4
tersebut menekankan pada kemampuan rumah tangga untuk memproduksi pangan atau pertukarannya guna memperoleh pangan yang cukup.
Di antara berbagai jenis pangan yang dibutuhkan rumah tangga, salah satunya adalah beras. Beras yang dihasilkan dari tanaman padi merupakan
makanan pokok lebih dari setengah penduduk Asia. Sekitar 1.750 juta jiwa dari sekitar tiga miliar penduduk Asia, termasuk sekitar 200 juta penduduk Indonesia,
menggantungkan kebutuhan kalorinya dari beras Andoko, 2004. Penduduk Indonesia demikian tergantung pada beras, sedikit saja terjadi ganguan pasokan,
harga jual beras meningkat. Karena itu, pemerintah sangat berkeinginan untuk berswasembada beras.
Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil; pada tahun 1985, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Namun, untuk meningkatkan produksi hingga
tercapai swasembada beras tersebut segala daya upaya ditempuh oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan intensifikasi pertanian di seluruh Indonesia.
Para petani di Bogor pun hingga saat ini masih menerapkan kabijakan tersebut. Teknik bercocok tanam tradisional yang ramah lingkungan benar-benar
ditinggalkan dan digantikan dengan cara bertani modern dengan penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang ternyata berdampak buruk terhadap kesuburan
tanah. Menyadari hal tersebut, pada tahun 2002, Ketua Gabungan Kelompok Tani Gapoktan Silih Asih mencoba menerapkan cara bertani padi secara organik.
Namun demikian permasalahannya adalah penguasaan lahan oleh petani tidak memadai. Rumah tangga petani di Kabupaten Bogor hanya menguasai
lahan rata-rata 0,34 ha BPS, 2004. Masalah lain adalah tingginya balita penyandang gizi buruk di Kabupaten Bogor. Telah terjadi peningkatan balita
penyandang gizi buruk sebesar 79,1, yaitu dari 3.313 balita pada tahun 2005 menjadi 5.934 balita pada tahun 2006. Sedangkan balita penyandang gizi kurang
pada 2006 telah mencapai 10.000 balita BKKBN, 2006.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari katahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras organik. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
5
1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga petani penghasil beras
organik. 2.
Mengidentifikasi penguasaan lahan dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga.
1.3 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan informasi bagi pemerintah, khususnya Departemen Pertanian, tentang kondisi ketahanan pangan
rumah tangga petani penghasil beras organik. Dengan masukan tersebut, diharapkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang tepat mengenai
penerapan sistem pertanian pangan organik.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketahanan Pangan 2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan untuk pertama kalinya berkembang bersamaan dengan terjadinya krisis pangan global, yaitu pada dekade 70-an. Konsep
ketahanan pangan yang berkembang saat itu lebih tertuju pada ketersediaan pangan secara nasional dan global. Pada dekade 80-an terjadi perubahan konsep
ketahanan pangan. Konsep ketahanan pangan lebih mengarah pada unit analisis yang lebih spesifik yaitu ketersediaan dan konsumsi pangan di tingkat rumah
tangga atau individu dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi Braun et al. 1992; Maxwell Frankenberger 1992; Martianto 1999.
Penyebab dari perubahan pemahanan tersebut terkait dengan kenyataan bahwa ketersediaan pangan pada skala wilayah daerah atau nasional tidak
menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini disebabkan adanya faktor lain yang menghambat akses perolehan pangan
di tingkat rumah tangga atau individu. Menurut Maxwell dan Frankenberger
1992, Amartya Sen mengemukakan bahwa faktor penghambat tersebut terkait dengan entitlement faktor kepemilikan. Level entitlement yang rendah pada
individurumah tangga menyebabkan mereka tidak punya akses terhadap pangan. Handewi dan Ariani 2002 mengungkapkan bahwa pada awalnya
pertanyaan seputar ketahanan pangan adalah berkisar pada ”dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup”, kemudian pertanyaan tersebut dipertajam lagi
oleh International Food Policy Research Institute IFPRI menjadi “dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan
terjangkau oleh kelompok miskin”. Namun sejak awal 1990-an pertanyaan tersebut telah jauh lebih lengkap dan komplek menjadi “dapatkah dunia
memproduksikan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup”.
Sejalan dengan perkembangan konsep ketahanan pangan, pengertian ketahanan pangan juga mengalami perkembangan. Saat ini, pengertian ketahanan
pangan yang telah diterima oleh kalangan secara luas adalah terjaminnya akses
7
pangan pada segenap rumah tangga serta individu setiap waktu sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat Braun et al. 1992; Suhardjo 1996, Soetrisno 1997;
yang selanjutnya oleh Baliwati 2001, akses pangan dalam pengertian tersebut dimaknakan sebagai aksesbilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan.
Namun sebelum sampai pada pengertian tersebut, seperti yang diungkapkan Soetrisno 1995, pada tahun 1984 konferensi FAO mencetuskan dasar-dasar
ketahanan pangan yang pada intinya adalah menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk dapat
memperoleh pangan. Pengertian tersebut selanjutnya disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition
ICN yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 dalam Suhardjo 1996 yang memberikan definisi ketahanan pangan rumah
tangga sebagai berikut: “Ketahanan pangan rumah tangga household food security
adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan
kegiatan sehari-hari”. Kemudian dalam sidang Committee on World Food Security
1995 dalam Soetrisno 1997, definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “dapat diterima oleh budaya setempat” acceptable within
given culture . Berkenaan dengan budaya setempat, Hasan 1995
mengemukakan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap
waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam yang memenuhi syarat-syarat
gizi yang diterima budaya setempat. Selanjutnya, seperti yang diungkapkan Handewi dan Ariani 2002, pengertian tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi
Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi KTT Pangan Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan
terwujud apabila semua orang, setiap saat, memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi
kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Di Indonesia, deklarasi Roma tentang ketahanan pangan tersebut dapat
diterima, yang kemudian dilegitimasi pada rumusan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan Bab I, Pasal 1, yang
8
menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik juml ah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Sementara itu, Lokakarya Ketahanan Pangan Nasional Deptan 1996 memberikan rumusan ketahanan
pangan rumah tangga sebagai berikut: ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan
berkelanjutan baik dari produksi sendiri ataupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragam yang sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga
agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif.
Dengan demikian, pada hakekatnya ketahanan pangan rumah tangga adalah seperti yang dikemukakan oleh Chung 1977 dan Haddad 1997, yaitu
merupakan rangkaian dari tiga komponen utama, yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, kemudahan memperoleh pangan, dan pemanfaatan pangan.
2.1.2 Indikator Ketahanan Pangan
Mengingat pengertian katahanan pangan yang berubah-ubah dan menyangkut aspek yang sangat luas, maka indikator yang digunakan para peneliti
atau pakar untuk mengukur ketahanan pangan pun sangat beragam. Ketahanan pangan dapat diukur tidak hanya pada tingkat agregatif nasional dan regional
tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga dan individu Soekirman 1996.
Menurut Sayogyo 1991, indikator pertanian dan sosial ekonomi yang digunakan untuk menganalisis ketahannan pangan meliputi pendapatan rumah
tangga, harga pangan, harga barang konsumsi lain, sistem irigasi, status gizi, dan pelayanan kesehatan. Menurut Sutrisno 1997, dengan mengacu pada pengertian
ketahanan pangan dalam Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan dan rencana aksi KTT Pangan Dunia, maka beberapa indikator yang dapat
digunakan meliputi: 1 angka ketersediaan pangan setara energi, protein, dan lemak dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 2
angka konsumsi energi, protein, dan lemak penduduk dibandingkan dengan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 3 persentase jumlah penduduk yang
9
mengalami rawan pangan; 4 angka indeks ketahanan pangan rumah tangga; 5 angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan wilayah; 6
tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; 7 skor Pola Pangan Harapan PPH untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; 8 kondisi keamanan pangan;
9 keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan 10 tingkat cadangan pangan pemerintah dibanding perkiraan kebutuhan.
Sementara itu, Suhardjo 1996, mengungkapkan bahwa kondisi ketahanan pangan rumah tangga dapat tercermin dari indikator: 1 tingkat kerusakan
tanaman, ternak, perikananan; 2 penurunan produksi pangan; 3 tingkat ketersediaan pangan dalam rumah tangga; 4 proporsi pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran atau pendapatan total; 5 fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsusmsi; 6 perubahan kehidupan sosial seperti: migrasi,
menjualmenggadaikan aset, pinjam meminjam; 7 keadaan konsumsi pangan kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas, serta 8 status gizi. Menurut Susanto
1995, ketahanan pangan rumah tangga yang menurun dapat diramalkan dengan menggunakan gejala-gejala alam dan gejala-gejala sosial yang dapat diamati dan
dicatat. Gejala-gejala alam yang terkait dengan kemungkinan terjadinya rawan pangan dan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain: 1 daun-
daun pohon di hutan mengering dan berjatuhan; 2 binatang hutan babi hutan, dan lain-lain turun ke desa-desa; 3 sumber-sumber air mengering; 4 anjing-
anjing perumahan banyak berkeliaran di pasar; dan 5 binatangcacing-cacing laut banyak bergerombol di pantai. Gejala-gejala sosial yang terkait dengan
kemungkinan menurunnya ketahanan pangan rumah tangga antara lain adalah terjadinya peningkatan jumlah: 1 penduduk yang melakukan urbanisasi; 2
muridsiswa yang putus sekolah; 3 pedagang asongan; 4 pengemis dan pemulung; 5 WTS dari kalangan masyarakat berpenghasilan rendah; 6 kasus
pencurian dan perampokan; dan 7 tuna karya. Maxwell dan Frankenberger 1992 membagi indikator ketahanan pangan ke
dalam dua kelompok, yaitu indikator proses dan indikator hasil. Indikator proses process indicators mencerminkan derajat kerentanan karena faktor ketersediaan
pangan dan akses fisik pangan. Indikator yang mencerminkan ketersediaan pangan di antaranya adalah: data meteorologi, informasi sumberdaya alam, data
10
produksi pertanian, model agroekologi, Neraca Bahan Makanan, informasi sebaran hama penyakit tanaman, struktur pasar, dan kelembagaan penunjang.
Indikator hasil outcomes indicators merupakan proksi dari konsumsi pangan. Indikator ini terdiri atas indikator langsung direct indicators dan tidak
langsung indirect indicators. Termasuk dalam indikator langsung adalah: pengeluaran pangan rumah tangga, persepsi rumah tangga terhadap ketahanan
pangan dan frekuensi pangan. Ada pun kategori indikator tidak langsung antara lain mencakup kajian tentang simpanan cadangan pangan, rasio potensi
subsisten dan status gizi. Sebagai rangkuman dari berbagai indikator yang digunakan dalam studi
ketahanan pangan rumah tangga, Chung et al. 1997 memberikan kerangka konseptual ketahanan pangan beserta penggolongan indikator generiknya
Gambar 1. Dalam kerangka konseptual ketahanan pangan tersebut terdapat tiga komponen ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan.
Uraian dari ketiga komponen ketahanan pangan beserta indikatornya adalah sebagai berikut: 1 komponen ketersediaan pangan meliputi sumberdaya alam,
fisik, manusia dan produksi pertanian dan non pertanian. Indikator yang
digunakan untuk menjelaskan sumberdaya alam adalah curah hujan, kualitas
tanah, ketersediaan air, dan akses terhadap sumberdaya hutan; untuk menjelaskan
sumberdaya fisik
adalah pemilikan ternak, sarana pertanian, dan tanah, serta
akses infrastruktur; dan untuk sumberdaya manusia adalah rasio ketergantungan,
pendidikan, besar keluarga, dan umur kepala keluarga. Adapun indikator
produksi meliputi total luas lahan garapan, luas lahan beririgasi dan diberakan,
akses terhadap input dan penggunaannya, pola tanam, keragaman tanaman, produksi pangan, dan produksi non pertanian; 2 kompone n akses pangan
tergantung pada pendapatan baik dari pertanian maupun non pertanian. Indikator yang digunakan adalah total pendapatan, pendapatan dari tanaman dan ternak,
upah, harga jual, pasar, akses jalan, dan kiriman uang; dan 3 komponen pemanfaatan pangan yang meliputi konsumsi pangan dan non pangan dan status
gizi anak dan dewasa. Indikator yang digunakan untuk konsumsi adalah total pengeluaran, pengeluaran untuk pangan dan non pangan, harga beli, konsumsi dan
frekuensi pangan. Indikator status gizi meliputi antropometri, kadar serum,
11
kesakitan, kematian, kelahiran, akses pelayanan kesehatan, air bersih, serta sanitasi yang memadai.
UNICEF 1997 menyetakan bahwa ketidakterjaminan akses pangan merupakan faktor penyebab tidak langsung munculnya masalah gizi kurang pada
anak selain oleh penyakit infeksi terutama diare Gambar 2. Gambaran dari
Sumberdaya
•
Alam
•
Fisik
•
Manusia Produksi
•
Pertanian
•
Non pertanian Pendapatan
•
Pertanian
•
Non Pertanian Konsumsi
•
Pangan
•
Non Pangan Status gizi
•
Anak
•
Dewasa Ketersediaan
pangan Akses
pangan Pemanfaatan
pangan
INDIKATOR GENERIK
Sumberdaya Alam
Curah hujan Kualitas tanah
Ketersediaan air Akses terhadap
sumberdaya hutan Fisik
Pemilikan ternak Pemilikan sarana
pertanian Pemilikan tanah
Akses infrastruktur Manusia
Rasio ketergantungan Pendidikan
Besar keluarga Umur kepala
keluarga
Produksi
Total luas lahan garapan
Luas lahan beririgasi Luas lahan diberakan
Akses terhadap input dan penggunaannya
Pola tanam Keragaman tanaman
Produksi pangan Produksi non
pertanian
Pendapatan Pendapatan dari
tanaman Pendapatan dari
ternak Upah
Harga jual Pasar
Akses jalan Kiriman uang
Konsumsi Total pengeluaran
Pengeluaran pangan
Pengeluaran non pangan
Harga beli Konsumsi pangan
Frekuensi pangan
Status gizi Antropometri
Kadar serum Angka kesakitan
Angka kematian Angka kelahiran
Akses pelayanan
kesehatan Akses terhadap
air bersih Sanitasi yang
memadai
Gambar 1 Kerangka konseptual ketahanan pangan dan indikator generik Chung 1997
12
UNICEF 1997 di atas memperlihatkan bahwa jumlah dan kualitas sumber daya yang dicerminkan oleh ketersediaan dan produksi pangan aka n menentukan
kemampuan rumah tangga mengakses pangan.
Gambar 2 Kerangka konseptual kurang gizi pada anak UNICEF 1997
Ketidakcukupan akses terhadap
pangan Kualitas air dan
sanitasi dan pelayanan kesehatan tidak
memadai Ketidakcukupan
Konsumsi Pangan Penyakit
Masalah gizi kurang pada anak
Pokok masalah Penyebab tidak
langsung di tingkat rumah tangga
Penyebab langsung di tingkat individu
Dampak
Politik, budaya, agama, ekonomi, dan sistem
sosial, termasuk status wanita yang membatasi
pemanfaatan sumber daya potensial
Ketidakcukupan danatau ketidaktepatan
pengetahuan atau sikap diskriminatif yang
membatasi akses rumah tangga terhadap sumber
daya aktual
Kuantitas dan kualitas sumber daya aktual – manusia, ekonomi, dan organisasi – dan cara mereka mengontrolnya.
Sumber daya potensial: lingkungan, teknologi, dan penduduk
Ketidakcukupan perawatan ibu dan
anak
13
2.2 Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik
Menurut Manguiat 1995, ada dua peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama
adalah laporan dari Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan World Commission on Environment and Development
pada tahun 1987, yang mendefinisikan yang berupaya mempromosikan paradigma pembangunan
berkelanjutan sustainable development. Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan
mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development. Di kalangan para pakar ilmu tanah atau agronomi, istilah pertanian
berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA Low External Input Sustainable Agriculture
atau LISA Low Input Sustainable Agriculture, yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input benih, pupuk
kimia, pestisida, dan bahan bakar dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian Salikin 2003.
Menurut Reijntjes et al. 1992, pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumber daya pertanian untuk memenuhi perubahan kebutuhan manusia sambil
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumbar daya alam.
Menurut FAO 1989 seperti yang diacu dalam Salikin 2003, menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumber daya
alam yang berorientasi pada perubahan teknologi dan kelembagaan yang dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan.
Selanjutnya, Nasution 1995 mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah kegiatan pertanian yang berupaya untuk memaksimalkan manfaat sosial
dari pengelolaan sumber daya biologis dengan syarat memelihara produktivitas dan efisiensi produksi komoditas pertanian, memelihara lingkungan hidup, dan
produktivitas sumber daya sepenjang masa. Dari berbagai definisi di atas, pertanian berkelanjutan berkaitan dengan
dimensi waktu dan kapasitas sistem usaha tani untuk mendukung kehidupan dalam jangka waktu tidak terbatas. Keadaan tersebut dapat dicapai berdasarkan
dua elemen kunci, yaitu 1 penggunaan bahan kimia terutama pupuk dan
14
pestisida secara minimal, dan 2 sistem usaha tani dipandang sebagai satu kesatuan sehingga pengambilan keputusan harus memperhatikan dampak terhadap
sistem yang lain Baliwati 2001. Dengan demikian, keterkaitan antara pertanian berkelanjutan dengan
ketahanan pangan dapat dilihat pada tujuan dari penerapan sistem pertanian berkelanjutan yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan. Zamora
1995 merinci tujuan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: 1 untuk mewujudkan ketahanan pangan, 2 pengembangan sumber daya manusia, 3
meningkatkan kualitas hidup, dan 4 menjaga kelestarian sumber daya alam. Untuk menilai keberlanjutan dari suatu sistem usaha tani diperlukan
indikator. Indikator pertanian berkelanjutan yang dikembangakan Conway 1987 seperti yang diacu dalam Salikin 2003 meliputi produktivitas, stabilitas,
sustainabilitas, dan ekuitabilitas. Produktivitas sistem pertanian merupakan upaya peningkatan produksi per satuan waktu. Stabilitas sistem pertanian
menggambarkan fluktuasi produksi hasil panen setiap waktu yang disebabkan oleh perubahan agroekosistem atau serangan hama dan penyakit. Sustainabilitas
merupakan gambaran ketahanan sistem budi daya pertanian terhadap perubahan lingkungan atau ekonomi . Perubahan ini dapat bersifat menekan karena
memberikan efek yang akumulatif, seperti erosi atau penurunan permintaan atas produk pertanian; atau bersifat mengejutkan karena tak terduga dan memberikan
dampak yang sangat berarti, seperti terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan peningkatan harga input pertanian secara tajam.
Ekuitabilitas atau kesamarataan menggambarkan bahwa produksi pertanain dapat dapat memberikan keuntungan yang merata atau sebaliknya. Ekuitabilitas
usaha tani yang tinggi akan membuat sebagian besar orang orang dapat menikmati keuntungan dari produk pertanian.
Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik.
Pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah no-tillage yang merupakan salah bentuk penerapan pertanian berkelanjutan, jika dikombinasikan dengan
sistem pertanian organik akan memberikan hasil yang memuaskan. Hasil penelitian Teasdale et al 2007 yang dilakukan selama 9 tahun menunjukkan
15
bahwa produksi jagung yang diperoleh dari lahan no-tillage dengan kombinasi pertanian organik memberikan hasil 18 lebih besar daripada lahan no-tillage
dengan sistem pertanian non organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut IFOAM 2004 adalah sistem
pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. Di Indonesia,
pengertian sistem pertanian organik lebih dirinci oleh Badan Standardisasi Nasional yang dituangkan dalam SNI 2002 tentang Sistem Pangan Organik,
yaitu sebagai sistem pertanian yang menerapkan praktek-praktek manajemen yang bertujuan untuk memelihara ekosistem untuk mencapai produktivitas yang
berkelanjutan, dan didasarkan pada penggunaan masukan eksternal yang minimum, serta menghindari penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Kesuburan
tanah dijaga dan ditingkatkan melalui suatu sistem yang mengoptimalkan aktivitas biologis tanah dan keadaan fisik dan mineral tanah yang bertujuan untuk
menyediakan suplai nutrisi yang seimbang bagi kehidupan tumbuhan dan ternak serta menjaga sumberdaya tanah. Manajemen hama dan penyakit dilakukan
dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inangpredator, peningkatan populasi serangga yang menguntungkan, pengendalian biologis serta
pembuangan secara mekanis hama maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi. Lebih jauh menurut SNI 2002, sistem pertanian organik merupakan suatu
sistem produksi pangan organik yang dirancang untuk: 1 mengembangkan
keanekaragaman hayati dalam sistem secara keseluruhan; 2 meningkatkan aktivitas biologis tanah; 3 menjaga kesuburan tanah dalam jangka panjang; 4
mendaur ulang limbah yang berasal dari tumbuhan dan hewan untuk mengembalikan nutrisi ke lahan sehingga meminimalkan penggunaan sumberdaya
yang tidak dapat diperbaharui; 5 mengandalkan sumberdaya yang dapat diperbaharui pada sistem pertanian yang dikelola secara lokal; 6
mempromosikan penggunaan tanah, air dan udara secara sehat, serta meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan oleh praktek-praktek
pertanian; 7 menangani produk pertanian dengan penekanan pada cara pengolahan yang hati-hati untuk menjaga integritas organik dan mutu produk pada
seluruh tahapan; dan 8 bisa diterapkan pada seluruh lahan pertanian yang ada
16
melalui suatu periode konversi, dimana lama waktunya ditentukan oleh faktor spesifik lokasi seperti sejarah lahan serta jenis tanaman dan hewan yang akan
diproduksi. Menurut Andoko 2004, yang dimaksud dengan beras organik adalah beras
yang berasal dari padi yang dibudidayakan secara organik; artinya padi tersebut ditumbuhkembangkan dengan mengikuti prinsip-prinsip pertanian organik. Beras
organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan beras non organik. Andoko 2004 mengungkapkan bahwa nasi dari beras organik lebih empuk dan
pulen, memiliki kenampakan lebih putih, serta memiliki daya tahan hingga 24 jam sementara nasi dari beras non organik hanya 12 jam. Dari alasan keamanan
pangan, konsumen merasa tidak terancam kesehatannya dengan memilih padi organik karena tiadanya pemakaian pestisida dalam budidayanya. Alasan
kesehatan ini juga diungkapkan oleh Pranasari 8 Nov 2004, yang menulis bahwa pemilihan pangan organik antara lain disebabkan peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan. Persepsi positif terhadap beras organik ditambah dengan masih terbatasnya
pasokannya merupakan penyebab utama harga jual beras organik lebih mahal daripada beras non organik. Dalam tulisannya Andoko 2004 menyebutkan
ketika harga beras non organik varietas pandan wangi sekitar Rp 3.300kg, harga beras organik dapat mencapai Rp 3.600kg untuk varietas yang sama. Selisih
tersebut memang tidak banyak, namun tetap berada di atas harga beras non organik. Hal inilah yang membuat nilai ekonomis beras organik lebih tinggi
dibanding beras non organik. Melihat kenyataan tersebut, wajar apabila sebagian petani bersedia beralih
dari penghasil beras non organik ke organik. Apalagi jika dilihat dari biaya operasional pembudidayaan padi organik yang lebih rendah daripada non organik.
Dengan asumsi sama-sama tidak ada gangguan alam atau serangan hama penyakit, Andoko 2004 menyebutkan untuk padi organik, petani hanya
membutuhkan biaya operasional pembudidayaan sebesar Rp 3.375.000,- per ha padahal untuk padi non organik petani harus mengeluarkan uang sebesar Rp
4.677.500,- untuk luasan lahan yang sama. Rincian biaya operasional pembudidayaan padi organik dan non organik disajikan pada Tabel 1.
17
Pendapatan petani dari beras organik tersebut dapat lebih ditingkatkan lagi jika kondisi petani memungkinkan untuk menerapkan sistem usahatani yang
memadukan komponen tanaman dan ternak. Sayangnya, sistem usahatani ini mensyaratkan kepemilikan ternak dalam jumlah yang memadai dan tersedia lahan
dengan luasan yang mampu menopang sistem pertanian terpadu tersebut. Namun jika persayaratan tersebut dapat terpenuhi, maka salah satu pertimbangan dalam
mengembangkan pertanian organik, yaitu memanfaatkan sumberdaya terbarukan renewable resources yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri, akan dapat
dipenuhi IFOAM 1990, diacu dalam Sutanto 2002. Tabel 1. Perbandingan biaya operasional per ha pembudidayaan padi
organik dan non oganik Andoko 2004
Uraian Biaya Budidaya Rp
Organik Non organik
Benih 150.000
150.000 Pupuk dasar
750.000 -
Pupuk susulan: - Organik
200.000 -
- Non organik -
1.532.500 Pestisida:
- Organik 50.000
- - Non organik
- 750.000
Tenaga kerja 2.225.000
2.225.000 Jumlah
3.375.000 4.677.500
Shivashankara dan Hedge 1996 dalam Sutanto 2002 mengungkapkan walaupan sistem usahatani yang memadukan komponen tanaman dan ternak ini
memiliki karakteristik membutuhkan tenaga kerja labih banyak sepanjang tahun, namun produk pertanian yang diperoleh menjadi beragam yaitu berupa produk
hewani dan nabati. Sistem usahatani ini menuntut penggantian biomassa dalam jumlah banyak melalui pengembalian sisa tanaman dan kotoran ternak ke dalam
tanah, maka terjadi peningkatan proses daur ulang, kesehatan tanah diperbaiki, produksi meningkat, dan lingkup pertanian organik terpenuhi. Secara ringkas,
hubungan sistem usahatani tersebut dengan karakteristiknya disajikan pada Gambar 3.
18
2.3 Land-man Ratio