Organisasi Aceh Sepakat Di Kota Medan (1968-1990)

(1)

ORGANISASI ACEH SEPAKAT DI KOTA MEDAN

(1968-1990)

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN

O L E H

NAMA : LUCKI ARMANDA NIM : 030706015

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

ORGANISASI ACEH SEPAKAT DI KOTA MEDAN (1968-1990) Yang Diajukan Oleh :

Nama : Lucki Armanda NIM : 030706015

Telah Disetujui Untuk Diujikan Dalam Ujian Skripsi Oleh : Pembimbing,

Dra. Ratna, MS. Tanggal,………

NIP : 131415907

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,

Dra. Fitriaty Harahap, SU. Tanggal,………

NIP : 131284309

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

ORGANISASI ACEH SEPAKAT DI KOTA MEDAN (1968-1990)

Skripsi Sarjana

Dikerjakan O

L E H

Lucki Armanda NIM : 030706015 Pembimbing,

Dra. Ratna, MS. NIP : 131415907

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ketua

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, SU. NIP : 131284309


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN :

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan,

Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D. NIP : 132098531

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan

1………. (………..) 2………. (………..) 3………. (………..) 4………. (………..) 5………. (………..)


(6)

Ucapan Terima Kasih

Rasa syukur yang teramat besar penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memudahkan usaha penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat beriring salam penulis persembahkan kepada junjungan besar umat Islam, Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa pula penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayahanda, H.Lukman Muliawan yang telah memberikan dukungan kepada penulis selama masa pendidikan dan dalam masa penulisan skripsi, baik itu dukungan secara moril maupun materil.

2. Ibunda, Hj.Nurlailati Arbaiyah yang tidak pernah lelah memberikan semangat dan nasehat untuk terus menjalani dan menekuni dunia pendidikan. Ucapan terima kasih ini tidaklah cukup untuk membalas segalanya yang pernah ayah dan ibu perbuat.

3. Adinda, Lufti Arlini dan Luktri Arsheila yang telah menemani penulis selama menjalani hidup ini. Banyak hal yang telah kita lalui bersama selama ini dengan segala perbedaan dan persamaan. 4. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Chairuddin P.

Lubis DTM & H.SP (AK).

5. Dekan Fakultas Sastra, Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menjalani ujian meja hijau agar mendapatkan gelar kesarjanaan. 6. Ketua Departemen Ilmu Sejarah, Ibu Dra. Fitriaty Harahap,SU,

yang telah memberikan banyak bantuan, kemudahan serta pengalaman selama penulis menjalani masa perkuliahan. Terima kasih juga kepada Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah, Ibu Dra. Nurhabsyah,M.Si yang terus memacu semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Dra. Ratna,MS, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan banyak masukan ilmu dan meminjamkan buku-buku


(7)

selama penulis memulai hingga menyelesaikan penulisan skripsi ini. Tanpa kontribusi ibu, rasanya skripsi ini akan lebih jauh dari kesempurnaan.

8. Ibu Dra. Lila Pelita Hati, selaku Dosen Wali yang telah banyak memberikan nasehat terhadap penulis selama menjalani masa perkuliahan.

9. Bapak Drs. Indera Akfar,M.Hum, yang telah memberikan ide dan informasi mengenai skripsi ini. Terima kasih juga kepada Bapak Drs. Edi Sumarno,M.Hum, yang terus memotivasi penulis dalam mengembangkan kemampuan yang dimiliki penulis.

10.Seluruh Staf Pengajar di Departemen Ilmu Sejarah, terima kasih penulis ucapkan atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama ini, semoga nantinya menjadi manfaat bagi penulis.

11.Ibu Dra. Irini Dewi Wanti yang telah memberikan dukungan, ide, maupun buku-buku mengenai penulisan skripsi ini.

12.Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. H.M. Jusuf Hanafiah, Spog (k), Bapak H.M. Noernikmat, Bapak Drs. H. Muhammad TWH, Bapak H. Ishak Morhaban, Bapak Muchtar M. Samalanga, dan Bapak Dinar Nyak Idhien Wali, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan informasi dan data-data yang dibutuhkan oleh penulis.

13.Seluruh pengurus dan anggota organisasi Aceh Sepakat, yang telah memberikan banyak informasi dan dukungan kepada penulis.

14.Bang Ampera Wira, orang yang banyak membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan, nasehat dan bantuan yang penulis terima akan selalu diingat. Thanks a lot Bams, n I will keep our

memories in my mind.

15.Abdul Rahman Lubis,SS, sahabat yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dari awal hingga akhir dalam menyelesaikan skripsi ini. Tanpa bantuan kamu mungkin aku


(8)

akan lebih kebingungan dalam menuangkan pokok pikiran. Terima kasih juga kepada Bapak, Ibu dan bang Dian.

16.Terima kasih banyak kepada teman-temanku, seperti Alex, Opit, Jonathan, Ratih, Affan, Dede, Fanny, Tarmizi, Dedi Supriadi, Basita,S.Sos, Tata, Alfit, Basket Eye Communities, bang Nasrul, Dedy 2006 dan seluruh mahasiswa Sejarah stambuk 2003 (tanpa kalian semua pasti stambuk 2003 nggak pernah ada). Terima kasih juga kepada semua kakanda senior di Sejarah stambuk 2002, karena kalian semua perkuliahan di Departemen Ilmu Sejarah menjadi lebih bernuansa dan menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan buat penulis.

17.Terakhir, buat adinda Amelia Silvanny yang masih sahabatku kekasihku, orang yang paling sabar menghadapi keadaan penulis selama ini. Terima kasih banyak atas dukungan yang telah adinda berikan sampai hari ini. I can’t forgive myself if I leave u.


(9)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi untuh meraih gelar kesarjanaan. Tidak lupa shalawat beriring salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan umat Islam yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Adapun skripsi ini berjudul ORGANISASI ACEH SEPAKAT DI

KOTA MEDAN (1968-1990). Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk

menyelesaikan pendidikan sekaligus untuk meraih gelar kesarjanaan di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun bagi kita semua.

Medan, Desember 2007


(10)

Daftar Isi

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... ii

Abstraksi... iii

Bab I Pendahuluan 1.1.Latar Belakang……….. 1

1.2. Rumusan Masalah ………. 4

1.3.Tujuan dan Manfaat………... 5

1.4.Tinjauan Pustaka……… 6

1.5.Metode Penelitian……….. 9

Bab II Gambaran Umum Penelitian 2.1. Keadaan Penduduk……… 11

2.2. Kondisi Sosial Ekonomi……… 14

2.3. Kondisi Sosial Budaya……….. 17

Bab III Latar Belakang Terbentuknya Organisasi Aceh Sepakat Di Kota Medan 3.1. Kedatangan Orang Aceh Ke Kota Medan... 20

3.2. Kehidupan Ekonomi Masyarakat Aceh Di Kota Medan... 29

3.3. Lahirnya Organisasi Aceh Sepakat……… 31


(11)

3.5. Pembentukan Cabang-cabang dan Anak Cabang……….. 42 3.6. Rekruitmen Anggota………. 46

Bab IV Aktivitas Organisasi Aceh Sepakat Di Kota Medan

4.1. Agama Dan Adat Istiadat……….. 49 4.2. Sosial………. 56 4.3. Politik……… 59

Bab V Kesimpulan Dan Saran

5.1. Kesimpulan……… 62 5.2. Saran……….. 64

Daftar Pustaka Daftar Informan Lampiran


(12)

Abstraksi

Organisasi Aceh Sepakat di Kota Medan muncul sebagai sebuah organisasi yang bersifat etnis, yang dikhususkan bagi masyarakat Aceh yang bermukim di Kota Medan. Anggapan bahwa Aceh Sepakat sebagai organisasi yang dibentuk untuk mendukung situasi politik di Aceh tampaknya tidak berpengaruh terhadap perkembangan organisasi ini pada awal berdirinya. Aceh Sepakat di Kota Medan muncul sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu memperjuangkan serta membantu masyarakat Aceh maupun masyarakat lainnya yang ada di Kota Medan. Menyatunya perkumpulan-perkumpulan masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan dianggap sebagai cikal bakal kelahiran Organisasi Aceh Sepakat secara terpusat, karena tanpa adanya IKRAR BERSAMA Kesatuan Masyarakat Aceh di Medan pada 25 November 1968 di Kota Medan, maka mustahil kiranya Organisasi Aceh Sepakat dapat berdiri seperti sekarang ini.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1LATAR BELAKANG

Migrasi berbagai etnis ke Kota Medan erat kaitannya dengan dibuka dan berkembangnya perkebunan-perkebunan di wilayah Sumatera Timur. Berkembangnya Kota Medan sebagai ibukota keresidenan Sumatera Timur (1870) dan daerah Geemente (1909) semakin menambah besarnya minat para migran untuk datang ke Kota Medan.1 Hal ini dapat diketahui dengan melihat semakin meningkatnya jumlah penduduk yang mendiami Kota Medan.2 Para migran ini berasal dari daerah luar Kota Medan, seperti Minangkabau, Batak Toba, Mandailing, Karo dan Aceh, disamping orang-orang Cina dan etnis Jawa yang memang didatangkan bagi kebutuhan tenaga kerja di perkebunan.

Di Kota Medan para migran ini biasanya tinggal dan hidup di kelompok etnisnya masing-masing, karena hampir sebagian besar mereka datang dengan menggunakan jalur keluarga atau kenalan sekampung. Hal ini terlihat dari pola pemukiman penduduk yang ada di Kota Medan yang cenderung berkelompok menurut etnisnya masing-masing. Etnis Minangkabau misalnya banyak bermukim di daerah Sukaramai, etnis Karo mayoritas bermukim di daerah Padang Bulan, etnis Batak banyak memilih bermukim di daerah Pasar Merah,

1

Kencana Sembiring Pelawi, Corak dan Pola Hubungan Sosial Antara Golongan dan

Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997,

hlm.9.

2

Awalnya Kota Medan hanya sebuah kampung kecil yang penduduknya hanya berjumlah sekitar 200 orang, dan setelah masa Geemente Medan, penduduknya bertambah menjadi lebih kurang 17000 orang. Lihat Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi


(14)

etnis Mandailing banyak bermukim di daerah jalan Serdang.3 Adapun etnis Aceh lebih suka tinggal bersama-sama kelompok etnik muslim lainnya, misalnya dengan orang Minangkabau, Mandailing dan Jawa.4 Hal ini dapat dilihat dari pemukiman-pemukimkan penduduk yang ada di Kota Medan, tidak ada daerah tertentu yang didominasi oleh etnis Aceh.

Beragamnya kelompok etnis yang menetap di Kota Medan menunjukkan beragam dan berbeda juga kebudayaan yang berkembang di Kota Medan. Biasanya kelompok-kelompok etnis pendatang ini membentuk ikatan organisasi kesukuan di Kota Medan sebagai identitas suku dan asal mereka. Bentuk-bentuk organisasi kesukuan merupakan gejala umum yang hampir terdapat di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Tujuan pembentukan organisasi kesukuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan keresahan masyarakat pendatang yang jumlahnya lebih sedikit dan hidup dalam kelompok kesukuan yang majemuk. Dalam hal ini organisasi sosial etnis Aceh juga bertujuan mengekspresikan identitas kesukuannya di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Ekspresi identitas ini dibutuhkan untuk dikenal oleh kelompok etnis lain, dengan demikian kelompok etnis lain dapat menempatkan posisi kelompok etnis tersebut di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang majemuk, minimal sebagai tanda bahwa mereka masih “survive”.5 Terkait dengan hal itu misi budaya juga tidak terlepas dari tujuan pendirian organisasi etnis Aceh, dalam hal ini mereka harus dapat mempertahankan kebudayaan dan adat istiadat dari kampung halamannya,

3

Kencana Sembiring Pelawi, op. cit., hlm. 14.

4

Usman Pelly, op. cit., hlm. 107.

5

Sabarita Ketaren, Batasan Etnis dan Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Multi – Etnis, dalam Skripsi S1, belum diterbitkan, Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Antropologi, Universitas Sumatera Utara, 1994, hlm. 11.


(15)

seperti budaya dari etnis Aceh yang selalu berbahasa Aceh dengan kerabat-kerabatnya meskipun bertemu bukan di daerah Aceh saja. 6

Dari berbagai bentuk organisasi kesukuan yang ada di kota Medan, maka salah satunya adalah organisasi kesukuan dari etnis Aceh yang bernama Aceh Sepakat. Organisasi ini hanya ada di Sumatera Utara dan berpusat di Kota Medan, yang didirikan pada tahun 1968 dan sebagai ketua pertama adalah Jusuf Hanafiah.7 Sebenarnya jauh sebelum organisasi ini berdiri di Kota Medan, telah ada ikatan-ikatan perkumpulan etnis Aceh yang bergerak sendiri-sendiri sesuai dengan daerah asal mereka masing-masing. Seperti misalnya kumpulan Aceh Pidie, Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Gayo dan lain-lain.8 Barulah sekitar tahun 1950 muncul gagasan dari masyarakat Aceh perantau di Kota Medan untuk mempersatukan semua kumpulan-kumpulan etnis Aceh yang ada di kota Medan dalam satu wadah organisasi etnis yang lebih besar. Walaupun gagasan menyatukan ikatan-ikatan orang Aceh ini telah muncul pada tahun 1950-an, tetapi ide itu baru terwujud pada tahun 1968.

Dengan demikian organisasi Aceh Sepakat dimaksudkan untuk mengumpulkan masyarakat Aceh dalam satu wadah organisasi sebagai satu ikatan kekeluargaan yang erat terpadu. Hal ini mencerminkan masih tebalnya rasa ketergantungan, gotong royong, dan solidaritas di kalangan etnis Aceh.9 Dalam perkembangannya organisasi ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan sosial masyarakat Aceh, tetapi juga masyarakat lainnya yang

6

Usman Pelly, op. cit., hlm. 293.

7

Jusuf Hanafiah adalah seorang Dokter Spesialis Kandungan yang cukup populer di Kota Medan. Ia pernah menjabat sebagai Rektor USU periode 1986-1994. Lihat Hasil Rumusan Komisi C. MUBES VIII Aceh Sepakat, tentang: Kelembagaan Yayasan/Badan Usaha dan

Rekomendasi MUBES VIII, Medan: Tahun 1997, hlm. 65. 8

Wawancara dengan Muchtar M. Samalanga, Medan, 16 Maret 2007.

9

Alfian (ed.), Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: Pustaka LP3S Jakarta, 1977, hlm.176.


(16)

bermukim di kota Medan. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dan kegiatan yayasan-yayasan sosial serta tempat ibadah yang dibangun oleh organisasi Aceh Sepakat di Kota Medan.

Penelitian dimulai dari scope temporal tahun 1968 sesuai dengan awal berdirinya organisasi Aceh Sepakat di Kota Medan dan diakhiri pada tahun 1990. Batasan waktu hingga tahun 1990 karena pada tahun itu adanya kevakuman anggota organisasi Aceh Sepakat, akibat ketidakstabilan politik yaitu terjadi konflik di daerah Aceh. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perkembangan organisasi Aceh Sepakat yang ada di Kota Medan.10

Pembatasan tempat atau scope spatial penelitian ini hanya mengenai organisasi Aceh Sepakat yang ada di Kota Medan. Pemilihan tempat ini berdasarkan karena organisasi ini pertama kalinya berdiri di Kota Medan dan hanya ada di Sumatera Utara. Di Kota Medan pula organisasi Aceh Sepakat banyak melakukan kegiatan sosial ekonomi dan membangun atau membentuk sarana-sarana bagi masyarakat lainnya yang bermukim di Kota Medan.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Pokok permasalahan yang akan diangkat penulis dalam penelitian ini adalah mengenai organisasi etnis Aceh yang ada di kota Medan yang bernama Aceh Sepakat. Penulis akan membagi pokok permasalahan ini agar lebih terarah dan memiliki isi yang tidak bertentangan, yaitu sebagai berikut:

10

Vakumnya kegiatan organisasi yang disebabkan peristiwa atau konflik yang ada di Aceh bukan berarti organisasi ini berhenti melakukan kegiatan sosial kemasyarakatannya, tetapi kegiatan-kegiatannya dilakukan secara diam-diam dan tidak terlalu menonjol karena ada keresahan pada masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan. Wawancara dengan Muchtar M. Samalanga, Medan, 16 Maret 2007.


(17)

1. Bagaimana latar belakang terbentuknya organisasi Aceh Sepakat di kota Medan?

2. Bagaimana perkembangan organisasi ini sejak awal berdirinya yaitu tahun 1968 hingga tahun 1990?

3. Bagaimana aktivitas organisasi sosial ini baik di lingkungan etnisnya sendiri maupun diluar etnisnya?

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT

Penulisan sejarah organisasi Aceh Sepakat di kota Medan ini tentunya mempunyai tujuan dengan harapan dapat memberikan manfaat kepada pembaca, pemerhati sejarah dan masyarakat yang berminat terhadap penulisan ilmiah tujuan tersebut antara lain:

1. Untuk mengetahui latar belakang terbentuknya organisasi Aceh Sepakat di Kota Medan.

2. Mengetahui perkembangan organisasi ini sejak awal berdirinya yaitu tahun 1968 hingga tahun 1990.

3. Mengetahui aktivitas organisasi ini, baik yang bersifat intern maupun ekstern.

Penulisan skripsi ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat, yaitu antara lain:

1. Memberikan sumbangan pemikiran yang baru dan berguna bagi penelitian tentang masyarakat Aceh di masa yang akan datang.


(18)

2. Menambah wawasan bagi pembaca untuk dapat merenungkan kembali makna pentingnya persatuan sehingga dapat menjadi bangsa yang bersatu.

1.4. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang organisasi Aceh Sepakat ini sebenarnya belum pernah ditulis orang, tetapi walaupun begitu ada beberapa buku yang penulis anggap dapat dijadikan sebagai bahan tinjauan pustaka untuk mendukung tulisan yang berjudul organisasi Aceh Sepakat di kota Medan.

Karya Fredrik Barth terjemahan oleh Nining I. Soesilo dalam buku yang berjudul Kelompok Etnik Dan Batasannya (1988), menjelaskan mengenai proses-proses yang mengakibatkan berpindahnya populasi melewati batas etnik yang akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan demografi antara berbagai kelompok etnik ini.11 untuk mempertahankan stabilitas demografi maka kelompok-kelompok ini harus peka terhadap perubahan yang terjadi sebagai reaksi atas tekanan ekologi. Hal ini dimaksudkan karena lingkungan yang berbeda sudah tentu menuntut penampilan yang berbeda pula. Walaupun ada proses-proses yang demikian, ciri etnik tetap menunjukkan sifat-sifat yang terkelompok tetapi tidak saling ketergantungan, sehingga ada keragaman di antara anggota masyarakat. Walaupun contoh kasus yang digambarkan dalam buku ini bukan contoh kasus etnis yang ada di Indonesia, tetapi terdapat pola yang sama tentang terkelompoknya etnis-etnis di kota.

11

Fredrik Barth (ed.), Kelompok Etnik Dan Batasannya, Terj: Nining I. Soesilo, Jakarta: UI Press, 1988, hlm.25.


(19)

Usman Pelly dalam bukunya yang berjudul Urbanisasi dan Adaptasi:

Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing (1994), menjelaskan

tentang bagaimana suatu kelompok etnis dapat berkembang diluar daerah asalnya tanpa harus menghilangkan budaya dan adat istiadatnya. Etnis Mandailing dan Minangkabau yang diteliti Pelly mempunyai perbedaan budaya yang masing-masing ingin menjadi kelompok etnis yang dominan di dalam masyarakat yang majemuk, hal ini tampak pada daerah-daerah Kota Medan yang didominasi oleh mereka. Perbedaan ini semakin jelas setelah orientasi keagamaan yang mereka miliki disalurkan kedalam organisasi-organisasi sukarela, misalnya Muhammadiyah oleh etnis Minangkabau dan Al Washliyah oleh etnis Mandailing. Organisasi keagamaan ini sekaligus merupakan ikatan primordial yang sifatnya etnis. Pelly berpendapat bahwa adaptasi para perantau ini sangat dipengaruhi oleh suatu “misi budaya” yang harus mempertahankan identitas etnik dan mengadaptasikan masing-masing budaya tersebut kepada tuntutan-tuntutan lingkungan perkotaan. Organisasi etnis (kelompok paguyuban) dipakai sebagai mekanisme adaptasi dan sebagai alat perjuangan dalam bersaing dengan kelompok-kelompok etnis lain di perkotaan. Masalah etnis Minangkabau dan Mandailing dianggap sebagai kesamaan historis dengan berdirinya organisasi etnis Aceh di Kota Medan. Etnis Aceh yang jumlahnya lebih sedikit dan hidup dalam kelompok etnik lain juga merasa mempunyai misi budaya yang sama dalam kehidupan masyarakat yang majemuk.

Tulisan Ahmad Sahur yang berjudul Merantau Bagi Orang Pidie dalam

Migrasi, Kolonisasi dan Perubahan Sosial (1988). Dalam tulisannya Ahmad


(20)

kesadaran keamanan di berbagai daerah yang menyebabkan penduduk desa terpaksa mengungsi ke kota atau daerah lain.12 Akan tetapi dalam perpindahannya orang-orang Pidie tidak melupakan kehidupan sosial budaya yang ada di kampungnya, dan mereka dapat membentuk organisasi-organisasi yang beranggotakan orang-orang Pidie itu sendiri. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa orang Pidie dapat menyesuaikan diri dengan orang-orang kota dengan aneka perubahan sosial yang ada.

Irini Dewi Wanti dalam tulisannya yang berjudul Kehidupan Masyarakat

Etnis Aceh Perantauan di Kota Medan 1950-1999 (2000), tentang masyarakat

Aceh yang pergi merantau keluar daerahnya terutama ke Kota Medan. Dalam tulisannya Irini menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan etnis Aceh keluar daerahnya. Faktor-faktornya antara lain, pertama karena kesulitan hidup di desa yang disebabkan semakin besarnya pertumbuhan penduduk dan kurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan diluar lapangan pertanian.13 Kedua, adanya gangguan keamanan yang terjadi disebabkan dua peristiwa yaitu situasi awal kemerdekaan (1945) dan saat terjadinya peristiwa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada tahun 1955.14 Irini juga menjelaskan tentang bagaimana etnis Aceh yang merantau ke Kota Medan, akan tetapi dengan kepergiannya dari kampung halaman dapat terus mempertahankan kebudayaan dan adat istiadatnya. Hal ini dapat dilihat dari kelompok-kelompok paguyuban yang dibentuk masyarakat Aceh ketika berada diluar kampung

12

Ahmad Sahur, Merantau Bagi Orang Pidie, dalam Migrasi, Kolonisasi dan

Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Pustaka Grafika Kita, 1988, hlm.24. 13

Irini Dewi Wanti, Kehidupan Masyarakat Etnis Aceh Perantauan di Kota Medan

1950-1999, Banda Aceh: Departemen Pendidikan Nasional, Kantor Wilayah Propinsi D.I. Aceh,

Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2000, hlm. 27.

14


(21)

halamannya. Tidak mungkin kelompok-kelompok itu dapat berkembang dan menjadi satu dalam sebuah organisasi apabila tidak didasari oleh rasa kekeluargaan yang erat dari individunya masing-masing.

Keempat tulisan diatas menjadi dasar bagi penulis yang digunakan sebagai pendukung untuk penulisan ilmiah ini karena dalam isinya nanti akan dibahas masalah bagaimana masyarakat etnis aceh menyesuaikan diri dengan masyarakat lain yang ada di kota Medan sehingga dapat terus melangsungkan kegiatan sosial ekonomi di lingkungan perkotaan.

1.5. METODE PENELITIAN

Penulisan ilmiah yang memenuhi syarat adalah penulisan yang didukung oleh sumber maupun informasi yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus relevan dengan pokok permasalahan yang akan ditulis. Untuk memperoleh sumber bagi penulisan ini, maka langkah awal yang penulis lakukan adalah mengumpulkan sumber atau Heuristik. Seperti yang telah disebutkan dalam bagian terdahulu bahwa penelitian secara khusus tentang organisasi ini belum pernah ada, sehingga sumber-sumber tertulis yang berkenaan dengan hal ini sulit untuk diperoleh. Akan tetapi dalam penulisan ilmiah ini studi kepustakaan tetap digunakan untuk mendapatkan sumber-sumber tertulis yang mendukung penelitian ini, disamping sumber-sumber primer tertulis dari dokumen yang ada tersimpan di organisasi Aceh Sepakat.

Studi lapangan dilakukan untuk mengumpulkan sumber melalui wawancara terhadap beberapa informan yang dapat memberikan


(22)

keterangan-keterangan yang diperlukan, serta untuk dapat melihat sendiri masalah yang ada pada objek yang akan diteliti. Dalam studi lapangan ini penulis menggunakan metode wawancara terbuka dengan interview guide. Dengan interview guide maka penulis berharap mendapatkan keterangan yang lebih personal terhadap objek yang dipelajari. Untuk itu dalam pengumpulan sumber lisan melalui wawancara penulis menjumpai beberapa informan yang dianggap mengetahui masalah yang dikaji, seperti misalnya Noernikmat dan Jusuf Hanafiah. Mereka ini dapat dianggap sebagai informan kunci yang banyak mengetahui awal berdirinya Aceh Sepakat di Kota Medan. Dari kedua tokoh ini akan dikembangkan informasi tentang informan-informan lain.

Setelah sumber-sumber lisan maupun tulisan didapatkan, kemudian dilakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut. Kritik ekstern untuk menguji keaslian (otentisitas) sumber-sumber yang digunakan terhadap permasalahan yang akan diteliti, dan kritik intern untuk mengetahui apakah sumber-sumber tersebut dapat dipercaya (kredibilitas).

Selanjutnya sumber-sumber yang telah dikritik tersebut akan ditafsirkan (interpretasi) dengan menguraikan (analisis) kembali sumber-sumber yang dapat digunakan dalam penelitian ini dan yang tidak dapat digunakan. Sumber-sumber yang dapat digunakan akan dikelompokkan (sintesis) sesuai dengan kronologis tahunnya sehingga ditemukan fakta yang terjadi dalam masalah yang akan diteliti. Setelah disimpulkan fakta dari penafsiran terhadap sumber-sumber, kemudian akan dilakukan penulisan (historiografi) yang berdasarkan latar belakang terbentuknya organisasi Aceh Sepakat di Kota Medan dan perkembangannya sampai dengan tahun 1990.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN

2.1 Keadaan Penduduk

Kota Medan merupakan kota di Sumatera Utara yang memiliki penduduk terbanyak, hal ini disebabkan pesatnya pertumbuhan industri sehingga menyebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan, disamping faktor lain seperti fasilitas pendidikan yang lebih baik. Dari sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, dan 1990 dapat dilihat perkembangan jumlah penduduk setiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Lihat pada tabel berikut:

Tabel-1

Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan

No Tahun Jumlah Penduduk Laju Pertumbuhan

I 1961 479.090 Jiwa –

II 1971 635.562 Jiwa 2,90%

III 1980 1.378.953 Jiwa 12,99%

IV 1990 1.730.752 Jiwa 2,30%

Sumber: Kencana Sembiring Pelawi, Corak dan Pola Hubungan Sosial

Antara Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan,

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997. Pada tahun 1971-1980 Kota Medan merupakan daerah yang tertinggi laju pertumbuhannya yakni sebesar 12,99%. Hal ini disebabkan adanya perluasan wilayah pada tahun 1974. Akan tetapi secara riil rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebelum perluasan wilayah adalah 3,58%. Kepadatan penduduk merupakan pengaruh daripada tekanan penduduk di suatu daerah. Kepadatan


(24)

penduduk di suatu daerah dibandingkan dengan luas tanah yang ditempati dinyatakan dengan banyaknya penduduk perkilometer persegi. Lihat pada tabel berikut:

Tabel-2

Kepadatan Penduduk per km2 di Kota Medan

No Tahun Penduduk Km

I 1961 9.394 Jiwa/Km2 70

II 1971 12.462 Jiwa/Km2 93

III 1980 5.204 Jiwa/Km2 118

IV 1990 6.231 Jiwa/Km2 143

Sumber: Kencana Sembiring Pelawi, Corak dan Pola Hubungan Sosial

Antara Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan,

Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Dengan gambaran keadaan penduduk seperti tersebut di atas, pada umumnya penduduk lebih tertarik bertempat tinggal di kota, tepatlah kiranya langkah pemerintah melaksanakan program keluarga berencana untuk mengendalikan penduduk dan pemerataan pembangunan di desa-desa.

Sebenarnya meningkatnya jumlah penduduk Kota Medan secara tajam dimulai setelah kemerdekaan, sehingga kondisi penduduk memperlihatkan suatu gambaran masyarakat yang majemuk. Keadaan ini disebabkan karena tajamnya pergeseran beberapa kelompok etnis dari masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sesudah kemerdekaan arus migrasi dari kelompok etnik lainnya bertambah terus terutama dari daerah Tapanuli Utara (Batak Toba), Karo dan Aceh. Tabel berikut ini menunjukkan pergeseran tersebut:


(25)

Tabel-3

Rata-rata Pertumbuhan Penduduk Kota Medan Tahun 1930 dan Tahun 1981 Menurut Suku Bangsa

No Etnik Tahun 1930 Tahun 1981 Tahun

1981 (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Jawa Minangkabau Melayu Mandailing Sunda Batak Toba Batak Angkola Karo Aceh Nias Simalungun Dairi Cina Eropa Timur Asing Suku Lainnya JUMLAH 19.067 5.503 5.408 4.688 1.209 882 236 145 - - - - 27.287 4.293 3.734 1.789 74.241 380.570 141.507 100.591 154.172 24.752 182.686 - 51.561 28.390 2.355 8.677 3.150 166.159 - - 39.322 1.283.892 29,41 10,93 8,57 11,91 1,90 14,11 - 3,99 2,19 0,18 0,67 0,24 12,84 - - 3,04 100

Sumber: Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi

Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta: Pustaka

LP3ES Indonesia, 1994.

Seperti terlihat dari angka-angka di atas, setelah kemerdekaan terdapat arus masuk berbagai kelompok etnik, terutama Batak Toba dari Tapanuli Utara. Dalam 1930 hanya ada 882 etnis Batak Toba di Kota Medan, akan tetapi pada 1981 terdapat 182.686 etnis Batak Toba. Secara kuantitatif populasi etnis Batak Toba meningkat 222 kali lipat, sementara etnis Mandailing meningkat 25 kali, etnis Minangkabau 26 kali, etnis Jawa 20 kali dan etnis Cina 6 kali lebih. Di samping kelompok etnik tersebut, terdapat etnis lainnya seperti Simalungun, Dairi, Aceh dan Nias yang bermigrasi ke Kota Medan setelah kemerdekaan.

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa Kota Medan merupakan kota yang heterogen penduduknya. Bila dilihat dari tipe penggolongan kota di Indonesia, Medan merupakan kota yang dihuni oleh jumlah suku bangsa yang didominasi


(26)

bukan dari dalam kota itu sendiri melainkan suku-suku lain yang berasal dari luar kota itu sendiri. Kota medan sebagai salah satu kota warisan kolonial di Indonesia menurut Usman Pelly memperlihatkan wajah ganda, yaitu bagian pusat kota terdiri dari dua pola pemukiman. Pola pertama yaitu pemukiman elit, bekas tempat kediaman dan perkantoran pemerintah kolonial Belanda (European Wijk) yang ditandai dengan pengaturan ruang dan bentuk rumah gaya barat. Pola pemukiman seperti ini terdapat di sekitar jalan Kesawan, jalan Diponegoro dan jalan Palang Merah. Pola kedua yaitu pemukiman pedagang timur asing yang didominasi oleh kelompok etnis Cina dengan pola pemukiman yang khas yang menjadikan tempat tinggal dan aktivitas dagang dalam satu atap dengan model bertingkat yang berjajar di sepanjang jalan. Setelah tahun 1960 pola pemukiman seperti ini misalnya Pajak Hongkong, Mercu Buana, dan Pajak Sambas.15

Pertumbuhan penduduk Kota Medan sebagian besar disebabkan oleh arus migrasi kelompok etnik dari berbagai wilayah di sekitar Indonesia. Di zaman kolonial orang Cina dan Jawa didatangkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga buruh di perkebunan, sedangkan orang Minangkabau, Mandailing dan Aceh sebagian besar sebagian besar perantau yang bebas bergerak di sektor perdagangan dan sebagian lagi yang berpendidikan barat bekerja di perkantoran.

2.2. Kondisi Sosial Ekonomi

Kota Medan dari aspek pertumbuhan ekonomi bagi wilayah Sumatera Utara mempunyai fungsi sebagai pusat perdagangan, pusat administrasi

15


(27)

pemerintahan, pusat pendidikan, pusat kebudayaan dan sebagai kota industri memiliki potensi yang cukup besar. Hal ini terlihat antara lain dari jumlah dan kualitas penduduk serta luas arealnya yang ditinjau dari hubungan daerah antar negara, disamping lengkapnya prasarana dan sarana ekonomi, seperti angkutan darat maupun laut yang sudah mulai berkembang sekitar tahun 50-an.0

Jika dilihat dari sektor pertanian di Kota Medan setiap tahunnya cenderung berkurang karena lahan-lahan tersebut depergunakan untuk perindustrian, pusat perkantoran dan lain-lain. Dalam bidang ekonomi ada banyak tipe-tipe lapangan pekerjaan non formal di Kota Medan yang cenderung didominasi oleh etnis tertentu. Hal tersebut tampak misalnya pada tipe tenaga kerja tidak menetap. Kecenderungan adanya tenaga kerja tidak menetap dapat dilihat dengan jelas terutama pada buruh pabrik, bangunan, pekerja kasar di bengkel, penyapu jalan dan lain-lain. Tenaga kerja seperti ini berasal dari daerah, seperti Tembung, Saentis, Sampali, Batang Kuis, Kelambir Lima, Labuhan, Tandem serta Tanjung Morawa. Mereka ini melakukan pekerjaan dari pagi hari dan kembali pada sore hari. Sebagian besar dari mereka ini adalah etnis Jawa, sulit untuk menemukan diantara mereka itu tenaga kerja dari suku bangsa lain termasuk suku Aceh.

Etnis Mandailing umumnya mendominasi instansi-instansi pemerintahan, etnis Batak Toba banyak yang memilih profesi di kepolisian dan bisnis angkutan kota, bisnis rumah makan banyak dikelola oleh etnis Minangkabau. Selain didominasi oleh etnis Cina kaum pedagang yang ada di Kota Medan umumnya diramaikan oleh etnis Batak, Karo, Aceh dan sedikit dari etnis Melayu.


(28)

Di Medan hubungan kekerabatan sering dimanfaatkan dalam kesempatan mencari kerja, meskipun kenyataannya ini telah membudaya dalam seluruh masyarakat Indonesia pada akhir-akhir ini. Akan tetapi praktek seperti ini jarang dilakukan oleh etnis Melayu. Ada kecenderungan bahwa mereka enggan untuk memakai kerabat dalam rangka memperoleh kesempatan kerja di sektor formal, bahkan dapat dikatakan dalam suku bangsa Melayu hubungan pertemanan ini lebih diutamakan daripada hubungan kekerabatan. Hal ini terjadi karena hubungan kekerabatan dalam memberikan pekerjaan dianggap etnis Melayu sering mengakibatkan resiko yang besar, karena hubungan itu memiliki ikatan-ikatan lain dalam pranata keluarga atau adat, sehingga jika terjadi hubungan yang tidak baik suatu ketika dalam pranata adat akan mempengaruhi jalannya pekerjaan, sedangkan hubungan pertemanan tidak memiliki resiko yang terlalu besar.

Seperti halnya masyarakat melayu, hal ini juga berlaku bagi masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan. Hubungan sesama etnis dan sekampung tidak membuat seseorang mendapat posisi pekerjaan dalam suatu instansi pemerintahan. Hal ini tampak pada instansi pemerintahan yang ada di Kota Medan, ketika ada masyarakat Aceh yang memimpin tidak banyak dari golongannya yang diangkat dan diberi jabatan tertentu.

Kondisi sosial ekonomi penduduk Kota Medan juga dapat dilihat pada kampung elit dan kampung miskin.16 Batas kedua kategori itu sulit ditentukan, dalam arti keduanya saling membaur. Dalam kampung elit terdapat pula warga yang menurut ukuran Kota Medan termasuk tidak mampu, walaupun demikian

16


(29)

dengan memberi sedikit ciri-ciri dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat secara kualitatif dapat ditentukan kampung-kampung seperti yang dimaksud.

Kampung Elit dalam pengertian masyarakat Kota Medan adalah tempat pemukiman penduduk umum, pejabat serta kompleks perumahan dinas. Kampung elit mempunyai ciri-ciri antara lain bangunan rumah umumnya permanen, anggota warga terdiri dari pejabat dan karyawan instansi tertentu, tingkat kepadatan penduduk relatif rendah, lingkungan pemukiman teratur, tertib dan bersih serta memiliki berbagai fasilitas yang memadai. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain sumber air bersih, tempat pembuangan sampah, listrik, gang-gang lurus yang langsung dihubungkan dengan jalur aspal, serta mempunyai saluran air hujan dan limbah.

Kedua adalah kampung miskin ini tercermin pada kondisi perumahan dan lingkungan yang relatif buruksebagai pemukiman yang sehat biasanya keadaan ini disebabkan oleh tingkat pendapatan penduduk yang rendah. Ciri-ciri kampung ini antara lain adalah rumah yang relatif buruk dan sempit, tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi dan fasilitas pemukiman yang kurang memadai. Sumur merupakan sumber air bersih, tetapi tidak semua rumah memilikinya. Jamban atau WC keluarga darurat dan sering berpindah-pindah. Selokan atau parit pembuangan air limbah sangat jarang kalaupun ada tetapi kurang berfungsi. Pada musim kemarau kampung-kampung ini sering kesulitan air bersih, tetapi apabila musim hujan sering terjadi banjir.


(30)

2.3. Kondisi Sosial Budaya

Kondisi Kota Medan setelah kemerdekaan memperlihatkan suatu gambaran yang majemuk. Keadaan ini disebabkan karena tajamnya pergeseran beberapa kelompok etnis dari masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Kedatangan suku bangsa dari berbagai daerah di luar Kota Medan setelah kemerdekaan mengakibatkan hubungan antar etnis di daerah ini semakin kompleks. Namun kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan kota-kota lain seperti Bandung, Yogyakarta atau Ujung Pandang, karena apa yang disebut oleh Usman Pelly bahwa di Kota Medan tidak mengenal apa yang disebut dengan dominant culture (budaya yang paling dominan).17 Meskipun etnis Melayu sebagai tuan rumah di Kota Medan, akan tetapi beberapa kelompok etnis tetap ingin menonjolkan budaya khas mereka dalam kehidupan yang majemuk. Sebagai contoh dalam hal ini adalah, persaingan antar suku di kantor pemerintah dan swasta, terminal bis, pusat perbelanjaan sampai universitas.

Setiap kelompok etnis di Kota Medan membutuhkan usaha untuk mengekspresikan identitas etnisnya lewat berbagai media dan simbol-simbol kehidupan budaya. Pengungkapan identitas ini sering dilakukan secara aktif dan sadar, seperti memakai pakaian adat, perhiasan, dan bahasa daerah agar orang dari kelompok etnis lainnya mengetahui identitas dan batas-batas antara mereka dan orang lain.18 Ekspresi identitas etnis ini dibutuhkan untuk mengukuhkan kesetiaan anggota kelompok etnis tersebut. Ekspresi identitas etnis tersebut juga

17

Usman Pelly, Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka Teoritis Dalam

Kasus Kota Medan dalam Interaksi Antar Suku Bangsa Yang Majemuk, Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hlm.2.

18


(31)

dapat berfungsi ganda, pertama memberikan pengukuhan dari dalam dan pengukuhan dari luar. Dalam acara perkawinan misalnya, masing-masing kelompok etnik mencoba memperlihatkan identitas etnisnya masing-masing.

Upacara adat yang megah adalah salah satu contoh ekspresi ini. Dengan demikian mereka ingin mendapatkan tempat di tengah masyarakat yang majemuk, agar mereka berada dan sekaligus dapat mempersatukan kesetiaan anggota kelompok etnis itu.


(32)

BAB III

LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA ORGANISASI ACEH SEPAKAT DI KOTA MEDAN

3.1. KEDATANGAN ORANG ACEH KE KOTA MEDAN

Menurut Mochtar Naim, merantau mengandung enam elemen utama, yaitu: 1) Meninggalkan kampung halaman

2) Biasanya dengan sukarela atau kemauan sendiri 3) Pergi untuk jangka waktu yang cukup lama

4) Dengan tujuan mencari nafkah, menuntut ilmu dan mencari pengalaman 5) Biasanya dengan niat untuk kembali ke kampung halaman

6) Secara kultural merantau ialah pola dari setiap masyarakat yang berkelompok19

Ketika merantau, maka perantau sangat dipengaruhi oleh adanya satu “misi budaya”, walaupun faktor-faktor “push-pull” mungkin saja merangsang orang untuk merantau.20 Hubungan budaya antar para migran dan adaptasi terhadap budaya tuan rumah yang dominan itu dipengaruhi oleh misi budaya para perantau selain oleh budaya yang dominan. Misi budaya juga dapat mempengaruhi pemilihan pekerjaan dan tempat-tempat pemukiman. Pemilihan-pemilihan pekerjaan dan pemukiman ini menggambarkan strategi adaptasi para perantau itu sendiri. Strategi-strategi adaptasi adalah cara-cara yang dipakai perantau untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk

19

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979, hlm.3.

20

Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan


(33)

memperoleh suatu keseimbangan positif dengan kondisi-kondisi latar belakang perantauan.21

Seperti kita ketahui, di Kota Medan terdapat pemukiman-pemukiman kelompok etnis yang bermukim di satu daerah tertentu. Dalam kelompok pemukiman ini, hubungan-hubungan dan kegiatan-kegiatan sosial tradisional kelompok etnik dari kampung halaman mereka akan tetap dipertahankan, misalnya melakukan upacara-upacara adat seperti di kampungnya, dan tetap menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari dengan sesama etnisnya.22 Pemukiman-pemukiman ini melestarikan kesinambungan budaya melalui interaksi sehari-hari, tukar menukar pemikiran mengenai pekerjaan, dan bagaimana menjalankan tradisi adat untuk setiap masalah yang timbul dalam perantauan.

Usman pelly dalam penelitiannya membagi beberapa pemukiman etnis yang ada di Kota Medan, akan tetapi ia tidak menegaskan pemukiman mana yang banyak dihuni oleh etnis Aceh. Ia berpendapat bahwa etnis Aceh lebih suka tinggal bersama-sama dengan etnis lainnya, misalnya dengan etnis Mandailing dan Minangkabau. Hal ini tampak dalam sensus populasi penduduk Kota Medan berdasarkan kelompok etniknya, misalnya di daerah Kota Maksum etnis Aceh berjumlah 1.112 jiwa, sementara etnis Minangkabau mendominasi daerah pemukiman dengan jumlah 13.888 jiwa. Di daerah Tegal Sari I etnis Aceh berjumlah 116 jiwa dan etnis Minangkabau 6.603 jiwa. Di daerah Sei Mati etnis Aceh berjumlah 603 jiwa dengan etnis Mandailing 2.503 jiwa, dan di daerah Bandar Selamat etnis Aceh berjumlah 76 jiwa dengan etnis Mandailing yang

21

Ibid., hlm.83.

22

Upacara ini seperti peusijuk (tepung tawar), yang dilakukan kepada orang yang baru melangsungkan acara perkawinan, dan akan berangkat menunaikan ibadah haji.


(34)

berjumlah 8.673 jiwa.23 Dari perhitungan di beberapa daerah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa etnis Aceh bukanlah menjadi etnis yang dominan di Kota Medan, dan dikategorikan dalam kelompok masyarakat yang tidak suka merantau. Naim mengemukakan bahwa etnis Aceh tidak pernah bermigrasi dalam jumlah yang besar ke suatu daerah tertentu, dan pola merantau bagi etnis Aceh lebih didominasi oleh faktor keempat yaitu dengan tujuan mencari nafkah, menuntut ilmu dan mencari pengalaman.24

Orang-orang Aceh telah datang ke Kota Medan sejak masa revolusi kemerdekaan, yaitu untuk membantu lasykar-layskar rakyat yang ada di Kota Medan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Ketika peristiwa Medan Area bergejolak, dua orang ulama yang cukup terkenal di Sumatera Timur, yaitu Kiyai Abdul Halim Hasan dan Kiyai Zainal Arifin Abbas membuat surat dan mengirim utusan khusus untuk menemui Ketua Umum PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) Tgk. Mohammad Daud Beuereuh di Banda Aceh.25 Isi surat tersebut mencakup tiga hal, yaitu:

1) Kehadiran Belanda di Medan Area jelas mengancam

kelangsungan hidup bangsa, negara RI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan membahayakan agama Islam.

2) Sudah waktunya kaum muslimin dari Aceh ikut serta membantu saudara-saudaranya di Sumatera Timur untuk melancarkan “Perang Jihad” dan “Perang Sabil” guna mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia.

23

Ibid., hlm. 111-119. Sensus populasi berdasarkan kelompok etnik ini berangka tahun 1981. Daerah Kota Maksum dan Tegal Sari I adalah daerah yang didominasi oleh etnis Minangkabau, sementara daerah Sei Mati dan daerah Bandar Selamat didominasi oleh etnis Mandailing. Penulis tidak mendapatkan data mengenai jumlah etnis Aceh yang bermukim di sekitar jalan Binjai dan Darussalam, karena ketiadaan data mengenai perhitungan penduduk di Kota Medan berdasarkan kelompok etniknya.

24

Mochtar Naim, op. cit., hlm. 46.

25

Tgk. A. K. Jacobi, Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area, Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001, 1992, hlm. 116.


(35)

3) Sumatera Timur Membutuhkan senjata berat, meriam-meriam besar kesatuan artileri yang mampu memblokir dan menghancurkan pasukan artileri Belanda yang memiliki senjata modern dan pesawat terbang.26

Surat tersebut mendapat tanggapan positif dari Tgk. Mohammad Daud Beureuh, yang kemudian memulai rencana pengiriman senjata berat ke Front Medan Area (Desember 1946), dan dilakukan oleh Komando Resimen II di Bireuen atas perintah Panglima Divisi Gajah-I, Kolonel Husin Yusuf. Pada saat itu Divisi Gajah-I telah selesai membentuk Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Cut Rachman, yang terdiri atas tiga batalyon. Daerah Medan Barat, batalyon-I RIMA di bawah pimpinan Kapten Ali Hanafiah ditempatkan di sekitar Kampung Lalang, daerah Medan Barat Laut, yaitu batalyon-II RIMA di bawah pimpinan Kapten Alamsyah ditempatkan sekitar Klumpang, dan terakhir daerah Medan Utara, batalyon-III RIMA di bawah pimpinan Kapten Ali Hasan As ditempatkan di sekitar Titi Payung/Hamparan Perak.27

Kedatangan orang Aceh ke Kota Medan juga tidak dapat dilepaskan dari kondisi di Aceh ketika peristiwa Darul Islam/Tentara Islam meletus, dan akibat dari peristiwa ini banyak orang Aceh yang berpindah ke Sumatera Utara terutama Kota Medan.28 Arus perpindahan orang-orang Aceh ke Kota Medan dipengaruhi oleh keadaan di Aceh yang pada saat itu tidak kondusif. Pada tahun

26

Ibid., hlm.118.

27

Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi: Perjuangan Kemerdekaan

Dalam Wilayah Sumatera Utara, jilid-1, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik

Indonesia Medan Area, 1976, hlm.401.

28

Arus perpindahan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan keturunan Uleebalang dan beberapa masyarakat lainnya merasa tidak aman karena kondisi pada saat itu, apalagi telah terjadi pergeseran nilai-nilai kehidupan sosial yang menyebabkan kaum Uleebalang ini tidak lagi berada pada posisi kelas sosial yang cukup baik. Ditambah lagi dengan kasus DI/TII yang semakin memperuncing keadaan di Aceh. Lihat Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hlm. 287.


(36)

1953 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII di bawah pimpinan Daud Beureuh. Daud Beureuh menyatakan Aceh dan daerah-daerah yang berbatasan dengannya menjadi bagian Negara Islam Indonesia.29 Peristiwa pemberontakan DI/TII ditandai dengan adanya tindak kekerasan melalui penyerangan-penyerangan terhadap kota-kota tertentu, kota-kota ini kemudian diduduki hanya untuk sementara dan mereka memperluas serangan ke daerah lainnya. Hampir ke seluruhan daerah Aceh dapat dikuasai oleh kelompok pemberontak DI/TII. Hanya beberapa kota saja terutama kota besar yang tidak dapat dikuasai oleh kelompok pemberontak ini seperti Banda Aceh, Sigli dan Langsa. Kondisi seperti ini mengakibatkan terjadinya kekhawatiran yang cukup tinggi bagi masyarakat Aceh sehingga menyebabkan mereka melakukan pergerakan/perpindahan ke kota lainnya yang mereka anggap lebih aman.

Jadi faktor keamanan diri dan keluarga menjadi alasan mereka berpindah, karena tidak ada satu orangpun yang dapat menjamin dirinya untuk tetap aman dalam keadaan kacau tersebut. Keadaan di Aceh mulai berangsur pulih setelah pemerintah melakukan pendekatan keamanan terhadap kedudukan pemberontak di kota-kota tertentu, seperti Banda Aceh, Beureun, Sigli dan Langsa. Hanya dalam beberapa minggu saja pasukan pemerintah telah berhasil memukul mundur pasukan DI/TII dari kota yang telah dikuasainya. Hal ini juga memberikan pengaruh bagi masyarakat Aceh sehingga ada yang memutuskan kembali ke daerahnya, karena daerah tempat tinggalnya telah diamankan oleh pemerintah. Sebagian lagi memutuskan untuk tetap tinggal di pengungsian hingga keadaanya benar-benar aman, dan ada juga yang memutuskan untuk

29


(37)

keluar dari Aceh dan menuju kota lain, seperti Medan dan sekitarnya yang mereka anggap lebih aman untuk dapat melakukan usaha-usaha di bidang ekonomi.30

Migrasi orang-orang Aceh ke Kota Medan yang dilakukan setelah tahun 50-an lebih didukung oleh faktor pendidikan. Mereka menganggap bahwa pendidikan di Kota Medan jauh lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah maupun universitas yang ada di Aceh, terutama karena kurangnya tenaga pengajar pada waktu itu.31 Beberapa tokoh masyarakat Aceh yang menjalani pendidikan di Kota Medan adalah H.M. Jusuf Hanafiah (USU), Teuku Marzuki Jacob (USU), Teuku Syamsul Bahri (USU), dan H. Muhammad TWH (UISU).

Berbeda halnya dengan alasan masyarakat Aceh yang pindah ke Kota Medan menjelang tahun 60-an, tidak lagi karena masalah keselamatan, tetapi lebih difokuskan pada alasan ekonomi, terutama untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukannya di Aceh. Tujuannya adalah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarganya dan sekaligus mengembangkan usahanya.32 Beberapa tokoh masyarakat Aceh yang bergerak di bidang wiraswasta adalah H.M. Noernikmat, Ramli Mahmoed, H. Mustafa Sulaiman, H.M. Ganie dan H.M. Joesoef Bahroen.

Seperti yang kita ketahui bahwa daerah yang menjadi tempat pemukiman untuk tempat tinggal orang-orang Aceh sekitar tahun 50-60 adalah jalan Binjai, Darussalam dan Kota Maksum. Selama berada di daerah ini orang-orang Aceh

30

Wawancara dengan H.M. Noernikmat, Medan, 20 Juli 2007. 31

Beberapa informan mengungkapkan hal yang sama bahwa tujuan mereka datang ke Kota Medan adalah untuk belajar di universitas yang bermutu dan lebih baik. Wawancara dengan H. M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.

32


(38)

dapat beradaptasi dengan masyarakat setempat melalui perkumpulan pengajian, arisan, dan serikat tolong-menolong atau STM yang dibentuk di daerah mereka tinggal.33 Hal ini terlihat dalam pergaulan orang-orang Aceh, mereka tidak pernah bertindak diskriminatif terhadap suku-suku lain walaupun berbeda budaya, misalnya dengan etnis Mandailing dan etnis Minangkabau. Bahkan mereka masih menganggap bahwa masyarakat etnis lain tersebut masih menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Mereka juga tidak pernah membedakan sikap dan pola pergaulan mereka terhadap masyarakat di luar etnis Aceh. Hal ini menyebabkan orang-orang Aceh yang ada di Kota Medan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat

Menurut Van Den Berghe, biasanya akan terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kebudayaan antara yang satu dengan yang lainnya.34 Maksud dari pernyataan ini lebih difokuskan pada dasar-dasar kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, misalnya etnis Batak Toba memiliki konsep budaya yang berseberangan dengan budaya etnis Aceh, mulai dari tata cara berbicara, model pakaian adat dan upacara perkawinan. Hal inilah yang dilihat Van Den Berghe yang dapat menyebabkan segmentasi budaya dalam suatu masyarakat. Hal yang diungkapkan oleh Van Den Berghe tidak terjadi pada pola kehidupan masyarakat Aceh ketika harus berhadapan atau beradaptasi dengan masyarakat lainnya yang ada di Kota Medan. Dengan demikian perbedaan kebudayaan antara etnis Aceh dengan etnis lainnya yang ada di Kota Medan tidaklah menjadi sebuah jurang pemisah, melainkan terjadinya adaptasi kebudayaan etnis Aceh dengan etnis lainnya di

33

Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.

34


(39)

Kota Medan. Hal ini tampak dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan etnis Aceh yang bermukim di Kota Medan dengan etnis lainnya, seperti mengadakan pengajian, dan membentuk serikat tolong-menolong.

Sejak kedatangan masyarakat Aceh di Kota Medan mereka telah berusaha untuk beradaptasi dengan pola kehidupan masyarakat Kota Medan yang majemuk. Perbedaan kebudayaan antara orang Aceh yang dikenal cukup dekat dengan nilai-nilai agama Islam agak sedikit berbeda dengan pola kehidupan masyarakat Kota Medan yang lebih bersifat terbuka dalam mempraktekkan kehidupan sosial dengan kehidupan agamanya. Perbedaan ini terlihat dari sikap etnis Aceh yang lebih suka berinteraksi dengan masyarakat yang beragama Islam, namun bukan berarti etnis Aceh tidak memiliki simpati terhadap masyarakat lain. Sementara etnis lainnya yang ada di Kota Medan tidak lagi menganggap masalah keagamaan sebagai masalah yang harus memisahkan tali kekerabatan. Hal ini dapat dilihat dari daerah pemukiman, bahwa etnis Aceh lebih senang tinggal di daerah pemukiman yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, misalnya di daerah pemukiman Minangkabau, Mandailing dan Jawa. Akan tetapi keadaan ini tidak menjadi hambatan bagi orang-orang Aceh untuk berkembang di daerah perantauannya.

Nilai-nilai agama yang dikenal dekat pada masyarakat Aceh tidak ditinggalkan mereka walaupun mereka berada di daerah perantauan. Hal ini ditandai dengan kegiatan-kegiatan masyarakat Aceh di Kota Medan yang tidak terlepas dari budaya asli mereka. Usaha tersebut ialah dengan mendirikan pusat pendidikan agama seperti pondok pesantren yang ditujukan untuk mengembangkan pendidikan agama Islam di Kota Medan. Pendiri pesantren


(40)

yang dikelola orang-orang Aceh ini adalah ustadz Syiahbuddin yang terletak di jalan Pasar II Medan Baru.35 Orang-orang Aceh tidak hanya bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga membangun mesjid-mesjid yang dijadikan sebagai sarana pengajian serta pengembangan dan pendalaman agama Islam.36

Fasilitas-fasilitas pendidikan yang didirikan di Kota Medan ini ternyata tidak hanya diperuntukkan bagi orang Aceh saja, tetapi masyarakat lainnya juga diberikan kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas yang mereka dirikan. Akan tetapi ada juga fasilitas yang hanya diperuntukkan bagi orang Aceh saja, seperti asrama yang hanya digunakan oleh mahasiswa dan pelajar-pelajar Aceh yang sedang menjalani pendidikan di Kota Medan.

Adaptasi kebudayaan yang dilakukan masyarakat Aceh dengan masyarakat Kota Medan dilakukan dengan cara perkawinan. Hal ini ditujukan untuk memperluas tali silaturahmi dan hubungan kekeluargaan antara masyarakat Aceh dengan masyarakat lainnya di Kota Medan.37 Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang Aceh berusaha untuk memperkenalkan budaya mereka terhadap masyarakat luar, tetapi mereka juga tidak menutup diri untuk mempelajari budaya masyarakat lain yang dianggap masih sesuai dengan nilai-nilai agama. Secara aktivitas orang-orang Aceh di Kota Medan mampu berinteraksi dengan baik dengan keadaan sosial di Kota Medan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya konflik antara masyarakat Aceh dengan masyarakat lainnya di Kota Medan.

35

Irini Dewi Wanti, op. cit., hlm. 45.

36

Wawancara dengan H.M. Noernikmat, Medan, 20 Juli 2007.

37


(41)

3.2.KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT ACEH DI KOTA MEDAN

Mayoritas masyarakat Aceh yang datang dan berdomisili di Kota Medan adalah orang-orang yang berasal dari daerah Pidie. Orang-orang Aceh yang berasal dari daerah Pidie ini kebanyakan bekerja di sektor wiraswasta. Wiraswasta atau berdagang bagi orang Pidie merupakan bagian dari tradisi yang dijalani secara turun-temurun oleh keluarganya, hal ini karena didukung oleh semangat merantau ke daerah lain untuk menguji keberuntungannya dalam bidang perdagangan.38 Masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai pedagang memusatkan kegiatan perdagangannya di daerah pusat pasar atau sentral dan di daerah Pasar Ikan Lama.39

Pemusatan pedagang-pedagang Aceh di pasar Ikan Lama sudah ada sekitar tahun 50-an, dan mayoritas pedagang-pedagang Aceh di pasar Ikan Lama tersebut menggeluti usaha ekspor impor dan perdagangan tekstil. Usaha perdagangan tekstil orang Aceh dikelola misalnya oleh Firma Tawison, Firma Puspa, Firma Pulau Perca, Firma Lubuk, Firma Permai, sedangkan yang bergerak di bidang ekspor impor ialah Firma Aceh Kongsi.40

Di samping bergerak di bidang perdagangan tekstil dan ekspor impor, usaha lain yang digeluti misalnya membuka usaha dagang makanan berupa restauran, yang bernama Atjeh Restauran yang terletak di jalan Letnan, menggeluti usaha transportasi lintasan Medan-Aceh yang berlokasi di jalan

38

Ahmad Sahur, op. cit., hlm. 14.

39

Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.

40


(42)

Gajahmada. Usaha ini telah ada sejak tahun 1959, dan nama angkutan tranportasi tersebut antara lain AFRA, S.T.C dan P.P.R.I.41

Aktivitas perekonomian masyarakat mayoritas etnis Aceh adalah wiraswasta, baik itu sebagai pedagang maupun sebagai pengusaha.42Tidaklah mengherankan bila keberadaan orang-orang Aceh di kota medan telah memberikan kontribusi bagi perkembangan organisasi Aceh Sepakat di kemudian hari. Selain menjadi pedagang maupun pengusaha, profesi masyarakat Aceh lainnya adalah sebagai PNS, wartawan, dan ABRI, hanya saja orang-orang Aceh yang menjadi Pegawai Negri Sipil tidak sebanyak orang-orang Aceh yang bekerja disektor wiraswasta.43 Kondisi ini didukung oleh karena sedikitnya masyarakat Aceh yang berpendidikan tinggi, sehingga sulit bagi mereka memegang jabatan-jabatan tinggi di kota Medan, ditambah lagi karena arus kepulangan orang-orang Aceh yang cukup bayak pasca peristiwa DI/TII pada tahun 1958.44 Keadaan pasca DI/TII ternyata cukup banyak berpengaruh bagi orang-orang Aceh yang ada di kota Medan. Hal ini ditandai dengan ikut pulangnya orang-orang Aceh yang berpendidikan di kota Medan dengan alasan untuk memperbaiki dan memulihkan keadan Aceh setelah peristiwa DI/TII. Posisi mereka sebagai putra daerah sangat menjanjikan bagi mereka untuk bisa mendapatkan posisi-posisi penting di Aceh terutama bagi mereka yang telah mengecap pendidikan di Perguruan Tinggi, sehingga hanya sebagian kecil saja masyarakat Aceh yang masih menetap di Kota Medan. Hal ini tampak dari

41

Roestam Thaib, 50 Tahun Kotapraja Medan, Medan: Djawatan Penerangan Kotapraja-I Medan, 1959, hlm.810.

42

Pengusaha ialah orang yang berusaha dalam suatu bidang apapun dalam hal ekonomi, sedangkan pedagang ialah orang yang pekerjaannya berjualan suatu barang dagangan.

43

Wawancara dengan Hasballah Thaib, Medan, 11 Juni 2007.

44


(43)

keberadaan masyarakat Aceh hingga tahun 1980-an berjumlah hanya 28.390 jiwa saja, sehingga menempatkan masyarakat Aceh menjadi golongan minoritas, selain beberapa suku minoritas lainnya, seperti Nias, Batak Dairi, dan Batak Simalungun.

Mengenai sistem mata pencaharian masyarakat Aceh, sedikit banyak telah mengalami adaptasi pada keadaan masyarakat Kota Medan, artinya masyarakat Aceh mulai mengenal jenis-jenis barang kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat lainnya yang ada di Kota Medan. Maksunya bahwa pedagang-pedagang asal Aceh juga menjadi pemasok kebutuhan masyarakat Kota Medan, selain masyarakat Minangkabau.

3.3. LAHIRNYA ORGANISASI ACEH SEPAKAT

Seperti telah disebutkan bahwa ide untuk mengumpulkan orang-orang Aceh dalam suatu organisasi sebenarnya telah ada sejak sekitar tahun 50-an. Akan tetapi peristiwa DI/TII di Aceh telah membuat masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan tidak berani mendirikan organisasi/perkumpulan yang bersifat etnis.45 Akan tetapi peristiwa G30S memunculkan kembali keinginan itu, sehingga tokoh-tokoh penting masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan khawatir peristiwa itu dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan, dengan demikian mereka perlu mengambil sikap untuk menghadapi hal ini. Mereka berkeinginan menghimpun seluruh komunitas

45

Orang-orang Aceh yang ada di Kota Medan takut disangka mendukung pemberontakan yang terjadi di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan konflik juga di Kota Medan terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Dalam Wawancara dengan Muhammad TWH, Medan, 18 Juni 2007.


(44)

masyarakat Aceh dalam suatu wadah organisasi yang bertujuan untuk mengakomodasikan seluruh potensi dan pemikiran dari masyarakat Aceh.

Apalagi pada saat itu masyarakat Aceh masih terpecah atas perkumpulan etnis Aceh berdasarkan asal daerahnya seperti perkumpulan masyarakat Aceh Gayo, perkumpulan masyarakat Aceh Selatan, organisasi PERKASA, STM Aceh Sepakat dan perkumpulan masyarakat Aceh Barat.46 Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa kedudukan Aceh Sepakat disini bukanlah sebagai sebuah organisasi seperti Aceh Sepakat sekarang ini, melainkan hanya berupa perkumpulan serikat tolong-menolong saja.47

Keinginan untuk menyatukan perkumpulan-perkumpulan masyarakat Aceh di Kota Medan untuk menjadi suatu organisasi besar, dipelopori oleh tokoh-tokoh Almarhum Teuku Manyak, Hasballah Haji, Ramli Mahmoed, Abdullah Hasan, Teuku Banta Ali dan Yusuf Bahrum.48 Terhadap keinginan ini muncul sikap pro dan kontra. Sikap kontra misalnya datang dari organisasi PERKASA, perkumpulan Aceh Gayo, perkumpulan Aceh Barat dan perkumpulan Aceh Selatan, dengan alasan bahwa kehadiran organisasi baru nantinya akan mematikan kredibilitas mereka sebagai perkumpulan yang telah ada sebelumnya.49

Sikap dukungan terhadap penyatuan perkumpulan yang ada dalam suatu organisasi baru lebih didasari pada masalah integritas masyarakat Aceh. Ide untuk membangun organisasi Aceh Sepakat juga banyak dipengaruhi oleh keresahan yang berasal dari dalam masyarakat Aceh sendiri, karena mereka

46

Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007. 47

Wawancara dengan Muhammad TWH, Medan, 18 Juni 2007.

48

Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.

49


(45)

belum merasa bersatu secara utuh sebagai suatu etnis Aceh. Keadaan pro dan kontra tidaklah mematikan masyarakat Aceh untuk menghadirkan Aceh Sepakat sebagai sebuah organisasi yang menaungi masyarakat Aceh yang bermukim di Kota Medan. Hal seperti inilah yang lebih mendasari lahirnya organisasi yang bernuansa etnis, bernama Aceh Sepakat, yang berdiri pada 31 desember 1968.50

Munculnya organisasi Aceh Sepakat dinilai sebagai jawaban yang realistis dalam menampung dan meredakan keresahan masyarakat Aceh terutama terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di Aceh. Keberadaan perkumpulan STM Aceh Sepakat yang telah ada sejak zaman pra kemerdekaan mencerminkan persatuan dan kesatuan dari masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan. Organisasi ini diberi nama Aceh Sepakat juga karena didasarkan faktor historisnya, maka tidak heran bila akhirnya nama “Aceh Sepakat” yang menjadi nama sebuah organisasi bagi masyarakat Aceh yang bermukim di Kota Medan.51

Pada awal berdirinya, susunan organisasi Aceh Sepakat (1968) masih sangat sederhana, dengan pengertian belum memiliki struktur organisasi yang kompleks (terdiri dari Biro dan Seksi). Permasalahan yang dihadapi organisasi ini pada awal berdirinya lebih didasarkan pada keadaan badan-badan organisasi yang belum lengkap. Organisasi ini hanya memiliki struktur yang masih sederhana dan keberadaannya juga masih terpusat di Kota Medan saja.52 Kondisi ini menyebabkan terbatasnya sosialisasi mengenai keberadaan organisasi Aceh

50

Lihat Lampiran III.

51

Organisasi ini tidak hanya ada di Kota Medan, tetapi ada beberapa Cabang dan Anak Cabang di sekitar Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi organisasi ini tidak ada diluar daerah Sumatera Utara. Wawancara dengan Dinar Nyak Idhien Wali, Medan, 13 Juli 2007.

52

Kantor organisasi Aceh Sepakat pertama ialah di jalan Pangeran Diponegoro (sekarang menjadi Rumah Sakit Islam Malahayati). Dalam Wawancara dengan Muhammad TWH, Medan 18 Juni 2007.


(46)

Sepakat ini, sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Aceh yang berada di luar Kota Medan sama sekali tidak mengetahui organisasi Aceh Sepakat ini.

Walaupun cabang-cabang organisasi Aceh Sepakat di daerah lain belum terbentuk, tetapi organisasi ini telah mampu menyedot lebih kurang 200 orang anggota.53 Jumlah ini menunjukkan bahwa perhatian orang-orang Aceh yang bermukim di Kota Medan saat itu cukup tinggi terhadap organisasi ini, mengingat jumlah tersebut hanya diperoleh di sekitar Kota Medan saja.

Akan tetapi keadaan ini tidak menjadikan organisasi Aceh Sepakat vakum pada awal berdirinya, karena pada tahun 1969 organisasi ini berhasil mengadakan musyawarah serta ikrar bersama dengan mengikut sertakan semua anggota organisasi yang telah ada sebelumnya.54 Hal ini merupakan kinerja organisasi Aceh Sepakat pada awal berdirinya yang dipimpin oleh H. Mohammad Jusuf Hanafiah sebagai ketua umum pertama (1968-1969).

Sejak awal berdirinya organisasi Aceh Sepakat ini telah banyak didominasi oleh orang-orang berpendidikan, karena kebanyakan orang-orang yang masuk dalam organisasi ini berasal dari organisasi IPTR (Ikatan Pelajar Tanah Rencong) yang memang disiapkan sebagai kalangan intelektualitas dalam masyarakat Aceh.55 Di samping para intelektual, orang-orang yang tergabung dalam organisasi ini kebanyakan berasal dari Aceh Pidie dan Aceh Besar dan

53

Wawancara dengan H.M. Noernikmat, Medan, 20 Juli 2007.

54

Kongres ini tidak hanya dihadiri oleh pengurus organisasi saja, tetapi juga telah melibatkan masyarakat Aceh lainnya yang ada di Kota Medan. Dengan kata lain Kongres I organisasi Aceh Sepakat tidak bersifat tertutup. Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan 11 Juni 2007.

55

IPTR adalah sebuah organisasi yang dibentuk untuk menampung para pelajar/mahasiswa asal Aceh, yang dibentuk pada 13 Juni 1953. Organisasi ini juga turut membantu pengembangan kesenian Aceh di Kota Medan. Wawancara dengan H.M. Noernikmat, Medan 20 Juli 2007.


(47)

dukungan bagi organisasi ini juga didominasi oleh para pengusaha-pengusaha Aceh yang ada di Kota Medan.56

Mengenai sumber dana yang diperoleh oleh organisasi aceh sepakat, selain dengan diririkannya beberapa usaha seperti RSI Malahayati, dana Organisasi Aceh Sepakat ini didapatkan dari hasil infak, sumbangan-sumbangan dari masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan serta sumbangan-sumbangan pusat atau daerah Aceh. Dana yang dialokasikan untuk membangun fasilitas-fasilitas Organisasi Aceh Sepakat yang juga ditujukan untuk kemaslahatan orang banyak, sebab Organisasi Aceh Sepakat ini memang lebih difokuskan pada organisasi sosial, sehingga kegiatan ekonominya pun lebih bersifat luas melingkupi anggota-anggotanya dalam organisasi.

3.4. STRUKTUR ORGANISASI ACEH SEPAKAT

Dalam suatu organisasi biasanya terdapat susunan atau struktur yang mengatur pelaksanaan kegiatan organisasi tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam jabatan atau tugas dari setiap pelaksanaan kegiatan organisasi. Dengan demikian, struktur organisasi yang jelas akan menyebabkan personil yang ada di dalamnya mengetahui dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan yang diinginkan organisasi.

Pada awal terbentuknya Organisasi Aceh Sepakat, struktur organisasinya masih sangat sederhana, karena organisasi Aceh Sepakat hanya terdiri dari Ketua Umum, Sekretaris dan Bendahara.57 Sebagai ketua pertama organisasi Aceh Sepakat adalah H.M Jusuf Hanafiah, dan proses pengangkatan awal ketua umum

56

Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.

57


(48)

lebih didasarkan kepada pengalaman berorganisasi yang dimiliki oleh orang yang dicalonkan sebagai ketua umum. Selama proses pengangkatan awal ketua umum organisasi ini, terjadi persaingan yang menyangkut dengan masalah daerah, karena masing-masing daerah yang mencalonkan kandidat ketua umum lebih menekankan pada faktor etnisnya. Contohnya adalah masyarakat Aceh Gayo lebih menginginkan ketua umum yang akan naik nantinya merupakan bagian dari mereka. Persaingan seperti inilah yang muncul pada saat pemilihan ketua pertama kalinya.

Persoalan ini mendapat perhatian serius dari dari para tokoh pelopor Aceh Sepakat, seperti Teuku Manyak, Hasballah Haji, Ramli Mahmoed, Abdullah Hasan, dan Teuku Banta Ali. Masalah asal usul etnis ini disadari dapat merenggangkan bahkan mampu merusak kerja sama yang telah ada. Berdasarkan hal itulah muncul kesepakatan untuk memilih Ketua Umum yang lebih netral (tidak memihak).58 Untuk periode pertama ini terpilihlah H.M. Jusuf Hanafiah sebagai Ketua Umum organisasi Aceh Sepakat.

Pada 26 Oktober 1969 dilaksanakan kongres I di Kota Medan. Dalam kongres ini telah diusahakan perbaikan terhadap kondisi organisasi ini. Di samping itu Kongres I ini juga dilakukan pemilihan ketua umum untuk periode II, dan terpilihlah Hasballah Haji sebagai Ketua Umum Aceh Sepakat. Usaha perbaikan terhadap organisasi ini dapat dilihat dari struktur organisasinya yang telah menambah jumlah ketua-ketua untuk menangani bidang-bidang tertentu. Untuk lebih jelas dapat dilihat dari bagan berikut ini:

58

Persyaratan ini ditujukan untuk menghindari keterpihakan dalam organisasi Aceh Sepakat, sehingga nantinya organisasi Aceh Sepakat ini benar-benar dapat menjadi organisasi milik orang Aceh sepenuhnya. Wawancara dengan H.M. Jusuf Hanafiah, Medan, 11 Juni 2007.


(49)

Struktur DPP Organisasi Aceh Sepakat Tahun 1969-Sekarang

Ketua Umum

Ketua Ketua Ketua Ketua Ketua

Sekretaris Umum

Sekretaris Sekretaris Sekretaris Sekretaris Sekretaris

Bendahara Bendahara

Ketua Umum sebagai pimpinan puncak organisasi, sementara ketua-ketua lainnya membawahi beberapa biro-biro seperti, Biro agama dan adat, Biro kesejahteraan sosial dan pendidikan, Biro ekonomi, Biro kesehatan dan Biro bantuan hukum. Demikian juga halnya dengan keberadaan sekretaris umum dan sekretaris. Ketua-ketua ini membidangi beberapa biro yang terbentuk di organisasi Aceh Sepakat. Ketua I membidangi Biro Agama dan Adat. Ketua II membidangi Biro Kesejahteraan Sosial dan Pendidikan. Ketua III membidangi Biro Ekonomi, Usaha dan Pembinaan Dana. Ketua IV membidangi Biro Kesehatan, Kebudayaan dan Olah Raga. Ketua V membidangi Biro Bantuan Hukum, Pengerahan Massa dan Humas.

Dewan Pimpinan Pusat organisasi Aceh Sepakat mempunyai fungsi sebagai pimpinan dan penanggung jawab organisasi pada tingkat pusat. Tugas yang dimiliki Dewan Pimpinan Pusat antara lain :


(50)

a. Merencanakan dan memimpin pengelolaan organisasi, administrasi, keungan pada tingkat pusat serta seluruh jajarannya dengan penuh kebijaksanaan dan menjiwai aspirasi anggota berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam melaksanakan program umum organisasi.

b. Membina, mendorong dan memonitor kegiatan pengelolaan organisasi di tingkat cabang agar senantiasa berjalan memenuhi hasrat anggota berdasarkan ketentuan AD/ART.

c. Merencanakan anggaran biaya dan pendapatan organisasi

d. Menghimpun potensi dan dana untuk membangung sarana-sarang yang diperlukan menurut urutan prioritas yang telah ditetapkan.

e. Memberikan pertanggungjawaban kerja kepada Musyawarah Besar. f. Membukukan setiap pemasukan dan pengeluaran dana dengan tertib dan

teratur menurut ketentuan prosedur pembukuan untuk memungkinkan dan memudahkan pengawasan dan pemeriksaaan baik oleh petugas dewan musafat atau jika perlu tim pemeriksa keuangan ataupun untuk diaudit oleh akuntan publik.

g. Menyimpan seluruh dana milik Aceh Sepakat disalah satu bank tertentu atas nama dan nomor rekening Aceh Sepakat dengan kuasa penandatanganan cek, giro dan lain-lain surat berharga oleh dua orang bersama-sama, terdiri dari ketua umum dan seorang bendahara yang ditetapkan atau jika salah seorang berhalangan maka oleh ketua umum dapat menguasakan kepada salah seorang ketua atau bendaraha pengganti lain untuk sementara dan jika kedua orang tersebut berhalangan maka


(51)

DPP dapat menetapkan seorang ketua dan bendahara lain untuk menggantikannya.

Adapun wewenang DPP ialah sebagai berikut :

a. Mempekerjakan, mengangkat dan menetapkan kepala tata usaha sebagai kepala bagian, tenaga pembukuan dan tenaga-tenaga sekretariat untuk bertugas dan bertanggungjawab terhadap ketertiban pelaksanaan pekerjaan administrasi dan pembukuan keuangan organisasi serta menetapkan pendapatan masing-masing mereka sesuai dengan kemampuan yang ada.

b. Memilih, menetapkan atau memberhentikan dan membubarkan personalia atau biro-biro/seksi-seksi pembantu DPP apabila perlu.

c. Mengisi lowongan anggota DPP yang kosong karena meninggal dunia, kepindahan, mengundurkan diri dan diberhentikan/dipecat karena tidak mentaati AD/ART dengan persetujuan pleno dewan musapat.

d. Memberhentikan, mengangkat/menetapkan pengganti anggota DPP yang tidak aktif dengan persetujuan musyawarah Dewan Musapat.

e. Mensahkan dan melantik susunan/personalia biro-biro Dewan Pimpinan Cabang dan meresmikan berdiri cabang-cabang.

f. Mengadakan ikatan-ikatan khusus dengan badan/organisasi masyarakat Aceh lainnya dengan terlebih dahulu diberitahukan dan dengan persetujuan Dewan Musapat.

g. Menjual, mengalihkan hak, menerima ganti rugi, meminjamkan dalam jangka panjang harta tetap maupun harta bergerak milik organisasi harus dengan surat keputusan musyawarah Dewan Musapat.


(52)

Pada tahun 1975 dibentuk Dewan Musapat, yang kedudukannya setara dengan DPP Aceh Sepakat. Dewan Musapat terdiri dari beberapa orang yang dipilih untuk mengisi jabatan yang terdiri dari satu orang ketua umum dan 4 orang ketua, seorang sekretaris umum dan 4 orang sekretaris serta dilengkapi dengan 19 orang anggota. Orang-orang yang menjadi anggota Dewan Musapat adalah anggota yang dianggap berjasa terhadap organisasi, maupun anggota yang pernah menjabat di posisi DPP. Dewan Musapat ini memiliki fungsi sebagai pengawas diantara dua musyawarah besar, dan fungsinya mengawasi kebijaksanaan DPP dalam pelaksanaan organisasi, administrasi dan program umum untuk menjamin kelancaran pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan AD/ART. Adapun wewenang dari Dewan Musapat adalah:

a. Pleno DM berwenang menyetujui, mensyahkan atau menolak calon pengganti Anggota Pleno DM yang lowong karena meninggal dunia, kepindahan, mengundurkan diri dan diberhentikan/dipecat karena tidak mentaati AD/ART.

b. Musyawarah DM dapat menyetujui, mensyahkan atau menolak usul DM, DPP atau badan/organisasi khusus untuk memberhentikan dan mengangkat/menetapkan pengganti anggota DPP atau DM yang tidak aktif.

c. Pleno DM dapat menyetujui atau menolak permintaan DPP untuk menjual atau melepaskan hak atau menerima ganti rugi atau meminjamkan untuk jangka panjang tetap ataupun harta bergerak milik organisasi.


(53)

d. Pleno DM dapat membatalkan keputusan DPP apabila ternyata menyimpang atau bertentangan dengan ketentuan AD/ART.

e. Musyawarah DM dapat membekukan DPP apabila telah berulang kali diperingatkan secara tertulis dan ternyata tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan AD/ART.

f. Unsur Pleno DM harus diangkat oleh badan/organisasi khusus untuk menjadi pengawasnya dengan persetujuan musyawarah DM.

g. Pleno DM dapat memberi saran dan pendapat untuk mendorong DPP dalam pengelolaan organisasi, administrasi, keuangan dan program umum organisasi.

Tidak hanya itu saja, di tahun 1984 Organisasi Aceh Sepakat mulai membentuk biro-biro dalam usaha mengembangkan kegiatan dalam organisasi. Pada tahun 1984 ini telah dibentuk 2 biro yang khusus mengurus masalah ekonomi organisasi, yaitu biro ekonomi, usaha dan pembinaan dana. Biro ekonomi ini diketuai oleh M. Nasir Amin Yacob, dan biro ekonomi ini berfungsi sebagai biro yang mengatur segala bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan organisasi aceh sepakat. Biro usaha dan pembinaan dana diketuai oleh Fauzi Hasballah yang berfungsi sebagai biro yang mengembangkan, serta mengelola dan mencari terobosan usaha sekaligus mengontrol pendanaan-pendanaan dari setiap kegiatan ekonomi dan aktivitas lainnya yang dilakukan oleh Organisasi Aceh Sepakat.

Pada periode berikutnya Organisasi Aceh Sepakat melakukan penyempurnaan terhadap biro-biro ekonomi yang telah ada selama ini, salah satunya dengan mengembangkannya kepada biro bidang keuangan dan lembaga


(54)

dana. Biro ini terdiri dari 3 anak biro yang masing-masing terdiri dari biro penggalangan dana internal dan eksternal, biro keuangan mikro, syariah dan perbankan, biro amil zakat, infak dan sadaqah. Biro ini lebih difokuskan untuk mengurusi masalah dana-dana yang masuk bagi organisasi aceh sepakat. Kemudian dibentuknya biro bidang ekonomi dan pembinaan usaha yang juga terdiri dari 3 anak biro, yaitu biro usasha mikro/kecil, menengah dan koperasi, biro agrobisnis dan biro sentra pemasaran hasil usaha. Biro-biro ini lebih difokuskan untuk mengelola dan mengembangkan usaha ekonomi dari organisasi aceh sepakat.

Hingga tahun 90an struktur organisasi ini masih tetap dipertahankan, karena struktur ini dianggap masih relevan dengan kondisi saat ini. Beberapa tambahan biro-biro aceh sepakat dilakukan, tetapi struktur utama masih tetap sama.

3.5. PEMBENTUKAN CABANG-CABANG DAN ANAK CABANG

Dalam perkembangannya, organisasi aceh sepakat berusaha untuk memperluas jaringan di Kota Medan. Salah satu cara untuk memperluas jaringannya adalah dengan cara membentuk cabang organisasi yang letaknya di luar daerah pusat. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor keslulitan dari masyarakat aceh yang berada jauh dari daerah pusat untuk menyampaikan buah pikiran maupun permasalahan-permasalahan yang terjadi di daerah mereka. Selama ini setiap permasalahan ataupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Aceh selalu difokuskan serta diurus oleh DPP Aceh Sepakat.


(55)

Keadaan ini tentunya dapat mempersulit DPP Aceh Sepakat dalam efektivitas kerja. Oleh karena itu Organisasi Aceh sepakat memutuskan untuk membentuk beberapa cabang yang ditujukan untuk membantu masyarakat Aceh yang ada di daerahnya serta memudahkan bagi DPP Aceh Sepakat dalam menjalankan aktivitasnya.

Pembentukan cabang-cabang organisasi Aceh Sepakat dilakukan sekitar tahun 70an dengan mempertimbangkan banyaknya orang-orang aceh yang bermukim di daerah tsb.59 Meskipun demikian, tujuan pembentukan cabang-cabang Organisasi Aceh Sepakat ini difokuskan pada faktor efektivitas kerja organisasi. Adapun beberapa cabang-cabang Aceh Sepakat yang terdapat di Kota Medan adalah sbb :

1. cabang I Medan Area, bertempat di Jln. Medan Area Selatan No. 333 Medan.

2. cabang II Medan Baru, bertempat di Jln. Mengkara No. 2 Medan. 3. cabang III Medan Perjuangan, bertempat di Jln. Sehati No. 49C,

Medan.

4. cabang IV Medan Glugur, bertempat di Jln. Pendidikan no. 30, Glugur Darat II, Medan Timur.

5. cabang V Medan Sunggal, bertempat di Jln. Binjai km.5,5 no. 111 Medan.

6. cabang VI Medan Helvetia bertempat di Jln. Tanjung raya no. 48E Medan.

59


(56)

Cabang Organisasi Aceh Sepakat yang terletak di Jln. Medan Area Selatan (cabang I) dulunya merupakan tempat Organisasi Perkasa, demikian juga halnya dengan cabang Aceh Sepakat yang terletak di Medan Binjai, awalnya merupakan tempat kedudukan organisasi PMA (Perkumpulan Masyarakat Aceh).60 Keberadaan cabang-cabang Aceh Sepakat tidak hanya terdapat di Kota Medan saja, tetapi juga mencakup beberapa daerah lainnya yang masih terletak di Provinsi Sumatera Utara, misalnya Cabang VII di Kota Binjai, cabang VIII di Tanjung Pura, cabang IX di Pangkalan Brandan dan cabang X di Pangkalan Susu. Fungsi dari cabang Organisasi Aceh Sepakat ini adalah sebagai sarana untuk merekrut anggota dan juga untuk mempererat tali silaturahmi antara DPP Aceh Sepakat dengan kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang ada di daerah tersebut.

Cabang-cabang Organisasi Aceh Sepakat ini dibentuk melalui dana yang didapat dari hasil uang pangkal serta sumbangan-sumbangan sukarela maupun hasil-hasil usaha yg dilakukan oleh Organisasi Aceh Sepakat. Keberadaan cabang-cabang organisasi Aceh Sepakat dinilai dapat memberikan banyak bantuan bagi DPP Aceh Sepakat dalam mengatasi masalah-masalah yang menyangkut keberadaan masyarakat Aceh di beberapa daerah. Dengan adanya cabang-cabang Organisasi Aceh Sepakat ini, permasalahan yang muncul di tingkat daerah dapat diselesaikan terlebih dahulu oleh cabang organisasi Aceh Sepakat dan apabila permasalahan belum dapat diselesaikan, barulah dikirim ke tingkat pusat. Masalah-masalah ini misalnya yang berkaitan dengan masalah pendidikan, seperti biaya pendidikan bagi masyarakat Aceh yang kurang mampu

60


(57)

dalam menyekolahkan anak-anaknya, masalah tanah di sekitar masyarakat Aceh bermukim dan masalah-keorganisasian yang ada di tingkat cabang maupun anak cabang.

Fungsi dari DPC adalah sebagai pimpinan dan penanggungjawab organisasi di tingkat cabang. Adapun tugas dari DPC ialah :

a. Melaksanakan program kerja organisasi di tingkat cabang berdasarkan program umum yang telah ditetapkan oleh MUBES dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh DPP.

b. Membina, mendorong dan memonitor kegiatan pengelolaan organisasi ditingkat anak cabang.

c. Memberikan laporan-laporan kepada DPP tentang kegiatan organisasi.

d. Memberikan laporan pertanggungjawaban kepada musyawarah cabang.

Cabang-cabang ini mempunyai Anak Cabang (Ancab) yang dipertanggungjawabkan oleh DPC. Pembentukan Ancab ini berdasarkan populasi masyarakat Aceh yang bermukim di daerah tersebut, Misalnya Ancab II cabang IV Pulau Brayan Bengkel Medan. Ancab ini sudah berdiri sejak tahun 1989.

Fungsi Anak Cabang adalah sebagai pengurus dan penanggung jawab organisasi di tingkat Anak Cabang. Adapun tugas dan wewenang dari Anak Cabang adalah:


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Masyarakat Aceh yang bermukim di Kota Medan mempunyai perkumpulan atau sering diistilahkan dengan paguyuban yaitu dalam bentuk organisasi yang bernama Aceh Sepakat. Tujuan didirikannya organisasi ini secara umum untuk menggalang persatuan dan kesatuan sesama masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan, rasa senasib seberuntungan, tolong menolong terutama terhadap mereka yang tertimpa musibah serta rasa ingin membantu terhadap orang Aceh lemah ekonominya di perantauan dalam khenduri udeep dan khenduri matee, yang tertimpa musibah maupun yang sehat.

Pada awal berdirinya, susunan organisasi Aceh Sepakat (1968) masih sangat sederhana, dengan pengertian belum memiliki struktur organisasi yang kompleks (terdiri dari Biro dan Seksi). Permasalahan yang dihadapi organisasi ini pada awal berdirinya lebih didasarkan pada keadaan badan-badan organisasi yang belum lengkap. Organisasi ini hanya memiliki struktur yang masih sederhana dan keberadaannya juga masih terpusat di Kota Medan saja. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya sosialisasi mengenai keberadaan organisasi Aceh Sepakat ini, sehingga mengakibatkan banyak orang-orang Aceh yang berada di luar Kota Medan sama sekali tidak mengetahui organisasi Aceh Sepakat ini.

Akan tetapi keadaan ini tidak menjadikan organisasi Aceh Sepakat vakum pada awal berdirinya, karena pada tahun 1969 organisasi ini berhasil mengadakan musyawarah serta ikrar bersama dengan mengikut sertakan semua


(2)

anggota organisasi yang telah ada sebelumnya. Hal ini merupakan kinerja organisasi Aceh Sepakat pada awal berdirinya yang dipimpin oleh H. Mohammad Jusuf Hanafiah sebagai ketua umum pertama (1968-1969).

Aceh Sepakat seringkali melaksanakan kegiatan-kegiatan amal yang ditujukan untuk menggalang dana untuk bantuan sosial, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Rasa senasib dan sepenanggungan sebagai etnis perantau telah membuat masyarakat Aceh yang ada di medan memiliki rasa persaudaraan dan rasa sosial yang cukup tinggi. Melalui Aceh Sepakat rasa sepenanggungan dan tolong menolong ini diwujudkan, dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran dan kebaikan hidup bagi seluruh masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan.

Selain itu Organisasi Aceh Sepakat juga bergerak untuk mengumpulkan dan menyalurkan bantuan tenaga atau dana kepada anggotanya yang membutuhkan karena tertimpa musibah. Organisasi Aceh Sepakat dikenal sebagai organisasi yang berusaha membangun serta mempertahankan nilai-nilai agama dan adat istiadat bagi seluruh masyarakat Aceh yang ada di perantauan khususnya di Kota Medan, sehingga keberadaan organisasi ini dapat menimbulkan kedekatan masyarakat Aceh yang ada di perantauan bagi kedua hal tersebut.

Aktivitas organisasi Aceh Sepakat ini tidaklah untuk masyarakat Aceh saja, akan tetapi juga bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat dilihat dari fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh organisasi Aceh Sepakat, seperti Rumah Sakit Islam Malahayati, yayasan penyantunan yatim piatu Darul Aitam, yayasan ini tidak hanya menampung anak-anak yatim dari masyarakat Aceh saja tetapi juga bagi


(3)

anak-anak yatim dari suku bangsa lainnya yang dianggap layak, dan yayasan wakaf Pendidikan Islam Miftahussalam yang terdiri dari asrama mahasiswa dan pemuda, sekolah khusus agama terdiri dari diniyah, tsanawiyah dan aliyah serta sekolah umum SMP dan SMU, serta bangunan keagamaan berupa meunasah dan mesjid yang dapat digunakan oleh masyarakat lainnya

5.2. Saran

Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis menyarankan bagi organisasi Aceh Sepakat agar benar-benar menjadi organisasi yang terus dapat menjaga keharmonisan bagi masyarakat Aceh yang ada diperantauan khususnya daerah di sekitar Sumatera Utara. Tidak hanya itu saja, organisasi Aceh Sepakat juga diharapkan dapat terus menjalin dan memelihara hubungan sosial yang lebih baik antara masyarakat Aceh dengan masyarakat lainnya yang ada di Kota Medan.

Meninjau keadaan dan kondisi Nangroe Aceh Darussalam yang telah memasuki tahap kehidupan baru dengan terwujudnya kata damai dengan pemerintah, diharapkan agar organisasi Aceh Sepakat dapat menjadi motor penggerak bagi pelaksanaan perjanjian damai secara utuh dan sempurna, sehingga dapat membawa kebaikan dan perkembangan pembangunan bagi daerah Aceh. Diharapkan adanya kontribusi dari seluruh elemen organisasi Aceh Sepakat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan yang lebih damai, tenteram dan sejahtera bagi Nangroe Aceh Darussalam.


(4)

Organisasi Aceh Sepakat juga diharapkan untuk dapat terus menggalng persatuan dan kesatuan bagi anggota-anggotanya dalam memberikan bantuan baik secara moril maupun materil bagi para perantau Aceh yang mendapat masalah ekonomi dengan jalan memberikan sebuah peluang usaha untuk mere agar dapat bertahan di perantauan, sekaligus untuk menghindari kesenjangan sosial diantara sesama masyarakat Aceh yang ada di Kota Medan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian (ed.), Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1977.

Bachtiar, Harsja W., Negeri Taram: Desa Minangkabau, dalam Koentjaraningrat (ed.), Masyarakat Desa Indonesia Masa Ini, Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964. Barth, Fredrik (ed.), Kelompok Etnik Dan Batasannya, Terj. Nining I. Soesilo,

Jakarta: UI Press, 1988.

Biro Sejarah Prima, Medan Area Mengisi Proklamasi: Perjuangan Kemerdekaan Dalam Wilayah Sumatera Utara, jilid-1, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.

Dijk, Cornelis Van, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta: Grafiti Pers, 1983.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985.

Hasil Rumusan Komisi C. MUBES VIII Aceh Sepakat, tentang: Kelembagaan Yayasan/Badan Usaha dan Rekomendasi MUBES VIII, Medan: Tahun 1997.

Jacobi, Tgk. A. K., Aceh Daerah Modal: Long March ke Medan Area, Jakarta: Yayasan Seulawah RI-001, 1992.

Ketaren, Sabarita, Skripsi: Batasan Etnis dan Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Multi-Etnis, Medan: Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Antropologi, 1994.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1974.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995.

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1979.

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: C.V Rajawali, 1984.

Pelly, Usman, Hubungan Antar Kelompok Etnis, Beberapa Kerangka Teoritis Dalam Kasus Kota Medan dalam Interaksi Antar Suku Bangsa Yang Majemuk, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.


(6)

, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1994.

Roestam Thaib, 50 Tahun Kotapraja Medan, Medan: Djawatan Penerangan Kotapraja-I Medan, 1959.

Sahur, Ahmad, Merantau Bagi Orang Pidie, dalam Migrasi, Kolonisasi dan Perubahan Sosial, Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Pustaka Grafika Kita, 1988.

Sembiring Pelawi, Kencana, Corak dan Pola Hubungan Sosial Antara Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

TWH, Muhammad, Sumatera Utara Bergelora: Kisah-kisah Nyata Perang Kemerdekaan Republik Indonesia, Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, 1999.

Wanti, Irini Dewi, Kehidupan Masyarakat Etnis Aceh Perantauan di Kota Medan 1950-1999, Banda Aceh: Departemen Pendidikan Nasional, Kantor Wilayah Propinsi D.I. Aceh, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2000.