PERBANDINGAN PERTUMBUHAN SENGON PADA SISTEM POLA TANAM MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DI HUTAN RAKYAT DESA KOTA AGUNG KECAMATAN TEGINENENG

(1)

TANAM MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DI HUTAN RAKYAT DESA KOTA AGUNG KECAMATAN TEGINENENG KABUPATEN

PESAWARAN

Oleh

Nur Agustini

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

Pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(2)

ABSTRAK

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN SENGON PADA SISTEM POLA TANAM MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DI HUTAN RAKYAT DESA

KOTA AGUNG KECAMATAN TEGINENENG

Oleh

NUR AGUSTINI

Eksploitasi hutan yang berlebihan mengakibatkan menurunnya pro- duktivitas sumber daya hutan, sehingga hutan tidak lagi memberikan manfaat yang optimal. Jika masalah itu tidak diatasi, maka akan terjadi penurunan produksi hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan membangun hutan rakyat di luar kawasan hutan. Sengon merupakan salah satu jenis tanaman kayu komersil yang paling banyak diusahakan pada hutan rakyat. Pemilihan sengon sebagai tanaman utama pada hutan rakyat lebih banyak didasari oleh waktu panen tanaman sengon dengan cara monoklutur dan polikultur. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu untuk membandingkan pertumbuhan sengon yang baik pada sistem pola tanam monokultur dan polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng, serta untuk mendapatkan komposisi jenis tanaman pada pola tanam monokultur dan polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 dengan metode petak ganda, dengan plot 10 m x 10 m. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sengon di hutan rakyat Desa Kota Agung dengan pola tanam monokultur pada jarak tanam 3 m x 3 m lebih baik pertumbuhannya dari pada pola tanam polikultur pada jarak tanam 3 m x 3 m. Hal ini juga yang terjadi pada jarak tanam 2 m x 2 m monokultur lebih baik dari pada 2 m x 2 m polikultur. Komposisi pada pola tanam monokultur hanyalah sengon, sedangkan di pola tanam polikultur tanaman pokoknya adalah sengon, dan tanaman campuran- nya adalah jati, pulai, nangka, mahoni, kayu afrika, kelapa, kakao, dan tanaman pisang.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

SANWACANA ii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

I. PENDAHULUAN 1

A.Latar Belakang 1

B.Rumusan Permasalahan 3

C.Tujuan Penelitian 3

D.Manfaat Penelitian 3

E. Kerangka Penelitian 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 6

A. Hutan Rakyat 6

1.Pengertian Hutan Rakyat………. 6

2.Silvikultur Hutan Rakyat………. 8

3.Peran dan Manfaat Hutan Rakyat……… 8

B. Sengon………. 10

C. Sistem Pola Tanam………... 11

III.METODE PENELITIAN 13

A. Tempat dan Waktu Penelitian 13

B. Alat dan Objek Penelitian 13


(6)

D. Metode Pengambilan Sampel 14

1. Penentuan Sampel 14

2. Pengambilan Sampel Pohon 14

E. Pengamtan Data …... 15

F. Analisis Data………. 16

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

A. Kondisi Geografis 17

B. Kondisi Iklim.. 18

C. Kondisi Masyarakat……….. 18

D. Aksessibilitas……….... 19

E. Sejarah Hutan Rakyat……… 20

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 21

A. Hasil Penelitian………. 21

B. Pembahasan …………... 24

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 28

A. Kesimpulan 28

B. Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29 LAMPIRAN

Tabel 1 –tabel 13………18 - 37


(7)

(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan tekanan yang semakin besar terhadap sumber daya hutan. Eksploitasi hutan yang berlebihan juga meng-akibatkan menurunnya produktivitas sumber daya hutan, sehingga hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Jika masalah itu tidak segera diatasi, maka akan terjadi penurunan produksi hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu. Kondisi seperti ini perlu mendapatkan perhatian yang serius, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan membangun hutan rakyat di luar kawasan hutan.

Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memilki arti dan peran-an penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan, dan ling-kungan hidup. Menurut Simangunsong (2008), hutan rakyat merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam yang berdasarkan inisiatif masya-rakat dan

dikembangkan pada lahan milik masyarakat. Keberadaan hutan rakyat sudah menunjukkan hasil yang positif, baik ditinjau dari sisi ekologi (tata air,

keanekaragaman hayati, pelindung/konservasi tanah) maupun sebagai kontribusi bagi pendapatan rumah tangga petani/masyarakat.


(9)

Pengelolaan hutan rakyat pada umumnya dilakukan pada lahan yang kering atau kurang produktif, yang ditanami tanaman berkayu yang memiliki nilai komersial sehingga dapat memberikan manfaat bagi penduduk. Manfaat tersebut antara lain meningkatnya pendapatan petani hutan rakyat dan dapat memenuhi kebutuhan kayu serta dapat meningkatkan produktivitas lahan milik masyarakat. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan tersebut diper-lukan penerapan teknologi budidaya seperti konsep wanatani (agroforestri), yaitu mengusahakan lahan melalui pengembangan jenis tanaman hutan yang dikombinasikan dengan tanaman pertanian atau peternakan pada lahan yang sama (Indriyanto, 2008).

Sengon (Paraserianthes falcataria) merupakan salah satu jenis pohon unggulan dalam program pembangunan hutan tanaman dan hutan rakyat di Indonesia

khususnya di Pulau Jawa. Sengon memiliki nilai ekonomi tinggi dan juga memilki umur pertumbuhan yang cepat. Jangka waktu usia tebang cukup pendek sekitar 8 tahun. Selain itu, sengon sangat mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan syarat khusus untuk pertumbuhannya.

Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran merupakan salah satu daerah di Provinsi Lampung yang telah mengembangkan dan

memanfaatkan hutan rakyat dengan baik dan menerapkan konsep wanatani dengan mengombinasikan berbagai jenis tanaman seperti tanaman kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Petani menerapkan sistem tersebut sejak tahun 2006. Pola tanam yang sudah dilaksanakan adalah monokultur, polikultur dengan jarak tanam 2 m x 2 m, dan 3 m x 3 m dengan adanya perbandingan tersebut akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda. Melihat permasa - lahan di atas, maka perlu diadakan


(10)

penelitian untuk mengetahui pertumbuhan sengon pada lahan di pola tanam monokultur dan polikultur di hutan rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng Kabupaten Pesawaran.

B. Rumusan Permasalahan

Adapun rumusan masalah dari penelitian adalah untuk mendapatkan informasi tentang perbandingan pertumbuhan sengon dan komposisi jenis tanaman pada sistem pola tanam monokultur dan polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng.

C.Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan pertumbuhan sengon pada sistem pola tanam monokultur dan polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng

2. Mendapatkan komposisi jenis tanaman pada pola tanam monokultur dan polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dilaksanakannya penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait mengenai pola tanam yang ada di Hutan Rakyat Desa Kota Agung,

2. Memberikan informasi tentang pola tanam yang tepat untuk pertumbuhan sengon di Hutan Rakyat Desa Kota Agung.


(11)

E. Kerangka Penelitian

Hutan rakyat adalah salah satu sumber penghasil kayu, dan pada umumnya hutan rakyat berasal dari kegiatan penghijauan pada lahan yang kurang produktif dengan pola tanam tumpang sari. Sengon merupakan salah satu jenis tanaman kayu komersil yang paling banyak diusahakan pada hutan rakyat. Pemilihan sengon sebagai tanaman utama pada hutan rakyat lebih banyak didasari oleh waktu panen tanaman sengon yang cukup singkat, dengan jumlah kayu yang dihasilkan cukup besar. Jika dilihat dari segi silvikultur, sengon merupakan jenis tanaman berkayu yang prospektif untuk dikembangkan di hutan rakyat.

Mengingat peran yang sangat penting dari hutan rakyat, pembinaan dan pengelolaan dalam prespektif yang lebih luas sebagai aset nasional perlu

memperoleh dukungan dari pemerintah, baik dukungan pembinaan maupun berupa insentif kebijakan dan ekonomi. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan hutan rakyat harus berdasarkan karakteristik hutan rakyat di lapangan yang berbeda di hampir setiap lokasi, sehingga hutan rakyat sebagai sumber daya alam tetap lestari yang mencakup lestari hasil, lestari pendapatan, dan lestari lingkungan (Widiarti dkk, 2000). Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan produksi hutan rakyat adalah penentuan pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi lahan di lapangan dan pasar serta keinginan masyarakat.

Hutan Rakyat tersusun atas jenis vegetasi yang bervariasi, sehingga terdapat kombinasi komponen tanaman berkayu atau kehutanan maupun tanaman pertanian. Adanya kombinasi tanaman ini memberikan manfaat bagi petani, di antaranya memberikan diversifikasi hasil pada produksi tanaman berupa produk


(12)

kayu dan nirkayu. Selain itu, dapat mengurangi resiko kegagalan panen karena penanaman berbagai jenis tanaman akan lebih resisten terhadap berbagai gangguan faktor perusak. Jika salah satu komoditas mengalami kegagalan panen, masih dapat diharapkan panen dari komoditas lainnya.

Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng merupakan salah satu desa di Provinsi Lampung yang telah mengembangkan dan memanfaatkan hutan rakyat dengan baik dan menerapkan konsep wanatani dengan mengom binasikan berbagai jenis tanaman seperti tanaman kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Petani di desa ini telah menerapkan sistem tersebut sejak tahun 2006. Konsep wanatani yang diterapkan Desa Kota Agung adalah dengan pola polikultur dan monokultur dengan tanaman pokoknya adalah sengon. Dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana pertumbuhan sengon dengan pola polikultur dan monokultur di jarak tanam 3 m x 3 m dan 3 m x 3 m dan pada jarak tanam 2 m x 2 m.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hutan Rakyat

1. Pengertian Hutan Rakyat

Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan.

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk didominasi oleh pohon dan jumlah tanaman tahun pertama minimal 500 batang. Sedangkan menurut Departemen Kehutanan dan Perkebunan (199b), hutan rakyat adalah suatu lapangan di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungan dan lahannya dimiliki oleh rakyat.

Secara umum manfaat dari pembuatan hutan rakyat menurut Zain, (1998) adalah sebagai berikut.

1. Meningkatkan produktivitas lahan hutan dan lahan pertanian

2. Meningkatkan pendapatan petani sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani


(14)

3. Meningkatkan fungsi tanah sebagai sumber daya alam

4. Menyelamatkan kelestarian alam, tanah, air, serta lingkungan hidup 5. Memperluas lapangan kerja

6. Mencegah erosi, banjir, dan kekeringan

Menurut Lembaga Penelitian IPB (1983), hutan rakyat dibagi kedalam tiga bentuk menurut jenis tanamannya, yaitu hutan rakyat monokultur, hutan rakyat

polikultur, dan hutan agroforestri.

1. Hutan rakyat monokultur

Hutan rakyat monokultur yaitu, hutan rakyat yang hanya terdiri satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau monokultur. Pola monokultur biasanya dikembangkan oleh petani yang pendapatan utamanya bukan dari lahan yang ditanami pohon hutan rakyat. Definisi lain dari monokultur yang

dikemukakan Zain, (2003) adalah suatu kelompok hutan yang hanya terdiri atas satu jenis tanaman pohon-pohonan tertentu.

2. Hutan rakyat polikultur

Hutan rakyat polikultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

3. Hutan rakyat agroforestri

Hutan rakyat agroforestri yaitu, yang mempunyai bentuk usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lainnya yang dikembangkan secara terpadu. Pola agroforestri biasanya dikembangkan petani pada lahannya disamping sebagai


(15)

penghasil kayu juga digunakan untuk menghasilkan produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan industri atau kebutuhan makan ternaknya.

2. Silvikultur Hutan Rakyat

Silvikultur hutan rakyat ditetapkan sesuai kondisi setempat guna menjamin kelestarian usaha perhutanan rakyat. Menurut Departemen Kehutanan (1996), berdasarkan pola silvikuturnya hutan rakyat dibagi menjadi dua pola, yaitu : 1. Pola hutan rakyat monokultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis

tanaman kayu-kayuan.

2. Pola hutan rakyat polikultur yaitu hutan rakyat yang terdiri dari tanaman kayu-kayuan (tanaman hutan) dan tanaman pertanian (tanaman pangan, tanaman obat, rumput atau pakan ternak, perkebuanan, tanaman hortikultura), guna memberikan hasil dalam waktu pendek dan berkesinambungan.

Tehnik budidaya hutan rakyat pada dasarnya telah dikuasai oleh para petani hutan rakyat adalah secara sederhana, atau belum didukung oleh pengetahuan ilmiah serta teknologi yang memadai. Jenis-jenis yang ditanam adalah jenis cepat tumbuh dan lambat tumbuh, yang diketahui memiliki nilai jual seperti sengon, kayu afrika, jati, dan sebagainya.

3. Peran dan Manfaat Hutan Rakyat

Pusat Penyuluhan Kehutanan (1996) menyatakan, hutan rakyat diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:

1. Hutan rakyat merupakan sumber pendapatan masyarakat yang berkesinambungan dan berbentuk tabungan


(16)

2. Keberadaan hutan rakyat membuka lapangan pekerjaan yang cukup berarti 3. Produksi hutan rakyat berupa kayu dan nonkayu dapat mendorong

dibangunnya industri rakyat yang akan mempunyai peran penting dalam ekonomi sosial

4. Hutan rakyat yang dibangun di lahan-lahan kritis berperan dalam melindungi bahaya erosi, sedangkan hutan rakyat yang memiliki jenis-jenis tertentu dapat meningkatkan kesuburan tanah

5. Hutan rakyat meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan negara melalui berbagai pajak dan pungutan

6. Hutan rakyat meningkatkan pemanfaatan lahan secara optimal, termasuk lahan-lahan marjinal

Peran yang diberikan oleh hutan rakyat akan tergantung pada beberapa syarat yang harus dipenuhi di antaranya sebagai berikut :

1. Jenis kayu yang dapat menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri.

2. Jumlah dan kualitas barang yang dihasilkan dari hutan rakyat harus sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang disiapkan.

3. Produksi hutan rakyat harus dapat diatur agar dapat berlangsung secara kesinambungan, dan

4. Hasil-hasil hutan rakyat harus dapat diserahkan di lokasi dan waktu yang telah ditetapkan dengan harga penyerahan yang wajar


(17)

B. Sengon (Paraserianthes falcataria)

1. Deskripsi Sengon

Sengon termasuk famili Mimosaceae. Pohonnya dapat mencapai tinggi sekitar 30 m sampai dengan 45 m dengan diameter batang sekitar 70 cm sampai dengan 80 cm. Bentuk batang sengon bulat dan tidak berbanir. Kulit luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat jenis kayu rata-rata 0,33 kg dan termasuk kelas awet IV-V. Tajuk tanaman sengon berbentuk menyerupai payung dengan rimbun daun yang tidak terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daunnya kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi untuk memasak makanan dan sekaligus sebagai penyerap nitrogen dan karbon dioksida dari udara bebas (Santoso, 1992).

Seperti yang dikemukakan Siregar (2008), sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan tidak menonjol ke permukaan tanah. Akar rambutnya berfungsi sebagai penyimpan zat nitrogen, oleh karena itu tanah di sekitar pohon sengon menjadi subur. Sedangkan menurut Mulyana, (2012), sistem perakaran sengon memiliki struktur nodul sebagai hasil simbiosis dengan bakteri rhizobium. Hal ini menguntungkan bagi tanah yang ada disekitarnya. Pasalnya, keberadaan nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen di dalam tanah melalui proses nitrifikasi atau pengikatan nitrogen oleh akar. Karena itu, adanya pohon sengon dapat membuat tanah di sekitarnya menjadi subur.


(18)

Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0--800 mdpl. Walaupun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m dari permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18°--27° C. Tanaman sengon

membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki curah hujan tahunan berkisar antara 2000--4000 mm (Santoso, 1992).

C. Sistem Pola Tanam

Hutan rakyat dikembangkan dengan sistem swadaya dan sistem bapak angkat, yang tetap berpedoman pada prinsip pelestarian hutan. Hutan rakyat dapat dimanfaatkan kayunya, juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap tata air dan pengawetan tanah (Zain, 1998).

Pola tanam adalah pengaturan penggunaan lahan pertanaman dalam kurun waktu tertentu. Tanaman dalam satu areal dapat diatur menurut jenisnya, ada pola tanam monokultur, yakni menanam tanaman sejenis pada satu areal tanam. Pola tanam campuran, yakni beragam tanaman ditanam pada satu areal, dan pola tanam bergilir, yakni menanam secara bergilir beberapa jenis tanaman pada waktu berbeda di areal yang sama.

Pola tanam dapat digunakan sebagai landasan untuk meningkatkan pro -

duktivitas lahan, hanya saja dalam pengelolaannya diperlukan pemahaman kaedah teoritis dan keterampilan yang baik tentang semua faktor yang menentukan


(19)

mendapatkan hasil atau pendapatan yang optimal maka pendekatan pertanian terpadu, ramah lingkungan, dan semua hasil tanaman merupakan produk utama adalah pendekatan yang bijak.

Pola hubungan tanaman bertujuan untuk mengatur agar semua individu tanaman dapat memanfaatkan semua lingkungan tumbuhnya agar tumbuh optimal dan seragam, serta untuk pertimbangan teknis lainnya. Ada beberapa macam pola hubungan tanaman, pertama pola hubungan barisan (rowspacing), pola hubungan ganda (double row spacing), pola hubungan sama sisi (square spacing), dan pola hubungan segitiga sama sisi (equidistance spacing) (Dida,2011)


(20)

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2012 di Hutan Rakyat Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng.

B. Alat, Bahan, dan Objek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lahan milik kelompok tani Wana Sengon Jaya yang memiliki luas lahan 50 ha, letaknya di hutan rakyat Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng. Bahan penelitian adalah tegakan sengon dan tanaman lain yang terdapat di dalam hutan rakyat tersebut. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel pengamatan, christenhypsometer, dan daftar pertanyaan.

C. Jenis Data

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinggi, jenis tanaman, dan pola tanam, sedangkan untuk data sekunder merupakan data pendukung yang

diperoleh dari berbagai instansi pemerintah daerah. Data sekunder meliputi: keadaan umum lokasi yaitu luas wilayah hutan rakyat Desa Kota Agung, jumlah anggota kelompok tani, dan luas lahan garapan.


(21)

D. Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut 1. Penentuan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling dengan IS 0,4% dari total luas 50 ha, metode yang digunakan adalah dengan menggunakan rumus Simon (1999).

S = IS x P

Ket: IS = intensitas sampling

S = jumlah contoh / luas lahan hutan rakyat P = jumlah populasi

S = 0,4 % x 50 ha S = 0,2 ha

S = 2000

Petak contoh berukuran 10 m x 10 m, sehingga jumlah petak contoh yang diambil adalah 20 petak.

2. Pengambilan Sampel Pohon

Pengambilan data dilakukan dengan pembuatan petak contoh dengan menggunakan petak ganda dengan jumlah petak contoh sebanyak 20 petak


(22)

Gambar 1. Tata letak petak contoh pada Desa Kota Agung

Keterangan : A = petak contoh monokultur dengan jarak tanam 2 m x 2 m B = petak contoh polikultur dengan jarak tanam 2 m x 2 m C = petak contoh monokultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m D = petak contoh polikultur dengan jarak tanam 3 m x 3 m

E. Pengamatan Data

Variabel penelitian yang diamati antara lain sebagai berikut.

1. Jumlah tanaman pokok (sengon), tanaman pokok yang dihitung terdapat pada petak contoh 10 m x 10 m pada jarak tanam 2 m x 2 m dan 3 m x 3 m.

2. Jenis dan jumlah tanaman sela, tanaman sela yang dihitung terdapat pada petak contoh 10 m x 10 m pada jarak tanam 2 m x 2 m dan 3 m x 3 m.

3. Tinggi tegakan sengon yang diukur dari pangkal pohon sampai tajuk tertinggi. 10m x 10m 3m x 3m monokultur

100 m2

10m x 10m 2m x 2m polikultur

10 0

10m x 10m 2 m x2m monokultur

10 0

10m x 10m 3m x 3m Polikultur

100 m2


(23)

F. Analisis Data

1. Analisis perbandingan 2 beda (t-test student)

Menurut Gomez (1995), data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan distribusi t jika hipotesis nolnya benar. Distribusi t-student digunakan untuk sampel kecil yaitu sampel yang kurang dari 30 serta terdistribusi secara normal.

Ciri-ciri dari distribusi t-student adalah : a)Merupakan distribusi kontinu

b)Merupakan suatu keluarga dimana setiap derajat bebas dengan taraf nyata mempunyai distribusi tertentu pula, serta semakin besar sampel maka akan mendekati kurva normal.

Rumus untuk uji t-student adalah :

χ 1 χ2

t =

s √ 1 + 1 n1 n2

Keterangan : t = t-test

χ1 = rata-rata sampel pertama

χ2 = rata-rata sampel kedua

n1 = jumlah sampel pertama

n2 = jumlah sampel kedua


(24)

IV. GAMBARAN UMUM

A. Kondisi Geografi

Menurut Pemerintah Desa Kota Agung (2010) hutan rakyat yang menjadi objek penelitian terletak di Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung, dan berjarak kira-kira lebih kurang 37 km arah utara dari Bandar Lampung. Adapun batas-batas geografis Desa Kota Agung Kecamatan Tegineneng sebagai berikut :

1. Sebelah utara berbatasan dengan Negara Ratu Wates 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Bumi Agung 3. Sebelah barat berbatasan dengan Rejo Agung 4. Sebelah timur berbatasan dengan Margo Mulyo

Luas total lahan wilayah Desa Kota Agung menurut penggunaan adalah 1050 ha/m2 disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 1. Luas wilayah Desa Kota Agung

Penggunaan Lahan Luas ha/m2 %

Luas Permukiman 80 7,62

Luas Persawahan 230 21,90

Luas Perkebunan 563 53,62

Luas Kuburan 2 0,19

Luas Pekarangan 155 14,76

Luas Taman -

-Luas Perkotaan 10 0,95

Luas Perkantoran 10 0,95

Total Luas 1050 100


(25)

Tabel 2. Luas tanah perkebunan Desa Kota Agung

Penggunaa Lahan Luas ha/m2 %

Tanah Perkebunan Rakyat 55 84,61

Tanah Perkebunan Negara 10 15,39

Tanah Perkebunan Swasta - -

Tanah Perkebunan Perorangan - -

Total Luas 65 100

Sumber: Pemerintah Desa Kota Agung. (2010)

B. Kondisi Iklim

Hutan rakyat di Desa Kota Agung, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran terletak pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Keadaan iklim di Desa Kota Agung tergolong pada tipe iklim D (sedang) dengan curah hujan 1000 mm/tahun, jumlah bulan hujan 6 bulan dengan suhu rata-rata harian 220C-240 C (BPS Kabupaten Pesawaran. 2011)

C. Kondisi Masyarakat

Masyarakat di Desa Kota Agung sebagian besar bermata pencaharian pokok sebagai petani dan buruh tani. Adapun rincian mata pencaharian pokok masyarakat Desa Kota Agung adalah sebagai berikut :


(26)

Tabel 3. Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Kota Agung

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

1 Petani 585 54,92

2 Buruh tani 405 54,93

3 Pegawai Negri Sipil (PNS) 64 6,01

4 Pedagang kelilling 1 0,09

5 TNI 4 0,37

6 POLRI 2 0,19

7 Pengusaha kecil dan menengah 2 0,19

8 Pengusaha besar 1 0,09

9 Dukun kampung terlatih 1 0,09

Jumlah 1065 100

Sumber: Pemerintah Desa Kota Agung, (2010)

D. Aksesibilitas

Menurut Pemerintah Desa Kota Agung (2010) untuk mencapai hutan rakyat ini dapat ditempuh melalui jalur darat. Adapun jarak yang ditempuh melalui jalur darat sebagai berikut (Pemerintah Desa Kota Agung, 2010).

1. Bandar Lampung-Desa Kota Agung : jarak 37 km, waktu tempuh

menggunakan kendaraan bermotor 1 jam, sedangkan tidak menggunakan kendaraan bermotor (jalan kaki) sekitar 7 jam.

2. Pesawaran-Desa Kota Agung : jarak 50 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 2,5 jam, sedangkan tidak menggunakan kendaraan bermotor (jalan kaki) sekitar 12 jam.

3. Kecamatan Tegineneng-Desa Kota Agung : jarak 10 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 0,5 jam, sedangkan menggunakan kendaraan non bermotor (jalan kaki) sekitar 4 jam


(27)

4. Kota Bumi-Desa Kota Agung : Jarak 55 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 2 jam, sedangkan menggunakan kendaraan non bermotor ( jalan kaki) sekitar 14 jam.

E. Sejarah Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Desa Kota Agung pertama kali dibentuk pada tahun 2006, pada saat itu CV Kota Agung di bawah pimpinan Muhadjirin (alm) yang terletak di Desa Kota Agung mengalami kesulitan bahan baku produksi (kayu log) dan untuk kelangsungan produksi jangka panjang. Dengan permasalahan seperti itu akhirnya CV Kota Agung mulai membangun hutan rakyat sengon bekerja sama dengan kelompok tani Wana Sengon, sehingga tahun 2008, berkat kerja keras dan perjuangan CV Kota Agung bersama kelompok tani Wana Sengon terbentuklah Hutan Rakyat Desa Kota Agung dengan sistem kemitraan. Hutan rakyat tersebut mengikuti beberapa kegiatan seperti, menghadiri undangan Presiden RI dalam

rangka “Hari Menanam Nasional” dan mendapatkan penghargaan, yaitu : Juara

Tingkat Nasional Penghijauan GERHAN dengan tema (one man one tree) yang dilaksanakan Jakarta, 7 November 2008, yang dihadiri Bapak Menteri Kehutanan (Pemerintah Desa Kota Agung, 2010).


(28)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Pertumbuhan tinggi pada jarak tanam 3 m x 3 m, dan 2 m x 2 m pola tanam

monokultur lebih baik dari pada jarak tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 2 m polikultur.

2. Komposisi jenis tanaman polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung yaitu, sengon, pulai, jati, nangka, mahoni, kayu afrika, kelapa, kakao, dan pisang.

B. Saran

Dalam penerapan sistem pola tanam di Hutan Rakyat Desa Kota Agung petani harus lebih memperhatikan pengombinasian tanaman dan penyu- sunan tata letak agar tidak mengganggu tanaman pokok.


(29)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan H.,Nurwanti. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen bangunan. 25 Februari 2012. Diakses dari

http:/www.dephut.go.id/files/Komp_Bangunan.pdf. Artikel.. 29 p. Aryawijaya. 1990. Budidaya sengon. 10 Juli 2011. Diakses dari

http://migroplus.com/brosur/Budidaya%20Sengon.pdf.. 25 p.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Buku. Kanisius. Yogyakarta. 180 p. Awing, A.A. 2002. Usaha Tani Hutan Rakyat dan HKm. Pusat Kajian Hutan

Rakyat Centre for Community Forest Studies. Jurnal Hutan Rakyat. Yogyakarta. 11 p.

BPS Kabupaten Pesawaran. 2011. Pesawaran dalam Angka 2011.Buku. Badan Pusat Statistika Kabupaten Pesawaran. 251 p.

Daniel. W. T., J.A. Helms dan F. S. Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvikultur. Edisi (Terjemahan) ke-2. Buku. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 520 p. Dida. S. 2011. Pola tanam. 20 Mei 2012. Diakses dari

http://www.scribd.com/doc/51144736/POLA-tanam-adalah-pengaturan-penggunaan-lahan-pertanaman-dalam-kurun-waktu-tertentu.. 5 p. Departemen Kehutanan. 1996. Hutan Rakyat. Pamflet. Biro Hubungan

Masyarakat. Jakarta. 28 P.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1996b. Panduan Kehutanan Indonesia. . Buku. Jakarta.393 p.

Departemen Kehutanan 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. 24 p.

Gomez, A. K., dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Buku. UI-PRESS. Jakarta. 697 p.

Hadiyan, Y. 2009. Evaluasi Pertumbuhan Awal Kebun Benih Semai Uji

Keturunan Sengon (Paraserianthes falcataria) Umur 4 Bulan di Cikampek Jawa Barat. Jurnal Hutan Tanaman 7 (2) : 89 - 94


(30)

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 p

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 234 p.

Lembaga Penelitian IPB. 1983. Studi kelayakan usaha tani hutan rakyat di Propinsi Jawa Barat. 19 April 2010. Diakses dari

http://bpk-solo.or.id/hasil_penelitian/2004/model2penglhtnrakyt. pdf.. 25 p.

Kurniaty, R., B. Budi.,S. Made. 2010. Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni MERR). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (2)m: 77 – 83.

Mindawati, N.,A Irawan.,I. Mansur., dan O.Rusdiana. 2010. Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis. Jurnal Tekno Hutan Tanaman 3 (1) : 14 - 18

Mulyana, D.,dan C. Asmarahman. 2012. Untung Besar dari Bertanam Sengon. Buku. AgroMedia. Jakarta. 138 p.

Simangunsong, C. 2008. Sistem pengelolaan hutan rakyat dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat. 10 Juli 2011. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/25069/7/Cover.pdf. 20 p. Siregar,I. S. 2008. Kayu Sengon. Buku. Penebar Sadaya. Jakarta. 78 p.

Simon, H. 1999. Metode Inventore hutan. Buku. Aditya Media. Yogyakarta.585 p. Suharyadi dan S. K.Purwant.. 2009. STATISKA untuk Ekonomi dan Keuangan

Modern. Buku. Salemba Empat. Jakarta. 424 p.

Syafruddin dan Saidah. 2006. Tinjauan pustaka jarak tanam. 26 Februari 2012. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18404/4/Chapter%2011.pdf. . 24 p.

Wibowo, C. 2012. Pertumbuhan pohon silvika 1. 17 Desember 2012. Diakses http://mbaklinahaha.wordpress.com/2012/02/23/pertumbuhan -pohon-silvika1/.. 2 p.

Widiarti, A. Dkk. 2000. Tinjauan Tentang Pola Tanam. Dishut Jawa Barat. 15 April 2012. Diakses dari dishut.jabarprov.go.id/…/Tinjauan Tentang Pola

Tanam… 32 p.


(31)

Winarno, B. dan E. A. Waluto. 2007. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal ( Prosiding Seminar-seminar Hasil Penelitian : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Revitalisasi

Kehutanan”). Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan. (47-51) 243 p.

Zain, A. S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Buku. Rineka Cipta. Jakarta. 248 p.


(1)

Tabel 3. Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Kota Agung

No Jenis Pekerjaan Jumlah %

1 Petani 585 54,92

2 Buruh tani 405 54,93

3 Pegawai Negri Sipil (PNS) 64 6,01

4 Pedagang kelilling 1 0,09

5 TNI 4 0,37

6 POLRI 2 0,19

7 Pengusaha kecil dan menengah 2 0,19

8 Pengusaha besar 1 0,09

9 Dukun kampung terlatih 1 0,09

Jumlah 1065 100

Sumber: Pemerintah Desa Kota Agung, (2010)

D. Aksesibilitas

Menurut Pemerintah Desa Kota Agung (2010) untuk mencapai hutan rakyat ini dapat ditempuh melalui jalur darat. Adapun jarak yang ditempuh melalui jalur darat sebagai berikut (Pemerintah Desa Kota Agung, 2010).

1. Bandar Lampung-Desa Kota Agung : jarak 37 km, waktu tempuh

menggunakan kendaraan bermotor 1 jam, sedangkan tidak menggunakan kendaraan bermotor (jalan kaki) sekitar 7 jam.

2. Pesawaran-Desa Kota Agung : jarak 50 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 2,5 jam, sedangkan tidak menggunakan kendaraan bermotor (jalan kaki) sekitar 12 jam.

3. Kecamatan Tegineneng-Desa Kota Agung : jarak 10 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 0,5 jam, sedangkan menggunakan kendaraan non bermotor (jalan kaki) sekitar 4 jam


(2)

4. Kota Bumi-Desa Kota Agung : Jarak 55 km, waktu tempuh menggunakan kendaraan bermotor 2 jam, sedangkan menggunakan kendaraan non bermotor ( jalan kaki) sekitar 14 jam.

E. Sejarah Hutan Rakyat

Hutan rakyat di Desa Kota Agung pertama kali dibentuk pada tahun 2006, pada saat itu CV Kota Agung di bawah pimpinan Muhadjirin (alm) yang terletak di Desa Kota Agung mengalami kesulitan bahan baku produksi (kayu log) dan untuk kelangsungan produksi jangka panjang. Dengan permasalahan seperti itu akhirnya CV Kota Agung mulai membangun hutan rakyat sengon bekerja sama dengan kelompok tani Wana Sengon, sehingga tahun 2008, berkat kerja keras dan perjuangan CV Kota Agung bersama kelompok tani Wana Sengon terbentuklah Hutan Rakyat Desa Kota Agung dengan sistem kemitraan. Hutan rakyat tersebut mengikuti beberapa kegiatan seperti, menghadiri undangan Presiden RI dalam rangka “Hari Menanam Nasional” dan mendapatkan penghargaan, yaitu : Juara Tingkat Nasional Penghijauan GERHAN dengan tema (one man one tree) yang dilaksanakan Jakarta, 7 November 2008, yang dihadiri Bapak Menteri Kehutanan (Pemerintah Desa Kota Agung, 2010).


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Pertumbuhan tinggi pada jarak tanam 3 m x 3 m, dan 2 m x 2 m pola tanam

monokultur lebih baik dari pada jarak tanam 3 m x 3 m dan 2 m x 2 m polikultur.

2. Komposisi jenis tanaman polikultur di Hutan Rakyat Desa Kota Agung yaitu, sengon, pulai, jati, nangka, mahoni, kayu afrika, kelapa, kakao, dan pisang.

B. Saran

Dalam penerapan sistem pola tanam di Hutan Rakyat Desa Kota Agung petani harus lebih memperhatikan pengombinasian tanaman dan penyu- sunan tata letak agar tidak mengganggu tanaman pokok.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman dan H.,Nurwanti. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat untuk komponen bangunan. 25 Februari 2012. Diakses dari

http:/www.dephut.go.id/files/Komp_Bangunan.pdf. Artikel.. 29 p. Aryawijaya. 1990. Budidaya sengon. 10 Juli 2011. Diakses dari

http://migroplus.com/brosur/Budidaya%20Sengon.pdf.. 25 p.

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Buku. Kanisius. Yogyakarta. 180 p. Awing, A.A. 2002. Usaha Tani Hutan Rakyat dan HKm. Pusat Kajian Hutan

Rakyat Centre for Community Forest Studies. Jurnal Hutan Rakyat. Yogyakarta. 11 p.

BPS Kabupaten Pesawaran. 2011. Pesawaran dalam Angka 2011.Buku.Badan Pusat Statistika Kabupaten Pesawaran. 251 p.

Daniel. W. T., J.A. Helms dan F. S. Baker. 1992. Prinsip-prinsip Silvikultur. Edisi (Terjemahan) ke-2. Buku. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 520 p. Dida. S. 2011. Pola tanam. 20 Mei 2012. Diakses dari

http://www.scribd.com/doc/51144736/POLA-tanam-adalah-pengaturan-penggunaan-lahan-pertanaman-dalam-kurun-waktu-tertentu.. 5 p. Departemen Kehutanan. 1996. Hutan Rakyat. Pamflet.Biro Hubungan

Masyarakat. Jakarta. 28 P.

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1996b. Panduan Kehutanan Indonesia. . Buku. Jakarta.393 p.

Departemen Kehutanan 1999. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. 24 p.

Gomez, A. K., dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Buku. UI-PRESS. Jakarta. 697 p.


(5)

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 p

Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 234 p.

Lembaga Penelitian IPB. 1983. Studi kelayakan usaha tani hutan rakyat di Propinsi Jawa Barat. 19 April 2010. Diakses dari

http://bpk-solo.or.id/hasil_penelitian/2004/model2penglhtnrakyt. pdf.. 25 p.

Kurniaty, R., B. Budi.,S. Made. 2010. Pengaruh Media dan Naungan Terhadap Mutu Bibit Suren (Toona sureni MERR). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7 (2)m: 77 – 83.

Mindawati, N.,A Irawan.,I. Mansur., dan O.Rusdiana. 2010. Analisis Sifat-sifat Tanah di bawah Tegakan Eucalyptus urograndis. Jurnal Tekno Hutan Tanaman 3 (1) : 14 - 18

Mulyana, D.,dan C. Asmarahman. 2012. Untung Besar dari Bertanam Sengon. Buku. AgroMedia. Jakarta. 138 p.

Simangunsong, C. 2008. Sistem pengelolaan hutan rakyat dan pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat. 10 Juli 2011. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/25069/7/Cover.pdf. 20 p. Siregar,I. S. 2008. Kayu Sengon. Buku. Penebar Sadaya. Jakarta. 78 p.

Simon, H. 1999. Metode Inventore hutan. Buku. Aditya Media. Yogyakarta.585 p. Suharyadi dan S. K.Purwant.. 2009. STATISKA untuk Ekonomi dan Keuangan

Modern. Buku. Salemba Empat. Jakarta. 424 p.

Syafruddin dan Saidah. 2006. Tinjauan pustaka jarak tanam. 26 Februari 2012. Diakses dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18404/4/Chapter%2011.pdf. . 24 p.

Wibowo, C. 2012. Pertumbuhan pohon silvika 1. 17 Desember 2012. Diakses http://mbaklinahaha.wordpress.com/2012/02/23/pertumbuhan -pohon-silvika1/.. 2 p.

Widiarti, A. Dkk. 2000. Tinjauan Tentang Pola Tanam. Dishut Jawa Barat. 15 April 2012. Diakses dari dishut.jabarprov.go.id/…/Tinjauan Tentang Pola Tanam… 32 p.


(6)

Winarno, B. dan E. A. Waluto. 2007. Potensi Pengembangan Hutan Rakyat dengan Jenis Tanaman Kayu Lokal ( Prosiding Seminar-seminar Hasil Penelitian : Optimalisasi Peran IPTEK dalam Mendukung Revitalisasi

Kehutanan”). Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan.

(47-51) 243 p.

Zain, A. S. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Buku. Rineka Cipta. Jakarta. 248 p.


Dokumen yang terkait

Analisis Finansial Perbandingan Usaha Hutan Rakyat Monokultur dengan Usaha Hutan Rakyat Campuran (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang)

3 79 107

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 57 72

Kajian Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perluasan Kota dengan Studi Kasus di Kecamatan Peusangan Kabupaten Bireuen Sebelum dan Sesudah Pemekaran Tahun 1990, 2000, 2010

2 98 162

Evaluasi Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Matiti, Kecamatan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan

1 32 72

ANALISIS PENDAPATAN PETANI SENGON {Parasenanthesfalcataria) DENGAN POLA TANAM MONOKULTUR DAN TANAMAN SELA DI DESA KOTA AGUNG KECAMATAN TEGINENENG KABUPATEN PESAWARAN

0 8 78

OPTIMALISASI JARAK TANAM TERHADAP KEUNTUNGAN HUTAN RAKYAT SENGON

0 10 7

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Desa Burat, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo

3 23 182

RESPONDENPETANI HUTAN RAKYAT ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang) PENGENALAN TEMPAT

0 0 27

Analisis Finansial Perbandingan Usaha Hutan Rakyat Monokultur dengan Usaha Hutan Rakyat Campuran (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 20

ANALISIS FINANSIAL PERBANDINGAN USAHA HUTAN RAKYAT MONOKULTUR DENGAN USAHA HUTAN RAKYAT CAMPURAN (Studi Kasus di Desa Jaharun, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI

0 0 11