Kedatangan dan Perkembangan Wayang Kulit di Kota Medan Tahun 1970-1990
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O l e h
Dedi Supriady Nim. 030706022
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMAN ILMU SEJARAH MEDAN
(2)
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O
l e h
Dedi Supriady Nim 030706022
Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Nip 131 412 311
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
Yang diajukan oleh Nama : Dedi Supriady
Nim : 030706022
Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Tanggal Nip 131 412 311
Ketua Departemen Ilmu Sejarah
Dra. Fitriaty Harahap, S.U Tanggal
Nip 131 284 309
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SEMATERA UTARA MEDAN
(4)
Lembar Pengesahan Pembibing skripsi
KEDATANGAN DAN PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN (1970-1990)
Skripsi Sarjana DIKERJAKAN O
l e h
Dedi Supriady Nim 030706022
Pembimbing
Dra. S.P. Dewi Murni, M.A Nip 131 412 311
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian
Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi Salah satu syarat Ujian SARJANA SASTRA dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(5)
Lembar Persetujuan Ketua Jurusan
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua Departemen
Dra. Fitriaty Harahap, S.U Nip. 131 284 309
(6)
Lembar pengesahan skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
Diterima oleh.
Panitia Ujian Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.
Pada : Hari : Tanggal :
Fakultas Sastra USU Dekan
Drs. Syaifuddin, M.A. Ph.D Nip: 132 098 531
Panitia Ujian.
No. Nama Tanda Tangan
1. ……… (……….) 2. ……… (……….) 3. ………... (……….) 4. ……… (……….) 5. ……… (……….)
(7)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah...
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.Tidak lupa Shalawat beserta Salam penulis limpahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pencerahan kehidupan bagi seluruh umat manusia.
Sesuai dengan judulnya “Kedatangan dan Perkembangan Wayang
Kulit di Kota Medan Tahun 1970-1990”, tulisan ini membahas tentang
bagaimana kesenian wayang kulit dapat tumbuh dan berkembang di kota Medan yang telah diketahui bahwa kota Medan adalah sebuah kota industri yang multietnis. Kesenian wayang kulit pada awal kedatangannya tidak terlepas dari masuknya para buruh perkebunan di perusahaan asing milik pemerintah kolonial Belanda pada saat dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Timur pada tahun 1886. Kesenian tersebut selain dibawa oleh orang-orang Jawa juga sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan agar para kuli kontrak yang umumnya berasal dari pulau Jawa dapat bertahan dalam perkebunan. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan arus budaya asing yang masuk ke kota Medan akhirnya kesenian wayang ini mulai tergeser kedudukannya dan menjadi kurang diminati. Untuk lebih jelasnya didalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana kedatangan dan perkembangan wayang kulit di kota
(8)
Medan serta sikap orang-orang Jawa dalam mempertahankan kesenian tradisional mereka.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna karena keterbatasan penulis, baik pada interpretasi konsep maupun teknis dan juga kurangnya referensi yang penulis peroleh. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua sebagai penikmat sejarah, karena sejarah merupakan bagian dari hidup kita.
Medan, Juli 2009
(9)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI ...iii
ABSTRAK ...v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Rumusan Masalah ...11
1.3 Tujuan dan Manfaat ...12
1.4 Tinjauan Pustaka ...13
1.5 Metode Penulisan ...14
BAB II. GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN 2.1 Kondisi Geografis ...16
2.2 Keadaan Penduduk ...19
2.3 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya ...26
BAB III. LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 3.1 Datangnya Wayang Kulit di Kota Medan ...30
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan ...34
(10)
BAB IV. PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 1970-1990
4.1 Sejarah Perkembangan Wayang Kulit ...46
4.1.1 Makna Kesenian Wayang Kulit ...49
4.1.2 Wayang Kulit Sebagai Pertunjukan ...55
4.1.3 Wayang Kulit Sebagai Pendidikan ...56
4.2 Pasang Surut Kesenian Wayang Kulit ...57
BAB V KESIMPULAN ...65
DAFTAR PUSTAKA ...70
DAFTAR INFORMAN...72 LAMPIRAN
(11)
Abstrak
Kehadiran etnis Jawa di kota Medan dilatarbelakangi beberapa faktor. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, mereka didatangkan dari pulau Jawa untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur. Pada masa inilah yang menyebabkan masyarakat etnis Jawa memayoritaskan diri di Sumatera khususnya kota Medan sampai saat ini. Pada periode selanjutnya, kedatangan orang Jawa ke kota Medan disebabkan program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah, dan disusul adanya penempatan terhadap pegawai birokrasi, militer maupun instansi-instansi lainnya yang berasal dari pulau Jawa untuk bertugas di kota Medan.
Kesenian tradisional wayang kulit merupakan suatu bentuk kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Jawa dan berkembang di kota Medan. Masuknya kesenian wayang kulit ke kota Medan berjalan seiring dengan kedatangan etnis Jawa ke kota Medan. Kesenian wayang kulit yang ada di kota Medan merupakan bentuk kehidupan budaya etnis Jawa yang dituangkan dan ditampil dalam bentuk seni dan budaya sebagai hiburan berupa tontonan yang bisa menyampaikan ajaran dan falsafah hidup bagi etnis Jawa.
Seiring dengan berjalannya waktu kesenian wayang kulit di kota Medan juga mengalami perkembangan yaitu pada saat menjadi hiburan primadona bagi etnis Jawa pada era tahun 1970-an dan juga mengalami kemunduran karena pergeseran selera masyarakat pada era tahun 1980-an.
Dalam perjalanan era tahun 1990-an perkembangan kesenian wayang kulit di kota Meda seperti hidup segan mati tak mau, hanya dipertunjukan pada acara tertentu saja seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan ruwatan. Hal ini disebabkan kesenian tradisional tersebut sudah sedikit peminatnya dan biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan pertunjukan sangat mahal, maka sebagai penggantinya masyarakat kota Medan khususnya masyarakat Jawa lebih memilih hiburan yang lain dengan harga yang lebih murah.
(12)
Abstrak
Kehadiran etnis Jawa di kota Medan dilatarbelakangi beberapa faktor. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, mereka didatangkan dari pulau Jawa untuk dipekerjakan sebagai kuli kontrak di perkebunan-perkebunan Sumatera Timur. Pada masa inilah yang menyebabkan masyarakat etnis Jawa memayoritaskan diri di Sumatera khususnya kota Medan sampai saat ini. Pada periode selanjutnya, kedatangan orang Jawa ke kota Medan disebabkan program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah, dan disusul adanya penempatan terhadap pegawai birokrasi, militer maupun instansi-instansi lainnya yang berasal dari pulau Jawa untuk bertugas di kota Medan.
Kesenian tradisional wayang kulit merupakan suatu bentuk kesenian tradisional yang berasal dari masyarakat Jawa dan berkembang di kota Medan. Masuknya kesenian wayang kulit ke kota Medan berjalan seiring dengan kedatangan etnis Jawa ke kota Medan. Kesenian wayang kulit yang ada di kota Medan merupakan bentuk kehidupan budaya etnis Jawa yang dituangkan dan ditampil dalam bentuk seni dan budaya sebagai hiburan berupa tontonan yang bisa menyampaikan ajaran dan falsafah hidup bagi etnis Jawa.
Seiring dengan berjalannya waktu kesenian wayang kulit di kota Medan juga mengalami perkembangan yaitu pada saat menjadi hiburan primadona bagi etnis Jawa pada era tahun 1970-an dan juga mengalami kemunduran karena pergeseran selera masyarakat pada era tahun 1980-an.
Dalam perjalanan era tahun 1990-an perkembangan kesenian wayang kulit di kota Meda seperti hidup segan mati tak mau, hanya dipertunjukan pada acara tertentu saja seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan ruwatan. Hal ini disebabkan kesenian tradisional tersebut sudah sedikit peminatnya dan biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan pertunjukan sangat mahal, maka sebagai penggantinya masyarakat kota Medan khususnya masyarakat Jawa lebih memilih hiburan yang lain dengan harga yang lebih murah.
(13)
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnik dan memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Budaya adalah hasil budi dan daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Bronislow Malinowsky, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem teknologi dan kesenian.1
1
M.Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama. 1998, hlm.14
Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, maka fungsi kesenian dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya dalam melaksanakan kegiatan khususnya yang bertalian dengan keindahan. Secara umum, kesenian dapat dibagi menjadi beberapa cabang antara lain: seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni pertunjukan. Cabang-cabang kesenian tradisional juga dapat digolongkan dalam kesenian tradisional dan kesenian modern. Kesenian tradisional adalah bentuk kesenian yang lahir berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakatnya, dan kesenian modern lahir karena adanya pengaruh modernisasi yang usianya relatif muda.
(14)
Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang telah ada sejak beberapa abad yang lalu yaitu sejak zaman prasejarah, yang kemudian berkembang sesuai zamannya dengan mengambil cerita dari Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India dan kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa pada masa masuknya Islam di Jawa sekitar abad ke-15.2 Wayang kulit adalah bayangan yang merujuk pada boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih, di pahat, di warna dan bertangkai.3
Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang
2
Sumber : Berdasarkan silsilah keturunan dalang yang berasal dari pulau Jawa yang diperbaharui tahun 1982. Melalui daftar silsilah keturunan dalang-dalang wayang kulit, dapat dilihat bahwa kesenian wayang kulit memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang berada di pulau Jawa. Agama Islam mulai masuk ke Pulau Jawa sekitar abad 15 sebelum keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berdiri Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama serta mulai mengambil alih kekuasaan Majapahit, salah satunya melalui kebudayaan secara khusus pada kesenian wayang kulit. Para Wali dan Sultan sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa mulai merintis kesenian yang bercirikan Islam, agar menarik simpati masyarakat Jawa maka kesenian yang sudah ada di poles berbentuk ke Islaman. Misalnya kesenian wayang kulit yang sudah merupakan kesenian dari masyarakat Jawa. Pada masa periode Islam wayang kulit mengalami perubahan dan perkembangan yang mendasar, sehingga sekarang sudah dibakukan dalam beberapa bentuk gagrak. Hasil karya para Wali mulai menyempurnakan wayang kulit antara lain pada bentuk muka, yang semula berwajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak samping; warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa pada boneka wayang semula menyatu dengan tubuhnya (tidak dapat digerakkan dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan), selain itu juga menambah ragam wayang. Para Wali mengubah tokoh wayang kulit yang semula adalah para dewa dalam agama Hindu menjadi babad dengan silsilah wayang purwa yang disesuaikan dengan misi Islam yaitu dengan mengatur posisi mulai dari para dewa, pendahulu Bharata, keturunan Bharata, sampai kerajaan Mataram Kuno, Majapahit, dan Surakarta-Yogyakarta semuanya disusun dibawah satu keturunan Nabi Adam. Perkembangan wayang pada periode Islam makin memperjelas kesinambungan perjalanan seni tradisi di Indonesia, bahkan ada beberapa daerah di luar Jawa yang mengenal wayang, hal ini diperkirakan akibat asimilasi budaya yang menggunakan wayang sebagai media penyebaran ajaran agama.
3
Setyo Budi, Wayang Wahyu Katolik Surakarta Spesifikasi dan Karakteristiknya, Bandung: Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Bandung, 2002, hlm.2
(15)
diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Dalam perkembangannya wayang dibagi kedalam beberapa periode antara lain :
a. Periode Prasejarah
Pada dasarnya pertunjukan wayang kulit adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa. Pada saat itu bangsa Indonesia yang masyarakatnya masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Pada zaman itu para pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan
Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan
pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk mempermudah proses pemujaan.4
b. Periode Hindu-Budha
Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
4
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992, hlm. 253
(16)
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata.
c. Periode Islam
Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang.5
d. Periode Kolonial
Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura. Pada saat yang bersamaan bentuk-bentuk wayang mulai disempur nakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
5
R. Sutrisno, Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm. 40
(17)
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual.6
e. Periode Pasca kemerdekaan
Selama masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
6
Sri Mulyono, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta : Haji Masagung, 1975, hal. 87
(18)
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka sehari-hari.
(19)
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar tahun 1864.7
Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan
Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak.
Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan memperbaharui kontraknya kembali.
7
Pengertian Onderneming dalam buku Toean Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau, kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
(20)
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecil-kecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan.
Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur.8
8
Anthoni Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di
Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hlm. 87
Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang, meskipun mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orang-orang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
(21)
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa.9
Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak
dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa
Melayu.
10
Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami
9
Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu.
10
Ketoprak dor merupakan kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
(22)
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka.
Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar.
Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan, meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila, karena pertunjukan wayang kulit tema dan lakon yang dipertunjukkan berisi nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
(23)
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan.
1.2Rumusan Masalah
Seiring dengan banyaknya suku yang terdapat di Medan, dengan begitu gaya hidup masyarakatnya semakin modern dan kebutuhan hidup yang lebih praktis tentulah hal ini menimbulkan permasalahan terhadap eksistensi dari kesenian tradisional wayang kulit dan apakah keberadaanya masih relevan dengan kondisi masyarakat sekarang.
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan periodeisasi yang akan diteliti mulai dari tahun 1970 sampai dengan 1990. Dimulai tahun 1970 hal ini atas pertimbangan bahwa mulai tahun tersebut kesenian tradisional Jawa telah berkembang di Medan, sedangkan pada tahun 1990 keberadaan kesenian tersebut mulai terancam eksistensinya dan tidak lagi populer dipertunjukkan.
(24)
Hal ini disebabkan karena kesenian ini telah dikomersilkan dan adanya budaya lain yang masuk melalui arus modernisasi.
Rumusan masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kesenian wayang kulit di kota Medan ? 2. Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan ? 3. Bagaimana dampak modernisasi terhadap keberadaan kesenian wayang
kulit di kota Medan ?
4. Apakah fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan ?
1.3Tujuan dan Manfaat
Manusia tidak pernah lepas dari masa lalunya, melalui pengetahuan tentang masa lalu akan dapat di ambil langkah selanjutnya untuk melaksanakan yang terbaik bagi kehidupan.
Secara umum penelitian yang dimaksud untuk mendeskripsikan eksistensi sebenarnya kesenian wayang kulit di Medan, khususnya ditekankan pada aspek sosial, budaya, sejarah lahirnya, perkembangan serta penyebarannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam studi tentang wayang kulit dan sebagai bahan tambahan pemikiran untuk langkah selanjutnya agar keberadaan kesenian wayang kulit dapat dipertahankan kelestariannya.
Tujuan penelitian ini adalah :
(25)
2. Mengungkapkan perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan. 3. Menjelaskan dampak modernisasi terhadap kesenian wayang kulit di
kota Medan.
4. Menjelaskan fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai tambahan refensi jika ada yang melanjutkan penelitian ini. 2. Menjadi satu informasi penting bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya dan terutama bagi masyarakat Jawa baik yang menetap di Medan maupun Pulau Jawa.
3. Menjadi satu tambahan literatur dan kajian terhadapa sejarah kesenian wayang kulit bagi Suku Jawa.
1.4Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini selain melakukan penelitian ke lapangan, penulis juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan dokumen sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian. Buku-buku tersebut digunakan sebagi pendekatan awal dari penelitian selanjutnya.
Karl J. Pelzer dalam bukunya yang berjudul Toean Keboen dan
Petani, menguraikan tentang politik-politik para tuan kebun dalam menjerat
para kuli yang bekerja pada mereka. buku ini juga menulis tentang bagaimana kedatangan masyarakat Jawa dari pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan-
(26)
perkebunan asing yang ada di Sumatera Timur. Kehidupan para kuli Jawa di perkebunan baik itu menyangkut kebutuhan sosial antar sesama pekerja maupun pekerja dengan majikan yang ada di perkebunan. Tujuan penulis menggunakan buku ini sebagai bahan acuan karena didalamnya menceritakan bagaimana kehidupan para kuli perkebunan terutama yang berasal dari Pulau Jawa.
Jan Breman dalam bukunya yang berjudul Menjinakkan sang Kuli
Politik Kolonial pada awal abad ke-20. Dalam buku ini menceritakan awal
kedatangan para kuli kontrak ke tanah Sumatera Timur serta dalam buku ini juga menjelaskan kehidupan para kuli sebagai masyarakat perkebunan yang berada di bawah tekanan para tuan kebun serta gejolak-gejolak yang terjadi didalamnya. Secara rinci juga dijelaskan bagaimana upaya para tuan kebun untuk memikat para kuli kontrak agar bertahan untuk bekerja di perkebunan.Tujuan penulis mengambil buku ini dalam penelitiannya karena menceritakan kedatangan awal masyarakat Jawa sebagai ujung tombak sampainya kesenian tradisional masyarakat Jawa di Sumatera Timur.
Suwaji Bustami dalam bukunya yang berjudul Gemar Wayang, menceritakan arti dari kesenian wayang kulit yang disertai dengan beberapa cerita Ramayana yang di adopsi sesuai dengan kehidupan sekarang. Buku ini merupakan sumber yang sangat penting bagi penelitian karena menjelaskan arti dan bentuk dari setiap warna yang terdapat pada wayang kulit secara keseluruhan yang menggambarkan sifat dan watak manusia.
(27)
1.5Metode Penulisan
Agar hasil penelitian dapat maksimal dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan maka diterapkan metode untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, agar hasilnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis memulai penelitian ini dengan menggunakan metode Heuristik, yaitu mengumpulkan informasi mengenai bahan yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain mengenai data masuk dan perkembangan wayang kulit di Medan Sumatera Utara dengan menggunakan literatur dari buku-buku, dokumen-dokumen, situs internet dan wawancara dengan informan yang memiliki informasi mengenai perkembangan wayang kulit di Medan Sumatera Utara. Ketika mengadakan penelitian yang berhubungan dengan informan penulis melakukan pendekatan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti ilmu Sosiologi dan ilmu Antropologi yang dianggap dapat digunakan dalam proses penelitian yang sedang dilakukan penulis. Tujuan penggunaan ilmu-ilmu bantu seperti ilmu sosiologi dan ilmu antropologi ini hanya sebagai metode perbandingan dan pendekatan sosial dalam penulisan skripsi ini.
Selanjutnya setelah dikumpulkan dilakukan Kritik Sumber (intern dan
ekstern) terhadap data dan sumber-sumber tersebut. Kemudian Interpretasi
yang menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta sejarah yang valid. Langkah yang terakhir adalah Historiografi yaitu tulisan sejarah yang sistematis dan kronologis.
(28)
BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA MEDAN
2.1 Kondisi Geografis Kota Medan
Medan merupakan ibukota Provinsi Sumatera Utara dengan letak wilayah pada posisi 30.30’ LU-30.48’ LU dan 980.39’BT-980.47’36”BT dengan ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut.11
11
Gindo Maraganti Hasibuan, Peran Serta Masyarakat dan Kelembagaan Terpadu
dalam Pengelolaan banjir di Kota Medan (Studi Kasus Banjir Kota Medan), Medan: 2005,
hlm. 10
Posisi dan letak kota Medan berada di dataran pantai Timur Sumatera, persis di antara Selat Malaka dan jajaran pegunungan yang membujur dari Barat Daya sampai wilayah tenggara Pulau Sumatera menjadikan kota Medan daerah yang strategis baik untuk menjalankan roda perekonomian hingga pusat kebudayaan, Medan adalah tempat yang selalu terbuka bagi siapa saja yang memiliki kompeten dan kemampuan bertahan hidup sebagai orang kota. Topografinya miring ke utara dan berada pada ketinggian 0-40 meter di atas permukaan laut dengan kelembaban dan curah hujan yang relatif tinggi. Mengenai curah hujan di Tanah Deli, Medan dapat digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama yang berarti bagi waktu yang lebih banyak mendapat curah hujan dan Maksima Tambahan yang berarti bagi waktu yang mendapat lebih sedikit curah hujan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang
(29)
Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam. Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda berada di tempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu bernama Deli Klei.
Letak kota Medan tidak jauh dari selat Malaka, sehingga sangat strategis dari segi ekonomi terutama dalam hubungan perdagangan dengan luar negeri. Kota Medan memiliki batasan dengan wilayah lain diantaranya sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang; Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang; Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Malaka; Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Langkat
Kota Medan pada Jaman kolonial Belanda merupakan bagian dari keresidenan Sumatera Timur, yang terkenal dengan perkebunan tembakaunya. Keadaan tanah yang subur menghasilkan produksi tembakau yang bernilai jual tinggi menjadikan tanah Deli dan kota Medan sebagai salah satu primadona perkebunan bagi para pedagang, pendatang dan para pemilik perkebunan. Pada masa pemerintah kolonial menguasai wilayah ini sekitar tahun 1900 telah dilakukan penelitian oleh beberapa ilmuwan,
(30)
misalnya beberapa penelitian tentang keadaan tanah di kawasan tanah Deli atau Sumatera Timur umumnya. Penelitian itu dilakukan oleh para pakar atau ilmuan untuk kepentingan perusahaan perkebunan tambakau milik Belanda. Salah satu ilmuan yang melakukan penelitian tentang tanah di Sumatera Timur adalah Van Hissing pada tahun 1900, dari hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tanah di Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah cokelat, dan tanah merah. Dari hasil penelitian tersebut juga diketahui letak kota Medan diatas tanah jenis tanah liat, tanah campuran, dan tanah pasir.
Ketika kota Medan menjadi ibukota Keresidenan Sumatera Timur wilayahnya mencakup empat buah kampung asli Deli yaitu, Kampung Petisah Hulu, Kampung Petisah Hilir, Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas. 12
12
Roestam Thaib, et, al., 50 Tahun Kota Praja Medan, Medan: Djawatan Penerangan Kotapraja I, 1959, hlm. 101.
Selain itu Medan dikelilingi oleh kampung-kampung lain seperti Kampung Kota Maksun, Glugur, Kampung Sungai Mati, Sungai Agul dan lain-lain yang kesemuanya termasuk bagian dari wilayah kekuasaan teritorial Kerajaan Deli. Namun seiring dengan perkembangannya Kota Medan berbatasan dengan daerah-daerah yang masih tergolong sebagai teritorial Sumatera Utara. Batas-batas tersebut adalah sebelah Timur dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang; Utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Langkat
(31)
Luas Kota Medan sebelum dilakukannya perluasan wilayah hanya seluas 1.150 Ha, tetapi sejak tahun 1943 sampai tahun 1971 luas Kota Medan mencapai 5.130 Ha, kemudian tahun 1973 luas Kota Medan mengalami pertambahan lagi yaitu menjadi 26.510 Ha.13
Penduduk kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang ada di nusantara ini, sehingga kota Medan sering disebut sebagai kota yang multi Pada tahun 1973 dikeluarkan PP No.22. Luas Kotamadya Medan diperlebar menjadi 26.510 Ha, yang terdiri dari 11 (sebelas) Kecamatan dan 116 (seratus enam belas) Kelurahan. Kemudian disusul dengan adanya surat persetujuan Mendagri No. 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1989, maka jumlah Kelurahan di Kotamadya Medan menjadi 144 (seratus empat puluh empat) Kelurahan, yaitu:Kecamatan Medan Kota terdiri dari 26 Kelurahan, Kecamatan Medan Timur terdiri dari 18 Kelurahan, Kecamatan Medan Barat terdiri dari 13 Kelurahan, Kecamatan Medan Baru terdirri dari 18 Kelurahan, Kecamatan Medan Deli terdiri dari 6 Kelurahan, Kecamatan Medan Labuhan terdiri dari 7 Kelurahan, Kecamatan Medan Johor terdiri dari 11 Kelurahan, Kecamatan Medan Sunggal terdiiri dari 14 Kelurahan, Kecamatan Medan Tuntungan terdiri dari 11 Kelurahan, Kecamatan Medan Denai terdiri dari 14 Kelurahan, Kecamatan Medan Belawan trdiri dari 6 Kelurahan.
2.2 Keadaan Penduduk
13
Pemerintah Kota Medan, Profil Kota Medan, Medan : Pemerintah Kota, 2004, hlm. 38.
(32)
etnis. Setiap suku bangsa yang menempati kota Medan memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Suku bangsa yang ada di kota Medan terdiri atas suku Aceh, Melayu, Batak , Jawa, Minangkabau, dan pendatang dari negara asing seperti India, China, Eropa dan sebagainya yang membaur menjadi penduduk yang menempai kota Medan.
Kota Medan yang pada masa kolonial adalah bagian dari wilayah Sumatera Timur merupakan kampung halamannya orang Karo, Melayu, dan Simalungun. Suku bangsa Karo dan Simalungun menempati wilayah di sekitar dataran tinggi dan orang-orang Melayu menempati wilayah pesisir. Akan tetapi setelah masuknya pengaruh kolonial Belanda, yang ditandai dengan pembukaan lahan-lahan menjadi lokasi perkebunan, maka terjadi perubahan yang sangat besar dalam susunan masyarakat di Sumatera Timur tidak terkecuali kota Medan. Pesatnya perkembangan perkebuanan pada waktu itu menyebabkan jumlah penduduk di kawasan Sumatera Timur cepat bertambah, terutama karena banyak didatangkan buruh-buruh dari luar untuk bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau.
Kota Medan adalah salah satu kota yang memiliki pola masyarakat yang heterogen di Indonesia. Heterogenitas penduduk Kota Medan muncul karena faktor urbanisasi, yang erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan yang banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja. Masyarakat yang didatangkan dari luar Medan, pada dasarnya dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan. Menurut Tengku Lukman Sinar, dalam tahun 1905 penduduk kota Medan berjumlah sekitar 14.250 orang. Pada tahun 1918
(33)
jumlah itu bertambah menjadi 43.826 orang, jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920 menjadi 45.248 orang, serta jumlah penduduk kota Medan tahun 1930 menjadi 74.976 orang.14
Berdasarkan pencatatan sensus penduduk kota Medan yang diadakan pada tahun 1961. mulai tahun tresebut penduduk Medan tercatat sebanyak 479.098 jiwa. Sepuluh tahun kemudian tepatnya tahun 1971 menjadi 635.532 jiwa, yaitu terdiri dari 571.468 jiwa orang Indonesia, dan selebihnya orang asing. Pada tahun 1973, penduduk kota Medan mencapai 1.107.509. pada sensus nasional tahun 1980 jumlahnya bertambah menjadi 1.373.747 jiwa15 dan pada sensus tahun 1990 penduduk kota Medan berjumlah 10.256.027 jiwa.16
Pertambahan penduduk kota Medan tersebut sebagian besar berasal dari pendatang. Sejak sensus pertama dan terakhir pada tahun 1930 yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial pertambahan penduduk melalui arus perpindahan antar pulau misalnya dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera. Sedang sensus nasional diadakan sejak tahun 1961, 1971, 1981 dan 1991 dapat diambil kesimpulan bahwa laju pertumbuhan penduduk di wilayah kota Medan mengalami perkembangan pesat. Pada sensus nasional yang diadakan pemerintah tidak lagi berdasarkan komposisi etnis. Sedangkan pada tabel berikut ini dibagi berdasarkan hasil pencatatan kartu rumah tangga model tahun
14
Tengku Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, Medan : Satgas MAMBI, 1991, hlm. 58.
15
Sumber dari Data Sensus tahun 1980, BPS Medan tahun 1981 16
(34)
1970-an yang dikerjakan per desa dan kemudian disatukan per kecamatan.17
Medan Pada Tahun 1980
Dari perbandingan antara sensus tahun 1930 dan tahun 1980 terdapat pesamaan bahwa penduduk yang mendominasi di kota Medan adalah etnis Jawa.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Sukubangsa Di Kotamadya
18
Sukubangsa Jumlah %
Melayu 100.915 8,57
Minangkabau 141.507 10,93
Batak Toba 182.686 14,11
Batak Mandailing 154.172 11,91
Jawa 380.570 29,43
Batak Karo 51.651 3,99
Aceh 28.390 2,19
Sunda 24.572 1,90
Nias 2.355 0,18
Batak Simalungun 8.667 0,67
Batak Dairi 3.150 0,24
Cina 166.159 12,84
17
Usman Pelly, dkk, Sejarah Kota Madya Medan 1950-1979, Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional, 1985, hlm.36
18
(35)
Lain-lain Suku 39.332 3,04 Jumlah 1.294.132 100,00
Persebaran penduduk kota Medan setelah kemerdekaan tidak lagi di kotak-kotakkan berdasarkan ras sukubangsa, akan tetapi merata ke seluruh wilayah kecamatan yang ada di kota Medan.
Setelah dibentuknya Gemente Medan pada tahun 1909, maka terjadi perubahan status pada penduduk Medan. Pertama, penduduk yang berada dibawah pemerintahan kerajaan Deli dan yang kedua adalah penduduk yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Perbedaan status ini lebih nyata terlihat dalam kewajiban penduduk dalam membayar pajak. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah kolonial menciptakan tiga macm lingkungan pemukimam penduduk yang diskriminatif di Medan, yaitu :
1. Eropeese Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang khusus
ditempati oleh penduduk golongan eropa. Penduduk pribumi dan golonga non-Eropa lainnya tidak di ijinkan untuk bertempat tinggal dalam lingkungan ini.
2. Chinesee Wijk, yaitu lingkungan pemukiman yang ditempati
oleh orang-orang Cina. Selain sebagai tempat pemukiman orang Cina, juga berfungsi sebagai tempat kegiatan jual beli (perdagangan), karena dalam lingkungan terssebut terdapat banyak toko-toko kepunyaan orang Cina.
3. Lingkungan pemukiman (perkampungan) yang khusus ditempati oleh penduduk pribumi. Lingkungan tersebut pada umumnya berlokasi dipinggiran kota Medan dan sebagian
(36)
kecil berada dekat lingkungan pemukiman orang-orang Cina.
19
Hingga masa akhir pendudukan pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1940-an jumlah penduduk kota Medan tidak banyak bertambah hanya berjumlah kira-kira 76.000 orang. Pada masa pendudukan Jepang terjadi peningkatan jumlah penduduk kota Medan, yaitu berjumlah kira-kira 93.000 orang.
Berdasarkan letak geografis kota Medan seperti yang telah di jelaskan pada sub bab sebelumnya, masyarakat Sumatera Utara khususnya terbagai atas dua wilayah yaitu, wilayah pesisir yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan masyarakat pedalaman yang umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan yang hidup dalam kondisi kemiskinan berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke kota Medan yang sudah menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara pada tahun 1953.
Sebagai kota yang mengutamakan roda perekonomian dalam bidang perdagangan dan industri membuat masyarakat banyak yang mencari pekerjaan ke Medan. Perubahan mata pencaharian yang dialami penduduk mengakibatkan perubahan gaya hidup menjadikan mereka sebagai masyarakat yang konsumtif, sehingga pada tahun 1990 yang menjadi batasan penelitian mulai tumbuh pusat-pusat pembelanjaan yang bersifat modern.
19
Tim Pengumpul, Penelitian dan Penulisan Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah tingkat II Medan, dalam Sejarah Perkembangan
(37)
Akibat perpindahan penduduk menyebabkan kota Medan memiliki banyak ragam etnis yang menjadi penduduk tetap. Menurut literatur yang ada, kota Medan sebenarnya memiliki penduduk asli dari etnis Melayu, akan tetapi ada yang menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang yang berasal dari etnis Karo dan Batak yang telah masuk Islam dan mereka mengistilahkan dengan menjadi orang Melayu.20
Untuk menjelaskan satu indentitas yang ada di Medan, maka banyak bangunan-bangunan pemerintahan dibangun dengan arsitektur ornamen berciri khas Melayu. Tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi dalam tatacara Proses perpindahan penduduk dari luar Sumatera seperti dari pulau Jawa yang terjadi ke Medan, lama kelamaan membuat kota Medan menjadi sebuah kota yang multietnis sehingga masing-masing etnis yang ada menonjolkan kebudayaan mereka dan kota Medan menjadi kota yang kaya akan kebudayaan seni dan adat istiadat.
Walaupun sebenarnya yang dianggap sebagai penduduk asli Medan adalah suku Melayu, namun akibat kedatangan penduduk dari berbagai etnis yang ada di Medan menyebabkan terjadinya perubahan identitas penduduk Medan. Masyarakat di luar Sumatera Utara beranggapan bahwa orang Medan lebih identik dengan Suku Batak, terlihat dari Media massa, reaksi lawan bicara dan Media elektronik, ketika ada yang mengatakan asalnya dari Sumatera Utara khususnya Medan reaksi lawan bicara berubah mulai dari logat dan tata krama lebih mengacu kepada suku Batak bukan Suku Melayu.
20
Suprayitno, Medan sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara
(38)
penyambutan tamu-tamu resmi juga menggunakan sistem adat Melayu dapat dilihat dalam acara resmi yang diadakan.
Secara tidak langsung mungkin karena sudah menjadi sifat yang sudah mendarah daging dalam diri orang Melayu ingin terkesan lebih eksklusif sehingga karena sikap yang seperti ini lama kelamaan tenggelam oleh sikap orang Batak yang ada di Sumatera Utara umumnya dan Medan pada khususnya, lebih menonjolkan jati diri mereka sehingga masyarakat luar lebih mengenal dari pada suku Batak sendiri di banding dari suku Melayu.
2.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Penduduk Medan
Multietnis yang menempati wilayah kota Medan memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda. Dari berbagai etnis yang ada, walaupun sebenarnya etnis Melayu dianggap sebagai penduduk asli, tetapi mereka bukan sebagai penggerak roda perekonomian yang ada di Medan.
Perekonomian kota Medan mulai tampak sejak kedatangan bangsa asing dan mulai membuka lahan perkebunan tembakau pada tahun 1864, sebagai pekerja didatangkan buruh dari luar seperti India, Tionghoa sementara dari dalam negeri yang menjadi buruh perkebunan adalah suku Jawa.
Setelah kemerdekaan roda perekonomian kota Medan lebih digerakkan dalam bidang perdagangan yang dimotori oleh orang-orang Tionghoa dan suku Minangkabau. Sedangkan dalam bidang pertanian dan buruh kasar lebih banyak dari masyarakat Jawa, Karo dan Batak. Suku Melayu lebih banyak duduk di pemerintahan.
(39)
Dalam tatanan struktur kota Medan, penduduk Medan dikotak-kotakkan berdasarkan suku mereka, misalnya etnis Tionghoa lebih berpusat di Pusat kota Medan tepatnya di daerah Sambu, etnis India Tamil tinggal di Wilayah Kampung Keling sekarang dikenal dengan nama kampung Madras, etnis Mandailing di wilayah kampung Baru, etnis Karo di wilayah Padang Bulan, etnis Minangkabau berpusat di wilayah Medan Maimun dan lain-lain.
Untuk lebih memfokuskan pada masalah yang akan dibahas dan sesuai dengan tema penelitian, maka penulis akan membahas sistem kekarabatan yang terdapat dari suku Jawa. Dalam masyarakat Jawa terdapat sistem kekarabatan yang disebut Bebrayan21
a. Sedulur Kandung, merupakan saudara lahir dari ayah dan ibu yang sama.
, yang dilandasi oleh sikap gotong royong. Sistem tersebut, pada prinsipnya berangkat dari sikap bahwa semua manusia yang ada merupakan keluarga, namun dalam penjabaran prihal hak dan tanggung jawab selalu dikaitkan dengan konsep perseduluran dengan rincian sebagai berikut;
b. Sedulur Sambungan, yaitu saudara lain ayah tetapi ibu yang sama, atau
saudara lain ibu namun ayah yang sama. Dalam istilah umum kita kenal dengan sebutan saudara tiri.
c. Sedulur Misanan22
21
Bebrayan, berasal dari kata brayan mendapat awalan “be” sehingga secara keseluruhan berarti sistem berkeluarga.
22
Misanan, berasal dari kata pisan yang berarti pertama, lalu Mindoan dan Mintelu
berarti kedua dan ketiga.
, merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang juga bisa berlaku saudara kandung atau saudara tiri.
(40)
d. Sedulur Mindoan, adalah satu Buyut23
e. Sedulur Mentelu, saudara satu Sanggah
, berlaku saudara kandung atau
saudara tiri.
24
f. Balo, merupkan saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya.
baik saudara kandung maupun
tiri.
g. Tangga/Jiran, konsep bertetangga ini tidak terbatas kepada letak rumah
berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka saling membutuhkan.
Dengan melihat sistem kekerabatan diatas, dapat diambil kesimpulan mayoritas masyarakat Jawa yang ada di Medan menganut kepercayaan agama Islam. Walaupun menganut agama Islam, namun dalam pelaksanaan ritual keagamaan masyarakat Jawa masih menjalankan kepercayaan Hindu, sehingga sehingga disebut sebagai Islam Abangan25, menurut penuturan informan tradisi
selametan, kenduri dan nyekar masih dijalankan oleh sebagian masyarakat
Jawa26
23
Buyut yaitu orang tuanya kakek atau nenek 24
Sanggah yaitu buyutnya ayah atau ibu 25
Islam abangan adalah pemeluk agama Islam tetapi dalam pengamalannya tidak semua syariat agama dilaksanakan, justru banyak ritual khusus yang seharusnya tidak perlu dijalankan, namun hal tersebut masih juga diilaksanakan, kalau dikaji sebenarnya ritual tersebut merupakan peninggalan ajaran terdahulu sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Dalam tatacara pelaksanaan ritual Hindu terlihat seperti sesajen dan slametan.
26
Wawancara dengan bapak Suratman B, Medan, 24 Maret 2009.
. Padahal ajaran tersebut bukanlah sesuatu yang wajib dalam Islam, bahkan jika pelaksanaannya di luar batas syariat, maka justru perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam. Seperti tradisi nyekar, merupakan kegiatan ziarah ke makam leluhur atau nenek moyang.
(41)
Selain masalah keyakinan, seni yang dimiliki tidak terlepas dari kehidupan yang mereka jalani. Sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat pada umumnya akan hiburan, dalam diri manusia sendiri memiliki rasa untuk menampilkan keindahan, hal ini diwujudkan dalam bentuk seni. Dalam masyarakat Jawa banyak sekali hasil-hasil kesenian yang menjadi ciri khas mereka seperti, ludruk, ketoprak, wayang kulit, jaran kepang, reog dan sebagainya..
Akibat perkembangan dalam bidang hiburan, kesenian tradisional mulai tergusur. Menurut wawancara dengan seorang informan bapak Sunardi, sebagian dari kesenian tradisional mulai tergusur. sejak ada adanya kemajuan teknologi pada sekitar akhir tahun 1980-an, yaitu layar tancap27, video kaset28, keybord29
27
Layar Tancap adalah hiburan rakyat berupa film yang digelar di tanah lapang dengan menggunakan media kain yang dibentangkan dan disorot lampu serta rol film.
28
Video kaset adalah tontonan melalui layar televisi yang memutar video rekaman film.
29
Keyboard adalah hiburan musik berbetuk piano yang diiringi oleh penyanyi dan orkes musik.
. Proses perubahan mulai terjadi sejak masuk era tahun 1980-an, padahal pada masa 1970-an kesenian tradisional masih menjadi primadona bagi masyarakat Jawa.
(42)
BAB III
LATAR BELAKANG WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN
3.1 Datangnya Wayang Kulit di Kota Medan
Kedatangan masyarakat Jawa ke Sumatera Utara khususnya di Medan tahun 1865, bersamaan dengan dibukanya lahan perkebunan tembakau di wilayah sungai Belawan. Secara tidak langsung membawa masuk kesenian tradisional Jawa ke Medan. Masyarakat Jawa datang ke Medan bertujuan untuk bekerja sebagai buruh kontrak di perkebunan tembakau asing.
Pihak perkebunan juga dengan sengaja membawa perkelengkapan kesenian-kesenian tradisional Jawa untuk dijadikan hiburan bagi para buruh Jawa yang tinggal di dalam perkebunan milik pemerintah kolonial. Pada periode tertentu, ketika para buruh menerima gaji, pihak majikan perkebunan sengaja mengadakan berbagai hiburan terutama wayang kulit yang menjadi primadona sebagai hiburan bagi buruh Jawa. Hiburan kesenian tradisional wayang kulit ini lebih sering diadakan untuk menjaga agar masyarakat Jawa dapat bertahan di Medan.
Selain itu, sebenarnya hubungan para majikan perkebunan dengan pekerja tidak begitu harmonis, dalam perkebunan-perkebunan terdapat sistem kerja rodi, hal ini dapat dilihat dari pekerjaan para buruh yang selalu diawasi dengan ketat oleh mandor kebun dan biasanya adalah orang Batak. Apabila terdapat kesalahan yang dilakukan oleh buruh tersebut maka sanksi yang diberikan tidak setimpal dengan kesalahan mereka yaitu berupa pemotongan
(43)
gaji, hukuman mati seperti hukuman gantung, penyiksaan ataupun kurungan. Kesalahan yang dilakukan para buruh biasanya adalah tidak mampu bekerja secara maksimal, melawan para tuan kebun dan berkelahi, hal ini diakibatkan karena pasokan makanan yang diberikan oleh tuan kebun juga tidak sesuai dengan pekerjaan mereka.30
30
Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan
Agraria, Jakarta : Sinar Harapan, 1985, hlm : 57
Akibatnya banyak dari para buruh yang bekerja di perkebunan merasa tidak betah dan berusaha untuk melarikan diri.
Jan Breman dalam bukunya yang berjudul “menjinakkan sang kuli politik kolonial awal abad ke 20” menyatakan bahwa para kuli perkebunan banyak yang berusaha untuk kabur dan banyak juga yang berhasil ditangkap, akibatnya para buruh tersebut mendapat sanksi yang berat. Kehidupan dalam perkebunan sendiri layaknya sebuah pemerintahan dengan hukum yang berlaku berdasarkan ketentuan dari pengusaha-pengusaha perkebunan.
Untuk memikat para buruh agar tetap bertahan bekerja di perkebunan para pengusaha berusaha menjerat pekerjanya pada saat penerimaan gaji dengan diadakannya hiburan-hiburan rakyat seperti wayang kulit agar mereka dapat mengobati rindu terhadap kampung halaman, selain itu arena perjudian dan wanita penghibur juga tidak lepas dari acara tersebut, sehingga banyak dari pekerja yang tidak sadar telah menghabiskan gaji mereka untuk hiburan, maka untuk biaya hidup secara terpaksa mereka memperpanjang kembali kontrak kerja di perkebunan.
(44)
Biaya pagelaran wayang kulit dikutip dari masyarakat Jawa itu sendiri dengan istilah pajak kepada penonton dan untuk biaya pertunjukan tersebut masyarakat dikenakan perorangnya satu ketip.31
Kelompok kesenian wayang kulit tidak semua terikat dengan pihak perkebunan. Kelompok ini datang secara tidak sengaja ke Medan, pada tahun 1905 ada seorang penjual gamelan asli dari pulau Jawa yang berdagang ke Medan, pedagang ini berkeliling dari satu pekebunan ke perkebunan lain hanya untuk menjajakan barang dagangannya yaitu gamelan. Melihat banyaknya kebutuhan hiburan bagi para buruh Jawa yang haus akan hiburan maka dia
Menurut informan yang sama juga pada masa Belanda juga sering diadakan pertunjukan wayang kulit alasannya tidak hanya karena mayoritas pekerja banyak dari orang Jawa tetapi orang-orang Belanda juga suka terhadap hiburan wayang kulit.
Di perkebunan-perkebunan asing seperti Tembung, Tanjung Selamat, Kebun Pisang, pihak majikan sengaja menyediakan satu perangkat kesenian Wayang Kulit mulai dari dalang, sinden, pemain musik serta perlengkapan untuk pertunjukan wayang kulit. Semuanya ini sengaja didatangkan dari Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan hiburan para buruh terutama orang-orang Jawa yang banyak menjadi kuli di perkebunan. Tugas dari mereka khususnya para pemain wayang kulit hanya sebagai penghibur bagi orang-orang yang tinggal di perkebunan namun bukan hanya untuk orang-orang Jawa saja yang boleh menikmati hiburan tersebut tetapi seluruh masyarakat yang ada di perkebunan boleh menikmati hiburan tersebut.
31
(45)
mendatangkan kelompok kesenian wayang kulit dan yang bertindak sebagai pimpinan adalah beliau sendiri.32
Kesenian wayang kulit bisa sampai ke Medan tahun 1970 dikarenakan persebaran penduduk terutama masyarakat Jawa yang tidak lagi bekerja di perkebunan atau telah habis masa kontraknya tetap berusaha untuk mempertahankan hidup mereka dengan cara meminjam atau menyewa tanah untuk bermukim di desa-desa Melayu. Cara mereka khususnya orang-orang Jawa dalam mempertahankan hidupnya adalah dengan melakukan pekerjaan pertanian sebagai imbalan untuk memperoleh makan dan hak atas tanah yang mereka sewa. Selain itu kebanyakan dari mereka hidup dalam keadaan yang tidak menentu dan tersembunyi. Menjelang tahun 1920-an hampir sepertiga orang Jawa tinggal di perkebunan Simalungun yang berpenduduk padat menetap di luar perkebunan. Angka-angka dari sensus tahun 1930 untuk Sumatera Timur memperkirakan bahwa hampir seluruh dari setengah juta lebih orang Jawa di daerah tersebut tidak bertempat tinggal di dalam perkebunan.
Jadi kedatangan kesenian wayang kulit ini ke Medan karena kebutuhan penikmat hiburan dengan istilah komersialisasi dan bukan didatangkan sebagai kebutuhan hiburan semata .
33
32
Wawancara dengan Dalang Sunardi, Medan, tanggal 5 Mei 2009, beliau adalah anak seorang pedagang alat-alat kesenian tradisional Jawa yang berasal dari Pulau Jawa.
33
Ann Laura Stoler, Kapitalisme dan konfrontasi di sabuk perkebunan sumatera
1870-1979, Yogyakarta : Karsa, 2005, hlm. 57
Dengan begini maka mereka bebas untuk melaksanakan pertunjukan wayang kulit. Selain itu juga mereka mengadakan pertunjukan kesenian wayang kulit ini adalah untuk menaruh perhatian dari berbagai etnis yang ada di Medan agar
(46)
dari hasil pertunjukan ini mereka akan mendapatkan upah untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka di samping itu juga agar mereka tetap dapat mempertahankan kesenian tradisional asli masyarakat Jawa.
Umumya jika dilihat dari tempat tinggal orang-orang Jawa yang berada di luar perkebunan, mereka selalu meminta keselamatan dimanapun mereka berada dengan cara mengadakan acara bersih desa yang dilakukan dengan menggelar pertunjukan kesenian tradisional wayang kulit. Karena pada dasarnya kesenian ini bukan sarana hiburan namun lebih kepada acara adat yang bersifat sakral. Oleh karena itu dimanapun mereka bertempat tinggal dan telah membentuk sub kelas baru, mereka khususnya orang-orang Jawa ini tetap melaksanakan acara bersih desa agar daerah atau wilayah tempat tinggal mereka selalu dilindungi dari ancaman yang datang dari luar ataupun dalam seperti bencana alam, roh-roh jahat yang mengganggu kelangsungan hidup mereka. Maka dari itu tidak heran apabila kesenian wayang kulit ini cepat tersebar luas ke pelosok penjuru kota Medan, khususnya wilayah yang banyak didiami oleh orang-orang Jawa.
3.2 Penyebaran Wayang Kulit di Kota Medan
Wayang kulit di kota Medan menyebar ke seluruh wilayah perkebunan yang ada di Medan seperti Kebun Pisang, Tembung, Sei Sikambing, Belawan, Tanjung Selamat dan Pondok Batuan. Penyebaran kesenian wayang kulit bersamaan dengan penyebaran penduduk Medan khususnya orang-orang Jawa yang menyebar ke seluruh wilayah kota Medan
(47)
yang menjadi tempat tinggal masyarakat Jawa, karena pada waktu-waktu tertentu diadakan pertunjukan wayang kulit, seperti pada acara bersih desa, ruwatan dan hari besar Jawa lainnya.
Orang-orang Cina merupakan mayoritas buruh yang ada di perkebunan. Pada tahun 1871 sudah bekerja lebih kurang 3000 buruh Cina di perkebunan Sumatera Timur. Namun, jumlah orang-orang Jawa yang dijadikan buruh terus membesar dan semakin banyak sampai pada akhirnya melebihi jumlah buruh Cina. Di tahun 1930-an, terjadi perubahan besar dalam kontrak kerja yang memungkinkan para kuli perkebunan Jawa meninggalkan perkebunan setelah masa kontrak habis.34
Banyaknya masyarakat etnis Jawa yang masuk ke Sumatera Timur juga berlangsung ketika pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1952 melaksanakan program transmigrasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kepadatan penduduk di pulau Jawa dan salah satu tujuan transmigrasi tersebut
Mereka tidak dapat kembali ke kampung asalnya di pulau Jawa karena kondisi mereka yang memprihatinkan dan ekonomi yang kurang mendukung sehingga mereka hidup menetap di daerah Sumatera khususnya di kota Medan. Kebanyakan yang meninggalkan perkebunan tetap hidup berkelompok di pinggir-pinggir perkebunan sebagai petani atau pindah ke kota-kota terdekat. Di kota Medan mereka tinggal secara turun-temurun di daerah pinggiran kota dan di areal bekas perkebunan yang telah dinasionalisasikan.
34
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi : Peran Misi Budaya Minangkabau dan
(48)
adalah Pulau Sumatera. Kota Medan sebagai kota yang lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di Sumatera menjadi obyek para transmigran untuk bertempat tinggal. Etnis Jawa di kota Medan pada umumnya banyak bertempat tinggal di daerah pinggiran kota Medan seperti Tembung tepatnya di Kampung Kolam, Saentis, Sampali, Batang Kuis, Kelambir Lima, Labuhan, Tandem, Glugur Darat, Pulo Brayan, Simpang Limun, Kampung Anggrung, Kampung Lalang, Sei Agul, Marelan serta Tanjung Morawa. Menurut informan Bapak Muhalim, orang Jawa di kota Medan juga banyak bertempat tinggal di daerah Sunggal tepatnya di Jalan Dwikora, Jalan Perjuangan yang rata-rata bermatapencaharian sebagai tukang bakso dan tukang es.35
Masyarakat Jawa yang tersebar di berbagai daerah pinggiran kota Medan ini membentuk perkumpulan-perkumpulan untuk membahas persoalan-persoalan hidup mereka dan juga mengadakan kegiatan berupa pertunjukan kesenian tradisional Jawa yang salah satunya adalah kesenian tradisional wayang kulit. Karena sebagai warga pendatang atau perantauan yang jauh dari kampung halamannya pasti akan menimbulkan rasa rindu tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu dengan seseringnya mereka berkumpul dan melakukan kegiatan kesenian tradisional Jawa seperti wayang kulit, seolah-olah mereka berada di kampung sendiri. Dari sinilah akhirnya kesenian wayang kulit
Banyak juga dari mereka yang tersebar di beberapa kecamatan Deli Serdang seperti di Denai, Tuntungan, Sunggal dan Johor. Mayoritas mereka beragama Islam.
35
(49)
semakin terus berkembang hingga masa keemasannya sekitar tahun 1970-an, apalagi kegiatan kesenian mereka ini didukung dengan dibentuknya suatu organisasi masyarakat Jawa yang ada di Medan yaitu Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera) pada tahun 1978. Sebelum organisasi Pujakesuma ini dibentuk telah ada perhimpunan yang khusus untuk melestarikan berbagai kesenian Jawa seperti BKKJ (Badan Kesenian Keluarga Jawa), namun badan kesenian tersebut hanya menampung masalah kesenian Jawa, maka dibentuklah organisasi Pujakesuma yang sifatnya lebih nasionalis. Hal inilah yang menjadi penyebab kesenian tradisional wayang kulit dapat berkembang di kota Medan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa penyebaran kesenian wayang kulit hingga sampai ke Medan dimulai dari terbentuknya perhimpunan masyarakat Jawa pada tahun 1978, meskipun pada tahun 1950 kesenian wayang kulit telah ada di Sumatera. Dengan dibentuknya perhimpunan tersebut maka kesenian wayang kulit cepat merambah ke berbagai wilayah di kota Medan terutama di sekitar pinggiran kota Medan yang banyak terdapat pemukiman masyarakat Jawa. Hingga pada akhirnya dari perkumpulan masyarakat Jawa yang ada di Medan mereka sering menyelenggarakan pergelaran wayang kulit akbar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali yang dimulai dari tahun 1970 sampai pada tahun 1980. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari bibit-bibit dalang yang dapat memainkan wayang dengan baik. Namun kegiatan ini tidak di khususkan untuk orang-orang yang berada di Medan saja melainkan yang berada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar dapat turut serta dalam pagelaran kesenian wayang kulit ini. Dari kegiatan inilah kesenian wayang kulit
(50)
menyebar hingga ke wilayah pelosok Medan seperti Tembung, Kebun Pisang, Batangkuis, Pondok Batuan dan Sunggal. Selain itu juga di Medan terdapat sanggar yang dikhususkan untuk keterampilan kesenian wayang kulit pada tahun 1970-an yang berada di daerah Sei Mencirim yaitu Badan Kesenian Kebudayaan Jawa (BKKJ).36
Penyebaran kesenian wayang kulit di kota Medan tidak berlangsung dengan lancar karena menurut hasil wawancara dengan bapak Selamet, beliau mengatakan bahwa kesenian wayang kulit dalam proses penyebarannya terdapat berbagai halangan, karena para pemimpin yang biasanya membuat pagelaran wayang tidak berdomosili di kota Medan, sehingga untuk melaksanakan kesenian wayang kulit mereka yang ada di Medan harus menghubungi pemimpin-pemimpin mereka yang ada di luar Medan seperti Kisaran dan Siantar. Para pemimpin mereka khususnya masyarakat Jawa ini adalah golongan Priyayi, karena mereka adalah golongan bangsawan Jawa yang mempunyai tradisi Hindu-Jawa dan mempunyai kebudayaan yang halus
Namun pada kenyataannya sanggar tersebut tidak bertahan lama dikarenakan pengurus badan kesenian tersebut telah meninggal dunia dan tidak ada lagi yang meneruskannya, hal ini yang akhirnya membuat kesenian wayang kulit terhambat dalam proses penyebarannya.
37
36
Wawancara dengan Ibu Cempluk, Medan tanggal 10 Mei 2009 37
Kebudayaan yang halus dalam masyarakat Jawa adalah kebudayaan yang masih memegang adat-istiadat para leluhur mereka.
. Ketika akan diadakan pertunjukan kesenian wayang kulit biasanya pencetusnya atau idenya berasal dari para golongan bangsawan, sementara yang termasuk dalam golongan abangan, santri hanya sebagai pendukung pelaksana.
(51)
Medan yang pada awalnya adalah kota yang berfungsi sebagai pendukung industri agraria seperti perkebunan secara cepat berkembang menjadi kota industri, administrasi pemerintah dan bisnis modern yang lengkap dengan berbagai macam bentuk industri jasa dan hiburan. Perkembangan yang mencakup perluasan kota sejak pertengahan tahun 1970-an telah menyebabkan daerah-daerah pinggiran kota Medan tersebut menjadi tempat berbagai kesenian khususnya Jawa, perlahan berkembang dan menjadi bagian dari kota Medan. Namun eksistensi kesenian Jawa khususnya yang bersifat tradisional seperti kesenian wayang kulit tergeser kedudukannya oleh adanya budaya modern yang masuk ke kota Medan sekitar tahun 1990-an seperti hiburan keyboard, layar tancap, vcd dan lain sebagainya. Akibat masuknya budaya modern ini membuat kesenian tradisional kurang diminati, karena dianggap sebagai budaya kuno. Akan tetapi khususnya masyarakat Jawa berusaha untuk tetap mempertahankan kesenian tradisional yang bersaing dengan budaya modern dengan tetap terus menggelar pertunjukan kesenian tradisional khususnya wayang kulit pada acara-acara seperti sunatan, perkawinan, bersih desa dan ruwatan.
3.3 Orang Jawa di Kota Medan
Salah satu etnis yang menghuni kota Medan adalah etnis Jawa. Kedatangannya ke Sumatera Utara khususnya kota Medan memiliki berbagai faktor antara lain adanya kepentingan kolonialisme bangsa Barat, transmigrasi ataupun kepentingan polotik masa Orde Baru tahun 1966.
(52)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada masa kolonial Belanda berkuasa di Indonesia, arus kedatangan para pekerja dari Jawa ke Sumatera Utara cukup besar. Terutama saat ramai dibukanya perkebunan-perkebunan besar seperti tembakau, teh, karet dan coklat. Setiap areal perkebunan menyerap banyak tenaga kerja sebagai kuli kontrak untuk diperkerjakan mulai dari membuka lahan, menanam, memelihara serta sampai ke aktivitas memetik hasil untuk di ekspor ke luar negeri.
Masuknya tenaga kerja ke perkebunan di Sumatera Timur berasal dari orang-orang Cina yang dipindahkan dari Penang melalui pelabuhan Belawan. Kedatangan para buruh asal Penang ini sekitar tahun 1868 merupakan awal masuknya golongan kuli kontrak ke Sumatera Timur. Selanjutnya langkah ini diikuti pula oleh kelompok buruh orang-orang India yang juga direkrut dan didatangkan dari Penang sekitar tahun 1871 Namun, proses mendatangkan tenaga kerja asal luar negeri tidak berjalan dengan mulus sebagaimana yang diharapkan pemerintah kolonial Belanda. Karena pada saat pengiriman buruh tersebut menggunakan jasa para makelar (perentara), sementara para makelar tersebut dalam pengiriman buruh tidak terlebih dahulu menyeleksi sehingga buruh-buruh yang dikirim kebanyakan tidak mampu bekerja. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan solusi yang terbaik dengan cara mengusahakan untuk mendatangkan tenaga kerja dari daerah pulau Jawa. Ketidaklancaran pengiriman buruh dari luar Indonesia telah membawa pengaruh terhadap dominasi arus migrasi bangsa Cina ke Sumatera Timur. Pada tahun 1880, perusahaan berhenti membawa masuk orang-orang Cina karena banyak dari
(53)
mereka yang pergi meninggalkan kebun atau sering terjadi kerusuhan. Oleh karena itu, banyak perusahaan asing yang beralih untuk mendatangkan para kuli kontrak dari orang Cina ke orang Jawa. Pertengahan tahun 1900, arus migrasi para buruh Cina terus mengalami penurunan yang sangat drastis dan dihentikan untuk mengambil buruh dari Cina pada tahun 1930. Sebaliknya, para pekerja yang didatangkan dari Pulau Jawa mengalami kenaikan yang terus meningkat.
Masuknya tenaga kerja sebagai kuli kontrak oleh etnis Jawa kebanyakan berasal dari Jawa Tengah. Mereka bersedia menjadi kuli kontrak dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, karena di daerah asalnya, mereka mengalami himpitan ekonomi. Sehingga dengan pergi menjadi kuli kontrak mereka dapat terhindar dari jeratan hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Pada awal abad ke-20, para kuli Jawa telah menjadi mayoritas buruh yang ada di kantong-kantong perkebunan. Mereka secara terus-menerus didatangkan dari Pulau Jawa. Kedatangan mereka ke tanah Deli ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal. Keadaan perjalanan yang lama, melelahkan dan cukup panjang, telah memberikan dampak timbulnya perasaan senasib dan sepenanggungan dengan sesama mereka yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Pulau Jawa. Perasaan tersebut telah mengikat mereka untuk menjadi saudara sebagaimana timbulnya falsafah di kalangan orang Jawa yang berbunyi
(54)
yang terbentuk karena faktor senasib dan seperjuangan selama di kapal ini berlaku sampai mereka hidup di daerah tujuan.38
Besarnya arus kedatangan etnis Jawa sebagai kuli kontrak tersebut terus bertambah, dengan demikin jelas bahwa mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang besar.39
Tujuan transmigrasi bukan hanya untuk mengurangi kepadatan penduduk pulau Jawa saja, namun juga sebagai peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan para transmigran itu sendiri bersama-sama dengan penduduk
Selain karena faktor perekrutan kuli kontrak kedatangan masyarakat Jawa ke Medan juga diakibatkan program transmigrasi oleh pemerintah dalam rangka penyebaran penduduk yang serasi dan seimbang pada tahun 1952. Meskipun sebenarnya program tersebut sudah pernah dilakukan pada masa kolonial Belanda pada tahun 1905, dengan memindahkan ratusan keluarga ke Lampung. Pemerintah kolonial Belanda pada saat itu menyadari bahwa penduduk di daerah pulau Jawa pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat ekonomi pedesaan akibat adanya kegiatan perusahaan-perusahaan asing yang mengelola berbagai tanaman sebagai komoditi ekspor telah berdampak buruk bagi penduduk setempat.
38
Sihar Pandapotan, Proses Adaptasi Etnis Jawa Asal Solo di Kota Medan, Medan : Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan, 2006, hlm. 42
39
Suprayino, Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hlm. 27
(55)
setempat di daerah penerima transmigran. Obyek transmigran di wilayah Sumatera dianggap layak untuk dihuni transmigran asal Jawa, seperti di Secanggang (Kabupaten Langkat), Bukit Rata (Pangkalan Susu), Bulungihit (Kabupaten Labuhan Batu) maupun di Manduamas (Kabupaten Tapanuli Tengah). Namun timbul kekecewaan dari para transmigran karena berbagai faktor, salah satunya adalah bertambah padatnya jumlah penduduk di daerah mereka dan semakin tingginya persaingan. Hal ini mengakibatkan beberapa daerah transmigran seperti Bulungihit, Bukit Rata dan juga di daerah Secanggang ditinggalkan warganya. Bagi sebahagian kelompok yang masih mampu dari segi finansial mengambil jalan untuk pulang kembali ke Jawa. Sedangkan bagi beberapa kelompok atau warga lainnya tidak mampu secara finansial mencari jalan dengan mengadu nasib ke kota lain, termasuk kota Medan.
Selain program transmigrasi yang dicanangkan Pemerintah Indonesia, masuknya etnis Jawa ke Medan juga dilatarbelakangi adanya kepentingan di masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru, banyaknya etnis Jawa masuk ke kota Medan disebabkan adanya kepentingan militer dari pemerintahan Orde Baru. Keadaan ini menyebabkan munculnya kesempatan bagi etnis Jawa untuk masuk ke beberapa daerah di Indonesia termasuk kota Medan sebagai kepentingan untuk memperkuat kesinambungan pemerintahan Orde Baru.
Masuknya etnis Jawa ke kota Medan tidak berdasarkan konsep merantau, sebagaimana yang diterapkan oleh etnis Minangkabau dan Batak. Di
(56)
kalangan orang Jawa, perantauan tidak berakar dalam sistem sosial mereka dan dalam beberapa hal, mereka memiliki sikap negatif terhadap migrasi, terutama mengenai tempat-tempat di luar Jawa. Bagi mereka, Jawa adalah pusat dunia dan mereka percaya bahwa di luar Jawa tidak terdapat masa depan yang baik. Seperti yang telah dipaparkan bahwa kebanyakan etnis Jawa datang ke kota Medan terutama sebagai kuli kontrak. Namun, tidak selamanya kepercayaan atau adat tidak merantau dipegang teguh oleh etnis Jawa. Sihar Pandapotan dalam tesisnya menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1980-an, banyak etnis Jawa asal Solo yang telah datang ke Medan dan menetap didasarkan keinginan untuk merantau.40
Pada awalnya kedatangan para etnis Jawa ke Sumatera bukanlah untuk melakukan Jawanisasi seperti program yang dikehendaki oleh pemerintah Orde Baru. Namun seiring dengan menguatnya kekuasaan Orde Baru sejak tahun 1996 sampai dengan 1997. Jawanisasi menjadi sangat mudah ditularkan kepada mereka khususnya etnis Jawa yang jauh sebelum Orde Baru ada, mereka sudah bertempat tinggal di kota Medan, dimana budaya serta bahasa yang mereka gunakan masih bercorak budaya Jawa. Tentu hal ini akan mengobati kerinduan para etnis Jawa yang berada jauh dari kampung halaman atau pulau Jawa, yaitu kerinduan akan budaya Jawa yang dulu mereka agungkan di tempat asalnya. Untuk mengobati rasa kerinduan tersebut mereka khususnya orang-orang Jawa membentuk perkumpulan masyarakat Jawa dari berbagai golongan seperti yang telah disebutkan di atas, maka melalui
40
(57)
perkumpulan tersebut diharapkan antar sesama etnis Jawa yang berada di kota Medan atau yang bukan etnis Jawa di kota Medan dapat menjalin hubungan dengan baik dan harmonis serta melalui perkumpulan tersebut diharapkan kesenian Jawa tetap dapat dilestarikan sekaligus dapat mengatasi persoalan-persoalan sosial, budaya maupun ekonomi yang menimpa masyarakat etins Jawa di Sumatera yang pada waktu itu khusus kota Medan yang merupakan kot a multietnis.
(58)
BAB IV
PERKEMBANGAN WAYANG KULIT DI KOTA MEDAN 1970-1990
4.1 Sejarah Perkembangan Wayang Kulit
Beberapa sosiolog, antropolog, seperti Koentjaraningrat dan Munandar Sulaeman menganggap bahwa kebudayaan Jawa adalah hasil perpaduan berbagai konsepsi budaya dan religi asli dengan pendatang. Ciri khas kebudayaan Jawa adalah membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang kebudayaan dari luar dengan tetap berusaha mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan jati diri dalam mengembangkan ciri khasnya , melainkan dengan mencerna masukan-masukan budaya dari luar.41
Pada awalnya masyarakat Jawa berkembang dalam budaya mistik-religius, selanjutnya mendewasakan diri dengan menyerap berbagai unsur budaya yang datang dari luar. Kelenturan masyarakat Jawa dalam menerima dan mengolah unsur budaya pendatang menciptakan bentuk perpaduan antara asli Jawa dengan budaya pendatang. Wayang sebagai salah satu produk pendewasaan budaya Jawa terbentuk dari nilai-nilai lokal yang diperkaya dan disempurnakan oleh unsur-unsur pendatang dari zaman-ke zaman hingga mencapai posisi adhiluhung. Wayang dipercaya memiliki nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa,
41
(59)
bahkan dalam perkembangannya telah teruji bahwa wayang menyimpan banyak disiplin ilmu.
Bagi masyarakat Jawa, wayang merupakan sumber penilaian watak manusia, ajaran kebenaran, cermin tingkah laku dan tingkat kedewasaan seseorang. Selain itu oleh masyarakat Jawa yang telah tinggal di Medan wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan, atau kesenian rakyat, melainkan juga telah menjadi bagian dalam kehidupan sosial, religius, bahkan mistik. Banyak pendapat para sosiolog dan antroplog yang mencoba mencari asal-usul wayang, dan sebagian besar bermuara pada dualisme, beberapa pakar menyebut wayang berasal dari India (Hindu) dan sebagian lagi menyatakan kesenian asli Bangsa Indonesia khususnya Jawa. Dari pendapat tersebut menyatakan bahwa wayang adalah produk dari bertemunya dua kebudayaan, yaitu Hindu dan Jawa.42
Kesenian wayang kulit yang berkembang dengan cepat di Sumatera Utara khususnya Medan dikarenakan masyarakat Jawa yang banyak tinggal dan menetap di pinggiran kota Medan yang kesemuanya mereka itu telah habis kontraknya di perkebunan dan kegiatan yang mereka lakukan adalah bertani. Dengan demikian tercipta permukiman-permukiman orang Jawa di pinggir-pinggir perkebunan yang berdekatan dengan kampung-kampung orang Melayu di luar kota Medan. Kampung-kampung ini akhirnya diberi nama Jawa seperti Sitirejo pada tahun 1930. ketika areal kota Medan diperluas sesudah
42
Hazim Amir, Nilai-nilai Etis Dalam Wayang, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 23
(60)
kemerdekaan yaitu tahun 1953 maka sebahagian dari kampung-kampung orang Jawa dan Melayu menjadi daerah kota Medan, dan secara otomatis pula menjadi warga kota Medan.43
43
Usman Pelly, dkk, op.cit, hlm. 95
Dengan menjadi warga kota Medan maka orang-orang Jawa tersebut membuka perkampungan lain seperti Harjosari, Sidorame, dan Sudirejo. Dengan begitu maka mudah bagi orang-orang Jawa untuk melakukan kesenian tradisional mereka di perkampungan tersebut. Berbagai macam bentuk kesenian Jawa seperti wayang kulit, ludruk, reog, jaran kepang dan sebagainya mereka laksanakan untuk mempertahankan kesenian leluhur mereka. Namun dari sebahagian kesenian tradisional Jawa tersebut yang paling banyak diminati adalah kesenian wayang kulit. Sehingga pada tahun 1970-an kesenian wayang kulit menjadi terkenal di Medan. Dengan semakin banyaknya digemari kesenian wayang kulit ini akhirnya lebih sering dipertunjukan di berbagai acara yang sifatnya sakral seperti bersih desa, ruwatan dan hari besar Jawa, namun karena kesenian wayang kulit ini banyak digemari tidak saja dari golongan masyarakat Jawa akhirnya kesenian ini berubah fungsi menjadi kesenian yang sifatnya menghibur atau hiburan. Berubahnya fungsi kesenian ini dari yang sifatnya sakral menjadi hiburan sebenarnya terjadi jauh sebelum kesenian wayang masuk ke Medan namun mulai terlihat lebih mencolok sekitar tahun 1980-an karena masyarakat Jawa tidak lagi menggunakan kesenian ini sebagai acara yang bentuknya sakral tetapi mereka lebih sering menggunakan kesenian ini pada acara-acara pesta seperti pernikahan, sunatan, bahkan pada acara ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Kesenian wayang kulit ini
(61)
banyak diminati karena di dalam pertunjukannya terdapat berbagai macam nasehat-nasehat atau petuah yang dapat diambil untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan masyarakat khususnya orang-orang Jawa. Meskipun sifatnya hiburan seperti yang telah dikatakan di atas namun pada dasarnya di dalam pertunjukan kesenian wayang kulit ini tetap memainkan peranan penting sebagai media pendidikan yang memberikan tuntunan kepada masyarakat melalui perantara seorang dalang. Namun kesenian ini mulai tergeser kedudukannya karena masuknya budaya modern ke Medan sekitar tahun 1990-an. Kesenian ini tidak lagi banyak diminati orang khususnya masyarakat Jawa karena sudah dianggap sebagai hiburan yang kuno. Selain itu juga kesenian ini telah dikomersilkan sehingga untuk menyelenggarakan pertunjukan kesenian wayang kulit ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Kesenian wayang kulit ini tidak dapat lagi bersaing dengan kesenian yang sifatnya modern dan lebih murah biayanya. Saat ini masyarakat khususnya Jawa apabila ingin menyaksikan pertunjukan wayang kulit harus menunggu pada saat hari-hari besar Jawa.
4.1.1 Makna Kesenian Wayang Kulit
Kesenian wayang kulit sebagai bagian dari kesenian tradisonal dalam kebudayaan masyarakat Jawa, mengandung banyak makna yang dianggap sebagai pedoman hidup yang dipegang teguh oleh sebagian besar orang Jawa. Masyarakat Jawa selalu menjunjung tinggi yang sudah menjadi tradisi dalam
(1)
(2)
Lampiran VI
(3)
Lampiran VII
Susunan Pengurus Organisasi BKKJ Wilayah Sumatera
PELINDUNG :
1. Bapak Pangkowilhan I Letjen. TNI Widodo 2. Bapak Korandak I Mayjen. Sumantri Sakimi 3. Bapak Gubernur Brigjen Marahalim
4. Bapak Pang DAM II/BB Brigjen. Alex Prawira Atmaja 5. Bapak Komdak II Brigjen. Pol. U.E. Medelu
6. Bapak Pangkodau Marskal Pertama Iskandar
7. Bapak Pangdaeral I Laksamana Pertama Soehardjo Djojo Suroso 8. Bapak Jaksa Tinggi Sumatera Utara Purwanto Atmodjo SH
PENASEHAT :
1. Bapak Brigjen. Heri Suwondo 2. Bapak Kolonel Haji Husni
3. Bapak Ka. Japensu Amiruddin Nst 4. Bapak Kepala Perwakilan P&K Sumut
5. Bapak Kepala Studio RRI Nusantara III Medan 6. Bapak Kepala TVRI Medan
(4)
PIMPINAN PELAKSANA :
1. Ketua Umum : Kol. M. Soekardi 2. Ketua I : R. Sadarmo
3. Ketua II : Kolonel Pol. A.R. Somowidjojo 4. Ketua III : Drs. Suryadi
PELAKSANA HARIAN :
1. Ketua I : M. Sudjadi 2. Ketua II : Feri Yudho
3. Sekretaris I : H.W. Kasno 4. Sekretaris II : Hermanto
5. Sekretaris III : Drs. Slamet Rianto 6. Sekretaris IV : R. Moerdiono
7. Bendahara : Ny. Djamaluddin Tambunan
SEKSI DANA :
1. Usaha Dana I : M. Soekardi
2. Usaha Dana II : A.R. Soemowidjojo 3. Usaha Dana III : Feri Judho
4. Usaha Dana IV : Koes Mulyanto Ongko
SEKSI ACCOMODASI :
(5)
SEKSI PERLENGKAPAN :
1. Plk. I : B. Bagiyo 2. Plk. II : J. Soewito
3. Plk. III : Toegimin S. Prajitno 4. Plk. IV : R.M. Hadi Soebroto
SEKSI KOMTEK :
1. Komtek I : Drs. Soerjadi 2. Komtek II : A.S. Djati Oetomo 3. Komtek III : Soerjiato
4. Komtek IV : Warsino 5. Komtek V : Heru Wirjono
HUMAS :
1. Humas I : H.W. Kasno 2. Humas II : Hermanto 3. Humas III : Ali Soekardji
KEAMANAN :
1. Keamanan I : Kapten Ramiso 2. Keamanan II : R. Soedarno 3. Keamanan III : David
KOMISARIS DAERAH :
(6)
Bertugas untuk daerah Simalungun 2. Komda II : B. Bagio
Bertugas untuk daerah Kabupaten Deli Serdang
3. Komda III : Drs. Mangku Hardjo
Bertugas untuk Kota Madya Medan dan sekitarnya
4. Komda IV : R.Sadarmo
Bertugas untuk daerah Kabupaten Labuhan Batu
5. Komda V : Sudibyo SH
Bertugas khusus untuk daerah P.N. Pertamina P. Brandan
6. Komda VI : Dr. Erlangga Sahir dan Muljono T. Pranoto Bertugas daerah Kab. Langkat dan Kota Madya Binjei
7. Komda VII : Dr. Soedarto
Bertugas untuk daerah Kabupaten Asahan 8. Komda VIII : H.W. Kasno
Bertugas untuk daerah Kbupaten Tap. Selatan