keilmuan masing-masing, 3 memiliki citra diri positif, 4 memiliki kematangan professional yang setara yang timbul dari pendidikan dan pengalaman, 5
mengakui sebagai mitra kerja bukan bawahan, dan 6 keinginan untuk bernegoisasi.
Inti dari suatu hubungan kolaborasi adalah adanya perasaan saling ketergantungan interdefensasi untuk kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama
dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau target yang telah
ditentukan dapat tercapai. Selain itu menggunakan catatan klien terintegrasi dapat merupakan suatu alat untuk berkomunikasi antara profesi secara formal tentang
asuhan klien. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika : 1 semua profesi memiliki
visi dan misi yang sama, 2 masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerkaannya, 3 anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik, 4
masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang bergabung dalam tim.
2.3 Faktor-faktor Sosial yang Mempengaruhi Komunikasi
Adapun faktor-faktor sosial yang mempengaruhi komunikasi meliputi: usia, jenis kelamin, kelas sosial, etnik, status sosial, bahasa, kekuasaan, peraturan
sosial, peran sosial.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Faktor Penghambat Kolaborasi Perawat dengan Dokter
Hubungan perawat-dokter adalah suatu bentuk hubungan interaksi yang telah cukup lama dikenal ketika memberikan bantuan kepada pasien. Perspektif
yang berbeda dalam memandang pasien, dalam praktiknya menyebabkan munculnya hambatan-hambatan tehnik dalam melakukan proses kolaborasi.
Kendala psikologi keilmuan dan individual, faktor sosial, serta budaya menempatkan kedua profesi ini memunculkan kebutuhan akan upaya kolaborasi
yang dapat menjadikan keduanya lebih solid dengan semangat kepentingan pasien.
Hambatan kolaborasi perawat dengan dokter sering dijumpai pada tingkat professional dan institusional. Perbedaan status dan kekuasaan tetap menjadi
sumber utama ketidaksesuaian yang membatasi pendirian professional dalam aplikasi kolaborasi. Dokter cenderung pria, dari tingkat ekonomi lebih tinggi dan
biasanya fisik lebih besar dibandingkan perawat, sehingga iklim dan kondisi sosial masih mendukung dominasi dokter. Inti sesungguhnya dari komplik
perawat dengan dokter terletak pada perbedaan sikap profesional mereka terhadap pasien dan cara berkomunikasi diantara keduanya. Dari hasil observasi peneliti di
rumah sakit nampaknya perawat dalam memberikan asuhan keperawatan belum dapat melaksanakan fungsi kolaborasi khususnya dengan dokter.
Perawat bekerja memberikan pelayanan kepada pasien berdasarkan instruksi medis yang juga didokumentasikan secara baik, sementara dokumentasi
asuhan keperawatan meliputi proses keperawatan tidak ada. Disamping itu hasil wawancara peneliti dengan beberapa perawat rumah sakit pemerintah dan swasta,
Universitas Sumatera Utara
mereka menyatakan bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam melaksanakan kolaborasi, diantaranya pandangan dokter yang selalu menganggap bahwa
perawat merupakan tenaga vokasional, perawat sebagai asistennya, serta kebijakan rumah sakit yang kurang mendukung. Isu-isu tersebut jika tidak
ditanggapi dengan benar dan proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien dan masyarakat yang membutuhkan jasa
pelayanan kesehatan, serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan sebagai profesi.
Berkaitan dengan isu kolaborasi dan soal menjalin kerjasama kemitraan dokter, perawat perlu mengantisipasi konsekuensi perubahan dari vakosional
menjadi profesional. Status yuridis seiring perubahan perawat dari perpanjangan tangan dokter menjadi mitra dokter yang sangat komplek. Tanggung jawab hukum
juga akan terpisah untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu : malpraktik medis dan malpraktik keperawatan. Perlu ada kejelasan dari
pemerintah maupun para pihak yang terkait mengenai tanggung jawab hukum dari perawat, dokter maupun rumah sakit. Organisasi profesi juga harus berbenah dan
memperluas struktur organisasi agar dapat mengantisipasi perubahan. Komunikasi dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi yang efektif, hal tersebut perlu
ditunjang oleh saran komunikasi yang dapat menyatukan data kesehatan pasien secara komperensip sehingga menjadi sumber informasi bagi semua anggota tim
dalam pengambilan keputusan. Menurut penelitian Charles Amaludin, pelaksanaan kolaborasi perawat
dengan dokter di IRNA Non Bedah Dewasa Rumah Sakit Dr.Mohammad Husin
Universitas Sumatera Utara
Palembang tahun 2006 dengan jumlah populasi 90 orang perawat dengan menggunakan tehnik sample nonprobability sampling maka didapat jumlah
sampel sebanyak 26 0rang perawat dengan hasil penelitian dikategorikan baik 51,3 dan frekuensi 13,3.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN