ANALISIS PEMBERIAN RESTITUSI KEPADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 44 TAHUN 2008 (Studi di Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

ABSTRAK
ANALISIS PEMBERIAN RESTITUSI KEPADA ANAK SEBAGAI
KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NO. 44 TAHUN 2008
(Studi di Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)
Oleh:
Fajar Afriliyanto S.
Sebagian korban tindak pemerkosaan saat ini adalah anak di bawah umur. Dengan
disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
ternyata belum dapt memberikan perlindungan yang maksimal terhadap anak.
Pemberian kompensasi, restitusi dan bantuan hukum kepada anak sebagai korban
tindak pidana pemerkosaan saat ini belum berjalan sebagaimana diamanatkan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi dan Bantuan Hukum. Berdasarkan hal ini, peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan permasalahan: a) Bagaimanakah pelaksanaan
pemberian restitusi kepada anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008. b) Apakah faktor
penghambat pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak sebagai korban tindak
pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan
yuridis empiris. Sumber berasal dari studi kepustakaan dan hasil wawancara

dengan Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang, dan Dosen
Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data yang
diperoleh kemudian diolah melalui proses klasifikasi data, editing, interpretasi,
dan sistematisasi. Data yang telah diolah kemudian akan dianalisis secara
kualitatif. Kesimpulan diambil menggunakan metode induktif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Pelaksanaan pemberian restitusi
kepada anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 44 Tahun 2008 dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme yaitu
apabila permohonan diajukan sebelum pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (sebelum
tuntutan dibacakan) maka LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta
keputusan dan pertimbangannya kepada Penuntut Umum dan apabila permohonan
diajukan setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka LPSK menyampaikan

permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan
yang berwenang. Faktor penghambat pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
44 Tahun 2008, yaitu pengetahuan masyarakat yang masih kurang dan belum
memadainya sarana, prasarana, anggaran maupun sumber daya manusia yang

dimiliki LPSK dalam menyampaikan informasi dan pelayanan kepada publik.
Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya para stakeholder yang ada dapat
segera mungkin untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban termasuk juga merevisi
peraturan pelaksanaannya diantaranya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi
dan Korban.
Kata kunci: pemberian restitusi, anak, korban tindak pidana pemerkosaan.

ANALISIS PEMBERIAN RESTITUSI KEPADA ANAK SEBAGAI
KORBAN TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NO. 44 TAHUN 2008
(Studi di Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung)

Oleh:
Fajar Afriliyanto S.

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM

Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015

PERSEMBAHAN

Puji syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah S.W.T.
Ku persembahkan karya skripsi ini untuk:
Ayah dan Ibu, serta kakak-kakakku tercinta yang dengan penuh pengorbanan
memberikan dorongan moril dan kasih sayang, sehingga penulis berhasil
menyelesaikan perkuliahan ini.

Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang telah
banyak membantu, baik dalam suka maupun duka.


Para dosen pembimbingku, terima kasih untuk bantuan dan dukungannya
dalam pembuatan skripsi ini.

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul ”Analisis
Pemberian Restitusi Kepada Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 (Studi di Wilayah Hukum
Kota Bandar Lampung)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Bagian Hukum Pidana
yang telah banyak membantu dalam proses perkuliah di Bagian Hukum
Pidana;
3. Ibu Firganefi, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan saran
dan masukan yang bermanfaat di dalam perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Lampung;
4. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah sabar
memberi saran dan masukan yang bermanfaat guna perbaikan skripsi ini dan
penyelesaian studi;

5. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H. selaku Pembahas I yang telah membantu
memberikan saran dan masukan sehingga penulisan skripsi ini lebih baik dan
bermanfaat;
6. Bapak Renaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang yang telah
memberi masukan guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini;
7. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
wawasan dan cakrawala pengetahuan ilmu hukum yang sangat berguna bagi
pengembangan wawasan penulis;
8. Kedua orang tuaku yang sabar mengasuh, mendidik dan membesarkan
penulis sampai menjadi seorang Sarjana Hukum. Semoga Allah S.WT.
memberikan rahmat-Nya kepada kalian hingga akhir kelak;
9. Kakak-kakakku yang tak henti hentinya memberikan semangat, terima kasih
atas dukungannya selama ini; dan
10. Teman-teman seperjuangan selama masa kuliah yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu baik dalam suka maupun

duka.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan
tetapi penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua. Amin.

Bandar Lampung, 25 Oktober 2015
Penulis

Fajar Afriliyanto S.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandarlampung pada tanggal 12 April
1990 yang merupakan putra keempat dari empat bersaudara
pasangan Bapak Sofjan M. Djalang. dan Ibu Rumyani Rusli,
S.pd. Penulis menyelesaikan studi pendidikan Sekolah
Dasar di SDN 4 Sukajawa lulus pada tahun 2005. Penulis melanjutkan studi di
SMP 13 Bandar Lampung lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan studi di
SMAN 3 Bandarlampung lulus pada tahun 2008.

Penulis pada tahun 2011 diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung melalui jalur PKAB. Penulis pada tahun 2012
mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Marga Sekampung,
Kabupaten Lampung Timur.

MOTO

“Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau lain waktu. Diri
kitalah yang ditunggu-tunggu, diri kitalah perubahan yang kita tunggu.”
(Barack Hussein Obama)

DAFTAR ISI

Hlm.
I. PENDAHULUAN ..................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah .....................................................................


1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ....................................................

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .....................................................

9

E. Sistematika Penulisan .........................................................................

14

II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................


16

A. Pengertian Anak .................................................................................

16

B. Tindak Pidana Perkosaan dan Pengaturannya ....................................

17

C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan ...

30

D. Pengertian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan .................................

34

E. Tinjauan Tentang Faktor Penghambat Penegakan Hukum ................


38

III. METODE PENELITIAN ..................................................................

42

A. Pendekatan Masalah ...........................................................................

42

B. Sumber dan Jenis Data .......................................................................

42

C. Penentuan Narasumber .......................................................................

44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data....................................


45

E. Analisis Data.......................................................................................

46

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................

47

A. Karakteristik Nara Sumber .................................................................

47

B. Perlindungan Pelaksanaan Pemberian Restitusi Kepada
Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 ..........................................

48

C. Faktor Penghambat Pelaksanaan Pemberian Restitusi Kepada
Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 ..........................................

60

V. PENUTUP .............................................................................................

66

A. Simpulan ............................................................................................

66

B. Saran ...................................................................................................

67

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap
perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya
terhadap kepentingan seksual laki-laki. Sehingga dia terpaksa harus selalu
menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik dan mental. Perhatian
dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana pemerkosaan baik
melalui proses peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian sosial,
kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun
lembaga-lembaga sosial yang ada.

Banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke pengadilan, tapi
dari kasus-kasus itu pelaku tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan yaitu
Pasal 281 sampai dengan Pasal 296. Pasal yang mengatur tentang tindak pidana
perkosaan yaitu Pasal 285 KUHP yang menyatakan barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan
dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.

2

Sudarto berpendapat (seperti yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief dalam
bukunya Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana) bahwa untuk menanggulangi
kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional dari masyarakat, yaitu dengan cara
politik kriminal. Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada
hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.1

Alasan kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat
penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya
korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh
orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa
dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini
tentu saja mempengaruhi perkembangan mental atau kejiwaan dari para korban,
serta berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan
rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus
perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan
kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban
mengalami ancaman akan dilakukan perkosaan lagi dari pelaku dan hal ini
membuat korban takut dan trauma. Diharapkan dari pengaduan ini, maka

1

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002), hlm. 1-2

3

kasusnya dapat terbuka dan dapat dilakukan proses pemeriksaan sehingga korban
akan memperoleh keadilan atas apa yang menimpa dirinya.

Sebagian korban tindak pemerkosaan saat ini adalah anak di bawah umur. Dengan
disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
ternyata belum berdampak signifikan terhadap penurunan tingkat kekerasan
terhadap anak. Masih rendahnya pidana yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana pemerkosaan terhadap anak tentunya sangat tidak sesuai dengan akibat
yang diderita anak tersebut. Penderitaan tersebut akan dibawa anak korban
pemerkosaan sampai dewasa, tidak jarang korban pemerkosaan mengalami trauma
berkepanjangan. Apabila dilihat dari sisi lain pelaksanaan pemberian kompensasi,
restitusi dan bantuan hukum kepada anak sebagai korban tindak pidana
pemerkosaan saat ini belum berjalan sebagaimana diamanatkan Peraturan
Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan Hukum.

Dalam penyelesaian perkara pidana, hukum terlalu mengedepankan hak-hak
tersangka/terdakwa,

sementara

hak-hak

korban

diabaikan,

sebagaimana

dikemukakan oleh Andi Hamzah: “dalam membahas hukum acara pidana
khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan
untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa
memperhatikan pula hak-hak para korban”.2

2

Andi Hamzah. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. (Bandung: Binacipta, 1986), hlm. 33

4

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tentunya membawa konsekuensi
perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara manusia yang satu
dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling
menghormati dan menghargai bahwa di antara mereka terkandung adanya hak dan
kewajiban.

Salah satu akibat dari korban yang mendapat perhatian viktimologi adalah
penderitaan,

kerugian

mental,

fisik,

sosial,

serta

penanggulangannya.

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan dalam konsepnya, terkandung
pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam
konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum
pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.3

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan
dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh
korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk
ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai
dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya
menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu
berlebihan.

Mengacu pada uraian di atas, ada beberapa perlindungan terhadap korban
kejahatan yang lazim diberikan, antara lain pemberian restitusi dan kompensasi.
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia memberikan pengertian kompensasi, yaitu kerugian yang diberikan
3

Arif Gosita. Masalah Korban Kejahatan. (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 50

5

oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya
yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian yang
diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Menurut Stephen Schafer, terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan
kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu antara lain:
a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses
perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses
pidana.
b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana
diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat
keperdataan, tidak diragukan sifat pidananya.
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan
didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi
tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses
pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,
tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi
yang dibebankan pengadilan oleh pelaku. Hal ini merupakan pengakuan
bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan
gagal mencegah terjadinya kejahatan.4

Sampai sekarang di Indonesia belum ada suatu lembaga yang secara khusus
menangani masalah pemberian kompensasi terhadap korban kejahatan, seperti
yang dilakukan di beberapa negara maju. Sebagai contoh, di Amerika Serikat ada
suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s Compensation Board. Lembaga
ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban
kejahatan berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan
penghasilan, dan sebagainya.5

Hal yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti
kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar sistem pemberian ganti
4
5

Arif Gosita, Op.cit, hlm. 52
Ibid.

6

kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi
hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan
untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini membutuhkan waktu yang
lama, dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti
kerugian akan terabaikan.

Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di Lampung dari tahun
2013 sampai awal tahun 2014 berdasarkan data Lembaga Advokasi Perempuan
Damar sebanyak 474 kasus. Kasus kekerasan seksual tersebut mayoritas kasus
pemerkosaan, yaitu sebanyak 332 kasus. Kasus kekerasan seksual dan
pemerkosaan terhadap anak terjadi di Kota Bandar Lampung antara tahun 2013
sampai awal tahun 2014, antara lain dengan korban RI (anak usia 7 tahun), DE
(remaja usia 14 tahun) korban pemerkosaan oleh pacarnya sendiri dan ST (remaja
usia 15 tahun) juga putus sekolah karena mengalami tindak kekerasan seksual.6

Contoh kasus pemerkosaan terhadap anak yang telah diputus oleh Pengadilan
Negeri Kelas IA Tanjungkarang pada tahun 2012 antara lain kasus pemerkosaan
yang dilakukan RS terhadap pembantu rumah tangganya SR yang masih berumur
15 tahun. Majelis hakim hanya menjatuhkan putusan terhadap terdakwa, yaitu
pidana penjara selama 4 (empat) tahun sebagaimana tercantum dalam Putusan
Negeri Tanjung Karang No. 831/Pid./Sus/2012/PN. TK.

6

http://m.tribunnews.com/regional/2014/05/05/474-wanita-lampung-alami-kekerasan-seksualdalam-setahun, diakses tanggal 30 Mei 2014 pikul 19.30 WIB

7

Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Analisis Pemberian Restitusi Kepada Anak
Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2008 (Studi di Wilayah Hukum Kota Bandar Lampung).”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Sesuai dengan uraian latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini adalah:
a. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak sebagai korban
tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2008?
b. Apakah faktor penghambat pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2008?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian kepustakaan bidang Hukum
Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai pelaksanaan pemberian restitusi
kepada anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 44 Tahun 2008. Penelitian akan dilakukan pada tahun 2014 di
wilayah hukum Kota Bandar Lampung.

8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak sebagai korban
tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2008.
b. Mengetahui faktor penghambat pelaksanaan pemberian restitusi kepada anak
sebagai korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2008.

2. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini
adalah:
a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya
pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana mengenai pelaksanaan
pemberian restitusi kepada anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan.
b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum
mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan
pemberian restitusi kepada anak sebagai korban tindak pidana pemerkosaan
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008.

9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
untuk peneliti.7

Perhatian dan perlindungan terhadap korban kejahatan merupakan salah satu
kebutuhan yang semakin mendesak berbagai negara untuk menyediakan
kompensasi, restitusi dan pelayanan bagi korban kejahatan, namun ternyata masih
sukar untuk memperjuangkan hak dan kepentingan korban kejahatan dalam sistem
peradilan pidana.

Viktimologi sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan yang mengkaji semua aspek
yang berkaitan dengan korban dalam berbagai bidang kehidupan dan
penghidupannya. Perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan adalah
suatu kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi
manusia. Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan
harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman
gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya.8

Dalam rangka memberi perlindungan terhadap korban, maka perlu diadakan
pengelolaan korban tindak pidana perkosaan, yang meliputi prevensi, terapi dan
7
8

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 125
Arif Gosita. Bunga Rampai Viktimisasi. (Bandung: PT. Eresco, 1995), hlm. 136

10

rehabilitasi. Perhatian seyogyanya ditujukan pada korban, keluarga, lingkungan
dan masyarakat luas. Jelasnya dalam pengelolaan korban tindak pidana perkosaan
itu akan dapat melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin.
a. Prevensi dapat berarti pencegahan timbulnya perkosaan dan dapat pula
dimaksudkan sebagai pencegahan timbulnya masalah seksual di kemudian
hari. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana perkosaan maka disarankan
agar para wanita untuk tidak bepergian seorang diri terutama pada waktu
malam hari dan ke tempat yang lenggang dan sunyi. Ada baiknya kalau
wanita belajar juga olahraga beladiri, sekedar untuk melindungi diri dari
orang-orang yang berbuat jahat. Hindari membawa senjata tajam pada waktu
bepergian, bila terjadi usaha perkosaan maka bertindaklah wajar, sedapat
mungkin tidak panik atau ketakutan.
b. Terapi pada korban tindak pidana perkosaan memerlukan perhatian yang
tidak hanya terfokus pada korban saja. Selain keluhan dari para korban, perlu
pula didengar keluhan dari keluarga, keterangan orang yang menolongnya
pertama kali dan informasi dari lingkungannya. Kebutuhan akan terapi justru
sering ditimbulkan oleh adanya gangguan keluarga atau lingkungannya.
Tujuan terapi pada korban tindak pidana perkosaan adalah untuk mengurangi
bahkan dimungkinkan untuk menghilangkan penderitaannya. Di samping itu
juga untuk memperbaiki perilakunya, meningkatkan kemampuannya untuk
membuat dan mempertahankan pergaulan sosialnya. Hal ini berarti bahwa
terapi yang diberikan harus dapat mengembalikan si korban pada pekerjaan
atau kesibukannya dalam batas-batas kemampuannya dan kebiasaan peran
sosialnya. Terapi harus dapat memberi motivasi dan rangsangan agar korban
tindak pidana perkosaan dapat melakukan hal-hal yang bersifat produktif dan
kreatif.
c. Rehabilitasi korban tindak pidana perkosaan adalah tindakan fisik dan
psikososial sebagai usaha untuk memperoleh fungsi dan penyesuaian diri
secara maksimal dan untuk mempersiapkan korban secara fisik, mental dan
sosial dalam kehidupannya dimasa mendatang. Tujuan rehabilitasi meliputi
aspek medik, psikologik dan sosial. Aspek medik bertujuan mengurangi
invaliditas, dan aspek psikologik serta sosial bertujuan kearah tercapainya
penyesuaian diri, harga diri dan juga tercapainya pandangan dan sikap yang
sehat dari keluarga dan masyarakat terhadap para korban tindak pidana
perkosaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka para korban tindak pidana
perkosaan selalu mendapatkan pelayanan medik psikiatrik yang intensif.9

Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan
dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh
korban. Misalnya, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk
9

Arif Gosita.Op.cit, hlm. 137-139

11

ganti rugi dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai
dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya
menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu
berlebihan.

Mengacu pada uraian di atas, ada beberapa perlindungan terhadap korban
kejahatan yang lazim diberikan, antara lain pemberian restitusi dan kompensasi.
Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia memberikan pengertian kompensasi, yaitu kerugian yang
diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti
kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak
ketiga.

Menurut Stephen Schafer, terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan
kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu antara lain:
a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses
perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses
pidana.
b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana
diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat
keperdataan, tidak diragukan sifat pidananya.
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan
didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi
tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses
pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni,
tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi
yang dibebankan pengadilan oleh pelaku. Hal ini merupakan pengakuan
bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan
gagal mencegah terjadinya kejahatan.10

10

Arif Gosita, Op.cit, hlm. 52

12

Pelaksanaan pemberian restitusi dan bantuan hukum kepada anak sebagai korban
tindak pidana pemerkosaan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008
sebagai upaya dari penegakan hukum efektifitasnya dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang secara umum
mempengaruhi penegakan hukum. Beberapa faktor yang dapat mendukung dan
menghambat berjalannya proses penegakan adalah sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, yaitu peraturan perundang-undangan yang
menjamin pelaksanaan suatu aturan hukum;
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membuat atau membentuk
maupun yang menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.11

2. Konseptual
Peneliti sebelum melaksanakan penelitian terlebih dahlu membuat konseptual
mengenai permasalahan yang dibahas. Menurut Soerjono Soekanto12, kerangka
konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah
yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris.

Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang
dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap
dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
11

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Raja
Grafindo Persada: 2007), Hlm. 5
12
Ibid. hlm. 124

13

a. Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
b. Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
c. Perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki
terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum
yang berlaku melanggar.13
d. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.14
e. Restitusi berdasarkan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan adalah ganti
kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau
pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti
kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk
tindakan tertentu.
f. Bantuan berdasarkan Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan adalah layanan
yang diberikan kepada Korban dan/atau Saksi oleh LPSK dalam bentuk
bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial.
13

Suparman Marzuki. Pelecehan Seksual. (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1997), hlm. 25
14
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1993), hlm. 9.

14

E. Sistematika Penulisan

Sistematika mempermudah dan memahami penulisan ini secara keseluruhan,
maka penulisan ini dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai
berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemilihan judul yang akan diangkat
dalam penulisan skripsi. Kemudian permasalahan-permasalahan yang dianggap
penting disertai pembatasan ruang lingkup penelitian. Selanjutnya juga membuat
tujuan dan kegunaan penelitian yang dilengkapi dengan kerangka teori dan
konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang
pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang
terdiri dari: a. Tindak Pidana Perkosaan; b. Perlindungan Terhadap Korban
Tindak Pidana Perkosaan; dan c. Pengertian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan
Hukum; dan d. Pengertian Anak.

III. METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian
berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan
masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis
data yang telah didapat.

15

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari a.
Karakteristik Responden; b. Pelaksanaan Pemberian Restitusi Kepada Anak
Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 44 Tahun 2008; dan c. Faktor Penghambat Pelaksanaan Pemberian Restitusi
Kepada Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008.

V. PENUTUP
Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil
pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran
yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas bagi aparat penegak hukum
terkait.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak

Berdasarkan hukum yang berlaku saat ini, pengertian anak diatur dalam beberapa
perundang-undangan. Pengertian anak tersebut ditentukan berdasarkan umur atau
usia. Pengertian anak berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut
diantaranya sebagai berikut:
a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, menyatakan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin;
b. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, menyatakan bahwa bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahundan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya; dan
c. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
d. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan

17

hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.

Berdasarkan pengertian yang diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan di atas, maka dapat disimpulkan anak adalah seorang yang belum
berumur 18 tahun dan belum menikah, termasuk pula anak yang masih dalam
kandungan.

B. Tindak Pidana Perkosaan dan Pengaturannya

1. PengertianTindak Pidana Perkosaan
Menurut

Kamus

Besar

Bahasa

Indonesia

yang

disusun

oleh

W.J.S.

Poerwadarminta, pengertian perkosaan dilihat dari etiologi atau asal kata yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
Perkosa: gagah; paksa; kekerasan; perkasa. memperkosa: 1) menundukkan
dan sebagainya dengan kekerasan; 2) melanggar (menyerang dsb) dengan
kekerasan. Perkosaan: 1) perbuatan memperkosa; penggagahan; paksaan;
2) pelanggaran dengan kekerasan.15

Soetandyo Wignjosoebroto, mendefinisikan perkosaan sebagai suatu usaha
melampiaskan nafsu seksual oleh seorang lelaki terhadap seorang perempuan
dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.16

15

W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984),
hlm.741
16
Suparman Marzuki. Pelecehan Seksual. (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 1997), hlm. 25

18

Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah seorang lakilaki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh
dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan
terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu.17

R. Sugandhi, mendefinisikan perkosaan adalah seorang pria yang memaksa pada
seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan
ancaman kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam
lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.18

Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesusilaan diartikan sebagai perbuatan
yang berkaitan dengan adab dan sopan santun; perilaku susila.19 Namun untuk
menentukan seberapa jauh ruang lingkupnya tidaklah mudah, karena pengertian
dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat berbeda-beda menurut
pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.20
Menurut Roeslan Saleh,21 dalam penentuan delik-delik kesusilaan, hendaknya
tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga
meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma kepatutan
bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat, misalnya meninggalkan orang yang
perlu ditolong, penghinaan dan membuka rahasia. Sementara jika diamati
17

Wirdjono Prodjodikoro. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986),
hlm. 117
18
R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. (Surabaya: Usaha
Nasional, 1980), hlm. 302
19
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1997), hlm. 980
20
Barda Nawawi Arief, Op.cit. hlm. 291
21
Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum Dalam
KUHP, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm. 109

19

berdasarkan kenyataan sehari-hari, persepsi masyarakat tentang arti kesusilaan
lebih condong kepada kelakuan yang benar atau salah, khususnya dalam
hubungan seksual.22

Tindak pidana perkosaan termasuk salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang
diatur dalam Pasal 285 KUHP, yang menyatakan: “Barangsiapa dengan kekerasan
atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun”.

Ketentuan Pasal 285 KUHP di atas, terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada
atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai
berikut:23
a. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan;
b. Memaksa seorang wanita; dan
c. Bersetubuh di luar perkawinan dengan dia (pelaku).

Ad a) Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, artinya mempergunakan tenaga
atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan atau dengan segala senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya sampai
orang itu jadi pingsan atau tidak berdaya.
Ad b) Memaksa seorang wanita, artinya dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia.

22

Leden Marpaung. Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya. (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 3
23
R. Soesilo. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal Demi Pasal,
(Bandung: Karya Nusantara Cetakan X, 1988), hlm. 98

20

Ad c) Bersetubuh di luar perkawinan, artinya peraduan antara kemaluan laki-laki
dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kelamin laki-laki harus masuk ke anggota kelamin perempuan, sehingga
mengeluarkan mani dengan wanita yang bukan istrinya.

2. Jenis-Jenis Tindak Perkosaan
Tindak perkosaan dapat digolongkan dalam beberapa jenis tergantung dengan
motif dan cara melakukannya. Perkosaan dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Sadistic Rape
Perkosaan sadistis, artinya pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam
bentuk yang merusak. Pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan
erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang
mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
b. Anger Rape
Yakni penganiayaan seksual yang bercirikan seksualitas yang menjadi sarana
untuk menyatakan dan melampiaskan rasa geram dan marah yang tertahan. Tubuh
korban di sini seakan-akan merupakan obyek terhadap siapa pelaku yang
memproyeksikan pemecahan atas frustasi-frustasi, kelemahan, kesulitan dan
kekecewaan hidupnya.
c. Domination Rape
Yaitu suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas
kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah penaklukan
seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan
seksual.

21

d. Seductive Rape
Suatu perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang yang tercipta
oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman
personal harus dibatasi tidak sampai sejauh persenggamaan. Pelaku pada
umumnya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena tanpa itu
tidak mempunyai perasaan bersalah yang menyangkut seks.
e. Victim Precipitated Rape
Yaitu perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai
pencetusnya.
f. Exploitation Rape
Perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan melakukan
hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan
yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara
ekonomis dan sosial. Misalnya istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu
rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sedangkan pembantunya tidak
mempersoalkan atau mengadukan kasusnya ini kepada pihak yang berwajib.24

Selain berdasarkan pengolongan di atas, tindak pidana perkosaan dapat
digolongan berdasarkan status pelakunya. Jenis-jenis perkosaan juga dapat
dibedakan:
a. Perkosaan yang pelakunya sudah dikenal korban
1) Perkosaan oleh suami atau mantan suami
Perkosaan juga dapat terjadi dalam suatu perkawinan, karena suami maerasa
berhak untuk memaksa istrinya berhubungan seks kapan saja sesuai dengan
keinginannya tanpa mempedulikan keinginan sang istri. Bahkan tidak jarang
terjadi banyak mantan suami yang merasa masih berhak untuk memaksakan
hubungan seks pada mantan istrinya.
24

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual:
Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 46-47

22

2) Perkosaan oleh teman kencan atau pacar
Teman kencan atau pacar bisa memaksa korban untuk berhubungan seks dengan
berbagai dalih; karena ia sudah menghabiskan uang untuk menyenangkan korban,
karena mereka pernah berhubungan seks sebelum itu, karena korban dianggap
sengaja memancing birahi, atau karena si pacar sudah berjanji akan mengawini
korban. Ajakan untuk berhubungan seks masih termasuk wajar bila si perempuan
masih punya kesempatan untuk menolak dan penolakannya itu dihormati oleh
pacarnya. Bujuk rayu pun masih bisa dianggap normal bila kegagalan membujuk
tidak diikuti oleh tindakan pemaksaan. Tetapi kalau pacar perempuan itu sampai
memaksakan kehendaknya, itu sudah berarti suatu kasus perkosaan. Sekalipun
oleh pacar sendiri, jika perempuan itu sudah menolak dan berkata “tidak” tapi
pacarnya nekat melakukannya itu berarti perkosaan. Kasus perkosaan seperti ini
sangat jarang didengar orang lain karena korban malu dan takut dipersalahkan
orang.
3) Perkosaan oleh atasan/majikan
Perkosaan terjadi antara lain bila seorang perempuan dipaksa berhubungan seks
oleh atasan atau majikannya dengan ancaman akan di PHK bila menolak, atau
dengan ancaman-ancaman lain yang berkaitan dengan kekuasaan si atasan atau
majikan.
4) Penganiayaan seksual terhadap anak-anak
Seorang anak perempuan atau anak laki-laki dapat diperkosa oleh lelaki dewasa.
Masalah ini sangat peka dan sulit. Anak-anak yang menjadi korban tidak
sepenuhnya paham akan apa yang menimpa mereka, khususnya bila anak itu
mempercayai pelaku.
b. Perkosaan oleh orang tak dikenal
Jenis perkosaan ini sangat menakutkan, namun lebih jarang terjadi dari pada
perkosaan dimana pelakunya dikenal oleh korban.
1) Perkosaan beramai-ramai
Seorang perempuan bisa disergap dan diperkosa secara bergiliran oleh
sekelompok orang yang tidak dikenal. Ada kalanya terjadi perkosaan oleh satu
orang tidak dikenal, kemudian orang-orang lain yang menyaksikan kejadian
tersebut ikut melakukannya. Seringkali terjadi beberapa orang remaja
memperkosa seorang gadis dengan tujuan agar mereka dianggap jantan atau untuk
membuktikan kelakiannya.
2) Perkosaan di penjara
Di seluruh dunia, banyak perempuan diperkosa oleh polisi atau penjaga penjara
setelah mereka ditahan atau divonis kurungan. Bahkan perkosaan juga umum
terjadi antar penghuni lembaga pemasyarakatan laki-laki, untuk menunjukkan
bahwa si pemerkosa lebih kuat dan berkuasa daripada korbannya.
3) Perkosaan dalam perang atau kerusuhan
Para serdadu yang sedang berada di tengah kancah pertempuran sering
memperkosa perempuan di wilayah yang mereka duduki, untuk menakut-nakuti
musuh atau untuk mempermalukan mereka. Perkosaan beramai-ramai dan

23

perkosaan yang sistematis (sengaja dilakukan demi memenuhi tujuan politis atau
taktis tertentu).25

Adapun karakteristik utama (khusus) tindak pidana perkosaan menurut Kadish
yaitu bukan ekspresi agresivitas seksual (the aggressive axpression of sexuality)
akan tetapi ekspresi seksual agresivitas (sexual expression of aggression).26
Artinya, perwujudan keinginan seks yang dilakukan secara agresif, bersifat
menyerang atau memaksa lawan jenia (pihak) lain yang dapat dan dianggap
mampu memenuhi kepentingan nafsunya.

Karakteristik umum tindak pidana perkosaan:
a. Agresivitas, merupakan sifat yang melekat pada setiap perkosaan;
b. Motivasi kekerasan lebih menonjol dibandingkan dengan motivasi seksual
semata-mata;
c. Secara psikologis, tindak pidana perkosaan lebih banyak mengandung
masalah kontrol dan kebencian dibandingkan dengan hawa nafsu;
d. Tindak pidana perkosaan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu:
anger rape, power rape dan sadistis rape. Dan ini direduksi dari anger dan
violation, control and domination, erotis;
e. Ciri pelaku perkosaan: mispersepsi pelaku atas korban, mengalami
pengalaman buruk khususnya dalam hubungan personal (cinta), terasing
dalam pergaulan sosial, rendah diri, ada ketidakseimbangan emosional;
f. Korban perkosaan adalah partisipatif. Menurut Meier dan Miethe, 4-19%
tindak pidana perkosaan terjadi karena kelalaian (partisipasi) korban;
g. Tindak pidana perkosaan secara yuridis sulit dibuktikan.27

Di antara karakteristik perkosaan itu, ciri kekerasan dan sulitnya dilakukan
pembuktian tampaknya perlu mendapatkan perhatian utama. Kekerasan yang
menimpa korban bukan hanya berdampak merugikan ketahanan fisikmya, namun

25

LBPP DERAP-WARAPSARI. Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi
Korban Kekerasan (Bacaan Bagi Awak Ruang Pelayanan Khusus-Police Woman Desk), (Jakarta:
Gugus Grafis, 2001), hlm. 29-31
26
Romli Atmasasmita. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju,
1995), hlm. 108
27
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.cit, hlm. 48

24

juga ketahanan psikologisnya. Kondisi buruk yang membuat korban tidak berdaya
ini berdampak buruk lebih lanjut pada persoalan penegakan hukumnya.

3. Pengertian Korban Perkosaan
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan korban, korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korban adalah (orang)
yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang
lain.28

Menurut I.S. Susanto korban dibagi dalam 2 (dua) pengertian, yaitu dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Korban dalam arti sempit adalah korban kejahatan,
sedangkan dalam arti luas meliputi pula korban dalam berbagai bidang seperti
korban pencemaran, korban kesewenang-wenangan dan lain sebagainya.29
Menurut Arif Gosita, korban perkosaan adalah seorang wanita, yang dengan
kekerasan atau dengan ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain
di luar perkawinan.30
Dari definisi di atas dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut:31
a. Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek)
sedangkan ada juga laki-laki yang diperkosa oleh wanita.
b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti
tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan
perlakuan pelaku.

28

W.J.S. Poerwadarminta, Op.cit. hlm. 324
I.S. Susanto. Kriminologi, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1995), hlm. 89
30
Arif Gosita. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan
(Beberapa Catatan). (Jakarta: IND.HILL-CO, 1987), hlm. 12
31
Ibid, hal. 12-13
29

25

c. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu.

4. Jenis-Jenis Korban Perkosaan
Menurut Arif Gosita, jenis-jenis korban perkosaan adalah sebagai berikut:32
a. Korban Murni, terdiri atas:
a. Korban perkosaan yang belum pernah berhubungan dengan pihak pelaku
sebelum perkosaan;
b. Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pihak pelaku sebelum
perkosaan.
b. Korban Ganda
Adalah korban perkosaan yang selain mengalami penderitaan selama diperkosa,
juga mengalami berbagai penderitaan mental, fisik, dan sosial, misalnya:
mengalami ancaman-ancaman yang mengganggu jiwanya, mendapat pelayanan
yang tidak baik selama pemeriksaan Pengadilan, tidak mendapat ganti kerugian,
mengeluarkan uang pengobatan, dikucilkan dari masyarakat karena sudah cacat
khusus, dan lain-lain.
c. Korban Semu
Adalah korban yang sebenarnya sekaligus juga pelaku. Ia berprilaku seperti
diperkosa dengan tujuan mendapat sesuatu dari pihak pelaku.

Menurut Mendelson, korban dapat dibedakan menjadi 5 (lima) macam dengan
berdasar pada derajat kesalahannya, yaitu:
a. Yang sama sekali tidak bersalah.
b. Yang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri.
c. Yang sama bersalahnya dengan pelaku.
32

Arif Gosita, Op.cit. hlm. 13

26

d. Yang lebih bersalah daripada pelaku.
e. Korban adalah satu-satunya yang bersalah33
5. Penderitaan Korban Perkosaan
Tindak kekerasan seksual yang terjadi dalam realita kehidupan sehari-hari
mengakibatkan dalam diri perempuan timbul rasa takut, was-was dan tidak aman.
Apalagi ditunjang dengan posisi korban yang seringkali tidak berdaya dimata
praktek peradilan pidana. Artinya, derita korban tidak dijembatani oleh penegak
hukum, dalam hal ini hakim, yang berkewajiban menjatuhkan vonis. Terbukti,