Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tungga

(1)

OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN

EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL

SKRIPSI

SHAFIYYAH IRMAHARIANTY

F24080040

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

OPTIMIZATION OF SORGHUM NOODLE PROCESS USING

SINGLE SCREW COOKING-FORMING EXTRUDER

Shafiyyah Irmaharianty, Tjahja Muhandri

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 8787 3284 324, E-mail: shafiyyah.irma@gmail.com

ABSTRACT

The objectives of this research were optimization of sorghum noodle process using single screw cooking-forming extruder and analyze its consumer acceptance in hedonic test. Variable process in this research were extruder temperature (80-95oC) and screw speed (50-125 rpm). The design experiments and the optimum process determined using Response Surface Methodology (RSM) in Design Expert 7.0. Cooking loss and elongation of cooked sorghum noodles were evaluated. The optimum product was chosen based on minimal cooking loss. Optimum process was gained at extruder temperature was 95oC and screw speed was 125 rpm, produced sorghum noodles with cooking loss 8.95% and elongation 332.4%. Cooked sorghum noodles had a dull colour. Improvement of color and appearance from sorghum noodle have done by adding corn flour and mixed it with sorghum flour. Sorghum noodle and sorghum-corn noodle were evaluated in hedonic test for their colour, turbidity of boiled water, hardness, elongation, dan taste. Sorghum noodles which mixed by corn flour had a better hedonic scale in color and turbidity of boiled water (p<0.05), but hardness, elongation, and taste were not significantly different.

Keyword : optimization, sorghum, noodles, cooking-forming extruder, response surface methodology


(3)

Shafiyyah Irmaharianty. F24080040. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal. Di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT. 2013

RINGKASAN

Penelitian mengenai mi sorgum telah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Kunetz (1997) dan Suhendro et al. (2000) menggunakan microwave untuk menggelatinisasi adonan sebelum adonan dicetak menggunakan ekstruder. Mi yang dihasilkan memiliki tekstur yang kompak dengan cooking loss 10% (Suhendro et al. 2000). Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan air. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.

Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009) sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak yang lebih mudah digunakan tanpa harus menggelatinisasi pati terlebih dahulu.

Tujuan dari penelitian ini adalah identifikasi karakteristik fisik dan kimia tepung sorgum Numbu, optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal, dan uji hedonik terhadap mi yang dihasilkan dari proses optimum. Analisis yang dilakukan pada tepung sorgum Numbu adalah kadar air, protein, lemak, karbohidrat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Dalam tahap optimasi, bahan baku yang digunakan adalah tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%. Selanjutnya, uji hedonik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap mi sorgum yang dihasilkan.

Penentuan rancangan percobaan dan optimasi proses dilakukan menggunakan Response Surface Methodology D-Optimal pada software Design Expert 7.0. Variabel proses yang dianalisis meliputi suhu dan kecepatan ulir ekstruder. Terdapat 16 buah running dengan suhu ekstruder 80-95oC dan kecepatan ulir 50-125 rpm. Analisis fisik mi yang dilakukan meliputi cooking loss dan elongasi, dua parameter mutu yang digunakan sebagai variabel respon dalam optimasi. Kondisi optimum ditetapkan berdasarkan cooking loss minimum dan elongasi in range. Titik optimasi diperoleh pada suhu ekstruder 95oC dan kecepatan ulir 125 rpm. Pada kondisi tersebut, mi sorgum memiliki cooking loss 8.95% dan elongasi 332.4%.

Kelemahan mi sorgum yang dihasilkan adalah warna mi sorgum yang kurang menarik. Mi sorgum kering berwarna coklat, sedangkan mi sorgum yang telah dimasak berwarna putih pucat. Untuk meningkatkan daya terima panelis, penelitian dikembangkan dengan mencampurkan


(4)

60 bagian tepung sorgum dengan 40 bagian tepung jagung sebagai adonan mi. Penambahan tepung jagung ke dalam adonan mi membuat mi sorgum yang dihasilkan berwarna kuning dan lebih menarik dibandingkan mi sorgum tanpa jagung.

Mi sorgum jagung memiliki nilai cooking loss sebesar 10.48%, lebih besar dibandingkan mi sorgum, dan elongasi 275.74%, lebih kecil dibandingkan mi sorgum. Charutigon et al. (2007) menyebutkan bahwa nilai cooking loss mi komersial yang dapat diterima < 12.5% basis basah atau sekitar 14.2% basis kering. Oleh karena itu, cooking loss mi sorgum-jagung memiliki nilai yang masih dapat diterima. Meskipun elongasinya lebih kecil dari mi sorgum, mi sorgum-jagung tidak mudah hancur setelah dimasak dan memiliki tekstur yang cukup baik.

Uji hedonik dilakukan untuk mendapatkan penilaian dari atribut warna mi, kekeruhan air rebusan mi, kekerasan mi, elongasi mi, dan rasa mi. Sampel yang digunakan adalah mi sorgum dan mi sorgum-jagung yang telah dimasak sebelumnya. Mi sorgum memiliki tingkat kesukaan antara biasa dan suka, kecuali pada atribut warna mi dan kekeruhan air rebusan mi. Penilaian panelis menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna mi sorgum-jagung 32% lebih tinggi dan kekeruhan air rebusan 15% lebih tinggi dibandingkan pada mi sorgum 100%. Penambahan tepung jagung pada adonan mi terbukti dapat memperbaiki daya terima panelis terhadap warna dan kekeruhan air rebusan mi (p<0.05) pada taraf kepercayaan 95%.


(5)

OPTIMASI PEMBUATAN MI SORGUM MENGGUNAKAN

EKSTRUDER PEMASAK-PENCETAK ULIR TUNGGAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

SHAFIYYAH IRMAHARIANTY

F24080040

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(6)

Judul Skripsi : Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal

Nama : Shafiyyah Irmaharianty

NIM : F24080040

Menyetujui, Dosen Pembimbing

(Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT) NIP. 19720515 199702 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen ITP IPB

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP. 19680526 199303 1 004


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan

Shafiyyah Irmaharianty F24080040


(8)

© Hak cipta milik Shafiyyah Irmaharianty, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

BIODATA PENULIS

Penulis memiliki nama lengkap Shafiyyah Irmaharianty dan biasa dipanggil Fya. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Maret 1990 dan merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan Imam Suhadi SK dan Enny Supriyanti. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis dimulai di TK Ketilang pada tahun 1994 dan Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Setelah lulus SD, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Cisauk (sekarang bernama SMP Negeri 8 Kota Tangerang Selatan), lalu melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Cisauk (sekarang bernama SMA Negeri 2 Kota Tangerang Selatan) dengan mengambil jurusan IPA dan lulus pada tahun 2008. Pendidikan formal yang selanjutnya ditempuh oleh penulis adalah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswi S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Sejak berada di SD, penulis gemar menulis cerita fiksi dan mendapatkan kesempatan untuk mewakili Kotamadya Jakarta Selatan dengan memperoleh juara 3 Lomba Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Sinopsis se-Jakarta. Selama menjalani pendidikan di SMP, penulis aktif di kegiatan ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR) dan saat SMA, penulis bergabung dalam

ekskul Mading “Harmonia”. Prestasi penulis selama SMP-SMA adalah Juara 1 Lomba Mata Pelajaran Bahasa Indonesia tingkat SMP dan menjadi salah satu Finalis Olimpiade Kimia tingkat SMA.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis ikut serta berorganisasi dengan LK IPB. Penulis bergabung dalam UKM Gentra Kaheman Lingkung Seni Sunda dan tampil sebagai pemeran utama wanita dalam pagelaran Mimitran 2009. Setelah itu, penulis bergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Periode 2009-2010 sebagai staf Divisi Sosial dan Lingkungan. Kemudian, penulis melanjutkan berorganisasi aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB Periode 2010-2011 sebagai Bendahara Kementrian Sosial, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat. Selama terlibat dalam organisasi, penulis diberikan kepercayaan sebagai Ketua Pelaksana Program Kakak Asuh BEM Fateta, Sekretaris SEREAL 2010, Sekretaris Umum Techno-F 2010, Sekretaris Rumah Harapan BEM KM IPB, serta Bendahara I-Share 2011. Prestasi terakhir penulis selama menjadi mahasiswi adalah menjadi Finalis KangNong Tangerang Selatan 2012.

Penulis mengakhiri jenjang pendidikan di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir

Tunggal” di bawah bimbingan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT sebagai pembimbing skripsi dan Dr.Waysima, M.Sc sebagai pembimbing akademik.


(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di IPB. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta kerabat dan sahabat terpilih. Skripsi yang berjudul

“Optimasi Pembuatan Mi Sorgum Menggunakan Ekstruder Pemasak-Pencetak Ulir Tunggal” merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak bulan April 2012 sampai Oktober 2012 dan alhamdulillah dapat diselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang telah berperan sepanjang masa hidup penulis dan selama penyelesaian tugas akhir. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua penulis, Bapak Imam Suhadi SK dan Ibu Enny Supriyanti yang telah sabar membesarkan dan merawat penulis dari penulis lahir sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan pendidikan S1 di IPB. Terimakasih atas dukungan, perhatian, kasih sayang, dan doa yang telah Bapak dan Ibu berikan kepada penulis sehingga penulis dapat menjadi anak yang berkarakter. Semua prestasi yang telah penulis dapatkan didedikasikan kepada orangtua tercinta. Terimakasih dan salam hangat penulis ucapkan kepada adik tercinta Aisyah Khairunnisa, M. Faqih M, dan M. Alif M. Tak lupa juga terimakasih kepada seluruh keluarga besar trah Yosomartono dan Katowisastro : mbah kakung, mbah putri, pakde, budhe, om, tante, dan sepupu atas dukungan fisik dan moril hingga saat ini.

2. Bapak Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, dan bimbingannya selama penulis menempuh masa perkuliahan dan penelitian, hingga penyusunan tugas akhir.

3. Ibu Dr. Waysima, M.Sc selaku pembimbing akademik yang telah memberikan semangat, motivasi, masukan, dan bimbingannya selama perkuliahan.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen penguji 1 yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam perbaikan skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen penguji 2 atas saran dan masukannya dalam perbaikan skripsi ini.

6. Briyan Resha atas saran, waktu, perhatian, pengertian, dan motivasi yang telah diberikan sejak penulis kuliah di IPB. Terimakasih telah memberikan tantangan dan motivasi sehingga penulis dapat aktif berorganisasi di kampus.

7. Guru-guru yang mengajari penulis selama masa studi sejak TK hingga SMA. Terimakasih juga kepada dosen-dosen IPB dan guru-guru non formal lainnya yang telah memberikan ilmu serta bimbingan kepada penulis.

8. Sahabat terdekat sejak TPB hingga tingkat 4 ITP, yaitu arum marya, aruma puspa, astrid dan rara. Terimakasih untuk tawa dan diskusi mengenai banyak hal yang terjadi selama kuliah di IPB.

9. Teman-teman Pondok Iswara Atas, baik yang sudah alumni maupun yang masih berjuang : maia, wulan, jayanti, ratih, dinda, kak ulfa, kak ratih, kak wiwik, kak weini, kak lina, mbak ratih, mbak julia, mbak meita, adis, kiki, sela, umil. Banyak kenangan, suka, dan duka selama kita tinggal seatap bersama.

10. Partner penelitian, ivan. Terimakasih untuk diskusi dan suka duka selama berkutat dengan mi sorgum dan tepungnya.


(11)

11. Sahabat sagaju (A2 137) terbaik : maia, ulpe, mboyik. Terimakasih untuk kehidupan asik di asrama dan cerita suka dan duka.

12. Teman-teman sejati satu kelompok praktikum : ubhe, stefani, tiur, taufiq. Terimakasih untuk pengalaman praktikum dan eksplorasi ilmu pangan di lab bersama.

13. Teman-teman ITP 45 yang tak tergantikan : madun, hilda, hap-hap, rista, bangun, iin, andika, yufi, mizu, virza, inah, mba nisa, dio, inah, mba yun, euis, filda, fitrina, ifah, priska, elva, mutia, wahyu, opi, dan semua anggota ITP 45. Terimakasih atas “saat terbaik untuk mengukir

kisah dan menjadi bagian dari sejarah.”

14. Teman-teman satu angkatan BEM Fateta Merah Saga dan BEM KM IPB Bersahabat : eko, nanda, mita, fahri, mega, kak suphe, kak hassan, alvi, andin, siska, aha, siro, yogi, dyah. 15. Teknisi laboratorium ITP, Pilot Plant, Seafast, dan LD ITP khususnya Mbak Vera, Bu Antin,

Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Sobirin, Pak Rozak, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Nurwanto, Bu Sri, Pak Iyas, Pak Taufiq, Mas Edi, Mbak Yane, Mbak Ririn, Mbak Siti, Mbak Ida, Mbak Yayuk. Terimakasih juga kepada staf UPT dan Departemen ITP Bu Novi, Mbak Ani, Mbak May, Mbak Darsih, Pak Samsu atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan sidang.

16. Setiap individu dan instansi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas kesediaannya membantu penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat dan berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu dan teknologi pangan.

Bogor, Februari 2013 Shafiyyah Irmaharianty


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG... 1

1.2. TUJUAN PENELITIAN ... 2

1.3. MANFAAT PENELITIAN ... 3

2.1. SORGUM ... 4

2.1.1.Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum ... 4

2.1.2. Pengembangan Sorgum ... 6

2.2.PATI ... 8

2.2.1. Amilosa ... 8

2.2.2. Amilopektin ... 9

2.2.3. Gelatinisasi ... 9

2.2.4. Retrogradasi ... 10

2.3. TEKNOLOGI PEMBUATAN MI ... 10

2.3.1. Mi Terigu ... 10

2.3.2. Mi Non Terigu ... 11

2.3.2.1.Mi Pati ... 11

2.3.2.2.Mi Jagung ... 11

2.3.2.3.Mi Sorgum ... 12

2.4. EKSTRUSI ... 13

2.5. EKSTRUDER ... 14

2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal ... 14

2.6. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY ... 16

2.6.1. Perbedaan desain utama RSM ... 17

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1. BAHAN DAN ALAT ... 18

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ... 18


(13)

3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu ... 20

3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum ... 20

3.3.3. Pembuatan Mi Sorgum-Jagung ... 22

3.3.4. Uji Hedonik Mi Sorgum ... 22

3.4.ANALISIS DAN PENGUKURAN ... 23

3.4.1.Analisis Fisik ... 23

3.4.1.1.Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al. 2001) ... 23

3.4.1.2.Analisis daya serap air metode sentrifugasi (Modifikasi Anderson 1969 dalam Ganjyal 2006) ... 23

3.4.1.3.Analisis persen elongasi menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i ... 24

3.4.1.4.Analisis cooking loss (Oh et al. 1985) ... 24

3.4.2.Analisis Kimia ... 24

3.4.2.1.Analisis kadar air metode oven (AOAC 1995)... 24

3.4.2.2.Analisis kadar abu (AOAC 1995) ... 24

3.4.2.4.Analisis kadar lemak metode soxhlet (AOAC 1995) ... 25

3.4.2.5.Analisis kadar karbohidrat by difference ... 26

3.4.2.6.Analisis kadar pati metode Luff Schoorl, modifikasi AOAC 1995 ... 26

3.4.2.7.Analisis kadar amilosa dan amilopektin (Apriyantono et al. 1989) ... 26

4.1.1.Komposisi kimia ... 28

4.1.2. Profil Gelatinisasi ... 29

4.2. FORMULA TERPILIH ADONAN MI SORGUM ... 30

4.3. KARAKTERISTIK MI SORGUM ... 32

4.3.1. Cooking loss ... 33

4.3.2. Elongasi ... 35

4.4. KARAKTERISTIK MI PADA PROSES OPTIMUM ... 38

4.5. MI SORGUM-JAGUNG ... 39

4.4. TINGKAT KESUKAAN PANELIS TERHADAP MI SORGUM ... 40

4.4.1. Warna mi sorgum ... 41

4.4.2. Kekeruhan air rebusan mi... 42

4.4.3. Elongasi mi sorgum ... 43

4.4.4. Kekerasan mi sorgum ... 43

4.4.5. Rasa mi sorgum ... 44

5.1.SIMPULAN ... 45

5.2. SARAN ... 45


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia ... 6

Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum ... 7

Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering ... 21

Tabel 4. Hasil analisis proksimat tepung sorgum varietas Numbu (%bk) ... 28

Tabel 5. Profil gelatinisasi tepung sorgum Numbu ... 29

Tabel 6. Hasil uji coba penambahan air ke dalam adonan mi ... 31

Tabel 7. Daya serap air tepung sorgum dan tepung jagung ... 31

Tabel 8. Hasil analisis respon optimasi proses mi sorgum ... 32

Tabel 9. Hasil analisis cooking loss (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ... 34

Tabel 10. Hasil analisis elongasi (%) mi sorgum dengan variasi proses pengolahan ... 36

Tabel 11. Solusi formula yang ditawarkan dalam optimasi proses ... 38

Tabel 12. Hasil verifikasi beserta poin prediksi dari solusi yang terpilih ... 39


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b) ... 4

Gambar 2. Struktur biji sorgum ... 5

Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010) ... 8

Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal ... 15

Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum ... 19

Gambar 6. Kurva RVA tepung sorgum varietas Numbu ... 30

Gambar 7. Penampang tiga dimensi respon cooking loss... 35

Gambar 8. Penampang tiga dimensi respon elongasi ... 37

Gambar 9. Penampang tiga dimensi nilai desirability formula optimum ... 38

Gambar 10. Foto (a) mi jagung 100%, (b) mi sorgum-jagung 60:40, dan (c) mi sorgum 100% ... 40

Gambar 11. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap warna mi ... 41

Gambar 12. Foto mi setelah dimasak, (a) mi sorgum 100% dan (b) mi sorgum-jagung ... 42

Gambar 13. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekeruhan air rebusan mi ... 42

Gambar 14. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap elongasi mi ... 43

Gambar 15. Rata-rata penilaian kesukaan panelis terhadap kekerasan mi ... 44


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil analisis kadar air tepung sorgum Numbu ... 51

Lampiran 2. Hasil analisis kadar abu tepung sorgumNumbu ... 51

Lampiran 3. Hasil analisis kadar protein tepung sorgum Numbu ... 51

Lampiran 4. Hasil analisis kadar lemak tepung sorgum Numbu ... 51

Lampiran 5. Hasil analisis kadar pati tepung sorgum Numbu... 51

Lampiran 6. Kadar karbohidrat tepung sorgum ... 51

Lampiran 7. Hasil absorbansi kurva standar amilosa ... 52

Lampiran 8. Kurva standar amilosa ... 52

Lampiran 9. Hasil analisis kadar amilosa ... 52

Lampiran 10. Hasil analisis kadar air mi sorgum kering ... 53

Lampiran 11. Hasil analisis cooking loss mi sorgum ... 54

Lampiran 12. Hasil analisis elongasi mi sorgum ... 55

Lampiran 13. Foto mi sorgum sebelum dimasak ... 56

Lampiran 14. Foto mi sorgum setelah dimasak ... 57

Lampiran 15. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut warna mi... 58

Lampiran 16. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekeruhan air rebusan mi ... 59

Lampiran 17. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut kekerasan... 60

Lampiran 18. Hasil uji hedonik mi sorgum atribut elongasi ... 61

Lampiran 19. Hasiluji hedonik mi sorgum atribut rasa ... 62

Lampiran 20. Hasil analisis kadar air mi formula terpilih ... 63

Lampiran 21. Hasil analisis kadar abu mi formula terpilih ... 63

Lampiran 22. Hasil analisis kadar protein mi formula terpilih ... 63

Lampiran 23. Hasil analisis kadar lemak mi formula terpilih ... 64

Lampiran 24. Hasil analisis kadar karbohidrat mi formula terpilih ... 64

Lampiran 25. Verifikasi cooking loss mi sorgum ... 64

Lampiran 26. Verifikasi elongasi mi sorgum ... 64

Lampiran 27. Analisis kandungan gizi mi sorgum (%bb) ... 64

Lampiran 28. Hasil uji optimasi proses mi sorgum ... 65

Lampiran 29. Hasil uji ANOVA model polinomial cooking loss ... 65

Lampiran 30. Hasil uji ANOVA model polinomial elongasi ... 67

Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum ... 68

Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ... 70

Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih... 71

Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi ... 72


(17)

I. PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Pertumbuhan penduduk yang membentuk deret geometri (1,2,4,8..dst) selalu akan melampaui pertumbuhan industri pangan dunia yang notabene berupa deret ukur (1,2,3,4,..dst). Statistik pada tahun 2011 (BKKBN) menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 241 juta jiwa dan akhir tahun 2012 mencapai sekitar 245 juta jiwa. Hal ini menjadi problematika yang cukup besar di Indonesia selama puluhan tahun dengan ketahanan pangan yang rapuh. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan yang memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin serta mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh, aman dikonsumsi, dan harganya terjangkau (Deptan 2005).

Selain lemahnya ketahanan pangan nasional, kondisi pangan di Indonesia masih dibayangi ketergantungan masyarakat akan komoditi pangan tertentu, seperti beras dan gandum. Terlebih lagi, kedua komoditas tersebut banyak diimpor dari luar negeri. Berdasarkan data BPS (2012), impor beras pada bulan Januari-April 2012 mencapai 834 ribu ton dengan nilai US$ 456 juta, sedangkan impor gandum pada periode yang sama mencapai 396.5 ribu ton dengan nilai US$ 174 juta. Data tersebut menunjukkan bahwa gandum menjadi sumber pangan kedua setelah beras dan membuat Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia.

Melihat hal tersebut, banyak penelitian dan program pemerintah yang difokuskan pada diversifikasi pangan dan pencarian sumber pangan lokal. Salah satu sumber daya lokal yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan adalah sorgum. Menurut Nurmala (1997), keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produktivitas tinggi serta lebih tahan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti jagung dan gandum.

Selain itu, sorgum dapat digunakan untuk memproduksi produk pangan bebas gluten yang dapat dikonsumsi oleh penderita colieac disease yang tidak mampu mencerna gluten dari produk gandum (Kunetz 1997). Sorgum pun memiliki nilai indeks glikemik yang tergolong rendah dibandingkan nasi sehingga cocok dikonsumsi untuk penderita obesitas dan diabetes. Indeks glikemik merupakan ranking pada produk berbasis karbohidrat yang menunjukkan seberapa cepat dan seberapa banyak pangan tersebut dapat menaikkan kadar gula darah (Lemlioglu-Austin et al. 2012).

Untuk memaksimalkan pengembangan sorgum sebagai sumber pangan baru, mi dipilih sebagai produk penelitian ini sebagai makanan yang populer di Asia, khususnya di Indonesia. Penelitian mengenai mi sorgum sebagai salah satu mi non terigu sudah dilakukan oleh Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009). Penelitian Kunetz (1997) menghasilkan mi kering dengan karakteristik yang halus, lurus, dan cukup kuat sehingga tidak patah saat pengepakan dan pengangkutan. Setelah direhidrasi, mi memiliki cooking loss rendah, kompak, dan tidak hancur seperti bubur. Suhendro et al. (2000) juga menghasilkan mi dengan cooking loss 10%. Baik Kunetz (1997) maupun Suhendro et al. (2000) menggunakan ekstruder pencetak dalam penelitiannya. Berbeda dengan dua peneliti tersebut, Liu (2009) membuat mi sorgum melalui metode pembentukan lembaran (sheeting) dan pemotongan (sleeting). Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.


(18)

Mi yang dihasilkan dari penelitian Kunetz (1997), Suhendro et al. (2000), dan Liu (2009) sudah cukup bagus, namun penggunaan ekstuder pencetak dan metode kalendering memiliki kelemahan tersendiri. Kelemahan penggunaan ekstruder pencetak adalah kesulitan untuk memasukkan adonan ke zona pengumpanan di dalam ekstuder. Hal ini disebabkan adonan telah digelatinisasi terlebih dahulu sehingga bersifat panas dan lengket. Selain itu, kecepatan ulir yang konstan (tidak dapat diatur) dan desain ulir dengan permukaan halus menyebabkan adonan selip dan tidak terdorong secara maksimal. Kelemahan pada metode kalendering adalah sulitnya mengkondisikan suhu dan kelembaban ruangan agar sesuai dengan kondisi adonan tepung sorgum yang telah digelatinisasi. Penggunaan suhu ruang menyebabkan suhu adonan turun dan uap air keluar, retrogradasi terjadi sebelum proses sheeting selesai sehingga adonan menjadi kering dan pecah (Muhandri 2012).

Untuk mempermudah pelaksanaan proses ekstrusi dan pengkondisian adonan, penelitian ini menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand. Selain itu, penelitian mi jagung yang dilakukan Muhandri (2012) dengan ekstruder yang sama dapat menghasilkan mi dengan karakteristik yang baik, memiliki cooking loss yang rendah dan elongasi tinggi.

Tepung sorgum yang digunakan diproses dari biji sorgum varietas Numbu yang terlebih dahulu diidentifikasi karakteristik kimia dan fisiknya melalui analisis proksimat dan profil gelatinisasi. Menurut Elliason dan Gudmunson (1996), karakteristik tepung dan kecukupan proses mempengaruhi produk mi yang dihasilkan, terutama kandungan amilosa pada tepung. Optimasi proses pengolahan mi sorgum menggunakan suhu dan kecepatan ulir ekstruder sebagai variabel input, sementara cooking loss dan elongasi digunakan sebagai variabel respon.

Suarni (2004) menyatakan bahwa produk olahan sorgum umumnya memiliki warna yang kurang menarik bagi konsumen. Pada pembuatan mi sorgum, waran mi dapat dibuat lebih menarik dengan menambahkan pewarna yang diperbolehkan oleh Departemen Kesehatan RI. Pada penelitian ini, dilakukan penambahan tepung jagung pada adonan mi sorgum, membuat mi sorgum berwarna kuning dan lebih menarik bagi konsumen. Proporsi penambahan tepung jagung dilakukan dengan trial and error agar warna kuning pada mi mirip dengan warna kuning pada mi terigu pada umumnya. Setelah mendapatkan proses optimal yang yang diinginkan, dilakukan uji hedonik di laboratorium. Hasil dari uji sensori tersebut dapat memberikan gambaran awal mengenai penerimaan dan kesukaan konsumen terhadap produk mi sorgum dan menjadi masukan dalam pengembangan mi sorgum secara komersial ke depannya

1.2. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi karakteristik kimia dan fisik dari tepung sorgum varietas Numbu

2. Menentukan optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan variabel suhu dan kecepatan ulir ekstruder


(19)

1.3.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi sorgum melalui teknologi ekstrusi dengan kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di industri mi skala kecil secara komersial. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka pengembangan dan pengayaan produk pangan di Indonesia.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

SORGUM

Sorgum pertama kali ditanam lebih dari 5000 tahun yang lalu di daerah Ethiopia atau Chad, lalu merambah ke India pada 4000 tahun yang lalu, kemudian di Cina dan Afrika Selatan pada 1500 tahun yang lalu. Sorgum adalah serealia terpenting di sub-Saharan Afrika karena tahan kekeringan dan kondisi panas. Sorgum berkembang di Amerika sejak abad ke-18 dan banyak digunakan sebagai pakan ternak.Afrika memiliki luas daerah penanaman sorgum terbesar di dunia. Diperkirakan sebanyak 55% sorgum di Afrika diproduksi di Afrika Barat dan 30% di bagian timur dan utara. Tiga penghasil sorgum di Afrika adalah Nigeria, Sudan, dan Ethiopia. Sebagian besar negara Afrika menghasilkan produksi tahunan ≤1 ton/ha. Pada produksi dunia tahun 2002 mencapai 52 juta ton, sekitar 6.3 juta ton diekspor dengan nilai dagang sekitar US$669 juta (Evers et al. 2006).

Sorgum dapat digolongkan menjadi dua macam berdasarkan kandungan amilosanya, yaitu waxy sorghum (jenis ketan) dan non-waxy sorghum (jenis beras). Kadar amilosa jenis beras rata-rata 25%, sedangkan untuk jenis ketan sekitar 2%. Kadar amilosa menentukan kepulenan dan kekilapan nasi setelah ditanak. Dengan sifat ini, jenis sorgum nonwaxydapat dimasak sebagai nasi, atau campuran dengan nasi beras, bubur, dan bentuk-bentuk olahan lainnya. Sorgum jenis waxy yang rasanya pulen seperti ketan dapat dimanfaatkan untuk pembuatan makanan tradisional seperti tapai, jadah, wajik, lemper, dan rengginang seperti yang dilakukan di daerah Demak (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Gambar 1 menunjukkan bentuk tanaman dan biji sorgum.

Sumber : komoditasindonesia.com Sumber : kimdump.blogspot.com (a) (b)

Gambar 1. Tanaman sorgum (a) dan biji sorgum (b)

2.1.1. Struktur dan Komposisi Gizi Sorgum

Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan yaitu sorgum dengan biji berukuran kecil (8-10 mg), sedang (12-24 mg), dan besar (25-35 mg). Biji sorgum di Pulau Jawa umumnya berukuran sedang dan besar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Bobot biji bervariasi berdasarkan penanaman dan sumber. Kebanyakan varietas sorgum berbentuk hampir bulat (diameter 2-4 mm) dengan ukuran embrio yang relatif besar (Evers et al. 2006).


(21)

Biji sorgum terdiri dari 10% lembaga, 8% perikarp atau sekam, dan 80% endosperma. Proporsi tersebut mungkin bervariasi tergantung dari varietas, kondisi lingkungan, dan derajat kematangan. Kulit biji terdiri dari perikarp dan testa. Lapisan terluar adalah perikarp yang dikelilingi oleh kutikula yang waxy. Embrio atau lembaga terdiri dari scutellum besar, plumule, dan akar primer. Lembaga ini relatif kokoh menempel dan sulit untuk dipisahkan melalui penggilingan kering. Endosperma memiliki proporsi yang paling besar dari kernel dan mengandung lapisan aleuron. Lembaga kaya akan protein, lemak, mineral, dan vitamin B kompleks (Riahi dan Ramaswamy 2003).

Lapisan aleuron atau bekatul terdapat di atas permukaan endosperma biji. Sel-sel aleuron tidak mengandung granula pati, tetapi mengandung protein, lemak dengan kadar yang relatif tinggi, sejumlah mineral dan vitamin yang larut dalam air (Rooney dan Miller 1982). Lapisan aleuron sorgum memiliki bentuk dan penampakan yang mirip dengan jagung (Evers et al. 2006).

Di beberapa varietas sorgum, terjadi pigmentasi yang mengakibatkan semua jaringan menjadi berwarna dalam waktu yang tidak bersamaan. Enam kelas penampakan kernel adalah putih, kuning, merah, coklat, dan kekuningan (Evers et al. 2006). Biji sorgum yang memiliki kadar tanin tinggi dicirikan dengan warnanya yang coklat gelap atau coklat kemerahan (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Struktur biji sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber :www.cd3wd.com

Gambar 2. Struktur biji sorgum

Protein pada biji sorgum sebagian besar adalah prolamin (kafirin) dan glutelin. Seperti serealia lainnya, sorgum kekurangan asam amino lisin, treonin, dan triptofan. Meskipun demikian, saat ini sudah dapat diproduksi sorgum yang tinggi lisin (Wrigley dan Bekes 2004). Selain itu, protein albumin dan globulin relatif tinggi dan menyusun sebanyak 17% dari total protein (Evers et al. 2006).

Penghilangan perikarp secara signifikan akan mengurangi serat kasar dari sorgum. Kadar mineral dalam sorgum seperti kalsium, besi, fosfor, serta vitamin B juga berkurang dengan hilangnya perikarp dan keberadaan asam fitat (Riahi dan Ramaswamy 2003). Sorgum memiliki kandungan amilosa antara 20-30%, sisanya amilopektin (Wrigley dan Bekes 2004). Komposisi gizi dari sorgum dan serealia lain dapat dilihat pada Tabel 1.


(22)

Tabel 1. Komposisi gizi berbagai jenis serealia

Komposisi Gandum Rye Jagung Barley Oat Beras Sorgum Kadar air (%) 10 10.5 15 10.6 9.8 11.4 10.6 Protein (%) 14.3 13.4 10.2 13 12 9.2 12.5

Lemak (%) 1.9 1.8 4.3 2.1 5.1 1.3 3.4

Serat (%) 3.4 2.2 2.3 5.6 12.4 2.2 2.2

Abu (%) 1.8 1.9 1.2 2.7 3.6 1.6 2

Sumber : Riahi dan Ramaswamy (2003)

Tanin merupakan polimer polifenol yang berada pada lapisan perikarp dan testa dari kulit biji. Tanin menyediakan perlindungan terhadap serangga dan burung, serta melawan kerusakan saat hujan. Keberadaan tanin sebagai penangkal burung diasumsikan karena rasa tanin yang tidak enak (Evers et al. 2006). Cara bercocok tanam yang berbeda mempengaruhi produksi tanin pada sorgum (Wrigley dan Bekes 2004). Menurut Von Elbe dan Schwartz (1996), selain memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein, tanin juga mampu berikatan dengan polimer lainnya seperti polisakarida. Tanin larut dalam air dan memiliki kemampuan untuk mengendapkan alkaloid, gelatin, dan protein lainnya.

Berdasarkan penelitian Rungkat-Zakaria et al. (2011), sorgum memiliki potensi ke arah pangan dan kesehatan. Sorgum mengandung komponen bioaktif, misalnya komponen fenolik yang memiliki peranan sebagai antioksidan (Rooney dan Awika 2004). Antioksidan berperan sebagai penangkal radikal bebas yang dalam jumlah yang berlebihan dalam tubuh dapat memberikan efek negatif pada kesehatan, misalnya menurunkan fungsi sistem imun.

Penelitian mengenai diet berbasis sorgum pada tikus Sprague dawley yang dilakukan oleh Rungkat-Zakaria et al. (2011) menyebutkan bahwa penggunaan sorgum 50% dari sumber karbohidrat dapat meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit limfa. Hal ini ditunjukkan dari adanya aktivitas imunomodulator, menyebabkan peningkatan kapasitas antioksidan pada hati melalui peningkatan aktivitas anitoksidan (DPPH), penurunan malondialdehida (MDA), dan peningkatan aktivitas enzim antioksidan. Fungsi senyawa fenolik sebagai immunomodulator diduga berhubungan dengan peranannya sebagai antioksidan dalam proses perlindungan membran limfosit dari oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas (Yanuwar 2009). Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa sorgum baik sebagai pangan dan kesehatan serta dapat dikembangkan menjadi pangan fungsional.

2.1.2. Pengembangan Sorgum

Sebagian besar sorgum digunakan di negara penghasilnya dengan tujuan yang berbeda. Di Amerika Utara, Tengah, Selatan, dan Oseania, sorgum banyak digunakan sebagai pakan ternak, sementara di negara berkembang seperti Afrika, sorgum banyak dikonsumsi oleh manusia. Biji sorgum dapat disiapkan menjadi produk yang mirip dengan jagung manis atau popcorn. Sorgum dapat diolah menjadi berbagai produk pangan tradisional, pancake non gandum, tortilla, kue, biskuit dan roti, mi dan pasta, minuman fermentasi tradisional dengan atau tanpa alkohol, bir (dari malt sorgum), dan di Cina diolah menjadi minuman hasil penyulingan. Embrio sorgum diproduksi sebagai minyak untuk memasak atau salad (Evers et al. 2006).

Varietas sorgum juga digunakan sebagai makanan di beberapa bagian daerah di dunia. Di Afrika Barat dan Selatan, varietas sorgum berkadar tanin sedang digunakan untuk bahan baku


(23)

makanan dan minuman beralkohol. Di beberapa budaya Afrika, sorgum tanin lebih disukai karena bubur yang terbuat dari sorgum bertanin memiliki waktu tinggal di dalam perut lebih lama dan membuat petani dapat bekerja lebih keras di sawah. Di negara barat, kegunaan sorgum berpigmen sebagai makanan sangat sedikit (Awika dan Lloyd 2004). Hasil survei yang dilakukan oleh Mudjisihono dan Suprapto (1987) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya Demak dan Bojonegoro, menyatakan bahwa sorgum sudah dimanfaatkan sebagai pengganti sementara posisi beras di musim paceklik.

Terdapat dua bentuk olahan biji sorgum, yaitu beras dan tepung sorgum. Beras sorgum diperoleh dari hasil penggilingan atau penyosohan menggunakan abrasive mill. Endosperma yang diperoleh berwarna putih dan bebas dari sekam dan bekatul. Apabila proses penyosohan dapat dilakukan dengan sempurna, maka beras sorgum tidak akan membawa rasa sampingan yang tidak enak ataupun bau yang kurang disukai. Dengan menggunakan mesin penyosoh beras dari silinder batu gerinda, beras yang dihasilkan berwarna putih bersih dan apabila dimasak tidak terasa kasar di lidah (Mudjisihono dan Suprapto 1987).

Tepung atau grits diproduksi melalui penggilingan batu di desa di India, atau hammer milling dan roller milling di industri. Penggilingan basah lebih cenderung digunakan di banyak industri. Penggilingan yang dilakukan mirip dengan penggilingan basah pada jagung, dan sering dilakukan untuk menghasilkan pati atau glukosa (Wrigley dan Bekes 2004). Untuk membuat tepung sorgum, biji sorgum utuh harus disosoh terlebih dahulu. Namun, penyosohan sorgum sangat sulit dilakukan karena sorgum dikenal memiliki kulit biji yang keras dan sulit dihilangkan. Cara penyosohan melalui penggilingan tradisional atau penghancuran terhadap bijinya tidak dapat memberikan hasil yang diharapkan. Hal ini disebabkan masih banyaknya sisa kulit biji yang menempel pada endosperma sehingga tepung yang dihasilkan memiliki tekstur kasar (Mudjisihono dan Suprapto 1987). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian telah mengembangkan tepung sorgum yang dibuat dari biji sorgum dengan komposisi kimia dan proses pengolahan seperti pada Tabel 2 dan Gambar 3.

Tahap perendaman biji pada produksi tepung B2P4 menggunakan 0.3% NaHCO3 selama 8

jam dilakukan untuk menghilangkan tanin pada biji sorgum. Kehilangan tanin tersebut diduga akibat terkelupasnya kulit biji dan lapisan testa selama perendaman. Selain dengan cara tersebut, penghilangan tanin juga dapat dilakukan dengan perendaman dalam air suling pada suhu 30oC selama 24 jam. Cara ini dapat menghilangkan kadar tanin dalam sorgum sampai sekitar 31%. Perendaman dalam larutan NaOH dan KOH 0.05 M pada suhu 30oC selama 24 jam dapat menghilangkan kadar tanin jauh lebih besar, yaitu sekitar 75-85%. Perendaman dalam larutan Na2CO3 pada kondisi yang

sama dapat menghilangkan kadar tanin sampai 77% (Mudjisihono dan Suprapto 1987).

Tabel 2. Komposisi kimia biji dan tepung sorgum

Komponen Biji sorgum Tepung sorgum

Air (%) 9-11 10-12

Protein (%) 10-12 7-9

Lemak (%) 2-2.5 0.4-0.7

Karbohidrat (%) 73-78 73-83

Abu (%) 1-1.5 0.2-0.4

Tanin (%) 2-4 0.6-1.0


(24)

Gambar 3. Proses pengolahan tepung sorgum (B2P4 2010)

2.2.

PATI

Pati dalam biji sorgum sekitar 83% terdapat dalam endosperma, 13.4% dalam lembaga, dan 3.6% dalam kulit biji. Kandungan pati dalam biji sorgum yang telah dihilangkan lemaknya dapat ditentukan melaluihidrolisis enzim dan asam dan dinyatakan sebagai gula reduksi. Kandungan pati dalam biji sorgum bervariasi antara 68-73%. Pati tersusun atas dua komponen utama yaitu amilosa dan amilopektin (Mudjisihono dan Suprapto 1987).

2.2.1. Amilosa

Amilosa terdiri dari molekul D-glukosa yang terhubung dalam konformasi -14. Monomer tersebut membentuk polimer rantai linier yang lurus. Kandungan amilosa sekitar 20-40% dalam biji-bijian. Amilosa mengandung ikatan glikosidik -14 dan sedikit larut dalam air. Molekul amilosa membentuk konformasi heliks sehingga dapat menyusun formasi kompleks dengan iodin, lemak, dan

Penirisan

Pengeringan k.a 16%

Penepungan ka = 12%

Tepung sorgum Biji sorgum

Pembersihan

Pengkondisian k.a. 20%

Penyosohan DS 100%

Perendaman

(0.3% NAHCO3, 8 jam, 1:3 b/v)


(25)

substansi polar lainnya. Kompleks amilosa dengan iodin membentuk warna biru yang dapat dibaca pada panjang gelombang 650 nm (Niba 2006).

Amilosa berkontribusi terhadap karakteristik pembuatan gel pada campuran pati yang dipanaskan dan didinginkan. Hal ini terkait dengan polisakarida dari glukosa yang terdapat dalam amilosa. Amilosa dapat membentuk gel dari rantai linier yang dapat berorientasi paralel dan saling berdekatan satu sama lain untuk berikatan. Hal ini memudahkan molekul amilosa untuk bersatu dalam pasta yang dimasak, tetapi tidak berkontribusi secara signifikan terhadap viskositas (Rick 2003).

Amilosa adalah komponen kunci yang terlibat dalam penyerapan air, pengembangan granula, dan gelatinisasi pati dalam pengolahan makanan. Pati beramilosa tinggi umumnya diaplikasikan pada produk pangan yang membutuhkan pengaturan gel yang cepat seperti permen dan gula-gula. Amilosa lebih rentan terhadap gelatinisasi dan retrogradasi dan umumnya terlibat dalam pembentukan pati resisten (Niba 2006).

2.2.2. Amilopektin

Amilopektin terdiri dari D-glukosa yang terhubung dalam konformasi linier -14 dan cabang pada -16. Jumlah ikatan -16 sekitar 5% dari struktur amilopektin yang membuat ukuran molekulnya lebih besar dari amilosa. Ukuran molekul yang lebih besar dari amilosa membuat dua polimer ini terpisah berdasarkan ukuran pada kromatografi. Amilopektin memiliki rantai cabang yang pendek sehingga tidak dapat membentuk kompleks heliks dengan iodin (Niba 2006).

Sifat amilopektin dalam aplikasi pangan berbeda dengan amilosa. Gel amilopektin lebih fleksibel dan resisten terhadap retrogradasi. Pati beramilopektin tinggi biasanya digunakan dalam pengolahan mi dan beberapa produk roti untuk memperpanjang umur simpan. Amilopektin juga digunakan untuk meningkatkan stabilitas selama thawing beku karena resistensinya terhadap retrogradasi (Niba 2006). Amilopektin mempengaruhi kekentalan produk, namun biasanya tidak berkontribusi terhadap pembentukan gel. Beberapa galur dari jagung, beras, sorgum, dan barley sama sekali tidak mengandung amilosa, seluruhnya hanya amilopektin (Rick 2003).

2.2.3. Gelatinisasi

Gelatinisasi terjadi saat struktur dari granula pati terganggu dan diatur kembali dengan adanya panas dan kelembaban yang cukup. Granula ini akan menyerap air, kehilangan struktur molekul yang rapi, lalu mengembang. Granula pati murni tidak larut dalam air dingin dan membutuhkan gelatinisasi untuk memfasilitasi penyerapan air dan meningkatkan reaktivitas kimia dan fisik dari granula pati inert dalam pengolahan pangan (Niba 2006). Granula yang lebih besar akan mengembang lebih dulu pada temperatur yang lebih tinggi daripada granula yang kecil. Meskipun demikian, tidak ada suhu gelatinisasi yang mutlak. Campuran yang lebih pekat memiliki viskositas yang lebih tinggi pada suhu rendah karena banyaknya granula yang mengembang (Rick 2003).

Hasil gelatinisasi adalah pengembangan pati dan pembentukan pasta kental yang buram atau tembus cahaya, tergantung dari sifat dasar dari suatu pati. Gelatinisasi biasanya diikuti oleh gelasi, proses dimana granula yang mengembang terganggu dan amilosa dilepaskan ke media pati-air. Pelepasan amilosa dari granula yang tergelatinisasi berkontribusi terhadap karakteristik kental dari pati dan pembentukan gel yang merupakan dispersi koloid pati dalam air. Amilosa tersebut akan


(26)

membentuk jaringan yang struktural untuk merangkap granula dan menghasilkan pembentukan gel (Niba 2006).

Peningkatan kadar amilosa juga membuat gelasi berlangsung lebih awal. Pati dengan kandungan amilosa rendah, seperti waxy maize yang mengandung <1% amilosa, tidak dapat membentuk gel secara efektif, hanya pasta jernih yang umumnya resisten terhadap sineresis (Niba 2006). Pati tergelatinisasi memainkan peranan penting dalam menentukan karakteristik struktural dan tekstural dari banyak pangan. Proporsi dari pati tergelatinisasi dan pati mentah dalam produk makanan siap saji dapat menjadi titik kritis dalam menentukan penerimaannya (Sablani 2009).

2.2.4. Retrogradasi

Retrogradasi juga dikenal dengan sebutan setback dan terjadi melalui pengkristalan kembali molekul amilosa. Hal ini menyebabkan pelepasan air yang sudah terserap dan terikat selama gelatinisasi dan mengarah pada fenomena yang disebut sineresis. Amilosa jauh lebih rentan terhadap retrogradasi, sedangkan amilopektin hanya terlibat secara minimal walaupun diketahui mempengaruhi retrogradasi dan sineresis dalam gel pati jagung. Retrogradasi pati dalam beberapa hal meningkatkan kualitas pati yang resisten terhadap enzim hidrolisis dan lebih stabil (Niba 2006).

Dalam produksi mi pati, dibutuhkan pengkondisian suhu rendahyang diaplikasikan setelah gelatinisasi untaian mi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan retrogradasi mi. Salah satu cara pengkondisian tersebut adalah pencucian mi dengan air setelah mi dimasak. Tanpa proses gelatinisasi, molekul amilosa tidak dapat dilepaskan untuk berpartisipasi dalam proses retrogradasi yang mengatur struktur mi (Tam et al. 2004).

2.3.

TEKNOLOGI PEMBUATAN MI

2.3.1. Mi Terigu

Pasta dan mi dari terigu memanfaatkan protein yang terkandung di dalamnya untuk memperkuat dan menahan bentuk selama pengeringan, pemasakan produk, dan mengurangi kehilangan padatan selama pemasakan (cooking loss). Menurut Wals dan Gille (1974), proses pengolahan mi diawali dengan pencampuran bahan, proses pembentukan, dan pengeringan. Terigu dicampur air, garam dan bahan lain sehingga membentuk adonan pasta yang homogen. Adonan pasta mengalami proses lebih lanjut hingga membentuk adonan yang lebih homogen, plastis dan elastis. Jumlah air yang ditambahkan adalah 28-38%. Pembentukan adonan dilakukan selama 15-25 menit pada suhu 25-40oC. Adonan dipipihkan dengan alat roll-press dan dicetak menjadi mi dengan ketebalan 1-2 mm.

Pencampuran bahan bertujuan menghasilkan campuran yang homogen, menghidrasi tepung dengan air dan membentuk adonan menjadi halus dan elastis. Setelah pencampuran dilakukan pengadukan agar adonan lebih homogen. Hal yang harus diperhatikan dalam pengadukan adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan, dan waktu pengadukan. Air yang ditambahkan haruslah cukup. Jika jumlah air yang ditambahkan kurang, maka adonan menjadi keras, rapuh, dan adonan sulit dibentuk menjadi lembaran. Jika jumlah air yang ditambahkan berlebih, maka adonan menjadi basah dan lengket (Oh et al. 1985).

Bila proses dilanjutkan dengan perebusan pada suhu 100oC selama 5 menit dan dibiarkan dingin pada suhu ruang akan dihasilkan mi matang dan jika dilanjutkan dengan pengeringan (60oC


(27)

selama 7 jam) akan menjadi mi kering. Jika digoreng dengan suhu 140-150oC sampai kadar airnya 3-5% dan ditiriskan akan menjadi mi instan (Sunaryo 1985).

Pembuatan spaghetti menggunakan ekstruder pasta (forming extruder). Penambahan air tergantung pada suhu mixing. Pada suhu 35-45oC, air yang ditambahkan sebanyak 32-34%, sedangkan pada suhu rendah yaitu antara 2-10 oC air yang ditambahkan sebanyak 34-36%. Menurut Dalbon et al. (1996) penyerapan air oleh tepung akan semakin tinggi dengan semakin tingginya suhu. Proses ekstrusi pada pembuatan spaghetti harus dipertahankan suhunya pada kisaran 38-40oC. Jika suhu terlalu tinggi akan terjadi kerusakan pada protein sehingga dapat mengganggu proses terbentuknya adonan yang plastis. Pada industri, ekstrusi dilengkapi dengan mantel pendingin untuk mempertahankan suhu proses supaya tidak naik.

2.3.2. Mi Non Terigu

2.3.2.1. Mi Pati

Mi pati diproduksi dari pati murni dari berbagai macam sumber pangan sebagai kategori mayor dari mi Asia. Pada umumnya, pembuatan mi pati meliputi beberapa tahap, yaitu pencampuran bahan kering dan gelatinisasi pati untuk membuat pasta pati atau adonan, ekstrusi langsung ke air mendidih untuk pemasakan, pendinginan untuk pembentukan mi, penyimpanan pada suhu dingin atau beku, penghangatan pada air dingin, dan pengeringan (Galvez et al. 1995 dalam Tan et al. 2009).

Bahan baku mi yang berbasis pati dapat berasal dari kacang hijau, ubi jalar, maupun sorgum (Fuglie dan Hermann 2001). Di Cina, mi yang dibuat dari pati ubi jalar dilakukan dengan proses sebagai berikut : sebagian pati ubi jalar ditambah air, dipanaskan sambil diaduk. Setelah adonan mengalami gelatinisasi, pasta pati ditambah pati ubi jalar sambil terus diaduk. Adonan dicetak menjadi mi yang langsung ditampung dengan air hangat, kemudian didinginkan dan dikeringanginkan selama 1-2 jam dengan wadah bambu. Selanjutnya, mi dijemur selama kurang lebih 8 jam sampai kering (Wiersema 1992).

Menurut Chen (2003), pembuatan mi pati dilakukan dengan gelatinisasi 5% pati dalam air dengan perbandingan 1:9 (yang berfungsi seperti gluten pada mi terigu). Pati yang sudah digelatinisasi dicampur dengan 95% pati yang belum digelatinisasi kemudian dicetak menggunakan ekstruder piston (cylindrical extruder) dengan diameter die ekstruder 1.5 mm. Mi langsung masuk air panas (95-98°C) dan pemanasan dipertahankan selama 50-70 detik. Mi diangkat, didinginkan pada suhu 4°C selama 6 jam, kemudian dibekukan pada suhu -5°C selama 8 jam, dan dikeringanginkan selama 4 jam.

2.3.2.2. Mi Jagung

Pembuatan mi jagung yang dilakukan oleh Waniska et al. (1999) menggunakan ekstruder pasta. Bahan baku yang digunakan adalah tepung jagung (200 g), air (120 g), garam (2 g), dan natrium metabisulfit (0.5 g). Bahan tersebut lalu dicampur dan dipanaskan pada suhu 95oC selama 2-3 menit. Kemudian, adonan dicetak menggunakan ekstruder pasta dan dikeringkan. Kelemahan pada mi yang dibuat oleh Waniska et al. (1999) adalah cooking loss mi yang masih terlalu tinggi (>40%).

Proses pembuatan mi yang optimum pada penelitian Muhandri (2012) diperoleh pada kondisi proses kadar air tepung 70%, suhu ekstruder 90oC, dan kecepatan ulir ekstruder 130 rpm. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 3039,79 gf, kelengketan -116,26 gf, elongasi 318,68%, dan cooking loss 4,56 %. Penggunaan garam (sodium karbonat dan sodium klorida) dapat


(28)

menghasilkan mi jagung yang lebih lunak (menurunkan kekerasan mi jagung). Pada penggunaan sodium karbonat, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium karbonat 0,11% atau 0,12% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 2242,29gf, kelengketan 58,83gf, elongasi 418,81% dan cooking loss 3,66%. Pada penggunaan sodium klorida, produk yang optimum diperoleh pada kondisi proses kadar air 80%, sodium klorida 2% dan jumlah passing adalah 3 kali. Pada kondisi ini mi jagung memiliki karakteristik kekerasan 1855,23 gf, kelengketan 35,86 gf, persen elongasi 576,38% dan cooking loss 2,62%.

Muhandri (2012) menjelaskan bahwa pembuatan mi dari tepung (misalnya tepung jagung) membutuhkan mekanisme gelatinisasi dan pemecahan granula tepung karena hal ini diperlukan untuk membentuk ikatan hidrogen antar amilosa ketika retrogradasi (pendinginan). Ikatan hidrogen inilah yang akan membentuk struktur mi yang kokoh. Kondisi ini memerlukan suhu yang cukup, kadar air yang optimal dan tekanan shear yang cukup. Ikatan hidrogen antar amilosa ditentukan pula oleh kandungan amilosa tepung non terigu.

2.3.2.3. Mi Sorgum

Kunetz (1997) melakukan penelitian mengenai pembuatan mi sorgum dengan bahan baku tepung sorgum (100 g), garam 1% dan air (90 ml). Tepung sorgum yang digunakan memiliki karakteristik endosperma sedang sampai keras dan indeks ukuran partikel yang sedang dengan sedikit perikarp. Adonan mi yang telah dicampur lalu dipanaskan menggunakan microwave pada suhu 95oC. Adonan kemudian dicetak menggunakan ekstruder pencetak dan menghasilkan mi kering yang halus dan lurus serta terlihat cukup kuat untuk tidak patah selama pengepakan dan pengangkutan. Mi yang telah dimasak dapat mempertahankan tekstur yang kompak, tidak hancur seperti bubur, dan memiliki cooking loss rendah.

Mi sorgum dalam penelitian Suhendro et al. (2000) menggunakan bahan dan teknik ekstrusi yang sama dengan penelitian Kunetz (1997). Adonan mi dilewatkan ke dalam ekstruder sebanyak 3 kali (3 kali passing). Tepung sorgum dengan ukuran partikel yang lebih kecil menghasilkan mi yang lebih baik. Mi yang lebih kuat dan kompak dihasilkan melalui pengeringan dua tahap, yaitu 60oC 100% RH selama 2 jam diikuti dengan 60oC 30% RH selama 2 jam. Melalui pengolahan tersebut menghasilkan mi dengan cooking loss 10%.

Penelitian Liu (2009) menggunakan teknik kalendering untuk membuat mi sorgum. Bahan-bahan yang digunakan adalah tepung sorgum, garam beryodium, xanthan gum, tepung putih telur, tepung telur, pati jagung, dan air. Bahan kering ditambahkan ke dalam mixer dan dicampur selama 1 menit dengan kecepatan rendah lalu kecepatan tinggi selama 1 menit. Air (57%) ditambahkan untuk membentuk adonan yang seragam, halus, dan tidak lengket, lalu dicampur selama 2 menit dengan kecepatan rendah dan 4 menit dengan kecepatan tinggi. Adonan lalu diuleni menggunakan tangan selama 1 menit, diistirahatkan selama 15 menit, dan ditipiskan menggunakan mesin mi. Lapisan tipis adonan lalu dicetak dengan lebar sekitar 1 cm. Cooking loss dari mi sorgum tersebut berkisar antara 4.42-5.53%.


(29)

2.4.

EKSTRUSI

Ekstrusi adalah suatu proses saat bahan dipaksa berada di bawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi, dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering dalam waktu singkat. Pengolahan dengan ekstrusi dapat memanfaatkan sumber pati yang beragam dan merupakan alternatif yang menarik. Fungsi ekstrusi adalah gelatinisasi/pemasakan, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisisi, pembentukan, dan penggembungan/pengeringan (puffing/drying). Kombinasi satu atau lebih fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam teknologi ekstrusi (Muchtadi et al. 1988).

Menurut Estiasih dan Ahmadi (2011), fungsi ekstrusi juga dapat dilakukan untuk proses pemisahan, pendinginan-pemanasan, penghilangan senyawa volatil, penurunan kadar air, pembentukan citarasa dan bau, dan enkapsulasi. Ekstrusi dengan suhu tinggi dan waktu singkat (HTST) dapat menghilangkan kontaminasi mikroba dan inaktivasi enzim. Proses dengan ekstrusi dapat menurunkan senyawa antigizi dalam bahan pangan.

Ekstrusi dengan suhu tinggi biasanya digunakan untuk pasta, sedangkan suhu rendah digunakan untuk makanan ringan atau snack. Tekanan yang digunakan dalam ekstrusi berkisar antara 15-200 atm. Fungsi tekanan itu sendiri adalah untuk mengendalikan bentuk, menjaga air dalam kondisi cair yang sangat panas, serta meningkatkan peran pengadukan. Kadar air bahan normal adalah 10-40% basis basah dan suhu tinggi mencapai 100-180oC secara kontinyu (Estiasih dan Ahmadi 2011).

Dalam proses ekstrusi, umumnya terdapat dua input energi utama ke dalam sistem. Pertama, energi yang ditransfer dari perputaran ulir dan yang kedua adalah energi yang ditransfer dari pemanas melalui dinding barrel. Energi panas akan menghasilkan peningkatan suhu dari bahan yang diekstrusi. Sebagai hasilnya, akan terjadi perubahan seperti pelelehan dari material padat dan atau penguapan air (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

Penelitian terhadap efek dari beberapa variabel ekstrusi seperti kadar air, suhu barrel, geometri ulir, dan kecepatan ulir pada gelatinisasi pati jagung mengindikasikan bahwa suhu barrel dan kecepatan ulir memiliki efek yang paling besar terhadap gelatinisasi pati (Mercier dan Feillet 1975). Kecepatan ulir yang lebih tinggi menurunkan gelatinisasi dan terkait dengan rendahnya waktu tinggal. Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan bahwa peningkatan kecepatan ulir akan menurunkan derajat gelatinisasi akibat pengadukan meningkat akibat penurunan waktu tinggal sampel dalam ekstruder.

Efek dari kadar air bahan, suhu barrel, kecepatan ulir, dan ukuran die pada gelatinisasi tepung terigu selama ekstrusi menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi meningkat tajam dengan peningkatan suhu, saat kadar air bahan 24-27%, tetapi meningkat lebih lambat saat kadar air bahan 18-21% (Chiang 1975). Pada suhu yang lebih rendah (65-80oC), peningkatan kadar air bahan menyebabkan sedikit penurunan gelatinisasi, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi (95-110oC), peningkatan kadar air secara signifikan meningkatkan derajat gelatinisasi. Peningkatan ukuran die dapat mengurangi derajat gelatinisasi akibat penurunan waktu tinggal sampel, tekanan yang lebih rendah, dan luas permukaan adonan yang lebih kecil (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).


(30)

2.5.

EKSTRUDER

Secara umum, ekstruder dibagi menjadi dua jenis yaitu ekstruder ulir tunggal dan ekstruder ulir ganda. Terdapat lima jenis ekstruder ulir tunggal yang umum dipakai di industri pangan, yaitu (Muchtadi et al. 1988) : (1) ekstruder pasta, (2) high pressure forming extruder, (3) low shear cooking extruder, (4) coolet extruder, (5) high shear cooking extruder.

Ekstruder pasta dipakai untuk membentuk makaroni dan produk serupa dari adonan. Ekstruder ini dianggap yang paling ideal karena memiliki silinder yang licin dan tidak mempunyai bagian yang dapat membawa padatan, serta biasanya mempunyai geometri ulir yang konstan. Alat ini juga yang paling mendekati ekstruder isotermal karena hanya mengakibatkan kenaikan suhu yang paling rendah.

High pressure forming extruder untuk membentuk dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi, digunakan pada produk yang membutuhkan proses lanjutan seperti penggorengan dalam lemak (snack) dan sereal. Cara kerja ekstruder ini seperti ekstruder pasta, namun silindernya berupa ulir. Ulir tersebut membutuhkan tenaga tambahan yang menyebabkan naiknya suhu serta panas yang dilepas ke makanan.

Low shear cooking extruder untuk adonan dengan kadar air tinggi, bersifat fleksibel dan hasil yang dimasak harus diproses lebih lanjut dengan pembentukan dan pengeringan. Kekentalan adonan yang rendah (kadar air tinggi) mengakibatkan hampir semua energi yang dibutuhkan untuk pemasakan berasal dari luar (pemanas). Ekstruder ini biasanya menggunakan silinder beralur dan ulir pemadat.

Coolet extruder untuk membuat panganan butiran yang bergelembung kering, biasanya memiliki waktu tinggal yang sangat singkat. Pelepasan energi yang sangat cepat terjadi karena kemampuan potong yang tinggi, silinder beralur dalam, dan adonan sangat kental (kelembaban rendah). Suhu tinggi yang terjadi menyebabkan kehilangan air yang demikian hebat sehingga membentuk produk yang kering dan bergelembung. Mesin ini membutuhkan proses sebelum dan setelah ekstrusi yang minimal, namun sifatnya tidak fleksibel dan menghasilkan produk terbatas dengan bahan yang terbatas juga. Kenaikan suhu yang tinggi, perubahan reologi, dan adanya silinder dan ulir yang bervariasi menyebabkan analisis pada ekstruder ini sulit dilakukan.

High shear cooking extruder yang serupa dengan coolet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk sereal bergelembung, makanan ringan, dan makanan hewan. Ekstruder ini memiliki waktu tinggal yang lebih lama dibandingkan coolet ekstruder dan kelebihan panas akan dibuang dengan cara pendinginan silinder. Pemotongan yang cepat dan waktu tinggal yang lebih lama menghasilkan campuran yang teraduk dengan baik sehingga air dapat diinjeksikan ke dalamnya dari pengumpan untuk memperoleh proses dengan kelembaban optimal. Produk yang dihasilkan memiliki kelembaban yang masih tinggi sehingga memerlukan proses pengeringan. Mesin ini akan menghasilkan produk yang warnanya lebih coklat, memiliki tekstur yang lebih kuat, serta aroma yang lebih baik.

2.5.1. Ekstruder Ulir Tunggal

Ekstruder ulir tunggal pertama kali digunakan pada tahun 1940-an untuk memproduksi puffed snacks dari tepung serealia dan grits. Di dalam ekstruder, energi mekanik dari perputaran ulir dikonversi menjadi panas sehingga menaikkan suhu campuran di atas 150oC. Campuran yang dihasilkan bersifat plastis lalu dipaksa melalui die. Pengurangan tekanan yang tiba-tiba pada die membuat air pada bahan menguap dengan cepat, dan produk menjadi mengembang. Mulai dari tahun


(31)

1950-an, proses ekstrusi dikembangkan untuk produk manufaktur seperti makanan hewan kering, sereal sarapan siap santap, dan sayuran protein bertekstur (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

Ekstruder ulir tunggal memiliki keterbatasan selama proses mixing sehingga bahan sebelumnya dicampur dengan air secara manual (Estiasih dan Ahmadi 2011). Hal ini sesuai dengan pendapat Ainsworth dan Ibanoglu (2006) yang menyatakan ekstruder ulir tunggal memiliki kemampuan mixing yang buruk sehingga sering digunakan untuk bahan yang sudah melalui proses prakondisi sebelumnya. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal, mengurangi konsumsi daya mekanik dan meningkatkan kapasitas. Prakondisi dilakukan menggunakan tekanan atau atmosfer dengan komposisi bahan mentah dibasahi atau dipanaskan atau keduanya dengan uap atau air sebelum masuk ke dalam ekstruder. Model ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal

Gaya friksi antara bahan dan dinding barrel adalah satu-satunya gaya yang dapat mencegah adonan untuk berputar pada ulir. Banyak mesin ulir tunggal memiliki potongan alur pada barrel yang berfungsi untuk menaikkan adhesi antara adonan dengan dinding barrel. Perputaran ulir pada barrel akan menyebabkan aliran kedua, disebut aliran berlawanan arah. Aliran ini tidak berkontribusi terhadap pergerakan adonan sepanjang barrel tetapi menyirkulasikan adonan kembali dalam screw flights dan menyebabkan beberapa aksi pengadukan dalam ekstruder. Selain dua aliran tersebut, terdapat aliran ketiga yang dikenal sebagai aliran tekanan. Aliran ini menyebabkan pergerakan mundur dalam barrel ekstruder yang menyebabkan mixing lebih lanjut pada produk. Kombinasi dari ketiga aliran tersebut memberikan aliran bersih adonan keluar dari die (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

2.5.2. Perbedaan Ekstruder Ulir Tunggal dan Ganda.

Ekstuder ulir ganda 1.5-2 kali lebih mahal dibandingkan ulir tunggal. Hal ini disebabkan kompleksitas ulir, gerakan, dan jaket energi transfer. Prakondisi dari adonan pada ekstruder ulir tunggal memberikan setengah kebutuhan panas untuk pemasakan atau pengolahan, sisanya baru diperoleh dari energi input mekanik. Ekstruder ulir ganda dapat mengolah pada level kelembaban yang lebih rendah, hal ini mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pengeringan lanjut


(32)

tambahan. Meskipun lebih mahal, ekstruder ulir ganda dapat melakukan pembersihan otomatis dari adonan yang tertinggal pada barrel setelah proses ekstrusi selesai (Harper 1991).

Ekstruder ulir tunggal dan ganda diaplikasikan secara berbeda dalam industri pangan. Misalnya, ekstruder ulir tunggal yang ekonomis dan memiliki metode yang efektif untuk proses termal dan pembentukan pakan hewan. Di lain pihak, ekstruder ulir ganda digunakan untuk produksi snack yang membutuhkan kontrol dan fleksibilitas yang lebih baik (Ainsworth dan Ibanoglu 2006).

2.6.

RESPONSE SURFACE METHODOLOGY

Response Surface Methodology terdiri dari grup teknik yang digunakan dalam pembelajaran secara empiris mengenai hubungan antara satu atau lebih respon yang terukur dan beberapa variabel input (Box et al. 1978). Metode ini juga merupakan alat untuk memahami hubungan kuantitatif antara variabelinput dan respon output dan seringkali dengan penekanan dalam optimasi suatu respon. Metode ini terdiri dari kumpulan prosedur matematik dan statistik yang meliputi rancangan percobaan, pemilihan dan penyesuaian model, serta optimasi dari model yang disesuaikan (Chen dan Chen 2009). Metode RSM dapat digunakan pada software Design Expert 7.0.

Model yang sesuai seharusnya dapat merepresentasikan hampir semua rancangan yang memungkinkan dengan faktor percobaannya di dalam area yang telah ditentukan. Langkah terakhir adalah melakukan percobaan verifikasi berbasis kondisi optimal percobaan. Batas atas dan bawah dari variabel independent dihasilkan melalui percobaan preeliminasi dan pendekatan praktis. Metode RSM dapat dilakukan dalam satu langkah tanpa menentukan batas atas dan batas bawah terlebih dahulu (Chen dan Chen 2009).

Lack of fit test digunakan untuk mengecek integritas dari regresi model dan menentukan urutan model tersebut sudah benar atau belum. Nilai R2 menunjukkan jumlah dari kemungkinan perkiraan untuk suatu respon melalui respon model yang sesuai, nilai ini berkisar antara 0 dan 1 (Chen dan Chen 2009). Semakin besar nilai R2 tidak selalu dibutuhkan untuk mengindikasikan kedekatan dari perkiraan respon karena penambahan satu variabel akan selalu menaikkan nilai R2. Nilai Adj-R2 tidak akan meningkat dengan penambahan variabel yang secara statistik tidak signifikan. Nilai Pred -R2 mengukur kemampuan dari regresi model untuk memprediksi sebuah observasi baru.

Prosedur dari RSM sendiri terdiri dari lima langkah, yaitu (Chen dan Chen 2009) : 1. Melakukan screening percobaan dan rancangan percobaan

2. Menyusun kondisi yang fungsional berdasarkan rancangan percobaan 3. Membangun RSM

4. Melakukan proses optimasi


(33)

2.6.1. Perbedaan desain utama RSM

Terdapat tiga desain utama pada RSM, yaitu Central Composite, Box-Behnken, dan D-Optimal. Berikut adalah perbedaan dari ketiga desain yang sering digunakan dalam penelitian (Anonim 2005):

Central Composite Design

1. Menyusun desain dari 2 level faktorial dan memperbanyak dengan poin tengah dan poin aksial

2. Central composite design memiliki 5 level untuk setiap faktor, walaupun hal ini dapat dimodifikasi dengan memilih alfa = 1.0, CCD yang berpusat di muka, dengan 3 level untuk setiap faktor

3. Dibuat untuk memperkirakan model yang kuadratik 4. Lebih tidak sensitif terhadap data yang hilang

5. Mereplikasi titik tengah yang menunjang kemampuan prediksi yang tepat mendekati nilai tengah dari ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada

Box Behnken

1. Memiliki posisi yang spesifik dari titik desain 2. Selalu memiliki 3 level untuk setiap faktor 3. Dibuat untuk memperkirakan model kuadratik

4. Menunjang estimasi koefisien yang kuat yang dekat dengan titik tengah ruang desain, letak dimana titik optimasi awal berada, tetapi lemah pada sudut dari kubus, letak dimana tidak ada titik desain

5. Apabila ada data yang hilang, keakuratan dari data yang tersisa menjadi kritis terhadap ketergantungan model. Model ini tidak disarankan digunakan bila terdapat data yang hilang

D-Optimal

1. Posisi dari titik desain dipilih secara matematis berdasarkan jumlah faktor dan model yang diinginkan sehingga poin tersebut tidak berada pada posisi yang spesifik, tetapi tersebar di ruang desain untuk memenuhi kriteria D-optimal

2. Untuk model kuadratik, faktor dapat memiliki tiga atau empat level

3. Dapat digunakan untuk membuat desain yang baik agar sesuai dengan linier, kuadratik, atau kubik.

4. Apabila terdapat masalah, model yang diinginkan dapat diedit dengan menghilangkan istilah yang tidak signifikan atau tidak ada. Hal ini akan menurunkan jumlah running yang dibutuhkan

5. Dapat menambahkan pembatas ke ruang desain untuk meniadakan sebagian area yang tidak dapat diambil responnya

6. D-optimal secara matematis memiliki poin untuk meminimalkan integrasi variasi dari koefisien model sehingga didapatkan koefisien yang paling berharga

7. Umumnya, desain D-optimal memiliki 1-2 run yang lebih banyak dibandingkan Box Behnken sehingga menunjang proteksi sedikit lebih besar terhadap koefisien model apabila terjadi kehilangan beberapa data


(34)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah sorgum varietas Numbu, tepung jagung varietas P21, garam, dan air. Alat yang digunakan adalah mesin sosoh (Satake Grain Mill), wadah perendaman sorgum, penggiling (pin disc mill), vibrating screen dengan ukuran lubang 100 mesh, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal model Scientific Laboratory Single Screw Extruder type LE25-30/C Labtech Engineering Co. Ltd., Thailand, texture analyzer TA-XT2i, dan peralatan lain untuk analisis. Sorgum yang digunakan berasal dari SEAMEO BIOTROP yang berlokasi di Tajur, Bogor, sedangkan tepung jagung yang digunakan diperoleh dari SUA mi jagung IPB.

3.2.

WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan April-Oktober 2012. Pembuatan tepung sorgum dilakukan di Laboratorium SEAFAST Center IPB dan pembuatan mi dilaksanakan di Laboratorium lini proses mi skala pilot plant PAU IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Biokimia Pangan dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen ITP IPB. Analisis elongasi dan cooking loss dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan Departemen ITP IPB, sementara analisis warna dilakukan di Laboratorium Departemen ITP. Selain itu, uji hedonik dilakukan di Laboratorium Evaluasi Sensori PAU IPB.

3.3.

METODE PENELITIAN

Secara garis besar, penelitian terdiri dari beberapa tahapan, yaitu produksi dan identifikasi tepung sorgum, optimasi proses pembuatan mi sorgum, verifikasi proses, dan uji hedonik. Identifikasi tepung sorgum meliputi analisis proksimat, pati, amilosa, dan profil gelatinisasi pati. Optimasi proses pembuatan mi sorgum menggunakan respon cooking loss dan elongasi mi sorgum yang dilanjutkan dengan verifikasi proses. Terakhir, dilakukan pengembangan pembuatan mi sorgum yang dicampur dengan tepung jagung dan dilakukan uji hedonik terhadap dua sampel mi dengan proses optimal. Rangkaian metode secara detail yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.


(35)

Gambar 5. Rangkaian metode penelitian optimasi proses ekstrusi mi sorgum Mi sorgum

kering Penjemuran 1 jam Penyosohan 25 detik

Biji sorgum

Perendaman biji 2 jam

Pengeringan tepung 2 jam menggunakan matahari

Penggilingan dengan pin disc mill

Pengayakan 100 mesh

Tepung sorgum 100%

Pengujian elongasi dan cooking loss Pemilihan proses ekstrusi

terbaik menggunakan RSM D-Optimal Mi sorgum

Pembuatan mi sorgum dengan proses optimum Pembuatan mi basah

(variabel suhu & kec ekstruder)

Air 55% Garam 2%

Pengeringan mi dengan kipas angin semalam

Pembuatan mi sorgum-jagung (60:40) dengan proses optimum

Mi sorgum-jagung Penentuan komposisi gizi dan

profil gelatinisasi tepung


(36)

3.3.1. Pembuatan Tepung Sorgum Numbu

Pembuatan tepung sorgum dilakukan menggunakan teknik penepungan kering berdasarkan tahapan yang dilakukan Muhandri (2012). Teknik penepungan ini terdiri atas beberapa tahap proses, yaitu penyosohan biji, perendaman biji (conditioning), penjemuran biji sampai kadar air ± 35%, penggilingan halus (pin disc mill dengan saringan 48 mesh), pengeringan tepung menggunakan matahari selama 2 jam, pengayakan tepung (100 mesh), dan pengemasan tepung sorgum siap pakai. Sejumlah tepung sorgum kemudian diambil sebagai sampel dalam analisis proksimat (kadar air, protein, lemak, abu, pati, amilosa) dan profil gelatinisasi.

Proses conditioning bertujuan untuk memperlunak jaringan biji yang masih keras sehingga lebih mudah saat digiling menggunakan disc mill (Putra 2008). Proses ini menghasilkan biji sorgum dengan tektur yang lebih lunak dan terdapat retakan-retakan pada biji sehingga biji lebih mudah hancur saat digiling. Kemudian, sorgum dijemur menggunakan matahari selama ± 1 jam hingga kadar airnya sekitar 35% atau sorgum masih dalam keadaan setengah kering dan digiling. Jika kadar air terlalu tinggi, biji akan menempel pada pindisc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan pada alat. Sebaliknya, jika kadar air biji terlalu rendah, endosperma akan kembali menjadi keras dan sulit untuk digiling menjadi tepung (Merdiyanti 2008). Tepung lalu dikeringkan menggunakan matahari selama 2 jam sehingga diperoleh tepung sorgum yang kering. Langkah terakhir pada proses penepungan adalah pengayakan menggunakan vibrating screen dengan ukuran lubang ayakan 100 mesh. Tepung sorgum lalu dikemas menggunakan plastik PP dan disimpan di refrigerator.

3.3.2. Optimasi Pembuatan Mi Sorgum

Sebelum mencampur adonan, ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dinyalakan terlebih dahulu dan diatur sesuai dengan suhu dan kecepatan ulir yang diinginkan. Hal ini ditujukan agar saat adonan sudah selesai dicampur, proses produksi dapat langsung dilakukan karena ekstruder sudah siap digunakan dan suhu yang diinginkan sudah tercapai. Adonan yang telah selesai dicampur tidak boleh dibiarkan terlalu lama karena akan mempengaruhi konsistensi dan kelembaban adonan.

Pembuatan mi dilakukan dengan mencampur tepung sorgum, garam 2%, dan air 55%. Konsentrasi penambahan garam yang digunakan mengacu pada peneitian optimasi formula mi jagung oleh Muhandri (2012). Garam terlebih dahulu dilarutkan ke dalam air, kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam adonan sambil diaduk menggunakan sendok pengaduk. Untuk meratakan penyebaran air dalam adonan, adonan lalu dicampur menggunakan mixer selama ± 5 menit. Penentuan kadar air dilakukan melalui trial and error untuk mendapatkan konsistensi adonan yang sesuai. Sebagai acuan, digunakan adonan mi jagung sebagai contoh konsistensi adonan yang diinginkan.

Berdasarkan penelitian Muhandri (2012), jumlah air yang ditambahkan pada adonan mi jagung dengan menggunakan ekstruder yang sama adalah 80%. Percobaan pertama dilakukan dengan menambah 80% air ke dalam adonan. Hasil yang didapatkan adalah adonan terlalu basah serta memiliki warna yang gelap dan kusam. Selanjutnya, percobaan dilakukan dengan menambahkan 50% air, hasilnya adonan masih terlalu kering. Sebaliknya, adonan dengan kadar air 60% memiliki konsistensi yang lebih basah dari contoh yang diinginkan. Oleh karena itu, penambahan air dilakukan dengan mengambil titik tengah antara 50% dan 60%, yaitu 55%.

Selanjutnya, adonan dimasukkan ke dalam ekstruder pemasak-pencetak ulir tunggal dengan aplikasi dorongan. Variabel proses yang diamati meliputi suhu ekstruder (80-95oC) dan kecepatan ulir


(37)

(50-125 rpm). Untaian mi yang keluar sepanjang 1.5 meter pertama dibuang dan tidak digunakan dengan asumsi bahwa adonan tersebut belum cukup stabil kualitasnya atau kondisi proses belum steady state. Untaian mi lalu dipisahkan antar helai dan dibentuk menjadi persegi panjang dan dikeringkan menggunakan kipas angin selama semalam.

Penentuan rancangan percobaan dan penentuan proses optimal dari mi sorgum dibantu dengan program Response Surface Method D-Optimal menggunakan Design Expert 7.0, menghasilkan 16 buah running dalam pembuatan mi sorgum kering, seperti yang tampak pada Tabel 3. Pengolahan mi dengan ekstrusi menggunakan variasi suhu dan kecepatan ekstruder. Variabel respon yang digunakan adalah cooking loss dan elongasi. Untuk mendapatkan kedua data tersebut, mi harus terlebih dahulu dimasak hingga matang. Penentuan waktu masak atau cooking time dilakukan dengan memasak mi dan mencicipinya tiap 1 menit hingga mi sudah matang sempurna. Percobaan dilakukan mulai dari menit ke-7. Hal ini mengacu waktu masak mi jagung, yaitu 7 menit. Proses optimum ditentukan berdasarkan nilai cooking loss mi yang minimum.

Tabel 3. Rancangan percobaan optimasi proses mi sorgum kering

Model respon ditentukan mulai dari kubik sebagai model tertinggi sampai mean sebagai model terendah. Dalam pemilihan model, program akan menyarankan model yang dapat kita gunakan. Model yang sesuai adalah model yang memenuhi minimal tiga kriteria sebagai berikut (Anonim 2006):

1. Memiliki model yang “signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) kurang dari 0.0500 untuk nilai signifikansi yang kuat. Jika nilai Prob>F diantara 0.0500 dan 1, maka nilainya marjinal signifikan

2. Memiliki Lack of Fit yang “tidak signifikan” yang ditandai dengan nilai p-value (Prob>F) lebih dari 0.0500. Nilai Lack of Fit yang signifikan berarti model polinimial tidak sesuai dengan semua desain secara baik

3. Memiliki Pred R-Squared atau R2 prediksi yang reasonable agreement atau pernyataan yang beralasan dengan nilai Adj R-Squared

No Suhu Ekstruder (oC) Kecepatan Ulir (rpm)

1 80 52-a

2 80 52-b

3 80 74

4 80 125-a

5 80 125-b

6 84 50

7 84 106

8 88 93

9 89 125

10 90 54

11 95 50-a

12 95 50-b

13 95 88-a

14 95 88-b

15 95 125-a


(1)

Lampiran 31. Hasil analisis uji hedonik mi sorgum T-Test

Paired Samples Statistics

Atribut Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Warna Mi Sorgum Pair 1 A1_mi 2.67 33 .816 .142

Sorgum-Jagung B1 4.06 33 .864 .150

Kekeruhan air rebusan

Sorgum Pair 2 A2_air 2.09 33 .914 .159

Sorgum-Jagung B2 2.85 33 .870 .152

Kekerasan Mi Sorgum Pair 3 A3_ker 3.21 33 .857 .149

Sorgum-Jagung B3 3.42 33 .936 .163

Elongasi Mi Sorgum Pair 4 a4_elo 3.42 33 1.032 .180

Sorgum-Jagung b4 3.73 33 .719 .125

Rasa Mi Sorgum Pair 5 a5_ras 3.48 33 .795 .138

Sorgum-Jagung b5 3.61 33 .556 .097

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 A1_mi & B1 33 .340 .053

Pair 2 A2_air & B2 33 .529 .002

Pair 3 A3_ker & B3 33 .235 .188

Pair 4 a4_elo & b4 33 .498 .003


(2)

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Atribut Mean Std.

Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper

Warna Mi Pair 1 A1_mi - B1 -1.394 .966 .168 -1.737 -1.051 -8.287 32 .000 Kekeruhan

air rebusan Pair 2 A2_air - B2 -.758 .867 .151 -1.065 -.450 -5.019 32 .000 Kekerasan Pair 3 A3_ker - B3 -.212 1.111 .193 -.606 .182 -1.097 32 .281 Elongasi Pair 4 a4_elo - b4 -.303 .918 .160 -.629 .022 -1.896 32 .067 Rasa Pair 5 a5_ras - b5 -.121 .857 .149 -.425 .183 -.812 32 .423

Kesimpulan : Hasil analisis warna mi dan kekeruhan air rebusan mi menunjukkan ada perbedaan yang nyata pada sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, tidak ada perbedaan yang nyata pada atribut kekerasan, elongasi, dan rasa dari sampel mi sorgum dan mi sorgum-jagung pada taraf signifikansi 5%.


(3)

Lampiran 32. Penentuan glukosa, fruktosa, dan gula invert dalam bahan pangan dengan metode Luff Schoorl ml 0.1N

Na-thiosulfat

glukosa, fruktosa, gula invert mg C6H12O6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 2.4 4.8 7.2 9.7 12.2 14.7 17.2 19.8 22.4 25.0 27.6 30.3 33.0 35.7 38.5 41.3 44.2 47.1 50.0 53.0 56.0 59.1 62.2 - ∆ 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 2.6 2.6 2.7 2.7 2.7 2.8 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0 3.0 3.1 3.1 - -


(4)

Lampiran 33. Kurva elongasi mi sorgum terpilih

95oC 125a rpm (1) 95oC 125a rpm (2)

95oC 125b rpm (1) 95oC 125b rpm (2)


(5)

Lampiran 34. Sebaran kenormalan variabel respon cooking loss dan elongasi

Sebaran kenormalan data respon cooking loss

Sebaran kenormalan data respon elongasi

Gambar di atas menunjukkan sebaran data cooking loss dan elongasi mi sorgum kering. Titik-titik data yang mengikuti garis lurus menunjukkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal. Distribusi normal, disebut juga distribusi gaussian, sejauh ini paling banyak digunakan di dalam statistik. Distribusi ini menyediakan model yang baik untuk banyak, walaupun tidak semua, populasi yang berkelanjutan (Navidi 2006).

ls

Normal Plot of Residuals

-1.22 -0.29 0.64 1.58 2.51 1

5 10 20 30 50 70 80 90 95 99

ls

Normal Plot of Residuals

-1.37 -0.58 0.21 1.00 1.79 1

5 10 20 30 50 70 80 90 95 99

Internally Studentized Residuals Normal % Probability

Internally Studentized Residuals Normal % Probability


(6)

Lampiran 35. Kuisioner uji hedonik mi sorgum

UJI KESUKAAN MI SORGHUM

Pengujian dilakukan terhadap tiga parameter yaitu warna, elongasi dan kekerasan.Skala yang digunakan adalah 1-5 (sangat tidak suka – sangat suka).Perhatikan petunjuk sebelum melakukan penilaian.Komentar wajib diisi.

1. Warna Mi

Amati warna mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda checklist (√) pada kolom yang telah tersedia.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka

Komentar :………..

2. Kekeruhan Air Rebusan Mi

Amati kekeruhan air rebusan mi sorghum yang telah dimasak dan berikan penilaian Anda dengan memberikan tanda

checklist (√) pada kolom yang telah tersedia.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka

Komentar :………..

3. Elongasi

Elongasi menunjukkan daya tahan mi untuk putus ketika ditarik.Semakin mulur menunjukkan bahwa mi tersebut memiliki elongasi yang semakin tinggi.

Angkat mi dari mangkok dengan menggunakan garpu (seperti ketika Anda mengkonsumsi mi rebus), amati daya tahan mi untuk putus ketika ditarik menggunakan garpu. Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka

Komentar :………..

4. Kekerasan

Kekerasan menunjukkan besarnya upaya yang diperlukan untuk menggigit (bukan mengunyah) mi sampai putus (hancur).Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan gigit sampai putus (hancur).Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka

Komentar :………..

5. Rasa

Rasa menunjukkan besarnya penerimaan panelis secara hedonik (sensori) terhadap mi secara hedonik.Ambil kira-kira 5 cm untaian mi dan cicipi rasanya sambil dikunyah.Berikan penilaian Anda.

Skala Penilaian Kode Sampel

147 423 295

Sangat suka Suka Biasa Tidak suka Sangat tidak suka