Karakteristik reologi mi jagung dengan proses ekstrusi pemasak pencetak

(1)

KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN

PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK

TJAHJA MUHANDRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak – Pencetak

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Tjahja Muhandri

NIM F261020071


(3)

ABSTRACT

Tjahja Muhandri. F261020071. Rheological Characteristic of Corn Noodles Made with Extrusion Process. Under the suppervision of Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS as the chairman, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS, and Dr. Ir. Sutrisno, MAgr as advisory committe members.

This research generally aimed to prepare corn-based noodles which have good elasticity and low cooking loss by using extrusion process. In detail, this research has the objective to: (1) studythe effects of particle sizes, amounts of corn flour and corn starch in water, concentration of salt in corn flour and corn starch on gelatinization profile; (2) to optimize corn noodle extrusion using RSM, and (3) to study the effect of salt addition and number of passing in extruder on corn noodle characteristics.

The gelatinization profile of corn flour and corn starch were characterized by Brabender Visco Amylograph type D-4100 Duisburg. Corn noodles were prepared by Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C from Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Process optimization was conducted by using response surface methodology (RSM) with four parameters, i.e., 1) firmness; 2) stickiness, 3) elongation and 4) cooking loss. Firmness and stickness was set in range, elongation was set in maximum, and cooking loss was set in minimum.

It was found that the initial temperature and maximum temperature of gelatinization increased and peak viscosity decreased with the increase of particle sizes. Increasing concentration of corn flour and corn starch in water tended to decrease maximum temperature of gelatinization and increase peak viscosity, but it had no significant effect on initial temperature. The addition of sodium chloride

Process optimization showed that the optimum condition, with a desirability of 0.835, was achieved by the combination of 70% (dry basis) dough’s moisture content with the extruder temperature is 90

in corn flour increased significantly initial gelatinization temperature, maximum temperature of gelatinization, peak viscosity and cold viscosity. In the case of corn starch, the addition of sodium chloride 1% increased initial temperature and peak viscosity, but the addition more than 1% of concentration had no significant effect. The addition of sodium carbonate in corn flour and corn starch increased the initial temperature and peak viscosity, but decreased maximum temperature of gelatinization and cold viscosity.

o

In general, this research showed that firmness of corn noodle decreased by the increased of salt addition and by number of passing in extruder. In sodium carbonate addition, the optimum condition was obtained at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration of 0.11 or 0.12%, and number of passing in extruder for 3 times (desirability 0.836). Under this optimum condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 2242.29 gf, stickiness of -58.83 gf, elongation of 418.81%, and cooking loss of 3.66%. In sodium chloride addition, the optimum condition was achieved at moisture content of 80% (dry basis), salt concentration 2%, and number of passing for 3 times (desirability 0.877). Under this condition, predicted by RSM, corn noodles has firmness of 1855.23 gf, stickiness of -35.86 gf, elongation of 576.38%, and cooking loss of 2.62%. C and screw speed is 130 rpm. The RSM model predicted that the corn-based noodles prepared with optimum condition has firmness of 3039.79 gf, stickiness of -116.2 gf, elongation of 318.68%, and cooking loss of 4.56%.


(4)

RINGKASAN

Tjahja Muhandri. F261020071. Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak-Pencetak. Dibawah Bimbingan : Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Sutrisno, MAgr sebagai anggota komisi pembimbing.

Mi yang dibuat dari bahan baku non terigu memerlukan proses yang berbeda dengan mi dari terigu. Mi non terigu membutuhkan adanya mekanisme gelatinisasi dan retrogradasi pati untuk membentuk struktur mi yang kokoh. Bahan baku yang digunakan umumnya berupa pati.

Salah satu sumber pati yang berpotensi untuk digunakan adalah jagung. Pembuatan mi dari tepung jagung telah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun mutu mi yang dihasilkan masih kurang baik, terutama pada rendahnya elongasi dan

tingginya cooking loss mi. Hal ini diduga karena kurangnya tekanan shear yang

diterima adonan selama proses pembuatan mi. Penggunaan ekstruder tipe pemasak-pencetak untuk membuat mi jagung belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari sifat amilografi tepung akibat perbedaan ukuran partikel, konsentrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi serta akibat pengaruh penambahan garam (2) Optimasi kadar air adonan, suhu proses

dan kecepatan screw pada pembuatan mi jagung menggunakan ekstruder

pemasak-pencetak, dan (3) Mempelajari karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan

garam dan perlakuan passing.

Karakterisasi tepung jagung meliputi analisa proksimat dan kadar amilosa serta dan profil gelatinisasi tepung dan pati jagung. Bahan yang digunakan adalah

tepung jagung dari varietas P21. Profil gelatinisasi diukur menggunakan Brabender

Visco Amylograph tipe D-4100 Duisburg buatan Jerman

Optimasi proses dilakukan dengan variabel kadar air tepung (70, 75, 80% basis

kering), suhu ekstruder (80, 85, 90o

Pengaruh penambahan garam (sodium karbonat

C), dan kecepatan screw ekstruder (110, 120, 130

rpm). Analisis untuk menentukan kondisi optimum dilakukan menggunalanresponse

surface methodology (RSM) D-optimal Combine dengan dasar empat parameter yaitu

kekerasan dan kelengketan in range, elongasi maksimum dan cooking loss minimum.

Pembuatan mi jagung dilakukan menggunakan cooking-forming extruder model

Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C dari Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand.

dan sodium klorida), kadar air

dan jumlah passing melewati ekstruder dilakukan dengan masing-masing tiga level.

Pada penambahan sodium karbonat (Na2CO3),

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi maksimum meningkat, sedangkan viskositas puncak menurun dengan peningkatan ukuran partikel tepung jagung. Peningkatan konsenstrasi tepung jagung dan pati jagung dalam suspensi dapat menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan konsentrasi garam yang digunakan adalah 0, 0,3 dan 0,6, pada penggunaan sodium klorida (NaCl), konsentrasi yang digunakan 0, 1, dan 2%. Variabel kadar air adalah 70, 75, 80% (basis kering) dan

variabel jumlah passing adalah 1, 2 dan 3 kali melewati ekstruder. Data yang

diperoleh dianalisis dengan menggunakan RSM dengan persamaan kuadratik. Optimasi kondisi proses optimum dilakukan dengan konstrain utama kekerasan dan


(5)

meningkakan viskositas puncak, tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu awal gelatinisasi. Penambahan sodium klorida pada tepung jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas puncak dan viskositas

dingin (p<0,05). Untuk pati jagung, penambahan sodium klorida 1% dapat

meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi peningkatan kadar yang lebih tinggi lagi tidak memberikan dampak yang signifikan. Penambahan sodium karbonat pada tepung jagung dan pati jagung dapat meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan viskositas puncak, tetapi menurunkan suhu gelatinisasi maksimum dan viskositas dingin.

Pada tahap optimasi proses pembuatan mi, hasil penelitian menunjukkan

bahwa kondisi proses yang optimum, dengan nilai desirability 0,835, dihasilkan dari

kadar air adonan tepung jagung sebesar 70% (basis kering) yang diproses pada suhu

ekstruder 90o

Penelitian pengaruh penambahan garam dan perlakuan passing, menunjukkan

bahwa kekerasan mi jagung turun dengan penambahan garam dan perlakuan passing.

Pada penambahan sodium karbonat, kondisi proses optimum diperoleh pada kadar air

adonan 80% (basis kering), sodium karbonat 0,11 atau 0,12%, dan passing 3 kali

(nilai desirability 0,836). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki nilai

kekerasan 2242,29gf, kelengketan -58,83gf, elongasi 418,81%, dan cooking loss

3,66%. Pada penambahan sodium klorida, kondisi proses optimum diperoleh pada

kadar air adonan 80% (basis kering), sodium klorida 2%, dan passing 3 kali (nilai

desirability 0,877). Pada kondisi optimum tersebut, mi jagung memiliki kekerasan

1855,23gf, kelengketan -35,86gf, elongasi 576,38%, dan cooking loss 2,62%.

C dan kecepatan screw ekstruder 130 rpm. Prediksi model dari RSM

menunjukkan bahwa mi jagung yang dibuat pada kondisi optimum memiliki karakteristik kekerasan 3039,79gf, kelengketan -116,2gf, elongasi 318,68%, dan

cooking loss 4,56%. Mi dari prediksi model sedikit berbeda dengan kondisi aktual

dimana mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3199,10gf, kelengketan

-108,90gf, elongasi 351,60% dan cooking loss 2,28%. Pada kondisi optimum, mi

jagung yang dihasilkan memiliki karakteristik kekerasan yang lebih tinggi


(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KARAKTERISTIK REOLOGI MI JAGUNG DENGAN

PROSES EKSTRUSI PEMASAK – PENCETAK

TJAHJA MUHANDRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Feri Kusnandar : Dr. Emmy Darmawati

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Y. Aris Purwanto : Dr. Ridwan Thahir


(9)

Judul Penelitian : Karakteristik Reologi Mi Jagung dengan Proses Ekstrusi Pemasak – Pencet

ak

Nama : Tjahja Muhandri

Nrp : F 261020071

Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS

Anggota Anggota

Dr. Ir. Sutrisno, MAgr

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc Dr.Ir. Dahrul Syah


(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S3 di Program Studi IPN - IPB. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. P. Adil Basuki Ahza, P. Rizal Syarief dan P. Sutrisno selaku pembimbing. Arahan, dorongan dan bimbingan yang sabar terhadap diri saya semoga menjadi amal ibadah yang sangat besar pahalanya.

2. M. Feri dan B. Emmy yang bersedia menjadi penguji pada ujian tertutup. Terima kasih masukannya.

3. P. Ridwan Thahir dan P. Aris Purwanto yang telah bersedia menjadi penguji pada ujian terbuka. Terima kasih masukannya.

4. P. Subarna yang menemani sejak pembuatan proposal, penelitian dan pengolahan data. Terima kasih pula kepada P. Darwin, B. Betty Sri Laksmi Jenie, B. Ratih, P Sugiyono, M. Feri dan P. Dahrul yang banyak memberikan masukan dan dorongan. 5. Semua sahabat di Dept. ITP-FATETA-IPB.

6. Seluruh kawan-kawan teknisi dan laboran serta kawan-kawan di IPN. 7. P. Khairil Anwar dan P. Marimin. Salam hormat.

8. Semua teman yang telah membantu.

Penulis menyadari penuh bahwa naskah ini masih memiliki banyak kekurangan, sehingga penulis menerima semua kritik dan saran dalam bentuk apapun.

Sekali lagi, terima kasih.

Bogor, Januari 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 15 Mei 1972 sebagai putra ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Muchni dan Suwarti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor (1991 – 1996). Pada tahun 1999 penulis melanjutkan kuliah di Program S2 Teknik dan Manajemen Industri, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 2002. Program Doktor penulis jalani di Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2002.


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

DAFTAR ISTILAH ... xix

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG ... 1

TUJUAN ... 5

HIPOTESA ... 6

MANFAAT ... 6

TINJAUAN PUSTAKA KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG ... 8

GELATINISASI ... 11

PROSES PENEPUNGAN JAGUNG ... 14

SIFAT AMILOGRAFI ... 15

PROSES PEMBUATAN MI ... 19

EKSTRUDER ... 22

a.Ekstruder ... 22

b.Proses Ekstrusi ... 24

c.Ekstrusi Pasta ... 25

REOLOGI MI ... 25

HUBUNGAN KARAKTERISTIK AMILOGRAFI DENGAN REOLOGI MI ... 28

PENGUKURAN SIFAT REOLOGI MI ... 29

RESPONSE SURFACE METHODOLOGY (RSM) ... 31

METODOLOGI PENELITIAN BAHAN DAN ALAT ... 33

TEMPAT PENELITIAN ... 34

PELAKSANAAN PENELITIAN ... 34

Pembuatan Tepung Jagung ... 34

Karakterisasi Tepung dan Pati Jagung ... 35

Analisa Profil Gelatinisasi ... 36


(13)

xiii

Optimasi Proses Pembuatan Mi Basah ... 37

Optimasi Proses dengan Perlakuan Garam (Na2CO3 dan NaCl), Kadar Air dan Jumlah Passing ... 38

PENGARUH UKURAN PARTIKEL, BOBOT DAN PENAMBAHAN GARAM TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG DAN PATI JAGUNG ABSTRACT ... 40

ABSTRAK ... 40

PENDAHULUAN ... 41

METODOLOGI PENELITIAN ... 42

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

KESIMPULAN ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60

OPTIMASI PROSES EKSTRUSI MI JAGUNG DENGAN METODE RESPON PERMUKAAN ABSTRACT ... 63

ABSTRAK ... 63

PENDAHULUAN ... 64

METODOLOGI PENELITIAN ... 65

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

KESIMPULAN ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 77

PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) DAN JUMLAH PASSING PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG ABSTRACT ... 79

ABSTRAK ... 79

PENDAHULUAN ... 80

METODOLOGI PENELITIAN ... 81

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 83

KESIMPULAN ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 97

PEMBAHASAN UMUM ... 100

KESIMPULAN DAN SARAN ... 109


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung ... 1 Tabel 1.2. Karakateristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan

yang berbeda ... 3 Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung ... 8 Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981) ... 24 Tabel 4.1. Perbandingan karakteristik tepung jagung varietas P21 dengan

pati jagung yang diperoleh dari PT Suba Gel ... 45 Tabel 4.2. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 46 Tabel 4.3. Pengaruh konsentrasi partikel dalam suspensi terhadap profil

gelatinisasi tepung jagung dan pati jagung ... 49 Tabel 4.4. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ... 52 Tabel 4.5. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 54 Tabel 4.6. Pengaruh penambahan Na2CO3

Tabel 4.7. Pengaruh penambahan Na

terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ... 57

2CO3

Tabel 5.1. Independen variabel dan level masing-masing variabel pada

optimasi proses pembuatan mi dengan metode RSM ... 67 terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 57

Tabel 5.2. Hasil analisis kekerasan, kelengketan, elongasi dan cooking loss mi jagung ... 69 Tabel 5.3. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk keempat respon terukur .. 70 Tabel 5.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum ... 75 Tabel 5.5. Perbandingan karakteristik mi jagung dan spaghetti ... 76 Tabel 6.1. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada

perlakuan kadar air (X1), passing (X2) dan sodium karbonat (X3

Tabel 6.2. Rekapitulasi hasil analisis regresi untuk respon terukur pada perlakuan kadar air (X

) 83

1), passing (X2) dan sodium klorida (X3

Tabel 6.3. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada

penggunaan sodium karbonat ... 95 ) .. 84

Tabel 6.4. Nilai desirability untuk berbagai kondisi optimum pada


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung, (a) pemberian tekanan pada

adonan, dan (b) tanpa pemberian dorongan... 3

Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981) ... 9

Gambar 2.2. Sruktur amilopektin pada daerah kristalin dan amorf (Liu, 2005) 9 Gambar 2.3. Model struktur granula pati (Liu, 2005) ... 10

Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) ... 12

Gambar 2.5. Perubahan granula pati selama gelatinisasi dan retrogradasi (Srichuwong, 2006) ... 13

Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sowbhagya dan Bhattacharya, 2001) ... 16

Gambar 2.7. Profil gelatinisasi dan perubahan granula pati selama pemanasan (Srichuwong, 2006) ... 17

Gambar 2.8. Bagian-bagian penting alat ekstruder tunggal (Harper, 1981).. 24

Gambar 2.9. Kurva hasil pengukuran dengan TPA (Texture Profile Analyser) 30 Gambar 3.1. Ekstruder yang digunakan dalam penelitian ... 33

Gambar 3.2. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 34

Gambar 3.3. Diagram alir proses pembuatan tepung jagung... 35

Gambar 3.4. Diagram alir analisa profil gelatinisasi ... 36

Gambar 3.5. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung ... 38

Gambar 3.6. Diagram alir proses optimasi pembuatan mi jagung dengan perlakuan garam dan jumlah passing ... 39

Gambar 4.1. Pengaruh ukuran partikel terhadap profil gelatinisasi tepung jagung ... 46

Gambar 4.2. Hubungan pengaruh ukuran tepung jagung terhadap suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b) dan viskositas puncak (c) ... 47

Gambar 4.3. Pasting properties pati jagung dengan kadar amilosa rendah N7, N8, N9, amilosa sedang N10, N11 dan amilosa tinggi N4, N5, N6 (Tam et al, 2004) ... 48


(16)

xvi

Gambar 4.4. Pengaruh konsentrasi partikel terhadap profil gelatinisasi

tepung jagung ... 49

Gambar 4.5. Hubungan antara konsentrasi tepung jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b) ... 50

Gambar 4.6. Hubungan antara konsentrasi pati jagung dalam suspensi dengan suhu gelatinisasi maksimum (a) dan viskositas puncak (b) ... 50

Gambar 4.7. Pengaruh garam NaCl terhadap profil gelatinisasi tepung jagung 52 Gambar 4.8. Hubungan antara kadar NaCl dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50o Gambar 4.9. Pengaruh NaCl terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 54

C (d), viskositas breakdown (e) dan viskositas setback (f) pada profil gelatinisasi tepung jagung ... 53

Gambar 4.10. Pengaruh Na2CO3 Gambar 4.11. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50 terhadap profil gelatinisasi tepung jagung . 55

o Gambar 4.12. Pengaruh Na C (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi tepung jagung ... 56

2CO3 Gambar 4.13. Hubungan antara kadar dengan suhu awal gelatinisasi (a), suhu gelatinisasi maksimum (b), viskositas puncak (c), viskositas pada suhu 50 terhadap profil gelatinisasi pati jagung ... 58

o Gambar 5.1. Grafik RSM kekerasan mi jagung ... 71

C (d) dan viskositas breakdown (e) pada profil gelatinisasi pati jagung ... 59

Gambar 5.2. Grafik RSM kelengketan mi jagung ... 72

Gambar 5.3. Grafik RSM elongasi mi jagung ... 73

Gambar 5.4. Grafik RSM cooking loss mi jagung ... 74

Gambar 5.5. Grafik nilai desirability mi yang dihasilkan dengan kecepatan ulir 130 rpm, pada suhu dan kadar air yang berbeda ... 76

Gambar 5.6. Mi jagung yang dihasilkan pada kadar air 70%, suhu ekstruder 90oC dan kecepatan ulir 130 rpm... 76


(17)

xvii

Gambar 6.1. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh passing dan sodium karbonat ... 85 Gambar 6.2. Derajat gelatinisasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara

kadar air dengan passing (a) dan antara sodium klorida dengan

passing (b) ... 86 Gambar 6.3. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar

air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium

karbonat (b) ... 87 Gambar 6.4. Kekerasan mi jagung akibat pengaruh interaksi kadar air

dengan sodium klorida ... 88 Gambar 6.5. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar

air dengan sodium karbonat (a), antara kadar air dengan

passing (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) .... 89 Gambar 6.6. Kelengketan mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar

air dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium klorida (b) ... 90 Gambar 6.7. Elongasi mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar air

dengan passing (a) dan antara kadar air dengan sodium

karbonat (b) ... 91 Gambar 6.8. Elongasi mi jagung pada perlakuan kadar air, sodium klorida

dan passing ... 92 Gambar 6.9. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara kadar

air dengan passing (a), antara kadar air dengan sodium

karbonat (b) dan antara passing dengan sodium karbonat (c) .. 93 Gambar 6.10. Cooking loss mi jagung akibat pengaruh interaksi antara

kadar air dengansodium klorida ... 94 Gambar 6.11. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada

penggunaan sodium karbonat ... 96 Gambar 6.12. Visualisasi kondisi proses optimum pada passing 3 pada

penggunaan sodium klorida ... 96 Gambar 7.1. Struktur mikro mi jagung yang dihasilkan dari proses yang


(18)

xviii

Gambar 7.2. Struktur mikro mi jagung jika kondisi proses ekstrusi optimal (a) dan jika kondisi proses kurang mencukupi kebutuhan

teksturisasi selama ekstrusi (b). ... 103 Gambar 7.3. Konfigurasi ulir pada ekstruder pemasak-pencetak yang

digunakan dalam penelitian ... 105 Gambar 7.4. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan

dan shear stress yang tidak optimal ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ... 106 Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan

dan shear stress yang cukup ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) ... 107 Gambar 7.6. Model adonan pati yang diusulkan pada pembuatan mi (Chen,

2003)... 107 Gambar 7.7. Perubahan granula pada pembuatan mi pati ketika mi dicetak


(19)

DAFTAR SINGKATAN

BU : Brabender Unit

CGM : Corn Gluten Meal

DSC : Differential Scanning Calorimetry

IRRI : International Rice Research Institute

LMW : Low Moleculer Weight

P21 : Pioneer 21

PP : Polyprophylene

RPM : Rotation Per Minute

RSM : Response Surface Methodology

SEM : Scanning Electron Microscope

TPA : Texture Profile Analyzer


(20)

DAFTAR ISTILAH

Amilopektin : Polisakarida dengan molekul bercabang pada rantai

lurusnya, memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang terdapat

pada setiap 20-25 unit glukosa

Amilosa : Molekul linier (rantai lurus) polisakarida dengan ikatan α

-1:4

Cooking loss : Banyaknya padatan dalam mi yang terurai ke dalam air selama proses pemasakan

Derajat gelatinisasi : Persentase granula yang telah mengalami gelatinisasi

Ekstruder : Alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi

Ekstruder pemasak : Ekstruder yang dilengkapi satuan pemanas / proses

pemasakan dengan injeksi uap (secara langsung) atau dari jaket pemanas (secara tidak langsung)

Ekstruder ulir tunggal

: Ekstruder yang memiliki satu buah ulir(screw)

Elongasi : Pertambahan panjang maksimum suatu bahan yang

mengalami tarikan sebelum putus

Gelatinisasi : Proses perubahan sifat pati yang ditandai dengan keluarnya

amilosa dan amilopektin karena pengaruh fisik (panas dan air) dan mekanik (tekanan).

Kekerasan : Gaya maksimum yang diperlukan untuk menekan sampai

terjadi perubahan bentuk yang telah ditetapkan

Kelengketan : Gaya yang dibutuhkan untuk menarik bagian pangan dan

memisahkannya dari lempeng kompresi

Passing : Jumlah (ulangan) adonan dicetak melewati ekstruder

Profil gelatinisasi : Karakteristik yang ditunjukkan oleh suspensi pati atau

tepung ketika mengalami gelatinisasi oleh panas

Reologi : Ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Pada bahan padat

reologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair hubungan antara gaya dengan aliran


(21)

Response Surface Methodology

: Teknik statistik dan matematik yang digunakan untuk

pengembangan, perbaikan dan optimasi proses dalam respon utama yang diakibatkan oleh beberapa variabel dan

tujuannya adalah optimasi respon tersebut

Retrogradasi : Proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati yang telah

tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu, ketika adonan didinginkan

Sifat amilografi : Sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan

menggunakan alat Brabender Amilograph

Suhu awal gelatinisasi

: Suhu pada suspensi ketika granula pati atau tepung mulai

membengkak dan amilosa keluar dari granula, yang ditandai dengan naiknya viskositas suspensi

Suhu gelatinisasi maksimum

: Suhu ketika suspensi pati atau tepung mencapai viskositas

puncak

Tekanan shear : Tekanan yang bersifat geser, arahnya tidak tegak lurus

dengan materi yang terkena tekanan

Tensile strength : Gaya yang diperlukan untuk menarik suatu benda hingga putus

Titik awal gelatinisasi

: Kondisi yang terjadi pada pati ketika granula mengembang

dan amilosa mulai keluar dari granula

Viskositas break

down

: Nilai yang dihitung dari viskositas puncak dikurangi dengan

viskositas terendah pada saat pemanasan diteruskan

Viskositas dingin : Nilai viskositas yang dicapai pada waktu suhu Brabender

Amilograph diturunkan hingga mencapai suhu 50oC

Viskositas puncak : Nilai maksimum viskositas yang dicapai ketika suspensi pati

atau tepung mengalami proses pemanasan

Viskositas set back : Nilai dihitung dari viskositas pada suhu 50oC dikurangi dengan viskositas terendah yang dicapai suspensi


(22)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Berbagai penelitian tentang teknik pembuatan mi jagung telah dilakukan dan secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) pembuatan mi jagung

dengan teknik ekstrusi (Waniska et al., 1999), dan (2) teknik pembuatan mi jagung

dengan pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sleeting) atau modifikasi

teknik mi terigu (Budiyah, 2004; Fitriani, 2004).

Mi jagung yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya memiliki karakteristik

yang belum sesuai dengan karakteristik mi yang baik, yaitu cooking loss yang rendah

dan elongasi yang tinggi. Hasil penelitian sebelumnya (Tabel 1.1.) menunjukkan

bahwa mi jagung yang dihasilkan memiliki karakteristik cooking loss yang tinggi dan

beberapa peneliti tidak melakukan pengukuran terhadap elongasi produk mi jagung.

Tabel 1.1. Teknologi pembuatan dan karakteristik produk mi jagung

No. Peneliti Teknologi Proses Bahan Baku Utama

Karakteristik Utama Mi

1. Waniska et al. (1999) Ekstruder pasta (mi

kering)

Tepung jagung Cooking loss 47%

Elongasi tidak diukur

2. Budiah (2004) Kalendering (mi

instant)

Pati jagung Cooking loss 20,10%

Elongasi tidak diukur

3. Fitriani (2004) Kalendring (mi

instant)

Tepung jagung Cooking loss 8,35%

Elongasi tidak diukur

4. Kurniawati (2006) Kalendering (mi

basah)

Pati jagung, CGM Cooking loss 16,53%

Elongasi 20,55%

5. Rianto (2006) Kalendering (mi

basah)

Tepung jagung Cooking loss 17,79%

Elongasi 20,05%

6. Soraya (2006) Kalendering (mi

basah)

Tepung jagung Cooking loss 10,10%

Elongasi 14,70%

Karakteristik protein yang dimiliki oleh jagung tidak mampu menghasilkan adonan yang elastis pada kondisi dingin, sehingga pada kedua teknik di atas, adonan

tepung jagung perlu digelatinisasi terlebih dahulu. Pada teknik sheeting dan sleeting

kendala yang dihadapi adalah mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung jagung yang telah digelatinisasi. Pada kondisi suhu ruang, suhu adonan akan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum


(23)

2 Pembuatan mi jagung dengan bahan baku jagung ukuran tepung (lolos ayakan

80 mesh) dan maize meal (lolos ayakan 40 mesh) telah dilakukan oleh Waniska et al.

(1999). Jenis ekstruder yang digunakan adalah pasta maker untuk rumah tangga,

memiliki 24 lubang die dengan diameter die 1,5 mm, chamber berukuran diameter 45

mm dan panjang 85 mm. Namun mi jagung yang dihasilkan memiliki cooking loss

yang terlalu tinggi yaitu di atas 47%.

Tingginya cooking loss diduga karena adonan tidak cukup mengalami

kompresi dan tekanan shear. Ekstruder tidak mampu memecah granula tepung,

sebagian pati yang telah tergelatinisasi masih terikat dalam granula tepung. Ketika retrogradasi, ikatan hidrogen antar amilosa tidak terjadi secara sempurna pada seluruh bagian mi sehingga struktur mi kurang kokoh.

Kelemahan pada teknik pembuatan mi jagung yang dikembangkan oleh

Waniska et al. (1999) yaitu dengan teknik pencetakan menggunakan ekstruder pasta

adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke dalam zona pengumpanan di dalam ekstruder. Kondisi ini terjadi karena adonan sudah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga memiliki sifat panas dan lengket. Kecepatan ulir bersifat konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir pada ekstruder pasta yang memiliki permukaan halus menyebabkan adonan mengalami selip dan tidak terdorong secara maksimal menuju

die. Ulir tipe constant root dengan jarak antar flight yang sama, sehingga tidak

memiliki compression section.

Charutigon et al. (2007) menyatakan bahwa vermicelli dari tepung beras yang

diproses dengan ekstruder pemasak-pencetak memiliki cooking loss 14,2% dan dapat

diterima oleh panelis terlatih pada kecepatan screw 50 rpm (kecepatan aliran sekitar

750 gr/jam). Pada kecepatan aliran 400-700 gr/jam, vermicelli tidak diterima oleh

panelis. Ekstruder yang digunakan adalah ekstruder ulir tunggal dengan dua buah die

yang berukuran 0,6 mm.

Pengaruh tekanan yang diterima adonan terhadap karakteristik mi basah jagung diteliti oleh Muhandri dan Subarna (2009) menggunakan ekstruder pasta yang

sama dengan yang digunakan oleh Waniska et al. (1999). Perlakuan pemberian

dorongan pada adonan untuk memasuki zona kompresi dapat mempersingkat waktu proses dari 2 menit 52 detik menjadi 2 menit 33 detik. Mi basah jagung memiliki

karakteristik yang lebih baik, elongasi lebih tinggi dan cooking loss lebih rendah


(24)

3 Tabel 1.2. Karakteristik mi basah jagung dengan metode pengumpanan yang

berbeda

Karakteristik Mi Basah Jagung

Metode Pengumpanan pada saat Pencetakan Adonan Tidak Diberi

Dorongan

Adonan Diberi Dorongan

Cooking Loss (%) 7,15 ± 0,11 5,56 ± 0,04

Elongasi(%) 108,46 ± 2,78 126,29 ± 6,29

Menurut Muhandri dan Subarna (2009), berdasarkan hasil foto SEM (Gambar 1.1), struktur mi basah jagung yang dibuat ekstruder pasta yang diberikan dorongan (tekanan) pada adonan terlihat lebih kompak dibandingkan dengan tanpa pemberian dorongan. Granula tepung terlihat menyatu satu dengan lainnya (Gambar 1.1.a).

.

Pada penelitian ini digunakan ekstruder pemasak-pencetak. Adonan dimasukkan ke dalam zona pengumpanan dalam keadaan mentah (belum

tergelatinisasi) sehingga aliran adonan lebih lancar. Ulir memiliki compression

section sehingga terjadi tekanan yang cukup besar di dalam ekstruder.

Di Indonesia, belum ada peneliti yang melaporkan varietas jagung yang cocok

untuk dibuat mi. Namun Tam et al. (2004) memberikan karakteristik berupa

kandungan amilosa sekitar 27-30% yang cocok untuk dibuat bihun dari jagung. Penelitian ini akan menggunakan tepung jagung yang memiliki kandungan amilosa normal.

Reologi mi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dapur dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa

Gambar 1.1. Foto SEM mi basah jagung yang dibuat dengan :

(a) pemberian dorongan pada adonan

(b) tanpa pemberian dorongan


(25)

4 yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan

kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara (Moss et al., 1986).

Pada adonan terigu, kondisi basa menyebabkan adonan menjadi lebih liat dan

ekstensibel (Moss et al., 1986). Perubahan ini terjadi akibat oksidasi grup sulfidril,

pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk ikatan protein dengan berat molekul lebih tinggi.

Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan garam basa

atau kansui (campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan

1:1) sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength

paling kuat yaitu sebesar 43±3 mN. Tensile strength mi dengan penambahan garam

basa berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan 1,00 % adalah 25±1 mN, 31±2 mN, 43±3 mN

dan 36±2 mN. Namun semakin tinggi garam basa, cooking loss mi semakin tinggi

pula. Cooking loss mi dengan penambahan kansui berturut-turut 0,00, 0,25, 0,50 dan

1,00% adalah 5,58±0,38 %, 6,94±0,31 %, 15,74±0,51 % dan 19,20±0,46 %.

Menurut Shiau dan Yeh (2001), kansui dapat meningkatkan perubahan ikatan

S-H menjadi S-S. Dimana S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein. Sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak.

NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu NaCl dapat memperkuat adonan dan meningkatkan penyerapan air. Namun penggunaan NaCl di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang

elastis, sehingga disarankan penggunaannya tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reologi produk mi ternyata juga berpengaruh terhadap sifat reologi suspensi tepung atau pati yang digunakan sebagai

bahan baku pembuatan mi. Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1%

natrium karbonat dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi maksimum. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas rata-rata 300 – 1000 BU. Chen (2003), meneliti sifat amilografi pati kentang dan menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai viskositas maksimum dan suhu gelatinisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan

suspensi pati dalam aquades, namun nilai viskositas dingin (cold viscosity) lebih


(26)

5 Informasi tentang sifat-sifat suspensi tepung atau pati yang berkaitan dengan viskositas dan gelatinisasi merupakan suatu informasi penting yang diperlukan untuk menduga karakteristik suatu produk pasta berbasis tepung atau pati. Menurut Chen (2003), mutu mi dari pati dapat diprediksi dari sifat-sifat gel pati, karena gel pati yang

lebih keras dapat menghasilkan mutu pemasakan (elastisitas lebih tinggi dan cooking

loss lebih rendah) dan mutu organoleptik mi yang lebih baik. Lebih lanjut Chen

menemukan bahwa viskositas dingin (cold viscosity) campuran tepung dalam larutan

NaCl 1,5 % menunjukkan hubungan yang signifikan dengan cooking loss, elongasi

dan tensile strength.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil gelatinisasi tepung jagung akibat pengaruh garam, sifat-sifat reologi mi jagung yang dibuat dengan teknik ekstrusi, mempelajari hubungan antara sifat-sifat amilografi tepung dengan reologi mi jagung, optimasi proses pembuatan mi jagung dan bagian terakhir penelitian ini bertujuan

untuk melihat pengaruh penambahan garam dan passing (ulangan adonan melewati

ekstruder) terhadap sifat reologi mi jagung.

Bagian Pertama disertasi ini adalah Pendahuluan yang berisi kondisi yang melatarbelakangi pentingnya penelitian ini dilakukan, tujuan, hipotesa dan manfaat penelitian. Bagian Kedua berisi Tinjauan Pustaka yang terkait dengan penelitian. Bagian Ketiga menggambarkan Tahapan Penelitian secara keseluruhan dan metode (langkah) dalam setiap tahap penelitian. Bagian Keempat berisi Pengaruh Ukuran Partikel, Konsentrasi dalam Air dan Garam terhadap Profil Gelatinisasi Tepung dan Pati Jagung, Bagian Kelima Optimasi Proses Ekstrusi Mi Jagung dengan Metode Respon Permukaan, dan Bagian Keenam berisi Pengaruh Garam (Sodium Karbonat

dan Sodium Klorida) dan Passing pada Optimasi Proses Mi Jagung. Pada Bagian

Ketujuh disajikan pembahasan umum dari semua hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini.

TUJUAN

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi proses yang

dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik (cooking loss

rendah dan elongasi tinggi), serta perubahan yang terjadi pada mi basah jagung akibat

penambahan garam pada adonan dan perlakuan passing. Selain itu penelitian ini juga


(27)

6 Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :

1. Mempelajari profil gelatinisasi tepung dari berbagai ukuran partikel. Dikaji pula

profil gelatinisasi pada tepung dan pati jagung akibat perbedaan konsentrasi dalam suspensi dan akibat penambahan garam.

2. Mendapatkan kondisi proses yang optimum pada pembuatan mi jagung

menggunakan ekstruder pemasak-pencetak, dengan variabel kadar air adonan, suhu ekstruder dan kecepatan ulir ekstruder.

3. Mengkaji perubahan karakteristik reologi mi jagung akibat penambahan garam

dan passing (jumlah ulangan adonan melewati ekstruder). Garam yang digunakan adalah sodium karbonat dan sodium klorida.

HIPOTESA

Hipotesa penelitian ini adalah :

1. Ukuran partikel tepung, konsentrasi tepung dalam suspensi dan garam (Na2CO3

2. Kombinasi kadar air, suhu dan kecepatan ulir ekstruder yang sesuai, dapat

menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik (elongasi tinggi dan

cooking loss rendah).

dan NaCl) berpengaruh terhadap sifat amilografi tepung jagung. Semakin besar ukuran partikel, diperlukan suhu yang lebih tinggi untuk memulai gelatinisasi serta untuk mencapai gelatinisasi maksimum, namun semakin rendah viskositas puncak. Penambahan garam dapat meningkatkan suhu awal dan suhu gelatinisasi maksimum serta viskositas puncak. Semakin tinggi konsentrasi tepung dalam suspensi, viskositas puncak semakin tinggi.

3. Penambahan garam (Na2CO3

MANFAAT

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

dan NaCl) serta perlakuan passing dapat

mempengaruhi karakteristik mi basah jagung. Semakin tinggi garam yang

ditambahkan dan semakin sering adonan dilewatkan ekstruder (passing) kekerasan

mi akan semakin turun.

1. Menyediakan informasi tentang pengaruh konsentrasi tepung atau pati jagung


(28)

7 pengkondisian kadar air yang sama ketika akan peneliti lain akan melakukan pengukuran profil gelatinisasi.

2. Memberikan informasi tentang kondisi proses meliputi kadar air, suhu dan

kecepatan ulir ekstruder yang dapat menghasilkan mi basah jagung dengan karakteristik yang baik.

3. Menunjukkan pentingnya faktor suhu dan tekanan pada pembuatan mi yang

menggunakan bahan baku selain terigu (misalnya tepung jagung, tepung sorghum atau tepung singkong).

4. Memberikan gambaran tentang penggunaan jenis garam dan konsentrasi yang


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

KOMPOSISI KIMIA BIJI JAGUNG

Pati jagung terdiri dari amilosa dan amilopektin yang terutama berada pada bagian endosperma. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaga. Asam lemak penyusunnya terdiri dari asam lemak jenuh seperti palmitat dan stearat serta asam lemak tidak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Komposisi kimia biji jagung

Komponen Pati (%) Protein (%) Lipid (%) Gula (%) Abu (%)

Biji utuh Endosperma Lembaga Perikarp Tip cap 71,5 86,4 8,2 7,3 5,3 10,3 9,4 18,8 3,7 9,1 4,8 0,8 31,5 1,0 3,8 2,0 0,6 10,8 0,3 1,6 1,4 0,3 10,1 0,8 1,6

Sumber : Inglett, 1970.

Granula pati jagung mengandung amilosa dan amilopektin, dengan kadar amilosa sekitar 27 % dan amilopektin sekitar 73 %. Keduanya merupakan polimer dengan bobot molekul yang tinggi. Polimer tersebut tersusun dari unit–unit D-glukosa. Amilopektin yang berbentuk rantai cabang mengandung 40.000 atau lebih unit glukosa. Sedangkan amilosa yang berupa rantai lurus mengandung 1000 unit glukosa (Inglett, 1970).

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Menurut Harper (1981) amilosa merupakan molekul

linier polisakarida dengan ikatan α-1:4, sedangkan amilopektin merupakan struktur

seperti amilosa pada rantai lurusnya tetapi memiliki ikatan β-1:6 pada cabang yang

terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa (lihat Gambar 2.1).

Pati jagung terdiri dari bagian yang bersifat kristalin dan bagian amorf, yang letaknya berselang seling membentuk cincin berlapis mengelilingi hilum. Bagian kristalin berisi rantai ikatan pendek dari amilopektin yang berklaster-klaster. Bagian


(30)

9 amorf berisi percabangan amilopektin dan amilosa (Liu, 2005). Model untuk molekul amilopektin pada daerah kristalin dan amorf dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.1. Struktur amilosa dan amilopektin (Harper, 1981)

Gambar 2.2. Sruktur amilopektin pada daerah kristalin (1) dan amorf (2) (Liu, 2005)


(31)

10 Hilum granula pati ada yang berada di tengah dan ada yang cenderung berada di tepi granula, tergantung asal pati tersebut. Liu (2005) menggambarkan model struktur pati seperti pada Gambar 2.3.


(32)

11 Menurut (Inglett, 1970), protein yang terkandung pada jagung mencapai 10% dari biji utuh. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan skleroprotein. Hampir 85% minyak jagung terdapat pada bagian lembaga. Asam lemak yang terkandung pada minyak jagung terdiri dari 59% linoleat, 27% oleat, 12% palmitat, 2% stearat, 0,8% linolenat dan 0,2% arakhinat. Komponen lain yang terdapat dalam minyak jagung selain asam lemak adalah vitamin A, vitamin D, vitamin E (0,3–0,7 mg/g), sterol, sterol ferulat (25 mg/g), squalen (0,16–0,42 mg/g), dan ubiquinon (0,12–0,21 mg/g).

GELATINISASI

Pada dasarnya mekanisme gelatinisasi terjadi dalam tiga tahap, yaitu : (1) penyerapan air oleh granula pati sampai batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai

kehilangan sifat birefriengence-nya dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu

terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Swinkels, 1985).

Menurut Fennema (1985), suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat

birefriengence pati mulai menghilang. Fenomena gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati.

Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan

Differential Scanning Calorimetry (BeMiller et al., 1995).

Menurut Wurzburg (1989), granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi menyerap air bila berada dalam kelembaban tinggi atau direndam dan akan kembali ke bentuk semula bila kelembaban diturunkan atau pati dikeringkan. Bila campuran pati dengan air dipanaskan hingga di atas suhu kritis, maka ikatan hidrogen yang mengatur integritas struktur pati akan melemah sehingga air masuk dan terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin. Titik awal gelatinisasi terjadi ketika granula mengembang dan amilosa keluar dari granula. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya akan meningkat terus hingga mencapai puncak di mana granula mengalami hidrasi maksimum. Apabila pemanasan diteruskan, maka granula menjadi rapuh, pecah dan terpotong-potong dan viskositasnya menurun.


(33)

12 Menurut Harper (1981) mekanisme gelatinisasi dapat digambarkan sebagai berikut.

Srichuwong (2006) menggambarkan perubahan granula pati pada proses gelatinisasi dan retrogradasi seperti dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pati mengalami pengembangan dengan peningkatan suhu. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan oleh melemahnya ikatan hidrogen yang menghubungkan molekul amilosa dan amilopektin sehingga mengganggu kekompakan granula pati. Jika pemanasan diteruskan, sebagian amilosa keluar. Setelah pengembangan maksimum

dan pemanasan dilanjutkan, granula akan pecah (rupture). Pada saat pendinginan

akan terjadi penggabungan kembali rantai linier pati.

Gambar 2.4. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)

Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

Adanya panas dan air menyebabkan

pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

Granula hanya

mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel


(34)

13 Gelatinisasi tidak hanya dipengaruhi oleh air dan panas saja, tetapi juga

dipengaruhi oleh tekanan. Dengan tekanan shear yang tinggi, tidak diperlukan air

yang banyak untuk terjadinya gelatinisasi. Derby et al. (1975) meneliti gelatinisasi

tepung terigu pada proses ekstrusi dan menemukan bahwa pada kadar air 33% mulai terjadi pembengkakan granula, pada kadar air di atas 50% dapat terjadi gelatinisasi sempurna.

Menurut Tan et al. (2008) pada tekanan atmosfer, diperlukan suhu sekitar

85oC untuk membuat pati beras tergelatinisasi sempurna. Namun dengan tekanan

500 Mpa, pada suhu 50oC, pati sudah tergelatinisasi sempurna. Pada tekanan

atmosfer, pati beras mulai tergelatinisasi pada suhu 50oC, tetapi pada tekanan 200

Mpa pati sudah mulai tergelatinisasi pada suhu 20o

Granula pati mempunyai ukuran diameter 3-26 μm, sedangkan rata-rata

ukuran granula pati jagung adalah 15 μm. Pati dengan ukuran granula besar

mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati

dengan granula yang berukuran kecil. Pengamatan dengan DSC (Differential

Scanning Calorimeter) menunjukkan bahwa pati dengan ukuran kecil mempunyai C.

Gambar 2.5. Perubahan granula pati selama gelatinisasi dan retrogradasi (Srichuwong, 2006)


(35)

14 suhu awal gelatinisasi lebih rendah dibandingkan dengan pati yang berukuran lebih besar (Wirakartakusumah, 1981).

PROSES PENEPUNGAN JAGUNG

Proses penepungan jagung dapat dilakukan melalui dua cara yaitu proses penggilingan basah dan proses penggilingan kering. Pada penggilingan kering tidak dilakukan tahap perendaman biji jagung seperti pada proses penggilingan basah. Produk yang dihasilkan pada penggilingan basah biji jagung adalah pati. Sedangkan

produk yang dihasilkan dari penggilingan kering biji jagung adalah grits, meal dan

flour (Inglett, 1970).

Secara garis besar, proses penepungan jagung melalui teknik penggilingan basah terdiri atas tahap pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, sentrifugasi, dan pengeringan. Proses penepungan jagung diawali dengan pencucian biji jagung. Proses ini perlu dilakukan untuk memisahkan biji jagung dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi (Inglett, 1970).

Tahap selanjutnya adalah perendaman. Perendaman dilakukan untuk melunakkan biji jagung dan memfasilitasi disintegrasi protein yang mengikat granula pati di dalam biji. Selanjutnya dilakukan pemisahan lembaga pada biji jagung

menggunakan degerminating mill yang terdiri dari dua pelat logam yaitu pelat statis

dan pelat berputar dengan projecting teeth. Alat ini bertujuan menyobek biji jagung

sehingga lembaga dapat lepas tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan

kasar ini selanjutnya dialirkan ke hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan

(Inglett, 1970).

Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memisahkan partikel kasar. Hasil

penyaringan kemudian digiling menggunakan atrition mill sehingga pati benar–

benar keluar. Lalu slurry hasil penggilingan dialirkan ke gyratory shaker untuk

memisahkan serat halus. Hasilnya yang tersisa sekarang adalah pati dan gluten. Untuk memisahkan pati dan gluten, digunakan sentrifuse dengan kecepatan tinggi sebanyak dua kali sehingga gluten yang tersisa dapat terpisahkan. Tahap terakhir, pati dikeringkan menggunakan oven kemudian digiling (Inglett, 1970).

Tahapan proses pada penggilingan kering berbeda dengan tahapan pada proses penggilingan basah biji jagung. Tahapan pertama yang dilakukan pada


(36)

15 penggilingan kering adalah pembersihan biji jagung, jika diperlukan dapat dilakukan pencucian. Kemudian dilakukan tempering dengan penambahan air yang terkontrol. Hal ini dilakukan untuk melunakkan biji jagung sehingga mempermudah pelepasan

lembaga dari endosperma jagung. Setelah tempering, dilakukan degerming untuk

melepaskan kulit, tip cap, dan lembaga. Lalu dilakukan pengeringan dan

pendinginan untuk persiapan fraksinasi. Fraksinasi dilakukan menggunakan

serangkaian alat yaitu roller mill, sifter, gravity table separator, dan purifier untuk

memisahkan komponen grits, meal, dan flour. Tahap terakhir dilakukan pengeringan

jika diperlukan (Inglett, 1970).

SIFAT AMILOGRAFI

Sifat amilografi adalah sifat-sifat pati atau tepung yang diidentifikasi dengan

menggunakan alat Brabender Amylograph. Sifat amilografi meliputi suhu awal

gelatinisasi, suhu gelatinisasi maksimum, viskositas maksimum, viskositas balik dan

viskositas dingin (suhu 50o

Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Tetapi tidak semua amilosa terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al., 1988). Perubahan morfologis granula pati selama pengembangan tergantung pada sifat alami pati itu sendiri. Kemampuan pembengkakan granula biasanya dihitung dengan daya pengembangan (berat pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada suhu tertentu (Konik, 2001).

C).

Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakteristik pati dan aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak, dan

viskositas balik dapat ditentukan dengan Visco Amylograph Brabender (Chen,


(37)

16 Gambar 2.6. Ilustrasi kurva sifat-sifat amilografi (Sumber: Sowbhagya dan

Bhattacharya, 2001)

Sifat-sifat adonan ini sangat berguna sebagai indikator pada aplikasi pati. Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat pada Gambar 2.6 meliputi:

1. Viskositas maksimum (PV) adalah nilai maksimum viskositas yang dicapai

selama proses pemanasan

2. Viskositas panas (V95i) adalah viskositas yang dicapai pada suhu 95o

3. Viskositas panas 10 menit (V

C

95t) adalah viskositas pada saat 10 menit setelah

dicapai suhu 95o

4. Viskositas dingin (V

C

50) adalah viskositas yang dicapai pada waktu

pendinginan mencapai suhu 50oC.

Selama penyimpanan, adonan menjadi keruh dan biasanya terbentuk endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati. Pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan helix-helix. Fenomena ini disebut retrogradasi. Retrogradasi adalah proses yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu yang merupakan proses larutnya rantai linier polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul. Fenomena retrogradasi merupakan hasil ikatan


(38)

17 hidrogen antara molekul pati yang mempunyai gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen. Pada tahap awal, dua atau lebih rantai molekul pati membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin (Srichuwong, 2006). Perubahan granula selama proses pemanasan menggunakan Rapid Visco Analyzer dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat pada bagian luar molekul amilopektin (Daniel dan Weaver, 2000). Amilopektin yang terkristalisasi

Gambar 2.7. Profil gelatinisasi dan perubahan granula pati selama pemanasan (Srichuwong, 2006)


(39)

18

dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC, sementara amilosa

yang terekristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130o

Karakterisasi sifat amilografi diperlukan untuk beberapa tujuan diantaranya adalah identifikasi perubahan respon amilografi akibat perbedaan variabel bahan atau proses, pendugaan sifat pati dan tepung selama pengolahan dan identifikasi data

awal untuk keperluan set up peralatan pengolahan pati dan tepung.

C (Zhang dan Jackson, 1992).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sifat amilografi diantaranya adalah:

1. Ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati

(Vidal dan Juliano, 1967).

2. pH/penambahan garam basa (Moss et al., 1986).

3. Enzim pektinolitik dan selulotik akibat fermentasi mikroba (Subagio, 2006).

4. Suhu penyimpanan dan lama penyimpanan (Villareal et al., 1976).

5. Modifikasi pati (modified starch) baik dengan hidrolisis, oksidasi, fosforilasi,

substitusi maupun pre gelatinisasi (Luallen, 1989).

Lebih lanjut Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1% natrium

karbonat dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi serta viskositas puncak. Pada semua kasus terjadi peningkatan viskositas rata-rata 300 – 1000 BU.

Chen (2003), meneliti sifat amilografi pati ubi jalar dan menemukan bahwa suspensi pati dalam larutan NaCl 1,5% memberikan nilai suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi dan viskositas puncak yang lebih rendah dibandingkan dengan suspensi pati dalam aquades. Menurut Koch dan Jane (2000), ion dari NaCl memiliki interaksi elektrostatik dengan air yang lebih kuat dengan air dan mendorong terjadinya ikatan hidrogen diantara molekul-molekul air. Interaksi elektrostatik ini juga meningkatkan viskositas larutan. Kondisi ini menghambat molekul air untuk masuk ke dalam granula pati. Perlu waktu lebih lama dan suhu lebih tinggi untuk mulai terjadinya gelatinisasi. Selain itu kondisi ini menyebabkan viskositas suspensi pati dengan penambahan NaCl menjadi lebih rendah dibanding suspensi tanpa penambahan NaCl.

Hal berbeda terjadi pada suspensi tepung terigu, barley dan rye, dimana NaCl

meningkatkan suhu awal gelatinisasi dan suhu puncak gelatinisasi (Linko et al.,


(40)

19 peningkatan viskositas maksimum yang sangat tajam. Penambahan NaCl dapat menyebabkan peningkatan resistensi granula pati terhadap break down dan

menghambat aktivitas amilolitik dalam tepung yang mengandung α-amilase.

Menurut Linko et al. (1984), interaksi antara ion-ion garam dengan protein

gluten terigu merubah kondisi fisik dari molekul protein sehingga mengurangi daya ikat air dari gluten. NaCl diperkirakan menutupi aktivitas muatan molekul dengan interaksi gugus polar protein. Garam meningkatkan waktu pembentukan dan meningkatkan stabilitas adonan terigu, meningkatkan ekstensibilitas serta meningkatkan resistensi adonan.

Menurut Moss et al. (1986), garam basa menyebabkan tepung terigu lebih

cepat mengalami gelatinisasi dan menghasilkan mi yang lebih lunak. Selain itu garam basa akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Garam basa yang biasa digunakan

(Na2CO3 dan K2CO3

Menurut Suhendro et al. (2000), ukuran partikel memberikan pengaruh yang

sangat signifikan terhadap mutu mi non terigu, semakin kecil ukuran tepung mi yang

dihasilkan semakin bagus. Menurut Waniska et al. (1999), tepung jagung dengan

ukuran partikel kecil lebih bagus untuk dibuat mi dibandingkan dengan maize meal.

) pada konsentrasi 1% dapat menghasilkan warna kuning dan flavor yang khas yang disukai oleh konsumen. Namun penambahan NaOH 1% menyebabkan warna kuning tidak terbentuk, karena pH adonan mencapai 11,4, dimana pada pH tersebut diduga berada diluar kisaran aktivitas enzim pembentuk warna gelap ada adonan. Selain itu NaOH 1% menyebabkan adonan menjadi begitu lengket dan sulit untuk ditangani.

PROSES PEMBUATAN MI

Mi pada umumnya dibuat dengan bahan tepung terigu. Menurut Wals dan Gille (1974), proses pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan dan pengeringan. Terigu dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis. Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25


(41)

20

menit pada suhu 25-40o

Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Sedangkan jika jumlah air yang ditambahkan berlebih,

maka adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al., 1985).

C. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak

menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm.

Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit

dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika

dilanjutkan dengan pengeringan (60oC selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika

digoreng dengan suhu 140-150o

Pasta dan adonan dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan

produk dan mengurangi kehilangan selama pemasakan (cooking loss). Mi non terigu

(misal mi beras, kacang hijau dan ubi jalar) memanfaatkan pati daripada protein untuk membentuk struktur mi. Mi berbasis pati biasanya memiliki penampakan yang

jernih dan tesktur yang sangat elastis (Xu dan Seib, 1993, Kohlwei et al., 1995).

Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder pasta tipe rumah tangga untuk

membuat mi berbahan tepung jagung dari tepung dan air yang dipanaskan.

C sampai kadar airnya 3-5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo, 1985).

Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorghum (Fuglie dan Hermann, 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai kering (Wiersema, 1992).

Pembuatan mi jagung dapat dilakukan dengan menggunakan sistem ekstrusi.


(42)

21 dasar tepung jagung dan air yang dipanaskan. Proses pembuatan mi jagung diawali dengan pencampuran tepung jagung, garam, natrium metabisulfit, dan air. Penambahan natrium metabisulfit dapat meningkatkan viskositas pasta pati. Hal ini disebabkan banyak granula pati yang terdispersi dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi selama proses. Viskositas pasta pati juga dipengaruhi oleh kadar air dan suhu.

Semakin tinggi kadar air, maka viskositasnya semakin rendah dan semakin tinggi suhu, viskositasnya semakin tinggi. Kadar air dalam campuran bahan pembuat

mi yang tinggi dapat menurunkan cooking loss namun meningkatkan waktu

pemasakan (Waniska et al., 1999). Dari hasil penelitian yang dilaporkan, mi tipe

bihun dari tepung jagung masih memiliki cooking loss yang terlalu tinggi (> 47%).

Campuran tersebut kemudian diberi pemanasan awal menggunakan oven

microwave. Pemanasan awal ini bertujuan mendispersikan granula pati dan menyebabkan pati tergelatinisasi meskipun tanpa penambahan Natrium metabisulfit. Selanjutnya, campuran diekstrusi menggunakan ekstruder pasta sehingga membentuk mi. Setelah ekstrusi, mi dipotong sepanjang 25 – 30 cm dan dikeringkan

(Waniska et al., 1999). Mi terbaik diperoleh dari tepung jagung yang diberi

perlakuan pemanasan awal 95o

Suhendro et al. (2000) membuat mi dari tepung sorghum dengan teknik yang

diambil dari teknik pembuatan mi jagung oleh Waniska et al. (1999). Tepung dan

air dicampur dengan cara menambahkan air destilata (90 ml) sedikit demi sedikit ke dalam tepung sorghum (100 gram) yang telah ditambah garam 1%, sambil diaduk dengan sepatula karet. Campuran dipanaskan dengan 2 metode pemanasan, yaitu (1)

hotplate dengan suhu 80

C, baik yang diberi sulfit maupun tidak.

0

C selama 5 menit sambil terus diaduk, dan (2) microwave

oven dengan suhu 950

Tam et al. (2004) meneliti pembuatan mi tipe bihun di Filipina menggunakan pati jagung yang diekstrak dari jagung dengan kandungan amilosa pada kisaran 0,2-60,8%. Pati jagung normal yang memiliki kandungan amilosa sekitar 28 % merupakan pati yang baik untuk digunakan dalam produksi bihun ini. Pati jagung lilin dengan kandungan amilosa sekitar 0,2-3,8% dan pati jagung kaya amilosa

C selama 1.5 menit, diaduk di dalam microwave oven setiap 40

detik. Campuran dilewatkan dalam ekstruder pembentuk sebanyak 3 kali. Ekstruder yang digunakan adalah model N-50 Hobart Manufacturing Co. dengan diameter lubang 1,7 mm.


(43)

22 dengan kandungan amilosanya sebesar 40,0-60,8% menghasilkan bihun yang kurang baik.

Charutigon et al. (2007) mengatakan bahwa secara tradisional pembuatan mi

beras meliputi perendaman semalam, penggilingan, penyaringan, pengendapan dan pengurangan kadar air hingga 40%, ekstrusi menjadi pelet, pengukusan, penggantungan, pengukusan kedua dan pengeringan. Mi beras dengan teknik tersebut memiliki kelemahan yaitu proses yang cukup lama dan limbah cair yang banyak. Penggunaan bahan tepung dan proses ekstruder ulir dalam pembuatan mi beras dapat mengurangi waktu proses dan limbah.

Charutigon et al. (2007) meneliti pembuatan mi beras dari bahan baku tepung

beras dan menggunakan ekstruder ulir. Peningkatan suhu barel dari 70oC ke 90oC

dapat menurunkan cooking loss dari 14,2±1,6% menjadi 7,2±1,2%. Cooking loss

disebabkan oleh kelarutan pati tergelatinisasi yang ikatannya lemah di permukaan mi.

EKSTRUDER

a. Ekstruder

Ekstruder adalah alat untuk mencetak bahan melalui proses ekstrusi (Harper, 1981). Ekstruder terdiri atas berbagai bentuk, yang paling sederhana adalah ekstruder tipe ram atau piston.

Ekstrusi pemasakan dapat digambarkan sebagai proses dimana bahan pangan yang mengandung pati dan protein dimasak dan diadon menjadi adonan yang viskos dan plastis. Panas yang digunakan dalam proses pemasakan dapat berasal dari injeksi uap (secara langsung), dari jaket pemanas (secara tidak langsung), dan berasal dari energi mekanik yang timbul dari gesekan adonan selama proses ekstrusi (Harper, 1981).

Ekstruder dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat termodinamika, kadar air, sifat fungsional, dan jumlah ulir. Menurut Harper (1981), berdasarkan sifat

fungsional, ekstruder terdiri atas pasta extruder, high-pressure forming extruder,

low – shear cooking extruder, collet extruder, dan high – shear cooking extruder.

Secara termodinamika, ekstruderterbagi atas tiga jenis yaitu : autogenous yaitu


(44)

23

aliran proses; isotermal ekstruder; dan polythropic yaitu ekstruder yang prinsip

kerjanya menggabungkan antara autogenous ekstruder dan isotermal ekstruder

dimana panas diperoleh dari konversi energi mekanik dan dari transfer panas.

Berdasarkan kadar air, ekstruder terbagi atas low moisture extruder dengan

kadar air bahan sampai 20%, intermediate moisture extruder dengan kadar air

bahan 20-28%, dan high moisture extruder dengan kadar air bahan lebih dari

28%. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda.

Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir yang berputar pada barel

silinder. Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi : high shear

extruder (untuk produk – produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan),

medium shear extruder (untuk produk – produk semi basah), dan low shear extruder (untuk pasta dan produk – produk daging). Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah dari pada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan ekstruder berulir tunggal (Fellows, 2000).

Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga kelompok

yaitu Low Shear, Medium Shear, dan High Shear. Jenis-jenis ekstruder tersebut

dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Sedangkan ekstruder ulir ganda dapat diklasifikasikan berdasarkan arah

perputaran ulirnya, terdiri dari co-rotating screw extruder (ekstruder dengan arah

perputaran ulir yang searah) dan counter rotating screw extruder (ekstruder

dengan arah perputaran ulir yang berlawanan). Ekstruder dengan ulir yang

co-rotating banyak diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan.

Beberapa kelebihan ekstruder ulir ganda yaitu : memiliki kontrol yang lebih baik terhadap tranfer panas dibandingkan ekstruder ulir tunggal, dapat menangani bahan pangan yang sangat basah, lengket dan berminyak, serta dapat menggunakan bahan pangan dengan ukuran partikel yang bervariasi (Fellows, 1990).


(45)

24 Tabel 2.2. Klasifikasi ekstruder ulir tunggal (Smith, 1981)

Kategori Low Shear Medium Shear High Shear

Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5 – 8

Densitas produk (g/100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20

Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180

Tekanan barrel maksimum

(kg/cm2) 6 – 63 21 – 42 42 – 84

Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200

Produk khas Produk pasta

daging

Roti, makanan ternak

Snack, breakfast cereal

b. Proses Ekstrusi

Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan,

pengadonan, shearing, dan pembentukan (Fellows, 2000). Dalam proses ekstrusi,

adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear, dimana tekanan

shear tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada aliran

newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear.

Aliran seperti ini biasanya terdapat pada aliran gas. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper, 1981).

Keuntungan proses pemasakan dengan metoda ekstrusi antara lain produktivitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi rendah serta


(46)

25 mutu produk lebih tinggi karena menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Fellows, 2000). Selain itu, produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomatisasi, dan tidak banyak limbah.

c. Ekstrusi Pasta

Pada umumnya, pasta terbuat dari semolina dan pembuatan pasta cukup sederhana. Air dicampur dengan semolina untuk mendapatkan kadar air 31%, kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder. Ulir yang terdapat di dalam ekstruder

mengadon campuran dan mendorongnya keluar melalui die. Selanjutanya pasta

yang keluar melalui die dikeringkan dan dikemas (Hoseney, 1998).

Pasta diekstrusi pada berbagai bentuk dan ukuran. Kecepatan aliran

adonan melalui die sangatlah penting karena adanya fluktuasi kecepatan aliran

adonan melalui die dapat menyebabkan variasi pada ukuran dan karakteristik

produk.

REOLOGI MI

Menurut Bourne (1984), reologi adalah ilmu tentang deformasi dan aliran bahan. Pada bahan padat reologi merupakan hubungan antara gaya dengan perubahan bentuk, sedangkan pada bahan cair hubungan antara gaya dengan aliran.

Beberapa sifat reologi yang penting pada produk mi diantaranya adalah

kekerasan, kekenyalan, elongasi dan kekuatan tarik (tensile strength). Reologi mi

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bahan baku, proses pengolahan, bahan tambahan (terutama garam dan garam basa) yang digunakan dan proses pemasakan. Garam yang sering digunakan adalah NaCl dan garam basa yang mencakup sodium dan potasium karbonat, bikarbonat dan fosfat dan kadang-kadang dipakai NaOH meskipun tidak legal di beberapa negara. Penggunaan rata-rata adalah 1 – 1,5% karbonat dan 0,3% untuk sodium hidroksida. Jika sodium hidroksida terlalu tinggi

maka kecukupan pengembangan gluten tidak terjadi (Moss et al., 1986) dan mutu

gigitan mi menjadi kurang elastis.

Pada adonan, kondisi basa menyebabkan adonan menjadi lebih liat dan


(47)

26 sulfidril, pertukaran sulfidril disulfida dan oksidasi fraksi globulin membentuk protein dengan berat molekul lebih tinggi.

Shiau dan Yeh (2001) mendapatkan kondisi bahwa penambahan kansui

(campuran sodium karbonat dan potasium karbonat dengan perbandingan 1:1)

sebanyak 0,5% menghasilkan mi terigu (teknik ekstrusi) dengan tensile strength

paling kuat. Namun semakin tinggi kansui, cooking loss mi semakin tinggi pula.

Lebih lanjut, Shiau dan Yeh menjelaskan bahwa kansui akan meningkatkan perubahan ikatan S-H menjadi S-S. Ikatan S-H berperan dalam pembentukan ikatan yang erat antara pati dengan matriks protein, sehingga dengan berkurangnya S-H, maka pati tidak lagi terikat erat pada matriks protein dan akan terlepas ketika mi dimasak.

NaCl dapat meningkatkan sifat reologi mi dengan mendorong terbentuknya asosiasi protein gluten pada tepung terigu. Selain itu NaCl dapat memperkuat adonan dan mengurangi penyerapan air. Namun di atas 3% dapat merusak reologi mi yaitu modulus elastisitas menurun sehingga mi menjadi kurang elastis, sehingga

disarankan penggunaan NaCl tidak lebih dari 2% (Wu et al., 2006).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap reologi produk mi ternyata juga berpengaruh terhadap sifat reologi suspensi tepung atau pati yang digunakan sebagai

bahan baku pembuatan mi. Moss et al. (1986) menemukan bahwa penambahan 1%

(campuran natrium karbonat dan potasium karbonat) dan 0,3% NaOH (dari berat tepung), dapat meningkatkan suhu dan waktu gelatinisasi viskositas maksimum. Pada semua kasus, peningkatan viskositas maksimum mencapai 300 – 1000 BU dibandingkan dengan penambahan NaCl 1%.

Menurut Koch dan Jane (2000) ion-ion garam yang bermuatan besar memiliki interaksi yang kuat dengan air dan mendorong ikatan hidrogen yang kuat antar molekul air. Struktur larutan yang kuat menghambat difusi molekul air (dalam larutan garam) ke dalam granula pati.

Menurut Moss et al. (1986), penambahan NaOH 1% menghambat

pembentukan gluten, adonan menjadi begitu lengket sehingga sulit untuk ditangani. Mi yang dihasilkan mudah putus dan lebih banyak rongga kosong di tengah mi.

Wu et al. (2006) menyarikan beberapa hasil penelitian tentang interaksi basa dengan tepung menyebabkan beberapa pengaruh, seperti membuat adonan memiliki sifat seperti tekstur gum, meningkatkan gaya pecah dan gaya putus pada mi,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2005. What’s new in version 7 (the highlights).

Mei 2006].

AOAC. 1995. Methods of analysis. Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budijanto S. 1989. Petunjuk Praktikum Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Bas D, Boyaci IH 2007. Modeling and optimization I : usability of response surface methodology. J Food Eng 78:836-845.

Bhattacharya M, Corke H. 1996. Selection of desirable starch pasting properties in wheat for use in white salted or yellow alkaline noodles. Cereal Chem 73(6):721-728. BeMiller JN, Wishler RL, Paschall EF. 1995. Starch : Chemistry and Technology Eds.

Orlando, San Diego, New York, Toronto, London.

Bourne MC. 1984. Food Texture and Viscosity : Concept and Measurement. Academic Press. New York.

Budiyah. 2004. Pemanfaatan pati dan protein jagung (corn gluten meal) dalam pembuatan mie jagung instan [skripsi]. Jurusan TPG – FATETA – IPB. Bogor.

Chang YH, Lii CY. 1987. Characterization of some tubber starches and their noodle quality. Bull Inst Chem 34:9-15.

Charutigon C, Jintana J, Pimjai N, Vilai R. 2007. Effects of processing conditions and the use of modified starch and monoglyseride on some properties of extruded rice vermicelli. Swiss Society of F Sci Tech 41:642-651.

Chaudary AL, Miler M, Torley PJ, Sopade PA, Halley PJ. 2008. Amylose content and chemical modification effects on the extrusion of thermoplastic starch from maize.

Carb Polym 74(4):907-913.

Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products [dissertation]. Wageningen University, The Netherlands.

Dalbon G, Grivon D, Pagani A. 1993. Pasta, Continuous Manufacturing Process. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA.

Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrate: Functional Properties. In: Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and Applications. California: Science Technology System.


(2)

Derby RI, Miller BS, Miller BF, Trimbo HB 1975. Visual observation of wheat-starch gelatinization in limited water systems. Cereal Chem 52(5):702-709.

Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and volume of gelatinized starch granule on strorage. Food Hydrol 2(4):321-328

Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch : Physicochemical and Functional Aspects. In: Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. Marcell Dekker Inc. New York Feillet P, Dexter JE. 1993 Quality Requirements of Durum Wheat for Semolina Milling

and Production. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA.

Fellows PJ. 1990. Food Processing Technology. Ellis Horwood, Great Britain. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc. New York.

Fitriani D. 2004. Kajian pengembangan produk, mikrostruktur dan analisis daya simpan mie jagung instan [tesis]. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Pangan – IPB. Bogor.

Fuglie KO, Hermann M. 2001. Sweet potato post-harvest research and development in China. International Potato Center, Bogor.

Frezier PJ, Crawshaw A, Daniels NWR, Eggitt PW. 1982. Optimisation of Process Variables in Estrusion Texturing of Soya. In: Jowitt R, editor. Extrusion Cooking Technology. Elsevier Applied Science Publisher. London and New York.

Gujral HS, Singh N, Singh B. 2001. Extrusion behavior of grits from flint and sweet corn.

Food Chem 74(1):303-308.

Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by extrusion cooking. J Cereal Sci 43(1):38-46.

Harper JM. 1981. Extrusion of Food, Volume I. CRC Press, Inc. Boca Raton – Florida. Henika RG. 1982. Use of response-surface methodology in sensory evaluation. Food

Tech 9:91-101.

Honesey RC. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, 2nd edition. American Association of Cereal Chemist Inc., St. Paul, Minnesota, USA.

Hou G, Kruk M. 1998. Asian noodle technology. Asian Noodle Tech Bull 20 No 12. Inglett GE. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing Company,

Inc. Westport. Connecticut.

Koch K, Jane JL. 2000. Morphologial of granules of different starch by surface gelatinization with calcium chloride. J Cereal Chem 77(2):115-120.


(3)

Kohlwei DE, Kendall JH, Mohindra RB. 1995. Using the physical properties of rice as a guide to formulation. Cereal Foods World 40(10):728-732.

Konik CM. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch functionality. Starch/Starke 53(1):14-20

Kristen DD, James F. 2002. Use of a dual die for in-line extruder measurement of flow behavior indeks in starchy food. J Food Eng 55(1):79-88.

Kuo WY, Lai HM. 2009. Effects of reaction condition on the physicochemical properties of cationic starch studied by RSM. Carb Polym 75(4):627-635.

Kurniawati RD. 2006. Penentuan desain proses dan formulasi optimal pembuatan mi jagung basah berbahan dasar pati jagung dan corn gluten meal (CGM) [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Kusnandar F. 1998. Effect of processing conditions, additives and starch substitution on the quality of starch noodle [thesis]. Faculty of Food Science and Biotechnology Universiti Putra Malaysia. Malaysia.

Lawton BT, Henderson GA, Derlatka EJ. 1972. The effects of extruder variables on gelatinization of corn starch. J Chem Eng 50(4):168-177.

Lasztity R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA.

Linko P, Harkonen H, Linko YY. 1984. Effect of sodium chloride in the processing of bread baked from wheat, rye and barley flour. J Cereal Sci 2(1):53-63.

Liu Q. 2005. Understanding Starches and their Role in Foods. In: Cui SW, editor. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties and Applications. RC Teylor & Francis, Boca Raton FL.

Lorenz KJ and Karel K. 1991. Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. Basel.

Luallen TE. 1985. Starch as a function ingredient. Food Tech 39(1):59-63. Matz SA. 1992. Snack Food Technology. Pan-tech International, Inc. USA.

McManuis R. 2001. Using instrumental texture analysis to ensure product quality. Cereal Food Worlds 46(11):517-518.

Mestres C, Colonna P, Buleon A. 1988. Characteristics of starch networks within rice flour noodle and mungbean starch vermicelli. J Food Sci 53(6):1809-1812.

Miskelly DM. 1996. The Use of Alkali for Noodle Processing. In: Kruger JE, Matsuo RB, Dick JW, editor. Pasta and Noodle Technology. Cereal Chemist Inc., St Paul, Minnesota, USA.


(4)

Montealvo GM, Francisco JGS, Octavio PL, Luis ABP. 2008. Effects of nixtamalization on morphological and rheological characteristics of maize starch. J Cereal Sci

48(2):420-425.

Moss HJ, Miskelly DM and Moss R. 1986. The effect of alkaline conditions on the properties of wheat flour dough and cantonese-style noodles. J Cereal Sci 4(3):261-258.

Muhandri T, Subarna. 2009. Optimasi Formula Dan Proses Pembuatan Mi Instant Jagung. Laporan Hibah Bersaing. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Nishita K, Bean MM. 1982. Grinding methods : their impact on rice flour properties.

Cereal Chem 59:46-49.

Oh NH, Seib PA, Finney KF, Pomeranz Y. 1986. Noodles. Determination of optimum water absoprtion of flour to prepare oriental noodles. Cereal Chem 74(6):814-820.

Oosten BJ. 1982. Tentative hyphothesis to explain how electrolytes effect the gelatinization temperature of starches in water. Starch / staerke 34(7):233-239. Pan Z, Zhang S, Jane J. 1998. Effects of extrusion variables and chemicals on the

properties of starch-based binders and processing conditions. Cereal Chem. 75(4) : 541-546.

Rianto BF. 2006. Desain proses pembuatan dan formulasi mie basah berbahan baku tepung jagung [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor

Shiau SY, Yeh AI. 2001. Effects of alkali and acid on dough rheological properties and characteristics of extruded noodles. J Cereal Sci 33(1):27-37.

Smith OB. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25 Januari 1980, Bangkok.

Soraya A. 2005. Perancangan proses dan formulasi mi basah jagung berbahan dasar high quality protein maize varietas srikandi kuning kering panen [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Changes in pasting behavior of rice during ageing. J Cereal Sci 34(2):115-124.

Srichuwong S. 2006. Starches from different plant origins : from structure to physicochemical properties [dissertation]. Mie University. Japan.

Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review 1(3):18-21.


(5)

Suhendro EL, Kunetz CF, McDonough CM, Rooney LW, Waniska D. 2000. Cooking characteristic and quality of noodles from food sorghum. Cereal Chem 77(2):96-100.

Sun Y, Liu J, Kennedy JF. 2010. Application of RSM for optimization of polysaccharides production parameters from the roots of Codonopsis pilosula by a central composite design. Carb Polym 80(3):949-953.

Tam LM, Corke H, Tan WT, Li J, Collado LS. 2004. Production of bihon-type noodles from maize starch differing in amylose content. Cereal Chem 82(4):475-480. Tan FJ, Dai WT, Hsu KC. 2009. Changes in gelatinization and rheological characteristics

of japonica rice starch induced by pressure/heat combinations. J Cereal Sci

49(2):285-289.

Van den Einde RM, Akkermas C, Van der Goot AJ, Boom RM. 2004. Molecular breakdown of corns starch by thermal and mechanical effect. J Carb Polym

56(4):415-422.

Vidal AJ, Juliano BO. 1967. Comparative composition of waxy and non-waxy rice.

Cereal Chem 44:86-95.

Villareal RM, Resurreccion AP, Suzuki LB, Juliano BO. 1976. Changes in physicochemical properties of rice during storage. Cereal Chem 28(3):88-94.

Wals DE, Gille, RA. 1974. Macaroni Products Wheat : Production and Utilization. AVI. Estport. Connecticut.

Wang N, Bhirud PR, Sosulski FW, Tyler RT. 1999. Pasta-like product from pea flour by twin-screw extrusion. J Food Sci 64(4):671-677.

Waniska RD, Yi T, Lu J, Xue Ping L, Xu W, Lin H. 1999. Effects of preheating temperature, moisture, and sodium metabisulfite content on quality of noodles prepared from maize flour or meal. J Food Sci Technol 5(4):339-346.

Wiersema SG. 1992. Sweet Potato Processing in The People’s Republic of China with Emphasis on Starch and Noodle. In: Scott GJ, Wiersema SG, Ferguson PI, editor.

Proceeding Product Development for Root and Tuber Crops. I-Asia. CIP. Lima.

Peru.

Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of starch gelatinization and water absorption in rice [dissertation]. Univ. of Wisconsin. Madison.

Wu J, Beta T, Corke H. 2006. Effect of salt and alkaline reagents on dynamic reological properties of raw oriental wheat noodles. J Cereal Chem 83(2):211-217.


(6)

Xie SX, Liu Q, Cui SW. 2005. Starch Modification and Applications. In : Cui SW, editor.

Food Carbohydrates : Chemistry, Physical Properties and Application. RC Taylor & Francis, Boca Raton FL.

Xu A, Seib P. 1993. Structure of tapioca pearls compared to starch noodles from mung beans. Cereal Chem 70(4):463-470.

Zhang W, Jackson D.S. 1992. Sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) flour pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal Chem 82(5):534-540.