Pola komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh pada mahasiswa pascasarjana IPB

ABSTRAK
OKTAVIA RATTIKA MULADSIH. Communication patterns, decision making, and
long distance family well-being of graduate students of IPB. Under direction of
ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI and TIN HERAWATI.
Communication patterns, decision making, and family well-being in the
long distance was thought to differ from others, so that it lies behind this
research. The purpose of this research was to analyze the relationship between
communication patterns, decision making, and family well-being in the long
distance family of graduate students of Bogor Agricultural University (IPB). This
research used cross-sectional study design, with research sites in Darmaga
Campus of IPB Bogor. This research used as many as 75 respondents with
certain criteria, with are post graduate students of 2009’s IPB force, already
married and have children, and undergo long-distance family. Results of this
research showed that social support has a positive and significant relationship
with communication patterns and family well-being. Family well-being has a
positive and significant relationship with family income per capita. Communication
patterns were influenced by the contribution of wife to family income and social
support. Decision making was influenced by number of family members. The
factors that influence the subjective welfare of the family are social support and
communication patterns.
Keywords: long distance family, communication patterns, decision making, family

well-being

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu bidang pembangunan Indonesia yang saat ini diperhatikan
perkembangannya adalah bidang pendidikan. Berbagai cara dilakukan oleh
pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan. Masyarakat
dimotivasi pemerintah melalui beragam cara agar mau berusaha mengejar
pendidikan setinggi-tingginya. Undang-undang Dasar 1945 telah menjamin
warga negara Indonesia berhak untuk memperoleh pendidikan. Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia (Depkumham 2009).
Lingkungan sosial yang paling dekat dengan manusia atau pribadi adalah
keluarga (Soedarsono 1997). Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang
anggotanya terbentuk melalui suatu ikatan perkawinan atau adopsi dan tinggal
bersama dalam satu rumah, bekerjasama dalam hal ekonomi dan saling

melindungi antar anggotanya (Murdock 1949 dalam Nirmala 2002). Peran
keluarga untuk mendukung anggota keluarganya dalam menempuh pendidikan
merupakan hal yang sangat penting. Keluarga merupakan lingkungan terdekat
yang akan memberikan motivasi anggota keluarganya untuk mencapai tujuan
keluarga yang mencakup banyak aspek, seperti aspek ekonomi, religi,
kesehatan,

dan

pendidikan.

Keberhasilan

seseorang

untuk

menempuh

pendidikan sangat tergantung pada motivasi keluarganya, yang diwujudkan

dengan beragam cara yang berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang
lain.
Dewasa ini pengembangan bidang pendidikan yang dilakukan pemerintah
bisa dikatakan berhasil, di mana banyak data menunjukkan tentang keberhasilan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas pendidikan. Menurut Depdiknas (2008),
bahwa jumlah sekolah atau lembaga sejak tahun 2003 hingga tahun 2008
meningkat setiap tahunnya. Demikian pula dengan jumlah siswa, mahasiswa,
guru, dan dosen yang setiap tahunnya juga mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi kesadaran maupun motivasi masyarakat
untuk meningkatkan kapasitas dalam hal pendidikan.

2

Banyaknya motivasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tinggi
dari berbagai pihak tersebut menyebabkan banyak masyarakat Indonesia saat ini
mencoba untuk mencapai pendidikan pada jenjang yang semakin tinggi. Institusi
pendidikan yang dicari masyarakat adalah yang memiliki kualitas baik, walaupun
jarak dari tempat tinggal sangat jauh. Tidak sedikit yang merantau dan
meninggalkan tempat tinggalnya demi mencapai cita-cita meraih pendidikan yang
tinggi.


Adanya

motivasi

untuk

mengejar

pendidikan

tersebut

menjadi

permasalahan tersendiri bagi yang telah berkeluarga. Banyak pula yang
meninggalkan atau berpisah dengan keluarganya untuk menempuh pendidikan
karena jauh dari tempat tinggalnya. Suami atau istri berpisah tempat tinggal
dengan anaknya, atau anggota keluarga yang satu berpisah dengan anggota
keluarga yang lain. Kasus tersebut dinamakan dengan keluarga jarak jauh. Salah

satu perguruan tinggi yang memiliki mahasiswa cukup banyak dari luar daerah
atau luar kota, terutama yang telah menikah adalah mahasiswa pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB). Data asal daerah mahasiswa pascasarjana IPB
tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Jumlah Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Berdasarkan
Asal Daerah tahun 2009

Asal Daerah Mahasiswa

Jabodetabek
Jawa dan Madura
Kalimantan
Sumatera dan kepulauan
Sulawesi dan kepulauan
Bali dan kepulauan Nusa Tenggara
Papua
Maluku dan kepulauan
Luar negeri
Total

Jumlah
(orang)
465
154
63
176
75
28
35

37
7
1 040

Persentase
(%)
44.7
14.8
6.1
16.9
7.2
2.7
3.4
3.6
0.7
100.0

Sumber: Sekolah Pascasarjana IPB (2009)

Berdasarkan Tabel 1, jumlah mahasiswa pascasarjana IPB tahun 2009

sebanyak 1 040 orang, 50.8 persen di antaranya adalah perempuan, serta telah
menikah sebanyak 56 persen (sebanyak 582 orang). Dapat dilihat pada Tabel 1,
bahwa dari jumlah mahasiswa sebanyak 1 040 orang, lebih dari setengahnya
berasal dari luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Dapat disimpulkan bahwa banyak peluang mahasiswa IPB yang berasal dari luar
daerah dan telah berkeluarga akan menjalani hubungan keluarga jarak jauh
dengan beberapa pertimbangan. Umumnya, mereka memilih kondisi tersebut

3

karena mempertahankan profesi masing-masing. Hubungan jarak jauh memang
tidak mudah dilakukan, sebab kebanyakan pasangan yang melakukannya malah
tambah mesra. Mereka berkomitmen untuk saling percaya. Menjalani keluarga
jarak jauh bukan persoalan yang mudah. Tidak bisa dihindari pula, masalah pun
makin mudah timbul, karena frekuensi pertemuan dengan pasangan semakin
berkurang, dan bagi yang tidak siap menjalani hubungan long distance ini akan
memunculkan

dilema


dan

konflik-konflik

kecil.

Bahkan

tidak

menutup

kemungkinan akan menyulut konflik besar, karena dalam waktu lama, banyak
pasangan yang tidak kuat, di mana pasangan yang terpisah tersebut tergoda
untuk mencari pelarian dari kesepiannya sehingga peluang selingkuh dan
perceraian pun bisa terjadi (Anonim 2008).
Keluarga jarak jauh harus memiliki strategi manajemen sumberdaya
keluarga khusus, sebab antar anggota keluarga yang satu berpisah dengan yang
lain. Jarak antar anggota keluarga yang jauh mengakibatkan adanya pola
komunikasi yang berbeda dibandingkan dengan hidup dalam satu rumah.

Menurut

Iskandar

(2007),

renggangnya

interaksi

antar

anggota

dapat

menyebabkan misunderstanding sehingga pengambilan keputusan di tingkat
keluarga menjadi kurang tepat.
Perubahan peran anggota keluarga juga merupakan salah satu dampak
dari hubungan keluarga jarak jauh. Oleh karena itu, peran yang berubah tersebut

mengakibatkan pola pengambilan keputusan yang juga berubah, di mana
terhambat oleh jarak. Pola komunikasi yang tidak langsung (jarak jauh) akan
mengakibatkan keluarga harus memiliki cara tersendiri untuk tetap bisa
melakukan proses pengambilan keputusan keluarga, seperti keputusan ibu untuk
bekerja, pendidikan anak, kesehatan, dan lain sebagainya. Perkembangan
teknologi menyebabkan perubahan sistem masyarakat

yang akan berakibat

pada perubahan individu atau anggota-anggota keluarga dan keluarga itu sendiri.
Salah satu faktor yang menyebabkan pentingnya manajemen

sumberdaya

keluarga adalah ketidakstabilan keluarga seperti interaksi keluarga, komunikasi
antar anggota keluarga yang relatif singkat menyebabkan anggota keluarga tidak
saling mengetahui kegiatan masing-masing (Guhardja et al. 1989).
Peranan dari masing-masing anggota keluarga akan menentukan bentuk
manajemen dalam mengelola suatu keluarga. Terdapat perbedaan manajemen
keluarga antara suatu keluarga dengan ibu rumahtangga yang bekerja di luar
rumah dibandingkan dengan keluarga yang ibu rumahtangganya tidak bekerja.

4

Sering dalam suatu keluarga, suami tidak hanya mencari nafkah, tetapi kadangkadang mengerjakan pekerjaan rumahtangga juga. Begitu pula sebaliknya, istri
tidak hanya bekerja di rumah dan mengasuh anak tetapi juga bekerja di luar
rumah membantu suami untuk menambah pendapatan guna memenuhi
kebutuhan keluarga. Dahulu sebagian orangtua melarang anak wanita sekolah,
tapi sekarang justru menganjurkan anak wanitanya untuk sekolah setinggitingginya (Guhardja et al. 1989).
Salah satu hal yang harus dikorbankan ketika memiliki tujuan untuk
melanjutkan pendidikan di luar kota adalah keluarga, sebab tidak semua
mahasiswa mampu untuk membawa seluruh anggota keluarganya berpindah,
sehingga harus menjalani resiko keluarga jarak jauh. Manajemen sumberdaya
keluarga yang terhambat oleh jarak akan berdampak pula dengan kesejahteraan
keluarga. Menurut Guhardja et al. (1989), para peneliti keluarga telah mencatat
berbagai perubahan dalam susunan keluarga, mobilitas, tahap-tahap dan polapola kehidupan, peranan dari anggota keluarga dan interaksinya dengan
masyarakat yang lebih besar.
Permasalahan utama yang akan dihadapi oleh keluarga jarak jauh di
antaranya

adalah

pola

komunikasi,

pola

pengambilan

keputusan,

dan

kesejahteraan keluarga. Hal tersebut terkait dengan jarak antaranggota keluarga
yang satu dengan yang lain yang berjauhan, sehingga menuntut manajemen
sumberdaya keluarga yang baik dalam keluarga tersebut. Oleh karena itu, hal
yang akan dikaji adalah mengenai pola komunikasi, pengambilan keputusan, dan
kesejahteraan keluarga keluarga jarak jauh pada mahasiswa Pascasarjana IPB.
Perumusan Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan era globalisasi menuntut setiap
manusia untuk mengembangkan keahlian dan pendidikan yang dimiliki. Kualitas
pendidikan yang selalu dievaluasi dan ditingkatkan oleh pemerintah menjadi
motivasi masyarakat untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh
karena itu, setiap individu berlomba-lomba untuk dapat menempuh jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dewasa ini.
Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang terpaksa meninggalkan
keluarganya dengan merantau untuk menempuh pendidikan di institusi
pendidikan yang berkualitas. Permasalahan akan timbul jika seseorang telah
berkeluarga, terutama jika telah memiliki anak. Hal tersebut akan memerlukan

5

kemampuan untuk mengelola keluarganya agar tetap harmonis. Oleh karena itu,
hal yang akan dikaji adalah mengenai pola komunikasi, pengambilan keputusan,
dan kesejahteraan keluarga keluarga jarak jauh pada mahasiswa Pascasarjana
IPB. Dengan demikian, dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain sebagai
berikut:
1. Bagaimana karakteristik keluarga jarak jauh mahasiswa pascasarjana IPB?
2. Bagaimana dukungan sosial pada keluarga jarak jauh pada mahasiswa
pascasarjana IPB?
3. Bagaimana pola komunikasi antaranggota keluarga jarak jauh pada
mahasiswa pascasarjana IPB?
4. Bagaimana pengambilan keputusan keluarga jarak jauh pada mahasiswa
pascasarjana IPB?
5. Bagaimana kesejahteraan keluarga jarak jauh pada mahasiswa pascasarjana
IPB?
6. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pola
komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh
pada mahasiswa pascasarjana IPB?
7. Apakah terdapat hubungan antara dukungan sosial, pola komunikasi,
pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh pada
mahasiswa pascasarjana IPB?
8. Bagaimana pengaruh karakteristik contoh dan

keluarga terhadap pola

komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh
pada mahasiswa pascasarjana IPB?
Tujuan
Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara pola komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan kesejahteraan
keluarga jarak jauh pada mahasiswa Pascasarjana IPB.
Tujuan Khusus
1.

Mengetahui karakteristik keluarga jarak jauh pada mahasiswa pascasarjana
IPB.

2.

Mengetahui dukungan sosial pada keluarga jarak jauh pada mahasiswa
pascasarjana IPB.

6

3.

Mengetahui pola komunikasi antaranggota keluarga jarak jauh pada
mahasiswa pascasarjana IPB.

4.

Mengetahui proses pengambilan keputusan keluarga jarak jauh pada
mahasiswa pascasarjana IPB.

5.

Mengetahui

kesejahteraan

keluarga

jarak

jauh

pada

mahasiswa

pascasarjana IPB.
6.

Menganalisis

hubungan

antara

karakteristik

keluarga

dengan

pola

komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh
pada mahasiswa pascasarjana IPB.
7.

Menganalisis

hubungan

antara

dukungan

sosial,

pola

komunikasi,

pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh pada
mahasiswa pascasarjana IPB.
8.

Menganalisis pengaruh karakteristik contoh dan keluarga terhadap pola
komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh
pada mahasiswa pascasarjana IPB.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam menyediakan

informasi kepada peneliti di bidang keluarga mengenai pola komunikasi,
pengambilan keputusan dan kesejahteraan keluarga jarak jauh. Hubungan
antara pola komunikasi, pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga
jarak jauh diharapkan dapat menambah informasi dalam penelitian keluarga.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi
lembaga dan institusi pemerintahan maupun pendidikan mengenai kehidupan
keluarga yang merupakan bagian dari suatu komunitas.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Keluarga
Pengertian Keluarga
Undang-undang

Nomor

52

tahun

2009

tentang

Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa keluarga
adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami,
istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Menkumham
2009). Menurut Megawangi (1999), keluarga adalah sebuah sistem sosial yang
mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut
berkaitan dengan pencapaian tujuan, integritas dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut Galvin dan Brommel
dalam Tubbs and Moss (1996), keluarga adalah jaringan orang-orang yang
berbagi kehidupan mereka dalam jangka waktu yang lama, yang terikat oleh
perkawinan, darah, atau komitmen, legal atau tidak, yang menganggap diri
mereka sebagai keluarga, dan yang berbagi pengharapan-pengharapan masa
depan mengenai hubungan yang berkaitan.
Guhardja et al. (1989) mengungkapkan bahwa sebuah keluarga adalah
suatu sistem dengan bagian-bagiannya yang lebih kompleks daripada sistem
pada kendaraan bermotor, di mana anggota-anggotanya berfungsi bersamasama. Keluarga bertanggung jawab dalam menjaga anggota-anggotanya serta
menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian anggota-anggotanya.
Jumlah Anggota Keluarga
Penelitian

Prabawa

(1998)

tentang

sumberdaya

keluarga

dan

kesejahteraan keluarga, mengungkapkan bahwa tidak semua anggota keluarga
dalam rumahtangga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban
ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi
rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. Oleh karena
itu, jumlah anggota keluarga atau ukuran keluarga akan memberi dorongan bagi
rumahtangga bersangkutan untuk lebih banyak menggali sumber pendapatan
lainnya.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah seluruh pendapatan yang diterima oleh
seluruh anggota keluarga atau rumahtangga ekonomi. Pendapatan ini terdiri dari:

8

1.

Pendapatan dari upah/ gaji yang diterima oleh seluruh anggota rumahtangga
ekonomi yang bekerja sebagai buruh, sebagai imbalan bagi pekerjaan yang
dilakukan untuk suatu perusahaan/ majikan/ instansi tersebut baik uang
maupun barang dan jasa.

2.

Pendapatan dari seluruh anggota rumahtangga yang berupa pendapatan
kotor, yaitu selisih nilai jual barang dan jasa yang diproduksi dengan biaya
produksinya.

3.

Pendapatan lainnya adalah pendapatan di luar upah/ gaji yang menyangkut
usaha lain.
Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas

pangan yang dikonsumsi seseorang. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka
semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaannya termasuk untuk
pangan dari golongan sayur dan buah-buahan serta berbagai jenis pangan
lainnya, tetapi pertambahan kuantitas ini tidak selalu memperbaiki susunan menu
makanan yang dikonsumsinya (Berg 1986 dalam Prasetyo 2004).
Penelitian Mangkuprawira (1985) tentang kegiatan ekonomi rumahtangga
di Sukabumi Jawa Barat menyebutkan bahwa pendapatan rumahtangga tampak
nyata sebagai faktor yang amat berpengaruh terhadap perilaku pengeluaran
rumahtangga. Ukuran pendapatan yang digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan keluarga adalah pendapatan keluarga yang diperoleh dari bekerja.
Tiap anggota keluarga berusia kerja yang ada pada tiap keluarga akan terdorong
bekerja

untuk

kesejahteraan

keluarganya.

Beberapa

hasil

penelitian

menunjukkan bahwa anggota keluarga seperti istri dan anak adalah penyumbang
dalam berbagai kegiatan baik dalam pekerjaan rumahtangga maupun pencari
nafkah.
Pendidikan
Tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif
terhadap kebiasaan merencanakan anggaran biaya. Rumahtangga yang
dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih
miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang
berpendidikan tinggi (Megawangi 1994).
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

9

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan, bahwa fungsi pendidikan,
sejatinya

adalah

untuk

mengembangkan

kemampuan,

kualitas

individu,

meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia (Suyono 2006).
Kepemilikan Aset
Sumberdaya mengandung dua arti yakni sumber dan daya, yang
bermakna sebagai sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk
mencapai suatu manfaat dan tujuan (Suratman 1994 dalam Fadlisyah 2010).
Sumberdaya merupakan aset, yaitu sesuatu yang apapun baik yang dimiliki atau
yang dapat diakses, yang dapat memberikan nilai tukar untuk mencapai tujuan.
Aset tersebut bisa berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter
pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice &
Tucker 1986 dalam Sunarti 2001). Sumberdaya ini tidak perlu bersifat langka,
tetapi dapat pula bersifat melimpah. Sumberdaya yang melimpah memudahkan
dalam memenuhi keinginan dan sebaliknya apabila sumberdaya itu terbatas
(Guhardja et al. 1989).
Menurut Gross, Crandall & Knoll (1980) dalam Guhardja et al. (1989),
sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau
bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau
tujuan keluarga. Sumberdaya berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya materi atau non
manusia. Sumberdaya manusia mempunyai dua ciri, yaitu pribadi atau personal
dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri dari benda-benda atau
barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya materi dalam keluarga adalah aset
atau kekayaan keluarga. Menurut Guhardja et al. (1989) aset keluarga dapat
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:
1.

Aset lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif cepat dapat
diuangkan misalnya emas, perhiasan, dan uang tunai.

2.

Aset tidak lancar, yaitu barang-barang kekayaan yang relatif agak lama jika
diuangkan misalnya tanah, rumah, mobil, kebun, surat-surat berharga,
saham, dan investasi modal.

Akses Informasi, Sumber Informasi, dan Jenis Informasi
Wuyuri (2008) mengungkapkan bahwa pada awal sejarah, manusia
bertukar informasi melalui bahasa. Maka bahasa adalah teknologi. Bahasa

10

memungkinkan seseorang memahami informasi yang disampaikan oleh orang
lain. Tetapi bahasa yang disampaikan dari mulut ke mulut hanya bertahan
sebentar saja, yaitu saat si pengirim menyampaikan informasi melalui
ucapannya. Setelah ucapan itu selesai maka informasi berada di tangan si
penerima. Selain itu jangkauan suara juga terbatas. Sampai jarak tertentu
meskipun masih terdengar informasi yang disampaikan lewat bahasa suara akan
terdegradasi bahkan hilang sama sekali. Setelah itu teknologi penyampaian
informasi berkembang melalui gambar. Dengan gambar jangkauan informasi bisa
lebih jauh. Gambar ini bisa dibawa-bawa dan disampaikan kepadaorang lain.
Selain itu informasi yang ada bertahan lebih lama (Wuyuri 2008).
Adanya alfabet dan angka arabik memudahkan penyampaian informasi
dari yang sebelumnya satu gambar mewakili suatu peristiwa dibuat dengan
kombinasi alfabet, atau penulisan angka yang tadinya MCMXLIII diganti dengan
1943. Teknologi ini memudahkan penulisan informasi. Teknologi percetakan
memungkinkan pembuatan pintu informasi lebih cepat lagi. Teknologi elektronik
seperti radio, televisi, komputer bahkan membuat informasi menjadi lebih cepat
tersebar di area yang lebih luas dan lebih lama tersimpan (Wuyuri 2008).
Menurut Wuyuri (2008), begitu eratnya keterjalinan antara manusia dan
teknologi sebagai perpanjangan kemampuannya, sehingga yang asalnya
merupakan minus dari kemampuannya (ability), bisa dikembangkan menjadi
surplus bagi kesanggupannya (capability). Menurut fitrahnya manusia tidak
mampu terbang, namun dengan teknologi dia mampu terbang, bahkan tinggal
beberapa lama di angkasa luar, pertemuan tatap muka (face-to-face) secara
berhadapan juga dapat dilaksanakan dalam jarak amat jauh melalui tatap citra
(image-to-image) (Wuyuri 2008).
Banyak lagi yang bisa dicontohkan sebagai ilustrasi untuk menunjukkan
betapa teknologi telah memungkinkan terjadinya transformasi mendasar dan
berskala luas, bahkan nyaris sulit dibatasi dalam peri kehidupan manusia dan
kemanusiaan. Transformasi tersebut juga telah menimbulkan perubahan dalam
berbagai pola hubungan antar manusia (patterns of human relations), yang pada
hakikatnya adalah interaksi antar pribadi dan bersifat hubungan intersubjektif
(Wuyuri 2008).

11

Dukungan Sosial
Menurut Friedman (1999), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga
memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dan bantuan jika diperlukan.
Dukungan sosial adalah kesenangan, bantuan dan keterangan atau
informasi yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal dengan
yang lain atau kelompok (Tati 2004). Caplan (1964) dalam Friedman et al. (1999)
menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:
a.

Dukungan Informasional
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar)
informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti,
informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat
dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus
pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,
saran, petunjuk dan pemberian informasi.

b.

Dukungan Penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing
dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator
indentitas

anggota

keluarga

di

antaranya

memberikan

dukungan,

penghargaan, perhatian.
c.

Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit,
diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum,
istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. Menurut Tati (2004),
dukungan instrumental berupa dukungan finansial atau pengasuhan anak.

d.

Dukungan Emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari
dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk
afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.
Menurut Tati (2004), dukungan emosional dapat ditunjukkan dengan adanya
perhatian dan kepedulian, serta berbagi dalam kesulitan.

12

Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang
dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan
untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota
keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan). Dukungan sosial keluarga
dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami
atau istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga
eksternal.
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai
tahap-tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus
kehidupan, dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi
dengan berbagai kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan
kesehatan dan adaptasi keluarga.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah
kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi di sini meliputi tingkat
pendapatan atau pekerjaan orangtua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga
kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada,
sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau
otokrasi. Selain itu orangtua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat
dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orangtua dengan
kelas sosial bawah (Friedman 1999).

Pola Komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan, dari si pemberi
pesan (sender) kepada si penerima pesan (receiver) dengan cara mempengaruhi
individu untuk saling mengerti satu dengan yang lain. Pesan yang disampaikan
bisa berupa perasaan, perhatian, kenyataan, kepercayaan, ataupun ide-ide, baik
dari pemberi pesan ataupun dari orang ketiga (Guhardja et al. 1989).
Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang
kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat,
atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media
(Eko 2008). Dengan mekanisme komunikasi, maka manusia memberitahukan
dan menyebarkan apa yang dirasakannya dan apa yang diinginkannya.

13

Komunikasi adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan
simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam
lingkunan mereka (Turner 2007). Komunikasi dalam keluarga berupaya
membangun secara lebih jelas keterlibatan subsistem dalam mengungkap
berbagai persoalan. Komunikasi yang dibangun adalah komunikasi interpersonal
dalam lingkungan keluarga. Struktur komunikasi seperti ini akan menyebabkan
adanya antisipasi yang kuat terhadap kebutuhan ke depan. Struktur komunikasi
yang dimaksud adalah jaringan komunikasi antar anggota keluarga dalam
menjaga kedekatan dan keterhubungan antar subsistem agar proses mencapai
kesepakatan terhadap kebutuhan yang direncanakan menjadi nyata dan bukan
utopia (Iskandar 2007).
Keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang lebih bersifat
hubungan interpersonal, karena masing-masing anggota keluarga mempunyai
intensitas hubungan satu sama lain dan saling tergantung. Sistem interaksi
interpersonal ini dapat dilukiskan pada Gambar 1.
Pesan yang dikirimkan bisa melalui kata-kata, bunyi, suara, gerakan
tubuh, mata, dan lain-lain, yang biasa disebut bahasa. Terjadinya proses
komunikasi tersebut bisa langsung (tanpa media pembantu) ataupun tidak
langsung (dengan media pembantu, seperti surat, telepon, dan media lain).
Dalam manajemen sumberdaya keluarga, komunikasi bertujuan:
1.

Memberikan arah dalam proses manajemen yang berorientasi ke masa
depan.

2.

Membantu keluarga dalam melaksanakan kegiatannya sehari-hari dengan
cara:
a.

Menjaga komunikasi yang konstan (saluran tetap terbuka) di antara
anggota keluarga.

b.

Menjaga pendelegasian wewenang agar sistem keluarga dapat
berfungsi dengan baik.

3.

Membangun interaksi dalam keluarga:
a.

Saling tukar menukar informasi antar anggota keluarga.

b.

Sebagai sarana sosialisasi bagi anak dalam melatih tugas-tugas yang
ada dalam keluarga.

c.

Sebagai dasar untuk melakukan kerja sama dalam keluarga.

14

Komunikasi yang efektif akan memberikan kontribusi yang besar dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari dan pemecahan masalah, serta pengambilan
keputusan (Guhardja et al. 1989).

Ayah

Ibu

Anak ke-1

Anak ke-2

Gambar 1 Sistem Interpersonal dalam Keluarga (Guhardja et al. 1989)
Hasslet dalam Tubbs & Moss (1996) menyatakan bahwa bayi dan anakanak memiliki motivasi yang kuat untuk berkomunikasi, dan secara naluriah
mampu memahami interaksi antarpersonal, karena mereka manyadari bahwa
komunikasi merupakan alat untuk membina hubungan. Ibulah yang pertama kali
mengajari anak-anaknya bagaimana berinteraksi dan menyesuaikan diri.
Keretakan hubungan antaraanggota keluarga: orangtua-anak, antarsaudara
dekat dan antarsaudara jauh, serta konflik antar tetangga, juga terutama
disebabkan tidak adanya komunikasi yang efektif (Tubbs & Moss 1996).
Terdapat dua sistem keluarga, yaitu sistem keluarga terbuka dan sistem
keluarga tertutup. Perbedaan utama antara keduanya adalah sifat reaksi mereka
terhadap perubahan, dari dalam dan dari luar. Dalam suatu sistem tertutup,
bagian-bagian secara kaku dihubungkan atau diputuskan sekaligus. Informasi
tidak mengalir antara bagian-bagian atau dari luar ke dalam atau dari dalam ke
luar. Ketika bagian-bagian diputuskan, bagian-bagian itu sering tampak seolaholah bagian-bagian itu bekerja. Sistem yang terbuka adalah sistem di mana
bagian-bagian saling berhubungan, responsif, dan sensitif terhadap satu sama
lain, dan memungkinkan informasi mengalir antara lingkungan internal dan
lingkungan eksternal (Satir dalam Tubbs & Moss 1996).
Keluarga-keluarga yang terganggu adalah keluarga-keluarga tertutup, di
mana komunikasi tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak sebangun, dan
mengganggu pertumbuhan. Selain itu, aturan-aturan tertutup dan usang, dan
orang-orang menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan-aturan

15

(Tubbs & Moss 1996). Tubbs dan Moss (1996) menguraikan adanya 3 (tiga)
model dalam komunikasi:
1.

Model komunikasi linier (one-way communication), dalam model ini
komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon
yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Komunikasinya
bersifat monolog.

2.

Model komunikasi interaksional. Sebagai kelanjutan dari model yang
pertama, pada tahap ini sudah terjadi feedback atau umpan balik.
Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana
setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada satu saat bertindak
sebagai komunikator, pada saat yang lain bertindak sebagai komunikan.

3.

Model komunikasi transaksional. Dalam model ini komunikasi hanya dapat
dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara dua orang atau
lebih.

Pandangan

ini

menekankan

bahwa

semua

perilaku

adalah

komunikatif. Tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan.
Pengambilan Keputusan Keluarga
Pengambilan keputusan adalah suatu proses dalam memilih dan
menetapkan alternatif yang tepat untuk suatu tindakan yang diinginkan dan akan
mendasari semua fungsi manajemen, walaupun sering dilakukan oleh keluarga
dalam

melangsungkan

fungsinya

dan

dianggap

biasa,

tetapi

dalam

memperkirakan pilihan yang diambil merupakan suatu hal yang sulit (Guhardja et
al. 1989).
Menurut Herjanto (2007) pengambilan keputusan merupakan suatu
proses manajemen, yang dimulai dengan proses perencanaan atau persiapan
dan berakhir dengan proses persiapan. Deacon dan Firebaugh (1988) dalam
Guhardja et al. (1989) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan
merupakan proses yang mendasari semua fungsi manajemen sumberdaya
keluarga. Hal ini berarti bahwa selama proses manajemen sumberdaya
berlangsung, maka proses pengambilan keputusan juga sering terjadi.
Informasi tentang suatu ide memegang peranan yang cukup penting
karena berdasarkan informasi atau pengetahuan seorang menyusun alternatif
dalam pengambilan keputusan. Semakin jelas dan banyak informasi tentang
suatu ide, memungkinkan semakin baik pula keputusan yang diambil (Hastuti et
al. 1993).

16

Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka memecahkan
permasalahan atau persoalan (problem solving), setiap keputusan yang dibuat
pasti ada tujuan yang ingin dicapai. Setiap proses pengambilan keputusan selalu
terdapat pihak yang lebih berwenang (Kusumo 2009).
Pola pengambilan keputusan untuk urusan rumahtangga dan urusan luar
rumahtangga lebih sering ditentukan dalam musyawarah bersama antar suamiistri (Riyadi 1993 dalam Puspa 2007). Menurut Sajogyo (1983) diacu dalam
Puspa (2007) menyatakan bahwa tingkat keputusan dihubungkan dengan
pengeluaran dalam kebutuhan pokok yang terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup,
jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan),
pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabot rumahtangga. Sedangkan untuk
jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1)
keputusan dibuat oleh istri seorang diri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan
dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari
istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri (dengan tidak ada
tanda-tanda bahwa salah satu mempunyai pengaruh yang relatif lebih besar), (4)
keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh yang lebih
besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan
istri.
Berdasarkan penelitian Iskandar (2007), analisis pengambilan keputusan
yang berkekuatan individualistik pusat perhatian ditujukan pada kedudukan,
karakter, dan resource yang dimiliki, sedangkan analisis pengambilan keputusan
yang berkekuatan keluarga pusat perhatian ditujukan pada dinamika humanistik
(keputusan bersama). Pengambilan keputusan yang berkekuatan individualistik
dalam penelitian ini mengungkap berbagai peran dan karakter individu serta
sumberdaya yang dikuasai oleh satu anggota. Seorang istri atau suami yang
mempunyai kedudukan tertentu lebih berperan, sehingga anggapan yang
dibangun adalah bahwa tingkah laku anggota lain selalu lentur dan berusaha
menerima dan menyepakati apa yang dilakukannya. Peran seperti ini bisa
terungkap pada berbagai wilayah kehidupan seperti domestik, publik dan lain-lain
yang lazim dimainkan oleh seorang ibu rumahtangga maupun suami.
Menurut Guhardja et al. (1989), ada tiga tipe pengambilan keputusan
dalam keluarga, yaitu:
1. Pengambilan Keputusan Konsensus

17

Pengambilan keputusan konsensus merupakan pengambilan keputusan
secara bersama-sama antar anggota keluarga, setiap anggota keluarga
mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya. Keputusan yang diambil
merupakan keputusan bersama dan akan menjadi tanggung jawab semua
anggota keluarga. Konflik antar anggota keluarga tidak terjadi dan semua
anggota keluarga akan puas.
2. Pengambilan Keputusan Akomodatif
Pengambilan keputusan ini dicirikan oleh adanya orang yang dominan,
sehingga keputusan yang diambil adalah dengan menerima pendapat orang
yang dominan tersebut, karena hanya orang tertentu yang akan merasa puas,
maka ada dua akibat dari pengambilan keputusan ini, yakni: keputusan ini
akan dilakukan oleh orang lain dengan persyaratan dan dalam melaksanakan
keputusan akan didominasi oleh orang-orang yang mempunyai pendapat
tersebut.
3. Pengambilan Keputusan De Facto
Keputusan dalam tipe ini yang diambil karena terpaksa, misalnya ada
pasangan muda-mudi ingin mengisi malam minggunya, kemudian berdiskusi
tentang acara yang ingin dinikmasti bersama, antara keinginan untuk nonton
di bioskop dan makan-makan saja. Karena berdiskusi tersebut, sampai waktu
main bisokop terlewati, sehingga pasangan tersebut mengambil keputusan
menikmati acara malam minggunya dengan makan-makan saja.
Sedangkan pengambilan keputusan dalam keluarga dikenal dua pola:
1. Pola Tradisional
Merupakan pengambilan keputusan keluarga yang memberikan wewenang
kepada suami untuk mengambil keputusan. Sedangkan sang istri hanya
sebagai pelancar dalam pengambilan keputusan.
2. Pola Modern
Merupakan pengambilan keputusan dalam keluarga secara bersama-sama,
ada semacam persamaan hak istri dalam mengambil keputusan, dengan
tanpa menghilangkan peran dan masing-masing anggaran (Guhardja et al.
1989).
Kesejahteraan Keluarga
Kesejahteraan sering diartikan secara luas yaitu sebagai kemakmuran,
kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia baik pada tingkat individu atau

18

kelompok keluarga dan masyarakat. Keadaan sejahtera dapat ditunjukkan oleh
kemampuan mengupayakan sumberdaya keluarga untuk memenuhi kebutuhan
barang dan jasa yang dianggap penting dalam kehidupan berkeluarga (Prabawa
1998). Menurut Megawangi (1993), fungsi-fungsi keluarga utama seperti yang
diuraikan di dalam resolusi majelis umum PBB adalah “keluarga sebagai wahana
untuk mendidik, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat
menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan
dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera”.
Kesejahteraan Objektif
Menetapkan indikator kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya
merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ini disebabkan
permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan di
satu bidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat
kompleks. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan pendekatan integrasi
berbagai bidang disiplin ilmu dan atau melalui pengamatan empirik berbagai
kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku umum
dan spesifik (Prabawa 1998).
Pendekatan yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan
keluarga yaitu berdasarkan pendekatan objektif dan subjektif. Pendekatan
objektif diturunkan dari data kuantitatif diperoleh dari angka-angka yang langsung
dihitung dari aspek yang ditelaah. Pendekatan objektif atau disebut dengan
istilah kesejahteraan objektif melihat bahwa tingkat kesejahteraan individu atau
kelompok masyarakat hanya diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu
baik ukuran ekonomi, sosial, maupun ukuran lainnya. Dengan kata lain, tingkat
kesejahteraan masyarakat diukur dengan pendekatan yang baku (tingkat
kesejahteraan masyarakat semuanya dianggap sama). Ukuran yang sering
digunakan yaitu terminologi uang, pemilikan akan tanah, pengetahuan, energi,
keamanan,

dan

lain-lain.

Pendekatan

ini

disebut

sebagai

pendekatan

konvensional untuk kepentingan politik karena pengukurannya sangat praktis dan
mudah dilakukan, namun sedikit sekali menyentuh kebutuhan masyarakat yang
sebenarnya (Santamarina et al. 2002 dalam Suandi 2007).
Kesejahteraan Subjektif
Kesejahteraan

dengan

pendekatan

subjektif

diukur

dari

tingkat

kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan oleh

19

orang lain. Ukuran ini merupakan ukuran kesejahteraan yang banyak digunakan
di negara maju termasuk Amerika Serikat (Milligan 2006 dalam Suandi 2007).
Kesejahteraan subjektif merupakan seseorang yang memiliki penilaian
yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup cenderung bersikap
sepertinya mereka lebih bahagia dan lebih puas. Sebagai tambahan, orang lain
juga merasa orang-orang itu lebih bahagia dan lebih puas (Anonim 2009).
Kesejahteraan subjektif sendiri merupakan hasil evaluasi seseorang terhadap
kesejahteraan emosional, kesejahteraan psikologis, dan kesejahteraan sosial
terhadap dirinya (Suratmining 2009).
Kesejahteraan subjektif (subjective well being) mengacu pada bagaimana
orang menilai kehidupan mereka, dan termasuk beberapa variabel seperti
kepuasan hidup dan kepuasan perkawinan, kurangnya depresi, kegelisahan,
suasana

hati

dan

emosi

positif.

Ada

dua

pendekatan

umum

untuk

mempertanyakan tentang apa yang penting dari kebahagiaan. Pendekatan yang
pertama yaitu bahwa kebahagiaan dan kepuasan tergantung pada jumlah
kesenangan dan peristiwa bahagia, yang dikenal sebagai teori bottom-up,
kesejahteraan adalah penjumlahan pengalaman-pengalaman positif dalam
kehidupan seseorang. Teori tersebut mengasumsikan bahwa orang menciptakan
penilaian pribadi tentang kesejahteraan subjektif dengan cara menjumlahkan
bebagai macam keadaan eksternal dan kemudian membuat penilaian. Semakin
banyak peristiwa yang menyenangkan yang dialami, seseorang akan semakin
merasa bahagia.
Teori top-down didukung oleh studi-studi yang menemukan bahwa sifat
personal tertentu, perilaku dan persepsi pribadi sangat berhubungan dengan
penilaian pribadi seseorang tentang kesejahteraan hidup. Seseorang dikatakan
telah memiliki kesejahteraan subjektif tinggi jika ia mengalami kepuasan hidup
dan sering gembira, dan hanya pengalaman yang tidak menyenangkan jarang
emosi seperti kesedihan dan kemarahan. Sebaliknya, seseorang dikatakan telah
memiliki kesejahteraan subjektif rendah jika ia tidak puas dengan kehidupan,
sedikit pengalaman sukacita dan kasih sayang, dan sering merasa emosi negatif
seperti kemarahan atau kecemasan. Kesejahteraan subjektif ditentukan oleh
bagaimana kita mengevaluasi informasi yang datang secara terus-menerus
(Anonim 2009). Menurut

Puspa (2007), pengukuran kesejahteraan subjektif

diperlukan untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan secara objektif.

21

KERANGKA PEMIKIRAN
Banyaknya motivasi untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan tinggi
dari berbagai pihak menyebabkan banyak masyarakat Indonesia saat ini
mencoba untuk mencapai pendidikan pada jenjang yang semakin tinggi. Institusi
pendidikan yang dicari masyarakat adalah yang memiliki kualitas baik, walaupun
jarak yang dari tempat tinggal sangat jauh. Salah satu kasus perguruan tinggi
yang memiliki mahasiswa cukup banyak dari luar daerah atau luar kota adalah
IPB. Tidak sedikit yang meninggalkan atau berpisah dengan keluarganya untuk
menempuh pendidikan karena jauh dari tempat tinggalnya. Suami atau istri
berpisah tempat tinggal dengan anaknya atau anggota keluarga yang satu
berpisah dengan anggota keluarga yang lain, yang dinamakan dengan keluarga
jarak jauh. Salah satu kasus perguruan tinggi yang memiliki mahasiswa cukup
banyak dari luar daerah atau luar kota, terutama yang telah menikah adalah
mahasiswa Pascasarjana IPB.
Karakteristik keluarga seperti jumlah anggota keluarga, pendapatan per
kapita, tingkat pendidikan, dan usia akan menentukan sejauh mana keluarga
melakukan berbagai tindakan, manajemen, dan proses pengambilan keputusan
untuk mencapai tujuan keluarga. Kondisi keluarga atau digambarkan dengan
karakteristik keluarga akan menentukan motivasi dan dukungan keluarga pada
anggota keluarga yang lain untuk mengambil keputusan terkait dengan dampak
yang akan diterima oleh seluruh anggota keluarga lainnya.
Karakteristik keluarga akan mempengaruhi dukungan sosial, seperti
bagaimana keluarga dan orang-orang terdekat memberikan dukungan kepada
seseorang untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang lebih tinggi. Dukungan
sosial tersebut akan mempengaruhi suatu keluarga untuk mengambil tindakan
yang terkait dengan anggota keluarga. Dukungan pada penelitian ini adalah
dukungan sosial bagi seorang atau sebagian anggota keluarga untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dukungan sosial meliputi
dukungan internal dan dukungan eksternal keluarga. Dukungan internal meliputi
dukungan informasional, instrumental, penilaian, dan emosional dari keluarga
inti,

sedangkan

dukungan

eksternal

meliputi

dukungan

informasional,

instrumental, penilaian, dan emosional dari keluarga besar dan teman.
Menurut Pancost dan Collins (1983) dalam Puspitawati dan Herawati
(2009) mengungkapkan bahwa sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu

22

yang berjalan secara kontinyu dan dimulai dari unit keluarga, di mana mereka
merupakan anggota kelompok yang dianggap penting dalam memberikan
dukungan sosial. Sumber dukungan utama yang potensial terdapat dalam
keluarga, sebab dalam keluarga mempunyai fungsi-fungsi dukungan tertentu
yang tidak dapat berubah, seperti halnya dukungan suami terhadap istri untuk
melaksanakan tugasnya sebagai istri dalam memerankan seorang ibu untuk
melaksanakan pengasuhan anak, dengan cara suami memberikan simpati,
perhatian, kepercayaan yang dilandasi kasih sayang.
Komunikasi

sangat

diperlukan

antar

anggota

keluarga

untuk

membicarakan hal-hal yang diperlukan keluarga dalam rangka mencapai tujuan
keluarga. Keluarga jarak jauh akan memiliki pola komunikasi tersendiri yang
digunakan untuk mengelola keluarganya agar terwujud kesejahteraan keluarga.
Guhardja et al. (1989) mengungkapkan bahwa keluarga mempunyai sistem
jaringan interaksi yang lebih bersifat hubungan interpersonal, karena masingmasing anggota keluarga mempunyai intensitas hubungan satu sama lain dan
saling tergantung. Komunikasi yang efektif akan memberikan kontribusi yang
besar dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dan pemecahan masalah, serta
pengambilan keputusan.
Gaya pengambilan keputusan keluarga terkait erat dengan kekuasaan.
Meskipun musyawarah efektif dalam menjaga kesejahteraan sistem, kebanyakan
keluarga tidak secara sadar memilih suatu cara untuk membuat keputusan.
Tentu saja, pendekatan untuk pengambilan keputusan dapat berubah selama
siklus kehidupan keluarga (Hepworth et al. 2010). Proses Pengambilan
keputusan diperlukan agar menghasilkan output yang memuaskan (Guhardja et
al. 1989). Pola pengambilan keputusan adalah perbandingan pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh suami dan istri dalam bidang keuangan, pangan,
pendidikan, kesehatan, strategi pemenuhan kebutuhan hidup, dan keperluan lain
keluarga. Pola pengambilan keputusan tersebut memerlukan pembagian peran
antar anggota keluarga dalam pekerjaan domestik maupun public, terutama yang
berkaitan dengan ekonomi keluarga. Keberhasilan keluarga dalam mengambil
keputusan akan mempengaruhi kesejahteraan keluarga, sebab langkah strategis
yang akan dilakukan keluarga berawal dari pengambilan keputusan. Bagan
kerangka pemikiran hubungan antara pola komunikasi, pengambilan keputusan,
dan kesejahteraan keluarga pada keluarga jarak jauh disajikan pada Gambar 2.

23

Karakteristik Contoh:
- Usia
- Jenis kelamin
- Pekerjaan
- Jenjang pendidikan
- Asal daerah

Karakteristik Keluarga:
- Pendidikan pasangan
- Pendapatan keluarga
- Jumlah anggota keluarga
- Akses informasi, sumber
informasi, dan jenis
informasi

Dukungan Sosial
Keluarga:
- Keluarga Inti
- Keluarga Besar
- Teman

Melanjutkan pendidikan pada
tingkat pendidikan yang lebih
tinggi

Proses pengambilan keputusan
- Keuangan
- Pangan
- Pendidikan
- Kesehatan
- Kepemilikan aset
- Reproduksi
- Strategi pemenuhan
kebutuhan hidup

Pola komunikasi
- Frekuensi
Komunikasi
- Jenis hal yang
dikomunikasikan

Kesejahteraan
Keluarga

Keterangan:
Hubungan antar variabel yang diteliti
Variabel yang diteliti
Gambar 2

Kerangka pemikiran hubungan antara pola komunikasi,
pengambilan keputusan, dan kesejahteraan keluarga jarak jauh

25

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian

ini

menggunakan desain

cross sectional

study. Data

dikumpulkan untuk meneliti suatu fenomena dalam satu kurun waktu tertentu
(Umar 2006). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei
karena penelitian ini mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul data yang utama. Lokasi penelitian adalah
kampus IPB Darmaga. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan
pertimbangan IPB cukup banyak memiliki mahasiswa yang berasal dari luar
daerah.
Penelitian dilaksanakan selama dua belas bulan, yaitu dimulai dari bulan
Januari sampai dengan Desember 2010. Pelaksanaan penelitian meliputi
persiapan, pengambilan data primer dan sekunder, pengolahan data, serta
penulisan skripsi. Persiapan atau penulisan proposal dilaksanakan pada bulan
Januari sampai dengan Mei 2010. Pengambilan data primer dan sekunder
dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2010. Pengolahan data dan
penulisan skripsi dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember
2010.
Teknik Penarikan Contoh
Populasi contoh pada penelitian ini adalah mahasiswa pascasarjana IPB
yang merantau dan tinggal berpisah dengan keluarganya. Contoh diambil secara
purposive, di mana pemilihan contoh berdasarkan pada karakteristik tertentu
(Umar 2006). Karakteristik contoh yang dipilih adalah mahasiswa pascasarjana
IPB angkatan 2009, telah menikah dan memiliki anak, serta merupakan keluarga
jarak jauh atau tidak membawa suami/ istri dan anak. Teknik pengambilan contoh
dilakukan dengan cara snow ball sampling, yang merupakan teknik penentuan
contoh yang pada mula-mula jumlahnya kecil, kemudian contoh ini

diminta

memilih contoh lain untuk dijadikan contoh lagi, begitu seterusnya sehingga
jumlah contoh terus menjadi banyak (Umar 2006).
Contoh yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 75 orang dengan
menggunakan rumus Slovin, yaitu salah satu teknik penentuan jumlah contoh
untuk penelitian sosial. Berikut merupakan perhitungan dalam pengambilan
contoh menggunakan rumus Slovin.

26

n=

N
= 2
1+Ne

=

582
1+582 (0,11)2

= 72,37 ≈ 73

Keterangan:
n = ukuran contoh
N = ukuran populasi
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan contoh
yang masih dapat ditoleransi. Tingkat kesalahan 11%.
Berdasarkan rumus Slovin, jumlah contoh minimal yang digunakan adalah
sebanyak 73 orang. Oleh karena itu, jumlah contoh yang digunakan dalam
penelitian ini dibulatkan menjadi 75 responden.
Jenis dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dari contoh melalui pengisian kuesioner yang telah dipersiapkan
terle

Dokumen yang terkait

Pola Komunikasi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan Usia Remaja (Studi kasus pola komunikasi keluarga dalam pengambilan keputusan perkawinan usia remaja di Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang)

12 109 135

Komunikasi Keluarga Dalam Hubungan Jarak Jauh (Studi Deskriptif Kualitatif Peran Komunikasi Keluarga Terhadap Mahasiswa yang Tinggal Terpisah dengan Orangtua dalam Hubungan Harmonisasi di Kota Medan)

47 223 112

KOMUNIKASI KELUARGA DALAM HUBUNGAN JARAK JAUH (Studi Deskriptif Kualitatif Peran Komunikasi Keluarga Terhadap Mahasiswa yang Tinggal Terpisah dengan Orangtua dalam Hubungan Harmonisasi di Kota Medan)

2 84 9

Aplikasi Teknologi Penginderaan Jarak Jauh Dalam Mendeteksi Pola Penggunaan Lahan di Das Cikaso Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

0 64 4

Pengaruh Pengambilan Keputusan Perempuan Terhadap Kesejahteraan Keluarga

1 11 68

Pengaruh Interaksi Dan Pola Pengambilan Keputusan Keluarga Terhadap Kesejahteraan Subjektif Keluarga Suami-Istri Bekerja

0 4 45

POLA KOMUNIKASI PADA ISTRI PASANGAN PERNIKAHAN JARAK JAUH Pola Komunikasi Pada Istri Pasangan Pernikahan Jarak Jauh.

0 2 17

POLA KOMUNIKASI PADA ISTRI PASANGAN PERNIKAHAN JARAK JAUH Pola Komunikasi Pada Istri Pasangan Pernikahan Jarak Jauh.

0 2 16

PENDAHULUAN Pola Komunikasi Pada Istri Pasangan Pernikahan Jarak Jauh.

0 5 11

POLA KOMUNIKASI PADA HUBUNGAN JARAK JAUH ANAK TERHADAP ORANGTUA DALAM MENJAGA HUBUNGAN Pola Komunikasi Pada Hubungan Jarak Jauh Anak Terhadap Orangtua Dalam Menjaga Hubungan (Studi Kualitatif Pada Mahasiswa Program Internasional Universitas Muhammadiyah

8 46 15