Manajemen Nyeri Pasien Fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan

(1)

MANAJEMEN NYERI PASIEN FRAKTUR

DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI Oleh

Herdawati Munthe 091101066

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

(3)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan anugerah-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Manajemen Nyeri Pasien Fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan” . Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar sarjana di Fakultas Keperawatan Universiatas Sumatera Utara Medan.

Penyusunan skripsi ini telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing yang penuh keikhlasan dan kesabaran telah memberi arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ibu Mahnum Lailan, S.kep,Ns, M.kep selaku dosen pembimbing akademik saya, Ibu Rosina Tarigan, S.Kp, M.Kep, Sp.KMB selaku dosen penguji I, dan kepada Ibu Nur Afi Darti S.Kp, M.Kep selaku dosen penguji II yang dengan teliti memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Seluruh Dosen Pengajar S1 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan dan staf nonakademik yang membantu memfasilitasi secara administratif.


(4)

5. Direktur Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin penelitian, beserta seluruh staf dan juga kepada perawat yang bertugas di RB3 yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 6. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Nova Erpi Situmorang, Srihartati

Situmeang, Suryani Zega, Trinita Sinaga, Delfitra, dan Gerhard Harefa terimakasih atas semangat dan dukungannya selama penyelesaian skripsi ini. 7. Kepada adikku yang tersayang Arny Sinaga dan seseorang yang kukasihi

Tommy Sinaga terima kasih atas bantuan, semangat dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Rekan-rekan mahasiswa S1 stambuk 2009 Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, khususnya kelompok D yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Secara khusus Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua saya, Bapak Jalayar Munthe dan Nyonya Masta Silalahi yang selalu mencurahkan perhatian serta doanya, yang memberi saya dorongan baik moril maupun materil. Kakak-kakak saya tersayang Irma Munthe, Mawarni Munthe, Lenni Munthe, Deliana Munthe dan abang saya Joko Hendra Munthe yang tidak pernah berhenti membantu memberi dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Tuhan melimpahkan berkatNya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2013


(5)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan... i

Ucapan Terimakasih……….... ii

Daftar Isi………... iv

Daftar Tabel……….. vi

Daftar Skema………... vii

Abstrak ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 4

4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Fraktur ... 6

1.1. Defenisi Fraktur ... 6

1.2. Etiologi Fraktur... 6

1.3. Klasifikasi Fraktur ... 8

1.4. Manifestasi Klinis ... 9

1.5. Proses Penyembuhan Fraktur ... 10

1.6. Komplikasi Fraktur ... 12

2. Nyeri ... 14

2.1. Defenisi Nyeri ... 14

2.2. Klasifikasi Nyeri ... 15

2.3. Fisiologi Nyeri ... 17

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri ... 18

2.5. Pengukuran Nyeri ... 21

2.6. Respon Tubuh Terhadap Nyeri ... 23

2.7. Manajemen Nyeri ... 24

BAB III KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian ... 42

2. Definisi Operasional ... 42

BAB IV METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 44

2. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling ... 44

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45

4. Pertimbangan Etik Penelitian ... 46

5. Instrument Penelitian ... 47

6. Uji Validitas dan Reabilitas Instrument ... 48

7. Rencana Pengumpulan Data ... 49

8. Analisa Data ... 50

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 51

1.1 Karakteristik Responden ... 51

1.2Manajemen nyeri oleh perawat pada pasien fraktur B3 RSUP Haji Adam Malik Medan... 53


(6)

2. Pembahasan ... 55

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan ... 58

2. Rekomendasi ... 59

2.1 Pihak Rumah Sakit ... 59

2.2Praktek Keperawatan………... 59

2.3 Peneliti Selanjutnya ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61 LAMPIRAN

1. Lembar Persetujuan Responden 2. Instrument penelitian

3. Kelender Penelitian 4. Taksasi Dana

5. Hasil penelitian dan hasil uji reliabilitas 6. Daftar Riwayat Hidup

7. Surat Uji validitas 8. Surat Ijin Penelitian


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1Analgesik dan Indikasi terapi ... 28 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Persentase Karakteristik responden ... 53 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Persentase variabel manajemen nyeri… 54 Tabel 5.3 Distribusi frekuensi persentase subvariabel manajemen nyeri..54


(8)

DAFTAR SKEMA


(9)

Judul : Manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Nama Mahasiswa : Herdawati Munthe

NIM : 091101066

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2013

Abstrak

Keluhan utama yang didapat dari sejumlah pasien fraktur adalah nyeri. Untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur dibutuhkan manajemen nyeri efektif. Manajemen nyeri merupakan intervensi yang dapat menurunkan rasa nyeri sehingga nyeri dapat ditoleransi oleh pasien fraktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan yang diambil dengan metode purposive sampling dan instrument yang digunakan berupa kuesioner dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa manajemen nyeri dalam kategori cukup sebanyak 10 responden (41 %) , dalam kategori baik sebanyak 6 responden (25 %), dan dalam kategori kurang sebanyak 8 responden (33,3 %). Beberapa manajemen nyeri yang masuk dalam kategori baik yaitu manajemen nyeri yaitu dengan cara pemberian analgesik (100 %), relaksasi (54,2%), distraksi (54,2%), dalam kategori cukup yaitu imajinasi terbimbing (33,3 %), dan sedangkan beberapa manajemen nyeri yang masuk dalam kategori kurang yaitu manajemen nyeri dengan cara stimulai kutaneus (16,7 %) , akupresur (4,2 %), dan hipnosis (16,7 %). Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang manajemen nyeri pada pasien dan dapat dijadikan pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam manajemen nyeri pada pasien yang mengalami nyeri fraktur.


(10)

Judul : Manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Nama Mahasiswa : Herdawati Munthe

NIM : 091101066

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2013

Abstrak

Keluhan utama yang didapat dari sejumlah pasien fraktur adalah nyeri. Untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur dibutuhkan manajemen nyeri efektif. Manajemen nyeri merupakan intervensi yang dapat menurunkan rasa nyeri sehingga nyeri dapat ditoleransi oleh pasien fraktur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif, sampel dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan yang diambil dengan metode purposive sampling dan instrument yang digunakan berupa kuesioner dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa manajemen nyeri dalam kategori cukup sebanyak 10 responden (41 %) , dalam kategori baik sebanyak 6 responden (25 %), dan dalam kategori kurang sebanyak 8 responden (33,3 %). Beberapa manajemen nyeri yang masuk dalam kategori baik yaitu manajemen nyeri yaitu dengan cara pemberian analgesik (100 %), relaksasi (54,2%), distraksi (54,2%), dalam kategori cukup yaitu imajinasi terbimbing (33,3 %), dan sedangkan beberapa manajemen nyeri yang masuk dalam kategori kurang yaitu manajemen nyeri dengan cara stimulai kutaneus (16,7 %) , akupresur (4,2 %), dan hipnosis (16,7 %). Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang manajemen nyeri pada pasien dan dapat dijadikan pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam manajemen nyeri pada pasien yang mengalami nyeri fraktur.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kecelakaan merupakan pembunuh nomor 3 di Indonesia (Dephub,2010). Selain kematian kecelakaan dapat menimbulkan dampak lain yaitu fraktur yang dapat menjadikan kecatatan.Kasus kematian akibat kecelakaan lalu-lintas di Indonesia masih terbilang tinggi. Dalam statistik WHO (2007), berdasarkan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu-lintas dan estimasi kecelakaan lalu-lintas per 100.000 penduduk, diantara negara-negara se-Asia Tenggara maka Indonesia ada di urutan ke-1 terbanyak, yaitu 37.438 kematian atau sekitar 16,2 bila di-estimasi per 100.000 penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa kasus fraktur di Indonesia pun semakin meningkat. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007 didapatkan sekitar 2.700 orang mengalami insiden fraktur, 56% penderita mengalami kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% mengalami kesembuhan dan 5% mengalami gangguan psikologis atau depresi terhadap adanya kejadian fraktur. Di dalam penelitian Roby (2009) dikatakan bahwa di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan terdapat penderita fraktur dengan jumlah sekitar 114 penderita pada tahun 2009 dan dalam penelitian Nova (2010) di RSUP H. Adam Malik Medan jumlah pasien paska operasi fraktur ektremitas bawah 8 bulan terakhir pada tahun 2009 mencapai 204 orang. Pada saat peneliti melakukan survei jumlah pasien fraktur selama 1 bulan terakhir pada tahun 2013 mencapai 54 orang.


(12)

berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan. Pada keadaan fraktur, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh dimana akan terjadi edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah.Kerusakan-kerusakan tersebut menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang khas, salah satunya yaitu nyeri(Brunner, & Suddarth, 2001).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Khodijah pada tahun 2011diperoleh data di ruang bedah RSUP. H. Adam Malik Medan terdapat 8 kasus yang mengalami fraktur pada bulan Maret 2010 dan berdasarkan observasi yang dilakukan Khodijah bahwa keluhan utama yang didapat dari sejumlah pasien fraktur adalah nyeri.Foley dick, 2000 mengumpulkan data sebanyak 85% pasien fraktur mengeluhkan nyeri.

Ketidaknyamanan akibat nyeri harus diatasi, karena kenyamanan merupakan kebutuhan dasar manusia, sebagaimana dalam hirarki maslow. Seseorang yang mengalami nyeri akan berdampak pada aktivitas sehari-hari dan istirahat serta tidurnya (Potter dan Perry, 2005). Nyeriyang parah dan serangan mendadak bila tidak segera diatasi akan berpengaruhpada peningkatan tekanan darah, takikardi, pupil melebar, diaphoresis dansekresi adrenal medula. Dalam situasi tertentu dapat pula terjadi penurunantekanan darah yang akan mengakibatkan timbulnya syok (Barbara. C, 1996). Nyeri fraktur merupakan nyeri akut dan nyeri tersebutdapat menimbulkan perubahan tonus otot, respon autonom seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil, penurunan atau peningkatana frekuensi nafas (Purwandari, 2008).Pengelolaan nyeri fraktur bukan saja merupakan upaya mengurangi penderitaan klien, tetapi juga


(13)

meningkatkan kualitas hidupnya. Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap area fraktur. Bila tidak diatasi dapat menimbulkan efek yang membahayakan yang akan mengganggu proses penyembuhan dan dapat meningkatkan angka kematian, untuk itu perlu penanganan yang lebih efektif untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien.

Untuk mengatasi nyeri pada pasien fraktur dibutuhkan manajemen nyeri efektif. Manajemen nyeri yang diberikan harus dapat memenuhi kebutuhan pasien salah satunya yaitu kebutuhan rasa nyaman. Manajemen nyeri merupakan intervensi yang dapat menurunkan rasa nyeri sehingga nyeri dapat ditoleransi oleh pasien fraktur. Oleh karena itu sangat penting bagi tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mengetahui tentang konsep manajemen nyeri dan dapat menerapkannya pada pasien dengan nyeri fraktur. Tujuan dari manajemen nyeri adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Dua pendekatan yang digunakan dalam manajemen nyeri, yaitu pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan dokter, yang menekankan pada pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri, misalnya pemberian analgesik. Sedangkan pendekatan non farmakologi merupakan tindakan mandiri perawat untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri, yaitu dengan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, distraksi, stimulasi kutaneus, akupresur, dan hipnosis.


(14)

kecil saja dari beberapa manajemen nyeri tersebut yang digunakan oleh perawat dalam mengatasi nyeri pada pasien. Dalam manajemen nyeri, banyak pasien dan anggota timkesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untukmenghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas kaperawatannonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri.Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yusrizal (2012) di RSUD Dr. M. Zein Painan menyatakan bahwa perawat hanya menjalankan terapi yang sudah diatur oleh dokter sehingga manajemen non farmakologi dalam mengatasi nyeri belum dilakukan dengan maksimal. Kebanyakan perawat melaksanakan program terapi hasil dari kolaborasi dengan dokter untuk menghilangkan nyeri pada pasien. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Yusrizal dengan tiga orang perawat, mereka mengetahui teknik relaksasi nafas dalam dan massase dapat menurunkan nyeri, namun mereka belum mau melaksanakan teknik tersebut, karena mereka menganggap bahwa penggunaan analgesik memberikan efek kerja yang lebih cepat dari pada menggunakan teknik relaksasi atau tindakan non farmakologi.

Berdasarkan paparan diatas maka penulis merasa tertarik untuk meneliti manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian : Bagaimana manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan?

3. Tujuan penelitian

Untuk mengidentifikasi manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.


(15)

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

Dalam praktek keperawatan hasil penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan perawat tentang manajemen nyeri pada pasien dan dapat dijadikan pedoman dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya dalam manajemen nyeri pada pasien yang mengalami nyeri fraktur.

4.2 Bagi pelayanan kesehatan

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dan masukan bagi pelayanan kesehatan khususnya dalam memberi praktek keperawatan yang komprehensif pada pasien yang mengalami nyeri fraktur.

4.2 Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan atau sumber data bagi peneliti lainnya yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai manajemen nyeri pada pasien fraktur.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini dibahas konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, yaitu :

1. Fraktur

1.1Defenisi fraktur

Fraktur adalah patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Brunnner & Suddarth, 2001). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang , retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma (Lukman &Ningsih, 2009) .

1.2Etiologi Fraktur

Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis.

1.2.1 Peristiwa Trauma (kekerasan) a. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring (Oswari, 2005).

b. Kekerasan tidak langsung


(17)

bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang lengan bawah (Oswari, 2005).

c.Kekerasan akibat tarikan otot

Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi (Oswari, 2005).

1.2.2 Peristiwa Patologis

a. Kelelahan atau stres fraktur

Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang – ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara tiba – tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang (Price, 2005).


(18)

Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur (Price 2005).

1.3KlasifikasiFraktur

Ada beberapa jenis fraktur menurut Brunnner & Suddarth (2001), yaitu : 1.3.1 Fraktur komplit, patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).

1.3.2 Fraktur tidak komplit (inkomplit), patah yang hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

1.3.3 Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robeknya kulit.

1.3.4 Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), fraktur dengan luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi : Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm panjang nya ; Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan paling berat.

1.3.5Berdasarkan bentuk patahan tulang

a.Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.


(19)

c.Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal).

d.Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.

e.Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. f.Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorng ke dalam (sering

terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

g.Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang).

h.Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor).

i.Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.

j.Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

1.4 Manifestasi klinis

Menurut Lukman & Ningsih (2009), ada beberapa manifestasi klinis fraktur yaitu :

1.4.4Nyeri

Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.


(20)

Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa ) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

1.4.6Pemendekan Ekstremitas

Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkup i satu sama lain 2,5 sampai 5 cm (1-2 inci).

1.4.7Krepitus

Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

1.4.8Pembengkakan lokal dan perubahan warna

Pembengkakan lokal dan perubahan warna pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

1.5Proses Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara


(21)

keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1.5.1Proses Hematom

Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan yang mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom merupakan bekuan darah kemudian berubah menjadi bekuan cairan semi padat (Discon & Wright, 1992).

1.5.2Proses Proliferasi

Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah (Pakpahan, 1996).

1.5.3Proses pembentukan callus

Proses pembentukan callus pada orang dewasa antara 6-8 minggu, sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat terbentuk di luar tulang (superiosteal callus) dan di dalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa, sehingga trabekula yang dibentuk tidak teratur oleh tulang imatur untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga membentuk suatu callus tulang (Pakpahan, 1996).

1.5.4Proses konsolidasi (penggabungan)

Perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12


(22)

minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut dengan penggabungan secara terus-menerus (Pakpahan, 1996).

1.5.5Proses Remodeling

Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang, dan proses pengembalian bentuk semula. Proses terjadinya remodeling antara 1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Brunner& Suddarth, 2001).

1.6Komplikasi fraktur

1.6.1Komplikasi awal a.Syok

Pada komplikasi awal dapat terjadi syok hipovolemik atau trumatik, akibat perdarahan (baik kehilangan darah ekterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak ( Brunner & Suddarth 2001).

b.Sindrom Emboli Lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah( Brunner & Suddarth 2001). c.Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran


(23)

kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat. Bisa juga karena penigkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya iskemia, cedera remuk, penyutikan bahan pengahancur jaringan) ( Brunner & Suddarth 2001).

1.6.2 Komplikasi lambat atau lanjutan

a.Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan (Mal-union atau Non-union)

Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.

Tidak adanya penyatuan terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-ujung patahan tulang ( Brunner & Suddarth 2001).

b.Nekrosis avaskular tulang

Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kehilangan asupan darah dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur, dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit dan penyakit lain. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru ( Brunner & Suddarth 2001).


(24)

Alat fiksai interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator utama telah terjadinya masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan stabilisasi yang tidak memadai), kegagalan material (alat yang cacat atau rusak), berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi lokal, respon alergi terhadap campuran logam yang dipergunakan, dan remodelingosteoporotik disekitar alat fiksasi (stres yang dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut mengakibatkan osteoporosis disuse) ( Brunner & Suddarth 2001).

2. Nyeri

2.1Definisi nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (1979, dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001).

McCaffery(1980 dalamPrasetyo, 2010) menyatakan bahwa nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja saat seseorang mengatakan merasakan nyeri. Definisi ini menempatkan seorang pasien sebagai expert (ahli) di bidang nyeri, karena


(25)

hanya pasienlah yang tahu tentang nyeri yang ia rasakan. Bahkan nyeri adalah sesuatu yang sangat subjektif, tidak ada ukuran yang objektif padanya, sehingga hanyalah orang yang merasakannya yang paling akurat dan tepat dalam mendefenisikan nyeri.

2.2Klasifikasi nyeri

2.2.1 Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan

Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu atau durasi 1 detik sampai dengan kurang dari enam bulan, sedangkan nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk mengidentifikasi adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri akut biasanya menghilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan menyembuh (Tamsuri, 2007).

Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten, atau bahkan persisten. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri, 2007). Pada individu yang mengalami nyeri kronis timbul suatu perasaan tidak aman karena ia tidak pernah tahu apa yang dirasakan dari hari ke hari. Gejala nyeri kronik meliputi keletihan, insomnia, anoreksia, penurunan berat badan, depresi, putus asa, dan kemarahan. Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan


(26)

distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005).

2.2.2 Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi

Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri, 2007).

Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri berlangsung sebentar, terlokalisasi, dan memiliki sensasi yang tajam.

Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya perenggangan dan iskemia.

Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ interna. Nyeri bersifat difusi dan dapat menyebar keberbagai arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung lebih lama dari pada nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau unik tergantung organ yang terlibat.

Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari sensasi asal ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan.

Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah organnya masih ada.

Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada


(27)

beberapa tempat dan lokasi. Nyeri jenis ini dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh lainnya.

2.2.3 Klasifikasi nyeri berdasarkan organ

Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual atau potensial) organ. Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada neuralgia dan dapat terjadi secara akut maupun kronis. Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikologis, umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan akut timbul pada klien (Tamsuri, 2007).

2.3 Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Potter & Perry, 2005).

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :


(28)

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi (Tamsuri, 2007).

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

2.4.1 Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri (Gill,1990dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin (misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh


(29)

menangis, sedangkan seprang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).

2.4.2 Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001).

2.4.3 Budaya

Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka.Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005). Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa cara yang mereka lakukan dan apa yang mereka yakini adalah sama dengan cara dan keyakinan orang lain. Dengan demikian, mereka mencoba mengira bagaimana klien berespon terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan untuk mentoleransi nyeri, akibatnya pemberian terapi mugkin tidak cocok untuk klien berkebangsaan Meksiko-Amerika yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau mengharapkan perawat melakukan intervensi (Calvillo dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2005).


(30)

2.4.4 Ansietas

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas. Sebagai contoh seseorang yang menderita kanker kronis dan merasa takut akan kondisi penyakitnya akan semakin meningkatkan persepsi nyerinya (Prasetyo, 2010).

2.4.5 Pengalaman Sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri (Prasetyo, 2010).

2.4.6 Pola Koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).


(31)

2.4.7 Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan mengurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005).

2.5Pengukuran Nyeri

2.5.1 Skala Numerik Nyeri

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner & Suddarth, 2001).

Skala Numerik Nyeri

2.5.2 Visual analog scale

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang (Potter & Perry, 2005).


(32)

Visual Analog Scale (VAS)

Tidak ada rasa nyeri Sangat nyeri

Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang moderate/sedang (Brunner & Suddarth, 2001).

2.5.3 Skala Wajah Wong dan Barker

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).

Skala wajah untuk nyeri

Pengukuran nyeri yang dipakai untuk mengukur skala nyeri pada penelitian ini adalah skala numerik nyeri. Skala ini merupakan skala yang paling umum digunakan untuk mengukur skala nyeri. Nilai 1-4 menggambarkan nyeri ringan, 5-6 menggambarkan nyeri sedang, dan 7-0 nyeri berat (Brunner & Suddarth, 2001).


(33)

2.6Respon Tubuh Terhadap Nyeri

2.6.1 Respon fisik

Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta nyeri superfisial,tubuh bereaksi membangkitkan General Adaptation Syndrome (Reaksi Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2007).

2.6.2 Respon perilaku

Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Meinhart dan Mc. Caffery (1983) menggambarkan fase perilaku terhadap nyeri yaitu: antisipasi, sensasi, dan pasca nyeri (Mc. Caffery dalam Tamsuri, 2007).

Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting dan merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri. Individu belajar untuk mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri muncul, karena kecemasan dapat menyebabkan peringatan sensasi nyeri yang terjadi pada klien dan atau tindakan ulang yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif.

Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seorang individu yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,


(34)

meringkukkan badan, menjerit, dan bahkan berlari-lari. Pada fase paska nyeri, individu bisa saja mengalami trauma psikologis, takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil.

2.5.6 Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi individu. Individu mengartikan nyeri sebagai suatu yang negatif cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada induvidu yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman positif akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2007).

2. 7 Manajemen nyeri

Terdapat berbagai tindakan yang dapat dilakukan seorang perawat untuk mengurangi rasa nyeri yang diderita. Tindakan-tindakan tersebut mencakup tindakan nonfarmakologis dan tindakan farmakologis. Dalam beberapa kasus nyeri yang sifatnya ringan, tindakan non-farmakologis adalah intervensi yang paling utama, sedangkan tindakan farmakologis dipersiapkan untuk mengantisipasi perkembangan nyeri. Pada kasus nyeri sedang sampai berat, tindakan non-farmakologis menjadi suatu pelengkap yang efektif untuk mengatasi nyeri disamping tindakan farmakologis yang utama (Prasetyo, 2010).

2.7.1 Manajemen nyeri secara farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi


(35)

keperawatan lainnya dan pasien (Brunner & Suddarth, 2001). Beberapa agens farmakologi digunakan untuk menangani nyeri. Semua agen tersebut memerlukan resep dokter. Keputusan perawat, dalam penggunaan obat-obatan dan penatalaksanaan klien yang menerima terapi farmakologi, membantu dalam upaya memastikan penanganan nyeri yang mungkin dilakukan ( Potter &Perry, 2005).

a. Analgesik

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate seperti mu, delta, dan alppa) dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat. Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla batang otak. dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat (Tamsuri,2007).Untuk nyeri yang sedang sampai berat menggunakan analgesik opioid atau narkotik (AHCPR, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Analgesik narkotik yang diberikan secara oral atau injeksi, bekerja pada pusat otak yang lebih tinggi dan medulla spinalis melalui ikatan dengan


(36)

reseptor opioid untuk memodifikasi persepsi nyeri dan reaksi terhadap nyeri.

Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid Anti-InflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (anti-piretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri, 2007). Terapi pada nyeri postoperasi ringan sampai sedang menggunakan NSAIDs. Mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi. Sehingga agens NSAIDs dapat menjadi efektif sebagai analgesik yang manjur bagi beberapa klien atau pemberian analgesik melalui oral dapat semanjur pemberian injeksi untuk mengatasi nyeri (McKenry & Salerno, 1995 dalam Potter & Perry, 2005).

b. Analgesik Dikontrol-Pasien (ADP)

Sistem pemberian obat, yang disebut ADP, merupakan metode yang aman untuk penatalaksanaan nyeri kanker, nyeri pascaoperasi,


(37)

dan nyeri traumatik. Kebanyakan klien lebih menyukai metode pemberian injeksi berkala. Hal ini merupakan sistem pemberian obat yang memungkinkan klien mendapatkan medikasi nyeri ketika mereka menginginkan obat tersebut tanpa risiko overdosis. Tujuan metode ini ialah mempertahankan kadar plasma analgesik yang konstan, sehingga masalah pemberian dosis sesuai kebutuhan dihindari. ADP sistemik biasanya termasuk pemberian obat intravena, tetapi metode ini juga dapat diberikan melalui subkutan. ADP merupakan pompa infuse yang dapat dibawa (biasanya diatur komputer), yang berisi ruang untuk tempat spuit atau merupakan alat khusus dirancang seperti pengatur dosis yang menggunakan jam tangan yang diperlengkapi pengaturan dini pemberian obat dalam dosis kecil. Analgesik yang dipilih ialah morfin. Untuk menerima dosis, klien menekan tombol yang menempel pada alat ADP ( Potter & Perry, 2005).

c. Analgesik Epidural

Analgesik epidural merupakan suatu bentuk anastesia lokal dan terapi yang efektif untuk menangani nyeri pascaoperasi akut, nyeri persalinan, dan melahirkan, dan nyeri kronik, khususnya yang berhubungan dengan kanker (McNair,1990 dalam Potter & Perry, 2005 ). Analgesik ini memungkinkan pengontrolan atau pengurangan nyeri yang berat tanpa efek sedative dari narkotik parenteral atau oral yang lebih serius. Analgesia epidural berlangsung dalam jangka waktu pendek atau panjang, tergantung pada kondisi klien dan harapan hidup. Terapi jangka pendek digunakan untuk mengatai nyei akibat bedah


(38)

intratorak, bedah abdomen, dan bedah orthopedi. Terapi jangka panjang digunakan untuk nyeri yang tidak dapat dikendalikan, pada bagian tubuh bawah, khususnya bila bagian tubuh itu bilateral (DuPen & William,1992 dalam Potter & Perry, 2005).

Tabel 2.1Analgesik dan Indikasi terapi (Potter & Perry, 2005)

Kategori Obat Indikasi

ANALGESIK NON-NARKOTIK

Asetaminofen (Tylenol) Asam asetilsalisilat (aspirin) NSAID

Ibuprofen (Motrin, Nuprin) Naproksen (Naprosyn) Indometasin (Indocin) Tolmetin (Tolectin) Piroksikam (Feldene) Ketorolak (Toradol) ANALGESIK NARKOTIK Meperidin (Demerol) Metilmorfin (Kodein) Morfin sulfat Fentanil (Sublimaze) Butofanol (Stadol)

Hidromorfon HCL (Dilaudid)

ADJUVAN

Amitriptilin (Elavil) Hidroksin (Vistaril) Klorpromazin (Thorazine) Diazepam (Valium)

Nyeri pasca operasi ringan Demam

Dismenore

Nyeri kepala vascular Artritis rheumatoid

Cedera atletik jaringan lunak Gout

Nyeri pasca operasi Nyeri traumatik berat

Nyeri kanker Infark moikard Cemas Depresi Mual Muntah


(39)

2.7.2 Manajemen nyeri secara Non-farmakologis

Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

Tindakan nonfarmakologi mencakup intervensi perilaku-kognitif dan penggunaan agen-agens fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan memberi rasa pengendalian yang lebih besar sedangkan agen-agens fisik bertujuan memberi rasa nyaman, memperbaiki disfungsi fisik, mengubah respons fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang terkait dengan imobilisasi(Potter & Perry, 2005).

Berikut ini beberapa teknik manajemen nyeri secara non-farmakologi :

a. Relaksasi

Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress, sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010). Menurut Potter & Perry (2005), teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi dapat digunakan saat indvidu dalam kondisi sehat atau sakit. Teknik relaksasi tersebut merupakan upaya pencegahan untuk membantu tubuh segar kembali. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal, klien yang


(40)

telah mengetahui teknik ini mungkin hanya perlu diinstruksikan menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.

Berbagai metode relaksasi digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot sehingga didapatkan penurunan denyut jantung, penurunan respirasi, serta penurunan ketegangan otot. (Prasetyo, 2010). Contoh tindakan relaksasi yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah napas dalam dan relaksasi otot , dan juga aromaterapi.

Steward (1996) dalam Rabi’al (2009) menjelaskan teknik relaksasi sebagai berikut :

1) Nafas dalam

- Diharapkan pasien menarik nafas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara.

- Kemudian perlahan-lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan betapa nyamannya hal tersebut

- Selanjutnya pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal

- Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan dan membiarkan hanya kaki dan telapak tangan yang kendor. Perawat meminta pasien untuk mengkonsentrasikan pikiran pasien pada kaki yang terasa ringan dan hangat.


(41)

- Setelah itu mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut, punggung, dan kelompok otot-otot yang lain.

2) Relaksasi progresif

Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan pernapasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Klien mulai latihan bernapas dengan perlahan dan menggunakan difragma, sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Saat klien melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot, berpikir bagaimana rasanya, menegangkan otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini menciptakan sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stress. Secara bertahap, klien dapat merelaksasi otot tanpa harus terlebih dahulu menegangkan otot-otot tersebut. Saat klien mencapai relaksasi penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi minimal(Potter & Perry, 2005).

Berikut ini cara latihan progresif menurut Steward (1996) dalam Rabi’al (2009) :

- Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian lemaskan


(42)

- Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau sambil berbaring nyaman

- Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan perintah untuk mengkontraksikan otot, menghitung sampai 10 kali dan memerintah untuk melemaskan otot

3) Aromaterapi

Aromaterapi adalah metode yang menggunakan minyak atsiri untuk meningkatkan kesehatan fisik dan emosi. Minyak atsiri adalah minyak alami yang diambil dari tananman aromatik. Menurut roulier (1990) minyak atsiri yang bersifat analgetik (menghilangkan rasa sakit) adalah chamomile frankincense, cengkih, wintergreen, lavender, dan mint (Koensoemardiyah, 2009). Berdasarkan penelitian di UniversitasWarwick di Inggris,bau yangdihasilkan akan berikatan dengan gugus steroid di dalam kelenjar keringat,yangdisebutosmon,yang mempunyai potensisebagaipenenangkimiaalami.Responbauyangdihasilkanakan merangsangkerjaselneurokimiaotak.Sebagaicontoh,bauyangmenye nangkanakanmenstimulasithalamusuntukmengeluarkanenkefalinya ngberfungsisebagaipenghilangrasasakitalamidanmenghasilkanperas aansejahtera(Primadiati,2002).Enkefalinsepertihalnya endorphin merupakanzatkimiawiendogen(diproduksiolehtubuh)yangberstrukt urserupadenganopioid(Brunner & sudarth,2002).


(43)

Menurut Guyton (1990) enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan presinaptik dan hambatan post sinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan tipe delta A dimana mereka bersinaps di kornu dorsalis. Proses tersebut mencapai inhibisi dengan penghambatan saluran kalsium. Selanjutnya, penghambatan tampaknya berlangsung lama karena setelah mengaktivasi sistem analgesia, maka analgesia seringkali berlangsung selama bermenit-menit bahkan berjam-jam. b) Imajinasi terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah upaya untuk menciptakan kesan dalam pikiran klien, kemudian berkonsentrasi pada kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri. Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup, upaya kondisi lingkungan klien mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan, kebisingan, bau menyengat atau cahaya yang sangat terang perlu dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk berkonsentrasi (Prasetyo, 2010).

Perawat melatih klien dalam membangun kesan dan berkonsentrasi pada pengalaman sensori. Mula-mula perawat meminta klien untuk memikirkan pemandangan yang menyenangkan atau pengalaman yang meningkatkan penggunaan semua indra. Klien kemudian menjelaskan kesan tersebut dan perawat mencatatnya sehingga catatan tersebut dapat digunakan pada latihan berikutnya (Potter & Perry, 2005).

Dengan mata terpejam, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekshalasi secara lambat


(44)

tubuh rileks dan nyaman dan setiap kali napas dihembuskan pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Imajinasi terbimbing dipraktikkan oleh pasien selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Selain itu imajinasi terbimbing dapat berfungsi hanya pada beberapa orang (Brunner & Suddarth, 2001). Berikut merupakan contoh bagian latihan imajinasi terbimbing : “ bayangkan diri Anda sekarang berbaring di atas rumput yang hijau, segar, di atas bukit yang indah. Udara sejuk, Anda melihat sekitar Anda bunga sedang bermekaran. Anda melihat ke atas langit cerah, biru, sinar matahari yang redup tidak menyilaukan. Semerbak wangi bunga meneyelimuti, sungguh suasana yang sangat indah” (Prasetyo, 2010).

b. Distraksi

Distraksi adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal lain di luar nyeri, yang dengan demikian diharapkan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

Stimulus yang menyenangkan dari luar dapat merangsang sekresi endorphin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu stimulasi otak akan lebih efektif dalam menurunkan nyeri (Tamsuri, 2007).


(45)

Adapun distraksi ini meliputi :

1) Distraksi visual, misalnya : menonton TV, melihat pemandangan. Menonton acara-acara yang humor atau acara yang disukai oleh klien akan menjadi teknik distraksi yang dapat membantu mengalihkan perhatian klien akan nyeri yang ia alami (Prasetyo, 2010).

2) Distraksi auditory, misalnya : mendengarkan suara/ musik yang disukai (Prasetyo, 2010).Musik terbukti menunjukkan efek yaitu menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu. Musik menghasilkan perubahan status kesadaran melalui bunyi, kesunyian, ruang dan waktu. Musik yang dapat memberikan efek terapeutik harus didengarkan minimal 15 menit. Di keadaan perawatan akut, mendengarkan musik dapat memberikan hasil yang sangat efektif dalam upaya mengurangi nyeri postoperasi (Guzetta, 1989 dalam Potter & Perry, 2005). c. Stimulasi kutaneus

Stimulasi kutaneus merupakan stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Masase, kompres dingin dan panas, dan stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) merupakan langkah-langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Salah satu pemikiran adalah bahwa cara ini menyebabkan pelepasan endorfin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri. Teori gate kontol


(46)

mengatakan bahwa stimulus kutaneus mengaktifkan transmisi serabut saraf sensorik A-beta yang lebih besar dan lebih cepat. Proses ini menurunkan transmisi nyeri melalui serabut C dan delta-A berdiameter kecil. Gerbang sinaps menutup transmisi impuls nyeri (Potter & Perry, 2005). Berikut ini beberapa contoh stimulus kutaneus :

1) Masase

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot. (Brunner & Suddarth, 2001).Slow-stroke back massage adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan selama 3-10 menit sebanyak 60 kali usapan permenit (Potter & Perry, 2005). Masase punggung ini dapat menyebabkan timbulnya mekanisme penutupan terhadap impuls nyeri saat melakukan gosokan penggung pasien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka sistem pertahanan disepanjang urat saraf dan klien mempersepsikan nyeri.Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen yaitu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. (Potter & Perry, 2005).


(47)

Kompres panas dan dingin dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan proses penyembuhan. (Ceccio, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

Kompres panas dan dingin pada tubuh bertujuan untuk meningkatkan perbaikan dan pemulihan jaringan. Kompres panas atau dingin menghasilkan perubahan fisiologis suhu jaringan, ukuran pembuluh darah, tekanan darah kapiler, area permukaan kapiler untuk pertukaran cairan dan elektrolit, dan metabolisme jaringan (Kozier, 2009).

Kompres dingin adalah suatu teknik dari stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri dan merupakan langkah sederhana dalam upaya menurunkan persepsi nyeri. Kompres dingin dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan proses penyembuhan yang mengalami kerusakan. Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri atau di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, hal ini memakan waktu 5 sampai 10 menit. Pengompresan di dekat lokasi aktual nyeri cenderung memberi hasil yang terbaik. Seorang klien dengan merasakan sensasi dingin, terbakar, dan sakit serta baal. Apabila klien merasa baal, maka es harus diangkat (Potter & Perry, 2005).

Menurut Tamsuri (2007)pada aplikasi dingin, selain memberikan efek menurunkan sensasi nyeri, aplikasi dingin juga memeberikan efek fisiologis seperti : menurunkan respon inflamasi jaringan, menurunkan aliran darah,dan mengurangi edema.


(48)

Menurut kozier (2009) efek fisiologis dari kompres panas yaitu vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan metabolisme seluler, dan meredakan nyeri dengan merelaksasikan otot.

Kompres panas dan dingin pada tubuh dapat berbentuk kering dan basah. Kompres panas kering dapat digunakan secara lokal, untuk konduksi panas, dengan menggunakan botol air panas, bantalan pemanas elektrik, bantalan akutermia, atau kemasan pemanas disposibel. Kompres panas basah dapat diberikan, melalui konduksi, dengan cara kompres kasa, kemasan pemanas, berendam, atau mandi (Kozier, 2009).

3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)

TENS (Transkutaneus Electrical Nerve Stimulation) adalah suatu alat yang menggunakan aliran listrik, baik dengan frekuensi rendah maupun tinggi, yang dihubungkan dengan beberapa elektroda pada kutaneus. TENS merupakan prosedur non-invasif, merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri baik akut maupaun kronis (Tamsuri, 2007).

Terdapat penelitian yang menyatakan adanya keefektifan penggunaan TENS dalam penanganan nyeri post operasi (AHCPR, 1992). Teknik ini terbukti pula efektif dalam pengontrolan nyeri pada low back pain kronis, nyeri phantom, nyeri menstruasi, dan yang lainnya (Tamsuri, 2007).


(49)

Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa sutatu kekuatan kehidupan, dalam bentuk energi, bersirkulasi di seluruh tubuh dalam siklus yang didefinisikan dengan benar, akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk meningkatkan kondisi yang lebih sehat.Perawat ahli terapi mempelajari alur energi atau meridian tubuh dan memberi tekanan pada titik- titik tertentu di sepanjang alur (Potter & Perry, 2005).

Stimulasi pada titik akupuntur mengaktifkan tiga pusat yaitu spinal cord, midbrain dan pituitari untuk melepaskan neurokimia seperti endorphin, serotonin dan norepinehrin yang mampu memblok pesan nyeri. Selain endorphin, stimulasi pada titik akupuntur juga terjadi pelepasan adrenocorticotropin hormone (ACTH) dari pituitari. ACTH menstimulasi adrenal untuk memproduksi kortisol (Pearl, 1999). Dibawah ini adalah teori terkait mekanisme kerja akupresur.

1)Teori neurotransmitter. Akupuntur mempengaruhi area otak, menstimulilasi sekresi beta-endorphin dan enkepalin pada otak dan spinal cord. Pelepasan neurotransmitter mempengaruhi sistem imun dan sistem antinoceptive.

2) Teori sistem syaraf otonom. Akupuntur menstimulasi pelepasan norepinephrin, acetylcholine dan beberapa tipe opoid, menormalkan sistem syaraf otonom dan mengurangi nyeri. 3) Teori gate control. Akupuntur mengaktifkan reseptor


(50)

4) Teori vascular-interstisial akupuntur memanipulasi sistem elektris tubuh dengan menciptakan atau meningkatkan transpor sirkuit tertutup pada jaringan. Hal ini memfasilitasi penyembuhan yang diikuti oleh transfer material dan energi elektris diantara jaringan yang normal dan jaringan yang terluka.

5) Teori kimia darah. Akupuntur mempengaruhi konsentrasi trigliserida, kolesterol dan phospholipid dalam darah, oleh karena itu akupuntur bisa menaikkan dan menurunkan komponen darah di perifer, dengan cara demikian akupuntur mengatur tubuh menuju homeostasis (National Institute of Health, 1997).

Teknik akupresur dilakukan dengan berbagai cara yang aman, tidak melukai kulit atau menyebabkan pecahnya pembuluh darah, yaitu menggunakan beberapa alternatif cara berikut : menggunakan jari jempol, menggunakan beberapa jari tangan yang disatukan, hanya jari telunjuk saja, atau dengan telapak tangan, membuat gerakan cubitan halus, tetapi tidak sampai memar, menepuk-nepuk atau memukul-mukul ringan, dan menggosok dengan jari jempol atau telapak tangan (Oka, 2008).

e. Hipnosis

Hipnoterapi adalah terapi yang dilakukan terhadap klien yang berada dalam kondisi hipnosis. Kata hipnosis berasal dari bahasa yunani, yaitu hypnos yang berarti “tidur”. Seseorang yang berada dalam


(51)

kondisi hipnosis akan menampilkan kecenderungan yang berbeda dibandingkan dengan seseorang yang tidak dalam kondisi hipnosis. Dalam kondisi hipnosis, seseorang cenderung lebih mudah menerima saran atau sugesti ( hiper-sugestion). Dengan sugesti penyembuhan (hypno-therapeutic), hipnoterapis bisa memodifikasi perilaku klien, dari emosional, sikap, hingga berbagai macam kondisi, seperti kebiasaan buruk, kecemasan, stres yang berhubungan dengan penyakit akut maupun kronis, manajemen rasa sakit dan nyeri, serta pengembangan pribadi manusia (Hakim, 2010)

Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dan damai. Individu memasuki keadaan rileks dengan menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondisi-kondisi yang menghasilkan respon tertentu bagi mereka (Edelman dan mandel dalam Potter & Perry, 2005). Hipnosis-diri sama seperti dengan melamun . Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu berkonsentrasi hanya pada satu pikiran. (Potter & Perry, 2005).


(52)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat pada pasien dengan nyeri fraktur. Manajemen nyeri adalah suatu tindakan untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri sampai ke tingkat yang dapat ditoleransi oleh pasien.Adapun manajemen nyeri yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah manajemen nyeri secara farmakologi, yaitu dengan pemberian analgesikdan non farmakologi, yaitu dengan teknikrelaksasi, imajinasi terbimbing, distraksi, stimulasi kutaneus, akupresur, dan hipnosis diri.

Skema 3.1. Kerangka konseptual identifikasi manajemen nyeri pada pasien fraktur

2. Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini adalah manajemen nyeri,yaitu tindakan yang dilakukan perawat untuk menurunkan ataupun menghilangkan nyeri pada pasien dengan nyeri fraktur. Manajemen nyeri tersebut terbagi menjadi beberapa subvariabel yaitu (1) memberikan obat analgesik,(2) relaksasi: mengajarkan teknik nafas dalam dan relaksasi otot,(3)imajinasi terbimbing: menciptakan kesan yang indah dalam pikiran pasien,(4)distraksi: mengalihkan perhatian pasien

Manajemen nyeri fraktur Nyeri fraktur


(53)

terhadap nyeri yang dialami ,(5) stimulasi kutaneus: melakukan masase, kompres dingin, kompres panas dan TENS, (6) akupresur: memberi tekanan pada titik akupresur,(7)hipnosis :memberikan sugesti positif pada pasien untuk mengubah persepsi nyeri.

Alat ukur berupa lembar kuesioner yang terdiri dari 28 pernyataan dan untuk masing-masingsubvariabel manajemen nyeri terdiri dari 4 pernyataan. Selanjutnya setiap pernyataan manajemen nyeri dirating dalam 4 point skala Likertyaitu (0 menunjukkan tidak pernah, 1 menunjukkan jarang , 2 menunjukkan sering, dan3 menunjukkan selalu).

Skala ukur yang digunakan untuk variabel manajemen nyeri adalah skala ordinal.Hasil ukur untuk variabel manajemen nyeri didapatkan nilai sebagai berikut : 56-84 (baik), 28-55 (cukup), dan 0-27 (kurang).

Skala ukur yang digunakan untuk subvariabel manejemen nyeri adalah skala ordinal. Hasil ukur untuk subvariabel manajemen nyeri didapatkan nilai sebagai berikut : 8-12 (baik), 4-7 (cukup), dan 0-3 (kurang).


(54)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi manajemen nyeri yang dilakukan perawat pada pasien dengan nyeri fraktur. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif eksploratif yaitu suatu rancangan penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan fakta-fakta baik fisik atau sosial yang ada dengan memberikan interpretasi dan gagasan atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena yang diselidiki.

2. Populasi, sampel, dan teknik sampling 2.1Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang bertugas di ruangan pasien yang mengalami fraktur yaitu di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan.Setelah peneliti melakukan survey banyak populasi yaitu 25 orang perawat di ruangan Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan.

2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2009). Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah sebagian perawat yang bertugas di ruangan pasien yang mengalami fraktur di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan.


(55)

Menurut Setiadi (2007 ) bila populasi lebih kecil dari 10.000 maka pengambilan sampel dapat menggunakan formula sebagai berikut :

n = N

1+N (d2)

Dimana : N = jumlah populasi d = derajat kesalahan n = jumlah sampel

Jadi berdasarkan rumus di atas maka didapat jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 24 orang perawat.

Kriteria inklusi yang ditentukan sebagai sampel penelitian adalah(1) perawat yang bertugas di ruangan pasien yang mengalami fraktur dan belum direposisi yakni di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan (2) tingkat pendidikan minimal D3 Keperawatan (3) bersedia menjadi responden.

2.3Teknik Sampling

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti (Setiadi, 2007).

3. Lokasi penelitian dan waktu penelitian 3.1 Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan. Pemilihan RSUP H.Adam Malik Medan sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas dan pelayanan yang cukup baik serta jumlah pasien fraktur yang cukup banyak dijumpai pada rumah sakit tersebut.


(56)

3.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan yaitu mulai bulan Maret sampai dengan bulan April 2013 .

4. Pertimbangan etik Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik medan. Dalam penelitian ini ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatikan, yaitu :

4.1Self Determination

Responden diberi kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela.

4.2Ananomity

Selama kegiatan penelitian, nama dari responden tidak digunakan. Sebagai gantinya peneliti mengunakan inisial responden.

4.3Informed Consent

Seluruh responden bersedia menandatangani lembar persetujuan setelah peneliti menjelaskan tujuan , manfaat, dan harapan peneliti terhadap respoden, setelah respoden memahami semua penjelsan peneliti.

4.4Confidentiality

Peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden dan kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

4.5Protection From Discomford


(57)

5. Instrument Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa lembar kuesioner yang terdiri dari dua bagian yaitu : Bagian (1) merupakan kuesioner data demografi perawat yang meliputi : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pengalaman mengikuti pelatihan manajemen nyeri. Bagian (2) merupakan kuesioner manajemen nyeri yang dilakukan perawat pada pasien dengan nyeri fraktur. Kuesioner ini disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada tinjauan pustaka. Kuesioner ini berbentuk pernyataan mengenai manajemen nyeri yang dilakukan oleh perawat yang terdiri dari 28 pernyataandengan masing-masing subvariabel manajemen nyeri terdiri dari 4 pernyataan. Subvariabel manajemen nyeri secara farmakologi / pemberian analgesik yaitu pernyataan no 1-4 , manajemen nyeri secara nonfarmakologi : teknik relaksasi yaitu pernyataan no 5-8, teknik imajinasi terbimbing yaitu pernyataan no 9-12 , teknik distraksi yaitu pernyataan no 13-16, teknik stimulasi kutaneus yaitu pernyataan no 17-20, teknik akupresur yaitu pernyataan no 21-24, dan teknik hipnosis diri pernyataan no 25-28.

Kuesioner ini menggunakan skala Likertdengan pilihan jawaban tidak pernah, jarang, sering, dan selalu. Dengan skor 0 untuk jawaban tidak pernah, skor 1 untuk jawaban jarang, skor 2 untuk jawaban sering, dan skor 3 untuk jawaban selalu.

Nilai tertinggi yang diperoleh dari variabel manajemen nyeri adalah 84 dan nilai terendah 0. Skala ukur yang digunakan adalah skala ordinal, dan banyak


(58)

kelas adalah 3 dimana didapatkan hasil ukur manajemen nyeri dengan nilai sebagai berikut : 56-84 (baik), 28-55 (cukup), dan 0-27 (kurang).

Nilai tertinggi yang diperoleh dari subvariabel manajemen nyeri adalah 12 dan nilai terendah 0. Skala ukur yang digunakan adalah skala ordinal, dan banyak kelas adalah 3 dimana didapatkan hasil ukur subvariabel manajemen nyeri dengan nilai sebagai berikut 8-12 (baik), 4-7 (cukup), dan 0-3 (kurang).

6.Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen

Kuesioner dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan tinjauan pustaka, oleh karena itu penting dilakukan uji validitas dan reabilitas. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2006).

Prinsip validitas adalah pengukuran dan pengamatan yang berarti prinsip keandalan instrument dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada 2 hal penting yang harus dipenuhi dalam menentukan validitas pengukuran, yaitu instrument harus relevansi isi instrument dan relevan cara dan sasaran (Nursalam, 2003).

Uji validitas yang dipergunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yaitu sejauh mana instrument penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Uji validitas ini dilakukan oleh 3 orang dosen yang ahli pada bidang keperawatan medikal bedah. Setelah dilakukan uji validitas maka didapatkan hasil bahwa instrumen penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrument maka dilakukan uji realibilitas. Uji realibilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran


(59)

dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Kuesioner ini menggunakan skala Likert Oleh karena itu reabilitas kuesioner ini akan di uji dengan Cronbach Alpha dengan komputerisasi. Polit & Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrument baru dikatakan reliable jika nilai reabilitasnya lebih besar 0,7 atau lebih.

Uji realibilitas ini dilakukan terhadap 20 perawat berbeda dengan perawat yang akan dijadikan sebagai respoden dalam penelitian, uji realibilitas ini dilakukan yaitu pada perawat yang bertugas di ruang RB2, HCU, dan IGD di RSUP H. Adam Malik Medan.Setelah dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan rumus Cronbach Alphamaka didapatkan hasil 0.896 yang artinya instrumen telah reliabel dan dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya.

7.Rencana Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan setelah memperoleh surat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan mengirimkan surat izin ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebagai tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan maka peneliti melakukan pengumpulan data.Peneliti menjelaskan dengan calon responden tentang tujuan, manfaat, dan proses pengisian kuesioner, sebelum menanyakan kesediaan untuk ikut terlibat sebagai responden. Kemudian peneliti melakukan pendekatan terhadap calon responden lainnya. Calon responden yang bersedia diminta menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Setelah itu responden diminta untuk mengisi kuesioner yang diberikan oleh peneliti dan diberikan kesempatan untuk bertanya bila ada yang tidak dimengerti. Peneliti menjelaskan bahwa kuesioner terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama tentang data demografi yang berisi identitas pasien


(60)

meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan pengalaman mengikuti pelatihan manajemen nyeri. Bagian yang kedua yaitu kuesioner berisi tentang manajemen nyeri yang dilakukan perawat pada pasien dengan nyeri fraktur yang terdiri dari 28 peryataan yang memiliki pilihan jawaban yang terdiri dari 4 yaitu tidak pernah, jarang , sering, dan selalu. Kemudian setelah responden selesai mengisi kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya untuk kemudian diolah.

8. Analisis Data

Setelah semua data terkumpul , maka dilakukan analisa data dengan memeriksa kembali semua kuesioner satu persatu yakni identitas dan data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi sesuai dengan petunjuk. Kemudian peneliti memberi kode terhadap setiap kuesioner untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan teknik komputerisasi, lalu dilakukan cleaning yaitu memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.

Data demografi akan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase. Analisa yang digunakan untuk data variabel manajemen nyeri dan subvariabael manajemen nyeri adalah analisa data secara deskriptif untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentase dalam bentuk tabel yang bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan manajemen nyeri yang dilakukan perawat pada pasien dengan nyeri fraktur di RSUP H. Adam Malik Medan.


(61)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti menguraikan data hasil penelitian dan pembahasan mengenai manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1. Hasil penelitian

Penelitian ini telah dilakukan mulai dari tanggal 9 Maret – 9 April 2013 di di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan. Responden pada penelitian ini adalah perawat yang bertugas di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan yang berjumlah 24 responden. Hasil penelitian ini menguraikan karakteristik demografi dan mengenai manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini yaitu data demografi responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, dan pengalaman mengikuti pelatihan manajemen nyeri.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden terbanyak pada rentang 20-40 tahun yaitu 62,5 % dan 37,5% pada rentang 41-60 tahun. Dan untuk data jenis kelamin 100% responden berjenis kelamin perempuan. Pendidikan responden paling banyak adalah D3 yaitu sebesar 91,7%, dan sisanya S1/NERS sebanyak 8,3 %. Mayoritas pengalaman kerja responden terbanyak di atas 10 tahun yaitu 62,5%, 5-10 tahun sekitar 29,2 % dan yang terakhir 1-5 tahun sekitar 8,3 %. Pengalaman responden yang pernah mengikuti pelatihan


(62)

manajemen nyeri memiliki persentase terbanyak yaitu 91,7 % dan sisanya tidak pernah yaitu 8.3 %. Data ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentasi karakteristik responden (n = 24 di ruang Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan.

Karakteristik responden Frekuensi (n) Persentase (%) Usia :

a. 20-40 tahun b. 41-60 tahun

15 9

62,5 37,5

Jenis Kelamin :

a. Perempuan b. Laki-laki 24 - 100 - Pendidikan : a. SPK b. D3/AKPER c. S1/NERS d. S2 - 22 2 - - 91,7 8,3 -

Pengalaman kerja :

a. < 1 tahun b. 1-5 tahun c. 5-10 tahun d. >10 tahun

- 2 7 15 - 8,3 29,2 62,5 Pengalaman pelatihan/seminar manajemen nyeri :

a. Pernah b. Tidak pernah

22 2

91,7 8,3


(63)

1.2 Manajemen nyeri.

Tabel 5.2Deskripsi variabel manajemen nyeri pada pasien fraktur di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan (n=24)

Manajemen nyeri Frekuensi Persentase

a. Baik b. Cukup c. Kurang 6 10 8 25 % 41,7 % 33,3 %

Total 24 100 %

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa manajemen nyeri pada pasien fraktur di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan dalam kategori cukup yaitu sebanyak 10 responden ( 41,7%) dengan hasil penelitian yang diperoleh dari responden yang menjawab pernyataan dengan skor 28-55.

Deskripsi data subvariabel manajemen nyeri dalam penelitian ini yaitu terdiri dari pemberian analgesik, relaksasi, imajinasi terbimbing, distraksi, stimulasi kutaneus, akupresur dan hipnosis.

Tabel 5.3Subvariabel manajemen nyeri pada pasien fraktur di ruang rindu B3 RSUP Haji Adam Malik Medan (n=24)

No Manajemen Nyeri

Pelaksanaan manajemen nyeri

Baik Cukup Kurang

N % N % N %

1 Pemberian analgesik 24 100 - - - -

2 Relaksasi 13 54,2 11 45,8 - -

3 ImajinasiTerbimbing 8 33,3 10 41,7 6 25

4 Distraksi 13 54,2 5 20,8 6 25

5 StimulasiKutaneus 4 16,7 8 33,3 12 50

6 Akupresur 1 4,2 6 25 17 70,8

7 Hipnosis 4 16,7 5 20,8 15 62,5

Tabel 5.3 di atas menerangkan bahwa pelaksanaan manajemen nyeri oleh perawatpada pasien fraktur di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan dengan


(64)

cara pemberian analgesik dalam kategori baik yaitu sebanyak 24 responden (100 %), dengan cara relaksasi dalam kategori baik yaitu sebanyak 13 responden (54,2%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 11 responden (45,8%), dengan cara imajinasi terbimbing dalam kategorik baik yaitu sebanyak 8 responden (33,3%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 10 responden (41,7%) dan dalam kategori kurang yaitu sebanyak 6 responden (25%) , dengan cara distraksi dalam kategorik baik yaitu sebanyak 13 responden (54,2%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 5 responden (20,8%) dan dalam kategori kurang yaitu 6 sebanyak responden (25%), dengan cara stimulasi kutaneus dalam kategori baik yaitu sebanyak 4 responden (16,7%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 8 responden (33,3) dan dalam kategori kurang yaitu sebanyak 12 responden (50%), dengan cara akupresur dalam kategori baik yaitu sebanyak 1 responden (4,2%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 6 responden (25%) dan dalam kategori kurang yaitu sebanyak 17 responden (70,8%), dengan cara hipnosis dalam kategori baik yaitu sebanyak 4 responden (16,7%), dalam kategori cukup yaitu sebanyak 5 responden (20,8%) dan dalam kategori kurang yaitu sebanyak 15 responden (62,5%).

Berdasarkan data dari tabel 5.3 di atas maka manajemen nyeri yang masuk dalam kategori baik yaitu manajemen nyeri dengan cara pemberian analgesik, relaksasi, dan distraksi, manajemen nyeri yang masuk dalam kategori cukupyaitu manajemen nyeri dengan cara imajinasi terbimbing, dan manajemen nyeri yang masuk dalam kategori kurang yaitu manajemen nyeri dengan cara stimulasi kutaneus, akupresur, dan hipnosis.


(65)

2. Pembahasan

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai pengalaman kerja > 10 tahun yaitu sebanyak 15 responden (62,5 %).. Bila dilihat berdasarkan pengalaman kerja, manajemen nyeri pada pasien fraktur oleh perawat di ruang RB3 dalam kategori baik. Pengalaman seseorang akan mempengaruhi dampak dalam bertindak. Individu yang memiliki pengalaman yang banyak atau lama biasanya memiliki kecenderungan untuk bertindak lebih baik dari pada yang baru. Seseorang yang mempunyai masa kerja lama juga akan mempunyai kemampuan bekerja yang efektif serta lebih memahami dan mengerti uraian tugas dan tanggung jawabnya. Menurut Notoadmojo (2003) pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau pengalaman merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dan perawat dengan masa kerja lebih lama cenderung mempunyai sikap positif dan tindakan yang lebih baik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden pernah mengikuti pelatihan/seminar tentang manajemen nyeri yaitu sebanyak 22 responden (91,7 %). Bila dilihat berdasarkan pengalaman mengikuti pelatihan/ seminar manajemen nyeri pada pasien fraktur oleh perawat di ruang RB3 dalam kategori cukup. Menurut Potter & Perry (2005), bahwa semakin banyak informasi yang diterima oleh seseorang maka semakin meningkat pula pengetahuan yang dimilikinya.Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoadmodjo, 2003). Asumsi peneliti walaupun mayoritas perawat pernah mengikuti pelatihan/seminar tentang manajemen nyeri ternyata manajemen nyeri dalam masih dalam kategori cukup hal ini mungkin karena kurangnya kesadaran perawat melakukan tindakan mandiri dalam


(66)

manajemen nyeri, karena dari ada beberapa manejemn nyeri nonfarmakologi masih dalam kategori kurang.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat melakukan manajemen nyeri pada pasien dengan nyeri fraktur di ruang RB3 dengan cara pemberian analgesiksebanyak 100 %. Perawat cenderung memandang obat sebagai satu-satunya metode untukmenghilangkan nyeri. Hasil penelitian ini di dukung oleh penelitian Saekhtaun (2008) yang mengatakan bahwa perawat di ruangan ketika dihadapkan dengan keluhan nyeri selama ini kebanyakan langkah awal yang diambil adalah kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obatan analgetik, jarang sekali yang menggunakan teknik non farmakologi.Penelitian Fahriani (2012) pada saat melakukan observasi dan wawancara pada beberapa perawat menyatakan bahwa ketika pasien mengeluhkan nyeri langsung diberikan tindakan farmakologi. Penelitian yang dilakukan Suweni (2010) mengatakan bahwa penatalaksanaan nyeri yang dilakukan oleh perawat yaitu dengan pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri setelah pasca operasi seksio caesaria. Asumsi peneliti yang membuat sebagian besar perawat melakukan tindakan farmakologi dalam mengatasi nyeri pada pasien dikarenakan belum adanya kesadaran dari diri perawat untuk melaksanakan tindakan mandiri sebagai perawat untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri. Menurut Simpson (2001) keahlian perawat dalam berbagai strategi penanganan rasa nyeri adalah hal yang sangat penting, tapi tidak semua perawat meyakini atau menggunakan pendekatan non farmakologis untuk menghilangkan rasa nyeri, maka perawat harus mengembangkan keahlian dalam berbagai strategi dalam penanganan rasa nyeri.


(67)

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat melakukan manajemen nyeri pada pasien dengan nyeri fraktur di ruang RB3 dengan cara relaksasi sebanyak 54,2 %.Steer mengungkapkan dikutip dari (Mander, 2003) relaksasi adalah metode pengendalian nyeri nonfarmakologi yang paling sering digunakan di Inggris.Penelitian lain yang dilakukan Siregar (2007) yang menunjukkan bahwa kebanyakan metode yang paling banyak diajarkan perawat adalah teknik bernapas dalam.Penelitian yang dilakukan Fahriani (2012) didapatkan hasil bahwa ada pengaruh teknik relaksasi tehadap respon adaptasi nyeri. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Miller dan Perry (1990) dan Lorenti (1991) dalam Brunner and Suddarth (2001) yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri.

Data hasil penelitianmenunjukkan bahwa perawat melakukan manajemen nyeri pada pasien dengan nyeri fraktur di ruang RB3 dengan cara distraksisebesar 54,2 %. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Saekhatun (2008) didapatkan hasil bahwa kebanyakan perawat mempunyai sikap positif dengan tindakan yang baik dalam manejemen nyeri dengan teknik distraksi pada pasien post operasi.Penelitian lain yang dilakukan Rabi’al (2010) didapatkan hasil bahwa teknik distraksi efektif dalam dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien kanker.


(68)

BAB VI

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai manajemen nyeri pada pasien fraktur di RSUP Haji Adam Malik Medan.

1. Kesimpulan

Manajemen nyeri harus menggunakan pendekatan yang holistik/ menyeluruh, hal inikarena nyeri mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan manusia, oleh karena itukita tidak boleh hanya terpaku hanya pada satu pendekatan saja tetapi jugamenggunakan pendekatan-pendekatan yang lain yang mengacu kepada aspek kehidupan manusia yaitu biopsikososialkultural dan spiritual, pendekatan nonfarmakologik dan pendekatan farmakologik tidak akan berjalan efektif bila digunakansendiri-sendiri, keduanya harus dipadukan dan saling mengisi dalam rangkamengatasi/ penanganan nyeri pasien.Pengetahuan dan keterampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan nonfarmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan dan dikuasai oleh perawat.

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan dapat disimpulkan bahwa manajemen nyeri pada pasien fraktur di ruang RB3 RSUP Haji Adam Malik Medan dalam kategori cukup.Beberapa manajemen nyeri yang masuk dalam kategori baik yaitu manajemen nyeri yaitu dengan cara pemberian analgesik, relaksasi, dan distraksi, manajemen nyeri yang masuk dalam kategori cukup yaitu manajemen nyeri dengan cara imajinasi terimbing , dan manajemen


(1)

Lampiran 6

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Herdawati Munthe

Tempat Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 14 Januari 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen

Alamat : Jl. Jamin Ginting gg. Sarmin No 69 Padang Bulan, Medan

Riwayat Pendidikan :

1. 1997-2003 : SD. N. No. 096915 Perumnas Bt. 6 P.Siantar 2. 2003-2006 : SMP Swasta Assisi Jl. Asahan Km 6 P. Siantar 3. 2006-2009 : SMAN 2 Jl. Patuan Anggi P. Siantar


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)