ORIENTASI POLITIK DEWAN PIMPINAN WILAYAH PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG TERHADAP KONFLIK DI TINGKAT DEWAN PIMPINAN PUSAT

(1)

THE POLITICAL ORIENTATION OF REGIONAL LEADERSHIP COUNCIL OF UNITED DEVELOPMENT PARTY LAMPUNG PROVINCE AGAINST

THE CONFLICT IN CENTRAL LEADERSHIP COUNCIL

By Bertha Nanda

Until now a tempest elite conflict in the party's internal is still happen. Internal conflict happens between two camps, namely the camp Chairman of PPP Suryadharma Ali with camp Vice Chairman of PPP Romahurmuziy and 26 Regional administrators council of PPP all over Indonesia that triggered the attitude of Suryadharma Ali attended the campaign of Gerindra party assessed by 26 Region administrators council of PPP in various areas as a form of "Indiscretion political", then the conflict nosedive up to the threat of dismissal to the region administrators council Secretary General PPP by Suryadharma Ali. But the threat was countered by Deputy Chairman, Secretary General PPP Regional Board Council, by holding a meeting with the national leadership to discuss the National Working Group III. The meeting was not attended by Suryadharma Ali. The aimed of this research was to find out and to understand about the political orientation of regional leadership council of united development party Lampung Province against the conflict in central leadership council.

This research used qualitative research methods. The type of research was descriptive qualitative, which provide an overview of the problems examined, namely how was the political orientation committee DPW PPP Lampung against the conflict PPP at the national level. The use of qualitative research was seen more subjective because it used a different method of collecting information, individuals in using the interview.

The result showed that the Regional Leadership Council of United Development Party Lampung Province on the mechanism of input and output on DPP decision making system, including the knowledge of rights and obligations as the DPW in the conflict at the national level has been good, which Regional Leadership Council of United Development Party Lampung Province know the background, chronology and settlement of the conflict in the Central Leadership council of United Development Party (PPP). The feelings Regional Leadership Council of the United Development Party Lampung Province on the DPP leadership system, including the role of actors (politicians) and the maintenance of political parties, which Regional Leadership Council of United Development Party Lampung Province Development considers that a legitimate leadership was the leadership of


(2)

DPP PPP and the maintenance of political parties by Djan Faridz. The Decision and individual opinion Regional Leadership Council of the United Development Party Lampung Province about the DPP leadership that typically involving the standard of values, information and feelings criteria, where in each DPW decision-making process based on the decision of the Central Leadership Council. The decisions and opinion regional leadership council member PPP Lampung endorsed the leadership of Djan Faridz.

Advice, if the United Development Party (PPP) does not want a conflict about things that have been agreed, the United Development Party (PPP) need to Plant an ideology clearer down to the root, starting from the central level, region, down to the local level. United Development Party (PPP) should hold dialogues of democracy within the party, so from the central level, the region, to the area can permeates the various principles and policies applicable in the internal party. In efforts to raise the United Development Party (PPP) and the achievement of the goal of winning the party in the election, members and cadres of the United Development Party (PPP) should do obligation above personal interests to run the vision and mission of the party.


(3)

ABSTRAK

ORIENTASI POLITIK DEWAN PIMPINAN WILAYAH PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG

TERHADAP KONFLIK DI TINGKAT DEWAN PIMPINAN PUSAT

Oleh Bertha Nanda

Sampai saat ini prahara konflik elite di internal partai masih saja terjadi. Konflik internal saat ini terjadi antara dua kubu, yakni kubu Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dengan kubu Wakil Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan 26 pengurus Dewan Pengurus Wilayah PPP seluruh Indonesia yang dipicu sikap Suryadharma Ali menghadiri kampanye Partai Gerindra yang dinilai oleh 26 pengurus Dewan Pengurus Wilayah PPP di berbagai daerah sebagai bentuk “perselingkuhan politik”, lalu konflik menukik tajam hingga sampai ancaman pemecatan terhadap pengurus Dewan Pengurus Wilayah bersama Sekretaris Jenderal PPP oleh Suryadharma Ali. Namun ancaman itu dilawan oleh kubu Wakil Ketua, Sekretaris Jenderal PPP dan Pengurus Dewan Pengurus Wilayah, dengan menggelar rapat pimpinan nasional membahas Musyawarah Kerja Nasional III, rapat itu tidak dihadiri oleh Suryadharma Ali. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami secara jelas mengenai orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Tipe penelitian bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memberikan gambaran tentang masalah yang diteliti, mengenai bagaimana orientasi politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat. Penggunaan penelitian kualitatif dipandang jauh lebih subyektif karena menggunakan metode yang berbeda dari mengumpulkan informasi, individu dalam menggunakan wawancara.

Hasil penelitian didapatkan pengetahuan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung atas mekanisme input dan output sistem pengambilan keputusan DPP, termasuk dalam pengetahuan hak dan kewajiban selaku DPW dalam konflik yang terjadi di tingkat pusat sudah baik, dimana Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung mengetahui latar belakang, kronologi serta penyelesaian konflik yang terjadi pada Derwan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perasaan Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap sistem kepemimpinan DPP termasuk peran aktor (politisi) dan pengurusan partai politik, dimana Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung menganggap bahwa kepemimpinan yang sah


(4)

Keputusan dan pendapat individu Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung tentang kepemimpinan DPP yang secara tipikal yang melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, dimana dalam setiap proses pengambilan keputusan DPW berdasarkan pada keputusan yang diambil dari Dewan Pimpinan Pusat. Keputusan dan pendapat anggota Dewan Pimpinan Wilayah PPP Lampung mengesahkan kepemimpinan Djan Faridz. Saran, jika kedepannya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak ingin kembali terjadi konflik mengenai hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya seperti konflik mengenai ide dasar ataupun platform, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) perlu melakukan Penanaman ideologi yang lebih jelas sampai ke akar, mulai dari tingkat pusat, wilayah, sampai ke tingkat daerah. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) perlu mengadakan dialog demokrasi di dalam tubuh partai, sehingga nantinya mulai dari tingkat pusat, wilayah,sampai ke daerah bisa meresapi berbagai prinsip dan kebijakan yang berlaku di internal partai. Dalam upaya membesarkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pencapaian tujuan memenangkan Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu perlu kiranya para pengurus, anggota, dan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersatu kembali dan mendahulukan kepentingan Partai di atas kepentingan pribadi untuk menjalankan kembali Visi Misi Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


(5)

DEWAN PIMPINAN PUSAT

Oleh

BERTHA NANDA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(6)

ORIENTASI POLITIK DEWAN PIMPINAN WILAYAH PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN PROVINSI LAMPUNG

TERHADAP KONFLIK DI TINGKAT DEWAN PIMPINAN PUSAT

(Skripsi)

Oleh

BERTHA NANDA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(7)

DAFTAR SINGKATAN

AD/ART : Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga DPC : Dewan Pimpinnan Cabang

DPD : Dewan Pimpinnan Daerah DPP : Dewan Pimpinnan Pusat DPW : Dewan Pimpinnan Wilayah

KR-PPP : Komite Reformasi Partai Persatuan Pembangunan LSM : Lembaga swadaya masyarakat (LSM)

NGO’s : Non Government Organization (organisasi non pemerintah) NU : Nadhatul Ulama

Ormas : Organisasi-organisasi kemasyarakatan Parmusi : Partai Muslim Indonesia,

Perti : Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah PPP : Partai Persatuan Pembangunan


(8)

MOTO

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan…” “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan…"

(Q.S Al Insyirah : 5-6)

“ Meminta maaf bukan berarti kamu salah dan orang lain benar. Tetapi karena hatimu bernilai lebih tinggi dari egomu”


(9)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan nikamt rahmat dan kelancaran kepada penulis untuk menyelesaikan akhir perkuliahan dan

menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini ku persembahkan untuk Papa dan Mama tercinta, kakak dan ayuk, serta seluruh keluarga besarku, sahabat-sahabatku, dan almamaterku tercinta


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis di lahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 8 Juni 1993, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Kasman Achmadri dan Ibu Hj. Herlina.

Pendidikan pertama penulis adalah bersekolah di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Langkapura pada tahun 2005. Lalu melanjutkan ketingkat Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 9 Bandar Lampung, dan lulus pada tahun 2008. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 9 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung melalui jalur seleksi SNMPTN Undangan. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga telah mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2014 selama 40 hari di Desa Gunung Rejo Kec. Padang Cermin Kab. Pesawaran.


(11)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Atas kehendak dan kuasa Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Orientasi Politik Dewan pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung Terhadap Konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekn fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung serta Dosen Pembimbing Akademik. Terimakasih atas saran, kritik, dan motivasi yang telah bnyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan..

3. Bapak Drs. Hertanto, M.Si., Ph.D., selaku dosen pembimbing utama. Terimakasih atas saran, kritik, motivasi yang tinggi, waktu, kesabaran, serta bimbingannya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Budi Harjo, M.I.P., selaku dosen pembimbing pembantu. Terimakasih atas saran, kritik, motivasi yang tinggi, waktu, kesabaran,


(12)

5. Bapak Dr. Suwondo M.A., selaku dosen pembahas. Terimakasih atas saran, kritik, waktu, serta bimbingannya yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, terimakasih atas segala ilmu yang penulis peroleh selama proses perkuliahan semoga dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis kedepannya.

7. Ibu Rianti selaku staff Administrasi yang banyak membantu kelancaran administrasi skripsi ini.

8. Bapak Hi. MC. Iman Santoso, SH., MH., selaku Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Perstuan Pembangunan Provinsi Lampung yang telah memberikan Izin, data serta informasi kepada penulis untuk melakukan penelitian sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

9. Keluargaku tercinta yang telah memberikan doa, dukungan, dan semangat. Terimakasih kepada papa dan mama yang dengan ketulusan hati telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya, mendidik, membimbing, dan mendoakan anakmu agar sukses serta telah berusaha kerja keras membiayai anakmu agar mampu menempuh pendidikan selama ini. Terimakasih kakakku Eko Setiawan dan ayukku Novalia Citra tersayang yang selalu memberikan perhatian, semangat, serta doanya kepada adikmu ini.


(13)

hariku.

11.Terimakasih kepada TIRUB sahabat setia dan selalu saling berbagi cerita Jenfabella Lukel, SE, Bripda. Raisya Miradiah, Gladytha Gunawan, Riga Yulianita, alm. Ella Noviana Sari terimakasih sudah menjadi sahabat terbaik selama ini.

12.Terimakasih kepada my besties Jasmin Adlin, Ruri Istialita Sutono. Intan Charina, Julyan Eria, Arini Susanto teman berbagi cerita setia sejak jaman SMP.

13.Terimakasih kepada PJC terdiri dari Santy Novitasari, Winda Septiana, Adelia Pramadita, Natessya Septiani, Balqis Annisa, Pertiwi Agustina, dan Aan Lesmana yang saling memberikan semangat, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Terimakasih kapada teman berbagi cerita Dio Baleri, Angga Alamsyah, Riyadhi Adyan yang telah sama-sama memberi semangat, semoga kalian cepat menyusul menjadi Sarjana Ilmu Pemerintahan.

15.Terimakasih kepada teman seperjuangan, Ilmu Pemerintahan angkatan 2011, yang selalu membantu, berbagi keceriaan, dan melewati suka dan duka selama kuliah.

16.Almamater tercinta Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran


(14)

BandarLampung, 10 September 2015 Penulis,


(15)

(16)

(17)

(18)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C.Tujuan Penelitian ... 12

D.Kegunaan Penelitian... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Tinjauan Tentang Orientasi Politik ... 14

B. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ... 19

C. Tinjauan Tentang Partai Politik ... 20

D. Tinjauan Tentang Konflik ... 26

E. Kerangka Pikir ... 30

III. METODE PENELITIAN A.Tipe Penelitian ... 32

B.Fokus Penelitian ... 32

C. Lokasi Penelitian……...………...….. ... 35

D. Informan ... 35

E. Jenis dan Sumber Data ... 36

F. Teknik Pengumpulan Data ... 36

G.Teknik Analisis Data ... 37

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN A. Sejarah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ... 41

B. Azas dan Tujuan Organisasi ... 49

C. Visi dan Misi Organisasi ... 49

D. Struktur Organisasi Partai Persatuan Pembangunan ... 50


(19)

V. HASILPENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Orientasi Politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan

Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan

Pimpinan Pusat ... 59

1. Komponen Kognitif ... 60

2. Komponen Afektif ... 69

3. Komponen Evaluatif ... 71

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 78

B. Hasil Penelitian ... 79


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Partai politik memunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi, partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Partai politik merupakan salah satu bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Di samping partai politik, bentuk ekspresi lainnya juga terwujud dalam bentuk kebebasan pers, kebebasan berkumpul, ataupun kebebasan berserikat melalui organisasi-organisasi non-partai politik seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, organisasi non pemerintah, dan lain sebagainya.

Reformasi pasca otoritarisme orde baru telah menghidupkan kembali demokrasi, pertumbuhan partai politik pada masa ini tidak terhindarkan lagi sebab partai politik merupakan pilar dari demokrasi yang harus ada di dalam suatu negara modern. Masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memerjuangkan keinginan sosial mereka, sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi


(21)

pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai (Jurdi, 2008: 187).

Munculnya partai-partai politik di Indonesia tidak lepas dari adanya iklim kebebasan yang luas pada masyarakat pasca pemerintahan kolonial Belanda. Kebebasan demikian memberikan ruang kepada masyarakat untuk membentuk organisasi, termasuk partai politik, selain itu, lahirnya partai politik di Indonesia juga tidak terlepas dari peranan gerakan-gerakan, yang tidak saja dimaksudkan untuk memeroleh kebebasan yang lebih luas dari pemerintahan kolonial Belanda, juga menuntut adanya kemerdekaan, hal ini dapat dilihat dengan lahirnya partai-partai sebelum kemerdekaan (Marijan, 2010: 60).

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memerjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Partai politik merupakan alat perjuangan masyarakat untuk menduduki pemerintahan, dimana anggota-anggotanya terorganisir dan terbentuk dari pandangan mengenai nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Keberadaan partai


(22)

politik sangat penting untuk memerjuangkan aspirasi masyarakat, sebab salah satu indikator dari negara demokrasi adalah partai politik dan pemilu, melalui partai politik, dilakukan rekrutmen politik untuk menduduki jabatan-jabatan politik baik di pemerintahan atau legislatif.

Sistem demokrasi dengan banyak partai politik, aneka ragam aspirasi dan kepentingan politik yang saling berkompetisi dalam masyarakat memerlukan penyalurannya yang tepat melalui pelembagaan partai politik, semakin besar dukungan yang dapat dimobilisasikan dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai politik, maka semakin besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.

Guna menjamin kemampuannya memobilisasi dan menyalurkan aspirasi itu, struktur organisasi partai politik yang bersangkutan haruslah disusun sedemikian rupa, sehingga ragam kepentingan dalam masyarakat dapat ditampung dan diakomodasikan seluas mungkin, oleh karena itu, struktur internal partai politik penting untuk disusun secara tepat. Disatu satu sisi harus sesuai dengan kebutuhan untuk mobilisasi dukungan dan penyaluran aspirasi konstituen, disisi lain, struktur organisasi partai politik juga harus disesuaikan dengan format organisasi pemerintahan yang diidealkan menurut visi partai politik untuk memberikan dukungan. Semakin cocok struktur internal organisasi partai itu dengan kebutuhan, makin tinggi pula derajat pelembagaan organisasi yang bersangkutan.

Partai politik terbentuk karena adanya ideologi yang sama, namun dalam pelaksanaannya ideologi yang sama tidak cukup untuk membentuk sebuah


(23)

partai, hal tersebut karena sesungguhnya di dalam sebuah partai masih terdapat perbedaan orientasi, cita-cita, nilai dan kehendak masing-masing individu, hal inilah yang menjadi salah satu penyebab munculnya konflik dalam tubuh partai yang saat ini banyak terjadi, konflik tidak bisa dihindarkan karena sejauh berdirinya sebuah partai pasti terdapat kepentingan-kepentingan pribadi yang berbeda satu sama lain.

Sebagai institusi politik dalam sistem demokrasi modern, tentunya partai politik akan memertemukan banyak orang dengan memiliki beragam kepentingan dan persaingan politik. Partai politik memainkan peran sentral dalam menjamin adanya partisipasi politik, sekaligus juga persaingan politik, dengan demikian maka akan sangat rawan terjadi konflik di dalam lingkup partai politik. Partai politik yang juga sebagai organisasi modern tentunya akan selalu dihadapkan pada realitas konflik baik itu secara internal maupun secara ekternal, misalnya konflik berupa perbedaan pandangan, ide atau paham, pertentangan kepentingan dan seterusnya, jadi pada dasarnya konflik atau perpecahan dalam tubuh partai politik bisa timbul dari kelangkaan posisi dan sumber daya (Firmansyah, 2011: 44).

Konflik dapat berlangsung pada setiap tingkat dalam struktur organisasi dan di tengah masyarakat karena memerebutkan sumber yang sama, baik mengenai kekuasaan, kekayaan, kesempatan atau kehormatan, serta dapat memunculkan disharmonisasi, disintegrasi dan disorganisasi masyarakat yang mengandung banyak konflik baik tertutup maupun terbuka. Pada masyarakat yang telah memiliki konsensus dasar, tujuan negara dan mekanisme


(24)

pengaturan konflik tidak akan berujung pada kekerasan tetapi masih dalam batas yang wajar seperti unjuk rasa, pemogokan, pengajuan petisi dan polemik melalui media massa ataupun perdebatan melalui forum-forum tertentu.

Konflik terjadi dalam masyarakat karena adanya distribusi kewenangan yang tak merata sehingga bertambah kewenangan pada suatu pihak akan dengan sendirinya mengurangi kewenangan pihak lain. Oleh karena itu para penganut teori konflik ini berkeyakinan bahwa konflik merupakan gejala serba hadir, gejala yang melekat pada masyarakat itu sendiri, karena ia melekat pada masyarakat itu sendiri, maka konflik tidak akan dapat dilenyapkan, yang dapat dilakukan oleh manusia anggota masyarakat adalah mengatur konflik itu agar konflik yang terjadi antar kekuatan sosial dan politik tidak berlangsung secara kekerasan (Ralf Dahrendorf dalam Surbakti, 2010: 20). Konflik menjadi salah satu karakteristik dalam kehidupan manusia yang sudah ada sejak dahulu sampai era globalisasi sekarang ini yang tidak mungkin dihindari dalam perubahan sosial. Konflik menjadi suatu hal yang menarik jika dibandingkan dengan bahasan lainnya dalam politik, karena pada umumnya politik senantiasa berkaitan erat dengan konflik, karena sifat yang berbeda-beda tersebut yang memicu timbulnya pertentangan, hal ini disebabkan adanya suatu keadaan kebutuhan ataupun kehendak yang ingin coba dipenuhi, konflik ada di setiap bidang kehidupan manusia, ketika adanya kesenjangan yang memunculkan permasalahan, yang tidak dapat terelakkan lagi, melainkan hanya dapat diatur mekanisme penyelesaiannya.


(25)

Konflik partai politik merupakan hal yang dapat ditemukan ketika dalam organisasi terdapat kondisi yang berubah, karena partai politik itu sendiri terorganisir dalam organisasi yang basis massanya sangat besar, kemungkinan adanya konflik internal dengan berjalannya organisasi akan timbul ketika organisasi tersebut sudah tidak sejalan, sehingga partai politik dikatakan tidak memiliki keutuhan internal ketika terdapat perbedaan ideologi dan paham yang berbeda antar anggota partai. Adanya permasalahan di dalam partai politik yang kemudian dapat menghambat kinerja partai politik tersebut tentunya bertolak belakang dengan tujuan partai politik itu sendiri yaitu tercapainya visi misi dari partai bukan kepentingan politik kader partai. Sebagai salah satu contoh dinamika pergeseran kekuasaan politik di Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat Provinsi Riau, dimana proses pelengseran ketua-ketua DPD Partai Demokrat Riau kurun waktu 2004-2009 dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pelengseran ketua-ketua DPD Partai Demokrat pada kurun waktu tersebut. Studi ini didesain dengan metode kualitatif dan jenis penelitian deskriptif yang dilakukan di DPD Partai Demokrat Riau. Dinamika pergeseran kekuasaan politik di DPD Partai Demokrat Riau merupakan murni konflik internal elite partai. www.google.co.id/jurnal_penelitian_konflik_internal_partai, , diakses pada tanggal 19 Mei 2015).

Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai politik pasca kongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP


(26)

PDIP Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan- puu/437-konflik-internal-partai-sebagai-salah-satu-penyebab-kompleksitas-sistem-multi-partai-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 18 Mei 2015). Hasil penelitian Firmansyakh (2010) tentang Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC PKB Kota Tasikmalaya), dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik internal yang terjadi di dalam tubuh DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Tasikmalaya diawali dengan beredarnya 2 SK Kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya. Hal tersebut berdasarkan keputusan dari DPP PKB. Selanjutnya, dengan alasan kepengurusan pada saat itu kurang relevan dalam menghadapi Pemilu 2009. Sehingga membuat kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya terpecah menjadi dua kubu, yakni kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar. Selain imbas dari konflik di tingkat pusat, beredarnya 2 SK Kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya Periode 2006-2011 dan SK Kepengurusan DPC PKB Kota Tasikmalaya


(27)

Periode 2008- 2009 semakin membuat konflik di DPC PKB Kota Tasikmalaya semakin meruncing. Hal ini dikarenakan SK yang pertama masih berlaku, sedangkan SK yang kedua merupakan keputusan DPP PKB yang selayaknya ditaati dan dilaksanakan. Apalagi berkaitan dengan persiapan menjelang Pemilu Legislatif 2009. Konflik ini pun sampai diperkarakan ke pengadilan dan pada akhirnya dimenangkan oleh kubu Muhaimin Iskandar.

Hasil penelitian Adawiah tentang Konflik Internal Partai Nasdem (Studi Tentang DPW Partai Nasdem Sulawesi Selatan) diperoleh hasil bahwa bahwa konflik di internal Partai Nasdem bersumber dari perbedaan pandangan antara Harry Tanoesoedibjo dengan Surya Paloh tentang pengisian jabatan Ketua Umum. Konflik yang terjadi di tingkat DPP merembet sampai ketingkat DPW dengan adanya pembekuan Ketua DPW Sul-Sel yang diangap memihak Harry Tanoesoedibjo. Konflik ini juga disebabkan karena adanya perbedaan kepentingan antara anggota serta adanya faksionalisme internal bipolar yaitu kubu Harry Tanoesoedibjo dan Kubu Surya Paloh yang terbentuk karena perbedaan pandangan pengisian jabatan ketua umum. Konflik ini termasuk kedalam konflik permukaan dan konflik laten karena akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat di atasi dengan menggunakan komunikasi (Adawiah, 2013).

Hasil penelitian Sitio tentang Pergeseran Konflik dari Antar Partai Menjadi Konflik Internal Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara Pada Pemilu


(28)

Legislatif 2014, hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan sistem pemilu proporsional dari mekanisme nomor urut menjadi berdasarkan suara terbanyak menimbulkan terjadinya pergeseran posisi konflik dari antar partai menjadi konflik internal partai. Perubahan tersebut melemahkan peran partai dalam kaderisasi dan rekrutmen calon sehingga partai bersikap pragmatis dan lebih mengutamakan popularitas dan figur tanpa melihat kualitas, kapasitas dan integritas. Sehingga para calon berusaha untuk menyosialisasikan dirinya dan melakukan segala cara untuk menang dalam pemilu (Sitio, 2014)

Sejak awal berdirinya PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pada tahun 1973 memang tidak terlepas dari prahara, ironisnya sampai saat ini prahara konflik elite di internal partai masih saja terjadi. Konflik internal saat ini terjadi antara dua kubu, yakni kubu Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dengan kubu Wakil Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan 26 pengurus Dewan Pengurus Wilayah PPP seluruh Indonesia yang dipicu sikap Suryadharma Ali menghadiri kampanye Partai Gerindra yang dinilai oleh 26 pengurus Dewan Pengurus Wilayah PPP di berbagai daerah sebagai bentuk “perselingkuhan politik”, lalu konflik menukik tajam hingga sampai ancaman pemecatan terhadap pengurus Dewan Pengurus Wilayah bersama Sekretaris Jenderal PPP oleh Suryadharma Ali. Namun ancaman itu dilawan oleh kubu Wakil Ketua, Sekretaris Jenderal PPP dan Pengurus Dewan Pengurus Wilayah, dengan menggelar rapat pimpinan nasional membahas Musyawarah Kerja Nasional III, rapat itu tidak dihadiri oleh Suryadharma Ali (www.merdeka.com.html, diakses pada tanggal 18 Maret 2015).


(29)

Berkaitan dengan konflik internal PPP yang terjadi, maka Pasal 32 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa :

(1) Perselisihan partai politik diselesaiakan oleh internal partai politik sebagaimana diatur dalam AD dan ART;

(2) Penyelesaian perselisihan internal partai politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh partai politik;

(3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disampaikan oleh pimpinan partai politik kepada kementerian;

(4) Penyelesaian perselisihan internal partai politik sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari; (5) Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan

mengikat secara internal dalam hal ini perselisihan yang bersifat kepengurusan.

Konflik internal yang tak kunjung usai menimbulkan persepsi dan tanggapan yang beragam dari anggota atau kader dianggap merugikan partai, lalu bagaimana sikap anggota partai yang berada di daerah terhadap konflik yang terjadi di tingkat pusat. Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung sebagai salah satu entitas kekuatan politik lokal yang tidak dapat dipungkiri tentunya memiliki pandangan, pendapat, dan sikap tersendiri terhadap konflik yang terjadi di tingkat pusat.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lampung, Hasanusi, mengatakan, MC. Iman Santoso, tidak jangan galau dan berpolemik serta, bermanuver dengan eksisnya DPW PPP Lampung versi Romuhurmuzy. Karena, dengan dilaksanakannya kegiatan besar yakni Muswil ke 7 di Hotel Lee Bandarjaya, berarti PPP versi Romuhurmuzy yang eksis. Menurutnya, Pada saat muswil tersebut disusun


(30)

pengurus baru,dan tidak ada kepengurusan versi Wiwik, sapaan akrab MC Iman Santoso Dilain sisi, Mantan Ketua DPW PPP Lampung, Azazie mengatakan, pada muswil 7 di Hotel Lee Bandarjaya, merekomendasikan dan memutuskan akan menindaktegas dengan cara membehentikan jabatan pengurus DPW dan DPD, DPC, PAC serta kader yang tdak loyal dan tidak hadir tanpa alasan yang jelas, dan akan melakukan PAW bagi anggota DPRD yang tidak ikut Muswiil dan tidak sejalan dengan PPP di bawah kepemimpnan Romi. (http://inspiratiflampung.com/soal-konflik-ppp-lampung-hasanusi-wiwik-jangan-galau/, diunduh tanggal 28 Mei 2015).

Alasan pentingnya masalah Orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah terhadap konflik di tingkat Dewan Pimpinan Pusat adalah dengan adanya konflik internal partai yang terjadi dapat disebut sebagai disorientasi makna demokrasi, dimana demokrasi dipahami bukan sebagai mekanisme-proses, tetapi sebagai tujuan itu sendiri. Terjadi distorsi semangat demokrasi, sehingga cenderung hanya pada ranah politik. Hal ini karena semangat berdemokrasi tidak ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, baik secara politik, sumber daya manusia, mentalitas dan budaya masyarakat, komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat maupun watak kepemimpinan yang kredibel, dalam pengertian memiliki integritas moral dan intelektual serta komitmen untuk bekerja bagi rakyat. Akibatnya demokrasi rentan diperalat untuk menjadi justifikasi segala tindakan yang justru tidak demokratis, seperti kekerasan.


(31)

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisis dan menuangkan dalam bentuk tulisan yang berbentuk skripsi dengan judul “Orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami secara jelas mengenai orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat.

D. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini memunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah :

1. Secara Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memerluas cakrawala serta dapat menjadi bahan referensi dan dapat memberikan masukan-masukan di samping undang-undang dan peraturan perundang-undangan terkait


(32)

khususnya dalam perkembangan ilmu pemerintahan dan politik atas hasil penulisan mengenai orientasi politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat.

2. Secara Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan bagi masyarakat, dan pihak-pihak terkait mengenai sikap politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat, selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori dan tambahan kepustakaan bagi politisi maupun akademisi.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Orientasi Politik

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan orientasi adalah kecenderungan akan satu arah tertentu, atau keinginan kedepan yang hendak dicapai, sedangkan pengertian politik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ilmu tata negara dan ilmu tentang kekuasaan. Akan tetapi dalam lingkup yang lebih khusus politik ialah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Atas pengertian tersebut maka orientasi politik dapat diartikan sebagai sebuah keinginan yang hendak dicapai melalui suatu pilihan politik yang menjadi bagian dari sistem politik Indonesia (www.globalisasi.wordpress.com, diakses pada tanggal 19 April 2015). Orientasi politik merupakan pola perilaku masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Orientasi politik juga dapat diartikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Orientasi politik merupakan


(34)

perilaku dalam individu, sedangkan perilaku luarnya adalah berupa kegiatan, hal ini perlu ditegaskan karena Orientasi individu tidak selalu termanifestasikan dalam perilakunya, orientasi politik masih dalam tataran pemikiran individu yang bersifat abstrak, namun setelah itu akan terbentuk sebuah partisipasi politik dan individu akan berperilaku politik (Surbakti, 2010: 141).

Orientasi politik memiliki makna yang sangat luas meliputi, melihat, mengenal, pandangan, pendapat, sikap penilaian, pengetahuan, dan keyakinan. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki, dengan orientasi itu pula mereka menilai serta memertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik (Said dan Said, 2007: 237).

Membicarakan orientasi politik tentunya tidak akan terlepas dari dua pembicaraan, yakni orientasi yang berdasarkan kemakmuran rakyat banyak dan orientasi kekuasaan yang dimiliki elit politik. Elit politik yang hanya mengandalkan kekuasaan kinerjanya hanya berdasarkan perolehan kekuasaan dan pengakuan setinggi-tingginya, elit politik yang biasa memanfaatkan


(35)

kekuasaannya adalah elite yang memunyai modal atau bisnis yang dapat memengaruhi kehidupan bernegara (Damsar, 2012:78).

Budaya demokrasi dalam suatu negara tidak bisa dikatakan berhasil apabila pemegang kekuasaan atau elit politik tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Hal penting lain yang harus diingat adalah bahwa demokrasi bukan hanya sekedar tata cara, prosedur, dan bukan juga sekedar mekanisme tata negara dalam pengelolaan sistem politik, melainkan isi, tingkah laku, komunikasi, interaksi, serta tata nilai (www.kompasiana.com, politik, diakses pada tanggal 19 April 2015).

Almond dan Verba merumuskan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, dalam budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut : a. Komponen kognitif

Komponen kognitif yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya;

b. Komponen afektif

Komponen afektif adalah perasaan terhadap sistem politik atau peranannya, para aktor dan penampilannya;

c. Komponen evaluatif

Komponen evaluatif adalah penilaian dan opini tentang objek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap objek politik dan kejadian-kejadian.


(36)

Ketiga komponen di atas tidak terpisah untuk dapat membentuk suatu penilaian terhadap suatu objek politik seseorang tentunya harus memunyai pengetahuan yang memadai tentang objek tersebut, akan tetapi pengetahuan ini tentulah sudah dipengaruhi, diwarnai, dibentuk oleh perasaan sendiri. Sebaliknya, pengetahuan tentang objek politik dapat pula membentuk atau mewarnai perasaan-perasaan seseorang terhadap objek politik itu (Sastroatmodjo, 1995: 37).

Almond dan Verba (1984:18) menggolongkan dimensi-dimensi orientasi politik menjadi beberapa objek politik, yaitu :

1. Sistem sebagai objek umum, memberikan pengertian pada sistem sebagai suatu keseluruhan termasuk berbagai perasaan tertentu seperti patriotisme, alienasi, kognisi dan evaluasi suatu bangsa serta pengertian dan evaluasi terhadap pemerintahan;

2. Objek-objek input, meliputi struktur-struktur yang terlibat intens dalam proses input, yaitu partai politik, kelompok kepentingan, dan media komunikasi, serta menunjukkan pada arus tuntutan dan proses konversi tuntutan-tuntutan dari masyarakat terhadap pemerintahan dan proses konversi tuntutan-tuntutan itu menuju kebijakan otoritatif;

3. Objek-objek output, mengacu pada proses dengan mana kebijakan itu diterapkan atau diperkuat, struktur yang terlibat aktif adalah birokrasi dan lembaga peradilan;

4. Pribadi-pribadi sebagai objek, menyangkut isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang sebagai aktor politik, serta norma-norma kewajiban politik seseorang dalam sistem politik.


(37)

Almond dan Verba (1984:48) mengklasifikasikan budaya politik terbagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Budaya politik parokial

Budaya politik parokial biasanya terdapat dalam sistem politik tradisional dan sederhana dengan ciri khas spesialisasi masih sangat kecil, sehingga pelaku-pelaku politik belum memiliki penghususan tugas tetapi peran yang satu dilakukan dengan peran yang lain, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun keagamaan.

2. Budaya politik subjek

Budaya politik subjek masyarakat menyadari adanya otoritas pemerintah, keputusan pejabat bersifat mutlak, tidak dapat diubah, dikoreksi, apalagi ditentang, bagi mereka, yang prinsip adalah mematuhi, menerima, setia, dan loyal kepada pemimpin.

3. Budaya politik partisipan

Masyarakat dalam budaya politik partisipan memiliki orientasi politik yang secara eksplisit ditujukan untuk sistem secara keseluruhan, bahkan terhadap struktur, proses dan administratif.

Orientasi politik merupakan sebuah bentuk dari perilaku politik karena di dalamnya terdapat berbagai kegiatan seperti sosialisasi politik, partisipasi politik, dan pilihan politik. Perilaku politik adalah suatu interaksi antara pemerintah dan rakyat, diantara lembaga-lembaga pemerintah, dan diantara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik (Surbakti, 2010: 15).


(38)

Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari golongan masyarakat dalam suatu stuktur masyarakat, timbulnya orientasi politik dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudian membentuk sikap dan menjadi pola untuk memandang suatu objek politik, orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut memengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang.

B. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Agama merupakan sumber kekuatan rohani sekaligus sumber kesadaran akan makna, hakikat, dan tujuan hidup manusia, PPP selalu berusaha untuk memerjuangkan keputusan yang diambil oleh pemerintah tidak lepas dari syariah Islam, PPP berpendirian bahwa manusia Indonesia yang berkualitas adalah manusia yang sadar politik sehingga PPP bermaksud untuk mewujudkan pembangunan demokrasi politik karena hal tersebut berkaitan dengan penentuan kebijakan pembangunan nasional yang menyangkut hidup orang banyak (Kamarudin, 2003: 68).

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat partai, yaitu Partai Nahdlatul Ulama, Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang mampu memersatukan berbagai fraksi dan kelompok dalam Islam. Hal tersebut wajar jika PPP memroklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam”. PPP berasaskan Islam dan


(39)

berlambangkan Ka’bah tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik kekuasaan orde baru PPP pernah menanggalkan Islam dan menggunakan asas Negara Pancasila dengan sistem politik dan peraturan perundangan yang berlaku sejak 1984.

Tujuan PPP yang tercantum dalam pasal 5 AD/ART Partai Persatuan Pembangunan adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dibawah ridha Allah Subhanahu Wata’ala. PPP memunyai pengertian sebagai Rumah Besar Umat Islam, pertama PPP merupakan tempat kembalinya Orang Islam. Kedua PPP merupakan tempat bernaung atau berlindung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang merupakan partai yang paling gigih memerjuangkan aspirasi umat Islam dari berbagai kalangan yang merugikan umat Islam di Indonesia. Ketiga, PPP merupakan tempat untuk menyampaikan aspirasi umat Islam dan melakukan tindak lanjut, sehingga aspirasi umat Islam dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (www.wikipedia.org, sejarah Partai Persatuan Pembangunan, diakses pada tanggal 18 Maret 2015).

C. Tinjauan Tentang Partai Politik

Kekuasaan suatu negara, baik yang konservatif maupun yang revolusioner dan yang didukung oleh elit politik maupun oleh massa, baik pemerintahan yang menganut sistem demokratis pluralis maupun yang menganut sistem demokrasi diktatoris, pada umumnya partai politik dianggap sebagai alat atau kendaraan dari suatu sistem yang sudah berkembang.


(40)

Partai politik dibentuk dengan sengaja oleh sekelompok anggota untuk mencapai tujuan tertentu dan bersifat nasional yang terbuka bagi semua orang untuk ikut serta menjadi anggota partai politik dengan tetap berpegang teguh pada empat pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Partai politik sebagai sarana untuk melaksanakan pemilihan umum yang digunakan sebagai alat untuk melancarkan dalam memeroleh jabatan maupun kekuasaan dalam pemerintahan yang memunyai anggota secara sukarela bersatu dan ikut serta dalam berbagai pengambilan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan motivasi dengan ideologi tertentu, dan berusaha mencari serta memertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun (Surbakti, 2010: 148).

Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan bahwa partai politik adalah organisasi yan bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memerjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


(41)

Handoyo mendefinisikan partai politik sebagai organisasi politik yang memberikan jalan bagi anggota atau kadernya untuk berkompetisi memeroleh suara rakyat guna mengisi jabatan-jabatan politik, secara publik, maupun administratif dapat berasal dari kalangan partai yang berkomitmen terhadap partai atau setidaknya yang dapat menguntungkan masa depan partai. Partai politik sebagai sarana untuk memberikan tempat bagi para anggota atau masyarakat untuk bersaing dalam memeroleh dukungan dari masyarakat untuk ikut serta secara langsung dalam kegiatan politik yang ada di pemerintahan ataupun untuk mengisi jabatan publik dalam pemerintahan yang berlangsung (Munandar dan Susanti, 2010: 145).

Partai politik merupakan sekelompok manusia yang terorganisasi dan setiap anggota-anggotanya memiliki orientasi dan kemampuan masing-masing, serta memunyai tujuan yang sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau memertahankan kekuasaan yang telah dimiliki seseorang yang dilakukan secara berkesinambungan dan melalui berbagai cara secara konstitusional atau melalui pemilihan umum dengan memeroleh dukungan rakyat untuk menjadi wakil rakyat dengan tidak melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku.

Partai politik merupakan salah satu sarana partisipasi politik, sebagai sarana perantara antara konstituennya dengan pemerintah maka peran dari partai politik adalah signifikan. Adanya partai politik dapat memberikan sarana kepada individu untuk aktif dalam aktivitas-aktivitas dan kegiatan politik


(42)

sehingga individu maupun masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan komunikasi langsung dengan pemerintah (Kamarudin, 2003: 96).

Fungsi partai politik sangat banyak dan hampir dilaksanakan sesuai dengan porsi dari masing-masing partai politik, partai politik ada yang berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pengendali konflik, agregasi dan artikulasi kepentingan serta sebagai sarana pendidikan politik. partai politik sebagai sarana pendidikan politik apabila yang dilakukan suatu partai politik biasanya sangat subjektif, dalam hal ini partai politik tertentu menginginkan simpatisannya tetap berada di pihaknya, bahkan orang yang tidak simpati diharapkan bersimpati kepada partai politik tersebut, meskipun sangat subjektif pendidikan politik yang dilakukan partai politik masih amat diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan dan kesadaran politik masyarakat (Munandar dan Susanti, 2005: 151).

Menurut Budiharjo (2008: 405-407), fungsi partai politik di negara demokrasi seperti di Indonesia terbagi menjadi empat bagian yaitu :

1. Sebagai sarana komunikasi politik

Partai politik merupakan perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas) kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah adalah bertindak sebagai alat pendengar sedangkan bagi warga masyarakat sebagai alat pengeras suara. Proses komunikasi politik dapat digunakan untuk memengaruhi bahkan mengubah suaru kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Partai politik menjalankan fungsinya sebagai komunikasi adalah secara sengaja atau tidak sengaja akan menghasilkan informasi yang berasal dari pemerintah kepada warga masyarakat secara luas dan ada usaha untuk memberikan pengaruh ataupun reaksi terhadap pihak yang di beri informasi sehingga kegiatan informasi antara kedua belah pihak dapat tersampaikan secara jelas dan nyata yang dapat dilakukan lisan, tertulis ataupun menggunakan isyarat.


(43)

2. Sebagai sarana sosialisasi politik

Sosialisasi politik dalam kajian ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang akan memeroleh Orientasi terhadap fenomena politik yang berlaku dalam masyarakat, hal tersebut akan menentukan persepsi dan reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik yang terjadi. Proses sosialisasi politik terjadi seumur hidup terutama pada masa kanak-kanak yang berkembang melalui keluarga, sekolah, partai politik maupun pengalaman sebagai orang dewasa dalam memberikan atau menyosialisasikan nilai-nilai politik yang dilakukan melalui berbagai cara agar tepat pada sasaran, misalnya menggunakan media massa, ceramah kursus kader dan lain-lain. Fungsi sosialisasi politik paling tinggi adalah partai politik dapat mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingannya sendiri di bawah kepentingan nasional. Fungsi sosialisasi politik dapat dikaitkan dengan pendidikan politik secara ketat dengan usahanya yang dilakukan secara sadar dan terencana oleh generasi satu ke generasi berikutnya.

3. Sebagai sarana rekrutmen politik

Fungsi rekrutmen politik berkaitan erat dengan seleksi kepemimpinan untuk mendapatkan kader-kader yang berkualitas dan mampu mengembangkan partai serta pribadinya secara substansional untuk mendapatkan kesempatan yang lebih besar dalam tingkat nasional. Proses rekrutmen politik akan menjamin eksistensi partai politik, dikarenakan partai politik dapat memerbanyak anggota yang mendorong partisipasi secara luas dan menjamin kelangsungan kepemimpinan partai politik. Rekrutmen politik dilakukan partai politik kapan saja, paling substansial saat menjelang pemilihan umum.

4. Sebagai sarana pengatur konflik (Conflict Management)

Perbedaan pendapat, kesalahpahaman diantara anggota sangat rentan menimbulkan dan berpotensi menjadi konflik, peran partai politik pada situasi ini sangat diperlukan karena partai politik dapat menjadi penghubung ataupun konsolidasi diantara para anggota ataupun masyarakat dengan pemerintah sehingga manajemen konflik dapat dilaksanakan mengingat kehidupan masyarakat yang heterogen. Adanya partai politik yang fungsinya sebagai manajemen konflik akan memberikan jembatan penghubung atau perantara antara pihak-pihak yang berkonflik sehingga pertentangan-pertentangan yang terjadi dapat teratasi, selain fungsi yang positif terkadang partai politik dalam manajemen konflik dapat pula memunyai fungsi negatif karena partai politik biasanya menjadi memertajam pertentangan-pertentangan yang terjadi hingga membahayakan stabilitas nasional.


(44)

Menurut Surbakti (2010: 117-118), terdapat beberapa fungsi partai politik yang sering dikaji dan diamati, di antaranya adalah :

1. Sosialisasi politik, dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai pembentuk Orientasi politik para anggota atau kelompok masyarakat, kegiatan ini juga bisa dilakukan dengan cara mendidik masyarakat agar memahami politik baik dengan pendidikan formal maupun non formal agar masyarakat memunyai kesadaran politik berdasarkan ideologi partai yang dipilih;

2. Komunikasi politik, adalah proses pemberitahuan tentang politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah agar sama-sama saling mengetahui, sehingga dalam konteks ini partai politik menjadi komunikator;

3. Rekrutmen politik, fungsi ini berarti partai melaksanakan rekrutmen baik dalam rangka mendudukkan kader kedalam parlemen yang menjalankan legislasi dan koreksi maupun lembaga-lembaga pemerintahan;

4. Partisipasi politik, fungsi ini adalah kegiatan atau keikutsertaan warga negara dalam proses pembuatan atau penentuan kebijakan serta ikut dalam penentuan pemimpin negara dan kegiatan tersebut dapat berupa tuntutan, kritik, menentang serta mendukung suatau kebijakan;

5. Pemandu kepentingan, partai sebagai pemandu dan penampung dari kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda melalui analisis dan perbedaan kepentingan tersebut menjadikan jalan alternatif guna kebijakan umum kemudian diperjuangkan dalam proses pelaksanaan keputusan politik;

6. Pengendalian konflik, partai sebagai sebuah pengendalian konflik dengan cara menampung dan memandukan dari kedua belah pihak, berdialog dengan pihak-pihak yang terlibat konflik, kemudian menampung dan memandukan serta berdialog dengan pelaku konflik, lalu permasalahan tersebut diproses dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk menentukan atau menghasilkan keputusan politik;

7. Kontrol politik, dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai pengontrol pemerintahan bilamana suatu saat pemerintah melakukan kesalahan serta penyimpangan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Sedangkan menurut Rahman (2007:104). fungsi partai politik antara lain adalah :

1. Agregasi kepentingan, yaitu berfungsi sebagai pemandu atau pembanding aspirasi masyarakat serta dirumuskan sebagai bahan untuk program kepentingan politik;

2. Sosialisasi politik, yaitu berfungsi sebagai cara melalui nama seseorang memeroleh Orientasi terhadap perkembangan politik yang terjadi dimasyarakat;


(45)

3. Partisipasi politik, yaitu berfungsi sebagai pendorong agar masyarakat ikut aktif dalam kegiatan politik dan menggunakan ideologi, platform, serta visi dan misi partai;

4. Komunikasi politik, yanitu berfungsi sebagai penyalur pendapat dan aspirasi masyarakat;

5. Pembuat kebijakan, yaitu berfungsi sebagai pengontrol dan pembuat kebijakan partai yang sedang berkuasa.

D. Tinjauan Tentang Konflik

Kalimat konflik sering muncul di setiap penjuru, baik internal maupun eksternal, baik yang bersifat nasional maupun internasional, konflik juga dapat mengakibatkan kerusuhan dan kehancuran, sebab konflik dapat terjadi karena terdapat faktor dan sebab pertentangan atau permasalahan antara dua kelompok atau antara orang-perorangan.

Pada umumnya, konsep konflik didefinisikan sebagai bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, paham, dan kepentingan diantara dua pihak atau lebih sehingga semuanya sama-sama saling memerjuangkan argumennya sampai meyakini bahwa dia atau kelompok tersebut adalah yang benar, dan bahkan pertenangan yang tadinya bersifat non fisik dapat berubah menjadi pertentangan fisik atau kekerasan. Konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang dapat berlaku dalam berbagai keadaan, akibat daripada bangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi, dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih secara terus menerus (www.wikipedia.org, diakses pada tanggal 18 Maret 2015).

Konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan”, seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antara


(46)

individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dengan pemerintah. Sehingga, ada konflik yang berwujud kekerasan dan ada pula konflik yang tak berwujud kekerasan (Subekti, 2010: 75).

Perselisihan atau konflik dapat berlangsung antar individu-individu, kumpulan-kumpulan atau antar individu dengan kumpulan. Bagaimanapun konflik baik yang bersifat antara kelompok maupun intra kelompok, selalu ada ditempat hidup orang bersama. Konflik disebut unsur interaksi yang penting, dan tidak sama sekali tidak boleh dikatakan selalu tidak baik atau memecah belah dan merusak, justru konflik dapat menyumbangkan banyak pada kelestarian kelompok dan memepererat hubungan antar anggotanya (Bartens dan Nugroho, 1985: 211).

Menurut Soerjono Soekanto (1995: 68), konflik adalah proses sosialisasi dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan. Konflik dalam suatu masyarakat dan negara sangat diperlukan, hal itu karena konflik atau perbedaan baik pendapat, aspirasi, maupun ide dapat memeperkaya gagasan yang berlainan dan bervariasi merupakan sumber inovasi, perubahan dan kemajuan, apabila berbedaan itu dapat dikelola melalui mekanisme yang baik. Konflik dapat berfungsi sebagai sumber perubahan ke arah kemajuan, konflik memunyai fungsi sebagai pengintegrasi masyarkat dan sumber perubahan (Surbakti, 2010: 76).


(47)

Setiap sistem politik terutama sistem politik demokrasi penuh kompetisi dan sangat dimungkinkan adanya perbedaan kepentingan, rivalitas, dan konflik-konflik, hal ini merupakan realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat modern, karena masing-masing memunyai interest, tujuan yang mungkin saling bertentangan, maka konflik dalam ilmu politik sering diterjemahkan sebagai oposisi, interaksi yang antagonistis atau pertentangan, benturan antar macam-macam paham, perselisihan kurang mufakat, pergesekan, perkelahian, perlawanan dengan senjata dan perang (Arifin, 2002: 184).

Menurut Duvenger dalam Sanit (1982: 47) terdapat tiga bentuk konflik yang berkaitan dengan kekuasaan atau politik, antara lain yaitu :

1. Konflik yang sama sekali tidak memiliki dasar yang prinsipil, bentuk konflik ini berhubungan langsung dengan masalah praktis bukan masalah ideologis yang dilakukan baik oleh individu maupun golongan atau kelompok;

2. Konflik yang lebih menitikberatkan kepada perbedaan pandangan baik individual maupun kelompok yang menyangkut dengan masalah partai politik atau yang berhubungan dengan kepentingan partai politik;

3. Konflik yang lebih menitikberatkan kepada permasalahan perbedaan ideologi, masing-masing memerjuangkan ideologi partainya yang semuanya merasa benar.

Menurut Coser (2009: 54), terdapat dua bentuk dasar konflik, yaitu konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis adalah konflik yang memunyai sumber konkrit atau material, seperti perebutan wilayah atau


(48)

kekuasaan, konflik ini bisa di atasi kalau diperoleh dengan cara merebut tanpa perkelahian atau pertikaian. Konflik non ralistis adalah konflik yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik agama, dan organisasi-organisasi masyarakat.

Maswadi Rauf (2001: 49) mengemukakan bahwa, konflik terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat untuk memerebutkan barang-barang pemenuh kebutuhan yang terbatas, sama halnya dengan sumber-sumber posisi atau kedudukan atau jabatan dalam masyarakat, kedudukan sebagai penguasa negara, merupakan bahan rebutan diantara anggota-anggota masyarakat yang menghasilkan konflik.

Menurut Duverger (2001: 41), penyebab terjadinya konflik adalah:

1. Sebab-sebab individual, sebab-sebab individual seperti kecendrungan berkompetisi atau selalu tidak puas terhadap pekerjaan orang lain dapat menyebabkan orang yang memunyai ciri-ciri seperti ini selalu terlibat dalam konflik dengan orang lain dimanapun berada.

2. Sebab-sebab kolektif, adalah penyebab konflik yang terbentuk oleh kelompok sebagai hasil dari interaksi sosial antara anggota-anggota kelompok, penyebab konflik ini dihasilkan oleh adanya tantangan dan masalah yang berasal dari luar yang dianggap mengancam kelompoknya.


(49)

E. Kerangka Pikir

Self efficacy dapat didefinisikan sebagai penilaian mengenai seberapa baik seseorang dapat menampilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mengatasi situasi atau tugas tertentu. Penilaian ini berpengaruh kuat terhadap pilihan-pilihan individu, usaha, ketekunan serta emosi yang dikaitkan dengan tugas. Konsep self efficacy merupakan elemen penting dari teori sosial kognitif tentang proses belajar, dimana pembelajar mengalami proses belajar secara langsung

Orientasi adalah peninjauan untuk menentukan sikap, arah, tempat, dan sebagainya yang tepat dan benar atau pandangan yang mendasari pikiran, perhatian, atau kecenderungan. Orientasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu cara pandang yang dilakukan oleh pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat.

Berkaitan dengan konflik internal yang terjadi dalam kepengurusan PPP di tingkat pusat telah mengakibatkan perpecahan antara dua kelompok kepemimpinan, atas hal tersebut maka setiap DPW PPP di berbagai daerah khususnya DPW PPP Lampung dituntut untuk dapat menentukan suatu orientasi politik berkaitan dengan permasalahan internal partai yang sampai saat ini masih terjadi.


(50)

Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah :

Konflik Internal Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusan (PPP)

Kelompok Suryadharma Ali mengesahkan Djan Faridz berdasarkan Muktamar VIII

tertanggal 2 November 2014

Kelompok Romahumuziy (Romi) mendapat

pengesahan kepengurusan dari Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-07.AH.11.01 tertanggal 28 Oktober 2014

Orientasi Politik Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah PPP Lampung :

- Kognitif - Afektif - Evaluatif


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memberikan gambaran tentang masalah yang diteliti, mengenai bagaimana orientasi politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat. Penggunaan penelitian kualitatif dipandang jauh lebih subyektif karena menggunakan metode yang berbeda dari mengumpulkan informasi, individu dalam menggunakan wawancara. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Menurut Nawawi, metode deskriptif merupakan suatu jenis penelitian yang berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran suatu gejala sosial atau keadaan subyek atau obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Sedangkan penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor, adalah salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati (Nawawi, 2001: 63, 66).

B. Fokus Penelitian

Berkaitan dengan adanya konflik internal dalam kepengurusan DPP PPP yang terpecah menjadi dua kelompok antara Suryadhama Ali dan Romahumuziy (Romi) yang masing-masing kelompok telah mengikrarkan diri sebagai ketua


(52)

umum DPP PPP, yang dalam hal ini kelompok Suryadharma Ali mengesahkan Djan Faridz sebagai ketua umum berdasarkan muktamar VIII PPP yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 2 November 2014, sedangkan kelompok Romahumuziy (Romi) pada tanggal 15 sampai 18 oktober 2014 menyelenggarakan muktamar VIII PPP selanjutnya hasil muktamar tersebut didaftarkan dan mendapat pengesahan kepegurusan dari Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-07.AH.11.01 tertanggal 28 Oktober 2014.Dengan adanya Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-07.AH.11.01 tertanggal 28 Oktober 2014, maka kubu Suryadharma Ali mengajukan Gugatan pada Pengadilan Tatat Usaha Negara Jakarta dengan nomor perkara 217/G/2014/PTUN-JKT, yang selanjutnya diputus pada tanggal 6 November 2014 dengan pokok putusan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Memerintahkan kepada Tergugat untuk menunda pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.HH-07.AH.11.01 Tahun 2014, tertanggal 28 Oktober 2014 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan, selama proses pemeriksaan perkara ini berlangsung sampai dengan putusan dalam perkara ini memeroleh kekuatan hukum tetap.

b. Memerintahkan kepada Tergugat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan Pejabat Tata Usaha Negara lainnya, yang berhubungan dengan Keputusan Tata Usaha Negara (objek sengketa), termasuk dalam hal ini penerbitan Surat-surat Keputusan Tata Usaha Negara yang baru


(53)

mengenai hal yang sama, sampai dengan adanya islah diantara para elite PPP yang bersengketa.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis akan memfokuskan tentang bagaimana orientasi politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat. Selain itu fokus tempat penelitian adalah pada DPW PPP Lampung tanpa meneliti langsung di DPP PPP di Jakarta, hal ini disebabkan karena penelitian ini hanya ditujukan pada orientasi dan sikap politik pengurus DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat. Penelitian ini menggunakan Almond dan Verba, dalam budaya politik mengandung komponen obyek politik sebagai berikut

a. Komponen kognitif yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya.

b. Komponen afektif yaitu perasaan terhadap sistem politik atau peranannya, para aktor dan penampilannya.

c. Komponen evaluatif yaitu penilaian dan opini tentang objek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap objek politik dan kejadian-kejadian (Sastroatmodjo, 1995: 37).

Berdasarkan tiga komponen dalam penggunaan teori orientasi politik tersebut yang ditunjukan perilaku politik DPW PPP Lampung terhadap konflik PPP di tingkat pusat, yang dinilai dari beberapa komponen yaitu:

1. Komponen kognitif, berkaitan dengan terjadinya konflik kepengurusan PPP di tingkat pusat yang meliputi:


(54)

a. Pengetahuan tentang konflik; b. Latar belakang terjadinya konflik; c. Kronologi terjadinya konflik.

2. Komponen Afektif,dalam hal ini dimaksudkan untuk melihat tentang sikap dan perasaan pengurus Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung terhadap konflik yang terjadi di tingkat pusat.

3. Komponen evaluatif, dalam hal ini dimaksudkan untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh pengurus Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung berkaitan dengan adanya konflik yang terjadi di tingkat pusat.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, yaitu melihat dari intensitas aktivitas Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung.

D. Informan

Guna memeroleh informasi yang diperlukan, maka informan dalam penelitian ini adalah 2 (dua) orang dari masing-masing pengurus Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung yang terdiri dari:

1. Pengurus harian Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung; 2. Pimpinan Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi

Lampung.

3. Pimpiman Majelis Pakar Wilayah Dewan Pimpinan Wilayah PPP Provinsi Lampung.


(55)

E. Jenis dan Sumber Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber, berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan (Soekanto, 1986: 43).

Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah data hasil penelitian didapatkan melalui dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan. 2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen lainnya serta data yang berhubungan dengan penelitian yang dikaji oleh penulis.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam proses penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Untuk mengumpulkan data dengan seakurat mungkin mengenai variabel yang telah dikaji, penulis menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu: 1. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab antara penulis dengan narasumber yang dianggap telah memenuhi syarat atau relevan dengan


(56)

penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan menyesuaikan panduan wawancara secara terbuka dimana narasumber atau informan diberikan kesempatan untuk menjawab pertanyaan secara bebas dengan harapan agar memeroleh kejelasan tentang konflik yang terjadi sehingga dapat dipahami oleh peneliti, serta untuk memeroleh realita objek yang diteliti, wawancara merupakan instrument kunci pada penelitian ini.

2. Penelitian Pustaka

Penelitian pustaka dilakukan untuk memeroleh data sekunder yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa literatur, website, surat-surat dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

3. Dokumentasi

Pengambilan data yang diperoleh berdasarkan informasi-informasi dan dokumen-dokumen yang digunakan untuk mendukung keterangan maupun fakta yang berhubungan dengan obyek penelitian. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen AD/ART PPP Provinsi Lampung dan kelengkapannya

G. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan informasi yang didapat dan diinterpretasikan dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif untuk menganalisis informasi dengan cara memaparkan, mengelola,


(57)

menggambarkan dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata-kata dan kalimat sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, dengan memasukkan data dan informasi dari informan hasil wawancara yang kemudian dianalisis dan ditarik sebuah kesimpulan. Terdapat tiga komponen analisis yaitu:

1. Reduksi data

Yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan yang tertulis di lapangan. Reduksi data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah analisa yang menajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data mengenai Orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan diverifikasi. Reduksi data terasa sesudah penelitian di lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Pada pengumpulan data terjadilah tahapan reduksi selanjutnya yaitu membuat ringkasan mengenai penelitian ini. Reduksi data sebagai proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan (Milles dan Huberman, 1992:16).


(58)

2. Penyajian Data (Display Data)

Kedua pakar ini membatasi suatu penyajian data sebagai sekumpulan informasi yang tersusun untuk memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian-penyajian yang lebih baik merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif, berbagai jenis matrik, grafik dan bagan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk padu dan mudah diraih. Dalam penelitian ini penyajian data yang digunakan adalah bentuk teks naratif yang disertai bagan dan tabel yang isinya berkaitan dengan penelitian ini tentunya (Milles dan Huberman, 1992:16).

2. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi)

Berdasarkan permulaan pengumpulan data, penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola kejelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Penelitian yang berkompeten menangani kesimpulan-kesimpulan itu dengan longgar, tetap terbuka, dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, kemudian lebih rinci dan mengakar dengan kokoh dan kesimpulan akhir mungkin muncul sampai pengumpulan data berakhir, tergantung pada kesimpulan-kesimpulan catatan lapangan, pengodeannya, penyimpanan, metode pencairan ulang yang digunakan dan kecakapan peneliti (Milles dan Huberman, 1992:16).


(59)

Penulis melakukan verifikasi yaitu melakukan pengumpulan data-data mengenai Orientasi politik Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung terhadap konflik di Tingkat Dewan Pimpinan Pusat kemudian membuat kesimpulan, kesimpulan awal mula-mula mungkin belum jelas namun setelah itu akan semakin rinci dan mengakar dengan kokoh.


(60)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

1. Masa Orde Baru

Tumbangnya Orde Lama mengantarkan lahirnya Orde Baru, dengan Soeharto sebagai penyelenggara penuh kekuasaan negara. Strategi politik yang djalankan oleh Orde Baru ibarat antitesa dari praktik pemerintahan orde lama. Pembangunan ekonomi yang di masa orde lama terabaikan, ditempatkan sebagai prioritas dari kegiatan pemerintah, sementara di sisi lain, pembangunan politik ditekan semaksimal mungkin agar dapat menjadi jaminan stabilitas politik bagi pembangunan ekonomi. Pengalaman liberalisasi politik semasa orde lama yang justru memicu instabilitas politik di sikapi oleh Orde Baru dengan mengintrodusir perubahan sistem kepartaian, dan perubahan ini dilakukan secara drastis. Kecenderungan politik Orde Baru untuk menjinakkan dan melumpuhkan aktivitas Islam politik yang di pandang berbahaya dan laten semakin lama semakin menguat.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah sebuah partai politik di Indonesia dideklarasikan pada tanggal 5 Januari 1973, partai ini merupakan hasil gabungan dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nadhatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Perti dan Parmusi. Ketua sementara saat itu adalah H.M.S Mintaredja SH. Penggabungan keempat partai keagamaan


(61)

tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.

PPP didirikan oleh lima deklarator yang merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam di DPR. Para deklarator itu adalah;

a. KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;

b. H.Mohammad Syafa’at Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);

c. Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII; d. Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan

e. Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR. Suatu deklarasi yang dirumuskan dari hasil rapat presidium badan pekerja dan pimpinan fraksi kelompok partai persatuan pembangunan menyebutkan bahwa keempat partai politik Islam telah seia-sekata untuk mefusikan politiknya dalam satu partai politik yang bernama Partai Persatuan Pembangunan.

Pemilu pertama di masa Orde Baru tahun 1971 mengantarkan terbentuknya suatu format politik baru yang dikenal sebagai Hegemony Party System dengan Golkar dan ABRI sebagai pilarnya. Kemenangan Golkar dalam pemilu tersebut memberikan legitimasi pemerintah Orde Baru untuk melaksanakan restrukturisasi sistem politik nasional. Restrukturisasi ini yang


(1)

79

3. Keputusan dan pendapat individu Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan Provinsi Lampung tentang kepemimpinan DPP yang secara tipikal yang melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, dimana dalam setiap proses pengambilan keputusan DPW berdasarkan pada keputusan yang diambil dari Dewan Pimpinan Pusat. Keputusan dan pendapat anggota Dewan Pimpinan Wilayah PPP Lampung mengesahkan kepemimpinan Djan Faridz.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, menunjukkan bahwa terjadinya konflik di Internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) khususnya di DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lampung terjadi akibat tidak adanya komunikasi yang kuat baik itu di tingkat pusat maupun di tingkat wilayah sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan pandangan antara petinggi, anggota maupun kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa saran yang dianggap penting untuk penulis sampaikan. 1. Jika kedepannya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak ingin kembali

terjadi konflik mengenai hal-hal yang sudah disepakati sebelumnya seperti konflik mengenai ide dasar ataupun platform, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) perlu melakukan Penanaman ideologi yang lebih jelas sampai ke akar, mulai dari tingkat pusat, wilayah, sampai ke tingkat daerah.

2. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) perlu mengadakan dialog demokrasi di dalam tubuh partai, sehingga nantinya mulai dari tingkat pusat, wilayah,sampai ke daerah bisa meresapi berbagai prinsip dan kebijakan yang


(2)

80

berlaku di internal partai.

3. Dalam upaya membesarkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pencapaian tujuan memenangkan Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu perlu kiranya para pengurus, anggota, dan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersatu kembali dan mendahulukan kepentingan Partai di atas kepentingan pribadi untuk menjalankan kembali Visi Misi Partai Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

A Almond, Gabriel, Sidney Verba.1984. Budaya Politik Tingkah Laku Politik, dan Demokrasi Politik di Lima Negara. Jakarta. Bina Aksara.

Adawiah, 2013, Konflik Internal Partai Nasdem (Studi Tentang DPW Partai Nasdem Sulawesi Selatan), Skripsi.

Arifin, Rahman. 2002. Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural Fungsional. Surabaya. SIC

Barner-Barry dan Rosenwein, 2001, Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta, Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama

Converse, 2002, The American Voters, John Willey & Son, New York.

Coser, Lewis. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Damsar. 2012. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta. Kencana Prenada Group Finkel dan Pollock, 2003, The Participatory consequences of internal and

external efficacy. Western Political Quarter

Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Idiologi Politik di Era Demokrasi. Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Firmansyakh, 2010 Konflik Internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kubu Gus Dur dan Kubu Muhaimin Iskandar (Studi Kasus DPC PKB Kota Tasikmalaya), Skripsi

Fox & Lawless 2005, To Run or Not To Run For Office : Explaining. Nascent Political Ambition”. American Journal of Political Science

Gatara, A.A. Said dan Moh. Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik. Bandung. CV Pustaka Setia


(4)

Handoyo, Eko, Aris Munandar & Martien Herna Susanti. 2010. Etika Politik dan Pembangunan. Semarang. Widya Karya

HI, A. Rahman. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta. Graha Ilmu

Jurdi, 2008, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madan, dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jogjakarta

K, Bartens dan Nugroho. 1985. Realita Sosial. Jakarta. Gramedia Pustaka Kamarudin. 2003. Partai Politik Islam di Pentas Reformasi. Jakarta. Visi

Publishing

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia “Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”. Jakarta. Kencana

Milles dan Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif. Jakarta. Universitas Indonesia Press

Munandar dan Susanti, 2010, Biografi Politik. Komunitas Bambu, Jakarta

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gajah Mada University Press

Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. PT.Gramedia Widiasarana

Rauf, Maswadi. 2001. Konsensus Politik dan Konflik Politik. Jakarta. Dirjen Dikti Depdiknas

Rusli Karim, 1999, Negara dan Peminggiran Islam Politik. Tiara Wacana, Yogyakarta..

Said dan Said, 2007, Sosiologi Politik. CV. Pustaka. Setia: Bandung

Sanit, Arbi. 1982. Sistem Politik Indonesia : Kesetabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembanguna. Jakarta. Rajawali Press

Sastroatmodjo, Sudjiono. 1995. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Press Schulz, 2005, Theories of personality, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sitio, 2014 Pergeseran Konflik dari Antar Partai Menjadi Konflik Internal Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara Pada Pemilu Legislatif 2014, Skripsi


(5)

Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Graha Grafindo --- 1986. Pengantar Penelitian Hukum,. Jakarta. UI Press Stone & Schaffner, 2008, The Psychology of Politics. New York :

Springer-Verlag.

Syamsuddin Haris, 2014, Mengelola Konflik Partai Politik, Kompas Jakarta Dokumen:

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

AD/ART PPP Provinsi Lampung Media:

Amunisi News.com.html, Diakses pada tanggal 18 Maret 2015 Bandura dalam Schulz, 2005, Self Eficacy,

http://treepjkr.multiply.com/reviews/item/22

Definisi konflik/.wikipedia.org, diakses pada tanggal 18 Maret 2015 Globalisasi.wordpress.com, diakses pada tanggal 19 April 2015 Kompas.com.html, Diakses pada tanggal 18 Maret 2015

Merdeka.com.html, Diakses pada tanggal 18 Maret 2015 Politik.kompasiana.com, diakses pada tanggal 19 April 2015

Sejarah Partai Persatuang Pembangunan_Wikipedia.org, Diakses pada tanggal 18 Maret 2015

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/437-konflik-internal-partai- sebagai-salah-satu-penyebab-kompleksitas-sistem-multi-partai-di-indonesia.html, diakses pada tanggal 18 Mei 2015

http://inspiratiflampung.com/soal-konflik-ppp-lampung-hasanusi-wiwik-jangan-galau/, diunduh tanggal 28 Mei 2015


(6)

Jurnal:

Wu, 2003, Psycho-Political Correlates of Political efficacy: The Case of the 1994 New Orleans. Journal of Black Studies.2003; 33: 729-760. [Online] http://jbs.sagepub.com/cgi/content/refs/33/6/729

www.google.co.id/jurnal_penelitian_konflik_internal_partai,diakses pada tanggal 19 Mei 2015