BAB II LATAR BELAKANG MASUKNYA GEREJA PANTEKOSTA dI INDONESIA
DI KABUPATEN DAIRI
2.1 Sejarah Ringkas Gereja Pantekosta di Indonesia
Sejarah gereja pantekosta di Indonesia GPdI tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan gereja pada umumnya dari zaman ke zaman. Maka untuk menyimak
sejarah GPdI, perlulah kita melihat dari awal tentang perjalanan gereja, secara etimologi, kata gereja berasal dari kata igreja bahasa Portugis,sedangkan jemaat
berasal dari kata jemaah bahasa Arab kedua kata ini tidak asing lagi dalam pengidentifikasian sebagai orang kristen dan yang masih lazim di gunakan di
Indonesia sampai saat ini.
8
Terdapat berbagai paham yang berbeda dalam menentukan asal-usul berdirinya gereja dan biasanya paham-paham tersebut didasarkan atas sistim
penafsiran Alkitab walaupun berbeda, misalnya penganut Convenan Thealogy menafsirkan bahwa gereja telah di mulai sejak zaman Abraham perjanjian Lama
Akan tetapi penggunaan kedua kata itu yaitu gereja dan jemaat dalam bahasa Indonesia tergantung pada tujuan dari pembicaraan, bila
memakai kata gereja kebanyakan berkonotasi pada gedung atau organisasi denominasi, sementara kata jemaat sering menunjukkan kepada persekutuan anggota
gerejaorang-orang yang percaya terhadap ajaran YESUS.
8
Saerang, W.D, Sejarah Gereja Panteosta di Indonesia, Jakarta: GPdI, 2001, hlm.15.
Universitas Sumatera Utara
ada pula paham yang menafsirkan bahwa gereja telah dimulai ketika Yesus telah membuat pernyataan seperti yang tertulis di kitab injil Matius 16:18, tafsiran yang
lain mengatakan bahwa gereja telah di mulai tatkala Yesus memulai memilih duabelas orang yang menjadi muritnya. Tetapi Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI
dan kebanyakan aliran lainnya teguh berkeyakinan pada doktrin yang selama ini dianutnya bahwa gereja pertama kali dimulai pada peristiwa pencurahan Roh Kudus
dikamar loteng jerusalem, kira-kira pada Tahun 30 sebelum masehi. Akan tetapi pada awal berdirinya gereja bersifat organisasi dan setelah perkembangan yang pesat
diabad pertama maka mulai diperluakan saranawadah dalam bentuk tempat ibadah sekaligus organisasinya.
9
Sejak kaisar Konstantin menerima ajaran kristen, gereja mengalami kemerosotan karena banyaknya kemudahan yang di berikan kepada gereja sehingga
para pemuka gereja pada waktu itu terlena dengan kondisi yang demikian. Kemudian kemerosostan gereja ditambah lagi ketika uskup Leo menjadi Uskup yang pertama
Setelah gereja mulai di perbincangkan gereja semakin Produktif dalam menambah jemaat-jemaatnya, perkembangan ini awalnya dimulai di yerusalem
sekitar abad pertama masehi, dari Yerusalem sentra pengabaran injil perkembangannya kemudian merambah ke wilayah Anthokia dan selanjutnya ke kota
Efesus. Penyebaran gereja pada masa itu di motori oleh Paulus yang telah menereima ajaran kristen dan hal ini disebut dengan gereja mula-mula. Meski mendapat
tantangan dan kesulitan yang hebat.
9
Ibid ,hlm. 17.
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 440 Masehi, ia mencampurkan injil dengan kepercayaan Romawi. Selain itu juga pada waktu itu Gereja telah mencampuri urusan Politik yang merupakan
penyebab utama penurunan kualitas rohani para pemuka gereja. Pimpinan gereja menjadi pimpinan Negara. Gereja tenggelam dan telah memasuki zaman kegelapan,
akan tetapi secara fisik gereja tetap ada dalam kemewahan, tetapi buruk secara ke Rohaniannya dan situasi ini pun berlangsung hingga sampai abad ke 15 masehi.
Abad 15 Masehi merupakan abad pemulihan gereja kembali. Pada tahun 1384 Alkitab pertama kali di terjemahkan oleh John Wicliffe yang merpakan seorang
mahasiswa dari Universitas Oxford, hal ini di dukung lagi dengan di temukannya mesin cetak pada tahun 1455 oleh Johannes Gutenberg, maka Alkitab dapat di
perbanyak dan di terjemahkan. Pada awal abad ke-16 yakni tahun 1517 Martin Luther seorang doktor di bidang studi kitab suci dari agama Roma katolik, tampil sebagai
reformator memprotes kondisi gereja yang sudah banyak menyimpang dari ajaran kristen. Akibatnya muncullah kelompok Lutheran yang dimana kelompok ini
mencoba menekankan ajaran kristen leibih mengarah kepada pertobatan dan menghimbau agar masyarakat yang menjadai kristen pada masa itu kembali bertobat
dan jangan menyimpang dari ajaran kristen. Selain Martin luther muncul ajaran John Calvin pada tahun 1535 yang menitik beratkan ajarannya pada “iman”.
Perubahan bagi para pengikut ajaran kristen semakin berkembang dan susul menyusul melakukan perubahan, pada tahun 1612 John Smith memipin kelompok
babptis, kelompok ini kemudian sangat berkembang di Amerika. Pada abad 18 aliran methodis muncul yang di ajarkan oleh John Wesly pada tahun 1739, yang membawa
Universitas Sumatera Utara
semangat kebangunan rohani dan juga menitik beratkan ajarannya kepada kesucian hidup. Latar belakang kerohanian Methodis berawal dari semangat dan sebagai reaksi
terhadap aliran lutheran dan calvinis yang mulai tenggelam dalam kemapanan dan rutinitas ritual.
Pada tahun 1865 William Booth yang berlatar belakang methodisme mendirikan aliran Bala keselamatan yakni suatu aliran yang mempunyai visi pada
masalah sosial. Seiring dengan itu pula muncul aliaran yang menekankan ajarannya pada penginjilan, missionaris, dan kesembuhan illahi, aliran ini dikenalkan oleh
Finney dan Moody dengan nama kegerakan Brethern sekitar 1830-1895. memasuki abad ke-20, tepatnya tanggal 01 januari 1901, dalam sebuah kebaktian doa
menyambut Tahun baru di topeka, kansas city, yang dipimpin oleh Pdt, Charles fox parham, terjadilah suatu kegemparan ketika Agnes Labere Ozman dipenuhi
Rohkudus.
10
Gerakan pantekosta adalah lanjutan dari “gerakan kesucian” holliness Movement yang mulai lahir dari kelompok Methodis pada dasawarsa 1830-an atau
pertengahan abad ke 19 di USA. Karena keadaan rohani yang sedang mandek di gereja-gereja arus utama yaitu Lutheran dan calvinis.
Inilah awal dari munculnya aliran pantekosta dan mulai menyebar ke seluruh bagian dunia. Maka di abad ke-20 ini melalui adanya gerakan Pantekosta
telah menumbuhkan perkembangan gereja yang semakin memurnikan ajaran kristen yang di sebarkannya.
11
10
Ibid ,hlm. 25.
11
Steven H. Talumewo, Gerakan Pantekosta, Yogyakarta: 1988. hlm.6.
Seperti di singgung
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya bahwa semangat kerohanian Methodispun di ilhami oleh kelompok “pietiesme” pada abad-abad sebelumnya yang mendambakan kehidupan rohani yang
lebih baik dari status quo, karena baik dari aliran Lutheran maupun Calvinis mulai terjebak dalam rutinitas sehingga melembaga dengan kuat dengan nilai-nilai
pembaharuan rohani mulai kering. Pada paruh kedua abad ke 19 muncul banyak kelompok gerakan
pembaharuan yang mendambakan gerakan rohani. Berbagai denominasi baru dari latar belakang “kesucian” mulai berkembang, ada yang tetap loyal kepada gereja
methodis tapi ada juga mulai independen dan membentuk organisasi baru antara lain Church of God yang didirikan oleh Daniel S Warner tahun 1880 yang berpusat
dikota Anderson ini hanyalah satu diantara beberapa nama gereja Church of God yang lahir menjelang abad ke 20. Selain itu Fire Baptised Holiness Church atau
Gereja Kesucian Baptisan Api berdiri Tahun 1895 dengan pemimpinnya B.H Irwin. Kelompok – kelompok ini merupakan mata rantai penting yang menyambungkan
gerakan kesucian dengan gerakan pantekosta di abad ke 20. Charles fox Parham adalah salah satu pendeta di Episcopal Methodis Church
yang meninggalkan gereja itu karena dirasakan sudah kurang mementingkan kesucian hidup dan kurang menekankan peranan dan karunia – karunia Roh Kudus serta
penyembahan Ilahi.
12
12
Saerang, W.D, Op.Cit, hlm.17.
Tahun 1898 Parham membuka wisma penyembuhan ilahi dengan nama “Bethel Healing Home” di Topeka kansas. Menjelang akhir tahun 1900
Universitas Sumatera Utara
beliau membuka Sekolah Alkitab Bethel Bethel Bible School di luar kota Topeka. Pada liburan natal 1900 pendeta Parham mengadakan tour penginjilan keluar kota dan
menugaskan para siswa untuk mengkaji kebenaran tentang babptisan Roh Kudus seperti yang tertulis dalam Kitab Kisah Para Rasul 1 dan 2. Penyelidikan ini
membuka banyak rahasia tentang perlunya kepenuhan Roh Kudus dan glossolalia bagi setiap orang yang percaya.
Akibanya pada malam pergantian Tahun menjelang 1 januari 1901, ketika mereka sedang berdoa, seorang murid yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh
Kudus sambil berbahasa lidah ketika pendeta pendeta Charles Parham meletakkan tangan keatasnya. Inilah pertama kali Roh Kudus dicurahkan di akhir zaman,
menandai lahirnya Gerakan Pantekosta, dan sejak itu sungai roh kudus telah mengalir dengan deras ke seluruh penjuru dunia membawa kemajuan dan kegerakan rohani
yang luar biasa, sampai pada tahun 1921 gerakan pantekosta telah tiba di Indonesia. Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia adalah Richard van Klaveren
dan istrinya serta Cornelius E Groesbeek dan istrinya beserta dua orang anaknya yakni Yenny dan corry. Mereka di utus oleh pendeta W.H Offiler pemipin gereja “
Bethel Tempel” di Seattle, Negara bagian Washington Amerika Serikat. Menurut catatan, ibu groesbeek meninggal dan dimakamkan di Surabaya pada bulan oktober
1934, dan Rev. Van Klaveren di makamkan di kota Jakarta. Dalam pembahasan perkembangan Pantekosta tidak terlepas dari
Perkembangan Agama Kristen di Indonesia. Dalam penyebaran Agama Kristen di Indonesia, Agama Kristen Khatolik adalah yang pertama tiba di Indonesia. Agama ini
Universitas Sumatera Utara
tiba pada tahun 1512 atau sekitar abad ke 16 Masehi yang di bawakan oleh Portugis kemudian menyebarkannya hampir keseluruh wilayah nusantara. Kemudian
menyusul Agama Kristen Protestan yang dibawakan oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Akan tetapi dari Lima Agama besar yang tumbuh dan berkembang di
Indonesia tidak ada satupun yang asli Indonesia, semuanya import dari luar, sehingga sepatutnya tidak ada yang boleh lebih mengklaim lebih Indonesia dari pada yang lain
Karena semua turut membesarkan dan membangun Indonesia. Termasuk Aliran Pantekosta yang masuk pada Tahun 1921 yakni sebelum
kemerdekaan bangsa Indonesia. Aliran pantekosta pertama dikenalkan di daerah Bali, akan tetapi dalam penyebarannya di daerah tersebut mendapat hambatan – hambatan
antara lain para penyebar ajaran Pantekosta tersebut dianggap sebagai mata – mata oleh pasukan belanda dan mendapat pengawalan ketat dari pihak Belanda. Faktor lain
adalah, adanya protes dari masyarakat Bali serta pemuka agama Hindu di Bali yang beranggapan bahwa penyebaran Aliran Pantekosta sangat mengganggu dan bisa
merusak budaya Bali, maka pada tahun 1923 rev Cornelius Groesbeek dan rev Richard Van Klaveren yang mencoba menyebarkan Aliran Pantekosta tersebut
beralih menuju pulau jawa tepatnya di kota Cepu.
13
Di kota tersebut F.G Van Gessel seorang belanda yang bertobat oleh pekabaran injil dan menerima ajaran Pantekosta. Beliau merupakan orang yang
menjadi jemaat pertama hasil penginjilan dari rev Cornelius dan rev Richard Van Klaveren, dan berawal dari kesediaannya menerima ajararan pantekosta tersebut
13
loc.cit.,Hlm.27.
Universitas Sumatera Utara
akhirnya menjadi tonggak perkembangan awal aliran Pantekosta di Indonesia. Van Gessel adalah seorang pegawai BPM berkat kedudukannya maka ia memfasilitasi
gedung untuk dijadikan tempat kebaktian. Pekabaran injil yang beraliran Pantekosta pun semakin gencar di lakukan
berawal dari lingkungan tempat tinggal F.G Van Gessel kemudian menyebar kedaerah lainnya termasuk kota Surabaya. Banyak orang – orang Indonesia yang
menjadi penganut ajaran Pantekosta ini, mereka yang menjadi jemaat mula – mula adalah sebagai berikut H.N Runkat, J.Repi, A.Tambuwun, J.Lumenta, E. Lesnusa,
G.A Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian mereka adalah para penabur benih aliran Pantekosta keberbagai wilayah
Indonesia. Sesuai dengan gagasan Pantekosta mengenai organisasi gereja yang berjiwa
kongregasionalistis. Seiring dengan kemajuan organisasi tersebut, ketidakcocokan di antara pengurus mulai nampak, dengan pokok persoalannya antara lain:
a. Ajaran Yesus Only yang menganggap Nama Yesus meliputi tiga pribadi
Trinitas, sehingga pembaptisan cukup kalau dilakukan dalam nama Yesus saja. Ajaran ini dibawa masuk dari Amerika Serikat oleh van Gessel.
b. Ada tidaknya hak seorang perempuan untuk memegang kedudukan
kepemimpinan dalam gereja. c.
Hubungan antara jemaat setempat dengan organisasi pusat, misalnya dalam hal milik gereja.
d. Prestise suku atau individual.
Universitas Sumatera Utara
Keempat faktor tersebutlah yang menyebabkan terjadinya rentetan perpecahan sehingga menyebabkan jumlah gereja Pantekosta dari 1 nama gereja menjadi 25 nama
gereja. Ini dapat dilihat dari beberapa pendeta yang keluar memisahkan diri dari organisasi gereja Pantekosta dan mendirikan gereja baru, seperti:
1. J. Thiessen pada tahun 1923 keluar dan mendirikan Pinksterbeweging,
kemudian dikenal dengan nama Gereja Gerakan Pentakosta GGP. 2.
M.A. van Alt pada tahun 1931 keluar dan mendirikan De Pinkerster Zending, kini dikenal dengan nama Gereja Utusan Pentakosta GUP.
3. F. van Akoude pada tahun 1931 keluar dan mendirikan Gemeente van
God, kemudian hari dikenal dengan nama Gereja Sidang Jemaat Allah.
4. Pdt. D. Sinaga pada tahun 1941 keluar dan mendirikan Gereja
Pentakosta Sumatera Utara GPSU atau dikenal dengan nama GPdI- Sinaga.
5. Pdt. Tan Hok Tjwan pada tahun 1946 keluar dan mendirikan Sing Ling
Kau Hwee yang kini dikenal dengan nama Gereja Isa Almasih GIA. 6.
Pdt. Renatua Siburian pada tahun 1948 keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Sumatera Utara atau dikenal GPdI Siburian.
7. Pada tahun 1951 beberapa pendeta keluar dan mendirikan Gereja
Sidang Jemaat Pentakosta. 8.
Pdt. T.G. van Gessel dan H.C. Senduk pada tahun 1952 keluar dan mendirikan Gereja Bethel Injil Sepenuh GBIS.
Universitas Sumatera Utara
9. Pada tahun 1957 GBIS pecah dan Pdt. G. Sutupo dan Ing. Yuwono
mendirikan Gereja Bethel Tabernakel GBT. 10.
Pdt. Ishak Lew keluar pada tahun 1959 dan mendirikan Gereja Pentakosta Pusat Surabaya GPPS.
11. Pada tahun 1960 GBIS pecah lagi dan Pdt. A. Parera mendirikan
Gereja Nazareth Pentakosta GNP. 12.
Pdt. Karel Sianturi dan Pdt. Sianipar pada tahun 1966 keluar dan mendirikan GPSU atau dikenal dengan nama GPdI-Sianturi.
13. Pdt. Korompis keluar pada tahun 1966 dan mendirikan Gereja
Pentakosta Indonesia GPI. 14.
Pada tahun 1967 para pemimpin gereja-gereja Pentakosta di Surabaya dan Timor keluar dan mendirikan Gereja Pentakosta Elim GPE.
15. Pada tahun 1969 GBIS pecah lagi dan Pdt. H.L. Senduk mendirikan
Gereja Bethel Indonesia GBI dan Pdt. Jacob Nahuway mendirikan GBI Mawar Saron.
16. Pada tahun 1970 Gereja Bethel Tarbernakel pecah dan Ing. Yuwono
mendirikan Gereja Pentakosta Tarbernakel GPT.
14
Meskipun perpecahan demi perpecahan terjadi, namun mereka tetap berafiliasi pada satu nama yaitu Pantekosta, sehingga timbul inisiatif untuk
menyatukan kembali sikap dan pandangan gereja-gereja beraliran Pantekosta. Hal ini diwujudkan dengan berdirinya Dewan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Pantekosta
14
Ibid.hal.40-42.
Universitas Sumatera Utara
Seluruh Indonesia DKGKPSI dan Persekutuan Pantekosta Indonesia PPI. Tetapi pada tanggal 10 September 1979, kedua organisasi tersebut membubarkan diri dan
bergabung menjadi satu wadah dengan nama Dewan Pantekosta Indonesia DPI. Pada Musyawarah Besar Mubes I DPI yang diadakan pada tahun 1984, terpilih
sebagai Ketua Umum adalah Pdt. W.H. Bolang. Dan pada Mubes II DPI berhasil memilih Pdt. A.H. Mandey sebagai Ketua Umumnya. Dan Pada Mubes DPI III di
Caringin, Bogor, terpilih sebagai Ketua Umumnya adalah Pdt. M.D. Wakkary. Hingga saat ini ada sekitar 58 Sinodeorganisasi Gereja beraliran Pentakosta yang
bergabung dalam DPI.
15
Meskipun sudah mengalami perpecahan beberapa kali, namun GPdI tetap merupakan gereja Pantekosta yang terbesar di Indonesia. Di antara Gereja-gereja
Pantekosta yang terbesar lainnya terdapat Gereja Bethel Indonesia dan Gereja Sidang Jemaat Allah. Ada beberapa gereja Pantekosta yang sudah masuk menjadi anggota
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia PGI, seperti Gereja Isa Almasih, Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, dan Gereja Gerakan
Pantekosta. Jumlah anggota seluruh gereja Pantekosta di Indonesia lebih kurang dua juta. Hal ini berarti, bahwa Gerakan Pantekosta meliputu 10 seluruh umat Kristen
di Indonesia
15
Saerang, W.D, Op.Cit, hlm.60.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Struktur Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia
Forum tertinggi dalam Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI ialah Musyawarah Besar yang diadakan 4 tahun sekali. Musyawarah besar ini berfungsi
untuk memilih pimpinan tingkat nsional serta menetapkan Garis Besar Program Kerja GBPK, dalam susunan kepengurusannya pimpinan tingkat nasional disebut dengan
Majelis pusat. Majelis Pusat beranggotakan 24 orang yang di bagi dalam menjabat dan pelaksana tugas sesuai dengan ketetapan hasil Musyawarah Besar.
Adapun jabatan dan tugas tersebut adalah sebagai berikut: 1 orang menjabat sebagai ketua umum, 4 orang menjadi ketua, 1 orang menjabat sebagai Sekertaris
Umum, 3 orang menjadi sekertaris, 1 orang Bendahara Umum, 2 orang bendahara, dan 12 orang menjabat sebagai pimpinan departemen, yaitu: Deparetemen
penginjilan, Departemen pengembalaan, Departemen Penginjilan dan Pengajaran, Departemen Pengorganisasian, Departemen Diakonia Sosial dan Pembangunan,
Departemen Pelayanan Wanita, Departemen pelayanan Anak, Departemen Pelayanan Pemuda, Departemen Pelayanan Pria, Departemen pengembangan jemaat dan luar
negri, Departemen External, serta Departemen literature dan media massa. Kemudian majelis pusat mengangkat pengurus wadah – wadah tingkat
nasional yang disebut dengan Komisi Pusat, komisi Pusat ini berjumlah 8 buah yaitu sebagai berikut: Pelayanan Anak Pantekosta PELNAP, Pelayanan Wanita
Pantekosta PELWAP, Pelayanan Pria Pantekosta PELPRIP, Pelayanan Profesi dan Usahawan Pantekosta PELPRUP, Forum Komunikasi Anak Hamba Tuhan
Universitas Sumatera Utara
FKHT, Komisi Pusat Penginjilan KPP ditambah 2 badan lainnya yaitu Badan Penelitian Pengembangan BALITBANG serta dewan curator SASTA.
16
Majelis daerah 11 yaitu: Daerah Kalimantan Barat, Majelis Daerah 12 yaitu: Daerah Kalimantan Tenggara, Majelis Daerah 13 yaitu: Daerah Kalimantan Timur,
Majelis Daerah 14 yaitu, Daerah Sulawesi Selatan, Majelis Daerah 15 yaitu: Daerah Sulawesi Utara, Majelis Daerah 16 yaitu: Daerah Sulawesi Tenggara, Majelis Daerah
17 yaitu: Daerah Gorontalo, Majelis Daerah 18 yaitu: Daerah Maluku, Majelis Daerah 19 yaitu: daerah Papua, Majelis Daerah 20 yaitu: Daerah jogyakarta, Majelis
Daerah 21 yaitu: Daerah Kalimantan Selatan dan yang terakhir Majelis Daerah 22 yaitu: Daerah Sumatera Barat.
Sebelum Mubes diadakan, maka disetiap daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah Musda yang tujuannya antara lain memilih pimpinan tingkat Daerah yang
disebut dengan Majelis Daerah. Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI kini memiliki 22 Majelis Daerah yang tersebar di 28 propinsi di Indonesia. Adapun Majelis Daerah
tersebut antara lain sebagai berikut: Majelis Daerah 1 yaitu: Daerah Sumatera Utara dan Aceh, Majelis Daerah 2 yaitu: Daerah Riau, Majelis Daerah 3 yaitu: Daerah
Sumatera selatan, Jambi dan Bengkulu, Majelis Daerah 4 yaitu: Daerah Lampung, Majelis Daerah 5 yaitu: Daerah DKI Jakarta, Majelis Daerah 6 yaitu: Daerah Jawa
Barat dan Banten, Majelis Daerah 7 yaitu: Daerah Jawa Tengah, Majelis Daerah 8 yaitu: Daerah Jawa Timur, Majelis Daerah 9 yaitu: Daerah Bali dan Nusa Tenggara
Barat, Majelis Daerah 10 yaitu: Daerah Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
16
Ibid.hal.20.
Universitas Sumatera Utara
Setelah terpilih maka setiap Majelis Daerah akan mengangkat Pengurus wadah – wadah tingkat daerah sesuai kebutuhan yang disebut dengan Komisi Daerah,
selain itu Majelis Daerah juga menetapkan Majelis – majelis Wilayah sesuai kebutuhan, dan majelis wilayahpun akan menetapkan pengurus wadah tingkat
wilayah yang disebut komisi wilayah. Setiap Majelis Wilayah membawahi gembala – gembala yang menjadi basis utama pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia dan
gembala – gembala mengangkat pengurus wadah tingkat sidang jemaat. Berdasarkan data dalam Musyawarah Besar ke-26 Tahun 1990 di istora senayan Jakarta kini
Gereja Pantekosta di Indonesia telah memiliki 10.000 sidang jemaat di seluruh Indonesia.
Dalam hal kependetaan waktu yang ideal bagi seseorang untuk mencapai gelar pendeta penuh Gereja Pantekosta di Indonesia, rata – rata berkisar 10 tahun
dihitung sejak mulai fulltime terjun dalam pelayanan. Waktu yang cukup lama tersebut harus di tempuh dan harus melewati fase – fase sebagai berikut: Mula – mula
adalah Training Center TC di sebuah pastori se-kurangnya 1 Tahun, kemudian memasuki Sekolah Alkitab kelas satu dengan masa pendidikan selama satu tahun.
Setelah selesai pendidikan selanjutnya akan mengikuti praktek pelayanan selama satu tahun di daerah yang ditempatkan oleh Sekolah Alkitab Tersebut sebagai pengerja.
Setelah menyelesaikan praktek pelayanan kemudian melanjutkan kembali pendidikan di Sekolah Alkitab untuk masuk dikelas dua dengan pendidikan selama
satu tahun penuh, setelah itu kemudian di praktekkan kembali di daerah yang ditentukan oleh Sekolah Alkitab minimal satu tahun. Selanjutnya, diwajibkan
Universitas Sumatera Utara
membuka penginjilan baru dan memiliki sidang jemaat minimal satu tahun lagi. Bila sudah memiliki pelayanan yang stabil dan rutin, akan di tetapkan oleh Majelis Daerah
menjadi Gembala Jemaat dengan gelar Pendeta Pembantu PDP, dan bila pelayanannya terus berkembang 2 tahun kemudian dapat dipromosikan untuk
memperoleh gelar Pendeta Muda PDM. Dan jika Majelis Daerah merekomendasikan lagi, maka 2 tahun kedepannya
yang bersangkutan baru dapat dilantik sebagai Pendeta penuh PDT tepatnya dilantik ketika Musyawarah Besar sedang berlangsung. Jadi dalam organisasi Gereja
Pantekosta di Indonesia GPdI untuk mendapatkan gelar ke-pendetaan akan membutuhkan waktu yang cukup lama, akan tetapi itu merupakan hasil yang sudah
direvisi sebelumnya menurut ADART GPdI yang lama, jarak antara Pendeta Pembantu ke Pendeta Muda masing – masing harus menjalani 4 tahun pelayanan.
Dalam membangun sidang jemaat para Pendeta GPdI tidak digaji oleh organisasi maupun subsidi dari pihak mana pun jadi hanya bermodalkan ke imanannya utnuk
membangun gedung gereja dan juga untuk biaya hidup sehari – hari. Berdasarkan data yang di peroleh dari sekretariat Majelis pusat GPdI per 31
juli 1988 yang diterbitkan pada mukernas GPdI 1988 adalah sebagai berikut: a.
Jumlah sidang jemaat: 1.
Jemaat Mandiri berjumlah : 4130 buah. 2.
Jemaat Muda berjumlah : 2157. 3.
Jemaat cabang berjumlah 1892 buah. b.
Jumlah pelayan gereja dan pendeta:
Universitas Sumatera Utara
1. Pendeta PDT berjumlah 2684 orang,
2. Pendeta Muda PDM berjumlah 2189 orang,
3. Pendeta pembantu PDP berjumlah 3332 orang.
c. Jumlah bangunan gereja :
Adapun jumlah gereja yang tersebar terdiri dari : 1.
Gereja permanent berjumlah 2195 buah, 2.
Semi permanent berjumlah 1538 buah, dan 3.
Bangunan darurat berjumlah 3825 buah. d.
Pendidikan teologi : 1.
Gereja Pantekosta di Indonesia memiliki Sekolah Alkitab SA berjumlah 23 buah, dan
2. Sekolah Tinggi Alkitab STA berjumlah lima buah.
e. Jumlah sekolah umum:
Adapun jumlah sekolah yang berafiliasi dengan Gereja Pantekosta di Indonesia yaitu :
1. Taman kanak kanak TK berjumlah 28 buah,
2. Sekolah Dasar SD berjuimlah 36 buah,
3. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP berjumlah 15 buah,
4. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA berjumlah 8 buah.
f. Jumlah yayasan:
Universitas Sumatera Utara
Yayasan yang berada didalam naungan Gereja Pantekosta di Indonesia sebanyak 8 buah dan Panti asuhan sebanyak 10 buah.
Akan tetapi kemungkinan jumlah data diatas dapat bertambah lagi seiring dengan perkembangan waktu dan karena perkembangan Gereja Panteokosta di
Indonesia pada umumnya berada di daerah – daerah dan pedalaman yang sangat sulit di jangkau di berbagai daerah Indonesia.
Sejak dibentuk kepengurusannya, organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia telah terjadi 29 kali Musyawarah besar sehingga terjadi berulangkali pergantian
kepengurusan dalam menjalankan roda organisasinya. Adapun susunan kepengurusan tersebut adalah sebagai berikut:
Maret 1921 – 19 juni 1923 Merupakan awal masuknya injil Pantekosta di Indonesia dari Amerika yang di bawakan oleh Richard Van Klaveren dan Cornelius
E. Groessbeek.Maka pada 19 maret 1923 Vereniging “De Pinkstergemente in Nederlansch Indie” terbentuk tepatnya di Bandung dengan susunan kepengurusan
sebagai berikut: Ketua
: Pdt.D.H.W. Weenik Van Loon Sekretaris
: Pdt. Paulus Bendahara
: Pdt.G.Droop Dengan keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda, tertanggal 4 juni 1924
no 29 tepatnya di Cipanas Jawa barat, kepada “Vereeninging” tersebut di beri hak pengakuan sebagai Badan Hukum. Disamping pengurus diatas yang beratanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab terhadap pemerintah Hindia Belanda, beberapa pendeta juga dilantik sebagai pembantu dalam hal menjalankan kepengurusan antara lain adalah: Pdt. F.G Van
Gessel, Pdt.F.Van Abkoude, Pdt.Van Klaveren dan istrinya, Pdt.H. Horstman, dan Pdt. M.A.Alt.
Tahun 1942 – 1947. Dengan pecahnya Perang Dunia ke II pimpinan diserahkan kepada orang – orang Indonesia, karena pada waktu itu para warga
Belanda telah di kembalikan ke negaranya seiring dengan kekalahan Belanda terhadap Jepang di Indonesia. Maka dengan keadaan tersebut terbentuklah
kepengurusan yang disebut dengan Badan Pengoeroes Oemoem B.P.O dengan sususan sebagai berikut:
Ketua : Pdt.H.N.Runkat
Sekretaris : Pdt.S.I.P.Lumoinding
Bendahara : Pdt.Soeprapto
Kepengurusan ini bertahan hingga selesainya pendudukan Jepang di Indonesia dan setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1949 kepengurusan ini baru
melakukan musyawarah untuk membentuk kepengurusan yang lebih matang lagi. Pada Tahun 1949, dalam Musyawarah Nasional yang diadakan di Solo
kepengurusan terbentuk akan tetapi tidak ada perubahan dalam susuna pengurus inti. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kaderisasi dalam segi kepemimpinan bagi
generasi baru organisasi Gereja pantekosta di Indonesia selain itu juga karena masih baru berdiri sehingga para pengurus lebih mengutamakan penyebaran injil pantekosta
Universitas Sumatera Utara
dari pada mematangkan organisasi sehingga kepengurusan tersebut bertahan hingga Tahun 1953.
Pada tahun 1953, dalam Musyawarah Besar Nassional yang diadakan di Malang pematangan Organisasi di bahas seiring dengan pekabaran injil Pantekosta
yang semakin berkembang, maka lahirlah beberapa keputusan penting yakni: Badan Pengoeroes Oemoem B.P.O disesuaikan dengan kaidah Indonesia yang baru yaitu
menjadi Badan Pengurus Umum dan kemudian membentuk Majelis Agung yang terdiri dari 24 orang, fungsinya untuk mengkordinir jalannya kepengurusan
Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia serta pengurus harian. Akan tetapi yang menjabat kepengurusan inti masih kepengurusan yang lama hanya terjadi pertukaran
ditubuh bendahara dan sekretaris yang awalnya sekretaris dijabat oleh Pdt.S.I.P.Lumoindong digantikan oleh Pdt.R.M Soeprapto yang awalnya menjabat
sebagai Bendahara demikian juga posisi bendahara dijabat oleh Pdt.S.I.P Lumoindong.
Seiring dengan meninggalnya Pdt.H.N.Runkat yang masih tetap menjabat sebagai ketua,maka pada tahun 1957 maka diadakan Musyawarah Besar Nasional di
adakan dimalang dengan susunan sebagai berikut: Ketua
: Pdt.E.Lesnussa Wakil Keua
: Pdt.R.M.Soeprapto Sekjen
: Pdt.S.I.P Lumoindong Bendahara
: Pdt. Kwee Hok To Komisaris I
: Pdt. W.W. Kastanya
Universitas Sumatera Utara
Komisaris II : Pdt. L.A.Pandelaki
Komisaris III : Pdt. The Kiem Koi
Kepengurusan ini berlangsung sampai tahun 1961. Kemudian Musyawarah Besar Nasional kembali di laksanakan di kota
Bandung untuk membentuk kepengurusan periode tahun 1961 – 1965. Dengan susunan kepengurusan sebagai berikut:
Ketua : Pdt.E.Lesnussa
Wakil Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki
Sekjen : Pdt.S.I.P.Lumoindong
Bendahara : Pdt.Kwee Hok To
Komisaris I : Pdt.W.W.Kastanya
Komisaris II : Pdt.L.A.Pandelaki
Komisaris III : Pdt.The Kiem Koi.
Tahun 1969 kembali diadakan Musyawarah Besar Nasional yang dilaksanakan dikota Yogyakarta, Musyawarah ini menghasilkan kepengurusan utuk
periode 1965 – 1969. Adapun kepengerusan tersebut adalah sebagai berikut: Ketua
: Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua
: Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen
: Pdt.R.G.Sutrisno Bendahara
: Pdt.H.Kristianto Komisaris I
: Pdt.W.H.Bolang
Universitas Sumatera Utara
Komisaris II : Pdt. W.W. Kastanya
Komisaris III : Pdt.J.M.P.Batubara
Kemudian untuk memilih kepengurusan berikutnya, maka Musyawarah Besar Nasional dilaksanakan di Surabaya. Hasilnya terbentuk kepengurusan untuk periode
tahun 1969 - 1973 dengan susunan sebagai berikut: Ketua
: Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua
: Pdt.L.A. Pandelaki Sekjen
: Pdt.A.H.Mandey Bendahara
: Pdt.H.Kristianto Komisaris I
: Pdt.W.H.Bolang Komisaris II
: Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris III
: Pdt.R.M Soeprato Penasehat
: Pdt.R.Gideon Sutrisno Pada tanggal 8 november 1969 komposisi pengurus pusat berganti dengan
meninggalnya Pendeta R.M.Soeprapto, hasilnya adalah sebagai berikut: Ketua
: Pdt.E.Lesnussa Wakil Ketua
: Pdt.L.A.Pandelaki Sekjen
: Pdt.H.Kristianto Komisaris I
: Pdt.W.H.Bolang Komisaris II
: Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris III
: Pdt.B.Manoah
Universitas Sumatera Utara
Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno
Kemudian pada tanggal 8 Agustus 1970 dengan meninggalnya Pendeta E.Lesnussa maka terjadi susunan Pengurus Pusat sebagai berikut:
Ketua : Pdt.L.A.Pandelaki
Wakil Ketua : Pdt.W.H.Bolang
Sekjen : Pdt.A.H.Mandey
Bendahara : Pdt.Kristianto
Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara
Komisaris II : Pdt.B.Manoah
Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno
Akan tetapi pada tanggal 8 Februari 1973 terjadi lagi perobahan kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:
Ketua : Pdt. W.H. Bolang
Sekjen : Pdt.A.H. Mandey
Bendahara : Pdt. H. Kristianto
Komisaris I : Pdt.J.M.P.Batubara
Komisaris II : Pdt.B.Manoah
Penasehat : Pdt.R.Gideon Sutrisno
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Msyawarah Besar Nasional dilaksanakan lagi dikota Batu untuk membentuk kepengurusan baru yang menghasilkan susunan kepengerusan tersebut
untuk menjalankan keperiodean tahun 1973 – 1976 dngan susunan sebagai berikut: Ketua
: Pdt.W.H.Bolang Wakil Ketua
: Pdt.R.Gideon Surisno Sekjen
: Pdt.A.H.Mandey Bendahara
: Pdt.M.F.Da Costa Komisaris I
: Pdt.J.M.P.Batubara Komisaris II
: Pdt.S.Sriyoto Komisaris III
: Pdt.L.A.Pandelaki Untuk keperiodean berikutnya kepengurusan tidak banyak yang berubah,
dalam masa jabatan tahun 1976 – 1980 hasil Musyawarah Besar Nasional hanya mengganti Komisaris II yang sebelumnya di jabat oleh Pdt.S.Sriyoto kemudian
digantikan oleh Pdt.TH.Itaar. Dalam Musyawarah Besar Nasional berikutnya di Jakarta maka system
pengorganisasian telah mulai diterapkan guna mendukung Program Kerja yang sesuai dengan kebutuhan Organisasi Gereja Pantekosta Pada waktu itu. Adapun
kepengurusan yang baru untuk keperiodean tahun 1980 – 1984 adalah sebagai berikut:
Ketua Umum : Pdt.A.H.Mandey
Ketua I : Pdt.R.G.Sutrisno
Universitas Sumatera Utara
Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara
Sekjen : Pdt.E.N Soriton
Wakil Sekjen : Pdt.S.Siyotno
Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa
Departemen – departemen Kerohanian
: Pdt.J.Rompas Organisasi
: Pdt.H.E.Karundeng Kesejahteraan
: Pdt.J.K.Siwi Kebutuhan dalam kepengurusan semakin benyak khususnya dalam
menjangkau seluruh wilayah Indonesia serta untuk menggali potensi – potensi internal seluruh Anggota ataupun Jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia maka
Musyawarah Besar Nasional yang diadakan kembali di Jakarta kemudian menghasilkan penambahan di bidang departemen utuk keperiodean 1984 – 1988
dengan susunan kepengurusan sebagai berikut: Ketua Umum
: Pdt.A.H.Mandey Ketua I
: Pdt.J.M.P.Batubara Ketua II
: Pdt.E.N.Soriton Sekertaris Umum
: Pdt.J.K.Siwi Wakil Sekertaris Umum
: Pdt.M.D.Wakkary Bendahara
: Pdt.M.F.Da Costa Wakil Bendahara
: Pdt.H.O.H.Awuy
Universitas Sumatera Utara
Departemen – departemen Penginjilan
: Pdt.D.A.Supit Pembangunan warga jemaat
: Pdt.S.Sriyoto Pendidikan dan Latihan
: Pdt.Th.Karunia Djaya Diakonia dan Keuangan
: Pdt.M.Ph.Bolang Organisasi dan komunikasi
: Pdt.W.J.Bangguna Musyawarah Besar Nasional untuk membentuk kepengurusan Baru dalam
periode tahun 1988 – 1990 kembali diadakan di Jakarta. Musyawarah ini kembali menetapkan kepengurusan baru yang komposisinya masih didominasi oleh para
pengurus lama namun ditambah beberapa orang baru dalam kepengurusan dengan susunan sebagai berikut:
Ketua Umum : Pdt.A.H Mandey
Ketua I : Pdt.E.N. Soriton
Ketua II : Pdt.J.M.P.Batubara
Sekretaris Umum : Pdt.M.D.Wakkary
Wakil Sekretaris Umum : Pdt.H.O.H.Awuy
Bendahara : Pdt.M.F.Da Costa
Wakil Bendahara : Pdt.J.K.Siwi
Departemen - departemen Pengembalaan
: Pdt.S.Sriyoto Penginjilan
: Pdt.Y.R.Marey
Universitas Sumatera Utara
Pendidikan : Pdt.T.H.Karunia Djaya
Pelayanan Warga Jemaat : Pdt.W.J.Bangguna
Organisasi dan Humas : Pdt.R.T.Kastanya
Penatalayanan dan Dana : Pdt.M.Ph.Bolang
Hubungan Luar Negri : Pdt.D.A.Supit
Dalam setiap melakukan Musyawarah Besar Nasional setiap Majelis Daerah sertas Majelis Wilayah harus mengirimkan delegasinya yang terdiri dari pengurus inti
tiap daerah maupun tiap wilayah, dalam pelaksanaannya Musyawarah Besar Nasional terlebih dahulu diadakan Kebaktian Kebangunan Rohani KKR yang kemudian
dilanjutkan dengan rapat plano yang didahului pertanggungjawaban para pengurus lama kemudian ditutup dengan pemilihan kepengurusan yang baru.
Dalam ADART pemilihan pengurus tidak ada batasan dalam menjabat sebuah jabatan, jika seseorang berkompeten dalam memangku jabatannya maka dia
tidak akan digantikan kecuali atas permintaan sendiri maupun halangan – halangan seperti halnya faktor usia, dan penyakit. Akan tetapi seseorang yang akan
mencalonkan diri menjadi pengurus akan terlebih dahulu melakukan Doa semalaman dengan para calon yang lainnya hal ini bertujuan untuk menjaga supaya tidak ada
unsur “kedagingan”
17
17
kehidupan yang masih di sertai kebiasaan-kebiasaan sebelum mengalami pertobatan misalnya: mementingkan diri sendiri, kesombongan,keangkuhan, pencederaan, materialis seperti yang
tertulis dalam kitab Galatia 5:19-21.
yang dibawakan ketika menjabat nanti. Pemilihan dilakukan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan voting yang dilakukan seluruh peserta yang hadir saat Musyawarah Besar Nasional berlangsung terutama utusan daerah dan utusan wilayah.
18
2.3. Arti dan Logo Organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia
Sebagai sebuah organisasi, Gereja Pantekosta di Indonesia mempunyai logo tersendiri. Hal ini bertujuan untuk hal-hal yang menyangkut administrasi dan lain
sebagainya. Gambar dan logo tersebut adalah sebagai berikut:
Sumber: Majelis Pusat GPdI tahun 1990.
Adapun arti logo tersebut adalah:
18
Ibid.hal.22-24.
Universitas Sumatera Utara
• Salib: merupakan kuasa Kebangkitan, Pengawal, Pengawas dan Perlindungan
Gereja Tuhan. •
Burung: Kuasa Roh Allah yang kudus sebagai kekuatan yang memimpin jemaat Gereja Tuhan menuju Kesempurnaan.
• Alkitab Terbuka: Rahasia kebenaran Firman Tuhan yang akan diberitakan
oleh segenap jajaran GPdI agar banyak jiwa-jiwa di selamatkan. •
Cincin bertuliskan GPdI: Persekutuan dan ikatan kasih keluarga besar GPdI, mulai dari sidang jemaat, Penginjil-penginjil di manapun berada dalam
menunaikan misinya masing-masing bagi hormat dan Kemulian Tuhan. •
Air bening yang turun: Turun Firman Tuhan sebagai “Air Kehidupan” yang menyegarkan dan memberi hidup bagi yang meminumnya.
• Bingkai Empat Persegi Tegak: Sebagai empat penjuru arah mata angin, yang
berarti pula bahwa misi GPdI harus menyebar ke segala arah dan tempat dengan sikap yang tegak dan tegar.
Universitas Sumatera Utara
2.4. Masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI di kabupaten Dairi
Pada Tahun 1939 Pendeta A.E. Siwi membawa Pekabaran injil aliran Pantekosta Ke Sumatera Utara dan mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani,
sejak saat itu Lahirlah pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia yang berawal di daerah Padang Bulan Kemudian sekarang dinamakan Jalan S.Parman, sebagai
Pendetanya adalah Pendeta Wakkary, namun Sebelumnya pada Tahun 1936 seorang bekas pelaut Belanda de Twelef de Provinsi bermarga Purba yang lebih dahulu telah
menerima ajaran Pantekosta di Surabaya dan mendirikan GPdI maka sejak saat itulah lahirnya penginjil baru dari tanah karo, yang selanjutnya menjadi Pendeta M.
Sinukaban dan pendeta Sinuhaji. Pekabaran injil Pantekosta secara tidak langsung menyebar keberbagai
seluruh daerah di Sumatera Utara pada tahun 1938 Paul Counstan Simanjuntak membawa pekabaran Pantekosta kedaerah Tapanuli tepatnya di kota Balige yang
melahirkan berdirinya Pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia di daerah tersebut. Untuk melanjutkan penyebaran ajaran Pantekosta di daerah Tapanuli Pendeta Paul
Counstan Simanjuntak dibantu oleh Lukas Siburian, W.F. Siahaan dan Renatus Siburian.
Ajaran Pantekosta dibawakan oleh S.B.Sigalingging dan J.Manalu ke Tanah Dairi setelah mereka mendapat pengajaran di kota siantar, ajaran Pantekosa ini
pertama kali di kenalkan di desa Bintang yang pada waktu itu mayoritas penduduknya adalah agama Islam dengan tujuan untuk menjalankan misi ajaran
Universitas Sumatera Utara
Pantekosta yang menekankan pemberitaan injil kepada daerah yang belum dijangkau Gereja ataupun yang belum mengenal ajaran Kristen.
Pada tanggal 22 agustus 1949 maka kebaktian pertama dilaksanakan di daerah Bintang, berawal dari lima orang simpatisan kegiatan penginjilan Pantekosta sudah
mulai mendapat respon dari masyarakat desa Bintang, kemudian lambat laun banyak warga yang bersedia menerima ajaran pantekosta meskipun awalnya mereka belum
tau sama sekali bagaimana ajaran dari pantekosta itu. Desa Bintang menjadi tempat persinggahan pekabaran injil Pantekosta di sebabkan kurangnya peranan Agama bagi
masyarakatnya dimana kebiasaan masyarakatnya selalu di identikkan dengan kebiasaan minum tuak nira. Kebiasaan ini muncul karena daerah Bintang
merupakan penghasil tuak di daerah Dairi.
19
Pelayanan serta cara bersosialisasi pendeta S.B. Sigalingging serta pendeta J.Manalu menarik simpatik warga kedua penginjil ini membuat warga Bintang
terkesan, karena sambil menyebarkan injil mereka berdua juga menawarkan jasa untuk sekedar membersihkan ladang ataupun memanen tanpa di gaji.
20
Di samping antusias warga Bintang ada juga hambatan yang mengakibatkan penyebaran injil pantekosta terhalang di desa Bintang, warga yang bersedia menerima
ajaran pantekosta merupakan warga jemaat aliran protestan yang telah berkembang di desa Bintang. Sehingga terjadilah dialog yang dilakukan oleh pendeta S.B.
19
E. K. Siahaan, dkk, Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi, Medan: Proyek Rehabilitasi dan perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia, 1978, hal.121.
20
Hasil wawancara dengan Pendeta J. Manalu tanggal 23 April 2010 Pukul 11.00. Wib.
Universitas Sumatera Utara
Sigalingging dan Pendeta J. Manalu dengan pengurus gereja protestan setempat, Lahirlah kesepakatan bahwa atas dasar kekristenan setiap warga berhak memilih
organisasi gereja yang membuat ataupun bisa membangun kerohanian serta ke imanannya bisa tumbuh.
21
21
Hasil wawancara dengan Bapak Husor Manik mantan Kepala Desa Bintang periode Tahun 1960-1965, tanggal 23 September 2010, Pukul 15.00. Wib.
Pertumbuhan jemaat di desa Bintang terus berkembang, pada bulan desember meski tergolong sedikit sekitar 25 orang yang terdiri dari anak-anak dan dewasa
melaksanakan natal atas nama Gereja Pantekosta di Indonesia, dan pada bulan itu juga Kebaktian Kebangunan Rohani yang di hadiri oleh para penginjil pantekosta dari
Medan untuk mengenalkan injil pantekosta di Dairi. Kebaktian Kebangunan rohani ini cukup membuahkan hasil banyak orang yang secara rohaniah kekristenannya
merasa terpuaskan dengan penginjilan serta ajaran Pantekosta. Perkembangan awal di desa Bintang memacu semangat Pendeta
S.B.Sigalingging serta J.Manalu dalam menyebarkan ajaran Pantekosta, sehingga kedua penginjil ini membagi daerah Dairi dan berpencar dalam hal menyebarkan
ajaran Pantekosta. Supaya lebih dekat dengan pelayanan serta keluarga Pendeta S.B.Sigalingging membuka daerah pelayanan dari Sidikalang kearah Parbuluan dan
pendeta J.Manalu memilih daerah Parongil kearah tiga lingga. untuk pelayanan yang telah ada di desa Bintang sebelumnya tetap di jaga dengan menetapkan kota
sidikalang sebagai pusat utama pelayanan.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian pekabaran injil Pantekosta masuk kedaerah Tiga lingga yang dibawakan oleh Pendeta J. Manalu tepatnya pada Tahun 1952. Pendeta S.B.
Sigalingging dan Pendeta J. Manalu selalu melakukan penyebaran ajaran Pantekosta dari desa ke desa yang ada di kabupaten Dairi. Berkat kegigihan mereka maka aliran
Pantekosta mulai di terima masyarakat Dairi dan mulai bertumbuh serta berkembang. Dari hasil pelayanan mereka selama tujuh tahun membuka pelayanan serta merintis
Gereja Pantekosta di Indonesia, telah berdiri sekitar 15 buah gedung Gereja Pantekosta di Kabupaten Dairi yang tersebar di daerah : desa Bintang, Desa
Sigalingging, Desa Laehole, Desa Sidikalang, Desa Silumboyah, Desa Tigalingga, Desa Hutagugun, Desa Juma Togu, dan Desa Parongil.
Akan tetapi disamping itu beberapa penginjil pantekosta menyusul membuka pelayanan di Kabupaten Dairi yang merupakan Pendeta dari Luar Dairi seperti halnya
Pendeta T. Ginting yang awalnya membuka pelayanan di daerah Tanah Karo tahun 1952 memutuskan untuk membuka pelayanan di daerah Dairi. meski sama-sama
bernaung dibawah oraganisasi GPdI akan tetapi sangat perlu adanya koordinasi di tingkatan para pengabar Injil Pantekosta tersebut. Dengan usulan Pendeta S.B.
Sigalingging dan Pendeta J. Manalu maka tanggal 5 Agustus Tahun 1965 terjadilah pertemuan yang dinamakan pertemuan Hamba – hamba Tuhan Gereja Pantekosta di
Indonesia yang diadakan di J.l Batu Kapur Sidikalang, dari hasil pertemuan ini maka lahirlah beberapa keputusan penting yaitu :
a. Dibentuknya Majelis Wilayah kabupaten Dairi dengan susunan
kepengurusan awal antara lain:
Universitas Sumatera Utara
• Ketua: Pendeta S.B. Sigalingging,
• Sekertaris : Pendeta J. Sihombing, serta
• Bendahara : Pendeta J. Manalu.
b. Penetapan garis pelayanan antar daerah – daerah yang ada di kabupaten
Dairi sehingga ada kesepakatan ditingkatan para Pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia pada waktu Itu mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani
yang akan dilaksanakan satu kali dalam sebulan tujuannya adalah supaya seluruh daerah yang belum menerima ajaran Pantekosta yang ada di
kabupaten Dairi dapat terjamah. c.
Melakukan sosialisasi terhadap Pemerintah Kabupaten Dairi serta Prangkat- prangkat desa agar mengetahui bahwa Organisasi Gereja
Pantekosta di Indonesia telah berdiri di Dairi supaya tidak ada kendala secara administrasi ketika ada kebutuhan – kebutuhan tertentu baik dengan
pihak pemerintah.
22
Semangat penyebaran ajaran pantekosta di kalangan para pendeta membuahkan hasil berkat kegigihan merekalah maka secara lambat laun ajaran
pantekosta di terima dikabupaten Dairi dan mulai di kenal masyrakat Dairi secara luas.
22
Notulensi Pertemuan hamba-hamba Tuhan GPdI wilayah Dairi di Sidikalang tanggal 5 Agustus tahun 1965 Pukul 20.00 Wib.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PERKEMBANGAN GEREJA PANTEKOSTA di INDONESIA DI KABUPATEN DAIRI 1949-1990
3.1. Dinamika Penyebaran Ajaran Pantekosta Di Kabupaten Dairi
Secara umum aliran kristen yang pertama berkembang di kabupaten Dairi adalah aliran Protestan dan aliran khatolik disamping kedua aliran tersebut berbagai
aliran kemudian menyusul seperti halnya, aliran Pantekosta dan Methodis namun secara nasional aliran ini masih di kategorikan sebagai aliran Protestan.
Sejak masuknya agama kristen yang dimulai oleh HKBP Huria Kristen Batak Protestan pada tahun 1936,
23
Dari ke-31 jenis organisasi gereja tersebut 31 diantaranya merupakan aliran protestan akan tetapi aliran itu sudah digabung dengan aliran Pantekosta dan yang
lainnya ditambah dengan katholik. Aliran kristenKhatolik memiliki 86 gedung gereja kemudian menyusul misi katolik tahun 1937 serta di
susul oleh berbagai aliran menyusul termasuk pantekosta tahun 1949 membuat Dairi merupakan salah satu tujuan penyebaran agama kristen yang cukup berkembang,
seiring dengan banyaknya penduduk Dairi yang memeluk ajaran kristen. Badan otoritas kristen di pemerintahan kabupaten Dairi mencatat sejak masuknya agama
Kristen di kabupaten Dairi hingga tahun 1990 telah berdiri sekitar 31 jenis organisasi gereja.
23
Sejarah HKBP Distrik Dairi, Sidikalang: 1986, hal.2.
Universitas Sumatera Utara
yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Dairi. Adapun nama oraganisasi gereja yang ada di kabupaten Dairi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Gereja kristen Protestan Pakpak Dairi GKPPD
2. Gereja Kristen Protestan Indonesia GKPI
3. Gereja Batak Karo Protestan GBKP
4. Gereja Kristen Protestan Simalungun GKPS
5. Huria Kristen Batak Protestan HKBP
6. Huria Kristen Protestan HKI
7. Banua Niho Kariso Protestan BNKP
8. Gereja Pantekosta GP
9. Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI
10. Gereja Pantekosta sion di Indonesia
11. Gereja Bethel Indonesia GBI
12. Gereja Sidang Rohul Kudus Indonesia GSRKI
13. Gereja Sidang Jemaat Allah GSJA
14. Gereja Tuhan Indonesia GTI
15. Gereja Kristen Luther Indonesia GKLI
16. Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat GPIB
17. Gereja Methodist Indonesia GMI
18. Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh GMAHK
19. Gereja Pentakosta di Indonesia
20. Gereja Pantekosta serikat Indonesia GPSI
Universitas Sumatera Utara
21. Gereja Pantekosta Serikat Di Indonesia GPSDI
22. Gereja Pentakosta Tabernakel GPT
23. Gereja Gerakan Pantekosta GGP
24. Gereja Siloam Injili GSI
25. Gereja Pantekosta Kudus Indonesia GPKI
26. Gereja Penyebaran Injil GPI
27. Gereja Kemenangan Iman Indonesia GKII
28. Gereja Segala Bangsa GSB
29. Gereja Sidang Pantekosta Di Indonesia GSPDI
30. Gereja Misili Injili Indonesia GMII
31. Gereja Babptis Indonesia GBI
Dari 31 jenis organisasi gereja tersebut terdiri dari 8 jenis organisasi gereja Protestan dan 23 jenis organisasi gereja Pantekosta akan tetapi, yang paling
mendominasi dalam jumlah jemaat adalah gereja-gereja Protestan yang di anut hampir setengah dari pemeluk agama kristen di kabupaten Dairi.
Universitas Sumatera Utara
3.2. Gereja GPdI di berbagai daerah kabupaten Dairi 1949-1965.
Terbentuknya kepengurusan Majelis Wilayah Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi merupakan semangat baru bagi pendeta agar semakin giat lagi
melayani di tanah Dairi, Pendeta S.B Sigalingging dan Pendeta J. Manalu telah mempunyai pelayanan masing – masing seiring dengan bertambahnya regenerasi
pendeta yang mau melayani dan mengabarkan injil Pantekosta, dengan hal yang demikian maka peta penyebaran ajaran Pantekosta semakin luas di kabupaten Dairi
perlahan namun pasti satu persatu desa – desa yang ada di kabupaten Dairi mendapatkan ajaran Pantekosta dan tidak sedikit masyrakatnya menerima ajaran
tersebut. Pada tahun 1956 tercatat sebanyak 9 buah gedung gereja yang mengatas
namakan Gereja Pantekosta di Indonesia dan sudah terdapat 9 orang pendeta penuh yang telah mencatatkan diri di organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia. Adapun
jumlah jemaat secara keseluruhan pada waktu itu berkisar 800 jemaat orang dewasa. Yang tersebar di berbagai daerah seperti tercatat dalam table berikut:
Universitas Sumatera Utara
No. Nama Daerah
Jumlah Jemaat 1.
Daerah desa Sigalingging 200 orang
2. Daerah desa Sumbul Karo
150 orang 3.
Daerah desa Bintang 25 orang
4. Daerah desa Silumboyah
155 orang 5.
Daerah desa Laehole 65 orang
6. Daerah desa Sumbul
54 orang 7.
Daerah Desa Parongil 48 orang
8. Daerah desa Juma togu
63 orang 9.
Daerah desa Huta gugun :
40 orang JUMLAH
800 orang
Sumber: Data Majelis Wilayah GPdI kabupaten Dairi tahun 1956.
Dalam perkembangannya, Gereja Pantekosta sudah dapat di terima di berbagai daerah di kabupaten Dairi. Hingga pada tahun 1960-an, Gereja Pantekosta di
Indonesia merupakan gereja yang sangat cepat perkembangannya di kabupaten Dairi. ini merupakan hasil kerja dari generasi awal dalam penyebaran ajaran Pantekosta di
kabupaten Dairi, adapun para pendeta yang melayani di daerah-daerah tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Daerah desa Sigalingging dilayani oleh
: Pendeta S.B. Sigalingging. 2.
Daerah desa sumbul karo dilayani oleh : Pendeta Talenta Ginting.
3. Daerah desa Bintang dilayani oleh
: Pendeta S.B. Sigalingging. 4.
Daerah desa Silumboyah dilayani oleh : pendeta J. Sihombing.
5. Daerah desa Laehole dilayani oleh
: Pendeta S.B Sigalingging. 6.
Daerah desa sumbul dilayani oleh : Pendeta H. Sianturi.
7. Daerah desa parongil dilayani oleh
: Pendeta P. Aritonang. 8.
Daerah desa Juma Togu dilayani oleh : Pendeta J. Simamora.
9. Daerah desa Huta Gugun dilayani oleh
: Pendeta M. Pakpahan. Para Pendeta tersebut berasal dari Dairi yang sudah mengabdikan diri untuk
melayani dalam mengenyebarkan ajaran Pantekosta di kabupaten Dairi. Hal ini juga tidak terlepas dari peranan kedua penyebar ajaran Pantekosta pertama yaitu Pendeta
S.B. Sigalingging dan Pendeta J. Manalu. Hal di atas membuktikan bahwa susunan kepengurusan berjalan dengan baik dari segi hal pelayanan dan penyebaran ajaran
Pantekosta.
24
Melihat perkembangan ini Majelis Daerah wilayah sumatera utara menaruh perhatian dengan melakukan kunjungan rohani maupun kunjungan kerja ke daerah
Dairi. Pendeta J. Sihotang ketua majelis daerah sumatera utara periode 1950-1956 merupakan orang yang paling berperan aktif keluar masuk daerah Dairi untuk
menguatkan pertumbuhan Gereja Pantekosta di Indonesia di wilayah kabupaten Dairi.
24
Catatan Harian Ketua Majelis Wilayah GPdI Dairi Pendeta J. Sihombing tanggal 24 April 1960.
Universitas Sumatera Utara
Perhatian ini sangat berpengaruh dalam hal menjaga perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia yang pada waktu itu memang sangat di butuhkan oleh para
pendeta yang ada di kabupaten Dairi. Akan tetapi kondisi organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia secara nasional
pada tahun 1956-1960an mengalami banyak rintangan salah satunya adalah perpecahan di tubuh organisasi Gereja itu sendiri, kondisi itu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan dan pertumbuhan gereja. Selain dari pada itu juga mengenai pandangan terhadap organisasi dan pemahaman terhadap ajaran pantekosta itu sendiri
serta ketidak puasan akan kinerja dari badan Majelis Pusat dalam hal pelaksanaan program kerja yang telah di tetapkan.
Dengan ketidak puasannya maka Pendeta karel Sianturi memilih untuk memisahkan diri dari organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI, selain hal
yang di atas faktor penyebab lainnya adalah ketika beliau mencoba mengajukan pergantian nama Pantekosta menjadi Pentakosta. Perubahan nama ini di usulkan atas
dasar pemaknaan kata sehingga sangat berpengaruh di tengah-tengah pengalaman beliau ketika menyebarkan ajaran Pantekosta, maksud dari keinginannya adalah agar
ajaran Pantekosta tidak mengalami pemaknaan yang negative ketika di benturkan dengan bahasa daerah. Pengalaman ini di temui ketika sedang menyebarkan ajaran
Pantekosta di daerah minang dalam bahasa minang kata “pantek” berarti pantat dan ini merupakan kesan negative sehingga sering menjadi bahan ejekan ketika
Universitas Sumatera Utara
masyarakat mendengar ajaran Pantekosta. Akan tetapi usulan beliau di tolak oleh majelis pusat GPdI.
25
3.3. Masa stagnan penyebaran gereja GPdI di kabupaten Dairi 1966-1980an.
Pada tahun 1966 Pendeta karel Sianturi akhirnya memutuskan untuk keluar dari organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia akan tetapi beliau masih tetap akan
menyebarkan ajaran Pantekosta melalui wadah organisasi lainnya. Bersama orang- orang yang mengikutinya keluar dari organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia
GPdI, mereka kemudian mendeklarasikan wadah organisasi baru yaitu Gereja Pentakosta Di Indonesia GPDI yang berpusat di Pematang Siantar. Dengan
berdirinya organisasi tersebut secara tidak langsung sangat berpengaruh terhadap perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI yang berada di wilayah
sumatera utara. Dengan kondisi yang demikian banyak gereja – gereja yang semula
bergabung dengan Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI kemudian bergabung dengan Gereja Pentakosta Di Indonesia GPDI hal ini tidak lain karena pengaruh
pendeta Karel Sianturi sangat intens ketika masih bergabung dengan organisasinya yang lama. Selain itu juga banyak para Pendeta – Pendeta tersebar di seluruh wilayah
25
disarikan dari: Majalah Penginjilan Indonesia “KABAR BAIK” No. 13 Th.III Oktober-November 1996 dan van den End Weitjens, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 860-1n-sekarang, Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 1993.
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan hasil dari didikan beliau serta tidak terlepas dari hasil penginjilan yang dilakukannya. Kabar GPDI pimpinan pendeta Karel Sianturi ini
akhirnya tiba di kabupaten Dairi tahun itu juga. Dengan demikian perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI di
kabupaten Dairi mengalami cobaan dari dalam tubuh organisasi sendiri. Pendeta S.B Sigalingging dan J.Manalu akhirnya menyikapi keberadaan Gereja Pentakosta Di
Indonesia di Kabupaten Dairi GPDI. Kemudian mereka memutuskan berangkat ke pematang siantar untuk mencari letak kebenaran berita tersebut, karena pendeta S.B
Sigalingging dan J.Manalu merupakan anak didik dari pendeta Karel Sianturi ketika mengikuti pendidikan sekolah Alkitab di Siantar. Setelah bertemu langsung dengan
pendeta Karel Sianturi akhirnya perubahan pun terjadi bagi Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI di kabupaten Dairi.
Sepulang dari kota Pematang Siantar pendeta S.B Sigalingging dan J. Manalu memutuskan untuk bergabung dengan pendeta Karel Sianturi dalam wadah organisasi
Gereja Pentakosta Di Indonesia GPDI dan meninggalkan kepengurusan wilayah Gereja Pantekosta di Indosesia GPdI. Dengan demikian kepengurusan wilayah
Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI di Kabupaten Dairi mengalami kekosongan, akibatnya seluruh program kerja yang telah dirancang sebelumnya tidak berjalan
sebagai mana mestinya. Selain itu perpecahan terjadi karena masalah penggabungan diri yang telah dilakukan oleh Pendeta S.B Sigalingging dan pendeta J.Manalu.
Dampak dari perpecahan ini kemudian membuat pihak Majelis Daerah dari organisasi Gereja Pantekosta di Indonesia turut ambil bagian dalam menentukan masa
Universitas Sumatera Utara
depan GPdI di kabupaten Dairi. Meski perpecahan ini tidak sampai menimbulkan konflik akan tetapi akibat perpecahan ini sangat fatal bagi organisasi GPdI yang
sedang mengalami pertumbuhan pada tahun 1960-an. Sikap dari majelis Daerah pada masalah ini hanya membenahi kembali struktur kepengurusan organisasi Gereja
Pantekosta di Indonesia GPdI untuk wilayah Dairi yang telah di tinggalkan. Mengenai kepindahan organisasi oleh Pendeta S.B Sigalingging dan pendeta J.
Manalu di maklumi oleh Majelis Daerah atas dasar pilihan. Secara kuantitas memang kondisi perpecahan tersebut mengakibatkan
turunnya jumlah jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia akan tetapi dalam hal ke “imanan” para pendeta yang tersisa mengatakan bahwa ini merupakan awal dari
sebuah rencana TUHAN. Majelis Wilayah Dairi masih di upayakan untuk tetap di benahi karena hasil dari perpecahan ini masih menyisakan 6 gereja yang tetap
bertahan di bawah naungan Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI. Adapun 6 gereja tersebut adalah sebagai berikut:
1. Gereja GPdI jemaat Silumboyah.
2. Gereja GPdI jemaat Juma Teguh.
3. Gereja GPdI jemaat Sigalingging Hilir.
4. Gereja GPdI jemaat Lau Mil.
5. Gereja GPdI jemaat Sumbul Karo.
Universitas Sumatera Utara
6. Gereja GPdI jemaat Tumpak Raja.
26
Dari keseluruhan sebelum perpecahan tahun 1966 ada sebanyak 9 gereja yang telah tersebar di kabupaten Dairi. Namun akibat dari perpecahan pelayanan gereja
yang ada di desa Bintang tidak mendapat perhatian hingga akhirnya seluruh jemaatnya memutuskan untuk pindah organisasi gereja, akibatnya penyebaran ajaran
Pantekosta bahkan Gedung gereja GPdI di daerah tersebut sudah di tutup dan di alih fungsikan menjadi rumah biasa oleh jemaatnya.
Di desa Sigalingging juga mengalami dampak perpecahan tersebut, Pendeta S.B.Sigalingging tidak terhitung lagi sebagai anggota akan tetapi memiliki jemaat
yang cukup banyak dan setia. Membuat desa Sigalingging tidak terjamah lagi oleh Gereja Pantekosta di Indonesia akan tetapi, Pendeta N Sinaga kemudian membuka
pos pelayanan GPdI di desa Sigalingging bagian hilir. Karena perpecahan tersebut, akibatnya daerah Dairi diragukan oleh Majelis Daerah Sumut untuk mampu
mempertahankan keberadaan GPdI di wilayah nya. Dari kondisi yang tersisa hanya 6 gereja, keputusan Majelis Daerah
menetapkan supaya melanjutkan keperiodean Majelis Wilayah Dairi dengan menghunjuk langsung Pendeta M. Simamora yang berasal dari gereja jemaat Juma
Togu untuk menjabat sebagi Ketua wilayah, dalam meneruskan keperiodean hingga tahun 1970. Tujuan Sementara di angkatnya pendeta M. Simamora hanya untuk
menjalankan program kerja yang telah ada dan menjadi utusan wilayah dalam
26
Hasil Wawancara dengan Pendeta J. Sihombing mantan ketua wilayah GPdI tahun 1980- 1990 tanggal 12 Juli 2010 pukul 15.45 Wib.
Universitas Sumatera Utara
mengikuti musyawarah besar serta musyawarah daerah. Supaya tidak terbengkalai para pengerja dan pembantu pelayanan yang ada di kabupaten Dairi dalam
mendapatkan haknya di angkat sebagai Pendeta penuh. Di samping kondisi internal yang belum stabil membuat keberadaan GPdI di
kabupaten Dairi tidak mengalami perkembangan. Perkembangan organisasi gereja lainnya baik yang beraliran ajaran Pantekosta maupun Protestan saat itu juga sedang
mengalami peningkatan kuantitasnya di kabupaten Dairi. Tugas dan tanggung jawab terhadap organisasi para pelyan Tuhan yang bernaung di bawah GPdI pun semakin
sulit dan berat. Hingga akhir keperiodean pendeta M. Simamora hasil yang di capai masih sebatas mempertahankan Gereja-gereja yang masih ada demi keberadaan
Gereja Pantekosta di Indonesia di wilayah kabupaten Dairi. Pada tahun 1970 di tingkatan yang 6 gereja tersebut di adakan pergantian
kepengurusan wilayah dengan mengangkat Pendeta M.Simamora kembali sebagai ketua wilayah Gereja Pantekosta di Indonesia. Pada keperiodean ini terdapat berbagai
hal yang mulai di tempuh untuk meningkatkan kembali mutu pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia dalam hal memajukan pelayanan GPdI di kabupaten Dairi.
Para pendeta GPdI yang ada mulai melakukan system penginjilan dengan tujuan untuk mendirikan pos-pos penginjilan di setiap daerah yang akan dikunjungi.
Daerah – daerah maupun desa – desa yang sudah di kunjungi akan tetapi tidak mengalami pertumbuhan, kembali lagi menjadi target penyebaran injil pantekosta.
Sesuai dengan visi dan misi keberadaan organisasi GPdI di kabupaten Dairi, maka seluruh daerah Kabupaten Dairi harus telah di injili ajaran Pantekosta. Ini
Universitas Sumatera Utara
merupakan sebuah langkah baru dari GPdI untuk mewujudkan konsistensinya di wilayah tersebut.
Pada masa keperiodean Pendeta M.Simamora keberadaan Gereja Pantekosta di Indonesia masih tetap di lihat oleh masyarakat kabupaten Dairi, meski hanya
memiliki 6 gereja akan tetapi konsistensi penginjilan pantekosta tetap dilakukan. Kondisi ini juga semakin ramai akibat dari banyaknya aliran-aliran gereja dari
berbagai organisasi yang mulai masuk di daerah-daerah kabupaten Dairi. Mayoritas organisasi gereja tersebut merupakan pecahan dari organisasi GPdI itu sendiri seperti
halnya Gereja Pentakosta Di Indonsesia GPDI yang masuk di kabupaten Dairi tahun 1966 yang merupakan pimpinan Pendeta Sianturi kemudian Gereja Pantekosta
Indonesia GPI yang kemudian masuk kedaerah Dairi pada Tahun 1973. Pada tahun 1980 merupakan akhir dari masa jabatan Pendeta M. Simamora
untuk majelis wilayah Dairi, bahwa kondisi perkembangan gereja yang masih stagnan dalam hal kepemimpinan juga masih prioritas yang harus di benahi oleh para pendeta
GPdI di kabupaten Dairi. Pada bulan juni para pendeta dan Pelayan GPdI yang ada di kabupaen Dairi mengadakan rapat wilayah yang dilaksanakan di daerah Silumboyah.
Pertemuan ini dilaksanakan untuk membahas kembali mengenai kepengurusan wilayah dan kinerja dari seluruh pelayan GPdI yang ada di kabupaten
Dairi. Pertemuan yang dilaksanakan membuahkan hasil dan menetapkan kepengurusan baru dimana pendeta J.Sihombing selaku pelayan GPdI di jemaat
silumboyah diangkat sebagai ketua wilayah kabupaten Dairi. Berlanjutnya periode
Universitas Sumatera Utara
tersebut merupakan bukti dari semangat para pendeta-pendeta untuk menjaga pertumbuhan penginjilan Pantekosta di kabupaten Dairi.
Kepengurusan ini mempunyai beban yang besar dengan kondisi keberadaan GPdI sangat menurun perkembangannya. Namun, ketika ketua Pendeta J. Sihombing
perubahan dalam pengelolaan organisasi, akan tetapi program kerja yang sebelumnya menjadi prioritas utama dan di bahas berdasarkan keadaan serta kondisi organisasi
pada awal masa kerjanya. Dari hasil pertemuan dengan seluruh pendeta-pendeta dan pelayan GPdI yang
ada di kabupaten Dairi program kerja yang ditetapkan adalah sebagai berikut: •
Melakukan pendalaman Alkitab kursus Alkitab bagi pendeta – pendeta GPdI yang ada di kabupaten Dairi yang dilakukan satu kali dalam seminggu. Hal ini
bertujuan untuk menjaga semangat dan semakin menumbuhkan ke-imanan para pendeta dan pelayan GPdI.
• Memperluas struktur organisasi sebagi komitmen terhadap majelis daerah dan
majelis pusat untuk mewujudkan visi dan misi Gereja Pantekosta di Indonesia secara keseluruhan, adapun perluasan struktur tersebut adalah perpanjangan
struktur di bidang Pelayanan yang di bagi dalam 4 bagian yaitu: PELPRIP Pelayanan Pria Pantekosta , PELWAP Pelayanan Wanita Pantekosta ,
PELPRAP Pelayanan Pemuda dan Remaja Pantekosta , serta PELKAP Pelayanan anak – anak Pantekosta .
27
27
Notulensi pertemuan hamba-hamba Tuhan GPdI se-Dairi tanggal 22 Agustus 1980.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa program kerja diatas merupakan kerja – kerja yang berhasil dilakukan dan kegiatannya sangat intens dilakukan ditingkatan jemaat GPdI dan para
pendeta –pendeta sehingga di awal keperiodean pendeta J. Sihombing kordinasi ditingkatan pendeta – pendeta dan pelayan sangat terjaga karena sering mengadakan
pertemuan begitu juga dengan jemaat, seluruh jemaat yang ada dibawah naungan GPdI yang ada di kabupaten Dairi semakin saling menguatkan dalam hal iman dan
saling mengenal antara jemaat yang satu dengan jemaat yang dari daerah lainnya melalui pelayanan PEPRIP, PELWAP, PELPRAP dan PELKAP.
3.4. Berkembangnya kembali gereja GPdI di kabupaten Dairi 1980-1990an
Secara keseluruhan masyarakat Pantekosta di kabupaten Dairi masih tergolong sangat minoritas dan belum menunjukkan pertumbuhan secara kuantitatif
hingga awal Tahun 1980, akan tetapi dalam hal kualitatif masyarakat Pantekosta di kabupaten Dairi telah menunjukkan peningkatan kerohanian, Sehingga dalam
bermasyarakat para jemaat GPdI sudah mulai di kenal dan tidak malu-malu mengakui sebagai penganut ajaran Pantekosta. Demikian juga dengan daerah daerah yang tidak
pernah mendengar ajaran Pantekosta, juga tetap di masuki dan di injili oleh para pendeta – pendeta GPdI di kabupaten Dairi.
28
Awal periode Pendeta J. Sihombing cukup membawa perkembangan dalam menentukan masa depan Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi,
28
Hasil wawancara dengan D.Sinaga Penetua jemaat GPdI Silumboyah 15 Agustus 2010 Pukul 10.00 Wib.
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan dalam menyebarkan kabar baik dan berita injil Pantekosta di kabupaten Dairi semakin gencar, karena telah terjalinnya komunikasi internal baik di antara
pendeta maupun antara pendeta dengan Jemaatnya. Ini juga di tandai dengan semakin dewasanya jemaat GPdI dalam menyikapi perpecahan di tingkat nasional yang
berimbas ke Dairi. Dengan berdirinya Gereja Pentakosta Di Indonesia GPDI pimpinan Sianturi, karena jemaat telah di upayakan terhadap perkembangan kuantitas
dalam bidang iman dan pemahaman kerohanian yang di tanamkan oleh Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI bukan mengenai keberadaan organisasi.
Pada tanggal 23 Mei 1982 pendeta S.B Sigalingging telah keluar dari organisasi GPdI, secara tiba-tiba mendatangi kantor majelis wilayah GPdI di
Silumboyah untuk bertemu dengan pendeta J. Sihombing selaku pimpinan GPdI di kabupaten Dairi. Pertemuan ini cukup mengejutkan dan mengharukan para pendeta-
pendeta GPdI karena Pendeta S.B Sigalingging yang telah pindah organisasi kemudian menyatakan bergabung kembali untuk melayani TUHAN di bawah
naungan Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI. Bergabungnya kembali Pendeta S.B Sigalingging tersebut menimbulkan banyak tanda Tanya apakah ada faktor lain yang
dibawa secara diam – diam untuk menghalangi pertumbuhan Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi.
Akan tetapi hal ini langsung ditanggapi oleh pendeta S.B Sigalingging dengan mengadakan janjinya dihadapan TUHAN dan para Pendeta-pendeta yang
hadir waktu itu. Maka di adakanlah kebaktian di tempat tersebut sekalian mengadakan do’a penguatan yang bertujuan untuk menguatkan keimanan serta visi
Universitas Sumatera Utara
dan misi para pendeta-pendeta dan pelayan TUHAN yang berada dibawah naungan organisasi GPdI. Setelah selesai mengadakan kebaktian tersebut maka keinginan
Pendeta S.B Sigalingging untuk bergabung di bawah bendera Gereja Pantekosta di Indonesia GPdI kemudian di terima oleh pendeta J. Sihombing sebagai perwakilan
dari majelis wilayah GPdI kabupaten Dairi. Sebagai komitmen awal dari pendeta S.B Sigalingging ketika bergabung
adalah atas dasar keinginan sendiri dan tidak ada paksaan dari pihak lain apa lagi masalah konflik yang sifatnya menimbulkan konflik organisasi. Keinginan yang kuat
unuk bergabung disebabkan pendeta S.B Sigalingging melihat kualitas jemaat bertumbuh dilihat dari kualitas pelayanan organisasi gereja yang pendetanya benar-
benar melakukan dan menyebarkan pendalaman injil, itu merupakan keunggulan dari Gereja Pantekosta di Indonesia yang dilihat beliau bukan hanya di kabupaten Dairi
akan tetapi hampir dari berbagai daerah yang pernah dia kunjungi. Sebelum bergabung kembali, Pendeta S.B Sigalingging terlebih dahulu mengahadap Pimpinan
Gereja Pentakosta Di Indonesia GPDI di Siantar untuk menyatakan beliau keluar dari organisasi tersebut dan menyelesaikan hal –hal yang menyangkut secara
administrasi dari organisasi termasuk kewajiban – kewajiban lainnya. Setelah keinginan beliau di turuti, beliau secara resmi bergabung dengan Gereja Pantekosta di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia GPdI yang merupakan organisasi pertama beliau kembangkan di kabupaten Dairi.
29
1. Jemaat Sigalingging Hulu dengan jumlah jemaat 250 orang.
Dengan bergabungnya pendeta S.B Sigalingging kembali, maka jumlah gereja GPdI di kabupaten Dairi bertambah dari 6 gereja menjadi 12 gereja. Ini bukti dari
komitmen pendeta S.B Sigalingging untuk serius bergabung dengan GPdI. Adapun gereja- gereja yang bergabung tersebut antara lain sebagai berikut:
2. Jemaat jalan Batu kapur dengan jumlah jemaat 120 orang.
3. Jemaat Siempung dengan jumalah jemaat 135 orang.
4. Jemaat Pandiangan dengan jumlah jemaat 50 orang.
5. Jemaat Batang Hari dengan jumlah jemaat 35 orang.
6. Jemaat Lae Hole dengan jumlah jemaat 60 orang.
Dari kondisi ini jumlah jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia untuk kabupaten Dairi bertambah sebanyak 650 orang. Jumlah jemaat yang hampir dua kali lipat bertambah
dari seluruh jemaat Gereja Pantkosta di Indonesia pada waktu itu hanya 350 orang dari 6 jemaat gereja yang tersisa. Sehingga dari jumlah diatas pada tahun 1982 jumlah
jemaat GPdI di kabupaten Dairi berjumlah sekitar 1000 orang. Dalam keadaan jumlah gereja yang sudah meningkat maka pendeta J.
Sihombing semakin memperhatikan untuk mempertahankan dan mengembangkan
29
Hasil wawancara dengan Pendeta M. Simamora Sebagai Saksi Organisasi ketika Pendeta S.B Sigalingging menyatakan kembali bergabung dengan GPdI tanggal 13 November 2010 Pukul
10.00. Wib.
Universitas Sumatera Utara
jemaat GPdI yang sedang memasuki masa pertumbuhan yang cukup memuaskan. Kerinduan beliau seakan tak hanya masalah jemaat yang bergabung di bawah
organisasi GPdI saja, melainkan seluruhnya harus mengalami peningkatan keimanan dan kerohanian yang di utamakan dalam pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia.
Dalam perkembangannya Pendeta J.Sihombing melakukan banyak hal dalam mengencangkan penyebaran ajaran Pantekosta di kabupaten Dairi.
Pada tahun 1983 pendeta J. Sihombing mengundang pendeta D.W. Petterson seorang penginjil Pantekosta dari Amerika yang sedang berkunjung di Siantar, dan
kemudian mengajak beliau mengadakan kebaktian rohani di kabupaten Dairi. Undangan tersebut ditanggapi baik oleh pendeta D.W petterson sehingga pada
tanggal 11 februari beliau tiba di kabupaten Dairi kemudian mengadakan kebaktian kebangunan rohani KKR di daerah Silumboyah. Kebaktian ini banyak di hadiri
umat Kristen yang ada di daerah Silumboyah dan juga dari berbagai daerah lainnya termasuk jemaat-jemaat GpdI dari seluruh daerah kabupaten Dairi. Sehingga dari
pengadaan kebaktian rohani tersebut membuahkan hasil dengan adanya pertobatan kembali dari kalangan Kristen yang telah mendapatkan siraman rohani tersebut.
Pada tanggal 12 februari tahun 1983, pendeta J Sihombing dengan pendeta D.W Petterson juga mengadakan kunjungan rohani kedaerah –daerah lainnya
sehingga banyak daerah yang sebelumnya sudah tidak terjamah, kemudian kembali mendapatkan siraman rohani dari pengadaan kebaktian kebangunan Rohani yang
dilayani langsung oleh pendeta D.W Petterson. Beberapa desa yang mereka singgahi adalah daerah kecamatan Si Empat Nempu Hulu dan kecamatan Si Empat Nempu
Universitas Sumatera Utara
Hilir. Dengan berjalan kaki, setiap mereka menjumpai desa sambil bercerita akan mengadakan Kebaktian Kebangunan Rohani mereka juga mencari orang sakit dan
mempunyai masalah hidup kemudian mendoakannya. Pada tanggal 13 februari pendeta D.W. Petterson kemudian melakukan
perjalanan kedaerah sidikalang dan mengadakan kebaktian Rohani, dari hasil kunjungan D.W.Petterson tersebut dorongan terhadap penyebaran ajaran Pantekosta
semakin kuat diantara jemaat GPdI. Hal inilah yang sangat di inginkan oleh para pelayan GPdI di kabupaten Dairi, karena masyarakat Dairi masih harus melihat
peranan Roh kudus tersebut bekerja secara nyata. Selama kebaktian kebangunan rohani yang di layani oleh pendeta D.W.Petterson maka banyak kesaksian yang
muncul dari masyarakat bahwa kerja Roh Kudus tersebut memang nyata, karena dengan mata kepala sendiri masyarakat melihat bagaimana orang sakit di sembuhkan
dan banyak orang-orang yang di penuhi oleh Roh Kudus. Sehingga Tidak sedikit yang akhirnya menjadi jemaat Gereja Pantekosta di Indonesia, kemudian mau
dibaptis unuk meniggalkan cara – cara kehidupan lama untuk kembali sesuai dengan apa yang di tuliskan dalam Alkitab.
30
Sepeniggalan Pendeta D.W Petterson kebaktian kebangunan Rohani makin sering dilakukan oleh para pendeta-pendeta GPdI yang ada di kabupaten Dairi,
sehingga kegiatan Gereja Pantekosta di Indonesia semakin konsisten, tetapi perlu dukungan perhatian dari Majelis Daerah GPdI. Pendeta J. Sihombing berusaha
30
Hasil wawancara dengan ibu T. Simorangkir yang mengalami penyembuhan ilahi dalam kebaktian kebangunan rohani yang dilakukan oleh D.W. Petterson. Tanggal 17 Oktober 2010. Pukul
13.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan akan kebutuhan masyarakat yang sedang mengalami pertumbuhan rohani, kemudian beliau melakukan kunjungan ke majelis daerah untuk meminta
dukungan pelayanan agar sering dilakukan kebaktian rohani di kabupaten Dairi. Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia wilayah Sumatera Utara
kemudian meninjau langsung kondisi perkembangan GPdI di kabupaten Dairi, yang di pimpin oleh pendeta D.Y Surbakti dari Berastagi untuk melihat keadaan GPdI di
kabupaten Dairi. Rombongan tersebut tiba di kabupaten Dairi dan melakukan Kebaktian Rohani di daerah Tiga Lingga, tepatnya tanggal 18 april tahun 1983
kemudian dilanjutkan di daerah Sidikalang pada tanggal 19 april tahun 1983, dari hasil pelayanan ini keinginan masyarakat untuk menerima ajaran injil sepenuh
ajaran Pantekosta semakin kuat khususnya di setiap daerah daerah yang telah dilakukan kebaktian kebangunan rohani. Di samping melakukan kebaktian rohani tim
dari majelis daerah tersebut melakukan pemutaran film rohani, Tujuannya adalah untuk menyadarkan masyarakat atas peningkatan rohaninya.
Pada tahun 1984 tepatnya tanggal 8 maret tim pengurus PELWAP pelayanan Wanita Pantekosta mengadakan kunjungan ke daerah Dairi. Melalui ketua majelis
wilayah GPdI kabupaten Dairi yaitu pendeta J. Sihombing mereka mengadakan seminar bagi wanita – wanita Pantekosta. Seminar ini di hadiri para istri – istri
pendeta dan istri – istri jemaat dari seluruh daerah kabupaten Dairi. Kegiatan seminar ini dilakukan untuk menumbuhkan pengetahuan bagi wanita – wanita GPdI
khususnya dibidang penguatan keluarga dan pelayanan terhadap gereja. Kegiatan yang di laksanakan di daerah silumboyah ini di hadiri sekitar 350 wanita – wanita
Universitas Sumatera Utara
pantekosta yang terdiri dari istri – istri pendeta, jemaat dan simpatisan dari GPdI seluruh daerah Dairi.
Semangat yang semakin terpelihara di tingkatan jemaat membuat pelayanan GPdI semakin menguat di tengah-tengah masyrakat Dairi. Pembenahan seluruh tiang
– tiang gereja sangat perlu dan harus di jaga tingkat keharmonisannya dengan berbagai kegiatan yang berguna untuk meningkatkan kualitas kerohanian maupun
keimanan seluruh jemaat GPdI yang ada di kabupaten Dairi. Semangat melayani yang di pelihara membuat GPdI secara perlahan mengalami peningkatan dalam bidang
pelayanan di kabupaten Dairi. Pendeta J. Sihombing yang merupakan pimpinan wilayah Dairi pada tahun
1985 mengadakan pertemuan wilayah untuk membahas pengurusan wilayah keperiodean yang baru karena masa jabatannya sudah habis. Pertemuan dilakukan di
daerah Silumboyah para pendeta GPdI melakukan rapat selama tiga hari dan kemudian menetapkan kepengurusan yang baru, adapun pengurus wilayah yang baru
sebagai berikut: •
Ketua : Pendeta J. Sihombing.
• Sekretaris
: Pendeta T. Ginting. •
Bendahara : Pendeta J. Simamora.
31
Terpilihnya pendeta J. Sihombing untuk kepengurusan yang baru tersebut tidak terlepas dari keberhasilan beliau dalam menguatkan dan mengembangkan
31
Notulensi pertemuan hamba-hamba Tuhan Majelis Wilayah GPdI kabupaten Dairi tanggal 12 Juli 1986 pukul 21.WIB.
Universitas Sumatera Utara
pelayanannya. Peranannya sudah tidak diragukan lagi dalam memimpin maupun pengabaran injil ajaran Pantekosta ini sangat menguatkan keberadaan organisasi
GPdI di kabupaten Dairi. Dalam keperiodeannya yang kedua, pendeta J. Sihombing masih berupaya
mengembangkan injil dan menginjili dusun-dusun yang belum menerima ajaran Panekosta di kabupaten Dairi. Untuk mewujudkan targetan tersebut maka kegiatan
penginjilan yang dilakukan masih menggunakan metode Kebaktian Kebangunan Rohani di samping mengandalkan para pendeta yang ada di kabupaten Dairi pendeta
J. Sihombing juga mencari informasi untuk mendapatkan penginjil yang bisa menumbuhkan rohani khususnya untuk masyarakat yang ada di pedesaan, karena
masyarakat masih terlalu mengandalkan kepercayaan terhadap dunia mistis dan masih mempercayai hal – hal yang takhayul.
Pada tahun 1986 pendeta J. Sihombing bertemu dengan seorang penginjil dari Amerika di kota Medan. Penginjil tersebut merupakan seorang penginjil Pantekosta
yang khusus mengadakan penginjilan bagi daerah – daerah terpencil dan mengadakan penginjilan selalu keluar masuk beberapa Negara dan benua. Pendeta tersebut adalah
Matthew Lambert yan sedang mengadakan kunjungan ke daerah Sumatera Utara untuk mengadakan penginjilan dan menyinggahi beberapa daerah yang ada di
Sumatera Utara. Ketika bertemu dengan pendeta Mathew Lambert pendeta J.Sihombing kemudian menawarkan daerah Dairi yang sedang butuh penginjil unuk
membangun kerohanian masyarakat Dairi yang ada di desa – desa khususnya bagi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Kristen supaya menerima ajaran Pantekosta dalam menumbuhkan kerohanian masyarakat tersebut.
Pendeta Matthew Lambert menyetujui dan bersedia melakukan penginjilan di kabupaten Dairi tepatnya tanggal 18 juni 1986, beliau tiba di Dairi dan mulai
mengadakan kebaktian kebangunan rohani KKR di daerah silumboyah. Kemudian pada tanggal 19 juni, beliau bersama dengan pendeta J. Sihombing serta rombongan
pendeta GPdI yang ada di Dairi melanjutkan perjalanan kedaerah Parongil dan kehadiran tim penginjilan ini di terima masyrakat Kristen yang ada di daerah
Parongil. Kebaktian Kebangunan Rohani ini dilakukan di sebuah lapangan sepak bola,
banyak masyarakat yang menghadiri kebaktian tersebut meskipun di daerah Parongil nama injil Pantekosta belum begitu di kenal secara luas akan tetapi dari jumlah
masyarakat yang hadir pada waktu itu membuat injil Pantekosta cepat diketahui oleh masyarakat Parongil.
Kebaktian Kebangunan Rohani yang di lakukan selama satu hari menjadikan sebuah kesaksian bagi masyarakat Parongil, bahwa pertumbuhan kerohanian sangat
di perlukan dalam kehidupan sehari – hari dan menjadi penopang hidup dalam meyakini ajaran Kristen, dan hampir seluruh masyarakat parongil menganutnya.
Unuk melanjutkan pengabaran injil Pantekosta ini kemudian di buka pos penginjilan GPdI cabang parongil untuk mengintenskan penginjilan maka pendeta J.Simamora
diangkat menjadi penanggungjawab di daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Dari daerah Parongil maka penginjilan di lanjutkan kedesa Lae Panginuman tepatnya pada tanggal 20 juni 1986, rombongan pendeta-pendeta Gereja Pantekosta di
Indonesia GPdI beserta Pendeta Matthew Lambert mengadakan kebaktian Kebangunan Rohani didaerah tersebut. Di samping mengadakan kebaktian rohani,
dari penginjilan ini juga pendeta Matthew Lambert menayangkan pemutaran film rohani yang menceritakan tentang keberadaan orang Kristen di daerah Kongo salah
satu Negara di benua Afrika. Film yang berisi tentang semangat umat Kristen di sebuah desa daerah Kongo
menjadi sebuah kesaksian bagi umat Kristen yang ada di desa Lae panginuman, film itu menceritakan kesetiaan yang di pegang teguh oleh masyarakat tersebut untuk
melawan belenggu kepercayaan terhadap hal – hal gaib dan roh – roh nenek moyang. Penginjilan dan pemutaran film rohani ini cukup membuahkan hasil, karena banyak
masyarakat Lae Panginuman yang menyatakan diri bersedia di babtis. Dalam menjaga perkembangan pertumbuhan GPdI di daerah tersebut maka pengurus
wilayah langsung menunjuk Pendeta W. Simanjuntak untuk menjaga dan membina jemaat GPdI di daerah tersebut.
Setelah mengadakan penginjilan di daerah Lae Panginuman rombongan penginjil kemudian melanjutkan penginjilan ke daerah lainnya. Daerah yang menjadi
tujuan berikutnya adalah daerah Tampuk hite, pada tanggal 21 juni 1986 rombongan disambut oleh masyarakat Tampuk hite untuk mengadakan kebaktian kebangunan
rohani yang di selenggarakan malam harinya.
Universitas Sumatera Utara
Kebaktian Kebangunan Rohani berlangsung di pimpin oleh pendeta Matthew Lambert mampu menarik perhatian masyarakat yang hadir. Meski sudah waktunya
jam istirahat, antusias masyarakat yang mengikuti kebaktian kebangunan rohani tidak berkurang, karena penyampain berita injil oleh pendeta Matthew Lambert sangat
menggugah rohani masyarakat. Khotbah pendeta Matthew Lambert juga berbahasa Indonesia, karena sudah hampir lima tahun berkeliling Indonesia untuk mengadakan
penginjilan di daerah – daerah terpencil. Kebaktian kebangunan rohani ini berlangsung hingga pukul 3.00 WIB dini hari, karena selama kegiatan berlangsung
banyak orang yang membutuhkan pertolongan melalui do’a di antaranya yang sakit dan mempunyai masalah hidup.
Kebaktian tersebut menjadi pintu awal dari Gereja Pantekosta di Indonesia untuk memulai pelayanan dan penginjilan di daerah Tampuk hite, sehingga hasil dari
kebaktian kebangunan Rohani yang dilakukan malam itu, membuat lima keluarga bersedia untuk menjadi jemaat Gereja Pantekota di Indonesia. Begitu juga keluarga
Aston Sianturi termasuk salah satu diantara lima keluarga tersebut. Akan tetapi untuk membuka pelayanan baru di daerah tersebut masih belum bisa dilakukan, karena
keterbatasan dari majelis wilayah GPdI untuk mengutus pendeta yang akan melayani di daerah tersebut.
Sehingga Pendeta J.Sihombing sebagai ketua wilayah membuat kebijakan dengan merekomendasikan bahwa lima keluarga tersebut agar mengikuti kebaktian di
daerah Tigalingga dan bersedia di pimpin oleh Pendeta Talenta Ginting yang merupakan Pelayan GPdI di daerah Tiga lingga. Setelah melakukan penginjilan di
Universitas Sumatera Utara
daerah tampuk hite pada tanggal 22 juni pendeta Matthew Lambert berangkat meniggalkan Kabupaten Dairi menuju Medan untuk melanjutkan berbagai misi
penginjilan di daerah lainnya. Setelah penginjilan yang dilakukan oleh pendeta Matthew Lambert di
kabupaten Dairi, sampai habis keperiodeannya yang kedua Pendeta J.Sihombing lebih mengutamakan Penginjilan dengan menggunakan para pendeta GPdI yang ada di
kabupaten Dairi. Hal ini dilakukan karena semakin bertumbuhnya kerohanian di tingkatan para pendeta dan juga untuk meningkatkan kualitas persaudaraan
ditingkatan pendeta GPdI di kabupaten Dairi. Kegiatan penginjilan bersama di lakukan satu kali dalam satu bulan di daerah – daerah yang belum terjangkau dan
juga daerah yang dianggap pertumbuhan kerohaniannya mengalami kemandekan. Pada tanggal 5 juni 1990 rapat para pendeta GPdI di adakan kembali. Agenda
rapat ini untuk membahas masa keperiodean pendeta J.Sihombing yang telah habis masa jabatannya, seperti rapat yang dilakukan biasanya dalam akhir keperiodean
rapat ini berlangsung selama tiga hari dua malam. Hasil dari rapat ini kemudian terpilih kepengurusan baru antara lain:
• Ketua
: Pendeta A.V. Sigalingging. •
Sekretaris : Pendeta T. Ginting.
• Bendahara
: Pendeta J.Simamora.
Universitas Sumatera Utara
Terpilihnya pendeta A.V. Sigalingging sebagai ketua Majelis wilayah GPdI untuk kabupaten Dairi merupakan sebuah langkah awal untuk menumbuhkan regenerasi
kepemimpinan. Pendeta A.V. Sigalingging merupakan generasi muda dalam angkatan
kependetaan GPdI di kabupaten Dairi dan merupakan orang yang ke-empat dalam memangku jabatan sebagai ketua majelis wilayah GPdI di wilayah kabupaten Dairi.
Musyawarah wilayah yang ke-lima GPdI tersebut diadakan di desa Silumboyah karena pada saat keperiodean pendeta J.Sihombing daerah silumboyah merupakan
sekertariat utama Gereja Pantekosta di Indonesia untuk wilayah Kabupaten Dairi. Terpilihnya pendeta A.V. Sigalingging disebabkan karena semangat yang
ditunjukkan dalam penginjilan sangat nyata dan beliau berhasil mengembankan pelayanan penginjilan ajaran pantekosta di daerah Sidiangkat.
Pada masa keperiodean pendeta A.V. Sigalingging tidak banyak perobahan yang dilakukan dalam masalah pembentukan program kerja begitu juga dengan
struktur organisasi karena dari rapat yang dilakukan oleh para pendeta tersebut masih melihat keberhasilan yang di capai sesuai dengan program kerja yang terdahulu.
Pembenahan internal organisasi GPdI masih di sesuaikan dengan program kerja pada keperiodean sebelumnya. Meski jarang mendatangkan tim penginjil dari
luar daerah Kabupaten Dairi, tetapi gereja Pantekosta di daerah Dairi tetap mengalami perkembangan. Secara satatistik sebelum keperiodean pendeta A.V.
Sigalingging total Gereja Pantekosta di Indonesia di wilayah kabupaten Dairi telah berdiri sekitar 30 gedung, yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Dairi dan
Universitas Sumatera Utara
memiliki sekitar 5000 jiwa jemaat yang terdiri dari anak-anak hingga dewasa. Adapun Gereja tersebut seperti:
1. Batang Hari.
2. Bonian.
3. Borno.
4. Juma Teguh.
5. Huta gambir.
6. Hutagugun.
7. Huta manik.
8. Huta rakyat.
9. Ingin maju.
10. Jalan Batu kapur Sidikalang.
11. Lae Hole.
12. Lae ikan.
13. Lae panginuman.
14. Lae rias.
15. Lau korsik.
16. Lau Mil.
17. Siempung.
18. Sigalingging Hilir.
19. Sigalingging Hulu.
20. Si kambing.
Universitas Sumatera Utara
21. Sumbul Karo.
22. Silumboyah.
23. Simaro.
24. Sopo komil.
25. Sukandebi.
26. Sumbul karo.
27. Tampuk hite.
28. Tumpak Raja.
29. Pandiangan.
30. Parongil.
32
Periode pendeta A.V.Sigalingging, gereja GPdI tidak tumbuh dengan pesat, hal ini disebabkan karena prioritas utama majelis wilayah Dairi peningkatan kualitas
pelayanan Gereja Pantekosta di Indonesia bagi jemaatnya, upaya ini dilakukan agar jemaat yang sudah bergabung dengan GPdI tidak mengalami kemunduran dalam
kerohanian serta pemahaman Alkitab yang sesuai dengan doktrin GPdI. Pada tahun 1990 penigkatan pertumbuhan GpdI, ditandai dengan berdirinya
25 gereja dan tersebar di daereah-daerah, seperti: 1.
Batang beruh sidikalang. 2.
Cinta maju. 3.
Gamber.
32
Notulensi Pertemuan Hamba-hamba Tuhan GPdI wilayah Dairi tanggal 5 juni 1990.
Universitas Sumatera Utara
4. Gupa buntu raja.
5. Gunung setember.
6. Hutaginjang tualang.
7. Lumban simbolon.
8. Namori.
9. Parbakalan.
10. Parbatasan.
11. Pandan II.
12. Panji.
13. Parsiroan.
14. Parongil jehe.
15. Polling anak-anak.
16. Rambarata.
17. Rante besi.
18. Sardidin.
19. Sidiangkat.
20. Simanullang najagar.
21. Sinarpagi.
22. Sitinjo.
23. Tiga baru.
24. Tualang.
25. Ujung pandan.
Universitas Sumatera Utara
Secara keseluruhan gedung gereja GPdI yang tersebar di seluruh kabupaten Dairi berjumlah 55 gedung gereja, dengan jumlah jemaat secara keseluruhan
mencapai 7.500 jiwa. Tahun 1990 merupakan puncak perkembangan dari GPdI di kabupaten Dairi.
Melihat perkembangan yang ada dikabupaten Dairi, maka pada tanggal 25 hingga 28 juni 1990 Majelis Daerah mengadakan rapat musyawarah daerah di
Sidikalang. Hal ini tidak terlepas dari pesatnya pertumbuhan GPdI di wilayah kabupaten Dairi, ketika dibandingkan dengan tahun 1960 hingga 1970-an kondisi
perkembangan GPdI di Dairi sangat memprihatinkan, bahkan Pendeta J. Sihotang yang merupakan ketua majelis daerah pada waktu itu mengatakan bahwa: “gereja
GPdI di kabupaten Dairi akan mengalami kepunahan”, namun dalam perjalanan waktu dan upaya yang gigih dari tokoh-tokohnya, GPdI berhasil mempertahankan
benderanya di wilayah Dairi. Kegiatan yang diselenggarakan majelis daerah tersebut juga sekaligus untuk
merayakan Ulang Tahun perayaan GPdI di kabupaten Dairi yang ke 52 Tahun. Dari rapat majelis daerah sekaligus untuk mengangkat ketua majelis daerah yang baru
yaitu Pendeta M.D Wakkary sebagai ketua Majelis Daerah Sumatera Utara. Hal yang paling berkesan bagi para pendeta-pendeta GpdI adalah ketika Majelis daerah
memutuskan bahwa wilayah daerah kabupaten Dairi menjadi daerah Percontohan untuk pertumbuhan injil pantekosta di daerah Sumatera Utara karena telah
menunjukkan pertumbuhan yang cukup memuaskan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan prestasi itu, pendeta-pendeta GPdI dikabupaten Dairi termotivasi untuk mengadakan penginjilan dan kebaktian kebangunan rohani terutama di desa-
desa maupun dusun-dusun yang belum tersentuh sebelumnya. Akan tetapi pada tahun 1990 pendeta J. Sihombing melayangkan surat pengunduran diri ke majelis wilayah
dan majelis daerah Sumatera Utara, pengunduran diri tersebut di karenakan faktor usia yang sudah cukup tua. Pengunduran diri tersebut di tanggapi oleh majelis daerah
dengan mengirim Pendeta M.D Wakkary untuk mengangkat dan memberhentikan kepengurusan majelis wilayah Dairi.
Secara pribadi pendeta J.Sihombing merekomendasikan sebagai pengganti dirinya adalah Pendeta M.Sigalingging yang dianggap sudah matang dari segi
pengalaman serta mampu untuk memimpin majelis wilayah GPdI untuk kabupaten Dairi, maka berdasarkan persetujuan dari seluruh pendeta-pendeta yang mengadakan
rapat wilayah secara mendadak pada saat itu menerima rekomendasi beliau dan dilengkapi oleh persetujuan dari majelis Daerah yang mensahkan Pendeta M.
Sigalingging untuk melanjutkan keperiodean beliau dengan dibantu oleh pendeta T. Ginting sebagai sekertaris kemudian bendahara tetap di jabat oleh pendeta M. Banjar
nahor.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PERANAN GEREJA PANTEKOSTA dI INDONESIA BAGI KEHIDUPAN