAT, PERILAKU MEMBENAMKAN DIRI DAN

yang berfotosintesis dengan karang yang

dalam laut hingga pendistribusian CO 2 ke dalam

PERKAWINAN

memanfaatkan nutrien dan menyerap CO 2 di

laut salah satunya melalui massa air yang lebih

Oleh

atmosfer untuk proses fotosintesis. Proses

dingin atau pengadukan massa air yang lebih

fotosintesis memerlukan CO 2 dan sinar matahari,

dikenal dengan nama upwelling atau

Ana Setyastuti 1)

yang selanjutnya akan menghasilkan oksigen

downwelling. Faktor yang mempengaruhi antara

(O 2 ) serta air dan gula. Karbon yang diserap

lain kecepatan angin, tekanan parsial antara muka

tersebut akan terdistribusi kembali melalui jaring-

air laut, temperatur dan salinitas air laut. Semakin