TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Anyelir

3. “Mignon carnation”, merupakan “standar carnation” yang berukuran kecil, akibat dibuangnya pucuk terminal dan beberapa pucuk lateral. Ukuran bunga sekitar setengah dari ukuran “standard carnation” 4. “Spray carnation” D. caryophyllus dimana pucuk terminal dibuang, dan pucuk lateral yang dibiarkan berkembang. Panjang tangkai sekitar 40-70 cm. 5. “Micro pink” adalah tipe anyelir yang berkluster dan kecil-kecil, dimana semua pucuk dibiarkan tumbuh dan berkembang. 6. “Diantini carnation”. Bunga ini mirip D. barbatus Sweet William, tetapi pucuk terminalnya dibuang. Budidaya Tanaman Anyelir Perbanyakan anyelir bisa dilakukan melalui biji atau stek pucuk. Biji anyelir dapat berkecambah pada suhu 18-21 C. Akan tetapi perbanyakan dengan biji umumnya hanya digunakan untuk tujuan pemuliaan tanaman. Jika menggunakan stek, maka stek yang digunakan harus benar-benar bebas hama dan penyakit terutama virus. Pada suhu - 1 C 31 F stek berakar bisa disimpan selama empat bulan, sedang stek tanpa akar bisa mencapai enam bulan Dole dan Wilkins 1999. Tanaman anyelir membutuhkan suhu malam yang berkisar antara 8-11 C, sedangkan suhu siang sekitar 18-22 C. Tanaman ini tumbuh baik pada cahaya matahari penuh, dengan intensitas penyinaran sekitar 44.000 luks. Cahaya merupakan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anyelir. Di negara subtropis, minimal dibutuhkan cahaya 21.500 luks selama musim dingin Besemer 1980. Anyelir membutuhkan tanah yang gembur dengan drainase yang baik, sedangkan pH yang cocok adalah sekitar 6.5 Pertwee 1996. Budidaya anyelir membutuhkan fosfat, nitrogen, kalium dan kalsium yang cukup tersedia dalam larutan tanah. Menurut Bhatt 1989 nitrogen merupakan faktor pembatas paling utama pada nutrisi tanaman anyelir, diperlukan baik pada fase vegetatif maupun generatifnya. Fosfat merupakan unsur makro yang dapat mempengaruhi kenormalan pertumbuhan anyelir. Kekurangan fosfat mengakibatkan daun-daun menjadi sempit dan ujung-ujungnya mengering, kemudian pada akhirnya keseluruhan daun menjadi kuning. Selain fosfat, kalium juga memberikan pengaruh pada ketegaran tanaman anyelir. Kekurangan kalium mengakibatkan bintik-bintik putih pada daun-daun di bawah bunga, bentuk bunga yang tidak normal, warna bunga pucat dan kelopak bunga menguning. Walaupun secara spesifik tergantung lokasi, tapi secara umum dapat dinyatakan bahwa tingkat kebutuhan nutrisi optimum tanaman anyelir adalah sekitar 25-40 ppm nitrat, 5-10 ppm phosphat, 25- 40 ppm kalium, 150-200 ppm kalsium dan 30-40 ppm magnesium. Pada anyelir, direkomedasikan untuk memberikan pupuk 20 ppm N dan K. Genetika Tanaman Anyelir Tipe liar anyelir yang berasal dari daratan Mediterania termasuk dalam spesies Dianthus barbatus , yang memiliki set kromosom diploid 2n=2x=30. Tanaman anyelir yang komersial yang ada sekarang merupakan hasil silangan sejak lebih dari 200 tahun yang lalu. Dalam The International Dianthus Register edisi kedua, Esley 1995 menyatakan terdapat 27.000 nama kultivar Dianthus yang telah terdaftar, dari berbagai macam spesies. Seluruh kultivar tersebut mempunyai jumlah kromosom yang berbeda- beda, umumnya 2n=30 atau 2n=45. Tindakan hibridisasi telah banyak menghasilkan variasi kromosom pada anyelir. Makin sering tanaman mengalami persilangan, makin tinggi kemungkinan terjadinya perubahan jumlah kromosomnya, sehingga akhirnya menyebabkan perubaha n fenotipe pada anaknya Darjanto dan Satifah 1990. Perubahan jumlah kromosom ini dapat terjadi misalnya pada hibridisasi interspesifik. Pada persilangan antara D. chinensis dan D. barbatus , yang masing- masing mempunyai kromosom 2n = 2x = 30, menghasilkan tanaman anyelir baru yang mempunyai kromosom 2n = 2x = 52. Dalam hal ini berarti telah terjadi perubahan jumlah kromosom, karena kromosom anak tidak sama dengan kromosom induk Nakano dan Mii 1993. Anyelir yang sekarang banyak dikenal dalam industri tanaman bunga potong ini termasuk dalam spesies Dianthus caryophyllus Linn., merupakan spesies anyelir yang sangat bervariasi tingkat ploidinya. Dalam setiap set kromosom anyelir Dianthus caryophyllus Linn. terdapat 15 buah kromosom x= 15. Dianthus caryophyllus memiliki tingkat ploidi yang cukup tinggi, bisa mencapai hexaploid. Dalam keadaan diploid, kromosom anyelir berjumlah 30 2n= 2x= 30 dan dalam keadaan hexaploid mencapai jumlah 90 kromosom 2n= 6x= 90 Darlington dan Wylie 1955. Akan tetapi D. caryophyllus yang dikenal sebagai ‘anyelir greenhouse’, umumnya mempunyai kromosom diploid walau ada sebagian kecil tetraploid Broertjes dan van Harten 1988. Pemuliaan Mutasi Secara umum, mutasi dapat didefinisikan sebagai perubahan materi genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Mutasi berperanan penting dalam proses evolusi dan akibat mutasi pula dapat tersedia keragaman materi genetik sebagai ‘bahan baku’ pekerjaan dalam program pemuliaan tanaman. Pada tanaman yang steril atau tanaman apomiktik obligat, mutasi merupakan satu-satunya sumber pencipta keragaman. Penggunaan mutasi, baik mutasi spontan yang terjadi alami maupun buatan yang diinduksi oleh mutagen, inilah yang disebut ‘pemuliaan mutasi’ Ibrahim 1999. Definisi mutasi menurut Poespodarsono 1988 adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas dan biji. Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan ‘sequence’ nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Untuk meningkatkan frekuensi kejadian mutasi alami, dilakukan mutasi buatan atau mutasi buatan induced mutation dengan menggunakan mutagen. Mutagen adalah wahana yang digunakan untuk menciptakan mutasi buatan. Menurut Simmonds 1979 secara umum mutagen bisa dibedakan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen yang termasuk dalam mutagen fisik adalah radiasi pengion seperti radiasi sinar alpha, sinar neutron, sinar X dan sinar gamma. Poespodarsono 1988 mengelompokkan mutagen dalam tiga golongan, yaitu 1 mutagen kimia, seperti EMS ethylene methane sulfonate, NMU nitrosomethyl urea, NTG nitrosoguanidine, dan sebagainya, 2 mutagen fisik iradiasi, seperti sinar X, sinar α , sina r β , sinar γ , dan sebagainya, serta 3 mutagen fisik non-radiasi, seperti sinar UV. Mutagen fisik non-radiasi ini berdaya tembus rendah, sehingga umumnya digunakan untuk mutasi mikroorganisme. Mutagen kimia bekerja dengan cara mengubah kemampuan berpasangan rantai DNA sehingga dapat merubah urutan genetik pada kromosom; sedangkan mutagen fisik iradiasi menyebabkan mutasi karena sel yang teradiasi dibebani tenaga kinetik yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi atau mengubah reaksi kimia; akibatnya, susuna n kromosom pun berubah. Broertjes dan van Harten 1988 menyatakan bahwa sinar gamma lebih sering digunakan karena mempunyai daya tembus yang lebih tinggi sehingga peluang terjadinya mutasi akan lebih besar pula. Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 ole h P. Villard setelah ditemukannya sina Alpha dan Beta oleh Rutherford dan Soddy van Harten 1998. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar X, yang berarti dapat menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Tingkat radiasi energi sinar gamma yang dihasilkan dari reaktor nuklir mencapai lebih dari 10 MeV. Daya tembusnya ke dalam jaringan sangat dalam, bisa mencapai beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya Sparrow 1979, van Harten 1998. Radiasi sinar gamma biasanya diperoleh dari disintegrasi radioisotop- radioisotop 137 Cs atau 60 Co. Menurut van Harten 1998 60 Co memiliki dua puncak spektrum energi radiasi, yaitu pada 1.33 dan 1.17 MeV, dengan waktu paruh 5.27 tahun. Karena berbahaya, maka sumber harus diamankan dalam lapisan logam yang tebalnya 2-5 cm, tergantung pada jenis isotop yang digunakan. Radiosensitivitas Radiosensitivitas adalah tingkat sensitivitas tanaman terhadap radiasi van Harten 1998; Datta 2001. Banyak hal yang dapat mempengaruhi radiosensitivitas. Dalam IAEA 1977 disebutkan terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas yaitu 1 faktor lingkungan, seperti oksigen, kandungan air, penyimpanan pasca iradiasi, dan suhu, serta 2 faktor biologi, yaitu volume inti dan volume kromosom saat intefase, serta faktor genetik. Keragaman yang timbul akibat mutasi fisik iradiasi, sangat tergantung pada tingkat radiosensitivitas. Studi mengenai radiosensitivitas biasanya mengarah pada pemahaman terhadap mekanisme aksi dari ionisasi radiasi. Studi semacam ini sangat bermanfaat dalam penyediaan informasi mengenai proteksi radiasi, terapi iradiasi, dan juga untuk menginduksi keragaman genetik. Dalam hal yang terakhir ini, sangat diinginkan induksi mutasi yang menyebabkan paling sedikit aberasi kromosom, kerusakan fisik dan sterilitas, dan pada saat yang sama dapat dikontrol untuk memproduksi mutasi yang diinginkan Datta 2001. Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman, baik dari morfologi tanaman, sterilitas, maupun dosis letal 50 LD 50 . LD 50 adalah dosis yang menyebabkan kematian 50 dari populasi yang diradiasi. Dari banyak penelitian mutasi induksi, telah diketahui bahwa umumnya mutasi yang diinginkan terletak pada kisaran LD 50 atau lebih tepatnya pada dosis sedikit dibawah LD 50 . Pada kasus tertentu, misalnya pada perlakuan terhadap kalus, kisaran ini menjadi LD 30 , yaitu dosis yang menyebabkan kematian 30 pada populasi kalus Jain, S.M. November 2001 komunikasi pribadi; atau menjadi LD 25 pada perlakuan chronic irradiation. Dosis optimum untuk menghasilkan mutan yang diinginkan ini selain dipengaruhi oleh teknik iradiasi dan jenis tanaman, juga dipengaruhi oleh jenis sinar radiasi serta bentuk bahan tanaman yang diradiasi. Pada krisan yang diradiasi dalam bentuk stek pucuk, Banerji dan Datta 1992 menemukan dosis optimum sinar gamma untuk menghasilkan mutan yang diinginkan terbanyak 30 dari populasi tana man adalah 25 gray; Sedangkan melalui planlet krisan, dosis iradiasi sinar gamma yang optimum menghasilkan mutan yang diinginkan berada pada kisaran 19.5-22 gray Waluyo, 2001. Pada perlakuan dengan sinar X, dosis optimum planlet krisan adalah 80 gray Broertjes, Roest dan Bokelmann 1976. Pada tanaman hias berumbi, jika sinar gamma akan diradiasikan pada umbinya, maka tingkat dosis yang diberikan harus lebih rendah lagi, karena tingginya efek letal yang ditimbulkan. Melalui risetnya pada umbi narcissus, Misra 1990 menemukan bahwa perlakuan sinar gamma pada dosis 10 dan 15 gray menyebabkan pembungaan lebih awal, sedangkan lebih dari dosis itu sinar gamma mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan daun, bahkan menyebabkan kematian umbi. Demikian juga perlakuan 10 gray sinar gamma terhadap kultivar gladiol, semua parameter pertumbuhan tanaman baik vegetatif maupun generatif memperlihatkan karakter yang inferior dibandingkan kultivar asalnya. Teknik Iradiasi Teknik iradiasi memang berpengaruh terhadap radiosensitivas tanaman. Umumnya iradiasi diberikan satu kali dengan dosis yang diinginkan secara cepat. Teknik ini dinamakan teknik acute irradiation atau radisi tunggal, yaitu teknik pemberian dosis secara sekaligus dalam satu kali penembakan iradiasi. Namun untuk mengurangi kerusakan akibat iradiasi tunggal yang diberikan sekaligus, maka dicobakan pula teknik chronic irradiation. Chronic irradiation yaitu teknik iradiasi dengan cara memberikan dosis yang sangat rendah secara terus menerus dalam waktu beberapa bulan Nagatomi S. April 2001, komunikasi pribadi. Selain itu, ada pula pemberian iradiasi dalam beberapa kali penyinaran, dengan dosis yang terbagi sehingga pada akhirnya total dosis yang diberikan sama dengan iradiasi tunggalnya. Hal ini cukup efektif, seperti yang dibuktikan oleh Weather dan Sader 1990 bahwa teknik fractionated irradiation iradiasi terbagi pada eksplan pucuk gerbera membuat persentase tumbuh tunas yang lebih tinggi dibandingkan teknik acute irradiation iradiasi tunggal. Fractionated irradiation atau iradiasi terbagi adalah teknik pemberian dosis yang diberikan dua kali, masing- masing setengah dosis atau split dose. Teknik pemberian iradiasi lainnya yaitu dengan iradiasi berulang baik secara intermittent irradiation jarak antar iradiasi tidak terlalu lama atau recurrent irradiation iradiasi ulangan diberikan dalam waktu lama, bisa dalam hitungan tahun. Intermittent irradiation merupakan teknik iradiasi berulang yang ditujukan untuk meningkatkan efek iradiasi pada suatu jaringan, dibandingkan iradiasi tunggalnya. Pada iradiasi berulang ini, radiasi diberikan sekali atau beberapa kali lagi pada beberapa waktu kemudian dengan dosis yang lebih rendah Basiran dan Ariffin 2002 Recurrent irradiation adalah perlakuan iradiasi yang diberikan kembali pada mutan yang telah terbentuk, dalam hitungan tahun minimal satu tahun setelah perlakuan mutasi pertama. Pada recurrent irradiation, tidak semua tanaman mutan dapat kembali menghasilkan mutan yang baru. Dalam penelitiannya, Datta 1996 meradiasi kultivar krisan ‘D-5’ dengan sinar gamma dan menghasilkan 3 kultivar mutan yang diberi nama: ‘Alankar’, ‘Shabnam’ dan ‘Agnishika’. Ketika diberikan iradiasi berulang pada tahun berikutnya dengan 1.5, 2.0 dan 2.5 Krad sinar gamma, ternyata ketiga mutan ini memperlihatkan radiosensitivitas yang berbeda. Dari kultivar ‘Alankar’dan ‘Shabnam’ dihasilkan mutan- mutan dengan warna baru, sedangkan pada kultivar ‘Agnishika’ sama sekali tidak ada perubahan. Kultivar ini sangat stabil. Hal ini menunjukkan bahwa antar kultivar pun intraspesies terdapat radiosensitivitas yang berbeda. Uji Stabilitas Stabilitas merupakan suatu hasil yang harus dicapai di akhir suatu program pemuliaan tanaman dalam rangka melepaskan varietas baru yang unggul. Tanpa stabilitas secara genetik, suatu varietas yang baru tidak dapat dilepas ke masyarakat. Pada tanaman yang membiak secara generatif, uji stabilitas ini menjadi penting untuk mengetahui karakter yang diinginkan merupakan sifat yang dikendalikan secara genetik sehingga dapat diwariskan kepada keturunannya, ataukah hanya bersifat epigenetik saja, misalnya disebabkan oleh faktor lingkungan, transposon dan sebagainya. Pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif uji stabilitas umumnya jarang dilakukan karena secara teoritis perbanyakan vegetatif tidak akan menyebabkan keragaman akibat segregasi. Namun, walaupun diperbanyak secara vegetatif, jika asal keragamannya diperoleh dari perlakuan mutasi, maka perlu diadakan uji stabilitas terhadap “keturunan” vegetatifnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya fenomena alam yang dikenal dengan istilah haplontic selection atau diplontic selection Ibrahim 1999. Pada situasi diplontic selection, jika sel-sel mutan kalah bersaing dengan sel-sel normal di sekelilingnya, maka pada perkembangan selanjutnya jaringan tanaman akan kembali tumbuh normal. Begitu juga sebaliknya, jika sel-sel mutan yang justru dapat ‘mengalahkan’ sel-sel normal, maka pada pertumbuhan selanjutnya tanaman akan menjadi mutan, sampai pada generasi berikutnya Ibrahim 1999; IAEA 1977. Ahloowalia 1995 menyatakan bahwa mutan krisan dan streptocarpus memperoleh kestabilannya pada generasi M1V4 melalui metode subkultur berulang, sedangkan pada kentang, setelah tiga kali perbanyakan mikro di laboratorium M1V3, propagula yang diaklimatisasi mencapai stabilitasnya setelah kembali melalui tiga kali perbanyakan vegetatif di lapang M1V6. Banerji dan Datta 1992 memperoleh satu cabang pada tanaman krisan yang menjadi mutan kimera dari hasil penelitiannya. Mutasi cabang ini dapat “dimurnikan” menjadi mutan solid seluruh tanaman dan stabil setelah beberapa kali diperbanyak secara vegetatif. Jadi pengujian stabilitas memang perlu dilakukan untuk meyakinkan produsen tanaman hias bahwa varietas mutan tersebut telah berubah secara genetis dan stabil, sehingga dapat dijadikan sebagai tanaman induk pada nurserynya tanpa kekhawatiran akan berubah kembali. Kimera Salah satu kekurangan metode mutasi menurut Brock 1979 adalah munculnya kimera, sifat-sifat yang justru merugikan atau tidak sesuai dengan harapan. Broertjes dan van Harten 1988 juga menyatakan bahwa salah satu pembatas dalam pemuliaan mutasi untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah timbulnya kimera. Hal ini terjadi karena umumnya mutasi terjadi pada satu sel, sedangkan jaringan multiseluler terdiri atas sel epidermis L-I, sub-epidermis L-II dan korpus L-III. Kimera adalah jaringan tanaman yang mengandung sel-sel yag termutasi dan sel- sel normal, sehingga memiliki konstitusi genetik yang berbeda van Harten 2002. Berdasarkan posisi terjadinya kimera, terdapat tiga jenis kimera, yaitu kimera meriklinal, kimera sektorial dan kimera periklinal. Gambar 2 menerangkan kejadian ketiga jenis kimera pada struktur jaringan meristem apikal. Gambar 2. Struktur Jaringan Mersitem Apikal dan Perkembangan Tiga Jenis Kimera. Pada kimera periklinal, sel mutan berkembang secara paralel horisontal sehingga menjadi suatu lapisan sel yang memiliki karakter yang berbeda. Sebagai contoh pada Gambar 2 tampak sel mutan berkembang menjadi satu lapisan epidermis yang memiliki karakter berbeda misalnya pada pucuk meristem yang diploid, terdapat lapisan epidermis tetraploid. Pada kimera sektorial, sel mutan berkembang secara vertikal ke dalam jaringan sehingga membentuk suatu sektor dengan karakter yang berbeda dari karakter organ lainnya. Pada kimera meriklinal, sel mutan hanya berkembang horisontal pada sektor suatu organ saja Steeves dan Sussex 1989. Uji Kromosom Umumnya, karakterisasi dan identifikasi keragaman yang timbul pada tanaman akibat mutasi dilakukan secara fenotipik, yaitu melalui penampakan morfologi tanaman. Namun, identifikasi yang terinci dan akurat kadang-kadang cukup sulit dilakukan jika hanya mengandalkan pada penampakan fenotip saja. Perlakuan mutasi induksi dapat menyebabkan terjadinya mutasi gen atau mutasi kromosom. Crowder 1993 menyebutnya sebagai mutasi mikro perubahan terjadi pada susunan molekulgen DNA atau nukleotida dan mutasi makro perubahan terjadi pada struktur dan susunan kromosom. Jadi mutasi gen hanya terjadi pada tingkat gen, bahkan bisa terjadi hanya pada sepasang basa saja yang disebut point mutation atau mutasi titik. Mutasi kromosom terjadi jika perubahan terdapat di tingkat kromosom baik terhadap jumlah maupun struktur kromosom. Perubahan struktur kromosom bisa terjadi akibat delesi, inversi, duplikasi, atau translokasi. Pada delesi dan inversi, patahan kromosom terjadi hanya pada satu pasang kromosom, sedangkan pada duplikasi dan translokasi, lebih dari satu pasang kromosom yang terlibat dalam peristiwa aberasi kromosom Schulz dan Schaeffer 1980 Delesi adalah mutasi akibat hilangnya suatu segmen dari kromosom. Jika delesi terjadi pada ujung kromosom maka disebut delesi terminal, dan jika terjadi pada bagian tengah kromosom disebut delesi interkalar atau delesi interstisial Suryo 1995. Jika delesi terjadi pada kedua kromosom yang homolog maka terjadi delesi homozigot yang biasanya letal. Jika hanya salah satu kromosom homolog yang mengalami delesi, maka disebut hemizigot. Jika delesi terjadi pada alel gen dominan yang heterozigot maka fenotipe alel resesifnya akan tampak sehingga terjadi efek pseudodominan. Kejadian pseudominan karena delesi heterozigot dan lengkungan delesi dapat digunakan untuk menentukan lokasi fisik gen pada kromosom Sujiprihati dan Syukur 2004. Duplikasi adalah perubahan akibat penggandaan atau penambahan ruas kromosom. Duplikasi mungkin terjadi akibat síntesis DNA yang berlebihan saat replikasi. Pada eukariot, suatu penyimpangan dari rekombinasi homolog dapat dianggap sebagai sumber terjadinya duplikasi. Pada jaringan yang sedang aktif membelah, ujung kromatid kembar yang mengalami patahan dapat berfusi dan bereplikasi, kemudian memasuki fase mitosis. Akibat berfusinya ujung patahan kromosom, maka terciptalah jembatan pada anafase, kemudian jembatan tersebut patah akibat penarikan benang gelendong ke dua kutub yang berbeda, dan ujung patahan yang lengket akan kembali berfusi lagi. Kejadian ini dikenal sebagai breakage-fusion-bridge-cycle atau siklus jembatah-patah- berfusi Schulz dan Schaeffer 1980. Inversi adalah pemutaran struktur kromosom yang terjadi melalui pemutaran arah suatu ruas kromosom. Inversi muncul akibat pindah silang yang berlangsung antara dua situs homolog yang terdapat dalam satu kromosom. Terdapat dua tipe inversi, yaitu inversi parasentrik dan inversi perisentrik. Inversi perisentrik terjadi bila sentromer terdapat dalam segmen inversi, sedangkan inversi parasentrik terjadi jika sentromer terdapat di luar ruas inversi Sujiprihati dan Syukur 2004. Translokasi adala h mutasi yang terjadi akibat perpindahan segmen dari satu kromosom ke kromosom lain yang bukan pasangan homolognya. Antara dua kromosom yang non-homolog, masih mungkin terdapat ruas-ruas yang homolog walau dengan panjang terbatas. Hal ini terjadi, misalnya akibat adanya ruas berulang. Translokasi dapat bersifat resiprok, atau hanya searah saja. Suryo 1995, Sujiprihati dan Syukur 2004. Perubahan dalam jumlah kromosom dapat mengakibatkan perubahan tingkat ploidi akibat penambahan atau pengurangan set kromosom ‘euploidi’ atau menyebabkan ketidakgenapan jumlah kromosom akibat adanya penambahan atau kehilangan satu atau beberapa kromosom pada genomnya ‘aneuploidi’. Tipe-tipe aneuploid dikelompokkan berdasarkan banyaknya kromosom yang hilang dan atau bertambah dalam satu individu. Nulisomik 2n-2 terjadi jika kehilangan 2 kromosom homolog, monosomik 2n-1 terjadi jika kehilangan 1 kromosom, trisomik 2n+1 jika bertambah 1 kromosom, tetrasomik 2n+2 jika bertambah 2 kromosom homolog, dan seterusnya Poespodarsono 1988. Dalam analisis sitologi terhadap lima kultivar krisan mutan yang diradiasi sinar gamma, aberasi kromosom teramati pada penelitian Datta dan Datta 1998. Selain itu, peningkatan sterilitas polen ditemukan sangat nyata pada semua mutan yang terbentuk. Pada penelitian ini Datta dan Datta menggunakan teknik SEM Scanning Electron Micrograph untuk menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dari pola bentuk permukaan exine polen pada 4 kultivar mutan. Analisis Isozim Keragaman genetik tidak cukup hanya diamati secara sitologis melalui pengamatan kromosom selama pembelahan sel. Hal ini terjadi karena perubahan segmen ataupun adanya sisipan segmen pada suatu kromosom tidak dapat teramati dengan penggunaan mikroskop. Selain itu, seringkali keragaman yang timbul pada tanaman berbeda satu sama lainnya, hanya disebabkan oleh sejumlah kecil gen saja. Untuk mengukur keragaman spesies tanaman, kini telah banyak berhasil dilakukan melalui teknik isozyme. Isozim adalah suatu enzim yang terdiri dari beberapa molekul aktif yang mempunyai struktur kimia berbeda dan dikode oleh gen yang berbeda, akan tetapi mengkatalisis reaksi yang sama Taiz dan Zeiger 1991. Aktivitas isozim yang dapat diuji pada tanaman sangat beragam tergantung spesies tanaman karena masing- masing tanaman memiliki isozim utama. Enzim yang banyak dijumpai pada tanaman diantaranya adalah peroxidase PER dan esterase EST. PER merupakan enzim dalam sel tanaman yang terlibat dalam sintesis lignin, selain dijumpai juga di vakuola. Dalam pemilihan enzim yang akan digunakan, selain dengan alasan karena enzim tersebut banyak dijumpai pada tanaman, Bouman dan de Klerk 1997 juga mengingatkan agar mempertimbangkan adanya pengaruh fisiologi dan fase perkembangan tanaman terhadap keberadaan enzim. Untuk itu disarankan untuk menggunakan enzim yang bersifat stabil terhadap perubahan fisiologi maupun fase perkembangan tanaman, seperti enzim MDH malate dehydrogenase, ADH alkohol dehydrogenase, ACP Acid phosphatase, PGA phosphoglucoisomerase dan PGM phosphoglucomutase. Heritabilitas Heritabilitas h 2 adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Jadi konsep heritabilitas mengacu pada peranan faktor genetik dan juga lingkungan terhadap pewarisan suatu karakter. Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan menjadi heritabilitas dalam arti luas broad sense heritability dan heritabilitas dalam arti sempit narrow sense heritability. Menurut Fehr 1987 heritabilitas dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam fenotip h 2 BS = σ 2 G σ 2 P , sedangkan heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotip h 2 NS = σ 2 A σ 2 P . Pada tanaman, banyak metode yang digunakan untuk menduga nilai heritabilitas, antara lain dengan perhitungan ragam turunan, dengan regresi parent-offspring, atau dengan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam. Metode yang digunakan untuk menduga nilai heritabilitas ini tergantung dari populasi yang dimiliki oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai Sutjahjo, Sujiprihati dan Syukur 2005. Nilai duga heritabilitas berkisar antara 0-1. Bila heritabilitas bernilai 1 100 maka munculnya keragaman fenotipik disebabkan oleh faktor genetik, sedangkan bila heritabilitas 0 maka keragaman fenotipik disebabkan oleh faktor lingkungan Welsh 1981. Pemuliaan Tanaman Hias dengan Mutasi Induksi Mutasi induksi sangat berperanan penting dalam perakitan varietas unggul pada berbagai jenis tanaman hias. Hal ini disebabkan tidak semua tanaman hias mampu dengan mudah menghasilkan biji, sehingga sulit dilakukan hibridisasi. Selain itu, pemuliaan mutasi sangat bermanfaat untuk meningkatkan keragaman pada jenis tanaman dengan variasi keragaman sempit seperti manggis, Alpinia purpurata lengkuas merah. Penelitian mutasi induksi somatik di National Botanical Research Institute Lucknow, India terhadap beberapa komoditas tanaman hias dari tahun 1974 sampai 1998 menghasilkan 75 mutan yang telah dilepas sebagai kultivar baru dan unggul. Varietas mutan tersebut terdiri atas empat varietas bougenvillea, 43 varietas mutan krisan, satu varietas kembang sepatu, tiga varietas mutan lantana, enam varietas mutan portulaka, 16 varietas mutan mawar dan dua varietas mutan sedap malam Gupta 1979; Datta 2001. Penelitian Busey 1980 pada stolon tanaman St. Augustinegrass Stenotaphrum secundatum Walt. Kuntze yang diradiasi dengan 4.5 krad = 45 gray sinar gamma menghasilkan tanaman mutan sebanyak 7 dari tetua FA-243. Selanjutnya Datta dan Banerji 1993 menghasilkan variasi warna pada krisan mutan, dari warna asli ungu menjadi belang putih-krem dengan dosis 20 gray sinar gamma, serta menjadi putih dan berbentuk pompon dengan dosis 25 gray. Galur mutan ini dirilis di India tahun 1995. Misra 1998 juga melakukan mutasi induksi pada gladiol dengan sinar gamma, dan diketahui bahwa sampai pada dosis 30 gray sinar gamma menghasilkan perubahan warna secara parsial dari ungu ke putih, pada beberapa tanaman membentuk umbi kembar, dan meningkatkan jumlah bunga per tanaman. Pada kalanchoe, Boertjes dan Leffring 1972 telah berhasil membentuk mutan non-kimera yang solid dengan meradiasi daun. Daun ini kemudian digunakan sebagai eksplan yang ditumbuhkan in vitro , dan planlet yang tumbuh dari eksplan tersebut ternyata menjadi mutan yang solid. Desai dan Abraham 1979 telah menghasilkan 13 mutan pada sedap malam, melalui penembakan 142-335 rad sinar fast neutron. Dari 10 000 umbi sedap malam yang diradiasi, ketiga belas mutan yang dihasilkan itu seluruhnya mengalami perubahan pada daun dalam uk uran, bentuk dan warna daun yang menjadi variegata. Tidak satupun mutan menunjukkan perubahan fenotip pada organ bunga. Hal ini terjadi mengingat sedap malam termasuk jenis tanaman yang sulit termutasi, sehingga dibutuhkan ukuran populasi yang banyak untuk diradiasi. Akan tetapi pada jenis tanaman yang termasuk pada chimer group seperti krisan dan anyelir, tanaman ini akan sangat mudah termutasi oleh perlakuan mutagen yang diberikan. Dengan meradiasi hanya dua planlet krisan saja, Ahloowalia 1995 memperoleh 20 mutan dari 105 planlet ya ng diperoleh pada MV3. Dari 20 mutan ini, diperoleh 15 mutan yang solid, seragam dan stabil setelah melalui tiga kali perbanyakan secara vegetatif. Pemuliaan Tanaman Anyelir Anyelir merupakan tanaman hias bunga yang telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan banyak jenis dan rupa baru, yang sangat berbeda dari jenis aslinya. Disebutkan oleh Besemer 1980 bahwa pemuliaan tanaman anyelir telah dimulai sejak abad ke-16. Jenis anyelir yang menjadi “tipe Amerika” dikembangkan di Perancis pada 1840 dan diintroduksi ke Amerika pada 1852. Kultivar “William Sim” yang dikembangkan oleh Willian Sim dari Berwick Utara, Maine, USA, pada tahun 1839 merupakan jenis anyelir yang memberikan kontribusi terbesar terhadap industri anyelir saat ini. Dari kultivar “William Sim” berwarna merah ini dimutasikan berbagai warna petal baru seperti putih, pink, orange dan berbagai bentuk variegata. Sekitar 25 dari kultivar-kultivar anyelir yang dipasarkan di Belanda adalah berasal dari perlakuan mutasi induksi. Dalam waktu enam tahun setelah kultivar “William Sim” diintroduksikan ke Belanda, lebih dari 50 kultivar mutan berhasil dikomersialisasikan di negara tersebut. Ansori 1993 dari hasil penelitiannya dengan iradiasi sinar gamma, memperoleh dua macam keturunan anyelir yang berbeda dari induknya, yaitu dari tetua yang berwarna merah muda polos menjadi berwarna kuning muda bergaris-garis pendek merah muda, atau menjadi berwarna merah muda berbintik putih. Selain itu, perlakuan iradiasi sinar gamma 1500 rad dan 2000 rad juga meningkatkan pertambahan tinggi jumlah tunas pada kultur in vitro anyelir, dibandingkan tanaman yang tidak diradiasi. Mutasi induksi juga dilaporkan bisa menghasilkan kuntum bunga anyelir yang lebih besar diameternya Broertjes dan van Harten 1988. Melalui penelitiannya, Johnson 1980 melaporkan bahwa dosis 68 gray iradiasi sinar gamma yang diberikan pada stek pucuk sembilan kultivar anyelir menimbulkan kimera periklinal pada lima kultivar, sedangkan keempat kultivar lainnya menunjukkan perubahan warna non-chimera. Kultivar non-kimera hanya menghasilkan bunga normal sesuai aslinya dan bunga mutan solid saja. Di Balai Penelitian Tanaman Hias Segunung telah dilakukan serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman anyelir dan telah dirilis empat kultivar anyelir dengan nama ‘Top Beauty’, ‘Snazzy’, ‘Unique’, dan ‘Puspita Arum’. Pemanfaatan Kultivar Hasil Mutasi Induksi Secara Ekonomi Divisi Pemuliaan Tanaman dan Genetika pada biro kerjasama antara FAO dan IAEA “International Atomic Energy Agency” telah mengumpulkan seluruh informasi mengenai kultivar-kultivar mutan yang telah dilepas sebagai varietas hasil induksi mutasi dengan teknik iradiasi. Sampai tahun 1985 saja, telah tercatat ada 794 varietas mutan yang dirilis, dan 270 34 diantaranya adalah tanaman hias. Di Jepang, kultivar yang paling banyak dihasilkan dari mutasi iradiasi adalah untuk jenis tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif. Dari 138 kultivar mutan yang dirilis, 106 diantaranya adalah spesies chrysanthemum, 21 spesies begonia dan 11 sisanya berbagai macam tanaman hias dari dua genus Kawai 1986. Pada tahun 2000, tercatat 2252 varietas mutan dari jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi yang terdaftar dalam database FAOIAEA Maluszynski 2000. Dari 2252 entry tersebut, 552 diantaranya adalah mutan dari jenis tanaman hias, dan dari sekian banyak kultivar mutan yang telah dihasilkan tersebut, 66 diantaranya dibentuk melalui mutagen iradiasi sinar gamma. Dari database FAOIAEA ini juga tercatat peranan varietas mutan secara ekonomi di sejumlah negara. Varietas-varietas mutan yang telah dirilis di Jepang ternyata dapat menyumbang sebesar US 30 juta pendapatan per tahun dari pear cv.’Gold Nijisseiki’ dan dari 18 kultivar padi mutan, total dihasilkan senilai US 937 juta per tahun; Kemudian di India, penambahan pendapatan yang dicapai sejak dirilisnya empat kultivar blackgram mutan adalah sebesar US 163 juta; Bahkan di Pakistan, nilai total per tahun yang dihasilkan dari kapas mutan cv.’NIAB-78’ sebanyak US 3 milyar. Di Indonesia, pembentukan kultivar- kultivar dari mutasi induksi telah lama dirintis melalui penelitian-penelitian kerja sama dengan PATIR BATAN Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Atom Nasional dan beberapa hasilnya telah dirilis, dimulai dengan varietas padi ‘Atomita’ pada tahun 1972 BATAN 1996. BATAN juga akan me rilis 6 varietas padi yang tahan wereng coklat biotype 2 dan 3 serta tahan terhadap bercak daun, 1 varietas kacang merah tahan terhadap kekeringan dan bercak Cercospora, serta 3 varietas kedelai tahan terhadap lahan masam dan keracunan aluminium. Penelitian pada cabe untuk mencari varietas tahan antraknosa, pada kapas untuk memperoleh ketahanan terhadap pengorok buah dan pada nilam dimaksudkan untuk meningkatkan kandungan minyak nilam. Penelitian pada krisan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh varietas yang mempunyai fotoperiodisme yang pendek P3TIR BATAN 2000. III. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL DAN IRADIASI BERULANG PADA PLANLET ANYELIR Dianthus caryophyllus SERTA UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV5 Pendahuluan Latar Belakang Tanaman anyelir merupakan tanaman hias bunga potong yang sangat digemari konsumen bunga potong di Indonesia. Sebenarnya anyelir berasal dari daerah mediterania dan spesies aslinya hanya berbunga pada musim semi akibat perubahan suhu dan fotoperiode yang lebih panjang Besemer dalam Larson 1980. Namun kemudian para pemulia melakukan pemuliaan tanaman anyelir dan menghasilkan banyak varietas- varietas baru yang adaptif pada daerah tertentu. Di daerah tropis, para produsen tanaman hias menanam anyelir di daerah pegunungan ketinggian di atas 800m dpl di dalam rumah kaca atau rumah sere sehingga manipulasi lingkungan bisa dilakukan agar mendekati kondisi di daerah asalnya. Bagi pemulia tanaman, keragaman genetik suatu populasi tanaman merupakan landasan untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Keragaman genetik yang luas dapat menjadi dasar keberhasilan perbaikan genetik melalui seleksi dalam pemuliaan tanaman. Tanpa keragaman genetik, tidak akan terjadi perbaikan karakter tanaman yang dapat diwariskan. Hal ini terjadi karena apabila suatu karakter memiliki keragaman atau variabilitas genetik yang sempit, maka setiap individu dalam populasi tersebut hampir sama, sehingga sulit untuk melakukan perbaikan karakter melalui seleksi Murdaningsih, et al. 1990. Teknologi yang cukup efektif dalam meningkatkan keragaman guna menghasilkan varietas baru pada tanaman membiak vegetatif seperti anyelir, adalah mutasi induksi. Van Harten 1998 menyatakan bahwa program pemuliaan mutasi sangat cocok diterapkan pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, terutama jika menginginkan perbaikan lebih lanjut pada varietas unggul yang sudah ada. Manfaat penting yang dapat diperoleh dari metode ‘pemuliaan mutasi’ ini adalah bahwa mutan- mutan dengan kisaran tipe warna dan bentuk bunga dapat diciptakan, tanpa mengubah karakter penting lain yang sudah ada, sehingga dengan mudah dapat dibudidayakan sebagaimana tipe normal. Broertjes dan Van Harten 1988 melaporkan kisaran dosis iradiasi sinar gamma pada berbagai jenis tanaman hias. Untuk tanaman anyelir kisaran yang telah dicobakan berada pada selang yang masih cukup lebar yaitu antara 25-120 Gy, namun dosis ini diberikan pada anyelir dalam bentuk stek pucuk. Untuk itu maka perlu dicari dosis optimum pada planlet anyelir yang dapat menghasilkan desired mutant terbanyak, di mana biasanya hal ini terjadi di sekitar LD 50 Ibrahim 1999. Ansori 1993 memberikan perlakuan iradiasi sinar gamma pada planlet anyelir dengan dosis 10, 15 dan 20 Gy. Pada penelitian ini, diberikan iradiasi sinar gamma mulai dari 10, 20, 30, 40, 50 sampai 60 Gy, mengingat daya tahan planlet secara fisik lebih lemah dibandingkan stek pucuk yang sudah beradaptasi dengan keadaan di lapangan. Selain itu, kandungan air yang tinggi pada planlet anyelir beserta media tumbuh dalam botol yang juga turut teradiasi, akan memberi pengaruh yang buruk jika dosis iradiasi yang diberikan terlalu tinggi. Dari enam taraf dosis ini diseleksi dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan diinginkan yang terbanyak, dan juga dicari nilai LD 50 untuk setiap genotipe anyelir Tujuan Penelitian ini bertujuan : 1 mengamati tingkat radiosensitivitas berbagai genotipe anyelir terhadap radiasi sinar gamma, 2 menentukan LD 50 pada planlet beberapa genotipe tanaman anyelir terhadap iradiasi sinar gamma, serta 3 memperoleh mutan solid positif yang stabil dan potensial untuk dikembangkan Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga tempat, yaitu di 1 Laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi PATIR, Badan Tenaga Nuklir BATAN Pasar Jumat, Jakarta, 2 Laboratorium Kultur Jaringan Instalasi Penelitian Tanaman Hias INLITHI Cipanas, Cianjur serta di 3 rumah sere INLITHI Cipanas, Cianjur. Tempat penelitian ini berada pada ketinggian 1100 m di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung dari Bulan April 2002 sampai November 2004. Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan planlet dari lima genotipe anyelir, yaitu genotipe 10.8, 11.10, 24.1, 24.14 dan 24.15 deskripsi kelima genotipe tertera pada Lampiran 1. Materi tanaman berasal dari sumber plasma nutfah yang tersedia di Instalasi penelitian Tanaman Hias Cipanas. Seleksi bahan tanaman dilakukan berdasarkan warna bunga, daya adaptasi di lapangan dan ketahanan terhadap hama dan penyakit utama anyelir, yaitu kutu Pediculopsis graminum dan busuk fusarium Fusarium oxysporum pv. dianthi. Sebagai sumber radiasi digunakan sinar gamma dari ionisasi Cobalt 60 melalui alat irradiator gamma chamber 4000A type Irpasena buatan India yang ada di BATAN, Pasar Jumat Jakarta. Rancangan Percobaan Iradiasi Tunggal Acute Irradiation Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap RAL pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah genotipe anyelir, yang terdiri dari lima genotipe, yaitu genotipe 10.8, 11.10, 24.1, 24.14 dan 24.15. Faktor kedua adalah dosis iradiasi, yang terdiri dari tujuh taraf, yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 gray Gy. Jadi pada percobaan ini terdapat 35 kombinasi perlakuan, dan setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Pada penelitian ini digunakan tiga planlet untuk setiap satuan percobaan, sehingga secara keseluruhan dibutuhkan 315 planlet. Model matematika yang digunakan adalah model linier rancangan acak lengkap pola faktorial sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + β j + αβ ij + ε ijk Dimana : Y ijk = hasil pengamatan dari pengaruh genotipe ke- i, dosis iradiasi ke-j, ulangan ke-k µ = rataan umum α i = pengaruh ge notipe ke- i β j = pengaruh iradiasi ke-j αβ ij = interaksi antara pengaruh genotipe ke- i dan dosis iradiasi ke-j ε ijk = pengaruh galat percobaan genotipe ke-i, dosis iradiasi ke-j, dan ulangan ke-k Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji F pada taraf 5 terhadap semua data contoh vegetatif. Sebagai uji lanjutan dari uji F, digunakan Uji Jarak Berganda Duncan UJGD pada taraf 5. Untuk mendapatkan nilai Lethal Dosis 50 LD 50 , digunakan program curve-fit analysis , yaitu suatu program analisis statistik yang dapat digunakan untuk mencari model persamaan terbaik terhadap presentase kematian dari suatu populasi Finney 2005. Analisis statistika pada program ini merupakan penggabungan antara “data- driven analysis ” dan “model-driven analysis” sehingga model persamaan matematika yang diperoleh dari pola kematian populasi genotipe-genotipe anyelir tidak harus sama antar genotipe yang satu dengan genotipe lainnya. Hanya model dengan nilai koefisien korelasi r tertinggi yang digunakan pada penelitian ini. Model- model yang digunakan tersebut adalah Reciprocal Model, Gaussian Model, Modified Power, Polynomial Fit, dan Rational Function . Data kualitatif pada karakter generatif mutan, yaitu warna dan bentuk tepi petal bunga anyelir, digunakan sebagai indikator “MUTAN”, sedangkan data kuantitatif pada karakter generatif mutan digunakan untuk pembuatan dendogram, untuk melihat derajat kemiripan mutan dengan tetuanya disajikan pada bab VII. Iradiasi Berulang Intermittent Irradiation Pada perlakuan iradiasi berulang atau intermittent irradiation, semua genotipe tanaman yang digunakan adalah sama dengan perlakuan iradiasi tunggal atau acute irradiation , begitu pula dengan taraf dosis iradiasi maupun rancangan penelitiannya. Pada populasi tanaman untuk iradiasi berulang, setelah perlakuan iradiasi pertama dilakukan iradiasi kedua denga n dosis yang sama untuk semua planlet, yaitu 25 Gy. Dengan demikian, total iradiasi sinar gamma yang diberikan pada setiap perlakuan iradiasi adalah 0 Gy kontrol, 10+25 Gy, 20+25 Gy, 30+25 Gy, 40+25 Gy, 50+25 Gy dan 60+25 Gy. Jumlah populasi untuk perlakuan iradiasi berulang ini juga sebanyak 315 planlet. Persiapan Planlet Sumber eksplan yang digunakan berasal dari tunas pucuk atau tunas lateral tanaman anyelir. Calon eksplan disterilkan melalui beberapa kali pencucian dengan deterjen, diikuti dua kali pembilasan dengan air destilata. Calon eksplan kemudian direndam dalam larutan yang mengandung bahan aktif benomyl 20mg100ml, streptomisin sulfat 15, oksitetrasiklin 1.5 10 mg100 ml dan tetrasiklin 10 mg100 ml selama satu jam, lalu dicuci bersih dengan aqua destilata. Kemudian eksplan dalam laminar air flow cabinet kembali disterilkan dengan cara direndam dalam alkohol 70 selama satu menit, dalam NaOCL 2 dikocok selama tiga menit dan kemudian diulang kembali dalam NaOCL 2 selama dua menit, diikuti dengan tiga kali pembilasan dalam air destilata masing- masing dikocok selama lima menit. Eksplan yang sudah disterilisasi ditanam dalam media Murashige and Skoog tanpa hormon MS 0 dan disimpan selama tujuh hari untuk memastikan bahwa bahan tanam sudah benar-benar steril. Selanjutnya tunas dipotong pada tiap ruas dan ditanam dalam media regenerasi. Media kultur yang digunakan adalah media MS dengan sukrosa 3, ditambah zat pengatur tumbuh 1 mgl BA dan 0.1 mgl NAA untuk menginduksi regenerasi tunas. Setelah tunas terbentuk sekitar satu bulan, dilakukan subkultur pada media MS 0. Planlet yang sudah tumbuh lengkap tunas dan akar, disimpan di ruang kultur. Iradiasi di BATAN Jakarta dilakukan pada saat tinggi planlet mencapai sekitar 10 cm. Populasi dasar ini disebut MV0. Iradiasi Planlet dengan Sinar Gamma Iradiasi Tunggal Iradiasi tunggal adalah teknik pemberian iradiasi dengan satu kali penyinaran. Aplikasi penyinaran pertama diberikan pada 7 taraf dosis, yaitu 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 Gy. Sumber sinar gamma yang digunakan adalah 60 Co. Planlet yang tidak diberi perlakuan iradiasi sinar gamma 0 Gy juga dibawa ke BATAN untuk memastikan bahwa tindakan yang diberikan seragam terhadap semua tanaman, kecuali tindakan perlakuan iradiasi yang berbeda sesuai taraf dosis yang diberikan. Besarnya dosis iradiasi yang diberikan merupakan fungsi dari waktu dan laju dosis yang dimiliki gamma chamber saat itu, dengan rumus : dosis = waktu x laju dosis sumber : Manual book for Irradiator Gamma Chamber 4000A, type Irpasena, India. Besarnya laju dosis dalam gamma chamber berubah dari waktu ke waktu, tergantung pada waktu paruhnya. Saat iradiasi dilakukan pada penelitian ini, laju dosis pada alat gamma chamber di BATAN mencapai 2108.379914 Gy jam. Setelah perlakuan iradiasi, planlet segera disubkulturkan pada media MS 0 tanpa zat pengatur tumbuh dalam botol kultur yang ditutup bagian atasnya dengan menggunakan tutup yang semipermiable, yaitu plastik wrapping makanan. Populasi planlet hasil iradiasi yang sudah satu kali disubkultur ini disebut populasi generasi MV1, dan pada subkultur berikut nya menjadi MV2. MV2 yang disubkultur akan menjadi MV3, dan begitu seterusnya. Notasi M tidak berubah karena hal itu merujuk pada perbanyakan secara generatif. Iradiasi Berulang Pada populasi yang telah disiapkan berbeda dengan populasi untuk iradiasi tunggal, dan telah mengalami set perlakuan iradiasi tunggal, dilakukan iradiasi kedua. Taraf dosis iradiasi sinar gamma yang digunakan pada iradiasi kedua ini adalah sama untuk semua planlet, yaitu 25 Gy. Iradiasi kedua dilakukan satu bulan sesudah iradiasi pertama. Untuk membedakan dengan perlakuan iradiasi tunggal, maka pada populasi iradiasi berulang digunakan notasi MV1.2 untuk generasi pertama, MV2.2 untuk generasi kedua, demikian seterusnya sampai MV5.2 untuk generasi kelima. Aklimatisasi Setelah planlet terbentuk sempurna, dilakukan aklimatisasi di luar laboratorium. Populasi generasi MV1 diaklimatisasi setelah disimpan dalam ruang kultur sekitar 8-9 minggu. Aklimatisasi hanya dilakukan pada sebagian 50 dari populasi MV1, sedangkan sebagian populasi MV1 lainnya disubkulturkan kembali untuk membentuk generasi MV2. Demikian seterusnya, sebagian populasi MV2 diaklimatisasi dan sebagian lagi disubkulturkan untuk membentuk populasi MV3, sampai generasi MV5. Aklimatisasi dilakukan dengan cara mengeluarkan planlet dari botol kultur, kemudian akar dibersihkan dicuci dari media agar yang masih menempel. Selanjutnya planlet direndam dalam larutan pestisida yang mengandung baha n aktif benomyl selama lima menit. Lalu planlet ditanam dalam gelas aqua dengan media pasir steril : tanah steril : kompos = 1:1:1. Gelas- gelas aqua ini ditata dalam nampan berisi air untuk menjaga kelembaban media tanam. Aklimatisasi dilakukan dalam screen house. Tanaman disimpan di atas rak, di bawah naungan paranet 65 . Setelah empat minggu, planlet yang sehat dipindahkan di rumah sere. Planlet ditanam pada polibag berdiameter 20 cm, dengan menggunakan media tanah : humus bambu : pupuk kandang = 2 : 2 : 1. Pemeliharaan Tanaman Lingkungan dalam rumah sere rumah plastik dijaga agar berada dalam kisaran suhu 25-30 C dan RH sekitar 90. Pupuk nitrogen diberikan dua kali, yaitu pada saat tanam dan pada umur 6 minggu masing- masing sebanyak 4 gram tanaman, sedangkan phosphor dan kalium masing- masing 9 dan 6 gram diberikan pada umur 6 MST. Selain itu juga diberikan pupuk daun cair sebanyak dua minggu sekali dengan dosis sesuai anjuran. Bila diketahui ada serangan hama atau penyakit, dilakukan penyemprotan pestisida, dengan frekuensi dan dosis sesuai anjuran. Pengamatan Di laboratorium, dilakukan pengamatan terhadap karakter sebagai berikut: 1 persentase kematian planlet setelah iradiasi, dihitung dari jumlah planlet yang mati dibagi jumlah planlet total yang diradiasi, pada masing- masing klon. Penghitungan dimulai dari satu sampai empat minggu setelah iradiasi. 2 tinggi planlet cm diukur dari permukaan medium sampai pucuk planlet tertinggi, dan dilakukan pada saat planlet dikeluarkan dari botol untuk diaklimatisasi, serta 3 jumlah tunas, dihitung untuk setiap planlet, dihitung setiap dua minggu sekali selama tiga bulan. Di lapangan dilakukan pengamatan yang meliputi 1 tinggi tanaman cm, diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh, dua minggu sekali, mulai umur 1 sampai 9 minggu setelah aklimatisasi MSA, 2 jumlah daun, dihitung setiap dua minggu sekali, mulai 1 sampai 9 MSA, 3 panjang daun cm, diukur pada daun terpanjang, satu bulan sekali selama tiga bulan, 4 lebar daun cm, diukur pada daun terlebar, satu bulan sekali selama tiga bulan, 5 persentase bunga mutan, yaitu jumlah bunga mutan yang terbentuk per unit percobaan, dibagi dengan jumlah bunga total yang dihasilkan tanaman per unit percobaan data ditampilkan pada bab VII, dan 6 karakter bunga mutan. Karakter atau keragaan bunga mutan yang diamati meliputi: a warna petal, menggunakan Royal Horticultural Colour Chart RHCC sebagai pembanding, b diameter bunga cm, diukur dari diameter terlebar dari bunga yang telah mekar penuh c jumlah putik, d jumlah tangkai sari e jumlah petal dan f bentuk tepi petal, mengikuti standar UPOV 1990 sebagai berikut : Gambar 3. Bentuk Tepi Petal Anyelir menurut standard UPOV UPOV, 1990 Indikator Mutan Identifikasi ‘mutan positif’ pada penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan warna petal dan bentuk tepi petal bunga anyelir. Tanaman yang menunjukkan perubahan baik pada warna petal maupun bentuk tepi petal, dan berbeda dari tanaman normalnya tanaman kontrol, dikategorikan sebagai mutan positif. Perubahan pada karakter generatif lainnya jumlah putik, tangkai sari dan sebagainya atau pada karakter vegetatif seperti daun albino, tanaman kerdil, pertumbuhan roset dan sebagainya, tidak dimasukkan dalam kategori mutan positif dan tidak dihitung sebagai mutan. Nama bentuk tepi petal: 1. Entire 2. Sinuate 3. Crenate 4. Dentate 5. Serate 6. Crenate-dentate Hasil dan Pembahasan Keadaan Umum Secara umum, pertumbuhan planlet di laboratorium cukup baik. Planlet yang mengalami vitrifikasi dapat diatasi dengan menggunakan tutup botol kultur dari bahan yang semipermeable Winarto 2002. Kematian planlet selain disebabkan oleh radiasi sinar gamma, juga disebabkan oleh serangan cendawan Aspergillus cendawan berbentuk serbuk hitam serta Penicillium cendawan berbentuk serbuk hijau kekuningan. Penyebab kematian jelas dapat dibedakan, karena umumnya kematian akibat radiasi hanya terjadi dalam kisaran waktu kurang dari tiga minggu setelah radiasi, planlet menjadi coklat kekeringan tanpa serangan cendawan atau bakteri dalam media Gambar 4; sedangkan kematian akibat serangan cendawan atau bakteri terjadi kapan saja, ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan koloni jamur atau bakteri yang sangat jelas. Gambar 4. Gejala Kematian Planlet Akibat Iradiasi Sinar Gamma Setiap genotipe anyelir memperlihatkan tanggap yang berbeda terhadap iradiasi sinar gamma. Selain ditunjukkan oleh presentase kematian yang berbeda, hal itu juga diperlihatkan dengan timbulnya daun abino pada planlet. Daun albino muncul pada umur satu bulan setelah iradiasi, terjadi di semua daun pada satu planlet genotipe 10.8 akibat iradiasi sinar gamma dosis 60 Gy ulangan 3, tanaman ke-1. Diduga daun albino ini muncul akibat adanya gangguan pada klorofil karena iradiasi sinar gamma, sehingga planlet tidak mampu membentuk warna hijau pada daun. Akan tetapi planlet dengan daun albino tersebut hanya dapat bertahan hidup selama satu bulan, dan menga lami kematian mengering pada bulan kedua. Lethal Dosis 50 LD 50 Satu minggu setelah iradiasi, dihitung persentase kematian planlet untuk mengamati tingkat radiosensitivitas masing- masing genotipe anyelir. Dari lima genotipe anyelir yang diteliti, umumnya planlet-planlet anyelir ini masih mampu bertahan hidup sampai pada tingkat radiasi 60 Gy. Tabel 1.menunjukkan persamaan matematika yang diperoleh melalui analisa Curve-fit, untuk mendapatkan nilai LD 50 dari genotipe-genotipe anyelir yang berasal dari planlet. Pada planlet, LD 50 anyelir berada pada kisaran yang cukup lebar, yaitu antara 29- 60 Gy iradiasi sinar gamma. Tampak bahwa secara genetik, tingkat radiosensitivitas antar planlet kelima klon anyelir ini menunjukkan perbedaan. Genotipe 24.1 merupakan genotipe dengan tingkat radiosensitivitas yang paling rendah terhadap sinar gamma LD 50 60.53 Gy, sedangkan genotipe 10.8 merupakan genotipe yang paling sensitif terhadap sinar gamma LD 50 28.88 Gy. Tabel 1. LD 50 pada Planlet Beberapa Geno tipe Anyelir Dianthus caryophyllus Linn. Akibat Iradiasi Sinar Gamma. Genotipe Model Persamaan LD 50 Gy 10.8 Reciprocal Model : y = 1__ ax + b y = ____ 1_____ 0.0003x + 0.011 28.88 11.10 Modified Power : y = a x b y = 102.4 0.98 x 39.61 24.1 Polynomial Fit : y = a+bx+cx 2 +dx 3 +... y=99.8–1.58x+0.05x 2 60.53 24.14 Rational Function : y = a + b x 1+cx+dx 2 y = 99.9 + 6.68x 1+0.04x+0.0033x 2 35.55 24.15 Gaussian Model : -x-b y = ae 2c -x+12.9 y = ae 248.14 45.37 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat radiosensitivitas suatu tanaman terhadap radiasi. Secara fisik bentuk morfologi tanaman batang yang berkayu sukulen atau daun sukulen tidak sukulen dapat mempengaruhi ketahanan fisik sel saat menerima radiasi sinar gamma. Hal ini juga berhubungan dengan faktor biologis lainnya seperti faktor genetika, dan juga faktor lingkungan seperti oxigen, kadar air, penyimpanan pasca iradiasi dan suhu Ahnstroem 1977. Oksigen merupakan faktor yang paling penting sebagai penyebab kerusakan pada jaringan tanaman yang diradiasi sinar gamma. Keberadaannya bersama-sama dengan air dalam bahan tanaman akan menghasilkan kerusakan biologis dan genetik pada sel-sel tanaman. Broertjes dan van Harten 1988 dan Alpen 1994 menyatakan bahwa semakin banyak kadar oksigen dan molekul air H 2 O berada dalam materi yang diradiasi, maka semakin banyak pula radikal bebas ya ng terbentuk. Pengaruh radiokimia yang disebabkan oleh radiasi ionisasi adalah terbentuknya ion radikal positif dan elektron bebas sebagai berikut : H 2 O à H 2 O + ion + e - H 2 O + à H + + OH o e à e - aq e - aq à H o + OH - Di dala m larutan, elektron bebas akan mempolarisasikan sejumlah molekul air dan menjadi bentuk yang disebut hydrated electron e - aq . Rekombinasi antar radikal bebas akan menghasilkan: e - aq + e - aq à H 2 + 2 OH - H o + OH o à H 2 O H o + H o à H 2 OH o + OH o à H 2 O 2 + e H o + O 2 à HO 2 o Jika terdapat oksigen, maka H o atau e - aq akan membentuk radikal HO 2 o . H 2 O 2 hydrogen peroksidase dan OH - merupakan agen pengoksida yang pada reaksi kimia berikutnya dengan molekul- molekul yang lebih besar umumnya akan merusak fungsi sel. Selain itu juga terbentuk radikal bebas seperti H o , yaitu ion yang sangat labil sehingga banyak menghasilkan benturan ke berbagai arah, yang akibatnya akan membuat perubahan atau mutasi baik di tingkat DNA, tingkat sel, maupun jaringan, bahkan sampai mengakibatkan kematian pada tanaman Ahnstroem 1977; Datta 2001. Genotipe 10.8 Melalui analisis curve-fit, ditunjukkan bahwa dengan pola sebaran tanaman yang bertahan hidup pada genotipe 10.8 Gambar 5, fungsi matematika untuk membantu mengetahui dosis yang mengakibatkan 50 populasi mati adalah Reciprocal Model dengan nilai r = 0.9409. Reciprocal Model dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut: y = 1__ ax + b Gambar 5. Grafik Presentase Tanaman Hidup pada Populasi Planlet Anyelir Genotipe 10.8 Akibat Iradiasi Sinar Gamma Dari nilai persamaan yang diperoleh melalui model reciprocal ini, didapatkan nilai 28.88 Gy sebagai dosis yang menyebabkan 50 tanaman mati pada populasi genotipe 10.8. Dosis ini merupakan nilai LD 50 yang terendah dibanding genotipe anyelir lainnya. Dengan kata lain, genotipe 10.8 merupakan genotipe dengan planlet yang paling sensitif terhadap iradiasi sinar gamma, karena dengan dosis mendekati 29 Gy saja sudah mampu menyebabkan 50 populasi yang diradiasi mati. Genotipe 11.10 Pada planlet genotipe 11.10, program Finney menempatkan fungsi Modified Power sebagai persamaan matematika terbaik untuk mendeskripsikan pola kematian populasinya r = 0.9837. Distribusi dengan Modified Power ini didefinisikan sebagai fungsi probabilitas massa. Biasanya fungsi ini digunakan untuk mengatasi masalah Tanaman Hidup

0.0 11.0

22.0 33.0

44.0 55.0

66.0 30.10

41.90 53.70

65.50 77.30

89.10 100.90

Dosis Iradiasi Gy r = 0.9409 s = 7.1132 akibat spesifikasi model statistik bivariat diskret Gupta et al. 1995. Persamaan matematikanya adalah sebagai berikut: y = a x b Tampak pada Gambar 6 pola sebaran planlet yang hidup akibat perlakuan sinar gamma diskret dan bivariate mengelompok menjadi dua-dua dan dapat dengan mulus diterjemahkan menjadi kurva menggunakan fungsi Modified Power ini. Dengan fungsi Modified Power ini, diperoleh LD 50 planlet anyelir genotipe 11.10, yaitu pada 39.61 Gy. Gambar 6. Grafik Presentase Tanaman Hidup pada Populasi Planlet Anyelir Genotipe 11.10 Akibat Iradiasi Sinar Gamma Genotipe 24.1 Fungsi Polynomial Fit merupakan fungsi terbaik pada curve-fit analysis ini untuk mendeskripsikan pola sebaran persentase tanaman hidup pada planlet anyelir genotipe 24.1 Gambar 7 dengan nilai keterandalan model r = 0.9839. Sebagaimana halnya dengan fungsi Rasional, fungsi Polynomial Fit ini juga sering digunakan jika dibutuhkan model empiris sederhana. Model ini dapat digunakan untuk interpolasi atau ekstrapolasi, bahkan juga digunakan untuk mengkarakterisasi data menggunakan Global Fit Finney 2005. Keutamaan Polynomial Fit adalah fleksibilitasnya untuk data yang tidak terlalu rumit dan linear, dimana proses penyesuaiannya masih sederhana. Akan tetapi, kekurangan fungsi ini adalah pada saat Dosis Iradiasi Gy Tanaman Hidup

0.0 11.0