I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan
laju pertumbuhan penduduk. Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian modern yang memiliki ciri-ciri ketergantungan yang tinggi pada: 1 pupuk
sintetis; 2 bahan kimia sintetis untuk pengendalian hama, penyakit, dan gulma; dan 3 varietas unggul untuk tanaman monokultur. Sistem pertanian modern
tersebut memang terbukti ampuh dalam menjawab tantangan tersebut. Menurut FAO 1989 dalam Sutanto 2002, penggunaan pupuk yang sepadan dan
seimbang di negara-negara sedang berkembang dapat meningkatkan hasil pangan 50 hingga 60 persen; bahkan seorang pengamat pertanian dunia mengemukakan
bahwa kenaikan produksi pangan dunia sejalan dengan penggunaan pupuk kimia. Namun, penggunaan bahan kimia sintetis yang intensif tersebut bukan tanpa
risiko. Allen dan Dusen 1988 mengemukakan bahwa pertanian modern ini telah menyebabkan kemerosotan sifat-sifat tanah, percepatan erosi tanah, penurunan
kualitas tanah, dan kontaminasi air bawah tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tuntutan untuk meningkatkan produksi pertanian ternyata memiliki keterbatasan.
Reijntjes et al. 1992 mengemukakan bahwa produktivitas ekosistem memiliki batas maksimal. Jika batas ini dilampaui, ekosistem akan mengalami degradasi
bahkan kemungkinan akan runtuh sehingga hanya sedikit orang yang bisa bertahan hidup dengan sumberdaya yang tersisa.
Melihat kondisi tersebut, salah satu ancaman yang besar terhadap kualitas dan kuantitas pertanian adalah hilangnya kesuburan tanah karena cara-cara bertani
yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan sistem pertanian yang sesuai dengan asas-asas lingkungan sehingga dapat menjamin
kesehatan lingkungan dan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumber daya alam bagi generasi yang akan datang.
Ciri utama pertanian berkelanjutan yang berwawasan lingkungan adalah: 1 mampu meningkatkan hasil pertanian dan menjamin kebutuhan masyarakat; 2
mampu menghasilkan gizi dengan kualitas yang tinggi dengan meminimalisasi
2
bahan kimia yang membahayakan bagi yang mengkonsumsinya; dan 3 tidak mengurangi dan merusak terhadap kesuburan lahan pertanian, termasuk di
dalamnya tidak menimbulkan erosi tanah Saepurrohman, 2005. Salah satu tawaran solusi untuk menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan adalah
pertanian organik. Menurut FAO 2002, pertanian organik didefinisikan sebagai sistem
manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik
menekankan pada meminimalkan input eksternal seperti menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan aktivitas biologis tanah. Hama dan penyakit
tanaman dikendalikan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inangpredator, peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, dan
penggunaan pestisida organik. Beberapa keuntungan yang dapat dipetik dari penerapan pertanian organik,
khususnya yang berkaitan dengan kesuburan tanah, adalah pengaruhnya terhadap sifat fisik dan kimia tanah, serta populasi mikroba tanah. Hasil penelitian di
Taiwan seperti yang dilaporkan Yamada 1988, menunjukkan bahwa pemakaian kotoran sapi dalam jangka panjang akan memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu
meningkatkan porositas tanah, dan cenderung menurunkan kerapatan padatan tanah dibandingkan dengan pemakaian pupuk sintetis yang menyebabkan
peningkatan kepadatan permukaan tanah. Terhadap sifat kimia tanah, Lin et al. 1973 menemukan bahwa tingkat Mg, Ca, dan K yang dapat dipertukarkan pada
perlakuan pupuk kandang dan pupuk hijau lebih tinggi daripada hanya menggunakan pupuk sintetis. Reganold 1989 menyatakan bahwa dalam jangka
panjang, pertanian organik dapat meningkatkan ketersediaan P, K, dan Ca dibandingkan dengan pertanian konvensional. Untuk pemakaian pupuk organik
pada lahan tanaman padi, Lin et al. 1973 dan Reganold 1989 sama-sama menyimpulkan bahwa kandungan N lebih tinggi dibandingkan dengan pemakaian
pupuk sintetis. Keuntungan pertanian organik terhadap populasi mikroba tanah erat kaitannya dengan ketersediaan karbon dalam tanah. Pupuk organik yang
3
ditambahkan ke dalam tanah akan menjadi sumber karbon dan energi bagi mikroba tanah untuk kelanjutan metabolisme, pertumbuhan, dan reproduksi.
Menurut Fraser et al. 1988, peningkatan aktivitas mikroba berbanding lurus dengan peningkatan kandungan karbon organik tanah, nitrogen, dan air dalam
pori-pori tanah.
Keuntungan lain yang diperoleh petani organik adalah dari segi keamanan
pangan, produk organik tidak menggunakan bahan pembasmi sintetis untuk hama dan penyakit, sehingga manusia terbebas dari dampak negatif akumulasi residu
bahan sintetis tersebut dalam tubuhnya. Selain itu, juga adanya kaitan antara praktek pertanian organik dengan peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.
Badan dunia FAO 2002 mengemukakan bahwa karena tidak tersedianya input dan teknologi pertanian yang murah, sederhana, dan lokal maka sebagian besar
petani tetap saja miskin, termarjinalkan, dan kelaparan. Dengan pertanian organik, permasalahan tersebut dapat diatasi karena pertanian organik sangat
menekankan pada sumberdaya alam lokal yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan, menggunakan teknologi lokal dan sederhana, serta sedapat mungkin
mengurangi input eksternal. Hal ini berarti penerapan pertanian organik mampu memangkas biaya produksi. Menurut perhitungan Andoko 2004, biaya
operasional pembudidayaan padi secara organik hanya sebesar 72 dibandingkan dengan non organik. Selain itu, FAO 2002 juga melaporkan bahwa melalui
proyek Jajarkot Permeaculture Programme di Nepal, pertanian organik yang diterapkan pada lahan seluas 350 ha menunjukkan peningkatan hasil panen padi
dari 1.8 menjadi 2.4 tonha dan jagung dari 1.2 menjadi 1.6 tonha. Dengan biaya produksi yang menurun dan hasil yang cenderung meningkat
maka petani organik memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatannya sehingga akses petani terhadap pangan juga meningkat. Jika dilihat definisi
ketahanan pangan menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang pangan, akses terhadap pangan tersebut penting bagi rumah tangga petani
karena hal itu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup secara produktif dan sehat. Dalam konsep food entitlement, Sen mengemukakan
bahwa akses rumah tangga terhadap pangan merupakan dimensi terpenting dari ketahanan pangan rumah tangga Maxwell Frankerberger, 1992. Konsep
4
tersebut menekankan pada kemampuan rumah tangga untuk memproduksi pangan atau pertukarannya guna memperoleh pangan yang cukup.
Di antara berbagai jenis pangan yang dibutuhkan rumah tangga, salah satunya adalah beras. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan
makanan pokok lebih dari setengah penduduk Asia. Sekitar 1.750 juta jiwa dari sekitar tiga miliar penduduk Asia, termasuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia,
menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras Andoko, 2004. Penduduk Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi ganguan pasokan,
harga jual beras meningkat. Karena itu, pemerintah sangat berkeinginan untuk berswasembada beras.
Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil; pada tahun 1985, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun, untuk meningkatkan produksi hingga
tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh Indonesia.
Para petani di Bogor pun hingga saat ini masih menerapkan kabijakan tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar
ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan
tanah. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Silih Asih mencoba menerapkan cara bertani padi secara organik.
Namun demikian permasalahannya adalah penguasaan lahan oleh petani tidak memadai. Rumah tangga petani di Kabupaten Bogor hanya menguasai
lahan rata-rata 0,34 ha BPS, 2004. Masalah lain adalah tingginya balita penyandang gizi buruk di Kabupaten Bogor. Telah terjadi peningkatan balita
penyandang gizi buruk sebesar 79,1, yaitu dari 3.313 balita pada tahun 2005 menjadi 5.934 balita pada tahun 2006. Sedangkan balita penyandang gizi kurang
pada 2006 telah mencapai 10.000 balita BKKBN, 2006.
1.2 Tujuan Penelitian