Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1/PUU-VIII/2010)

(1)

IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN: NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HENNI DEMITRA TARIGAN NIM : 080200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (KAJIAN TERHADAP PUTUSAN: NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

HENNI DEMITRA TARIGAN NIM : 080200237

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(DR. M. Hamdan, SH, MH) NIP: 195703261986011001

(DOSEN PEMBIMBING I) (DOSEN PEMBIMBING II)

LIZA ERWINA, SH, M.Hum Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum NIP. 196110241989032002 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih dan karunia-Nya, yang telah memberikan kesehatan, kekuatan dan ketekunan kepada penulis, sehingga mampu berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Sebuah sukacita besar dan kesempatan yang sangat luar biasa manakala penulis dapat merampungkan perbuatan skripsi ini. Seperti kita ketahui bahwa skripsi merupakan salah satu syarat bagi Mahasiswa/i pada umumnya dan Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna melengkapi tigas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pda Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa. Dimana skripsi ini diberi judul IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-VIII/2010) untuk dituangkan dalam tulisan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak. Kira-kira pepatah demikianlah yang sangat cocok untuk mendeskripsikan keadaan skripsi ini yang masih sangat jauh dari kata sempurna. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan disana-sini dalam isi maupun bagian skripsi ini. Namun atas dasar sifat manusiawi yang bisa dan sering melakukan kesalahan, dengan segala hormat penulis meminta maaf. Oleh karenanya diharapkan saran, kritik, dan ide-ide baru yang


(4)

konstruktif mngomentari bagian skripsi ini sangat penulis butuhkan dan karenanya akan diterima dengan senang hati serta penuh bijaksana.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah lulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M.Hamdan, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku dosen Pembimbing I yang telah dengan penuh kesabaran menghadapi penulis selama menulis skripsi.


(5)

7. Ibu Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum, sebagai Pembibing II yang telah bersedia dan penuh dengan kesabaran menghadapi penulis selama pembuatan skripsi ini.

8. Seluruh staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku perkuliahan.

9. Seluruh Pegawai Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda R. Tarigan dan Ibunda tercinta R br Sinuhaji, yang telah penuh dengan kasih sayang membesarkan, mendidik, dan membiayai pendidikan penulis sekaligus menjadi motivator yang sangat luar biasa dalam penulisan skripsi ini, terimah kasih banyak atas dukungan dan pengertinnya.

11.Penulis mengucapkan terima kasih kepada abang tua saya Osvaldo Arbhi Tarigan, SH dan kakak saya Dina Adreini br Tarigan, MP.d yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini.

12.Sahabat Penulis selama menuntut Ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (Rishelly Ritonga, Sylvi Anissa Partiwi, Emiliana Milala dan Rikson Hutabarat). Terima kasih buat dukungan dan doanya.

13.Sahabat penulis yang selalu ada dan setia, dikala suka maupun duka (Alva Monika Tarigan, Cristy Ananda Ginting, Juna Kaban, dan Rezky Diapani Bangun). Terima kasih buat dukungannya dan selalu memberi semangat di dalam menyelesaikan skripsi ini.


(6)

14.Seluruh teman-temanku stambuk 2008 yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu.

15.Anak-anak Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) “ERKALIAGA” FH USU. Terima kasih kepada abang, kakak dan teman-teman sekalian yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan pengalaman yang sangat luar biasa, memberikan semangat dalam perkuliahanku, memperluas pergaulan saya selama berada di FH USU, terima kasih buat semua kenangan indah dan tidak akan pernah saya lupakan dalam hidup saya.

16.Pelayanan Mahasiswa UKM KMK USU dan GMKI, yang telah memberikan saya banyak pengalaman yang luar bisa juga selama saya berada di Fakultas Hukum USU. Terima kasih buat dukungan dan doanya. Akhir kata, penulis mengucapkan terimah kaih banyak kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, hanya Tuhanlah yang dapat membalas budi baik semuanya.

Semoga ilmu yang telah penulis peroleh selama kuliah di bangku Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dapat bermanfaat dalam menggapai cita-cita penulis.

Medan, Juni 2012 Penulis


(7)

ABSTRAKSI Henni Demitra Tarigan

Liza Erwina, SH. M.Hum (Pembimbing I)∗∗ Raiqoh Lubis, SH. M.Hum (Pembimbing II)∗∗

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗

Dosen Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

Anak dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus di jaga dan dilindungi. Untuk itu diperlukan pembinaan dan perlindungan terhadap anak terutama dari segi batas usia dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana. Berbagai hukum positif di indonesia telah menjamin perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap anak salah satunya perlindungan terhadap batas usia dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dimana didalam Pasal 4 ayat (1) dimana diatur batas usia anak dalam penjatuhan pidana sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan meminta UU tersebut untuk diuji secara materil mengeni batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana?, Kedua Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif yakni. Data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situ internet, putusan pengadilan serta bahan-bahan lainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Metode yang digunakan Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Analisa yang digunakan Analisa Kualitatif.

Perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak telah dijamin dalam Instrumen Nasional maupun Internasional, yang pada dasarnya menjamin hak-hak anak meliputi berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak dan Aministrasi bagi Anak (The Beijing Rules).

Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak dalam proses penanganan Anak pelaku tindak pidana dimintakan untuk dinaikkan menjadi 12 tahun, karena usia 8 tahun dianggap masih terlalu rendah dan tidak memberikan perlindungan terhadap anak dibandingkan dengan negera-negara lain Sehubungan dengan itu, maka saran yang diberikan antara lain, perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana perlu diatur dalam perundang-undangan khusus mengenai batas usia anak dalam pertanggungjawaban tindak pidana agar lebih jelas dan terperinci.


(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

ABSTRAKSI... iii

KATA PENGANTAR... iv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Keaslian Penulisan... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 10

E. Tinjauan Kepustakaan... 11

1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan... 12

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Polotik Hukum Pidana... 24

3. Kewenangan Uji Materil MK... 31

F. Metode Penelitian... 32

G. Sistematika Penulisan... 33

BAB II. UNDANG-UNDANG NO.3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DIKAITKAN DENGAN PRINSIP PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA... 35

A. Perlindungan Anak dalam Bebagai Instrumen Hukum Internasional dan Hukum Nasional... 35

1. Instrumen Hukum Internasional... 37


(9)

B. Perlindungan Anak Pelaku TindaK Pidana dalam UU No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak... 55

1. Tahap Pemeriksaan Penyidikan... 55

2. Tahap Pemeriksaan Penunututan... 65

3. Tahap Pemeriksaan Persidangan... 73

C. Kelemahan UU No. 3 Tahun 1997 Dikaitkan Dengan Perlindungaan Terhdap Anak... 80

BAB III. IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-VIII/2010)... 92

A. Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak... 92

1. Pemohon dan Dasar Permohonan... 97

2. Permohonan yang diajukan Pemohon... 101

3. Pertimbangan Hakim MK... 103

4.Putusan Hakim MK... 105

B. Implikasi Uji Materil tentang Batas Usia Anak sebagai Dasar Penghapusan Pidana bagi Anak Pelaku Tindak Pidana... 108

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN... 129

A. Kesimpulan... 129

B. Saran... 130


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatian dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.1

Berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik

1

http://Rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-undang-undang-di-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmalawati-widarsh-mh/ diakses tanggal. 24 April 2012 . Jam. 12.00


(11)

ABSTRAKSI Henni Demitra Tarigan

Liza Erwina, SH. M.Hum (Pembimbing I)∗∗ Raiqoh Lubis, SH. M.Hum (Pembimbing II)∗∗

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

∗∗

Dosen Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

Anak dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus di jaga dan dilindungi. Untuk itu diperlukan pembinaan dan perlindungan terhadap anak terutama dari segi batas usia dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana. Berbagai hukum positif di indonesia telah menjamin perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana. Salah satunya adalah UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Di dalam undang-undang ini memberikan perlindungan terhadap anak salah satunya perlindungan terhadap batas usia dalam penjatuhan pidana terhadap anak, dimana didalam Pasal 4 ayat (1) dimana diatur batas usia anak dalam penjatuhan pidana sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan meminta UU tersebut untuk diuji secara materil mengeni batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana.

Adapun yang menjadi permasalahan adalah Pertama Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana?, Kedua Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif yakni. Data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situ internet, putusan pengadilan serta bahan-bahan lainya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Metode yang digunakan Library Research (Penelitian Kepustakaan) dan Analisa yang digunakan Analisa Kualitatif.

Perlindungan terhadap anak dalam proses Peradilan Anak telah dijamin dalam Instrumen Nasional maupun Internasional, yang pada dasarnya menjamin hak-hak anak meliputi berbagai kebebasan dan hak asasi anak, serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak dan Aministrasi bagi Anak (The Beijing Rules).

Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak dalam proses penanganan Anak pelaku tindak pidana dimintakan untuk dinaikkan menjadi 12 tahun, karena usia 8 tahun dianggap masih terlalu rendah dan tidak memberikan perlindungan terhadap anak dibandingkan dengan negera-negara lain Sehubungan dengan itu, maka saran yang diberikan antara lain, perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana perlu diatur dalam perundang-undangan khusus mengenai batas usia anak dalam pertanggungjawaban tindak pidana agar lebih jelas dan terperinci.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Anak adalah “buah hati sibiran tulang”, demikian ungkapan masyarakat melayu dalam mengekspresikan begitu pentingnya eksistensi seorang anak bagi kelangsungan hidup mereka. Anak seyogianya dipandang sebagai aset berharga suatu bangsa dan negara di masa mendatang yang harus dijaga dan dilindungi hak-haknya. Hal ini dikarenakan bagaimanapun juga di tangan anak-anak lah kemajuan suatu bangsa tersebut akan ditentukan.

Semakin modern suatu negara, seharusnya semakin besar perhatian dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh kembang anak-anak dalam rangka perlindungan. Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak meliputi berbagai aspek kehidupan, yaitu aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam maupun aspek hukum.1

Berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial dan ekonomi. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik

1

http://Rusmilawati.wordpress.com/2010/01/25/perlindungan-anak-berdasarkan-undang-undang-di-indonesia-dan-beijing-rules-oleh-rusmalawati-widarsh-mh/ diakses tanggal. 24 April 2012 . Jam. 12.00


(13)

sengaja maupun tidak sengaja sering juga, anak melakukan tindakan atau berprilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan arus yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagai orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan prilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, prilaku, atau penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

Begitu banyak kejahatan yang berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Salah satunya adalah seperti kejahatan yang pernah dilakukan oleh anak di bawah umur yang lebih dikenal dengan kasus Raju. Karena berkelahi di sekolah, akhirnya masuk tahanan dan disidang. Anak yang belum genap berusia 9 tahun ini mengalami trauma akibat peradilan yang harus dijalaninya. Sementara itu kasus ini terus berjalan dengan dalih mengikuti prosedur. Bocah kelas 3 (tiga) SD bernama lengkap Muhammad Azuar yang lebih akrab disapa dengan panggilan Raju. Kasus Raju memang membuat kita terhenyak. Bagaimana mungkin anak dibawah umur itu didudukkan sebagai pesakitan di persidangan, dipaksa


(14)

menyimak tuntutan, dan ditahan bersama para tahanan dewasa ? “Aku lihat mereka pakai baju hitam, di lehernya warna merah,” kata Raju, saat menggambarkan pakaian seorang hakim tunggal yang mengadilinya.

Persoalannya sebenarnya sangat sederhana, perkelahaian antar bocah yang dimulai dari olok-olok (bullying). Raju sendiri tidak lebih dari anak nakal, sebagaimana dibenarkan bocah-bocah desa itu. “Wah, Raju dan abanganya itu sering memukul kita. Coba tanya anak-anak disini, pasti mereka pernah di tokoki atau dijitak olehnya,” kata anak itu. Raju dan Ermansyah (Eman) pun terlibat perkelahian dengan Eman, meski memiliki usia di atas Raju, Eman, anak penderas nira itu, kalah otot dibanding Raju yang dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Wajar saja jika Eman malah ditindih Raju, dan perutnya berkali-kali dihajar lutut adik kelasnya itu. Usaha damai pun sudah dilakukan, Sudah sendiri membenarkan, pada 31 Agustus sore, rumahnya dikunjungi Ani Sembiring dan anaknya, Eman. Saat itu, Ani memberitahukannya soal perkelahian itu. Raju mengakui, perkelahian itu karena terus diejek Eman. “Raju juga luka-luka. Bibirnya sampai pecah, kok,” kata Saidah. Saidah mengaku telah membawa Raju berobat sampai mengeluarkan uang Rp 75.000, hanya saja saat itu Ani dan Eman datang lagi keesokan harinya dan mengaku menolak. Upaya damai juga dilakukan dan tidak berhasil yang mengakibatkan kasus ini harus diselesaikan hingga dalam peradilan.2

2

Diakses tanggal 2 Mei 2012. Jam . 15.00


(15)

Kasus Raju ini adalah salah satu kasus kejahatan anak yang diakibatkan oleh faktor lingkungan, baik keluarga maupun lingkungan tempat anak sering bermain, baik di sekolah maupun lingkungan tempat anak tinggal dan bertumbuh.

Menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak hrhfhhfkurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar.

Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakukan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak.


(16)

Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkermbangan fisik, mental, dan sosial anak.3

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak yang belum dewasa sampai anak-anak-anak-anak bersangkutan menjadi dewasa. Orang tua merupakan yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 9 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak).4 Orang tua yang melalaikan kewajiban tersebut dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya, yang selanjutnya ditunjuk sebagai orang atau badab sebagai wali.5

Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena mereka tidak mungkin diperlukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian Pencabutan tersebut tidak menghapuskan kewajiban untuk membiayai sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya.

3

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, PT. Djambatan, Jakarta, 2007, hlm.11-12

4

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm.1

5


(17)

terhadap anak pun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikelurkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.6

Penanganan perkara pidana anak, di samping berlaku Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 KUHP (Pasal-pasal ini telah dicabut dan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1997), beberapa ketentuan dipergunakan sebagai pedoman yaitu: Peraturan Menteri Kehakiman No. M.06-UM.01 Tahun 1983, tanggal 16 September 1983 yang mengatur tata tertib persidangan anak. Persidangan dilakukan tertutup untuk umum, sementara putusan dinyatakan dalam sidang sidang terbuka untuk umum. Juga ditetukan bahwa hakim, jaksa penuntut umum, dan penasehat hukum bersidang tanpa toga, dan pemeriksaan dilakukan dengan kehadiran orangtua/wali/orangtua asuh. Surat edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1987, tanggal 17 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak, menentukan bahwa dalam perkara pidana anak diperlukan penelitian pendahuluan mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, menyangkut lingkungan, pengaruh dan keadaan anak yang melatarbelakangi tindak pidana itu. Juga diharapkan agar hakim memperdalam pengetahuan literatur, diskusi, dan sebagainya.7

Karena masi sangat sering di temukan dalam proses persidangan anak di pengadilan dimana para Hakim, Jaksa maupun Penasehat Hukum yang masih menggunakan seragam lengkap mereka, layaknya sedang menjalani proses persidangan orang dewasa. Contohnya seperti yang terjadi pada proses

7


(18)

persidangan Raju dimana Hakim masih mengenakan seragam lengkap mereka, yakni toga.

Terhadap khasus-khasus yang muncul adakalanya Anak berada dalam status dan/atau Korban, sehingga Anak sebagai Saksi dan/atau Korba juga diatur dalam Undang-Undang ini. Khusus mengenai Sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan usia Anak yaitu bagi Anak yang masih berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dujatuhkan tindakan dan pidana.

Menurut pertimbanagan hukum, anak dapat dikategorikan sebagai “Anak Nakal” bukan merupakan proses tanpa prosedur yang dapat dijustifikasi oleh setiap orang. Pemberian kategori “Anak Nakal” merupkan justifikasi yang dapat dilakukan melalui sebuah proses peradilan yang standarnya akan ditimbang dan dibuktikan di muka hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 akan diujimaterikan oleh Mahkamah Konstitusi pertama kali pada 25 Januari 2010, berdasarkan permohonan dari Komisi Perlindungan Anak dan Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan. Dimana pengujian UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini mencakup sejumlah Pasal antara lain Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, dan Pasal 31 ayat (1). Mereka mengganggap anak-anak tidak bisa diminta bertanggungjawab terhadap pidana yang mereka lakukan, karena itu akan menjadi tanggung jawab orangtuanya. Untuk itu, hukuman terhadap anak-anak tersebut seharusnya bermodalkan rasa kasih sayang dan tidak menggunakan UU


(19)

Pengadilan Anak yang memberikan stigmatitasi “anak nakal” yang dianggap melakukan tindak pidana.

Undang-Undang Pengadilan Anak juga dinilai melanggar hak konstitusionalitas yakni asas legalitas dan bisa mengakibatkan pemidanaan anak-anak yang dianggap melanggar adat-isitiadat setempat. Di samping itu, Pemohon juga mengemukakan bahwa batas usia umur anak sekurang-kurang delapan tahun yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah terlalu rendah dan tidak memenuhi rasa keadilan serta melanggar hak konstitusional anak. Adapun tujuan dari perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Lembaran Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) adalah agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan bagi kepentingan terbaik Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus generasi penerus bangsa berikutnya.8

8

http:www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-indopos/66-indopos/9332-linda-uupengadilan-anak-banyak-langgar-hak-anak.html. Diakses tanggal 18 April 2012. Jam . 15.00

B. Permasalahan

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Dapat juga dikatakan secara singkat bahwa “tiada suatu penelitian tanpa adanya suatu masalah.” Selain itu, pokok materi pembahasan dan tujuan dari penelitian ini tergambar dari permasalahan yang dikemukakan oleh penulis.


(20)

Penulis membatasi masalah yang menyangkut penulisan skripsi ini untuk mendapatkan dan mendekati nilai objektif dalam pemasalahan tersebut, sebagai berikut :

1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana ? 2. Apakah Implikasi Uji Materil mengenai batas usia anak dalam proses

penanganan anak pelaku tindak pidana ?

C. Keaslian Penulisan

Penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya dalam hal penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya. Dalam menyusun skripsi ini pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik dari liteture yang diperoleh penulis dari perpustakaan dan media massa baik cetak maupun media elektronik yang akhirnya penulis tuangkan dalam skripsi ini.

Kemudian setelah penulis memeriksa judul-judul skripsi yang ada di perpustakaan Fakultas Hukum USU, maka judul mengenai Implikasi “Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana” belum ada yang mengangkatnya, atas dasar itu penulis dapat mempertanggungjawabkan keaslian skripsi ini.

Penulis juga menggunakan tata bahasa yang yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bahasa Inggris yakni dengan mengunakan


(21)

kamus bahasa Indonesia dan kamus bahasa Inggris yang telah diakui di Indonesia tentunya.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

Sebagaimana lazimnya dalam hal penulisan suatu skripsi ataupun karya tulis ilmiah yang menjadi salah satu yang harus diperhatikan adalah tujuan penulisan. Adapun hal yang menjadi tujuan dari pada skripsi ini adalah :

1. Apakah Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah memberikan perlindungan kepada anak pelaku tindak pidana. 2. Untuk mengetahui Implikasi atau Dampak Mengenai Batas Usia Anak

Dalam Proses Penanganan Anak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010.

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Secara Teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan baru kepada semua pihak baik masyarakat pada umumnya maupun para pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan kebajikan terhadap penegakan hukum perlindungan anak berhadapan dengan hukum.


(22)

Penelitian skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga para aparat h penegak hukum/pemerintah tentang penegakan hukum dalam hal anak yang berhadapan dengan hukum.

E. Tinjauan Pustaka

1. Latar Belakang Anak Melakukan Kejahatan

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan, kenakalan mereka, boleh di bilang sudah menjurus ke tindakan kriminal.9

9

Wawan Tunggal, Hukum Bicara, Milena Populer, Jakarta, 2001, hlm. 137.

masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, mekanime, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern sangat kompleks itu menjadi tidak mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi menyebabkan banyak kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik, baik konflik eksternal yang terbuka, maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya, sebagai dampaknya orang lalu mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan kepentingan pribadi, kemudian menggangu dan merugikan pihak lain. Kiranya tak ada suatu perbuatan yang tidak mempunyai sebab-sebab. Dimana ada asap, disitu ada api kata orang. Tanpa mempelajari sebab-sebab kejahatan sulitlah untuk mengerti


(23)

mengapa suatu kejahatan telah terjadi, apalagi untuk menentukan tindakan apakah yang tepat dalam menghadapi para penjahat.10

Kenakalan anak-anak di bawah umur, kian hari kian meningkat. Bahkan Kenakalan mereka, boleh dibilang sudah menjurus ke tindak kriminal. Menurut W.A. Bonger11

Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency”, yang diartikan dengan anak cacat sosial. Romli Atmasasmita

menyatakan bahwa kejahatan adalah kejahatan adalah merupakan perbuatan yang immoral dan a-social yag tidak dikehendaki oleh masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat. Pada dasarnya masyarakat tidak menghendaki adanya perbuatan tersebut, dan seandainya itu terjadi harus dikenakan dengan sanksi. Tetapi tidak halnya dengan kejahatan yang dibuat oleh anak yang masih di bawah umur, mereka tidak boleh dengan begitu saja diperhadapkan dengan saksi yang tegas sama halnya dengan orang dewasa. Mengingat mereka masih anak di bawah umur harus dilindungi sebagai orang yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

12

10

Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT Pradyna Paramita, Jakarta, 1991, hlm. 34 .

11

Chainur Arrasjid, Suatu Pikiran Tentang Psikologi Kriminal, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 27.

mengatakan bahwa

deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

12

Juni 2012. Jam 12.00


(24)

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 menentukan bahwa Anak Nakal adalah: (a) Anak yang melakukan tindak pidana; (b) Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.13

13

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Dari dua pengertian Anak Nakal tersebut di atas, yang diselesaikan melalui jalur hukum hanyalah Anak Nakal dalam pengertian huruf a di atas, yaitu anak yang melakukan tindak pidana. KUHP tidak mengenal istilah Anak Nakal dari Pengertian huruf b di atas, karena KUHP mengatur tentang tindak pidana.

Beberapa waktu terakhir ini, banyak terjadi kejahatan-kejahatan atau prilaku jahat dari masyarakat. Dari berbagai mass media, baik elektronik maupun cetak, kita selalu mendengar dan mengetahui adanya kejahatan atau prilaku jahat yang dilakukan oleh anggota masyarakat. Pelaku kejahatan atau pelaku perilaku jahat di masyarakat tidak hanya dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anggota masyarakat yang masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai kejahatan anak atau perilaku jahat anak.

Kita ketahui bersama bahwa kenakalan anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada batas-batas yang hars dipatuhi, sehingga suatu kenakalan masih relevan untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri (selft identification). Bila batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk kedalam ranah hukum pidana.


(25)

Salah satu kenakalan anak yang termasuk dalam kategori perbuatan tindak pidana, salah satunya adalah Pencurian 6 (enam) Buah Jagung Oleh Anak di bawah Umur yang terjadi di Kabupaten Magetan. Motif para terdakwa mencuri beberapa jagung hanya ingin memakan jagung tersebut yang ada di kebun milik korban, meskipun demikian perbuatan para terdakwa merupakan kategori Tindak Pidana Pencurian karena mengambil barang (jagung) tanpa seijin dari pemiliknya. Walaupun terdakwa masi anak-anak di bawah umur, namum pemilik kebun jagung merasa dirugikan karena beberapa jagung miliknya telah diambil para terdakwa dan tindakan ini termasuk tindakan melawan hukum karena merugikan kepentingan orang lain, maka wajar apabila pemilik jagung tersebut melaporkan perbuatan para terdakwa kepada pihak yang berwajib.14

Selain kasus yang pencurian yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur di Kabupaten Magetan, ada juga kasus tindak pidana anak yang menimpa Beny Dwi Yunanto, Warga Dusun Ngrajun, Desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kab. Kulonprogo, DIY mirip kasus yang dialami Muhammad Azwar alias Raju (8) di Sumatera Utara. Dia terlibat kasus pemerasan secara berlanjut.. Hanya saja kasusnya tidak banyak disorot.15

Banyak pakar mengungkapakan bahwa sebab-sebab terjadinya kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut. Secara teoritis upaya Masih banyak kasus-kasus Kenakalan Anak yang di sebabkan dari berbagai faktor.

14

15

Jam. 19.00


(26)

penanggulangan masalah kejahatan termasuk prilaku kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial, sesungguhnya titik berat terarah kepada menggungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut merupakan ruang lingkup dari pembahasan kriminologi.16

Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu : motisvasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.

Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diurikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbuatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motifasinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan “motivasi” itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar maupun tidak secara tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

16

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010, hlm. 119.


(27)

Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapat-pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak :17

1. Yang termasuk motivasi intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah:

a. Faktor Intelegensia ; b. Faktor Usia ;

c. Faktor Kelamin ;

d. Faktor kedudukan anak di dalam keluara. 2. Yang termasuk motivasi ekstrnsik adalah :

a. Faktor rumah tangga ;

b. Faktor pendidikan dan sekolah ; c. Faktor pergaulan anak ;

d. Faktor mass media. 1. Motivasi Intrinsik Kenakalan Anak

a) Faktor Itelegentia

Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak deliquent ini pada umumnya mempunyai intelegentia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (pretasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delikuen jahat.

17

15.00


(28)

b) Faktor Usia

Stpehen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor the consation of crime” (usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting didalam sebab-musabab timbulnya kenakalan.

c) Faktor Kelamin

Di dalam penyidikannya Paul W. Tappan mengungkapkan pendapatnya, bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.

Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga kualitas kenakalannya. Seringkali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik media cetak maupun media elektronik bahwa kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan misalnya melakukan persetubuhan di luar perkawinan sebagai akibat dari pergaulan bebas.


(29)

Yang dimaksud dengan kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga ini, De Creef telah menyelidiki 200 anak narapidana kemudian menyimpulkan bahwa, kebanyakan mereka berasal dari exteerm position in the family, yakni : first born, last born dan only child. Sedangkan hasil penyelidikan oleh Glueck di Amerika Serikat, dimana didapatkan data-data menunjukan bahwa yang paling banyak melakukan kenakalan adalah anak ketiga dan keempat, yakni dari 961 orang anak nakal, 31,3% di antaranya adalah anak ketiga dan keempat ; 24,6% anak kelima dan seterusnya adalah 18,8%. Namun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Noach terhadap deliquenci dan kriminalitas di Indonesia, dimana Beliau telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquency dan kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan satu anak tunggal atau anak wanita atau dia satu-satunya di antara sekian saudara-saudaranya (kakak atau adik-adiknya).

Hal ini dapat dipahami karena kebanyakan anak tunggal sangat dimanjakan oleh orangtuanya dengan pengawasan yang luar biasa, pemenuhan kebutuhan yang berlebih-lebihan dan segala permintaanya dikabulkan.

2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak.

Motifasi ekstrinsik dan kenakalan anak, meliputi a) Faktor Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali.


(30)

Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merugikan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang tidak baik akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya kejahatan deliquency itu sebahagian juga berasal dari keluarga.

Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya deliquency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.

b) Faktor Pendidikan dan Sekolah

Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku (character). Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.

Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga anak


(31)

menjadi delikuen. Hal ini disebabkan karena anak-anak yang memasuki sekolah tidak semua baik, misalnya penghisap ganja cross boy dan cross girl yang memberkan kesan kebebasan tanpa kontrol dari semua pihak terutama dalam lingkungan sekolah. Di sisi lain, anak-anak yang masuk sekolah ada yang berasal dari keluarga yang kurang memperhatikan kepentingan anak dalam belajar yang kerap kali berpengaruh pada temanya yang lain. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa sekolah merupakan tempat pendidikan anak-anak dapat menjadi sumber terjadinya konflik-konflik psikologis yang pada prinsipnya memudahkan anak menjadi delikuen.

c) Faktor Pergaulan Anak

Harus disadari bahwa betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan pergaulan anak, terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjatuhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultural baru yang sudah delikuen sifatnya.

Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak tidak suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini menjadi delikuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh ekternal yang menekan dan memaksa sifatnya.


(32)

Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland (1978) mengembangkan teori Association Diffrential yang menyatakan bahwa anak menjadi delikuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sebagai sarna yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu semakin luas anak bergaul, semakin intensif relasinya dengan Anak Nakal, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi deferensial tersebut dan semakin besar pula kemungkinan anak tadi benar-benar menjadi nakal dan kriminal.

Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik anak agar bersikap formal dan tegas supaya mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari lingkungan pergaulan yang kurang baik.

d) Pengaruh Mass-media

Pengaruh mass-media pun tidak kalah besarnya terhadap perkembangan anak. Keinginan yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu senggangnya dengan baca-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik. Demikian pula tontonan yang berupa gambar-gambar porno akan memberikan rangsangan seks terhadap anak. Rangsangan seks tersebut akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa anak.

Mengenai hiburan film (termasuk VCD) ada kalanya memiliki dampak kejiwaan yang baik, akan tetapi hiburan tersebut dapat memberikan pengarruh


(33)

yang tidak mengguntungkan bagi perkembangan jiwa anak jika tontonannya menyangkut aksi kekerasan dan kriminalitas, misalnya film detektif yang memiliki figur penjahat sebagai peran utamanya serta film-film action yang penuh dengan adegan kekerasan dengan latar belakang balas dendam. Adegan-adegan film tersebut akan dengan mudah mempengaruhi perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Kondisinya yang detruktif ini dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak.

Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakulakan adalah dengan cara mengadakan penyensoran film-film yang berkualitas buruk terhadap psikis anak dan mengarahkan anak pada tontonan yang lebik menitikberatkan aspek pendidikan ; mengadakan ceramah melalui mass-media mengenai soal-soal pendidikan pada umumnya ; mengadakan pengawasan terhadap peredaran dari buku-buku komik, majalah-majalah, pemasangan-pemasangan iklan dan sebagainya.18

18

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm 16 Untuk itu, semua perlakuan terhadap Anak Nakal sangat perlu diperhatikan. Dimana keluarga mempunyai kedudukan yang sangat fundamental dalam pembentukan pribadi anak. Linkungan keluarga potensial membentuk pribadi anak untuk hidup secara lebih bertanggungjawab. Bila usaha pendidikan dalam keluarga gagal maka anak cenderung melakukan kenakalan, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat tempat anak bergaul.


(34)

Walaupun kenakalan anak merupakan perbuatan anti sosial yang terdapat di mana-mana, namun kenakalan anak itu merupakan gejala umum yang harus diterima sebagai fakta sosial. Kenakalan anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Reaksi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan dan kenakalan anak acapkali menimbulkan masalah baru. Masyarakat tidak segan-segan main hakim sendiri apabila ada yang tertangkap tangan, penjahat dipukul sampai babak belur, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Tindakan masyarakat yang tidak terkendali merupakan pertanda bahwa nilai-nilai yang ada di masyarakat sudah mengendor. Selain main hakim sendiri, sikap masyarakat yang patut disesalkan yaitu tidak melaporkan tindak pidana kepada pihak yang berwajib, yang kemungkinan besar akan mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan yang terungkap, yang mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan lainnya.

Anak Nakal seyogianya diperlakukan berbeda dengan orang dewasa, hal ini didasarkan pada perbedaan fisik, mental, dan sosial. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik, mental, dan sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak Nakal perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya, sehingga dalam penanganannya perlu dibuat KUHP dan KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak. Perhatian terbesar dalam tindakan perlindungan anak adalah perkembangan anak, agar anak dapat berkembang dan tumbuh dengan baik dalam berbagai sisi kehidupannya


(35)

(mental, fisik, dan sosial), yang kemudian sangat diharapkan dapat menghasilkan kualitas manusia dewasa yang ideal.

Anak Nakal merupakan bagian masyarakat yang tidak berdaya baik secara fisik, mental, dan sosial sehingga dalam penanganannya perlu perhatian khusus. Anak-anak yang terlindungi dengan baik menciptakan generai yang berkualitas, yang dibutuhkan demi masa depan bangsa. Karena alasan kekurangmatangan fisik, mental, dan sosialnya, anak membutuhkan perhatian dan bimbingan khusus, termasuk perlindungan hukum baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang diajmin berdasarkan hukum dan sarana lain, untuk tumbuh dan berkembang baik fisik, mental, dan sosial.

2. Kejahatan Anak dari Perspektif Politik Kriminal

Kejahatan tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembangnya peradaban umat manusi, maka akan semakin mewarnai corak bentuk kejahatan yang muncul dalam kehidupan ini.19 Kejahatan biasanya membayangi kehidupan manusia karena ia merupakan masalah sosial dan akan tetap menjadi urusan dan melekat pada manusia sepanjang masa.20

19

Mahmud mulyadi dan feri antoni surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi, PT. Sofmedia, Jakarta, 2010, halaman 5.

20

Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang teroristme, CV. Mandar Maju, Bandung 2009, halaman 20.

Munculnya banyak bentuk kejahatan-kejahatan baru yang begitu kompleks, sesungguhnya merupakan konsekuensi yang logis dari


(36)

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menimbulkan efek positif maupun efek negatif.

Kejahatan itu harus ditanggulangi karena apabila tidak, kejahatan dapat membawa akibat-akibat :

1. Menganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan 2. Mecegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.

Upaya penanggulangan kejahatan (tindak pidana), diperlukan strategi dan kebijakan tetentu untuk dapat memberantasnya, minimal mengurangi dan menghambat perkembangannya.21

Sudarto menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disebut dengan kebijakan kriminal, kebijakan kriminal tersebut mempunyai tiga arti, yaitu :22

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

21

Ibid

22

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung 1996 halam 1


(37)

Beliau juga memberikan pengertian singkat, bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.

Uraian-uraian sebelumya lebih merupakan upaya pemahaman tentang apa dan bagaimana serta latar belakang terjadinya perilaku delikuensi anak, baik secara teoretik maupun empiris. Pemahaman demikian sangat penting dalam rangka melandasi pemikiran-pemikiran ke arah upaya penanggulangan terhadp gejala yang berupa delikunsi anak itu. Tanpa dilandasi pemahaman teoretik dan empiris terhadap gejala perilaku delikunsi anak rasanya akan kurang “trep” dengan permasalahan yang sebenarnya ada dalam gejala itu. Berbekal atas pemahaman itulah, maka selanjutnya dala uraian pada bagian ini dibicarakan permasalahan penanggulangan gejala sosial yang berupa kejahtan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya.23

Upaya kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penangulangan kejahatan termasuk bidang “kebijakan kriminal”. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial” yang terdiri dar kebijakan/upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto)

23

Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penangulangannya), PT citra Adtiya Bakti, Bandung, 1997, hlm 71.


(38)

harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “penal policy” atau “penal law enforcement policy” yang fungsionalisasi/oprasionalisasinya melalui beberapa tahap :24

24

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Fajar Interpratma Offset, Jakarta, 2008, hlm 79.

1. tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial); 3. tahap eksekusi (kebujakan eksekutif/administratif).

Dengan adanya tahap formulasi, maka upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan yahap paling starategis dari “penal policy”. Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahtan pada tahap aplikasi dan ekseskusi. Beberapa fenomena legislatif yang mengandung masalah dan dapat menghambat upaya penanggulangan kejahatan, salah satunya adalah : UU Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 yakni mengenai Pencabutan Pasal 45, 46, 47 KUHP, adanya pidana bersyarat dan pidana pengawasan yang hakikatnya sama, tidak ada syarat untuk pidana pengawasan, dan peluang menggunakan “pidana bersyarat” dalam undang-undang ini lebih kecil dibandingkan dengan KUHP.


(39)

Berbicara mengenai penanggulangan kejahatan secara lebih jauh, ada baiknya kita memulai dengan apa yang disebut politik kriminal.25

A. Politik Kriminal

Politik kriminal merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejatahatan. Sudarto (1977) daalm bukunya berjudul Hukum dan Hukum Pidana mengemukakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ia merupakan gejala yang dinamis, selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat luas dan kompleks, ia merpakan socio-political problems.

Apabila demikian halnya, maka pemahaman akan hubungan kolerasional antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat dengan segala aspeknya (sosial, ekonomi, politik, kultur), merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini tampak dari salah satu kesimpulan dari Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders ke 4 di Kyoto Jepang, diamana menyatakan :

25


(40)

1. The prevention of crme and the treatment of offenders cannot be effectively undertaken unless it is closely and inti mately related to social and economic trends.

Pernyataan ini kemudian diperkuat lagi dalam Deklarasi Caracas yang dihasilkan Kongres PPB mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offenders ke 6 tahun 1980 di Caracas, diamana menyatakan :

2. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and culture values and social change, as well as in the context of the new international economic order.

Penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti (a) ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; dan (b) ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

B. Politik Kriminal : Perilaku Delikuensi Anak

Apabila keseluruhan uraian di atas, dikaitkan dengan masalah perilaku delikuensi anak, maka secara umum permasalahannya tidaklah jauh berbeda. Hanya saja karena asas-asas yang mendasar kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda, termasuk perilaku delikuensi anak, itu berbeda dengan kejahatan orang dewasa, maka ada satu kebutuhan untuk sedikit melakukan modifikasi langkah-langkah penal mau pun non penal dalam konteks politik kriminal bagi kejahatan uisa muda dan perilaku delikuensi anak.1

1


(41)

Pertama, dalam kaitannya dengan kebutuhan akan keterpaduan (integralitas) antara kebijakan penanggulangan kejahatan dengan politik sosial dan politik penegakan hukum, maka dalam konteks kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, hal itu perlu dimodifikasi, bukan hanya politik kesejahteraan masyarakat dan politik perlindungan masyarakat secara umum, melainkan diarahkan secara khusus pada politik kesejahteraan anak dan politik perlindungan hak-hak anak, baik anak pada umumnya maupun anak yng menjadi korban kejahatan orang dewasa (negelted children) atau anak pelaku delikuen.

Kedua, dalam kaitan dengan penggunaan penal dan non penal, khusus untuk kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, kondisinya tidak berbeda, hanya saja penggunaan sarana non penal seharusnya diberi porsi yang lebih besar daripada penggunaan sarana penal. Bila saja hal ini disepakati, maka berarti ada kebutuhan dalam konteks penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak, pemahaman-pemahaman yang berorientasi untuk mencari faktor-faktor kondusif yang menyebabkan timbulnya kejahatan usia muda dan perilaku delikuensi anak (faktor kriminogen). Di sinilah muncul peranan dari ilmu kriminologi, sebagai ilmu yang bersifat ideografis sekaligus nomothetis itu untuk menyumbangkan jasanya bagi pemaham-pemaham di atas. Kriminologi melalui kegiatan penelitian-penelitian baik yang bersifat klasik, positivis maupun interaksionis, kiranya akan banyak memberikan sumbangan dalam rangka memperoleh pemahaman-pemahaman tentang hakikat dan latar belakang timbulnya kejahatan usia muda dan prilaku delikuensi anak itu. Disamping perannya di bidang penelusuran dan penemuan sarana-sarana


(42)

non-penal, pendekatan kriminologi itu diperlukan pula dalam konteks penggunaan sarana penal. Seperti diketahui bahwa dalam konteks sarana penal, dikenal adanya permasalahan tentang hukum pidana dalam arti ius costitum dan ius costituendum. Keduanya bersifat saling berkaitan dan menunjang dalam pembicaraan tentang penggunaan sarana penal dalam kebijakan penanggulangan kejahatan pada umumnya dan perilaku delikuensi anak pada khususnya. Khusus dalam kaitan dengan yang terakhir, tampaknya pemahaman terhadap dua masalah itu menjadi semakin penting saja, mengingat bahwa ketentuan yang tertuang dalam sistem hukum kita, masalah pidana anak dan peradilan anak masih merupakan persoalan yang cukup serius.

Atas dasar itulah, maka pembicaraan tentang kebijakan penanggulangan kejahatan usia muda dan perilaku anak pada umunya dan di Indonesia pada khususnya, perlu adanya pemikirang agar kriminologi menempati posisi pentting.

3. Kewenangan Uji Materil Mahkamah Konstitusi

Wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) telah ditentukan dalam Pasal 24C UUD 1945 pada ayat (1) dan (2) yang di rumuskan sebagai wewenang dan kewajiban. Wewenang tersebut meliputi :26

1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik dan

26


(43)

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu didalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen ke-4 tersebut yang memaparkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di samping Mahkamah Agung.27 Ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian apakah materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan UUD.28 sedangkan pengujian atas suatu peraturan lain di bawah Undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan lain-lain dilakukan oleh Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materil.29

1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yakni penelitian yang mempelajari norma-norma hukum.

27

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Lihat Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

28

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi 29

Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Lihat Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1999.


(44)

Penelitian ini menggunakan data skunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan skripsi ini. Dimana peneliti mengkaji aturan-aturan yang mengatur tentang batas usia anak dalam penjatuhan pidana terhadap anak dan perlindungan terhadap anak.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, putusan pengadilan sera bahan-bahan lainya yang berubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Penggumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Researsh

(penelitian kepustakaan) sebagai sumber data dan skunder yakni dengan memepelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan mempelajari serta menganalisis putusan.

4. Analisis DataMenggunakan analisis kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif dari perilaku objek penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah, dalam hal ini adalah penulisan skripsi. Adapun sistematika ini berujuan untuk membantu para pembaca dengan mudah membaca skripsi ini. Penulisan skripsi ini terbagi atas tiga bagian yaitu : Bagian pendahuluan skripsi, bagian isi


(45)

skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian Pendahuluan skripsi ini berisi tentang halaman judul, halaman pengeshan, motto dan persembahan, abstrak dan daftar isi.

Bagian isi skripsi ini terdiri dari empat bab, yaitu :

Bab pertama, merupakan Pendahuluan yang berisikan suatu rincian yang mengemukakan apa yang menjadi dorongan penulis untuk menggambil dan merumuskan permasalahan, yang secara umum berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua, merupakan bab yang berisikan tentang perlindungan anak dalam berbagai instrumen hukum internasional dan hukum naional, perlindungan anak pelaku tindak pidana dalam UU No 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang didalamya membahas tentang tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Begitu juga dengan kelemahan UU No 3 tahun1997 Tentang Pengadilan Anak jika dikaitkan dengan perlindungan terhadap anak.

Bab ketiga, merupakan bab yang berisikan tentang uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang dimana terdapat permohonan dan dasar permohonan, permohonan yang diajukan si pemohon, pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi. Begitu juga dengan implikasi uji materil batas usia anak sebagai dasar penghapusan pidana bagi anak pelaku tindak pidana.

Bab keempat, merupakan bab Kesimpulan dan Saran yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran yang dijadikan bahan masukan


(46)

BAB II

UNDANG-UNDANG NO 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DIKAITKAN DENGAN PRINSIP PERLINDUNGAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

A.Perlindungan Anak Dalam Berbagai Instrumen Hukum Internasional Dan Hukum Nasional

Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai titipan yang diberikan kepada orang tua, selain itu anak merupakan generasi penerus bangsa, yang akan bertanggung jawab atas eksistensi bangsa ini di masa yang akan datang. Tidaklah mengherankan jika ada ungkapan yang menyatakan jika hendak menghancurkan suatu bangsa maka hancurlah generasi mudanya. Sebagai negara yang bijak maka selayaknya hal tersebut dijadikan sebuah peringatan kepada bangsa ini, agar senangtiasa menjaga generasi mudanya dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Pembinaan terhadap generasi muda haruslah selalu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental serta perkembangan sosialnya. Kondisi yang paling memungkinkan guna pencapaian hasil yang optimal atas cita-cita tersebut adalah terciptanya kondisi sosial yang kondusif, dan merupakan tanggung jawab negara dalam menciptakan kondisi semacam itu. Kondisi sosial yang kondusif selalu di tandandai dengan perkembangan perekonomian yang merata di seluruh masyarakat yang ada, dan hal itu sudah tentu harus didukung dengan sebuah sistem hukum yang baik dalam mengawal pembangunan ekonomi yang baik. Realitas sosial menunjukkan bahwa kondisi kondusif tersebut belum dapat diwujudkan oleh pemerintah, di tengah globalisasi yang terus melaju, negara ini


(47)

nampaknya mengalami anomie kondisi di mana sosial kehilangan nilai dan dan patokan-patokan hidup. Pemenuhan ekonomi yang menjadi barometer kesuksesan hidup menyebabkan banyaknya peyimpangan-peyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencapainya, tidak terkecuali juga dilakukan oleh anak yang merupakan generasi muda bangsa ini.

Keadaan seperti itu maka nampaknya penanganan secra hukum terhadap anak harus pula memperhatikan sifat-sifat khas anak. Penanganan terhadap prilaku menyimpang anak merupakan perhatian dunia. Adalah UNICEF badan dunia yang dibentuk oleh PBB yang diperuntukkan untuk menangani anak. UNICEF telah melakuka riset di seluruh dunia guna menemukan bagaimana menangani prilaku menyimpang anak secara universal atau paling tidak menentukan patron yang tepat dalam pembentukan hukum perlindungan bagi anak-anak di seluruh dunia. Namum demekian out put hukum perlindungan anak pada akhirnya digantungkan kepada kebijakan negara. Indonesia sendiri mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturam perundang-undangan tersebut merupakan bagian dari hukum pidana perlindungan anak. Dua regulasi tersebut memiliki peran masing-masing dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak. Pada UU No. 3/1997 berfungsi melindungi anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini anak adalah pelaku tindak pidana tertentu, sedanmgkan UU No. 23/2002 berfungsi melindungi anak dalam konteks anak yang menjadi korban kejahatan. Dengan kedua regulasi tersebut diharapkan dapat menopang upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak.


(48)

Untuk membahas perlindungan terhadap anak secara lebih jelas lagi, maka disini penulis akan memaparkan secara khusus mengenai perlindungan terhadap anak baik secara hukum internasional, maupun perlindungan terhadap anak secara hukum nasional.30

Konvensi Hak Anak menjadi dokumen HAM yang spesifik mengenai hak anak, terlengkap dan telah diratifikasi oleh paling banyak negara peserta (state parties). Sebelum lahir Konvensi Hak Anak, masyarakat internasional telah memiliki dokumen hak anak yang merupakan bahan pertimbangan dilahirkannya Konvensi Hak Anak.

1. Instrumen Hukum Internasional

Melihat situasi buruk atas anak, menyadarkan masyarakat internasional membangun sebuah bangunan dunia yang lebih baik bagi anak (a better place for children). Secara global UNICEF mengembangkan dan mengkampanyekan tesis pembangunan yang pro anak, di mana sudah tiba saatnya bagi bangsa dan negara di dunia meletakkan kebbutuhan dan hak anak dalam pusat strategi pembangunan. Untuk menjamin tegaknya hak-hak anak, pada tahun 1989 PBB menyetujui Konvensi Hak Anak (KHA-UN’s Conventionn on the Rights of the child) yang menegakan jaminan hak-hak anak untuk hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan dan hak partisipasi anak.

31

30

http://justital.Worpress.com/2010/10/17/sinkronisasi-hukum-nasional-terhadap standar-internasional-perlindungan-anak/ Diakses tanggal 2 Mei 2012. Jam. 15.00

31

Muhammad Joni & Zulcaina, Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, halaman 98.


(49)

Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak

(fundamental rights and freedoms of children), serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Dengan demikian, masalah perlindu ngan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Perhatian kepada anak dalam masyarakat internasional memang sedikit dan dapat dilihat dari ditetapkannya sejumlah instrumen internasional yang berkenaan dengan anak. Beberapa diantaranya yang eksplisit menyebut anak dapat dijumpai dalam :

1. 1924 Geneva Declaration of the Rights of the child

2. 1959 UN General Assembly Declaration on Civil and Rights of the Child 3. 1966 Internasional Convenant on Civil and Rights of the Child

4. 1966 Internasional Convenant on Economic, Sosial & Cultural Rights 5. 1989 UN Convenant on the Rights of the Child32

Menurut Arif Gosita, usaha-usaha perlindungan anak ini sebenarnya merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.33

Berbagai dokumen/instrumen Internasional dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak sudah sepantasnya mendapat perhatian semua negara termasuk juga negara Indonesia dan diimplementasikan kedalam berbagai bentuk

32

Nandang Sambas. Op. Cit, hlm. 76 33

Maulana Hassan Wadong, Advokasi Dan Perlindungan Anak, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm.40


(50)

kebijakan perundang-undangan dan kebijakan sosial lainya. Mengabaikan masalah perlindunhan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai cara apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.

Berikut diuraikan prinsip-prinsip perlindungan atas hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam berbagai dokumen/instrumen hukum internasional:

1. Berdasarkan Peraturan-Peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules) secara umum, bahwa remaja adalah seorang anak muda yang menurut sistem hukum masing-masing, dapat diperlukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa. Mengacu pada peraturan di atas, terlihat bahwa, penentuan umur bagi seorang anak/remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing negara. Ini berarti, batas usia anak/remaja untuk masing-masing negara berbeda. “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan batas usia anak, jangan ditetapkan dalam usia yang terlalu rendah. Hal ini, akan berkaitan dengan masalah emosional, mental dan intelektual. Artinya, “Beijing Rules” menganggap, bahwa pada usia yang terlalu rendah, seseorang belum dapat dikatakan dewasa secara emosional, dewasa secara mental dan dewasa secara intelektual, sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara


(51)

pidana.34

a. Pelaksanaan peradilan pidana terhadap anak harus efektif, adil, dan bersifat manusiawi tanpa adanya perbedaan diskriminasi;

Untuk lebih jelasnya Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi peradilan anak (The Beijing Rules) adalah sebagai berikut:

b. Penentuan batas usia pertanggungjawaban pelaku anak berkisar tujuh tahun hingga delapan belas tahun atau lebih tua;

c. Pelaku anak memiliki hak praduga tak bersalah, hak diberitahu akan tuntutannya, hak untuk tetap diam, hak didampingi pengacara, hak kehairan orangtua atau wali, hak untuk menghadapi dan memeriksa sidang saksi-saksi dan hak untuk naik banding ke tingkat berikutnya serta perlindungan privasi;

d. Pemberitahuan penangkapan anak pelaku tindak pidana secepatnya kepada orangtua atau walinya;

e. Pada saat penangkapan pelaku anak harus terhindar dari tindakan kekerasan fisik, bahasa kasar, atau terpengaruh oleh lingkungan;

f. Anak pelaku tindak pidana diupayakan untuk dilakukan pengalihan dari proses formal ke informal oleh pihak yang berwenang yang berkompeten; g. Penahanan sebelum pemutusan pengadilan dilakukan sebagai pilihan

terakhir dan dalam waktu yang singkat;

h. Pelaku yang berada di bawah penahanan sebelum pengadilan, mempunyai hak dan mendapat jaminan pemenuhan hak;

34


(52)

i. Pelaku yang ditahan sebelum putusan pengadilan dipisahan dari orang dewasa;

j. Selama proses pengadilan, pelaku mempunyai hak untuk diwakili oleh seorang penasehat hukum atau untuk memohon bantuan hukum dengan biaya bebas;

k. Orangtua atau wali pelaku anak berhak ikut serta dalam proses peradilan dan berwenang untuk menghadiri persidangan demi kepentingan pelaku; l. Hakim dalam memutuskan perkara anak pelaku tindak pidana harus

memperhatikan laporan penelitian dari lembaga sosial;

m.Hukuman hanya dijalankan sebagai upaya terakhir dan penjara terhadap anak harus dihindarkan dari bentuk penderitaan fisik;

n. Hukuman mati tidak dapat dikenakan pada setiap kejahatan apapun yang dilakukan oleh anak;

o. Anak pelaku tindak pidana tidak boleh menjadi subyek hukuman badan dan mengupayakan tindakan alternatif sebagai hukuman;

p. Pihak yang berwenang secara hukum memiliki kekuasaan untuk mengakhiri proses peradilan pada setiap saat;

q. Pelaku anak sedapat mungkin dihindarkan dari penhanan kecuali terhadap perlindungan secara maksimal terhadap pelaku;

r. Upaya menghindarkan penempatan anak pada Lembaga Pemasyarakatan, jika terpaksa diupayakan sesingkat mugkin;


(53)

s. Pelaku mendapatkan bantua seperti; penginapan, pendidikan, atau latihan keterampilan, pekerjaan atau bantuan lain yang bersifat membantu dan praktis dengan tujuan mempermudah proses rehabilitasi;

t. Anak pelaku tindak pidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan terpisah dengan orang dewasa dan ditahan pada lembaga terpisah;

u. Pelanggar hukum wanita muda ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan terpisah dan patut mendapat perhatian khusus terhadap keperluan dan masalah pribadinya;

v. Demi kepentingan dan kesejahteraan remaja yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan, orangtua atau wali memiliki hak akses untuk mengetahuinya;

w.Adanya penggalangan sukarelawan dan pelayanan masyarakat dalam pembinaan anak pelaku tindak pidana;

x. Pembebasan bersyarat terhadap anak pelaku tindak pidana oleh Lembaga Pemasyarakatan sedini mungkin dan adnya pengawasan dan bantuan terhadap pelaku yang diberi pembebasan bersyarat.

2. Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on teh Right of the Child) Perserikatan Banga-Bangsa 1989:

Melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah mengesahkan Konvensi Hak Anak (UN,s Convention on the Rights of the Child) pada 20 November 1989, yang hingga kini telah mengikat 191 (seratus sembilan puluh satu) negara peserta

(state parties), maka upaya promosi, penyebaran penegakan hak-hak anak digerakkan ke seluruh dunia, utamanya di negara-negara yang telah meratifikasi


(54)

Konvensi Hak Anak. Hak-hak Anak yang dimaktub dalam Konvensi Hak Anak, merupakan sebuah instrumen internasional yang secara hukum mengikat negara-negara peratifikasi untuk mengimplementasikan Konvensi Hak Anak yang terdiri atas 54 (lima puluh empat) pasal itu.35

a. Seorang anak tidak akan dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

Adapun perlindungan terhadap Anak adalah sebagi berikut:

b. Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa kemungkin memperoleh pelepasan/pembebasan (“without possibility of release”) tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 tahun;

c. Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang;

d. Penagkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;

e. Setiap anak yang dirampas kemerdekaanya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;

f. Anak yang diraampas kemerdekaanya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontak dengan keluargaya;

g. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak

35


(55)

memihak, serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya itu;

h. Tiap anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana berhak diperlukan dengan cara-cara:

1. Yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan martabatnya;

2. Yang meperkuat penghargaan/penghormatan anak ada hak-hak asasi dan kebebasan orang lain;

3. Mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk

memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.

i. Tidak seorang anak pun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau “tidak berbuat sesuatu”) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun internasional pada saat perbuatan itu dilakukan;

j. Tiap anak yang dituduh atau dituntut telah melanggar hukum pidana, sekurang-kurangnya memperoleh jaminan-jaminan (hak-hak):

1. Untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum;

2. Untuk diberitahu tuduhan-tuduhan atas dirinya secara cepat dan langsung (“promptly dan directly”) atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya;


(56)

3. Untuk perkaranya diputus/diadili tanpa penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri dan tidak memihak; 4. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah; 5. Apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana, keputusan dan

tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku;

6. Apabila anak tidak memahami bahasa yang digunakan, ia berhak memperoleh bantuan penterjemah secara cuma-cuma (gratis);

7. Kerahasian pribadinya dihormati/dihargai secara penuh pada semua tingkatan pemeriksaan.

8. Negara harus berusaha membentuk hukum, prosedur, pejabat yang berwenang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/diterapkan kepada anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana, khususnya:

1. Menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang tidak mampu melakukan pelanggaran hukum pidana;

2. Apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan terhadap anak tanpa melalui proses peradilan, harus ditetapkan bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati.

i. Bermacam-macam putusan terhadap anak (a.1. perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan, pengawasan, program-progaram pendidikan dan latihan serta pembinaan institusional lainnya)


(1)

pidana khususnya mengenai Batas Usia Anak dalam proses penanganan anak pelaku tindak pidana. Inilah yang menjadi alasan Uji Materil tentang batas usia Anak sebagai dasar Penghapusan Pidana bagi Anak pelaku tindak pidana. Sehingga akan memberikan implikasi yang akan memberikan perlindungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan mental anak sebagai generasi penerus bangsa.125

125


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari Pokok Pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa : Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara keseluruhan dianggap belum mampu memberikan perlindungan sepenuhnya kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.Menurut ketentuan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, anak mempunyai hak konstitusional yang wajib dilindungi serta dipenuhi. Sehingga, keberadaan anak bukan hanya sekedar subjek yang merupakan urusan privat atau urusan domestik atau keluarga, akan tetapi termasuk ke dalam urusan negara.

Batas Usia tanggung jawab Pidana Anak dianggap masi terlalu rendah. Dimana menurut Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1) berbunyi: “ Batas Umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurang 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Oleh sebab itulah, diadakan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai “Batas Usia Anak dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana”.

Berdasarkan pandangan Hukum tersebut, maka batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan


(3)

mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat, artinya inkonstitusional kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai amabang batas minimum pertanggungjawaban pidana

Dengan perubahan batas usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa “implikasi” hukum terhadap batas umur minimum bagi Anak Nakal sebagimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum prnah kawin”.

B. Saran

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus, terkhusus mengenai batas usia anak dalam pertanggungjawaban tindak pidana agar lebih jelas dan terperinci. Perlu adanya pedoman bagi penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tentang prosedur peradilan anak pelaku tindak pidana serta adanya penunjukan Penyidik anak di kepolisian, jaksa penuntut umuum khusus anak dan hakim khusu dalam penaganan anak pelaku tindak pidana.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta: Djambatan Gultom, Maidin, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama. Wuluyadi, Hukum Prlindungan Anak, Bandung, CV Mandar Maju.

Tunggul, Wawan, Hukum Berbicara, Jakarta, PT Dyatama Milena.

Bawengan, Gerson, 1991, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta, PT Pradayna Paramita.

Arrasjid, Chainiur, 1998, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminil, Medan, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU. Sambas, Nandang, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia,

Yogyakarta, Graha Ilmu.

Mahmud Mulyadi dan feri antoni surbakti. Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Koorporasi, PT. Softmedia. Jakarta. 2010.

Masyar, Ali. Gaya Indonesia Menghadang Terorisme. CV. Mandar Maju. Bandung. 2009.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1996.

Hadisuprapto, Pulus, 1997, Juvenile Deliquency (Pemahaman dan Penanggulangannya), Bandung, PT Citra Aditiya Bakti.

Arief, Barda Nawawi, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta, Kencana Media Group.

Joni, M., dan Zulchaina, 1999, Aspek Hukum Perlindungan Atnak dalam Perpektif Konvensi Hak Anak, Bandung : P.T Citra Aditiya Graha. Wadong, Maulana Hasaan, 2000, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,


(5)

Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Bandung, Refika Aditama.

BIT Tamba dan Paramita, 2003, Perlindungan Hak Anak dalam Proses Peradilan Pidana Pada Tahap penyidikan, Jurnal Hukum

Prints, Darwan, 2003, Hukum Anak di Indonesia, Bandung, Citra Aditiya Bakti. Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi Dan Restorative Justice Dalam Hukum

Pidana, Medan, USU Press.

Aziz, Aminah, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan. Andi Hamzah, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Reneka Cipta edisi revisi.

B. Internet

http:www.indopos.co.id/index.php/arsip-berita-indopos/66-indopos/9332-linda-uupengadilan-anak-banyak-langgar-hak-anak.html. Diakses tanggal 18 April 2012. Jam . 15.00

http://justital.Worpress.com/2010/10/17/sinkronisasi-hukum-nasional-terhadap standar-internasional-perlindungan-anak/

standar-internasional-perlindungan-anak/


(6)

http://gagasanhukum.wordpress.com/tag/uu-nomor-3-tahun-1997/.

http: //respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29981/3/Chapter%20II.pdf.

Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP.

Undang-Undang No 4 Tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM.

Udang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perrlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010

Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Sistem Peradilan Anak. Penelitian Dr. M. Hamdan, SH.MH ( Ketentuan Tentang Alasan Pengecualian