KAJIAN SELEKSI SUMBER MIKROORGANISME PEMBENTUK BIOGAS PADA PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SAGU

(1)

ABSTRAK

KAJIAN SELEKSI SUMBER MIKROORGANISME PEMBENTUK BIOGAS PADA PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SAGU

Oleh

Siluh Made Yuliastini

Industri sagu merupakan salah satu industri yang menghasilkan air limbah dengan tingkat beban pencemaran yang tinggi. Tingkat beban pencemaran air limbah yang tinggi dapat diturunkan dengan mengelola air limbah menggunakan metode fermentasi anaerob. Tujuan penelitian yaitu menyeleksi sumber mikroorganisme yang mampu mendegradasi bahan organik air limbah industri sagu dan mengetahui kinerja sumber mikroorganisme tersebut dalam memproduksi biogas. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian seleksi sumber mikroorganisme dan tahap uji kinerja sumber mikroorganisme yang terseleksi. Penelitian seleksi sumber mikroorganisme menggunakan tiga sumber mikroorganisme yaitu sludge dari kolam IPAL industri sagu, mikroorganisme komersial dengan nama dagang Activated Growth dan BioCK. Masing-masing sumber mikroorganisme akan difermentasi dengan air limbah industri sagu dalam bioreaktor kapasistas 1000 mL. Sumber mikroorganisme yang terbaik kemudian diuji kinerjanya dalam memproduksi biogas. Sumber mikroorganisme terpilih difermentasikan dengan air limbah sagu dalam bioreaktor dengan kapasitas 500 mL.


(2)

industri sagu. Dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) 66 hari mampu mencapai SCOD removal 55,79%, produksi biogas sebanyak 200 mL, pH 5,75, TSS 17.187 mg/L, VSS 12.296 mg/L, dan rasio VSS/TSS 0,7129. Pada tahap uji kinerja sludge dari IPAL industri sagu menunjukan bahwah sludge mampu mendekomposisi air limbah industri sagu dengan SCOD removal 42,07% dan menghasilkan sebanyak 500 mL biogas/Liter air limbah dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) selama 72 hari.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sagu (Metroxylon Spp) merupakan salah satu komoditi yang tinggi kandungan karbohidrat sehingga dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat disamping beras, jagung, atau singkong. Sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan baku industri. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Tanaman sagu memiliki kemampuan tumbuh di lahan marginal, sehingga tanaman sagu menjadi salah satu sumber pati andalan pada masa mendatang. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sebesar 2 juta ton per tahun. Luas areal tanaman di Indonesia diperkirakan terdiri dari 1.250.000 Ha berasal dari hutan dan 148.000 Ha areal perkebunan. Produksi sagu di Indonesia tersebar di beberapa daerah antara lain Irian Jaya, Sulawesi, Kalimantan, Kepulauan Riau, Kepulauan Mentawai (Flach, 1997). Indonesia memiliki potensi sagu sekitar 50% dari produksi sagu dunia, dan sekitar 90% potensi sagu Indonesia ada di Papua, termasuk Papua Barat (Jong dan Widjono, 2007). Potensi sagu indonesia yang cukup tinggi dapat memacu pengembangan industri sagu indonesia. Di Lampung, tanaman sagu tumbuh secara alami pada daerah rendah. Secara kuantitatif populasi sagu di Lampung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan matrial baku untuk industri sagu. Beberapa daerah potensial perkebunan sagu di Lampung yaitu daerah Palas


(4)

Kabupaten Lampung Selatan dan daerah Lempasing Teluk Betung Barat (Kamal et al., 2000).

Proses pengolahan hasil pertanian menghasilkan produk dan buangan berupa limbah. Limbah merupakan buangan yang tidak dimanfaatkan dan merugikan produsen bila tidak dikelola dengan baik. Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi batang sagu yang berumur 5 - 8 tahun. Empelur batang sagu (Metroxylon Spp) mengandung pati sebesar 18,8% sampai 38,8% (berat basah), sedangkan dalam berat kering per tanaman dapat mencapai 250 Kg (Flach, 1997). Proses ekstraksi mengakibatkan air yang terbuang akan mengandung pati (Bujang dan Ahmad, 2000). Industri sagu umumnya melakukan proses pengolahan di daerah yang dekat sumber air seperti di pinggir sungai ataupun anak sungai, karena batang sagu yang berasal dari perkebunan atau hutan dibawa ketempat produksi dengan menggunakan transportasi air. Industri pengolahan sagu dengan kapasitas yang besar dapat menyebabkan terjadi akumulasi sisa pati sagu hasil pengolahan sagu. Menurut Bujang dan Ahmad (2000), untuk menghasilkan 1 Kg tepung sagu akan dihasilkan sekitar 20 Liter air limbah. Bila hal ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi akumulasi limbah sagu yang akan mengakibatkan pencemaran air sungai (Amos, 2010).

Keberadaan limbah yang dihasilkan dari proses produksi akan menjadi kendala pengembangan usaha bila tidak ditangani dengan benar yang berpotensi merusak lingkungan. Air limbah industri sagu mengandung bahan organik dalam jumlah besar. Kandungan bahan organik yang terdapat dalam air limbah industri sagu yaitu berupa pati, serat, lemak, dan protein. Menurut Phang et al. (2000) dalam


(5)

3

Singhal et al. (2008) Air limbah industri sagu memiliki rasio karbon, nitrogen, dan posfor yang sangat tinggi yaitu (105:0,12:1). Bahan organik yang cukup tinggi dalam air limbah akan mempengaruhi kebutuhan oksigen mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik tersebut.

Menurut Jenie dan Rahayu (1993), limbah dengan kandungan bahan organik dalam konsentrasi tinggi sesuai untuk diproses dengan fermentasi anaerobik. Pemanfaatan proses anaerobik untuk pengolahan limbah domestik dan limbah industri mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Air limbah industri sagu yang mengandung bahan organik yang tinggi, tepat bila dikelola melalui proses fermentasi anaerobik. Pengolahan air limbah secara anaerobik pada dasarnya merupakan penguraian senyawa organik oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen dan menghasilkan biogas sebagai produk akhir.

Degradasi bahan organik pada air limbah sagu akan terganggu apabila terdapat senyawa yang mampu menghambat aktivitas mikroorganisme. Menurut Flach (1977) dalam Syakir et al. (2008), menyatakan bahwa dalam batang sagu terdapat asam asam fenolat. Komposisi senyawa fenol batang sagu adalah kurang dari 1% sedangkan kadar lignin berkisar antara 9 hingga 22% (Pei-Lang et al., 2006). Senyawa fenol dapat bersifat racun bagi pertumbuhan mikroorganisme. Sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap sumber mikroorganisme yang dapat bertahan dan mendegradasi bahan organik dalam air limbah industri sagu.


(6)

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu:

1. Menyeleksi sumber mikroorganisme yang paling berpotensi mendegradasi bahan organik dalam air limbah industri sagu.

2. Mengetahui kinerja sumber mikroorganisme terpilih dalam pembentukan biogas dari air limbah industri sagu.

C. Kerangka Pemikiran

Rasio (C:N:P) pada air limbah industri sagu cukup tinggi yaitu (105:0,12:1). Rasio karbon menunjukkan adanya bahan organik berupa carbon dan nitrogen. Bahan organik yang cukup tinggi dalam suatu badan air akan terurai secara biologis oleh mikroorganisme yang terdapat dalam badan air tersebut. Mikroorganisme tersebut memerlukan oksigen dalam proses penguraian bahan organik. Sehingga kandungan oksigen dalam badan air akan berkurang seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroorganisme pengurai bahan organik. Secara ideal, air limbah yang mengandung bahan organik yang cukup tinggi tepat dikelola secara fermentasi sistem anaerob. Fermentasi sistem anaerob melibatkan mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Kondisi pada fermantasi anaerob tersebut yaitu tanpa menggunakan oksigen.

Kendala dalam pengelolaan air limbah industri sagu secara fermentasi anaerob yaitu adanya senyawa yang bersifat toksik terhadap aktivitas mikroorganisme pengurai. Senyawa tersebut berupa senyawa fenol. Senyawa fenol berasal dari hasil ekstraksi batang sagu. Senyawa fenol dalam batang sagu akan ikut


(7)

5

terekstrak karena sifatnya yang larut sebagian dalam air. Kandungan senyawa fenol dalam batang sagu kurang dari 1% (Pei-Lang et al., 2006). Senyawa fenol yang terlarut dalam air limbah dapat menyumbang nilai COD yang cukup tinggi.

Penelitian yang dilakukan yaitu menyeleksi sumber mikroorganisme yang mampu beradaptasi dan mendegradasi bahan organik yang terdapat dalam air limbah industri sagu. Sumber mikroorganisme yang digunakan antara lain sludge PT. NSP Riau, Activated Growth PMV Chem 7275, dan BioCK. Sumber mikroorganisme yang digunakan merupakan mikroorganisme jenis pengurai. Sludge merupakan lumpur yang berasal dari kolam IPAL industri sagu sehingga diharapkan sumber mikroorganisme tersebut telah beradaptasi dengan air limbah industri sagu. Activated Growth PMV Chem 7275 dan BioCK merupakan mikroorganisme komersial yang tergolong jenis mikroorganisme pengurai. Masing-masing sumber mikroorganisme memfermentasi air limbah sagu. Mikroorganisme terpilih kemudian diuji kinerjanya dalam membentuk biogas.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa senyawa fenolik dapat didegradasi, menurut Wang et al. (2007), komponen fenol dalam air limbah dapat didegradasi secara biologis dengan menggunakan mikroorganisme khusus yaitu Acinetobacter sp sedangkan menurut Fang et al. (2006) juga melaporkan senyawa fenol dalam air limbah dapat didegradasi secara anaerobik oleh akumulasi lumpur yang mengandung mikroorganisme yang telah beradaptasi dengan air limbah (upflow anaerobic sludge blanket) pada suhu 55oC dengan waktu tinggal hidrolik (HRT) selama 40 hari pada air limbah dengan kandungan fenol sebanyak 630 mg/L dan nilai COD 1500mg/L. Mikroorganisme yang terakumulasi di dalam lumpur


(8)

tersebut antara lain Clostridium, Thermotogales sp, Fervidobacterium, Moorella thermoacetica, Moorella glycerini. Penelitian lanjutan yang dilakukan yaitu uji biodegradability air limbah industri sagu dengan menggunakan sludge dari bioreaktor biogas komersial. Penggunaan sludge dari bioreaktor biogas komersial sebagai penguji kemampuan degradasi karena dianggap mampu mendegradasi bahan organik dalam air limbah sagu dengan baik.

Proses seleksi sumber mikroorganisme ini diharapkan dapat mengoptimalkan proses degradasi dan produksi biogas yang berasal dari air limbah industri sagu. Skema kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema kerangka Pemikiran. Rasio C:N:P air limbah

sagu yaitu (105:0,12:1)

Fermentasi Anaerob (Jenie dan Rahayu (1993)

Kandungan fenol dalam batang sagu kurang dari 1% (Pei-Lang et al., 2006).

Seleksi mikroorganisme Clostridium, Thermotogales

sp, Fervidobacterium, Moorella thermoacetica,


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Industri Sagu

1. Sagu (Metroxylon sagu Rottb.)

Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil pati yang sangat potensial di masa yang akan datang. Tanaman sagu atau Metroxylon sagu

Rottboell termasuk family Palmae genus Metroxylon. Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti empulur dan xylon berarti xylem, sedangkan sagu adalah pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Spesies yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi duri (Flach, 1997).

Tanaman sagu memerlukan waktu 11 tahun dalam siklus hidupnya (dari biji sampai membentuk biji) yang terdiri dari empat fase pertumbuhan yaitu fase awal pertumbuhan atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infolorensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun. Pati sagu terakumulasi dalam empulur batang sagu dari dasar sampai pucuk. Dalam semua tahap pertumbuhan, jumlah senyawa fenolik kurang dari 1%, di mana kandungan lignin berkisar 9 sampai 22% (Flach, 1997). Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang


(10)

melimpah. Menurut Mulyanto dan Suwardi (2000), tanaman sagu dapat tumbuh pada ketinggian 0 - 700 m di atas permulaan laut, tetapi dapat tumbuh secara optimal pada ketingian 0 - 400 m di atas permukaan laut dengan suhu 24 - 30oC. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air atau di hutan-hutan rawa yang kadar garamnya (salinitas) tidak terlalu tinggi (Baharudin dan Taskirawati, 2009). Tanaman sagu dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Tanaman sagu (Mc Clatchey et al., 2006).

2. Proses Produksi Sagu

Pati sagu merupakan hasil proses ekstraksi empelur batang (Metroxylon spp). Faktor genetik dan proses ekstraksi sangat mempengaruhi sifat dan kualitas pati, seperti penggunaan alat, cara penyimpanan potongan batang sagu, dan penyaringan (Flach, 1997). Menurut Louhenapessy (1997), langkah-langkah pokok dalam kegiatan pengolahan batang sagu sebagai berikut:


(11)

9

a. Proses penebangan dan pembuangan kulit batang sagu

Pohon sagu ditebang dan batang sagu dibersihkan dari bekas-bekas pelepah mulai dari pangkal tebangan sampai dengan 1 m dari daun terbawah, batang dibagi-bagi biasanya setiap 2-3 m dan dibelah menjadi dua.

b. Proses penghancuran empelur batang sagu

Batang sagu yang telah dibersihkan dan dipotong kemudian diparut untuk mendapatkan remahan batang sagu.

c. Proses ekstraksi

Remahan batang sagu kemudian diberi air untuk mengeluarkan larutan pati sagu, kemudian disaring untuk membebaskan pati sagu dari hampas dan bahan lain selain pati.

d. Proses pengendapan

Hasil ekstraksi berupa larutan pati kemudian diendapkan dalam bak penampungan. Pada industri moderen, dilakukan proses pengendapan, larutan pati hasil ekstraksi akan melalui tahap sentrifugasi sehingga terjadi pemisahan antara padatan yang berupa pati dan air. Air dari padatan pati yang telah mengendap kemudian dibuang sehingga diperoleh padatan pati. e. Proses pengeringan

Padatan hasil proses pengendapan kemudian dikeringkan menggunkan alat pengering ataupun sinar matahari. Kadar air pati kering berkisar 13-14% . Diagram alir proses produksi sagu seperti pada Gambar 3.


(12)

Gambar 3. Proses produksi sagu (Adeni et al., 2010).

B. Air Limbah Industri Sagu

Limbah pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah yang berbentuk cair (air limbah), limbah yang berbentuk padat (limbah padat) dan limbah yang berbentuk gas (limbah gas) (Murtadho dan Said, 1988 dalam Vegantara, 2009). Air limbah industri sagu berasal dari proses penyaringan bubur empelur sagu (ekstraksi) dan pengendapan pati. Menurut Bujang dan Ahmad (2000), untuk menghasilkan 1 Kg tepung sagu akan dihasilkan air limbah sebanyak 20 Liter. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Phang et al. (2000) air limbah biasanya dibuang ke sungai mengandung karbon yang sangat tinggi untuk rasio nitrogen (105:0,12). Karakteristik air limbah industri sagu disajikan pada Tabel 1.

Potongan batang sagu

Pembuangan kulit batang kulit

Pemarutan

Ekstraksi pati Air

hampas

Air limbah Pengeringan dan pengemasan


(13)

11

Tabel 1. Karakteristik Air limbah Industri Sagu.

Parameter Nilai Satuan

pH 0,00 – 4,20 -

COD 1.280 – 5.130 mg/L

TSS 120 – 620 mg/L

C:N:P 105:0,12:1 -

*C: berasal dari COD x 12/32 Sumber: Phang et al. (2000)

Menurut Karim et al. (2008), komponen non pati dalam batang sagu umumnya berupa fiber, hemiselluloses, bahan-bahan pembangun struktur sel, padatan yang terlarut dan komponen mikro yang tidak terlarut. Ekstraksi batang sagu mengunakan NaOH encer dengan konsentrasi 5% menghasilkan hemicellulose yang kaya akan Xylosa dan lebih sedikit glukosa, arabinosa, galaktosa, rhamnosa bersama-sama dengan 7,4% asam uronat, dan 3,9% lignin. Enam jenis asam fenolat dan aldehid terdeteksi dalam lignin terlarut, lignin dalam hemicellulose, dan fraksi cellulose. Menurut Pei-Lang et al. (2006), kandungan fenolik dalam batang sagu kurang dari 1%. Kandungan 1% fenol dapat menyumbang nilai COD yang cukup tinggi pada air limbah. Kandungan senyawa fenolik berupa enzim oksidase polifenol dan peroksidase dapat menyebabkan reaksi browning dan pencoklatan pada air limbah hasil ekstraksi (Onsa et al., 2007).

C. Pengelolaan Air Limbah Secara Anaerobik

Proses pengolahan anaerobik adalah proses pengolahan senyawa–senyawa organik yang terkandung dalam limbah menjadi gas metana dan karbon dioksida tanpa memerlukan oksigen. Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair dengan proses anaerobik akan


(14)

menghasilkan biogas yang mengandung metana (50-70%), CO2 (25-45%) dan sejumlah kecil nitrogen, hidrogen, dan hidrogen sulfida. Menurut Wahyuni (2011), penguraian dengan proses anaerobik secara umum dapat disederhanakan menjadi tiga tahap yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman (Asidifikasi) dan tahap pembentukan metana (Metanogenesis).

1. Tahap Hidrolisis

Tahap hidrolisis dimulai dengan penguraian bahan-bahan organik kompleks yang mudah larut atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, dan karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tahap hidrolisis juga diartikan sebagai perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk monomer. Senyawa-senyawa monomer hasil penguraian diantaranya senyawa asam organik, glukosa, etanol, CO2, dan hidrokarbon. Senyawa tersebut dimanfaatkan oleh bakteri yang melakukan fermentasi sebagai sumber karbon dan energi.

2. Tahap Pengasaman (Asidifikasi)

Senyawa sederhana (komponen monomer) yang terbentuk dari tahap hidrolisis dijadikan sumber energi bagi bakteri pembentuk asam. Bakteri tersebut menghasilkan senyawa asam, seperti asam asetat, asam propionat, asam butirat, asam laktat, serta produk sampingan berupa alkohol, CO2, hidrogen, dan amonia.


(15)

13

3. Tahap Metanogenesis

Bakteri metanogenik seperti Methanococus, Methanosarcina, dan Methano bacterium mengubah produk lanjutan dari tahap pengasaman menjadi metan, karbondioksida, dan air yang merupakan komponen penyusun biogas. Berikut tahap fermentasi bahan organik seperti Gambar 4.

Gambar 4. Tahap fermentasi bahan organik.

C6H12O6 2CH3CHOHCOOH

(asam laktat)

C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2

(asam butirat)

C6H12O6 CH3CH2COOH + 2CO2

(asam propionat)

C6H12O6 CH3COOH

(asam asetat)

Bahan organik kompleks Karbohidrat, protein, dan lemak)

Monomer

Tahap Hidrolisis Oleh Bakteri

fermentasi

Tahap asidifikasi Oleh Bakteri

acetogenik

CH4 dan CO2

Tahap Metanogenesis

Oleh Bakteri metanogenik Asam propionat, asam butirat,

asam laktat, alkohol


(16)

Menurut Manurung (200,) Lingkungan memiliki peranan yang besar pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik antara lain temperatur, pH, konsentrasi substrat, dan zat beracun.

a. Temperatur

Gas metana dapat dihasilkan jika suhu antara 4 – 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Proses pembentukan metana bekerja pada rentang temperatur 30 - 40°C, tapi dapat juga terjadi pada temperatur rendah (4°C). Laju produksi gas akan naik 100 - 400% untuk setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4 - 65°C.

b. Derajat Keasaman (pH)

Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana berkisar antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH dan dapat bekerja pada pH antara 5 - 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkan pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur.


(17)

15

c. Konsentrasi Substrat

Sel mikroorganisme mengandung Karbon, Nitrogen, Posfor, dan Sulfur dengan perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk pertumbuhan mikroorganisme, unsur-unsur di atas harus ada pada sumber makanannya (substart). Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat. Kandungan air dalam substart dan homogenitas sistem juga mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Karena kandungan air yang tinggi akan memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih baik. Kesetimbangan karbon dan nitrogen dalam bahan yang digunakan sebagai substrat perlu mendapat perhatian. Oleh karena itu, jika terlalu banyak nitrogen pertumbuhan bakteri akan terhambat, dalam hal ini terutama bahan yang kandungan amonianya sangat tinggi.

d. Zat Baracun

Zat organik maupun anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat pada konsentrasi yang tinggi. Untuk logam pada umumnya sifat racun akan semakin bertambah dengan tingginya valensi dan berat atomnya. Bakteri penghasil metana lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam.

Menurut Tchobanoglous, et al., (2003), dalam pengolahan air limbah secara anaerobik terdapat kelebihan dan keterbatasan.


(18)

Kelebihan dari pengolahan air limbah secara anaerobik antara lain: 1. Kebutuhan energi relatif rendah karena tidak memerlukan aerasi, 2. Produksi lumpur sedikit, relatif lebih stabil dan mudah dikeringkan, 3. Tidak memerlukan banyak bahan tambah untuk memperlancar proses

penguraian,

4. Terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan, 5. Lumpur (biomass) yang dihasilkan dapat disimpan lama dan digunakan

sebagai bibit untuk reaktor anaerobik baru,

6. Dapat dibebani dengan air limbah yang mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi sehingga volume reaktor yang dibutuhkan lebih kecil, 7. Terdapat kemungkinan untuk mempergunakan nutrien yang terdapat pada

hasil pengolahan.

Sedangkan keterbatasan pengelolaan air limbah secara anaerobik antara lain: 1. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan jumlah lumpur yang cukup

relatif lama,

2. Sentitif terhadap perubahan lingkungan dan operasional,

3. Terdapat kemungkinan adanya bau yang tidak sedap dan timbulnya gas yang bersifat korosif,

4. Pada dasarnya, pengolahan anaerobik hanyalah bersifat pengolahan pendahuluan, sehingga diperlukan pengolahan tambahan agar air hasil olahan memenuhi standar yang berlaku.


(19)

17

D. Senyawa Fenol

Fenol adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus hidroksil yang melekat langsung ke cincin aromatik. Senyawa aromatik mengandung cincin karboaromatik yaitu cincin aromatik yang hanya terdiri dari atom karbon seperti benzen, naftalen dan antrasen. Senyawa fenol merupakan karakteristik tanaman dan sebagai kelompok fenol biasanya ditemukan sebagai ester atau glikosida bukan sebagai senyawa bebas. Sedangkan polyphenol adalah senyawa yang memiliki lebih dari satu kelompok hidroksil fenol melekat pada satu atau lebih cincin benzena. Struktur fenol dapat dilihat seperti Gambar 5.

Gambar 5. Rumus bangun fenol

Menurut Harborne dan Simmonds (1964) dalam Vermerris dan Nicholson (2006), senyawa fenol diklasifikasikan ke dalam kelompok berdasarkan jumlah karbon dalam molekul seperti pada Tabel 2.


(20)

Tabel 2. Klasifikasi Senyawa Fenol

Struktur Kelompok

C6 Fenolik sederhana

C6 – C1 fenolik asam dan senyawa terkait C6 – C2 acetophenones dan asam fenilasetat

C6 – C3 sinamat asam, aldehida cinnamyl, cinnamyl alkohol

C6 – C3 coumarins, isocoumarins, and chromones

C15 chalcones, aurones, dihydrochalcones

C15 flavans

C15 flavones

C15 flavanones

C15 flavanonols

C15 anthocyanidin

C15 anthocyanin

C30 biflavonyls

C6 – C1 – C6, C6 – C2 – C6 benzoPhenones, xanthones, stilbenes

C6, C10, C14 quinon

C18 betacyanin

Lignan, neolignan dimer atau oligomer

Lignin polimer

Tannin oligomer atau polymer

Phlobaphenes polymer

Sumber: Vermerris dan Nicholson (2006)

Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3 gram/100 mL. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya fenol dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air. Dibandingkan dengan alkohol alifatik lainnya, fenol bersifat lebih asam. Hal ini dibuktikan dengan mereaksikan fenol dengan NaOH, di mana fenol dapat melepaskan H+. Pada keadaan yang sama, alkohol alifatik lainnya tidak dapat bereaksi seperti itu. Pelepasan ini diakibatkan pelengkapan orbital antara satu-satunya pasangan oksigen dan sistem aromatik, yang mendelokalisasi beban negatif melalui cincin tersebut dan menstabilkan anionnya (Vermerris dan Nicholson, 2006).


(21)

19

E. Mikroorganisme Pengurai Komponen Organik Air Limbah

Dalam penanganan air limbah, mikroorganisme merupakan dasar fungsional untuk sejumlah proses penanganan. Hal utama dalam penanganan air limbah adalah pengembangan dan pemeliharaan kultur mikroba yang cocok. Proses penanganan air limbah secara biologi terdiri dari campuran mikroorganisme yang mampu memetabolisme limbah organik. Mikroorganisme yang ditemukan dalam air dan digolongkan dalam empat grup yaitu: virus, organisme prokariotik, organisme eukariotik, dan invertebrata sederhana. Organisme prokariotik dan eukariotik bersel tunggal, sedangkan invertebrata bersel jamak. Virus adalah partikel-partikel yang tidak hidup yang berkaitan dengan organisme hidup. Salah satu jenis mikroorganisme yang berperan dalam pengangan air limbah yaitu bakteri (Jenie dan Rahayu, 1990).

Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam penanganan air limbah. Dalam air dan penanganan air limbah bakteri penting karena beberapa jenis sifat patogenik (menyebabkan penyakit) dan karena kultur bakteri dapat digunakan untuk menghilangkan bahan organik dan mineral yang tidak diinginkan dari air limbah. Kebanyakkan bakteri adalah kemoheterotrofik yaitu menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan karbon. Beberapa spesies mengoksidasi senyawa-senyawa anorganik tereduksi seperti NH3 untuk energi dan menggunkan CO2 sebagai sumber karbon. Bakteri ini disebut kemoautotrofik. Sebagian bakteri bersifat fotosintetik dan menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi dan karbondioksida sebagai sumber karbon. Bakteri kemoheterotrofik merupakan bakteri terpenting dalam penanganan air limbah


(22)

karena bakteri-bakteri ini akan memecah bahan organik. Bakteri kemoautrofik juga berperan penting dalam pengangan limbah terutama bakteri nitrifikasi yang mengoksidasi amino nitrogen menjadi nitrogen nitrat. Bakteri aerobik dan fakultatif aktif dalam semua unit penanganan aerobik, sedangkan bakteri anaerobik fakultatif dan obligat aktif dalam unit penanganan anarobik. Bakteri terdapat dalam proses penanganan limbah dalam bentuk gumpalan dari berbagai bentuk dan jenis (Jenie dan Rahayu, 1990).


(23)

III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengelolaan Limbah Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada November 2012 sampai Januari 2013 untuk skala laboratorium.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian skala labaratorium adalah seperangkat bioreaktor yang dilengkapi erlenmeyer berukuran 1000 mL dan 500 mL, pompa, selang, magnetic stirer, tabung pengukur gas, baskom, pH meter HM-20P, neraca analitik, desikator, furnace model EPTR-13K, reactor unit DRB200, HACH spektrofotometer DR/4000U, gas cromathography, cawan porselen, oven, timbangan, centrifuge, gelas ukur, gelas beker, labu takar, spatula, pinset, penjepit, pipet-mikro, bubble pipet, pipet tetes, botol semprot, sarung tangan, masker serta alat-alat analisa lainnya.

Bahan yang digunakan pada penelitian adalah air limbah sagu, sludge IPAL (PT NSP), activeted growth DMV Chem 7275 berbentuk cairan (PT Dwimulya Mandiri Perkasa), mikroorganisme BioCK berbebtuk cairan (PT Kaila Tauta R.), K2Cr2O7, H2SO4 pekat, HgSO4, Ag2SO4, aquades, aquabides, tissu, label, alumunium foil, dan bahan analisa lainnya.


(24)

C. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskripsi. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap penelitian seleksi sumber mikroorganisme dan tahap uji kinerja sumber mikroorganisme. Tahap penelitian seleksi sumber mikroorganisme menggunakan tiga sumber mikroorganisme yaitu sludge yang berasal dari kolam IPAL industri sagu, mikroorganisme komersial dengan merek dagang Activated Growth dan BioCK. Pengamatan yang diamati adalah pH, Total Suspended Solid (TSS), Volatil Suspended Solid (VSS), dan Soluble Chemical Oxygen Demand (SCOD) dan akumulasi volume gas. Pengamatan dilakukan seminggu sekali sampai data pengamatan terlihat mengalami penurunan. Sumber mikroorganisme yang terseleksi kemudian dijadikan sumber mikroorganisme pada tahap uji kinerja. Tahap uji kinerja dilakukan penambahan nutrien berupa urea sebanyak 0,05g. Pengamatan yang diamati adalah pH, Total Suspended Solid (TSS), Volatil Suspended Solid (VSS), dan Soluble Chemical Oxygen Demand (SCOD) dan akumulasi volume gas. Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali sampai data pengamatan terlihat mengalami penurunan. Skema metode penelitian disajikan pada gambar 6.


(25)

23

Seleksi Sumber Mikroorganisme

Gambar 6. Skema Metode Penelitian

Hasil pengamatan yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan kemudian dianalisis secara deskriptif.

D. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian awal yang dilakukan adalah karakterisasi air limbah segar industri sagu yang dianalisa nilai pH, Chemical Oxygen Demand (COD). Penelitian tahap I adalah melakukan seleksi sumber mikroorganisme. Air limbah industri sagu difermentasi dalam bioreaktor bermagnetik stirer (bioreaktor 1, 2, dan 3). Sumber mikroorganisme berupa Sludge, activated growth, BioCK dimasukkan ke dalam masing-masing bioreaktor. Pada bioreaktor 1, Sludge sebanyak 20% ditambahkan dengan 80% air limbah industri sagu segar dimasukkan dalam bioreaktor. Pada bioreaktor 2, activeted growth sebanyak 20% ditambahkan dengan 80% air limbah industri sagu segar. Pada bioreaktor 3, mikroorganisme BioCK sebanyak 20%

Sludge Activated Growth

BIOCK

Air Limbah Industri Sagu

Sumber Mikroorganisme terbaik

Uji Kinerja


(26)

ditambahkan dengan 80% air limbah industri sagu segar. Masing-masing perlakuan diadaptasikan selama 7 hari. Pada hari ke-8 dilakukan analisis dengan mengeluarkan 80 mL sampel pada masing-masing bioreaktor. Analisis yang dilakukan yaitu nilai pH, Soluble Chemical Oxygen Demand (SCOD), Total Suspended Solid (TSS), dan Volatil Suspended Solid (VSS). Analisis nilai pH, SCOD, TSS, dan VSS dilakukan setiap 1 minggu sekali sedangkan pengamatan volume gas dilakukan setiap hari. Skema penelitian pendahuluan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Bioreaktor tahap seleksi mikroorganisme

Penelitian dilanjutkan pada tahap uji kinerja sumber mikroorganisme terpilih. Sumber mikroorganisme yang telah terseleksi sebagai sumber mikroorganisme terbaik digunakan sebagai sumber mikroorganisme pada tahap aklimatisasi. Air limbah industri sagu difermentasi dalam bioreaktor dengan magnetik stirer dengan kapasitas 500 mL. Jumlah sumber mikroorganisme yang dimasukkan dalam bioreaktor sebanyak 50 mL dan jumlah air limbah industri sagu segar sebanyak 100 mL setelah itu dilakukan tahap adaptasi selama 1 hari. Pada hari ke-2 dilakukan penambahan air limbah industri sagu sebanyak 50 mL penambahan limbah segar dilakukan setiap hari hingga volume 500 mL. Pada saat

20% sumber mikroba dan 80 % limbah

segar

Volume gas yang terbentuk

bioreaktor


(27)

25

penambahan air limbah industri sagu dicampurkan dengan urea sebanyak 0,05 g. Penambahan urea berfungsi sebagai nutrien bagi mikroorganisme. Pada saat volume sampel telah mencapai 500 mL yaitu hari ke-8, kemudian dilakukan analisis nilai pH, Soluble Chemical Oxygen Demand (SCOD), Total Suspended Solid (TSS), dan Volatil Suspended Solid (VSS). Analisis nilai pH, SCOD, TSS, dan VSS dilakukan setiap 1 minggu sekali sedangkan pengamatan volume gas dilakukan setiap hari. Skema bioreaktor tahap uji kinerja sumber mikroorganisme terpilih disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Rangkaian bioreaktor tahap uji kinerja sumber mikroorganisme terpilih

E. Pengamatan 1. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sampel diletakkan dalam erlenmeyer dan pH meter kemudian dipersiapkan. Kemudian pH meter dicelupkan ke dalam sampel yang berada di erlenmeyer lalu diaduk-aduk. Angka-angka pada layar pengukuran akan terus berubah-ubah, pengukuran pH dengan

Adaptasi selama 1 hari 50 ml limbah dan 0,05 g pompa 500 mL Air limbah sagu V. gas 50mL sumber mo + 100

mL air limbah

sagu

Vol. gas


(28)

mengunakan pH meter akan selesai apabila angka pada layar tidak lagi berubah (DKK-TOA Corporation, 2004).

2. Pengukuran S-COD (soluble chemical oxygen demand)

Pengukuran S-COD dilakukan untuk mengetahui kebutuhan oksigen pada proses oksidasi bahan organik (padatan) yang terlarut (soluble) dalam air limbah secara kimia. Sampel yang telah diukur nilai pHnya dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge masing-masing sebanyak 50 mL. Sampel tersebut kemudian disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Sampel limbah yang terpisah dari padatan terlarutnya (supernatan) diambil sebanyak 0,2 ml atau 200 µL menggunakan mikropipet. Masukkan ke dalam vial yang berisi reagen COD, kemudian dipanaskan dengan reactor unit DBR 200 pada suhu 150oC selama 2 jam. Setelah dipanaskan, vial dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin (suhu ruang) kemudian diukur nilai S-CODnya dengan HACH Spectrofotometri DR4000 (HACH Company, 2004).

3. Analisis TSS (Total Suspended Solid)

Analisis Total Suspended Solid (TSS) dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 50 mL yang dimasukkan dalam tabung sentrifuge kemudian disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Endapan yang terbentuk dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dioven pada suhu 105oC selama 30 menit, dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit dan telah diketahui berat keringnya. Cawan yang telah berisi endapan sampel tersebut dioven dengan suhu 105oC selama 2 jam. Setelah keluar dari oven, cawan yang berisi endapan


(29)

27

sampel didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu ditimbang. Selisih berat cawan yang berisi sampel dengan berat kering cawan (dalam mg) dibagi dengan volume sampel (dalam L) merupakan nilai TSS (APHA, 1998).

Rumus perhitungan TSS:

Keterangan: A= berat cawan kering setelah dioven pada suhu 105oC selama 30 menit (mg)

B= berat cawan + sampel setelah dioven pada suhu 105oC selama 2 jam (mg)

V= volume larutan sampel (L)

4. Analisis VSS (Volatil Suspended Solid)

Analisis volatil suspended solid (VSS) dilakukan dengan mengambil sampel pada analisis TSS. Sampel yang telah ditimbang dimasukkan dalam elekterik furnace 600oC selama 40 menit, kemudian dimasukkan desikator selama 15 menit dan ditimbang. Selisih antara penimbangan cawan yang dioven 105oC dengan cawan yang difurnace 600oC dan dibagi dengan volume sampel yang disentrifuge dalam liter (APHA, 1998).

Rumus perhitungan VSS:

Keterangan B= berat cawan + sampel setelah dioven pada suhu 105oC selama 2 jam (mg)

C= berat cawan + sampel setelah difurnace pada suhu 600oC selama 40 menit (mg)

V= volume larutan sampel (L)


(30)

5. Volume Gas

Pengukuran volume gas dilakukan secara manual dengan menggunakan tabung yang telah terhubung langsung dengan bioreaktor. Tabung akan diisi dengan air sebagai indikator adanya penambahan gas. Pengamatan volume gas dilakukan setiap hari.


(31)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Sumber mikroorganisme terbaik dalam mendegradasi bahan organik dan membentuk biogas dari air limbah industri sagu yaitu sumber mikroorganisme berupa Sludge dengan nilai SCOD removal 55,79 %, produksi biogas sebanyak 200 mL, pH 5,75, TSS 17.187 mg/L, VSS 12.296 mg/L, dan rasio VSS/TSS 0,7129.

2. Pada tahap uji kinerja sludge dari IPAL industri sagu menunjukan bahwah sludge mampu mendekomposisi air limbah industri sagu dengan SCOD removal 42,07% dan menghasilkan sebanyak 500 mL biogas/Liter air limbah dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) selama 72 hari.

B. Saran

1. Perlu dilakukannya penelitian terhadap perbanyakan mikroorganisme dari Sludge air limbah industri sagu yang mampu mendegradasi senyawa fenol. 2. Perlu dilakukannya penelitian terhadap upaya penghilangan kandungan


(32)

DAFTAR PUSTAKA

Adeni, D. S. A., S. A. Aziz, K. Bujang, dan M. A. Hassan. 2010. Bioconversion of Sago Residue Into Value Added Products. African Journal Of

Biotechnology Vol. 9 (14), pp 2016-2021.

Amelia, J.R. 2012. Rekayasa Proses Aklimatisasi Bioreaktor Akibat Perubahan Substrat Dari Thinslop ke Vinasse. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 halaman.

Amos,2010. Dampak Limbah Pengolahan Sagu Skala Kecil Terhadap Mutu Air Anak Sungai Di Kelurahan Cibuluh Bogor. Jurnal Industri Hasil

Perkebunan : Vol. 5 No.1289 Juli, 2010. Diakses 4 September 2012 APHA.1998. Standard Method For Examination of Wastewater 20th Edition.

American Public Health Association 1015. Fifteenth street, N. W. Washington DC 2005-2605. PP: 2-57-2-58.

Baharuddin dan Taskirawati, 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Makassar. 295Hlm.

Bujang, K. B. Dan F. B. Ahmad. 2000. Country Report Of Malaysia Production And Utilisation Of Sago Starch In Malaysia. Hlm 1-8. Proceeding Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor. DKK-TOA Corpotation. 2004. G Series pH Meter HM-306/506/606 Instruction

Manual DKK-TOA Corporation. Japan. 165 Halaman.

Fang, H.H.P., D.W. Liang, T. Zhang, dan Y. Liu. 2006. Anaerobic Treatment Of Phenol In Wastewater Under Thermophilic Condition. Water Research 40: 427– 434

Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman

HACH Company. 2004. DR/400 Spectrophometer Models 48000 and User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Corolado.115 halaman.


(33)

52

Hasanudin, U., E. Suroso, Risfaheri, dan Misgiyarta. 2007. Optimasi Fermentasi Air Limbah Tapioka Sebagai Sumber Biogas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Iqbal, M., A. Ahmad, dan Irdoni. 2012. Efisiensi Penyisihan Kandungan Padatan Limbah Cair Pabrik Sagu Menggunakan Reaktor Hibrid Anaerob Dengan Variabel Laju Alir. Karya Ilmiah. Universitas Riau. Pekanbaru.

Jenie B.S.L. dan W. P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan . Kanisius. Yogyakarta. 180 halaman.

Jong , F.S. dan A. Widjono. 2007. Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia. Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 1 – 2007.

Kamal, M., Ardian, M. S. Hadi, dan K. Setiawan. 2000. Intensive management of sago cultivation as an alternative techology to conserve sago plants in lampung-indonesia. Hlm 64-70. Proceeding Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor.

Karim, A.A., A. Pei-Lang, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and

Challenges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews In Food Scince And Food Safety, Vol. 7. Kusuma, Y. L., A. Ahmad dan Yelmida. 2012. Efisiensi Penyisihan Chemical

Oxygen Demand (COD) Limbah Cair Pabrik Sagu Menggunakan Bioreaktor Hibrid Anaerob Pada Kondisi Tunak Dengan Variabel Laju Pembebanan Organik. Karya Ilmiah. Universitas Riau. Pekanbaru. Louhenapessy, J. E. 1997. Kondisi Sagu Di Maluku: Potensi, Alternatif

Pemanfaatan dan Pola Pengolahan Tepung. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Universitas Patimura, Volume 2, April 1997.

Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik sebagai Alternatif untuk Mengolah Limbah Sawit. http://library.usu.ac.id/download/ft/tkimia-renita.pdf. Diakses pada tanggal 16 Maret 2012

Maryanti. 2006. Evaluasi Kinerja Bioreaktor Anaerobik Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Dengan Perlakuan Aklimatisasi Inokulum. Skipsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 halaman.

Maryanti. 2011. Peningkatan Kinerja Reaktor Biogas Dalam Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 101 Halaman.

McClatchey, W., H. I. Manner, and C. R. Elevitch. 2006. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm) Arecaceae (palm family). Species Profiles for Pacific Island


(34)

Agroforestry. www.traditionaltree.org. diakses pada tanggal 16 September 2012

Milasari, N. I. dan S. B. Ariyani. 2010. Pengolahan Limbah Cair Kadar Cod Dan Fenol Tinggi dengan Proses Anaerob Dan Pengaruh Mikronutrient Cu: Kasus Limbah Industri Jamu Tradisional. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Mulyanto, B. dan Suwardi. 2000. Distribution and Characteristics of Land, the Sago Palm (Metroxylon Spp.) Habitat in Indonesia. Hlm 38-44. Proceeding Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor. Nawansih, O. 1996. Kinerja Inokulum Komersial Dan Inokulum Isolat Dalam

Produksi Gasbio Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 73 Halaman

Onsa, G. H., N. B. Saari, J. Selamat, J. Bakar, A. S. Mohammed, dan S. Bahri. 2007. Histochemical Localization of Polyphenol Oxidase and Peroxidase from Metroxylon sagu. Journal of Molecular Biology and Biotechnology Vol. 15 (2) : 91-98.

Pei-Lang, A.T., Mohamed A.M.D., dan Karim A.A. 2006. Sago Starch anda Composition of Associated Componen In Palms Of Different Growth Stages. Carbohydr Polym 63:283-286.

Phang, S.M., M.S.Miah, B.G. Yeoh, dan M.A. Hashim. 2000. Spirulina Cultivation In Digested Sago Starch Factory Wastewater. Journal of Applied Phycology 12: 395–400

Setiawan, E. S. 2010. Pengaruh Waktu Tinggal Hidraulik Terhadap Produksi Biogas Dari Limbah Cair Industri Pengolahan Kelapa Sawit Menggunakan Bioreaktor Anaerobik. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 70 halaman

Shimadzu Corporation. 2004. GC-2004 Gas Chromatography Instruction Manual. Shimadzu Corporation Analitical and Measuring Instrument Devision. Kyoto. Japan.

Singhal, R. S., J. F. Kennedy, S. M. Gopalakrishnan, A Kaczmarek, C. J. Knill, dan P. F. Akmar. 2008. Industrial production, processing, and utilizationof sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers 72 (2008) 1–20. http://www.scribd.com/doc/58523827/Sago-Palm-Product. Diakses pada tanggal 18 September 2012

Syakir, M., M.H. Bintoro, H. Agusta Dan Hermanto. 2008. Pemanfaatan Limbah Sagu Sebagai Pengendalian Gulmapada Lada Perdu. Jurnal Littri Vol. 14 No. 3, September 2008 : 107 – 112


(35)

54

Tchobanoglous, G., Burton, F. L. dan Stensel, H. D. 2003. Waste Water Engineering: Treatment and Reuse. Metcalf & Eddy Inc., New York. Vegantara, D. A. 2009. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran

Sapi Perah Dengan Sistem Anaerobik. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Vermerris, W and R. Nicholson. 2006. Phenolic Compound Biochemistry. Springer. Netherlands. 267 halaman.

Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas Dari Aneka Limbah. Agromedia. Jakarta. 104 halaman.

Wang Ying., Tian Ye, Han Bin, Zhao Huang-bing, Bi Jian-nan, dan Cai Bao-li. 2007. Biodegradation of phenol by free and immobilized Acinetobacter sp. strain PD12. Journal of Environmental Sciences 19(2007) 222–225.


(1)

28

5. Volume Gas

Pengukuran volume gas dilakukan secara manual dengan menggunakan tabung yang telah terhubung langsung dengan bioreaktor. Tabung akan diisi dengan air sebagai indikator adanya penambahan gas. Pengamatan volume gas dilakukan setiap hari.


(2)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Sumber mikroorganisme terbaik dalam mendegradasi bahan organik dan membentuk biogas dari air limbah industri sagu yaitu sumber mikroorganisme berupa Sludge dengan nilai SCOD removal 55,79 %, produksi biogas sebanyak 200 mL, pH 5,75, TSS 17.187 mg/L, VSS 12.296 mg/L, dan rasio VSS/TSS 0,7129.

2. Pada tahap uji kinerja sludge dari IPAL industri sagu menunjukan bahwah sludge mampu mendekomposisi air limbah industri sagu dengan SCOD removal 42,07% dan menghasilkan sebanyak 500 mL biogas/Liter air limbah dengan waktu tinggal hidrolik (WTH) selama 72 hari.

B. Saran

1. Perlu dilakukannya penelitian terhadap perbanyakan mikroorganisme dari Sludge air limbah industri sagu yang mampu mendegradasi senyawa fenol. 2. Perlu dilakukannya penelitian terhadap upaya penghilangan kandungan


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adeni, D. S. A., S. A. Aziz, K. Bujang, dan M. A. Hassan. 2010. Bioconversion of Sago Residue Into Value Added Products. African Journal Of

Biotechnology Vol. 9 (14), pp 2016-2021.

Amelia, J.R. 2012. Rekayasa Proses Aklimatisasi Bioreaktor Akibat Perubahan Substrat Dari Thinslop ke Vinasse. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 halaman.

Amos,2010. Dampak Limbah Pengolahan Sagu Skala Kecil Terhadap Mutu Air Anak Sungai Di Kelurahan Cibuluh Bogor. Jurnal Industri Hasil

Perkebunan : Vol. 5 No.1289 Juli, 2010. Diakses 4 September 2012 APHA.1998. Standard Method For Examination of Wastewater 20th Edition.

American Public Health Association 1015. Fifteenth street, N. W. Washington DC 2005-2605. PP: 2-57-2-58.

Baharuddin dan Taskirawati, 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Makassar. 295Hlm.

Bujang, K. B. Dan F. B. Ahmad. 2000. Country Report Of Malaysia Production And Utilisation Of Sago Starch In Malaysia. Hlm 1-8. Proceeding Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor. DKK-TOA Corpotation. 2004. G Series pH Meter HM-306/506/606 Instruction

Manual DKK-TOA Corporation. Japan. 165 Halaman.

Fang, H.H.P., D.W. Liang, T. Zhang, dan Y. Liu. 2006. Anaerobic Treatment Of Phenol In Wastewater Under Thermophilic Condition. Water Research 40: 427– 434

Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman

HACH Company. 2004. DR/400 Spectrophometer Models 48000 and User Manual 08/04 3ed. HACH Company World Headquarters. Corolado.115 halaman.


(4)

52

Hasanudin, U., E. Suroso, Risfaheri, dan Misgiyarta. 2007. Optimasi Fermentasi Air Limbah Tapioka Sebagai Sumber Biogas. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Iqbal, M., A. Ahmad, dan Irdoni. 2012. Efisiensi Penyisihan Kandungan Padatan Limbah Cair Pabrik Sagu Menggunakan Reaktor Hibrid Anaerob Dengan Variabel Laju Alir. Karya Ilmiah. Universitas Riau. Pekanbaru.

Jenie B.S.L. dan W. P. Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan . Kanisius. Yogyakarta. 180 halaman.

Jong , F.S. dan A. Widjono. 2007. Sagu: Potensi Besar Pertanian Indonesia. Jurnal Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 1 – 2007.

Kamal, M., Ardian, M. S. Hadi, dan K. Setiawan. 2000. Intensive management of sago cultivation as an alternative techology to conserve sago plants in lampung-indonesia. Hlm 64-70. Proceeding Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor.

Karim, A.A., A. Pei-Lang, D.M.A. Manan, dan I.S.M. Zaidul. 2008. Starch from the Sago (Metroxylon sagu) Palm Tree—Properties, Prospects, and

Challenges as a New Industrial Source for Food and Other Uses. Comprehensive Reviews In Food Scince And Food Safety, Vol. 7. Kusuma, Y. L., A. Ahmad dan Yelmida. 2012. Efisiensi Penyisihan Chemical

Oxygen Demand (COD) Limbah Cair Pabrik Sagu Menggunakan Bioreaktor Hibrid Anaerob Pada Kondisi Tunak Dengan Variabel Laju Pembebanan Organik. Karya Ilmiah. Universitas Riau. Pekanbaru. Louhenapessy, J. E. 1997. Kondisi Sagu Di Maluku: Potensi, Alternatif

Pemanfaatan dan Pola Pengolahan Tepung. Jurnal Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Universitas Patimura, Volume 2, April 1997.

Manurung, R. 2004. Proses Anaerobik sebagai Alternatif untuk Mengolah Limbah Sawit. http://library.usu.ac.id/download/ft/tkimia-renita.pdf. Diakses pada tanggal 16 Maret 2012

Maryanti. 2006. Evaluasi Kinerja Bioreaktor Anaerobik Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tapioka Dengan Perlakuan Aklimatisasi Inokulum. Skipsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 82 halaman.

Maryanti. 2011. Peningkatan Kinerja Reaktor Biogas Dalam Pengolahan Air Limbah Industri Bioetanol Berbahan Baku Ubi Kayu. Tesis. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 101 Halaman.

McClatchey, W., H. I. Manner, and C. R. Elevitch. 2006. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm) Arecaceae (palm family). Species Profiles for Pacific Island


(5)

53

Agroforestry. www.traditionaltree.org. diakses pada tanggal 16 September 2012

Milasari, N. I. dan S. B. Ariyani. 2010. Pengolahan Limbah Cair Kadar Cod Dan Fenol Tinggi dengan Proses Anaerob Dan Pengaruh Mikronutrient Cu: Kasus Limbah Industri Jamu Tradisional. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Mulyanto, B. dan Suwardi. 2000. Distribution and Characteristics of Land, the

Sago Palm (Metroxylon Spp.) Habitat in Indonesia. Hlm 38-44. Proceeding

Of International Sago Seminar. Bogor Agricultural University. Bogor. Nawansih, O. 1996. Kinerja Inokulum Komersial Dan Inokulum Isolat Dalam

Produksi Gasbio Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 73 Halaman

Onsa, G. H., N. B. Saari, J. Selamat, J. Bakar, A. S. Mohammed, dan S. Bahri. 2007. Histochemical Localization of Polyphenol Oxidase and Peroxidase from Metroxylon sagu. Journal of Molecular Biology and Biotechnology Vol. 15 (2) : 91-98.

Pei-Lang, A.T., Mohamed A.M.D., dan Karim A.A. 2006. Sago Starch anda Composition of Associated Componen In Palms Of Different Growth Stages. Carbohydr Polym 63:283-286.

Phang, S.M., M.S.Miah, B.G. Yeoh, dan M.A. Hashim. 2000. Spirulina Cultivation In Digested Sago Starch Factory Wastewater. Journal of Applied Phycology 12: 395–400

Setiawan, E. S. 2010. Pengaruh Waktu Tinggal Hidraulik Terhadap Produksi Biogas Dari Limbah Cair Industri Pengolahan Kelapa Sawit Menggunakan Bioreaktor Anaerobik. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 70 halaman

Shimadzu Corporation. 2004. GC-2004 Gas Chromatography Instruction Manual. Shimadzu Corporation Analitical and Measuring Instrument Devision. Kyoto. Japan.

Singhal, R. S., J. F. Kennedy, S. M. Gopalakrishnan, A Kaczmarek, C. J. Knill, dan P. F. Akmar. 2008. Industrial production, processing, and utilizationof sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers 72 (2008) 1–20. http://www.scribd.com/doc/58523827/Sago-Palm-Product. Diakses pada tanggal 18 September 2012

Syakir, M., M.H. Bintoro, H. Agusta Dan Hermanto. 2008. Pemanfaatan Limbah Sagu Sebagai Pengendalian Gulmapada Lada Perdu. Jurnal Littri Vol. 14 No. 3, September 2008 : 107 – 112


(6)

54

Tchobanoglous, G., Burton, F. L. dan Stensel, H. D. 2003. Waste Water Engineering: Treatment and Reuse. Metcalf & Eddy Inc., New York. Vegantara, D. A. 2009. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran

Sapi Perah Dengan Sistem Anaerobik. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Vermerris, W and R. Nicholson. 2006. Phenolic Compound Biochemistry. Springer. Netherlands. 267 halaman.

Wahyuni, S. 2011. Menghasilkan Biogas Dari Aneka Limbah. Agromedia. Jakarta. 104 halaman.

Wang Ying., Tian Ye, Han Bin, Zhao Huang-bing, Bi Jian-nan, dan Cai Bao-li. 2007. Biodegradation of phenol by free and immobilized Acinetobacter sp. strain PD12. Journal of Environmental Sciences 19(2007) 222–225.