Praktik gadai plasma kelapa sawit ditinjau dari hukum Islam di Desa Beringin Agung Kecamatan Telaga Antang Kabupaten Kotawaringin Timur.
c. Pemanfaatan barang gadai (marhun) dalam perspektif fiqih
Sebagai bukti kepemilikan hak kebun plasma kelapa sawit, kartu plasma merupakan bukti tertulis (akta kepemilikan) atas sebuah lahan kebun kelapa sawit, dalam situasi dan kondisi yang sangat mendesak, sebagian warga desa Beringin Agung yang memiliki kebun plasma kelapa sawit menggadaikan surat berharga berupa kartu plasma sebagai jaminan barang gadai sekaligus alat pembayaran atas pinjaman hutang piutang dengan pihak murtahin (pemodal). Selanjutnya pemodal yang telah memberikan sejumlah uang kepada masyarakat petani plasma kelapa sawit di desa Beringin Agung menerima kartu tanda kepemilikan plasma sebagai jaminan agar pemodal dapat mengambil hasil uang penjualan plasma kelapa sawit dari koperasi setempat. Para pemodal tersebut yang dikenal oleh masyarakat setempat dan telah peneliti minta keterangannya pada saat wawancara
penelitian skripsi adalah KS dan BD 86
85 Arifin Miftahul, Ushul Fiqih Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam,Surabaya: Citra Media, 1997, h. 146.
86 KS dan BD adalah pemodal yang sudah beroprasi dalam meminjamkan modalnya dengan jaminan kartu kepemilikan plasma sejak tahun 2010 sampai ketika penelitian ini
berlangsung.
Masa jatuh tempo gadai tersebut cukup bervariasi, sesuai dengan nominal hutang yang dipinjamkan serta pertimbangan perjanjian atas rata-rata hasil dari kebun setiap bulannya. Lazimnya sisa hasil kebun plasma kelapa sawit untuk 2 (dua) hektar diperkirakan menghasilkan
sawit sebesar Rp. 2.000.000,- sampai dengan Rp. 2.500.000,-. Untuk peminjaman uang sebesar Rp. 10.000.000,- dilakukan gadai dengan jangka waktu satu tahun. Tidak ada ketetapan pasti mengenai tempo gadai, tergantung dari kesepakatan antara rahin dan murtahin, sehingga praktik gadai plasma kelapa sawit di desa Beringin Agung ini dilakukan dengan saling kesepahaman dan saling pengertian. Adapun para responden yang masuk dalam kategori saling memahami dan saling pengertian adalah semua responden yang menggadaikan kartu plasma kelapa sawitnya kepada pemodal (KS dan BD). Hal ini sebagaimana yang dituturkan oleh pemodal KS dan BD ketika ditanya, “apakah praktik gadai ini harus memberi nilai tambah bagi pemodal(murtahin)? ”, pada intinya mereka menjawab bahwa praktik gadai harus menghasilkan keuntungan bagi mereka sebab modal yang mereka berikan merupakan modal usaha. Meskipun disisi lain mereka tidak mengakui bahwa telah membungakan uang dari praktik gadai tersebut.
Jika dicermati dari praktik pemanfaatan gadai yang dilakukan oleh para pemodal yang meminjamkan uangnya kepada orang-orang Jika dicermati dari praktik pemanfaatan gadai yang dilakukan oleh para pemodal yang meminjamkan uangnya kepada orang-orang
Pertama, peminjaman uang yang dilakukan oleh penggadai dengan memberikan jaminan sebuah kartu tanda kepemilikan kebun plasma kelapa sawit kepada pihak pemberi gadai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dan penerima gadai berhak memanfaatkan hasil kebun plasma kelapa sawit tersebut dalam jangka waktu satu tahun dan pihak penerima gadai berhak mendapatkan manfaat sepenuhnya atau pemanfaatan jaminan pengambilan hasil buah kelapa sawit, fenomena ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama karena sangat rentan sekali dengan praktek riba, dengan dalil bahwa semua pinjaman yang menghasilkan keuntungan atau manfaat adalah riba. Berikut adalah pendapat-pendapat para ulama ahli fiqih:
Pendapat ulama Syafi‟iyah, bahwa tidak ada hak bagi murtahin untuk mengambil manfaat dari benda yang digadaikan karena sabda
Rasulullah saw:
Hadis di atas memberikan pemahaman bahwa Rasulullah Saw bersabda, transaksi gadaian tidak ambil manfaatnya, hal tersebut karena kelak dialah yang menebusnya setelah masa gadai tersebut jatuh tempo, jika ada perjanjian yang harus dialaksanakan selama Hadis di atas memberikan pemahaman bahwa Rasulullah Saw bersabda, transaksi gadaian tidak ambil manfaatnya, hal tersebut karena kelak dialah yang menebusnya setelah masa gadai tersebut jatuh tempo, jika ada perjanjian yang harus dialaksanakan selama
Pemahaman dari hadits nabi di atas, di hubungkan dengan praktik pemanfaatan gadai dalam skripsi dimana pemodal (murtahin) telah mengambil manfaat dari hasil kebun plasma kelapa sawit di luar kesepakatan secara konkrit untuk melunasi hutang uang yang dipinjam dari pihak pemodal maka tindakan tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. Ketidaksesuaian dalam hukum Islam ini peneliti nyatakan karena ketika terjadi akad gadai tidak ada pernyataan yang tegas dan jelas bahwa murtahin boleh mengambil hasil dari plasma kelapa sawit itu seutuhnya selama satu tahun. Menurut peneliti seyogyanya kedua belah pihak (rahin dan murtahin) ketika terjadi akad gadai harus membuat pernyataan, jika rahin menggadaikan kebun kelapa sawit sepuluh juta, maka hasil yang dibolehkan kepada murtahin untuk mengambil dari penjualan hasil plasma kelapa sawit hanyalah sebesar sepuluh juta. Akan tetapi jika penghasilan sawit yang digadaikan rahin kepada murtahin melebihi jumlah hutang dari praktik pegadaian kelapa sawit maka keuntungan itu harus dijadikan pula dalam akad gadai, bukan menjadi keuntungan sepenuhnya milik murtahin.
Selanjutnya guna memperjelas analisa peneliti tersebut di atas terkait dengan pemanfaatan harta gadai tersebut, sebagaimana pendangan Imam Syafi‟i yang menyatakan bahwa yang dimaksud
87 Lihat, Abu Adullah Muhammad bin Idris Asy- Syafi‟i, Musnah, h. 602.
ghanmuhu adalah tambahannya, sedangkan yang dimaksud gharmuhu adalah kerusakan dan kekurangannya. Tidak ada keraguan bahwa termasuk dalam kategori ghanmuhu adalah berbagai segi-segi pemanfaatannya. Jika pengambilan manfaat tersebut tidak disyaratkan di dalam akad, maka murtahin boleh mengambil manfaat dengan ijin pemiliknya, karena rahin adalah pemilik barang tersebut dan dia tidak berkhak men-tasharuf-kan barang yang dimilikinya kepada siapapun yang dia kehendaki dan di dalam pemberian ijin tidak ada tadlyi‟ (menyia-nyiakan) hak terhadap marhun, atau murtahin mensyaratkan sebuah manfaat, maka hal ini diperbolehkan dengan catatan dain (hutang) berasal dari akad jual beli atau serupa (akad mu‟awadlah, ada kompensasi atau ganti manfaat yang diterima murtahin), masa pemanfaatannya ditentukan atau diketahui (untuk menghindar dari ketidakjelasan yang dapat merusak akad ijarah) karena hal ini termasuk dalam kategori akad ijarah dan jual beli diperbolehkan. Kebolehan akad ini seperti yang diungkapkan Imam Dardiri, digambarkan dengan contoh: seorang murtahin mengambil manfaat secara cuma-cuma untuk dirinya dan manfaat itu dihitung sebagai hutang dengan catatan rahin harus segera melunasi sisa hutang.
Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain (hutang) berasal dari akad al-qardl, karena hal ini termasuk dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap tidak diperbolehkan meskipun seorang Pengambilan manfaat oleh murtahin tidak diperbolehkan apabila dain (hutang) berasal dari akad al-qardl, karena hal ini termasuk dalam kategori hutang yang menarik manfaat, bahkan pengambilan manfaat tetap tidak diperbolehkan meskipun seorang
Demikian pula dengan kelompok Hanafiyah yang secara tidak langsung memperkuat pandangan Syafiiyah, berpendapat seorang murtahin tidak berhak untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, baik cara istikhdam (disuruh menjadi pelayan), ditunggangi, dipakai, dibaca (dalam kasus ini menggadaikan kitab), kecuali dengan ijin rahin karena yang menjadi hak murtahin hanyalah menahan marhun,
bukan memanfaatkannya. 88 Apabila murtahin mengambil manfaat dari marhun, kemudian rusak pada saat dipakai, maka murtahin
berkewajiban menanggung (mengganti) seluruh nilai dari marhun karena posisi murtahin sama dengan orang yang sedang meng-ghasab sebuah barang milik orang lain. Ketika rahin memberi ijin kepada murtahin untuk mengambil manfaat, maka sebagian ulama Hanafiyah membolehkan secara mutlak dan sebagian lainnya ulama melarang, karena memanfaatkan itu adalah riba‟ .
Pemberian izin atau kerelaan dari rahin kepada murtahin tidak dapat menghalalkan riba atau diperbolehkan sesuatu yang serupa dengan riba. Di antara mereka juga ada yang mencoba untuk merinci, mereka berkata, apabila seorang murtahin mensyaratkan intifa‟ atas
88 Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, h. 95.
rahin pada waktu akad, maka termasuk dalam kategori haram akan tetapi apabila tidak disyaratkan dalam akad, maka boleh karena hal itu merupakan pemberian suka rela dari rahin kepada murtahin. Syarat sebagaimana dapat berupa kata-kata yang jelas (sharih), juga dapat berupa sesuatu yang sudah dikenal atau disebut dengan tradisi. Sesuatu yang sudah menjadi tradisi berposisi sama dengan sesuatu yang disyaratkan.
Pendapat ulama Hanabilah juga berpendapat sama bahwa, murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari marhun tanpa ijin dari rahin , karena barang yang digadaikan, manfaat sera pengembangannya menjadi milik rahin, sehingga selain rahin tidak berhak mengambilnya tanpa ijin dari rahin. Apabila rahin memberi ijin kepada murtahin dengan tanpa ganti rugi. Sedangkan akad dari al-qardhu, maka tetap tidak boleh murtahin mengambil manfaat pada marhun, karena hal itu termasuk dalam kategori hutang (qard) yang menarik kemanfaatan dan hal itu adalah diharamkan. Hal ini berpegang pada hadits berikut ini :
ِوْيَ َع ُ ُللها ىَّ َص ِللها ُلْوُسَر َلاَق : َلاَق ُوْنَع ُ للها َيِضَر ِّىِ َع ْنَع
اَبِر َوُهَـف ًةَعَفْـنَم َّرَج ٍضْرَـق ُّلُك : َمَّ َس َو
89
Pengertian hadis di atas bahwa semua pinjaman yang menarik manfaat a dalah riba‟, (HR. Bukhari).
89 Lihat selengkapnya hadis tersebut dalam, Imam Abdillah Muhammad bin Ismail Ibnu Ibrahim bin Maghirah bin Bani Zibal Bukhori Ja'fi, Shohih Bukhori, Jilid 3, Beirut, Libanon: Darul
Qutub, t.th., h. 96
Hadis riwayat Imam Bukhari di atas didukung pula oleh Imam Ahmad berkata, saya tidak menyukai qard dengan agunan rumah, itu termasuk riba yang murni. Maksud Imam Ahmad adalah apabila sebuah rumah menjadi agunan untuk akad qard (utang), maka pada akhirnya murtahin mengambil manfaat dari rumah tersebut. Ungkapan ulama Hanabilah tentang topik ini yaitu seorang murtahin tidak boleh mengambil manfaat sesuatupun dari akad rahn, kecuali apabila barang yang digadaikan berupa binatang kendaraan dan binatang yang diperah susunya. Selanjutnya menurut Imam Ahmad, apabila barang yang digadaikan berupa binatang yang disebutkan terakhir ini, maka murtahin berhak menaiki dan memeras susunya sesuai dengan biaya yang sudah dikeluarkannya.
Argumentasi Imam Ahmad di atas sejalan dengan hadis nabi berikut ini :
Hadis ini memberikan pengertian bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Binatang tunggangan yang dirunggukan (diborongkan) harus ditunggangi
(dipakai), disebabkan ia harus dibiayai, air susunya boleh diminum
90 Imam Abdillah Muhammad bin Ismail Ibnu Ibrahim bin Maghirah bin Bani Zibal Bukhori Ja'fi, Shohih Bukhori, Jilid 3, Beirut, Libanon: Darul Qutub, t.th., h. 96
(diperah) untuk pembayaran ongkosnya. Orang yang menunggangi dan yang meminum air susun ya harus membayar”.
Apa yang telah di argumentasikan oleh Imam Ahmad di atas, hampir sama dengan pendapat ulama Hanabilah, Sayyid Sabiq 91
mengemukakan bahwa akad gadai bertujuan untuk meminta kepercayaan dari menjamin hutang, bukan mencari keuntungan dan hasil. Tindakan memanfaatkan barang adalah tak ubahnya seperti qiradh yang mengalirkan manfaat, dan setiap bentuk qiradh yang mengalirkan manfaat adalah
riba. 92 Keadaan qiradh yang mengandung unsur riba ini, jika agunan bukan berbentuk binatang yang ditunggangi atau binatang ternak yang bisa
diambil susunya. Berbeda dengan pendapat Al-Syaukani yang dikutip oleh Nasrun Rusli, beliau memperbolehkan pemegang gadai (murtahin) mengambil manfaat dari barang gadai (marhun), meskipun tanpa izin dari penggadai (rahin), selama barang gadaian tersebut membutuhkan perawatan dan pemeliharaan, seperti halnya binatang ternak yang memerlukan makanan
dan minuman. 93 Menurut peneliti, jika mencermati di antara padangan para ulama
di atas dimana ulama lain melarang rahin untuk memanfaatkan barang gadai, sedangkan Syafi‟iyah membolehkannya sejauh tidak memudaratkan
murtahin. Dengan memperhatikan dua sisi pendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan borg tanpa seizin murtahin. Begitu pula murtahin
91 Lihat, Sayyid Sabbiq, dalam “Fikih Sunnah....” 92 Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, h.153. 93 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, h. 193.
tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin, maka peneliti lebih cenderung pada jalan tengah, seperti pandangan ulama Malikiyah yang berpendapat bahwa jika murtahin dibolehkan memanfaatkan borg sekedarnya (tidak boleh lama), selanjutnya masih dalam pendapat ulama Malikiyah bahwa jika rahin mengetahui harta gadainya dimanfaatkan oleh murtahin dan tidak mempermasalahkannya, maka situasi seperti ini dapat dibenarkan dan dianggap sah dalam hukum fikih, kaitannya hal ini, sejalan dengan pandangan ulama Syafi‟iyah bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan borg (hasil plasma kelapa sawit), asalkan tidak menyebabkan borg (hasil plasma kelapa sawit) berkurang, seperti sawah dan kebun maka rahin harus meminta izin kepada murtahin. Konteksnya dengan pandangan ulama dan permasalahan gadai plasma kelapa sawit yang diteliti disini, maka peneliti menjadikan dua substansi pendapat di atas yaitu pandangan Malikiyah dengan Syafiiyah digabungkan untuk dijadikan kontribusi pemikiran hukum alternatif sebagai berikut:
1. Pemilik modal (murtahin) dibolehkan mengambil manfaat dari hasil penjualan plasma kelapa sawit dengan catatan hanya untuk menutupi pembayaran sejumlah utang rahn. Artinya jika utang sebesar 10 juta dengan masa 1 tahun, namun dalam pelaksanaannya ternyata hasil pembayaran selama 10 bulan yang di dapat dari penjualan buah kelapa sawit sudah mencapai 10 juta, maka murtahin tidak boleh meneruskan pemanfaatan hasil plasma kelapa sawit untuk bulan berikutnya terhitung mencapai 1 tahun (12 bulan).
2. Ada perjanjian anternatif, baik sebelum memulai gadai dilakukan ataupun sesudah berakhirnya pelaksanaan gadai, yaitu jika yang di pegang dalam perjanjian gadai kebun plasma kelapa sawit antara rahn dengan murtahin adalah selama 1 tahun dengan uang pinjaman gadai sebesar 10 juta, namun ternyata selama 1 tahun gadai, faktanya kebun tersebut menghasilkan nilai jual kelapa sawit melampaui nilai utang gadai 10 juta, yakni antara Rp 12.500.000,- s.d. Rp. 15.000.000,-, maka kelebihan uang tersebut dibuat perjanjian baru, seperti bagi hasil oleh kedua belah pihak (rahn dan murtahin) sebagai bentuk kerelaan (antaradin) atas kerjasama saling tolong menolong antara sesama. Jika alternatif yang kedua ini dilaksanakan oleh rahn dan murtahin dalam praktik gadai plasma kelapa sawit di desa Beringin Agung, dengan demikian maka menurut pemikiran dan pemahaman peneliti, gadai seperti ini dapat di katakan sah dalam fikih, karena ada akad yang secara tegas di perjanjikan, yakni kelebihan hasil dari keuntungan di luar utang gadai di bagi bersama oleh rahn dan murtahin dan bukan diambil sepenuhnya oleh murtahin. Sebaliknya jika keuntungan penjualan plasma kelapa sawit yang di gadaikan selama setahun dan ternyata menghasilkan uang melebihi uang gadai yang di berikan murtahin, dan tidak perjanjian yang menghalalkan tindakan murtahin tersebut, maka hukumnya murtahin termasuk orang yang memakan riba serta haram hukumnya.
Padangan peneliti ini, sejalan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn memutuskan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya. Pemeliharaan dan perawatan marhun pada dasarnya merupakan kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin. Sementara biaya pemeliharaan dan penyimpanan, tetap menjadi kewajiban rahin. Demikian pula halnya dengan yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), hanya memberikan keterangan di dalam pasal 396 tentang pemanfaatan barang gadaian menyebutkan bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan marhun tanpa izin dari rahin.
Pemanfaatan dari barang gadai dikaitkan dengan pemahaman masyarakat desa Beringin Agung Kec. Telaga Antang Kab. Kotawaringin Timur yakni pinjaman uang yang dilakukan rahin dengan agunan kartu plasma, sebagai alat pembayaran serta pengambilan manfaatnya bagi murtahin dengan jangka waktu yang telah disepakati maka hukumnya boleh menurut 4 imam besar yaitu sebagai berikut : Pemanfaatan dari barang gadai dikaitkan dengan pemahaman masyarakat desa Beringin Agung Kec. Telaga Antang Kab. Kotawaringin Timur yakni pinjaman uang yang dilakukan rahin dengan agunan kartu plasma, sebagai alat pembayaran serta pengambilan manfaatnya bagi murtahin dengan jangka waktu yang telah disepakati maka hukumnya boleh menurut 4 imam besar yaitu sebagai berikut :
b. Pendapat Imam Malik terkait dengan permasalahan ini maka praktik gadai plasma kelapa sawit ini boleh, baik itu mendapat persetujuan dari rahin ataupun tidak, akan tetapi dengan catatan bahwa hutang tersebut melalui akad ijarah, mudharabah dan lainnya. Akan tetapi apabila akad tersebut hanya qard (hutang murni) maka hukumnya haram.
c. Pendapat Ulama Hanafiyah terkait dengan permasalahan ini juga menjelaskan bahwa murtahin tidak berhak memanfaatkan barang gadai kecuali mendapatkan ijin dari rahin karena hak murtahin hanya menahan barang jaminan tersebut tidak untuk mengambil manfaat dari barang yang ditahan.
d. Pendapat ulama Hanabilah perkata gadai plasma kelapa sawit ini mutlak haram dan tidak dibenarkan bagi murtahin mengambil manfaatnya selain hewan yang memerlukan biaya untuk makan.
Adapun pendapat Majelis Ulama Indonesia dan Ulama Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 menjelaskan bahwa “Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan murtahin itu boleh atas seijin rahin, akan tetapi hal ini tidak menutup hak rahin dari pemanfaatan barang jaminan tersebut, artinya rahin Adapun pendapat Majelis Ulama Indonesia dan Ulama Dewan Syariah Nasional dalam fatwanya Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 menjelaskan bahwa “Pemanfaatan barang gadai yang dilakukan murtahin itu boleh atas seijin rahin, akan tetapi hal ini tidak menutup hak rahin dari pemanfaatan barang jaminan tersebut, artinya rahin
perawatan barang jaminan tersebut 94 ”. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan praktik gadai plasma kelapa sawit, maka hukumnya boleh,
asalkan ada akad yang jelas dan tegas pada permulaan terjadinya praktik gadai palasma di Desa Beringin Agung Kec. Telaga Antang.