PENGARUH TINGKAT KERAPATAN TANAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz)
ABSTRAK
PENGARUH KERAPATAN TANAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz)
Oleh
Christy Gomgom Ebenezer Sitorus
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman serealia yang dapat tumbuh pada berbagai keadaan lingkungan sehingga potensial untuk
dikembangkan khususnya pada lahan marginal beriklim kering di Indonesia. Salah satu cara untuk meningkatkan potensi sorgum adalah dengan
pengembangan teknik budidaya sorgum dengan memanfaatkan areal pertanaman yaitu upaya mengatur kerapatan tanaman dan penumpangsarian dengan ubikayu (Manihot esculenta Crantz). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh (1) tingkat kerapatan tanaman, (2) perbedaan varietas dan (3) interaksi antara tingkat kerapatan tanaman dan varietas tanaman sorgum terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu. Penelitian ini dilaksanakan di BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Natar, Lampung Selatan, pada bulan Agustus 2014 sampai November 2014.
(2)
ulangan. Faktor pertama adalah varietas yang terdiri dari varietas Numbu, Keller dan Wray. Faktor kedua adalah kerapatan tanaman yang terdiri dari kerapatan satu, dua, tiga, dan empat tanaman per lubang tanam. Petak percobaan pada penelitian ini berukuran 5mx4 m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kerapatan tanaman mempengaruhi komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu. (2) Varietas tanaman sorgum berpengaruh pada beberapa komponen pertumbuhan tanaman sorgum dan secara nyata mempengaruhi hasil tanaman sorgum. Varietas Numbu memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan Varietas Keller dan Wray. (3)
Kombinasi antara varietas dan kerapatan tanaman berpengaruh terhadap
komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Penggunaan Varietas Numbu dengan kerapatan 2 tanaman/ lubang menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan kedua varietas lainnya, dan penggunaan Varietas Keller dengan kerapatan 1 tanaman/ lubang menunjukkan bobot berangkasan tertinggi dibandingkan yang lainnya.
Kata kunci : kerapatan tanaman, pertumbuhan, hasil, varietas, sorgum, tumpangsari
(3)
PENGARUH TINGKAT KERAPATAN TANAMAN
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN
SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) PADA SISTEM
TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU
(Manihot esculenta Crantz)
(Skripsi)Oleh
CHRISTY GOMGOM EBENEZER SITORUS Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 12 September 1993, sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara untuk pasangan Bapak Ir. Ober Sitorus dan Ibu Martha Manurung. Penulis mulai menempuh jenjang pendidikan di TK Fransiskus1 Tanjung Karang pada tahun 1998-1999, kemudian dilanjutkan ke pendidikan dasar di SD Fransiskus 1 Tanjung Karang pada tahun 1999-2005, menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 19 Bandar Lampung pada tahun 2008, dan lulus dari SMA Negeri 15 Bandar Lampung pada tahun 2011.
Pada tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjabat sebagai asisten dosen Dasar-Dasar Budidaya Tanaman pada tahun 2014 dan Produksi Tanaman Pangan pada tahun 2015. Penulis pernah menjabat sebagai Announcer Chief di Organisasi Radio Kampus Universitas Lampung (RAKANILA) periode 2012-2013, sebagai Anggota Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat di Persatuan Mahasiswa (Perma) Agroteknologi periode 2012-2013, sebagai Manager On Air RAKANILA periode 2012-2013 dan periode 2013-2014. Pada tahun 2014 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung Kebun Percobaan Natar yang berjudul
(8)
ii “Teknik Pembibitan Lada (Piper nigrum L.) di Kebun Percobaan Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Natar, Kabupaten Lampung Selatan”. Pada bulan Januari 2015 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata
Universitas Lampung di Desa Negara Batin, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan.
(9)
Aku persembahkan karya ini kepada Orangtuaku tercinta
kepada bapak Ir. Ober Tony Sitorus dan mama Martha Manurung yang telah mencurahkan semua kasih sayangnya, doa, didikan, nasihat, perhatian dan
motivasi selama ini.
Ke enam saudara kandungku
Kak septi, kak andri, kak tari, ricky, theresia, dan timothy
Terimakasih atas segala dukungan, perhatian, kasih sayang selama ini dan sampai saat ini.
Sahabat-sahabat yang setia di saat suka dan duka Terimakasih atas bantuan, dukungan, motivasi, dan
pengorbanan yang telah kalian berikan selama ini.
Kekasih hati yang telah Tuhan sediakan dan kelak akan melengkapi kebahagiaan dalam perjalanan hidup
(10)
Puji Tuhan!
Terimakasih, Tuhan Yesus Kristus.
sang proses tidak akan pernah mengecewakan sang hasil, begitupun sebaliknya sang hasil tidak akan pernah lupa dengan sang proses.
apapun yang harus terjadi di dalam proses menuju hasilmu, laluilah, kerahkanlah seluruh kekuatan, tenaga, dan arahmu, menujunya. walau sang lelah, atau penat,
atau bahkan kecewa mu datang, Percayalah! HASIL ITU TIDAK MEMBOHONGIMU.
He may have a great army, but they are merely men. We have the LORD our God to help us and to fight our battles for us (2 Chronicles 32:8)
(11)
SANWACANA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus penulis ucapkan karena telah memberikan kasih karunia dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Pengaruh Tingkat Kerapatan Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) Pada Sistem Tumpangsari dengan Ubikayu (Manihot esculenta Crants)”.
Dalam skripsi ini penulis dibantu oleh berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Ir. Sunyoto, M.Agr., selaku pembimbing pertama atas waktu, saran, nasehat, bantuan, bimbingan dan motivasi, serta semangat selama
pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan skripsi.
2. Bapak Ir. M. Syamsoel Hadi, M.Sc., selaku pembimbing kedua atas waktu, saran, dan bimbingan pelaksanaan penelitian hingga proses penulisan skripsi. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Kamal, M.Sc., selaku dosen penguji yang
telah memberikan saran, nasehat, serta semangat dalam penulisan skripsi. 4. Bapak Dr. Ir. Erwin Yuliadi, M.Sc., selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan nasehat dan motivasi kepada Penulis;
5. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
(12)
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc., selaku Ketua Bidang Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
8. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung Kebun Percobaan (KP) Natar, Bapak Jumari, Pakde dan Bukde Untung dan segenap pegawai BPTP Lampung atas segala bantuan selama penelitian berlangsung.
9. Kedua orangtua tercinta Bapak dan Mama, serta kakak dan adik tersayang Septi Maria Marlin Sitorus, Andri Agustinar Sitorus, Oktari Margarentha Sitorus, Ricky Frans Deni Sitorus, Theresia Maharani Sitorus dan Timothy Yan Felix Sitorus terimakasih atas semua doa, kasih sayang, perhatian, bantuan, dan motivasi yang selalu diberikan hingga saat ini.
10. Teman seperjuangan Anggi Anggrestyas Siwi, Agung Dwi Saputro, Ade Fitri Anggraeni, Arpi Ariyanto, atas kerjasama, semangat dan bantuannya.
11. Bayu Kesuma Wardhana, Alpenda Putri, Amelia Eka Prasetyo, Sherly Isti Annisa, Andrestu Kesuma, Alamanda Katartika Fahri, Adawiah, dan segenap teman-teman di Jurusan Agroteknologi 2011. Yessy Yolanda, Diah Putri Safera, Vico, Vicry (Victory!) teimakasih atas persahabatannya.
12. Adi, Ade, Dyanti, Dian, Sonia, Indah, Fajri, Jaya dan segenap crew 11 UKM Radio Kampus Universitas Lampung atas persahabatan yang terjalin.
Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... xv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 6
1.3 Kerangka Pemikiran ... 6
1.4 Hipotesis ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sogum (Sorghum bicolor (L) Moench) ... 11
2.1.1 Morfologi Tanaman Sorgum ... 12
2.1.2 Fase Pertumbuhan Tanaman Sorgum ... 14
2.1.3 Syarat Tumbuh ... 20
2.2 Kerapatan Tanaman ... 22
2.3 Tumpangsari ... 23
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26
3.2 Bahan dan Alat ... 26
3.3 Metode Penelitian ... 27
3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 31
3.4.1 Pengolahan Tanah ... 31
3.4.2 Pembuatan Petakan Percobaan ... 31
3.4.3 Penanaman ... 31
3.4.4 Pemupukan ... 32
3.4.5 Penjarangan dan penyulaman ... 32
(14)
vii
3.4.7 Pemanenan ... 33
3.5 Variabel yang diamati ... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 38
4.1.1 Tinggi tanaman... 40
4.1.2 Jumlah daun ... 45
4.1.3 Diameter batang ... 48
4.1.4 Tingkat kehijauan daun ... 54
4.1.5 Komponen hasil ... 56
4.2 Pembahasan ... 65
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 71
5.2 Saran ... 72
DAFTAR ACUAN ... 73
LAMPIRAN Tabel 19-131 ... 76
(15)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Susunan perlakuan dalam penelitian. ... 28 2. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh kerapatan tanaman,
varietas dan interaksi pada pertumbuhan dan hasil tanaman
Sorgum. ... 38 3. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 5 mst. ... 40 4. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 6 mst. ... 41 5. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 7 mst. ... 42 6. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 8 mst. ... 44 7. Pengaruh varietas dan kerapatan tanaman terhadap jumlah daun
tanaman sorgum pada umur 4, 5, 6 dan 7 mst. ... 45 8. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap jumlah daun
tanaman sorgum pada umur 8 mst. ... 47 9. Pengaruh varietas dan kerapatan tanaman terhadap diameter batang
tanaman sorgum pada umur 6 mst. ... 48 10.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 4 mst. ... 49 11.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 5 mst. ... 50 12.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 7 mst. ... 52 13.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
(16)
xi 14.Pengaruh varietas dan kerapatan tanaman terhadap tingkat kehijauan
daun tanaman sorgum pada umur 4, 5, 6, 7 dan 8 mst. ... 54
15.Pengaruh varietas sorgum dan kerapatan tanaman terhadap umur berbunga, panjang malai, bobot 100 butir biji kering dan bobot berangkasan kering. ... 57
16.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot biji/ malai tanaman sorgum. ... 59
17.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap jumlah biji/ malai tanaman sorgum. ... 60
18.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot berangkasan basah tanaman sorgum. ... 62
19.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot biji tanaman sorgum dalam satuan luas (m2). ... 64
20.Rata-rata tinggi tanaman sorgum pada umur 4 MST. ... 76
21.Analisis ragam untuk tinggi tanaman sorgum pada umur 4 MST. ... 76
22.Rata-rata tinggi tanaman sorgum pada umur 5 MST. ... 77
23.Analisis ragam untuk tinggi tanaman sorgum pada umur 5 MST. ... 77
24.Rata-rata tinggi tanaman sorgum pada umur 6 MST. ... 78
25.Analisis ragam untuk tinggi tanaman sorgum pada umur 6 MST. ... 78
26.Rata-rata tinggi tanaman sorgum pada umur 7 MST. ... 79
27.Analisis ragam untuk tinggi tanaman sorgum pada umur 7 MST. ... 79
28.Rata-rata tinggi tanaman sorgum pada umur 8 MST. ... 80
29.Analisis ragam untuk tinggi tanaman sorgum pada umur 8 MST. ... 80
30.Rata-rata jumlah daun tanaman sorgum pada umur 4 MST. ... 81
31.Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum pada umur 4 MST. ... 81
32.Rata-rata jumlah daun tanaman sorgum pada umur 5 MST. ... 82
33.Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum pada umur 5 MST. ... 82
(17)
xii
35.Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum pada umur 6 MST. ... 83
36.Rata-rata jumlah daun tanaman sorgum pada umur 7 MST. ... 84
37.Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum pada umur 7 MST. ... 84
38.Rata-rata jumlah daun tanaman sorgum pada umur 8 MST. ... 85
39.Analisis ragam jumlah daun tanaman sorgum pada umur 8 MST. ... 85
40.Rata-rata diameter batang tanaman sorgum pada umur 4 MST. ... 86
41.Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada umur 4MST ... 86
42.Rata-rata diameter batang tanaman sorgum pada umur 5 MST. ... 87
43.Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada umur 5MST ... 87
44.Rata-rata diameter batang tanaman sorgum pada umur 6 MST. ... 88
45.Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada umur 6MST ... 88
46.Rata-rata diameter batang tanaman sorgum pada umur 7 MST. ... 89
47.Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada umur 7MST ... 89
48.Rata-rata diameter batang tanaman sorgum pada umur 8 MST. ... 90
49.Analisis ragam diameter batang tanaman sorgum pada umur 8MST ... 90
50.Rata-rata tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 4 MST. ... 91
51.Analisis ragam tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 4MST. ... 91
52.Rata-rata tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 5 MST. ... 92
53.Analisis ragam tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 5MST ... 92
54.Rata-rata tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 6 MST. ... 93
55.Analisis ragam tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 6MST. ... 93
(18)
xiii 57.Analisis ragam tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur
7MST. ... 94
58.Rata-rata tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 8 MST. ... 95
59.Analisis ragam tingkat kehijauan daun tanaman sorgum umur 8MST. ... 95
60.Rata-rata umur berbunga tanaman sorgum. ... 96
61.Analisis ragam umur berbunga tanaman sorgum. ... 96
62.Rata-rata panjang malai tanaman sorgum. ... 97
63.Analisis ragam panjang malai tanaman sorgum. ... 97
64.Rata-rata bobot biji/ malai tanaman sorgum. ... 98
65.Analisis ragam bobot biji/ malai tanaman sorgum. ... 98
66.Rata-rata jumlah biji tanaman sorgum per malai. ... 99
67.Analisis ragam jumlah biji tanaman sorgum per malai. ... 99
68.Rata-rata bobot 100 butir biji kering tanaman sorgum. ... 100
69.Analisis ragam bobot 100 butir biji kering tanaman sorgum. ... 100
70.Rata-rata bobot berangkasan basah tanaman sorgum saat panen. ... 101
71.Analisis ragam bobot berangkasan basah tanaman sorgum saat panen. ... 101
72.Rata-rata bobot berangkasan kering tanaman sorgum setelah dioven. ... 102
73.Analisis ragam bobot berangkasan kering sorgum setelah doven. ... 102
74.Rata-rata bobot biji/ m2 tanaman sorgum. ... 103
75.Analisis ragam bobot biji/ m2 tanaman sorgum. ... 103
76.Uji Homogenitas tinggi tanaman sorgum umur 4 MST. ... 104
77.Uji Aditivitas tinggi tanaman sorgum umur 4 MST. ... 104
(19)
xiv
79.Uji Aditivitas untuk tinggi tanaman sorgum umur 5 MST. ... 104
80.Uji Homogenitas tinggi tanaman sorgum umur 6 MST. ... 104
81.Uji Aditivitas untuk tinggi tanaman sorgum umur 6 MST. ... 104
82.Uji Homogenitas tinggi tanaman sorgum umur 7 MST. ... 104
83.Uji Aditivitas untuk tinggi tanaman sorgum umur 7 MST. ... 105
84.Uji Homogenitas tinggi tanaman sorgum umur 8 MST. ... 105
85.Uji Aditivitas untuk tinggi tanaman sorgum umur 8 MST. ... 105
86.Uji Homogenitas jumlah daun tanaman sorgum umur 4 MST. ... 105
87.Uji Aditivitas jumlah daun tanaman sorgum umur 4 MST. ... 105
88.Uji Homogenitas jumlah daun tanaman sorgum umur 5 MST. ... 105
89.Uji Aditivitas jumlah daun tanaman sorgum umur 5 MST. ... 105
90.Uji Homogenitas jumlah daun tanaman sorgum umur 6 MST. ... 106
91.Uji Aditivitas jumlah daun tanaman sorgum umur 6 MST. ... 106
92.Uji Homogenitas jumlah daun tanaman sorgum umur 7 MST. ... 106
93.Uji Aditivitas jumlah daun tanaman sorgum umur 7 MST. ... 106
94.Uji Homogenitas jumlah daun tanaman sorgum umur 8 MST. ... 106
95.Uji Aditivitas jumlah daun tanaman sorgum umur 8 MST. ... 106
96.Uji Homogenitas diameter batang tanaman sorgum umur 4 MST. ... 106
97.Uji Aditivitas diameter batang tanaman sorgum umur 4MST. ... 107
98.Uji Homogenitas diameter batang tanaman sorgum umur 5 MST. .... 107
99.Uji Aditivitas diameter batang tanaman sorgum umur 5MST. ... 107
100.Uji Homogenitas diameter batang tanaman sorgum umur 6 MST. .... 107
101.Uji Aditivitas diameter batang tanaman sorgum umur 6MST. ... 107
(20)
xv
103.Uji Aditivitas diameter batang tanaman sorgum umur 7MST. ... 107
104.Uji Homogenitas diameter batang tanaman sorgum umur 8 MST. .... 108
105.Uji Aditivitas diameter batang tanaman sorgum umur 8MST. ... 108
106.Uji Homogenitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 4 MST. ... 108
107.Uji Aditivitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 4MST. ... 108
108.Uji Homogenitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 5 MST. ... 108
109.Uji Aditivitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 5MST. ... 108
110.Uji Homogenitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 6 MST. ... 108
111.Uji Aditivitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 6MST. ... 109
112.Uji Homogenitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 7 MST .... 109
113.Uji Aditivitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 7MST. ... 109
114.Uji Homogenitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 8 MST .... 109
115.Uji Aditivitas tingkat kehijauan daun tanaman sorgum 8MST. ... 109
116.Uji Homogenitas umur berbunga tanaman sorgum. ... 109
117.Uji Aditivitas umur berbunga tanaman sorgum. ... 109
118.Uji Homogenitas panjang malai tanaman sorgum. ... 110
119.Uji Aditivitas panjang malai tanaman sorgum. ... 110
120.Uji Homogenitas bobot biji/ malai tanaman sorgum. ... 110
121.Uji Aditivitas bobot biji/ malai tanaman sorgum. ... 110
122.Uji Homogenitas jumlah biji tanaman sorgum per malai. ... 110
123.Uji Aditivitas jumlah biji tanaman sorgum per malai. ... 110
124.Uji Homogenitas bobot 100 butir biji kering tanaman sorgum. ... 110
125.Uji Aditivitas bobot 100 butir biji kering tanaman sorgum. ... 111
(21)
xvi
127.Uji Aditivitas bobot berangkasan basah tanaman sorgum. ... 111
128.Uji Homogenitas bobot berangkasan kering tanaman sorgum. ... 111
129.Uji Aditivitas bobot berangkasan kering sorgum. ... 111
130.Uji Homogenitas bobot biji/ m2 tanaman sorgum. ... 111
(22)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Tata letak percobaan. ... 29 2. Tata letak lubang tanam per satuan percobaan. ... 30 3. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 5 mst. ... 41 4. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 6 mst. ... 42 5. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 7 mst. ... 43 6. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap tinggi
tanaman sorgum pada umur 8 mst. ... 44 7. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap jumlah
daun tanaman sorgum pada umur 8 mst. ... 47 8. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 4 mst. ... 50 9. Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 5 mst. ... 51 10.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 7 mst . ... 52 11.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap diameter
batang tanaman sorgum pada umur 8 mst. ... 53 12.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot biji
(23)
ix
13.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap jumlah biji per malai tanaman sorgum. ... 61 14.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot
berangkasan basah tanaman sorgum. ... 63 15.Interaksi antara kerapatan tanaman dan varietas terhadap bobot biji
per satuan luas (m2) tanaman sorgum. ... 65 16.Tanaman sorgum 1 MST yang belum dilakukan penjarangan. ... 112 17.Tanaman sorgum 6 minggu setelah tanam. ... 112 18.Petak percobaan Varietas Numbu dengan kerapatan 1 tanaman/
lubang tanam pada umur 6 MST. ... 113 19.Petak percobaan Varietas Keller dengan kerapatan 4 tanaman/
lubang tanam pada umur 6 MST. ... 113 20.Petak percobaan Varietas Numbu dengan kerapatan 2 tanaman/
lubang tanam pada umur 9 MST. ... 114 21.Petak percobaan Varietas Numbu dengan kerapatan 1 tanaman/
lubang tanam pada umur 9 MST. ... 114 22.Tanaman sorgum yang telah 50% berbunga. ... 115 23.Malai Varietas Keller dari kerapatan 1 tanaman/ lubang tanam sampai 4
(24)
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang dan Masalah
Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia adalah ketahanan pangan nasional. Ketahanan pangan nasional adalah masalah sensitif yang selalu menyinggung suatu negara untuk menjadikan status negara menjadi negara maju. Adalah penting bagi Indonesia untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan
nasional menjadi ketahanan pangan yang mandiri yang berbasis pada kemandirian ketahanan pangan domestik. Selama lima tahun terakhir, pembangunan di bidang ketahanan pangan dan gizi telah menunjukkan kecenderungan yang semakin baik di semua pilar, mulai dari produksi dan ketersediaan serta distribusi hingga ke konsumsi dan status gizi (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan melalui intensifikasi, ektensifikasi, dan diversifikasi yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya sehingga terjadi keserasian dan menciptakan ketahanan pangan yang tangguh. Menurut Indriati (2009) menyatakan bahwa usaha ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian
dihadapkan pada semakin berkurangnya lahan-lahan produktif dari tahun ketahun akibat dari pemanfaatan lahan untuk keperluan non pertanian, seperti untuk perumahan, industri perkantoran dan sebagainya. Sedangkan usaha intensifikasi
(25)
2 sering mengalami kendala, akibat dari penerapan paket teknologi yang kurang tepat dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan dosis jauh lebih tinggi dari dosis anjuran, sehingga dapat menurunkan efesiensi usahatani dan
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Oleh karena itu, salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk membangun ketahanan pangan dalam meningkatkan produksi adalah efisiensi penggunaan lahan pertanian. Dalam mengefisiensikan lahan pertanian yang ada di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai teknologi yaitu salah satunya dengan pola sistem tanam yang sebagian besar monokultur diubah menjadi tumpangsari. Karena dalam lahan yang digunakan dalam
tumpangsari terdapat dua tanaman yang dapat dibudidayakan secara bersamaan di lahan yang sama.
Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda (Warsana, 2009). Penentuan jenis tanaman yang dapat ditumpangsarikan harus diperhatikan agar mendapatkan hasil produksi yang diharapkan.
Tumpangsari adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode tanam pada satu tempat yang sama. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat
(26)
3 mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma (Herliana, 1996 dalam Indriati, 2009).
Dalam menjawab masalah ketahanan pangan selain menggunakan teknologi dengan cara mengefisiensikan lahan, juga perlu dilakukan diversifikasi pangan. Sehingga lahan yang ada tidak hanya digunakan untuk tanaman utama (padi) saja tetapi penganekaraganaman (diversifikasi) pangan dengan mengembangkan tanaman pangan alternatif yang potensial seperti sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench).
Sorgum merupakan tanaman semusim yang toleran kekeringan dan tidak banyak memerlukan air selama pertumbuhannya. House (1985) melaporkan bahwa tanaman sorgum hanya membutuhkan air 322 kg, sedangkan jagung, barley, dan gandum berturut-turut membutuhkan 386 kg, 434 kg, dan 514 kg air. Tanaman ini pada awalnya “ditumbuhkan” di daerah beriklim kering di Ethiopia, bagian timur laut benua Afrika, sekitar 7.000 tahun yang lalu. Dari tanah asal tersebut tanaman sorgum menyebar ke Timur Tengah, India, China, Myanmar, Asia Tenggara, dan Indonesia. Sorgum mudah diproduksi pada semua agroekologi lahan pertanian di Indonesia. Apabila penggunaan biji sorgum sebagai bahan pangan dapat mensubstitusi 10% dari kebutuhan beras setiap tahun, maka defisit produksi beras tahunan sebesar 2 – 3,5 juta ton dapat disubstitusi oleh sorgum, dan impor beras tidak diperlukan (Sumarno dkk., 2013).
Sorgum merupakan salah satu komoditas pertanian yang sudah lama di kenal di Indonesia. Sorgum mempunyai potensi penting sebagai sumber karbohidrat
(27)
4 bahan pangan, pakan, dan komoditi ekspor. Selain itu tanaman sorgum
mempunyai keistimewaan lebih tahan terhadap cekaman lingkungan bila dibandingkan dengan tanaman palawija lainnya, misalnya pada lahan kering. Sebagai bahan pangan sorgum biasanya dikonsumsi dalam bentuk roti, bubur dan minuman (sirup). Sebagai pakan dimanfaatkan bijinya, batang dan daunnya diberikan dalam bentuk green chop, hay dan silase. Untuk industri dijadikan bahan perekat, pelet pakan ternak atau industri gula (Irwan dkk., 2004).
Tanaman sorgum termasuk tanaman C-4. Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbusry dan Ross, 1995). Selain sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House, 1985).
Teknik budidaya adalah usaha yang dapat digunakan untuk mencapai hasil produksi tanaman sorgum, salah satunya dengan kerapatan tanaman dan tumpangsari. Menurut Atusa’diyah (2004), penentuan kerapatan tanam pada suatu areal pertanaman pada hakekatnya merupakan salah satu cara untuk mendapatkan hasil tanaman secara maksimal. Dengan pengaturan kepadatan tanaman sampai batas tertentu, tanaman dapat memanfaatkan lingkungan tumbuh secara efisien. Kepadatan populasi berkaitan dengan jumlah radiasi matahari
(28)
5 yang dapat diserap oleh tanaman. Disamping itu, kepadatan tanaman juga
mempengaruhi persaingan diantara tanaman dalam menggunakan unsur hara. Pithaloka (2014), menyatakan bahwa tanaman sorgum yang ditanam dengan tingkat kerapatan tanaman hingga 4 tanaman per lubang tanam sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan komponen hasil tanaman sorgum. Kerapatan yang tinggi dapat memaksimumkan produksi dalam satuan luas lahan tetapi kerapatan tanaman yang tinggi akan memberikan hasil yang rendah untuk per tanaman.
Kerapatan tanaman tinggi (4 tanaman/lubang) pada sistem tanam monokultur menghasilkan produksi sorgum yang lebih baik dibandingkan dengan kerapatan tanaman rendah (1-2 tanaman/ lubang). Namun demikian, pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum dengan kerapatan tanaman tinggi pada sistem tanam tumpangsari dengan ubikayu dilakukan untuk menambah informasi yang sudah ada, oleh karena itu informasi pengaruh tingkat kerapatan tanaman terhadap hasil sorgum pada sistem tanam tumpangsari perlu dilakukan secara cermat. Informasi ini sangat bermanfaat dalam pengembangan sorgum melalui sistem tumpangsari dengan ubikayu.
Berdasarkan uraian di atas dalam penelitian ini dapat di rumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah tingkat kerapatan tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan tanaman ubikayu? 2. Apakah varietas berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
(29)
6 3. Apakah interaksi antara tingkat kerapatan tanaman dan varietas tanaman
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan tanaman ubikayu?
1.2Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah maka penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh tingkat kerapatan tanaman sorgum pada pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu.
2. Mengetahui pengaruh perbedaan varietas tanaman sorgum pada pertumbuhan dan hasil produksi tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu. 3. Mengetahui pengaruh interaksi antara tingkat kerapatan tanaman dan varietas
tanaman sorgum pada pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu.
1.3Kerangka Pemikiran
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) adalah salah satu tanaman pangan serealia (biji-bijian) yang potensial dikembangkan di Indonesia sebagai bahan pangan alternatif pengganti pangan utama padi. Sorgum merupakan tanaman yang tahan kekeringan atau dapat tumbuh di lahan pertanian yang kering dimana tetap membutuhkan air untuk tetap tumbuh. Tanaman ini termasuk dalam
tanaman semusim yang dapat dipanen sekitar 3-4 bulan. Kandungan nutrisi yang terdapat didalam sorgum memiliki nilai nutrisi yang tinggi dengan kandungan pati
(30)
7 sebesar 83%, lemak 3,06%, dan protein 12,3% sehingga tidak salah jika sorgum dijadikan bahan pangan alternatif.
Pengembangan sorgum di Indonesia masih sangat rendah dan belum intensif dilakukan oleh masyarakat, padahal tanaman ini sangat potensial untuk dikembangkan karena melihat kondisi lingkungan yang sangat cocok dengan Indonesia dan dapat memenuhi kebutuhan pangan maupun pakan ternak, dan juga sebagai salah satu jenis bahan baku bahan bakar nabati.
Pola tanam adalah salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi pangan Indonesia, yaitu dengan menggunakan pola tanam tumpangsari. Pola tanam tumpangsari antara tanaman sorgum dan ubikayu merupakan
kombinasi yang dapat dilakukan karena sesuai dengan sifat tumpangsari itu sendiri, yakni umur tanaman yang ditumpangsarikan berbeda antara satu dengan lain tanaman serta tanaman memiliki periode pertumbuhan yang berbeda. Diketahui bahwa umur tanaman sorgum sekitar 3-4 bulan dan umur tanaman ubikayu 8-10 bulan. Kedua tanaman ini dapat dikembangkan dan ditingkatkan produksinya dengan menggunakan pola tanam tumpangsari dan efisiensi penggunaan lahan untuk memaksimalkan potensi produktivitas lahan dapat dilakukan dengan cara tersebut.
Menurut Hamim et al. (2012) sistem tumpangsari sorgum dengan ubi kayu merupakan salah satu alternatif yang dapat kita lakukan pada lahan yang terbatas. Permasalahan utama pada sistem tumpangsari ini adalah persaingan unsur hara, air dan cahaya matahari. Persaingan yang sangat berpengaruh dalam sistem
(31)
8 tumpangsari adalah penyerapan cahaya matahari akibat naungan antara tanaman ubikayu dan tanaman sorgum. Kemampuan tanaman untuk berkompetisi dalam mendapatkan cahaya, air dan unsur hara dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik.
Teknologi lain yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman sorgum dalam pengembangannya adalah dengan menggunakan pengaturan jumlah populasi (kerapatan tanam). Pengaturan kerapatan tanaman merupakan salah satu upaya peningkatan produktivitas tanaman sorgum melalui efisiensi faktor-faktor tumbuh, seperti cahaya, air, dan unsur hara. Peningkatan kerapatan tanaman dapat diartikan dengan meningkatkan jumlah tanaman dalam tiap lubang tanam. Kerapatan tanaman dapat ditingkatkan sampai mencapai titik optimum tertentu. Pada populasi tinggi, kompetisi antar tanaman dapat terjadi, yang mengakibatkan pertumbuhan dan hasil per individu menjadi berkurang, namun karena jumlah tanaman per hektar bertambah dengan meningkatnya jumlah populasi.
Tanaman sorgum yang ditanam dengan pola tanam monokultur akan
menunjukkan perbedaan bila ditanam dengan pola tanam tumpangsari. Pithaloka (2014) melaporkan bahwa, tanaman sorgum yang ditanam dengan pola tanam monokultur dengan meningkatkan kerapatan tanaman hingga mencapai 4 tanaman per lubang tanam sangat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum.
Varietas tanaman yang digunakan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil suatu tanaman, sehingga untuk mengetahui kedua komponen tersebut maka perlu
(32)
9 digunakan perbedaan varietas. Beberapa varietas yang digunakan diantaranya Varietas Numbu, Keller, dan Wray. Namun ketiga varietas ini memiliki kemampuan genetik yang akan menampilkan penampilan yang berbeda pula. Penampilan varietas juga berhubungan dengan kondisi lingkungan yang ada disekitar karenanya karakter dipengaruhi oleh lingkungan.
Penggunaan perbedaan varietas dengan meningkatkan kerapatan tanaman pada tanaman sorgum akan menimbulkan perbedaan antara varietas tersebut dengan varietas yang lainnya. Kemudian perbedaan tiap kerapatan tanaman yang dilakukan akan memperlihatkan perbedaan pada masing-masing varietas yang digunakan, sehingga dengan menggunakan perbedaan varietas dan meningkatkan kerapatan tanaman akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum.
Pada penelitian ini sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu dilakukan pengembangan dengan meningkatkan kerapatan tanam yaitu, satu, dua, tiga, dan empat tanaman perlubang tanam. Dengan meningkatnya jumlah populasi
tanaman dalam luasan hektar karena pengaturan kerapatan tanaman ini maka hasil produksi yang akan dihasilkan akan semakin besar. Kerapatan tanam memiliki batas optimum yaitu jika melebihi batas tersebut maka penurunan hasil akan terjadi. Karena dalam kerapatan tanam terjadi persaingan antar tanaman sehingga pertumbuhan terhambat dan hasil produksi yang diinginkan akan berkurang.
Kombinasi antara tumpangsari dengan kerapatan tanam akan menimbulkan
persaingan antara tanaman sorgum dengan tanaman ubikayu, dan tanaman sorgum dengan tanaman sorgum itu sendiri. Persaingan yang terjadi antara tanaman
(33)
10 sorgum dengan tanaman ubikayu melalui persaingan memperebutkan cahaya matahari, air, unsur hara dan lainnya akan ditunjukan pada pertumbuhan dan hasil produksi keduanya, serta persaingan antara tanaman sorgum dengan sorgum itu sendiri yang ditanam dengan kerapatan lebih dari satu akan menunjukan
pertumbuhan dan hasil yang berbeda. Namun kombinasi antara tumpangsari dan kerapatan tanam diharapkan dapat memecahkan kebutuhan pangan yang terus meningkat di Indonesia.
1.4Hipotesis
Dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka didapatkan hipotesis sebagai berikut:
1. Tingkat kerapatan tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum.
2. Perbedaan varietas sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubikayu berpengaruh pada pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum.
3. Terdapat interaksi antara tingkat kerapatan tanaman dan varietas tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu pada pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum.
(34)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)
Menurut Yulita dan Risda (2006), sorgum merupakan tanaman serealia yang dapat tumbuh pada berbagai keadaan lingkungan sehingga potensial dikembangkan khususnya pada lahan marginal beriklim kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasinya yang luas, toleran terhadap kekeringan,
produktivitas tinggi, dan lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Selain budi daya yang mudah, sorgum
mempunyai manfaat yang luas, antara lain untuk pakan, pangan, dan bahan industri.
Berdasarkan De Wet (1970), klasifikasi taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Class : Monocotyledoneae Ordo : Poales
Family : Poaceae Sub family : Panicoideae Genus : Sorghum
Species : Sorghum bicolor (L.) Moench
Di negara-negara berkembang, sorgum dibudidayakan terutama sebagai bahan pangan dan minuman beralkohol atau bahan upacara adat. Minuman beralkohol
(35)
12
yang dibuat dari biji sorgum dapat berupa bir berasal dari biji yang difermentasi setelah dikecambahkan. Di negara-negara maju, batang atau biji sorgum
digunakan sebagai pakan, media jamur merang. Khusus sorgum manis, batangnya digunakan sebagai bahan untuk gula dan kertas (Yulita dan Risda 2006, Sundra dan Marimuthu 2012).
2.1.1 Morfologi Tanaman Sorgum
2.1.1.1 Perakaran
Tanaman sorgum merupakan tanaman biji berkeping satu, tidak membentuk akar tunggang, perakaran hanya terdiri atas akar lateral. Sistem perakaran sorgum terdiri atas akar-akar seminal (akar-akar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar skunder dan akar tunjang yang terdiri atas akar koronal (akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara (akar yang tumbuh di permukaan tanah). Tanaman sorgum membentuk perakaran sekunder dua kali lebih banyak dari jagung. Ruang tempat tumbuh akar lateral mencapai kedalaman 1,3 – 1,8 m, dengan panjang mencapai 10,8 m. Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai sistem perakaran serabut.
2.1.1.2 Batang
Batang tanaman sorgum merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes), tidak memiliki kambium. Pada bagian tengah batang terdapat seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan keras (sel-sel parenchym). Tipe batang bervariasi dari solid dan kering hingga sukulen dan manis. Jenis
(36)
13
sorgum manis memiliki kandungan gula yang tinggi pada batang gabusnya, sehingga berpotensi dijadikan sebagai bahan baku gula sebagaimana halnya tebu. Bentuk batang tanaman sorgum silinder dengan diameter pada bagian pangkal berkisar antara 0,5 – 5,0 cm. Tinggi batang bervariasi, berkisar antara 0,5 – 4,0 m, bergantung pada varietas.
2.1.1.3 Tunas
Pada beberapa varietas sorgum, batangnya dapat menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh menjadi individu baru selain batang utama. Ruas batang sorgum bersifat gemmiferous, setiap ruas terdapat satu mata tunas yang bisa tumbuh sebagai anakan atau cabang. Tunas yang tumbuh pada ruas yang terdapat di permukaan tanah akan tumbuh sebagai anakan, sedangkan tunas yang tumbuh pada batang bagian atas menjadi cabang.
2.1.1.4 Daun
Daun merupakan organ penting bagi tanaman, karena fotosintat sebagai bahan pembentuk biomasa tanaman dihasilkan dari proses fotosintesis yang terjadi di daun. Sorgum mempunyai daun berbentuk pita, dengan struktur terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel pada ruas batang. Panjang daun sorgum rata-rata 1 m dengan penyimpangan 10 – 15 cm dan lebar 5 – 13 cm. Jumlah daun bervariasi antara 7 – 40 helai, bergantung pada varietas.
(37)
14
2.1.1.5 Bunga
Rangkaian bunga sorgum berada pada malai di bagian ujung tanaman. Sorgum merupakan tanaman hari pendek, pembungaan dipicu oleh periode penyinaran pendek dan suhu tinggi. Bunga sorgum merupakan bunga tipe panicle/malai (susunan bunga di tangkai). Bunga sorgum secara utuh terdiri atas tangkai malai (peduncle), malai (panicle), rangkaian bunga (raceme), dan bunga (spikelet) (Sumarno et al, 2013).
2.1.1.6 Biji
Biji sorgum yang merupakan bagian dari tanaman memiliki ciri – ciri fisik berbentuk bulat (flattened spherical) dengan berat 25 – 55 mg. Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4,0 x 2,5 x 3,5 mm. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu biji berukuran kecil (8 – 10 mg), sedang (12 – 24 mg), dan besar (25-35 mg). Biji sorgum tertutup sekam dengan warna coklat muda, krem atau putih, bergantung pada varietas. Biji sorgum terdiri atas tiga bagian utama, yaitu lapisan luar (coat), embrio (germ), dan endosperm.
2.1.2 Fase Pertumbuhan Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum memiliki beberapa fase pertumbuhan didalam siklus hidupnya dengan interval waktu yang berbeda antara satu fase dengan fase yang lainnya. Fase pertumbuhan tanaman sorgum dibagi menjadi tiga bagian yaitu fase
(38)
15
pertumbuhan vegetatif, fase pertumbuhan generatif, dan fase pembentukan biji dan masak fisologis.
2.1.2.1 Fase Pertumbuhan Vegetatif
Pada fase vegetatif bagian tanaman yang aktif berkembang adalah bagian-bagian vegetatif seperti daun dan tunas/anakan. Fase ini sangat penting bagi tanaman karena pada fase ini seluruh daun terbentuk sempurna berfungsi memproduksi fotosintat untuk pertumbuhan dan pembentukan biji.
1. Tahap 0, saat kecambah muncul di atas permukaan tanah
Tahap ini disebut tahap 0 karena umur tanaman adalah 0 hari setelah berkecambah (HSB). Pada kondisi yang optimum, tahap ini terjadi antara 3 – 10 hari setelah tanam (HST). Munculnya kecambah dipengaruhi oleh suhu, kelembaban,
kedalaman posisi benih, dan vigor benih. Pada suhu tanah 20oC atau lebih, tunas pucuk (coleoptile) muncul di atas tanah setelah 3 – 4 HST, dan akan lebih lama jika suhu semakin rendah. Sedangkan akar skunder akan mulai berkembang 3 –7 HSB. Selama tahap ini, pertumbuhan bergantung pada nutrisi dan cadangan makanan dari benih.
2. Tahap 1, saat pelepah daun ke-3 terlihat
Daun dihitung setelah pelepah daun mulai terlihat atau tidak lagi tertutup oleh pelepah daun sebelumnya, namun titik tumbuh masih berada di tanah. Laju pertumbuhan relatif lambat. Tahap ini berlangsung pada umur sekitar 10 HSB.
(39)
16
Kecepatan pertumbuhan pada tahap ini bergantung pada suhu yang hangat. Penyiangan yang baik membantu tanaman untuk tumbuh secara optimal sehingga mampu memberikan hasil yang optimal. Namun penyiangan harus hati-hati supaya tidak merusak titik tumbuh, karena kemampuan sorgum untuk tumbuh kembali tidak sebaik tanaman.
3. Tahap 2, saat daun ke-5 terlihat
Pada tahap ini tanaman memasuki umur sekitar 20 HSB dan memasuki fase pertumbuhan cepat. Daun dan sistem perakaran berkembang dengan cepat. Pertumbuhan yang cepat memerlukan penyiangan, pupuk, pengairan, dan pengendalian hama dan penyakit yang optimal. Laju akumulasi bahan kering akan konstan hingga saat memasuki masak fisiologis bila kondisi pertumbuhan baik. Titik tumbuh masih berada di bawah permukaan tanah. Pada fase ini, batang belum memanjang, yang terlihat di permukaan tanah adalah lapisan pelepah daun, namun vigor tanaman lebih tinggi dibanding pada tahap 1.
4. Tahap 3, tahap deferensiasi titik tumbuh
Deferensiasi titik tumbuh berlangsung pada saat tanaman berumur sekitar 30 HSB. Pada fase ini titik tumbuh mulai membentuk primordial bunga. Setidaknya sepertiga jumlah daun sudah benar-benar berkembang, dan total jumlah daun optimal sudah terdeferensiasi. Batang tumbuh dengan cepat mengikuti
pertumbuhan titik tumbuh. Penyerapan unsur hara secepat pertumbuhan tanaman, sehingga kebutuhan hara dan air juga cukup tinggi, penambahan pupuk sangat membantu tanaman untuk tumbuh optimal. Waktu yang diperlukan dari
(40)
17
penanaman hingga deferensiasi titik tumbuh umumnya menghabiskan sepertiga dari umur tanaman.
2.1.2.2 Fase Pertumbuhan Generatif
Fase generatif umumnya berlangsung pada saat tanaman berumur 30 – 60 HST. Pada fase ini terbentuk struktur malai (panicle) dan jumlah biji yang bisa terbentuk dalam satu malai. Fase ini sangat penting bagi produksi biji karena jumlah biji yang akan diproduksi maksimum 70% dari total bakal biji yang tumbuh periode ini.
1. Tahap 4, saat munculnya daun bendera
Daun bendera muncul pada saat tanaman berumur sekitar 40 HSB yang ditandai oleh terlihatnya daun bendera yang masih menggulung. Setelah diferensiasi titik tumbuh, perpanjangan batang dan daun terjadi secara cepat bersamaan sampai daun bendera (daun akhir). Pada tahap ini semua daun sudah terbuka sempurna, kecuali 3-4 daun terakhir. Intersepsi cahaya mendekati maksimal.
2. Tahap 5, menggelembungnya pelepah daun bendera
Pada 6-10 HSB, pelepah daun bendera menggelembung, atau terjadi pada saat tanaman berumur sekitar 50 HSB. Pada fase ini seluruh daun telah berkembang sempurna, sehingga luas daun dan intersepsi cahaya mencapai maksimal. Malai berkembang hampir mencapai ukuran maksimum dan tertutup dalam pelepah daun bendera, sehingga pelepah daun bendera menggelembung. Pertumbuhan batang sudah selesai, kecuali tangkai bunga (peduncle). Tangkai bunga mulai
(41)
18
memanjang dan mendorong malai (panicle) untuk keluar dari pelepah daun bendera. Ukuran malai telah terdeferensiasi. Stres kelembaban tinggi dan
kerusakan akibat herbisida selama fase pembentukan malai dapat mencegah malai keluar dari selubung daun bendera. Hal ini dapat mencegah penyerbukan saat berbunga.
3. Tahap 6, tanaman 50% berbunga
Pada tahap pertumbuhan 5, tangkai malai tumbuh cepat dan mucul dari pelepah daun bendera. Tangkai malai ada yang memajang dan ada yang tidak memanjang dari sebelum malai keluar dari pelepah daun bendera, bergantung varietas. Pada saat keluar dari daun bendera, malai segera mekar. Fase pembungaan 50%
biasanya pada saat tanaman berumur sekitar 60 HSB, ditandai oleh sebagian malai sudah mekar, yaitu pada saat kotak sari (anther) keluar dari lemma dan palea.
2.1.2.3 Fase Pembentukan dan Pemasakan Biji
Fase pembentukan dan pemasakan biji merupakan tahap akhir pertumbuhan tanaman sorgum, yang berlangsung pada saat tanaman mencapai umur 70 – 95 HSB. Fase ini diawali dengan proses pembuahan, hingga akumulasi bahan kering pada biji terhenti yang ditandai oleh munculnya lapisan hitam (black layer) pada bagian bawah biji yang menempel di tangkai (Gerik et al., 2003). Perkembangan biji sorgum ditandai oleh perubahan warna, pada awal pembentukan berwarna hijau muda, dan setelah sekitar 10 hari akan semakin besar dan berwarna hijau gelap, setelah 30 hari biji akan mencapai bobot kering maksimal (matang fisiologis) (House, 1985).
(42)
19
1. Tahap 7, biji masak susu
Fase masak susu terjadi pada saat akumulasi pati mulai terbentuk dalam biji, semula pati berbentuk cairan, kemudian berubah seperti susu, sehingga sering disebut sebagai masak susu, dan dapat dengan mudah dipencet dengan jari. Fase ini terjadi pada saat tanaman berumur sekitar 70 HSB. Pengisian biji terjadi dengan cepat, hampir setengah dari bobot kering terakumulasi dalam periode ini. Bobot batang mengalami penurunan seiring dengan pengisian biji, sekitar 10% dari bobot biji berasal dari pengurangan bobot batang (Vanderlip, 1993).
2. Tahap 8, pengerasan biji
Tahap pengerasan biji berlangsung pada saat tanaman berumur sekitar 85 HSB. Umumnya biji pada tahap ini sudah tidak dapat ditekan dengan jari karena sekitar tiga-perempat dari bobot kering biji telah terakumulasi. Bobot batang menurun hingga bobot terendah. Seluruh biji sudah terbentuk secara sempurna, embrio sudah masak, akumulai bahan kering biji akan terhenti, dan serapan hara sudah berhenti. Sebagian daun mulai mengering. Kelembaban yang tinggi menurunkan bobot biji atau biji hampa (Vanderlip and Reeves 1972, Vanderlip 1993, Rao et al. 2004).
3. Tahap 9, biji matang fisiologis
Tahap pematangan biji berlangsung pada saat tanaman berumur sekitar 95 HSB atau bergantung varietasnya. Pada tahap ini tanaman telah mencapai bobot kering maksimum, begitu pula biji pada malai dengan kadar air 25 – 30%. Dalam proses
(43)
20
menuju matang fisiologis, kadar air biji turun antara 10 – 15% selama 20 – 25 hari, yang mengakibatkan biji kehilangan 10% dari bobot keringnya. Biji yang matang fisiologis ditandai oleh lapisan pati yang keras pada biji berkembang sempurna dan telah terbentuk lapisan absisi berwarna gelap, yang disebut dengan black layer, pada sisi sebelah luar embrio (House 1985, Vanderlip 1993).
Biji yang telah matang fisiologis dapat dipanen, namun untuk mendapatkan hasil biji yang maksimum, sebaiknya tanaman dipanen setelah masak fisiologis. Kadar air saat panen sangat bergantung pada cuaca saat panen. Cuaca yang kurang tepat dapat menurunkan kualitas biji yang dipanen. Biji yang dipanen pada kadar air lebih dari 12% harus dikeringkan terlebih dahulu sebelum disimpan (Vanderlip and Reeves 1972, Vanderlip 1993, Rao et al. 2004).
2.1.3 Syarat Tumbuh
Tanaman sorgum termasuk tanaman semusim yang mudah dibudidayakan dan mempunyai kemampuan adaptasi yang luas. Tanaman ini dapat berproduksi walaupun diusahakan di lahan yang kurang subur, ketersediaan air terbatas, dan masukan (input) yang rendah.
2.1.3.1 Tanah
Sorgum dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah, kecuali pada tanah
Podzolik Merah Kuning yang masam, dan mempunyai kemampuan adaptasi yang luas. Tanaman sorgum mempunyai sistem perakaran yang menyebar dan lebih toleran dibanding tanaman jagung yang ditanam pada tanah berlapisan keras
(44)
21
dangkal. Walaupun demikian, tanaman sorgum tidak dapat menggantikan tanaman jagung pada kondisi tanah tersebut karena akan hasilnya rendah juga. Tanah yang sesuai untuk tanaman jagung atau tanaman lainnya, juga sesuai untuk sorgum dan akan tinggi hasilnya. Sorgum yang lebih toleran kekurangan air dibandingkan jagung mempunyai peluang untuk dikembangkan di lahan yang diberakan pada musim kemarau. Tanah Vertisol (Grumusol), Aluvial, Andosol, Regosol, dan Mediteran umumnya sesuai untuk sorgum. Sorgum memungkinkan ditanam pada daerah dengan tingkat kesuburan rendah sampai tinggi, asal solum agak dalam (lebih dari 15 cm). Tanaman sorgum beradaptasi dengan baik pada tanah dengan pH 6,0-7,5.
2.1.3.2 Iklim
Daerah yang mempunyai curah hujan dan kelembaban udara rendah sesuai untuk tanaman sorgum. Curah hujan 50-100 mm per bulan pada 2,0-2,5 bulan sejak tanam, diikuti dengan periode kering, merupakan curah hujan yang ideal untuk keberhasilan produksi sorgum. Walaupun demikian, tanaman sorgum dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada daerah yang curah hujannya tinggi selama fase pertumbuhan hingga panen. Tanaman sorgum pada musim kemarau memerlukan pengairan sampai empat kali, bergantung pada jenis tanah dan residu air tanah. Pati, Jawa Tengah, sorgum diusahakan hanya dengan memanfaatkan residu air tanaman padi, tanpa penambahan pengairan. Di Bojonegoro dan
Lamongan, Jawa Timur), sorgum dibudidayakan dengan memanfaatkan residu air rawa yang telah mengering. Untuk memperoleh hasil 5 t/ha dengan menggunakan
(45)
22
varietas unggul yang respon terhadap pemupukan, sorgum memerlukan pengairan empat kali.
2.1.3.3 Suhu dan Tinggi Tempat
Sorgum lebih sesuai ditanam di daerah yang bersuhu panas, lebih dari 20oC dan udaranya kering. Oleh karena itu, daerah adaptasi terbaik bagi sorgum adalah dataran rendah, dengan ketinggian antara 1-500 m dpl. Daerah yang selalu berkabut dan intensitas radiasi matahari yang rendah tidak menguntungkan bagi tanaman sorgum. Pada ketinggian lebih 500 m dpl, umur panen sorgum menjadi lebih panjang.
2.2 Kerapatan Tanaman
Kerapatan tanaman yang lebih tinggi akan menyebabkan tanaman lebih cepat menutupi permukaan tanah dan terjadi saling menaungi. Fadhly et al., (2000) menyatakan babwa peningkatan populasi tanaman akan meningkatkan Indeks Luas Daun (ILD) sehingga radiasi surya akan dimanfaatkan lebih baik dalam proses fotosintesis. Rochmah (1999) yang menyatakan bahwa semakin lebar jarak tanam akan menyebabkan terjadinya peningkatan diameter batang. Takagi dan Sumadi (1984) berpendapat bahwa indeks luas daun meningkat dengan meningkatnya populasi tanaman. Namun, luas daun tanaman menurun jika populasi tanaman meningkat, sedangkan jumlah buku per tanaman berkurang.
Jika populasinya sedikit akan terdapat banyak ruang kosong diantara
(46)
23
cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan mereka dalam bentuk penambahan luas daun yang berakibat pada pemanfaatan radiasi matahari yang efisien (Gardner et al., 1991). Pengaturan banyaknya populasi tanaman erat kaitannya dengan produksi yang akan dicapai. Kerapatan tanaman yang tidak optimum akan memungkinkan terjadi kompetisi terhadap cahaya matahari, unsur hara, air diantara individu tanaman, sehingga pengaturan kerapatan tanaman yang sesuai dapat mengurangi terjadinya kompetisi terhadap faktor-faktor tumbuh tanaman (Aribawa et al., 2007) dan pada prinsipnya pengaturan banyaknya populasi tanaman untuk memberikan tanaman tumbuh lebih baik tanpa mengalami banyak persaingan.
Semakin banyak tanaman per satuan luas maka semakin tinggi ILD sehingga persen cahaya yang diterima oleh bagian tanaman yang lebih rendah menjadi lebih sedikit akibat adanya penghalang cahaya oleh daun-daun di atasnya (Hanafi, 2005). Berat kering total tanaman merupakan akibat efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia sepanjang musim pertumbuhan oleh tajuk tanaman budidaya (Gardner et al., 1991). Kompetisi pada keadaan ekstrim (ILD yang terlalu tinggi) mengakibatkan penyerapan cahaya matahari oleh daun-daun bagian bawah begitu rendah sehingga hasil fotosintesis tidak mencukupi untuk kebutuhan respirasi. Daun-daun tersebut bersifat negatif karena untuk kebutuhannya harus mengambil karbohidrat dari daun bagian atas (Sugito, 1999).
2.3 Tumpangsari
Pola tanam tumpangsari (intercroping) adalah penanaman lebih dari satu tanaman pada waktu yang bersamaan atau selama periode waktu tanam, pada suatu tempat
(47)
24
yang sama. Dalam pola tanam tumpangsari terdapat prinsip yang harus diperhatikan yaitu : tanaman yang ditanam secara tumpangsari sebaiknya mempunyai umur atau periode pertumbuhan yang tidak sama, mempunyai perbedaan kebutuhan terhadap faktor lingkungan seperti air, kelembaban, cahaya dan unsur hara tanaman mempunyai pengaruh allelopati (Indriati, 2009).
Sistem pertanian ganda ini sangat cocok bagi petani kita dengan lahan sempit di daerah tropis, sehingga dapat memaksimalkan produksi dengan input luar yang rendah sekaligus meminimalkan resiko dan melestarikan sumberdaya alam. Selain itu keuntungan lain dari sistem ini : (a) mengurangi erosi tanah atau kehilangan tanah-olah, (b) memperbaiki tata air pada tanah-tanah pertanian, termasuk
meningkatkan pasokan (infiltrasi) air ke dalam tanah sehingga cadangan air untuk pertumbuhan tanaman akan lebih tersedia, (c) menyuburkan dan memperbaiki struktur tanah, (d) mempertinggi daya guna tanah sehingga pendapatan petani akan meningkat pula, (e) mampu menghemat tenaga kerja, (f) menghindari terjadinya pengangguran musiman karena tanah bisa ditanami secara terus menerus, (g) pengolahan tanah tidak perlu dilakukan berulang kali, (h)
mengurangi populasi hama dan penyakit tanaman, dan (i) memperkaya kandungan unsur hara antara lain nitrogen dan bahan organic (Indriati, 2009).
Sistem tumpang sari ini, disamping petani dapat panen lebih dari sekali setahun dengan beraneka komoditas (deversifikasi hasil), juga resiko kegagalan panen dapat ditekan, intensitas tanaman dapat meningkat dan pemanfaatan sumber daya air, sinar matahari dan unsur hara yang ada akan lebih efisien. Agar diperoleh hasil yang maksimal maka tanaman yang ditumpangsarikan harus dipilih
(48)
25
sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan ruang dan waktu seefisien mungkin serta dapat menurunkan pengaruh kompetitif yang sekecil-kecilnya. Sehingga jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari harus memiliki pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila memungkinkan dapat saling melengkapi (Indriati, 2009).
Pola pertanaman ganda yang biasa dilakukan petani adalah sistem tumpangsari (intercropping) yaitu penanaman lebih dari satu jenis tanaman berumur genjah dalam barisan tanam yang teratur dan saat penanamannya bersamaan dilakukan pada sebidang lahan (Indriati, 2009).
Sistem tumpangsari dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian jika jenis-jenis tanaman yang dikombinasikan dalam sistem ini membentuk interaksi saling menguntungkan (Indriati, 2009). Kombinasi antara jenis tanaman legum dan non legum pada sistem tumpangsari umumnya dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian, dan yang paling sering dipraktekkan oleh petani adalah
kombinasi antara jagung dengan kedelai (Gomez and Gomes, 1983 dalam Indriati, 2009).
(49)
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan yang dilaksanakan sejak bulan Agustus sampai bulan November 2014. Kebun percobaan ini berada pada ketinggian 135 m dpl, mempunyai jenis tanah latosol dan sebagian podsolik merah kuning (PMK), serta memiliki iklim disekitar Kebun Percobaan Natar termasuk tipe B berdasarkan Schmitd dan Ferguson (1951) dengan curah hujan rata-rata 1786 mm / tahun (Departemen Pertanian, 2009).
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah tiga varietas sorgum (Numbu, Keller, dan Wray) yang berasal dari penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang tingkat kerapatan tanaman sorgum, pupuk Urea, SP36, dan KCl dengan dosis 200, 100, dan 100 kg/ha serta stek ubikayu klon Kasetsart.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat pengolah tanah (bajak singkal dan bajak rotari), tali raffia, alat penugal, meteran, selang, koret, cangkul,
(50)
27
timbangan, kamera, jangka sorong, klorofilmeter, seed counter, moisture meter, alat penyedot air, label, oven dan alat tulis.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan pola faktorial (3x4) dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Faktor pertama tingkat kerapatan tanaman dan faktor kedua varietas tanaman sorgum. Tingkat kerapatan tanaman (P) dibagi menjadi empat taraf, yaitu satu (p1), dua (p2), tiga (p3), dan empat (p4) tanaman/lubang tanam sedangkan varietas (G) yang digunakan terdiri atas tiga varietas tanaman sorgum yaitu Numbu (g1), Keller (g2), dan Wray (g3). Kombinasi perlakuan berjumlah 12 yang terbagi dalam 3 kelompok sebagai ulangan, sehingga terdapat 36 satuan percobaan. Tiap satuan percobaan seluas 20m2 dan digunakan jarak tanam sorgum 80 cm x 20 cm serta ubikayu 80 cm x 60 cm sehingga dalam satuan percobaan terdapat 120 lubang tanam sorgum dan 36 lubang tanam ubikayu, serta untuk populasi per hektar untuk tanaman sorgum dengan kerapatan tanaman 1 terdapat 62.500 populasi tanaman, kerapatan tanaman 2 terdapat 125.000 pupulasi tanaman, kerapatan tanaman 3 terdapat 187.500 populasi tanaman dan kerapatan tanaman 4 terdapat 250.000 pupulasi tanaman, serta ubikayu 20.833 pupulasi tanaman. Susunan perlakuan pada penrlitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
(51)
28
Tabel 1. Susunan perlakuan dalam penelitian. Perlakuan Keterangan
g1p1 Sorgum Varietas Numbu 1 Tanaman/Lubang g1p2 Sorgum Varietas Numbu 2 Tanaman/Lubang g1p3 Sorgum Varietas Numbu 3 Tanaman/Lubang g1p4 Sorgum Varietas Numbu 4 Tanaman/Lubang g2p1 Sorgum Varietas Keller 1 Tanaman/Lubang g2p2 Sorgum Varietas Keller 2 Tanaman/Lubang g2p3 Sorgum Varietas Keller 3 Tanaman/Lubang g2p4 Sorgum Varietas Keller 4 Tanaman/Lubang g3p1 Sorgum Varietas Wray 1 Tanaman/Lubang g3p2 Sorgum Varietas Wray 2 Tanaman/Lubang g3p3 Sorgum Varietas Wray 3 Tanaman/Lubang g3p4 Sorgum Varietas Wray 4 Tanaman/Lubang
Homogenitas ragam diuji dengan uji Bartlet dan aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Bila kedua asumsi ini terpenuhi, maka data dianalisis dengan analisis ragam dan dilakukan pemisahan nilai tengah menggunakan uji Beda Nyata
Terkecil (BNT) pada taraf α 5%. Denah tata letak percobaan dapat dilihat pada Gambar 1 dan tata letak lubang tanam per satuan percobaan pada Gambar 2.
(52)
Gambar 1. Tata Letak Percobaan
16
m
G2P1 G2P2
G2P3 G1P3 G3P1 G3P2 G1P2 G1P1 G4P3 G4P1
G3P3 G4P2
G3P2 G2P2
G3P3 G2P1 G1P3 G3P1 G4P2 G1P2 G4P1 G4P3
G2P3 G1P1
G3P3 G3P2
G3P3 G2P2 G4P2 G4P1 G2P1 G1P3 G2P3 G3P1 G1P2 G1P1
65 m
1 m 0,5 m Ulangan I Ulangan II Ulangan IIIS
T
U
B
(53)
30
Satu petakan terdapat 120 lubang tanam sorgum dan 36 lubang tanam ubikayu yang terdapat pada gambar (Gambar 2).
Gambar 2. Tata letak lubang tanam per satuan percobaan
Keterangan :
x : Tanaman Ubikayu dengan jarak tanam 80 cm x 60 cm 0 : Tanaman Sorgum dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm
4 m
60cm 30cm
x x x x x x
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 80cm
x x x x x x
20 cm 10cm
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
X x 80cm x x x x
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
x x x x x x
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
x x x x x x
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
x x x x x x
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
(54)
31
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah pada penelitian ini dilakukan pada saat sebelum tanam karena dapat menggemburkan tanah dan mengurangi atau mengendalikan jumlah gulma di lapangan. Pengolahan tanah akan dilakukan dengan beberapa tahap yaitu pembalikan tanah, penggemburan tanah, perataan tanah, dan pembuatan petakan percobaan.
3.4.2 Pembuatan Petakan Percobaan
Petakan dibuat dengan ukuran panjang petakan 5 m dan lebar petakan 4 m dengan jarak antar petak 0,5 meter sehingga percobaan ini terdiri dari 36 petak.
3.4.3 Penanaman
Penanaman pada percobaan ini dilakukan pada waktu yang bersamaan antara tanaman ubikayu dan tanaman sorgum. Tanaman ubikayu ditanam dengan jarak tanam 80 cm x 60 cm, kemudian tanaman sorgum ditanam dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm. Stek yang digunakan untuk ubikayu berasal dari klon Cacesart dan benih sorgum dari varietas Numbu, Keller, dan Wray.
(55)
32
3.4.4 Pemupukan
Pemupukan yang dilakukan pada percobaan ini dibagi menjadi dua kali pemupukan. Pemupukan tanaman sorgum dengan pupuk dan dosis yang digunakan adalah pupuk Urea (200 Kg/ha), SP-36 (100 Kg/ha), dan KCl (100 Kg/ha). Pemberian pupuk dilakukan sebanyak dua kali, pemupukan pertama Urea : SP36 : KCl sebanyak ½ : 1 : 1 bagian yang diberikan pada umur dua minggu setelah tanam. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali terhadap pupuk Urea, yaitu pemupukan kedua pada saat tanaman berumur enam minggu.
Pemupukan dilakukan dengan cara larikan.
3.4.5 Penjarangan dan penyulaman
Penjarangan dilakukan terhadap tanaman sorgum yang tumbuh dengan jumlah melebihi kerapatan tanaman yang telah ditentukan.
Penyulaman dilakukan terhadap tanaman ubikayu yang bertujuan untuk
mengganti stek yang tidak tumbuh. Hal ini dilakukan dengan cara menyedikan stek yang telah ditanam dengan waktu yang bersamaan namun ditanam pada plastik polibag. Kemudian pada saaat umur ubikayu empat minggu setelah tanam stek yang tidak tumbuh diganti dengan stek persediaan yang telah di tanam pada waktu yang bersamaan tersebut.
(56)
33
3.4.6 Pemeliharaan
Pemeliharaan tumpangsari tanaman ubikayu dengan tanaman sorgum meliputi beberapa kegiatan pemeliharaan yaitu penyiraman, pengendalian hama penyakit, dan pengendalian gulma. Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali dalam satu minggu dengan menggunakan mesin penyedot air. Hal ini dilakukan untuk member ketersediaan air dalam tanah, agar tanaman tidak kekurangan air dan untuk membantu proses fotosintesis dan masa pembuahan.
Pengendalian gulma di lahan percobaan dilakukan dengan cara penyiangan dengan menggunakan alat koret. Penyiangan dilakukan dengan sangat hati-hati terutama ketika tanaman sorgum masih sangat kecil. Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu perakaran tanaman sorgum sehingga tanaman sorgum tetap dapat tumbuh dengan baik.
3.4.7 Pemanenan
Pemanenan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pemanenan terhadap tanaman sorgum dan pemanen terhadap tanaman ubikayu. Pemanenan untuk tanaman sorgum pada saat umur sorgum 16 minggu setelah tanamsesuai dengan varietas. Pemanenan untuk tanaman ubikayu pada saat umur ubikayu 32 minggu setelah tanam.
(57)
34
3.5 Variabel yang diamati
Pengamatan dilakukan pada setiap petak perlakuan. Pengamatan bertujuan untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis. Adapun kegiatan
pengamatan yang dilakukan dibagi menjadi 2 komponen pengamatan yaitu komponen pertumbuhan dan komponen hasil produksi.
Komponen pertumbuhan meliputi:
1) Tinggi tanaman
Pengukuran tinggi tanaman sorgum dari permukaan tanah hingga ujung daun terpanjang tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dimulai 4 MST dengan interval 1 minggu sekali. Seluruh sampel diukur dengan satuan centimeter (cm).
2) Jumlah daun
Jumlah daun didapat dengan cara menghitung jumlah daun tanaman sorgum pada masing-masing sampel tanaman. Daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka penuh dan berwarna hijau. Dilakukan saat tanaman berumur 4 MST dengan interval satu minggu sekali. Seluruh sampel dihitung dengan satuan helai.
3) Diameter batang
Diameter batang sorgum dilakukan pada bagian tengah batang sorgum yang mewakili diameter keseluruhan batang dengan menggunakan jangka sorong pada
(58)
35
satuan centimeter (cm). Dilakukan saat tanaman berumur 4 MST dengan interval satu minggu sekali.
4) Tingkat kehijauan daun
Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat SPAD. Dilakukan saat tanaman berumur 4 MST dengan interval satu minggu sekali. Tingkat kehijauan daun dinyatakan dalam satuan unit SPAD.
Komponen hasil meliputi:
1) Umur berbunga
Pengamatan dilakukan dengan menghitung jangka waktu ketika tanaman mulai ditanam sampai tanaman berbungan lebih dari 50% dalam tiap petak percobaan. Perhitungan dinyatakan salam satuan hari.
2) Panjang malai
Panjang malai diukur dari pangkal malai sampai dengan ujung malai dengan menggunakan meteran. Panjang malai dinyatakan dalam satuan centimeter (cm).
3) Bobot biji/malai
Bobot biji per malai didapat dari seluruh biji yang telah dipipil pada masing-masing tanaman sampel yang kemudian ditimbang bobotnya dengan
(59)
36
menggunakan timbangan elektrik dan bobot biji/malai dinyatakan dalam satuan gram (g).
4) Jumlah biji/malai
Jumlah biji permalai didapat dari malai tanaman yang telah dipipil kemudian dihitung jumlah biji dalam satu malai tanaman sorgum untuk setiap petak
percobaan dengan menggunakan alat Seed Counter yang dinyatakan dalam satuan butir.
5) Bobot 100 butir biji kering dengan kadar air 14%
Bobot biji kering tanaman didapat dari biji tanaman sorgum yang telah dipipil kemudian dikeringkan. Setelah itu dipilih 100 butir biji tanaman sorgum untuk dilakukan pengamatan kadar air, setelah diketahui persen kadar air setiap sampel maka dilakukan perhitungan untuk penyetaraan kadar air 14%. Pengamatan ini menggunakan timbangan elektrik dan Moisture Meter. Penyetaraan bobot 100 butir biji kering dengan kadar air dihitung dengan rumus:
Bobot 100 butir biji kering yang sudah disetarakan dengan kadar air 14% dinyatakan dalam satuan gram (g).
(60)
37
6) Bobot berangkasan basah
Bobot berangkasan basah didapat dari tanaman sampel sorgum yang telah dipanen kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital untuk mengetahui bobot berangkasan basah tanaman sorgum yang kemudian dinyatakan dalam satuan gram (g).
7) Bobot berangkasan kering
Bobot berangkasan kering didapat dari tanaman sampel sorgum yang telah dipanen dan ditimbang bobot basahnya, setelah itu di jemur dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 3 hari yang kemudian bobot berangkasan kering ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik dan dinyatakan dalam satuan gram (g).
8) Bobot biji/ m2
Didapat dari nilai rata-rata bobot biji/malai pada tiap petak percobaan dan dihitung dengan menggunakan rumus:
(61)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Kerapatan tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu. Tanaman sorgum yang ditanam dengan tingkat kerapatan rendah yaitu 1 dan 2 tanaman/ lubang menunjukkan pertumbuhan dan memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan penggunaan tingkat kerapatan tinggi 3 dan 4 tanaman/ lubang.
2. Varietas tanaman sorgum berpengaruh pada beberapa komponen pertumbuhan tanaman sorgum dan secara nyata mempengaruhi hasil tanaman sorgum. Varietas Numbu memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan Varietas Keller dan Wray.
3. Kombinasi antara varietas dan kerapatan tanaman berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Penggunaan Varietas Numbu dengan kerapatan 2 tanaman/ lubang menunjukan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding kedua varietas lainnya, dan penggunaan Varietas Keller dengan kerapatan 1 tanaman/ lubang menunjukkan bobot berangkasan per tanaman tertinggi bila dibandingkan yang lainnya.
(62)
72
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis menyarankan :
1. Penanaman tanaman sorgum sebaiknya dilakukan dalam dua musim yang berbeda, yaitu pada awal musim penghujan sampai awal musim kemarau. 2. Pada penelitian yang selanjutnya dapat menggunakan varietas yang
mempunyai potensi hasil yang tinggi.
3. Penggunaan Varietas Numbu untuk mendapatkan potensi hasil produksi yang tinggi dalam satuan luas (m2).
(63)
PUSTAKA ACUAN
Aribawa, I.B., Mastra, S., dan I.K, Kariada. 2007. Uji Adaptasi Beberapa Varietas Jagung di Lahan Sawah. Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali dan Nusa Tenggara Barat. 59 hal.
Atus’sadiyah, M. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Buncis (Phaseolus vulgaris L) Tipe Tegak Pada Berbagai Variasi Kepadatan Tanaman dan Waktu Pemangkasan Pucuk. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 122 hal. Skripsi.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Produktivitas Tanaman Ubikayu.
(http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php) diakses pada tanggal 4 Agustus 2014.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2008. Teknologi Budidaya Ubikayu. Bandar Lampung, Lampung. 53 hal.
De Wet, J.M.J., J.R.Harlan, and E.G. Price.1970. Origin of variability in the Spontanea complex of Sorghum bicolor. American Journal of Botany 57(6):704-707.
Dewan Ketahanan Pangan (DKP). 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi (Draft 4). Menteri Pertanian Republik Indonesia. 55 hal.
Efendi, R., M. Aqil, dan M. Pabendon. 2013. Evaluasi genotipe sorgum manis (Sorghum bicolor (L.) Moench) produksi biomas dan daya ratun tinggi.
Jurnal Tanaman Pangan. 32(2): 116-125.
Fadhly, A. F., Subandi, A. Roslina, T. Fahdiana, dan E.O. Momuat. 2000. Pengaruh N dan Kepadatan Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung. Risalah Penelitian jagung dan sereaIia lain. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanarnan Pangan. Bogor. 4: 3S-40. Gardner, F.P., R. B. Pearce, dan P. R. Michael. 1991. Fisiologi Tanaman
Budidaya, Penterjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta. 379 hal. Gerik, T., B. Bean, dan R.L. Vanderlip. 2003. Sorghum growth and development.
(64)
74 Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum
yang ditanam tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI PERIPIHIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. Bogor. p 91-94.
Hanafi, M.A. 2005. Pengaruh Kerapatan Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tiga Kultivar Jagung (Zea mays L.) Untuk Produksi Jagung. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya: Malang. 130 hal. Skripsi. House, L.R. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. International Crops Research
Institute for Semi-Arid Tropics. Andhra Pradesh, India. 253 hal. Indriati, T R. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Organik Dan Populasi Tanaman
Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tumpangsari Kedelai (Glycine max L.) dan Jagung (Zea mays L.). Universitas Sebelas Maret. 344 hal. Tesis Pascasarjana.
Irwan, W., A. Wahyudin, R. Susilawati, dan T. Nurmala. 2004. Interaksi jarak tanam dan jenis pupuk kandang terhadap komponen hasil dan kadar tepung sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) pada Inseptisol di Jatinangor. Jurnal Budidaya Tanaman 10(4):128-136.
Pithaloka, S.A. 2014. Pengaruh Kerapatan Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung: Bandar
Lampung. 117 hal. Skripsi.
Rao, S.S., N. Seetharama, K. Kumar K., and R.L. Vanderlip. 2004.
Characterization of sorghum growth stages. National Research Center for Sorghum. Rajendragar Hyderabad India (Describes Growth Stages and Management Guide at each Stages of Sorghum Development). Springer-Verlag. India. p 432-354.
Rochmah, L. 1. 1999. Evaluasi dan Seleksi Delapan Genotipe Jagung Kearah Pembentukan Jagung Semi Banyak. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB: Bogor. 69 hal. Skripsi.
Salisbusry, F.B. and C.W. Ross, 1985. Plant Physiology (3rd edition). Wadsworth Publishing Company. Belmont, California. 540 p.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry period ratio for Indonesia with Western New Gurinea. Kementerian Perhubungan. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. 136 hal. Sumarno., D. S. Damardjati., M. Syam., Hermanto. 2013. Sorgum: Inovasi
(65)
75 Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya:
Malang. 143 hal.
Takagi, H dan S. Sumadi. 1984. Growth of Soybean as affected by Plant Density. Penelitian Pertanian. 4 (2): 83-86.
Vanderlip, R.L. dan H.E. Reeves. 1972. Growth stages of sorghum (Sorgum bicolor (L.) Moench). Agr. J. 64(1):13-16.
Vanderlip, R.L. 1993. How a grain sorghum plant develops. Kansas State University. p 12-14.
Yulita, R. dan Risda. 2006. Pengembangan sorgum di Indonesia. Direktorat Budi daya Serealia. Ditjen Tanaman Pangan, Jakarta. 75 hal.
Waluya, A. 2011. Pengaruh Jumlah Mata Tunas Stek Terhadap Pertumbuhan Empat Varietas Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.). Mahasiswa. Departemen Agronomi Dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 86 hal. Skripsi.
Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. Badan Litbang Pertanian. 103 hal.
(1)
37
6) Bobot berangkasan basah
Bobot berangkasan basah didapat dari tanaman sampel sorgum yang telah dipanen kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital untuk mengetahui bobot berangkasan basah tanaman sorgum yang kemudian dinyatakan dalam satuan gram (g).
7) Bobot berangkasan kering
Bobot berangkasan kering didapat dari tanaman sampel sorgum yang telah dipanen dan ditimbang bobot basahnya, setelah itu di jemur dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 80oC selama 3 hari yang kemudian bobot berangkasan kering ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik dan dinyatakan dalam satuan gram (g).
8) Bobot biji/ m2
Didapat dari nilai rata-rata bobot biji/malai pada tiap petak percobaan dan dihitung dengan menggunakan rumus:
(2)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Kerapatan tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum pada sistem tumpangsari dengan ubikayu. Tanaman sorgum yang ditanam dengan tingkat kerapatan rendah yaitu 1 dan 2 tanaman/ lubang menunjukkan pertumbuhan dan memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan penggunaan tingkat kerapatan tinggi 3 dan 4 tanaman/ lubang.
2. Varietas tanaman sorgum berpengaruh pada beberapa komponen pertumbuhan tanaman sorgum dan secara nyata mempengaruhi hasil tanaman sorgum. Varietas Numbu memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan Varietas Keller dan Wray.
3. Kombinasi antara varietas dan kerapatan tanaman berpengaruh terhadap komponen pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Penggunaan Varietas Numbu dengan kerapatan 2 tanaman/ lubang menunjukan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding kedua varietas lainnya, dan penggunaan Varietas Keller dengan kerapatan 1 tanaman/ lubang menunjukkan bobot berangkasan per tanaman tertinggi bila dibandingkan yang lainnya.
(3)
72
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis menyarankan :
1. Penanaman tanaman sorgum sebaiknya dilakukan dalam dua musim yang berbeda, yaitu pada awal musim penghujan sampai awal musim kemarau. 2. Pada penelitian yang selanjutnya dapat menggunakan varietas yang
mempunyai potensi hasil yang tinggi.
3. Penggunaan Varietas Numbu untuk mendapatkan potensi hasil produksi yang tinggi dalam satuan luas (m2).
(4)
PUSTAKA ACUAN
Aribawa, I.B., Mastra, S., dan I.K, Kariada. 2007. Uji Adaptasi Beberapa Varietas
Jagung di Lahan Sawah. Balai Penelitian Teknologi Pertanian Bali dan
Nusa Tenggara Barat. 59 hal.
Atus’sadiyah, M. 2004. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Buncis (Phaseolus
vulgaris L) Tipe Tegak Pada Berbagai Variasi Kepadatan Tanaman dan
Waktu Pemangkasan Pucuk. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. 122 hal. Skripsi.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Produktivitas Tanaman Ubikayu.
(http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php) diakses pada tanggal 4 Agustus
2014.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2008. Teknologi Budidaya
Ubikayu. Bandar Lampung, Lampung. 53 hal.
De Wet, J.M.J., J.R.Harlan, and E.G. Price.1970. Origin of variability in the
Spontanea complex of Sorghum bicolor. American Journal of Botany
57(6):704-707.
Dewan Ketahanan Pangan (DKP). 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi
(Draft 4). Menteri Pertanian Republik Indonesia. 55 hal.
Efendi, R., M. Aqil, dan M. Pabendon. 2013. Evaluasi genotipe sorgum manis
(Sorghum bicolor (L.) Moench) produksi biomas dan daya ratun tinggi.
Jurnal Tanaman Pangan. 32(2): 116-125.
Fadhly, A. F., Subandi, A. Roslina, T. Fahdiana, dan E.O. Momuat. 2000. Pengaruh N dan Kepadatan Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung. Risalah Penelitian jagung dan sereaIia lain. Balai Penelitian dan Pengembangan Tanarnan Pangan.Bogor. 4: 3S-40. Gardner, F.P., R. B. Pearce, dan P. R. Michael. 1991. FisiologiTanaman
Budidaya, Penterjemah Herawati Susilo. UI Press. Jakarta. 379 hal.
Gerik, T., B. Bean, dan R.L. Vanderlip. 2003. Sorghum growth and development. Texas Cooperative Extension Service. 218 hal.
(5)
74 Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum
yang ditanam tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI PERIPIHIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. Bogor. p 91-94.
Hanafi, M.A. 2005. Pengaruh Kerapatan Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tiga Kultivar Jagung (Zea mays L.) Untuk Produksi Jagung. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya: Malang. 130 hal. Skripsi. House, L.R. 1985. A Guide to Sorghum Breeding. International Crops Research
Institute for Semi-Arid Tropics. Andhra Pradesh, India. 253 hal.
Indriati, T R. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Organik Dan Populasi Tanaman
Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tumpangsari Kedelai (Glycine max
L.) dan Jagung (Zea mays L.). Universitas Sebelas Maret. 344 hal. Tesis
Pascasarjana.
Irwan, W., A. Wahyudin, R. Susilawati, dan T. Nurmala. 2004. Interaksi jarak tanam dan jenis pupuk kandang terhadap komponen hasil dan kadar tepung sorghum (Sorghum bicolor L. Moench) pada Inseptisol di Jatinangor. Jurnal Budidaya Tanaman 10(4):128-136.
Pithaloka, S.A. 2014. Pengaruh Kerapatan Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench). Jurusan Agroteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung: Bandar
Lampung. 117 hal. Skripsi.
Rao, S.S., N. Seetharama, K. Kumar K., and R.L. Vanderlip. 2004.
Characterization of sorghum growth stages. National Research Center
for Sorghum. Rajendragar Hyderabad India (Describes Growth Stages
and Management Guide at each Stages of Sorghum Development). Springer-Verlag. India. p 432-354.
Rochmah, L. 1. 1999. Evaluasi dan Seleksi Delapan Genotipe Jagung Kearah Pembentukan Jagung Semi Banyak. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. IPB: Bogor. 69 hal. Skripsi.
Salisbusry, F.B. and C.W. Ross, 1985. Plant Physiology (3rd edition). Wadsworth Publishing Company. Belmont, California. 540 p.
Schmidt, F.H., and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall type based on wet and dry
period ratio for Indonesia with Western New Gurinea. Kementerian
Perhubungan. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. 136 hal. Sumarno., D. S. Damardjati., M. Syam., Hermanto. 2013. Sorgum: Inovasi
(6)
75 Sugito, Y. 1999. Ekologi Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya:
Malang. 143 hal.
Takagi, H dan S. Sumadi. 1984. Growth of Soybean as affected by Plant Density.
Penelitian Pertanian. 4 (2): 83-86.
Vanderlip, R.L. dan H.E. Reeves. 1972. Growth stages of sorghum (Sorgum
bicolor (L.) Moench). Agr. J. 64(1):13-16.
Vanderlip, R.L. 1993. How a grain sorghum plant develops. Kansas State University. p 12-14.
Yulita, R. dan Risda. 2006. Pengembangan sorgum di Indonesia. Direktorat Budi daya Serealia. Ditjen Tanaman Pangan, Jakarta. 75 hal.
Waluya, A. 2011. Pengaruh Jumlah Mata Tunas Stek Terhadap Pertumbuhan
Empat Varietas Ubikayu (Manihot esculenta Crantz.). Mahasiswa.
Departemen Agronomi Dan Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 86 hal. Skripsi.
Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. Badan Litbang Pertanian. 103 hal.