Profitabilitas Usaha Pengolahan serta Nilai Tambah Produk Ubi Jalar pada Kelompok Tani Hurip di Desa Cikarawang, Bogor

PROFITABILITAS USAHA PENGOLAHAN SERTA NILAI
TAMBAH PRODUK UBI JALAR PADA KELOMPOK TANI
HURIP DI DESA CIKARAWANG, BOGOR

DWI GAMA SUSANTO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Profitabilitas
Usaha Pengolahan serta Nilai Tambah Produk Ubi Jalar pada Kelompok Tani
Hurip di Desa Cikarawang, Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar
pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor,

September 2013

Dwi Gama Susanto
H34104087

ABSTRAK
DWI GAMA SUSANTO. Profitabilitas Usaha Pengolahan serta Nilai Tambah
Produk Ubi Jalar pada Kelompok Tani Hurip di Desa Cikarawang, Bogor. Di
bimbing oleh YANTI NURAENI MUFLIKH.
Ubi jalar memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya diversifikasi
pangan. Produksi ubi jalar di Indonesia juga tinggi, salah satunya di Jawa Barat.
Ubi jalar sebagai pangan belum dimanfaatkan secara optimal. Pengolahan pasca
panen dapat meningkatkan daya simpan serta nilai tambah dari ubi jalar.
Kelompok Tani Hurip (KTH) merupakan produsen tepung ubi jalar di wilayah
Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis profitabilitas dan
nilai tambah pengolahan ubi jalar menjadi tepung di KTH. Penelitian ini

dilakukan di KTH yang berlokasi di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai dengan
April 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha pengolahan ubi jalar yang
dijalankan oleh KTH belum dapat menghasilkan keuntungan. Hal tersebut
dikarenakan cukup tingginya biaya variabel terutama dalam biaya bahan baku.
Saat ini usaha pengolahan ubi jalar KTH belum mampu mencapai titik impas,
yang artinya perusahaan belum mampu menutupi faktor biaya dan masih
mengalami kerugian. Nilai tambah yang dihasilkan dengan penggunaan bahan
baku sawut kering lebih besar dibandingkan dengan ubi jalar segar.
Kata kunci : analisis biaya, nilai tambah, profitabilitas, tepung ubi jalar
ABSTRACT
DWI GAMA SUSANTO. profitability and value-added processing from fresh
sweet potato at Kelompok Tani Hurip in Cikarawang Village, Bogor. Supervised
by YANTI NURAENI MUFLIKH.
Sweet potato has potentialy to be developed in an effort to diversify food.
Sweet potato production in Indonesia is high, one of production centre in West
Java. Sweet potato as food has not been used optimally. Post-harvest processing
can increase the shelf life as well as the added value of sweet potatoes. Farmers
Hurip (KTH) is a producer of sweet potato flour in the Bogor area. The aim of this
research is to analyze the profitability and value added processing sweet potato to

flour at KTH. The research was conducted at KTH is located in the village of
Cikarawang, Dramaga District, Bogor Regency. This research was conducted
from February 2013 to April 2013. The results showed that the sweet potato
process business run by KTH has not been able to turn a profit. That is because
quite a high variable costs, especially in raw material costs. Current efforts KTH
sweet potato flour has not been able to break even, which means that the company
has not been able to cover the cost factor and still experiencing losses. Value
added generated by the use of dry shredded material is greater than the fresh sweet
potatoes.
Keywords : cost analysis, profitability, sweet potato flour, value-added

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


PROFITABILITAS USAHA PENGOLAHAN SERTA NILAI
TAMBAH PRODUK UBI JALAR PADA KELOMPOK TANI
HURIP DI DESA CIKARAWANG, BOGOR

DWI GAMA SUSANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi


Nama
NIM

: Profitabilitas Usaha Pengolahan serta Nilai Tambah
Produk Ubi Jalar pada Kelompok Tani Hurip di Desa
Cikarawang, Bogor
: Dwi Gama Susanto
: H34104087

Disetujui oleh
Pembimbing

Yanti Nuraeni Muflikh, SP, M.Agribuss
Pembimbing

Diketahui oleh
Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor


Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Profitabilitas Usaha
Pengolahan serta Nilai Tambah Produk Ubi Jalar pada Kelompok Tani Hurip di
Desa Cikarawang, Bogor”.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa besar usaha pengolahan
ubi jalar menjadi tepung yang dijalankan oleh Kelompok Tani Hurip (KTH)
dalam menghasilkan laba dan nilai tambah. Analisis yang dilakukan dengan
penggunaan dua jenis bahan baku yang berbeda secara bentuk dan proses
pengolahannya yaitu ubi jalar segar dan sawut kering, agar dapat dijadikan
pertimbangan bagi KTH.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Yanti Nuraeni Muflikh, SP,
M.Agribuss selaku dosen pembimbing atas waktu, arahan, dan kesabarannya yang
telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada

Ir. Popong Nurhayati, MM selaku dosen evaluator pada seminar proposal, yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritik kepada
penulis dalam penyusunan proposal penelitian. Kemudian saya ucapkan terima
kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS, selaku dosen penguji
yang telah meluangkan waktunya serta atas kritik dan saran demi perbaikan
skripsi ini, juga kepada Ir. Juniar Atmakusuma, MS atas saran dalam penulisan
skripsi ini. Tidak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Anna
Fariyanti, M.Si yang telah menjadi pembimbing akademik selama perkuliahan
dan seluruh dosen serta staf Departemen Agribisnis.
Terima kasih kepada Bapak Ahmad Bastari selaku Ketua Kelompok Tani
Hurip dan keluarga yang telah meluangkan waktu, memberikan kesempatan dan
berbagai ilmu pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan penulis. Kepada
saudari Amanda Aulia Akbari saya ucapkan terima kasih yang telah menjadi
pembahas pada seminar penulis dan memberikan kritik dan saran terhadap
penyelesaian skripsi ini. Terima kasih saya ucapkan kepada Ratna Indriasti, Tita,
Irwandi, Rizkihanny dan teman-teman seperjuangan Agribisnis Alih Jenis 1, atas
semangat, saran, dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama
penyusunan skripsi. Terakhir terima kasih yang tidak terlupakan kepada ke dua
orang tua Bapak Sularjo dan Ibu Suki, dan seluruh keluarga atas doa, semangat,
serta dukungan yang diberikan kepada penulis selama masa penyusunan skripsi.

Namun demikian, sangat disadari masih banyak kekurangan dengan segala
keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran
dan kritik yang dapat membangun penyempurnaan skripsi ini, sehingga dapat
bermanfaat bagi seluruh pihak.

Bogor, September 2013

Dwi Gama Susanto

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA

Ubi Jalar
Tepung Ubi Jalar
Proses Pengolahan Tepung Ubi Jalar
Kelompok Tani
Analisis Profitabilitas
Analisis Nilai Tambah
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Biaya
Penetapan Harga Jual
Analisis Titik Impas (Break Even Point)
Analisis Profitabilitas
Analisis Nilai Tambah
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
Analisis Biaya Produksi
Analisis Titik Impas

Analisis Profitabilitas
Analisis Nilai Tambah
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Desa Cikarawang
Gambaran Umum Kelompok Tani Hurip
Gambaran Umum Usaha Tepung Ubi Jalar Kelompok Tani Hurip
Pengadaan Bahan Baku
Tenaga Kerja
Pengolahan Tepung Ubi Jalar
Pemasaran dan Distribusi Tepung Ubi Jalar
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Biaya
Biaya Tetap
Biaya Variabel
Total Biaya Usaha

xi
xi
xii
1

1
5
7
8
8
8
8
9
9
10
11
12
14
14
14
16
17
19
20
20
22
22
22
22
22
23
23
24
25
25
26
29
29
30
30
31
32
32
32
35
38

ix

Volume Penjualan dan Harga Jual
Analisis Profitabilitas
Bahan Baku Ubi Jalar Segar
Bahan Baku Sawut Kering
Analisis Nilai Tambah
Bahan Baku Ubi Jalar Segar
Bahan Baku Sawut Kering
Implikasi Kebijakan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

x

39
40
40
42
45
45
48
50
51
51
52
52
55
63

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Tabel luas panen, produktivitas, produksi tanaman ubi jalar provinsi
Jawa Barat tahun 2007-2011
Sentra ubi jalar daerah Jawa Barat
Harga produk tepung
Analisis nilai tambah metode Hayami
Penggolongan usia penduduk Desa Cikarawang per Oktober 2012
Mata pencaharian penduduk Desa Cikarawang
Uraian tugas pengurus Kelompok Tani Hurip
Biaya tetap usaha tepung ubi jalar KTH per tahun dengan bahan baku
ubi jalar segar
Biaya tetap usaha tepung ubi jalar KTH per tahun dengan bahan baku
sawut kering
Biaya variabel usaha tepung ubi jalar KTH per tahun dengan bahan
baku ubi jalar segar
Biaya variabel usaha tepung ubi jalar KTH per tahun dengan bahan
baku sawut kering
Total biaya usaha tepung ubi jalar KTH per tahun
Perbandingan titik impas dengan kondisi aktual usaha tepung ubi jalar
KTH bahan baku ubi jalar segar
Perbandingan titik impas dengan kondisi aktual usaha tepung ubi jalar
KTH bahan baku sawut kering
Analisis nilai tambah pengolahan ubi jalar segar menjadi sawut kering
Analisis nilai tambah produk tepung ubi jalar KTH dengan bahan baku
ubi jalar segar
Analisis nilai tambah produk tepung ubi jalar KTH dengan bahan baku
sawut kering

3
4
6
24
25
26
27
33
34
35
37
38
41
43
46
47
49

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Produksi ubi jalar di wilayah sentra Indonesia (Satuan Ton) tahun 2011
Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar
Titik impas, mos dan mir
Alur kerangka pemikiran analisis profitabilitas usaha serta nilai tambah
produk tepung ubi jalar
5 Alur proses pengolahan tepung ubi jalar Kelompok Tani Hurip
6 Perbandingan kondisi KTH dengan titik impas pada bahan baku ubi
jalar segar
7 Perbandingan kondisi KTH dengan titik impas pada bahan baku sawut
kering
8 Alat penjemuran sawut dan proses penjemuran
9 Alat penyawut
10 Alat penepung dan proses penepungan
11 Timbangan digital dan proses penimbangan
12 Produk tepung ubi jalar hurip

2
10
18
21
31
42
44
60
60
61
61
62

xi

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

xii

Struktur organisasi Kelompok Tani Hurip
Uraian kegiatan tenaga kerja setiap proses pengolahan ubi jalar menjadi
tepung
Biaya peralatan pengolahan tepung ubi jalar dengan bahan baku ubi
jalar segar di Kelompok Tani Hurip
Biaya peralatan pengolahan tepung ubi jalar dengan bahan baku sawut
kering di Kelompok Tani Hurip
Perhitungan beberapa faktor dalam analisis nilai tambah tabel 15
Perhitungan beberapa faktor dalam analisis nilai tambah tabel 16
Perhitungan beberapa faktor dalam analisis nilai tambah tabel 17
Dokumentasi usaha tepung ubi jalar Kelompok Tani Hurip

55
56
57
57
58
58
59
60

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia
setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2005, jumlah penduduk
Indonesia telah mencapai angka 228.523.300 jiwa, dengan peningkatan sekitar 2,2
juta per tahun. Saat ini penduduk Indonesia mencapai 241.973.900 orang1.
Melihat jumlah penduduk yang cukup besar, maka kebutuhan akan pangan juga
akan semakin besar. Pangan yang merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga
ketersediaan pangan perlu diperhatikan. Hal tersebut berkaitan dengan ketahanan
pangan, dimana ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi setiap orang dengan tersedianya jumlah pangan, mutu yang terjamin, aman
untuk dikonsumsi, merata dan terjangkau bagi masyarakat. Beras merupakan salah
satu sumber pangan yang paling besar di konsumsi, namun demikian masih
banyak sumber pangan yang belum dimanfaatkan. Beberapa bahan pangan
tersebut yaitu jagung, ubi kayu, ubi jalar.
Diversifikasi pangan dengan memaksimalkan bahan pangan lainnya sebagai
pengganti beras diharapkan dapat memenuhi ketahanan pangan di Indonesia.
Sesuai dengan Peraturan Presiden no. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal
menekankan pentingnya pengembangan produk pangan yang lebih beraneka
ragam baik dari sisi produksi dan penyediaan maupun konsumsinya. Upaya
tersebut dapat dilakukan melalui program diversifikasi baik dari aspek produksi
komoditas, pengembangan produk, konsumsi, dan kemampuannya dalam
meningkatkan pendapatan petani. Dalam upaya mendukung program percepatan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, pengembangan
kelompok pangan sumber karbohidrat khususnya umbi-umbian perlu
diperhatikan2.
Bahan pangan yang berasal dari umbi-umbian tersebut salah satunya adalah
ubi jalar. Ubi jalar memiliki potensi untuk dikembangkan dalam upaya
diversifikasi pangan karena didasarkan bahwa ubi jalar memiliki kandungan
karbohidrat yang cukup besar yaitu sebesar 85,8 gram (dalam 100 gram bahan)
terbesar ke dua setelah ubi kayu (92,5 gram per 100 gram bahan). Produktivitas
ubi jalar juga termasuk cukup tinggi, dimana Indonesia menempati urutan ke tiga
setelah China dan Uganda dengan produksi sebesar 2.058.000 ton pada tahun
2009 (FAO dalam Litbang Deptan 2010).
Ubi jalar juga memiliki potensi diversifikasi produk yang cukup beragam
seperti cake, roti, mie, cookies, kue lapis. Kandungan zat gizi pada ubi jalar juga
beragam, seperti vitamin, mineral, kandungan betakaroten. Ubi jalar juga
memiliki potensi permintaan pasar, baik lokal, regional, maupun ekspor yang
terus meningkat. Menurut Suriawiria dalam Hafsah (2004), ubi jalar memiliki
http://www.mapsofworld.com/ World Top Ten – Most Populated Countries
[16 Desember 2012]
2
pse.litbang.deptan.go.id Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi Ubi
Jalar untuk Meningkatkan 30% Partisipasi Konsumsi Mendukung Program Penganekaragaman
Pangan dan Gizi [21 September 2012]
1

2

keunggulan untuk dikembangkan dibandingkan dengan ubi kayu karena : (a) Ubi
jalar dapat ditanam pada lahan kering seperti halnya ubi kayu; (b) Dengan
umurnya yang lebih pendek dari ubi kayu. Umur panen dari ubi jalar berkisar
antara 3,5 bulan sampai 5,5 bulan, sedangkan ubi kayu dipanen pada 7 bulan
sampai 10 bulan, ubi jalar dapat ditanam pada lahan sawah seperti umumnya yang
banyak dilakukan oleh para petani; (c) Ubi jalar tidak mengandung senyawa
sianida yang bersifat racun seperti halnya pada ubi kayu; (d) Kandungan
nutrisi/gizi terutama vitamin C pada daun lebih tinggi diantara daun umbi lainnya
sehingga layak untuk dijadikan lalapan atau urap.
Ubi jalar telah menjadi makanan pokok bagi penduduk di Indonesia
terutama di daerah Papua, sedangkan di daerah Jawa biasanya tanaman ubi jalar
ini ditanam saat musim kemarau. Potensi pengembangan ubi jalar sebagai bahan
pangan juga dipengaruhi oleh kandungan gizi yang terdapat didalamnya.
Kandungan gizi menjadi hal penting, karena selain memiliki pasokan yang cukup
pada ketahanan pangan juga diperlukan kandungan gizi yang baik. Kandungan
gizi ubi jalar yang cukup baik dapat menjadi pilihan dalam upaya diversifikasi
pangan. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin A dalam jumlah yang
cukup, asam askorbat, tianin, riboflavin, niasin, fosfor, besi, dan kalsium.
Kandungan vitamin A yang tinggi dicirikan oleh umbi yang berwarna kuning
kemerah-merahan. Kadar vitamin C yang terdapat di dalam umbinya memberikan
peran yang tidak sedikit bagi penyediaan dan kecukupan gizi serta dapat
dijangkau oleh masyarakat di pedesaan (Zuraida N dan Supriati Y 2001).
Daerah penghasil ubi jalar di Indonesia sendiri cukup banyak, dan wilayah
tersebut menjadi sentra untuk produksi ubi jalar. Beberapa daerah penghasil ubi
jalar di Indonesia yaitu Jawa Barat, Papua, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera
Utara, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara. Data produksi ubi jalar di wilayah sentra Indonesia tahun 2011 dapat dilihat
pada Gambar 1.

500000 429378
418539
450000
400000
348438
350000
300000
217545
250000
191104
157972
200000
129728
150000
98120
69528 68735 66946
100000
50000
0

Gambar 1. Produksi ubi jalar di wilayah sentra ubi jalar Indonesia (satuan ton)
tahun 2011

3

Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil utama ubi jalar.
Meskipun Papua terkenal sebagai daerah yang dimana penduduknya
mengkonsumsi ubi jalar sebagai makanan pokok, namun produksi ubi jalar Papua
masih di bawah Jawa Barat dengan produksi sebesar 348.438 ton pada tahun 2011
(Gambar1). Produksi ubi jalar dari keseluruhan daerah yang ada di Indonesia
sebesar 2.196.033 ton pada tahun 2011. Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat
bahwa Jawa Barat merupakan daerah penghasil ubi jalar terbesar di Indonesia
yaitu sebesar 429.378 ton atau 19,55 persen dari produksi seluruh Indonesia.
Produksi yang dihasilkan tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah luas lahan. Luas lahan tanam di Indonesia sulit untuk tumbuh, bahkan
cenderung berkurang, yang disebabkan oleh alih fungsi lahan pertanian. Besaran
luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di Jawa Barat tidak selalu stabil
dari tahun 2007 sampai tahun 2011 (Tabel 1).
Tabel 1. Luas panen, produktivitas, produksi tanaman ubi jalar provinsi Jawa
Barat tahun 2007-2011
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011

Luas Panen (Ha)
28.096
27.252
33.387
30.073
27.931

Produktivitas (Ton/Ha)
13.373
13.815
14.067
14.332
15.373

Produksi (Ton)
375.714
376.490
469.646
430.998
429.378

Sumber : BPS, 2012

Informasi Tabel 1 menunjukkan bahwa produktivitas (Ton/ Ha) ubi jalar
cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2007 sebesar 13,373 ton/ Ha hingga
pada tahun 2011 sebesar 15,373. Tingkat produktivitas dipengaruhi oleh beberapa
hal, salah satunya adalah luas panen. Luas panen dari tahun 2007 sampai dengan
tahun 2011 mengalami penurunan, walaupun tidak terlalu besar. Sedangkan
produksi ubi jalar (ton) di Jawa Barat fluktuatif, dimana pada tahun 2007 sebesar
375.714 ton dan pada tahun 2009 sebesar 469.646 ton,sedangkan pada tahun 2010
turun menjadi 430.998 ton dan tahun 2011 produksi ubi jalar menjadi 429.378
ton. Cukup banyaknya produksi ubi jalar yang ada di wilayah Indonesia,
khususnya Jawa Barat belum diikuti dengan pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan
pangan.
Ubi jalar yang dikonsumsi untuk makanan, biasanya hanya diolah menjadi
ubi rebus atau ubi goreng, padahal banyak hidangan yang dapat dibuat dengan ubi
jalar. Pengolahan pasca panen tersebut yang dapat meningkatkan nilai tambah dari
ubi jalar. Ubi jalar ini sudah cukup dikenal sebagai bahan pangan di sebagian
besar wilayah di Indonesia, khususnya di Papua yang menggunakan ubi jalar
sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakatnya. Daerah penghasil ubi jalar
di Indonesia tersebar di beberapa wilayah. Jawa Barat merupakan daerah yang
produksinya terbesar di Indonesia. Daerah penghasil ubi jalar di Jawa Barat
tersebar di beberapa wilayah, termasuk Bogor (Tabel 2).

4

Tabel 2. Sentra ubi jalar daerah Jawa Barat
No.
Kabupaten/ Kota
1
Kuningan
2
Garut
3
Bogor
4
Bandung
5
Tasikmalaya
6
Cianjur

Kecamatan
Cilimus, Jalaksana, Darma
Cilawu, Bayongbong, anjar Wangi
Ciampea, Leuwiliang
Banjaran
Cipatujah, Cibalong
Bojong Picung, Rende

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2011

Dapat dilihat pada Tabel 2 beberapa wilayah sentra ubi jalar yang ada di
Jawa Barat yaitu di Kabupaten/Kota Kuningan, Garut, Bogor, Bandung,
Tasikmalaya, Cianjur. Wilayah Bogor terdapat sentra ubi jalar di Kecamatan
Ciampea dan Kecamatan Leuwiliang. Cukup banyaknya wilayah yang
memproduksi ubi jalar mengindikasikan bahwa ubi jalar cukup berpotensi untuk
terus dikembangkan baik untuk makanan siap saji atau bahan setengah jadi yang
dapat digunakan untuk industri pengolahan seperti yang dilakukan oleh Kelompok
Tani Hurip dengan mengolah ubi jalar menjadi tepung.
Ubi jalar yang dapat digunakan sebagai makanan selain beras masih belum
dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat. Hal ini dikarenakan pola makan
masyarakat yang masih mengutamakan hidangan nasi sebagai makanan pokok.
Selain itu masalah lain dari produk pertanian khususnya ubi jalar adalah sifat dari
ubi jalar yang tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama dan mudah rusak
atau busuk. Oleh karena itu diperlukan upaya pasca panen agar ubi jalar memiliki
daya simpan yang lebih lama. Kenyataan yang ada selama ini masih banyak ubi
jalar yang dijual dalam keadaan mentah tanpa diolah terlebih dahulu, hal tersebut
dapat menyebabkan ubi jalar cepat rusak dan nilai tambah yang dihasilkan sangat
kecil. Selain untuk memperpanjang masa simpan, perlakuan dengan pengolahan
terlebih dahulu dapat memberikan nilai tambah pada ubi jalar itu sendiri.
Pengolahan pasca panen untuk ubi jalar salah satunya adalah dimana ubi
jalar diolah terlebih dahulu menjadi tepung ubi jalar. Jika dilihat pada Tabel 2
dimana sentra ubi jalar di wilayah Bogor terdapat di daerah Ciampea dan
Leuwiliang, dan salah satu tempat pengolahan ubi jalar menjadi tepung ubi jalar
yaitu di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor yang
dilakukan oleh Kelompok Tani Hurip (KTH) yang diketuai Bapak Ahmad Bastari.
Ubi jalar yang telah diubah menjadi tepung, kemudian dapat dijadikan sebagai
bahan baku produk olahan lainnya seperti kue dan mie.
Produk tepung ubi jalar dapat mengurangi ketergantungan masyarakat pada
tepung terigu. Prospek pasar dari produk tepung ubi jalar cukup terbuka lebar,
dimana tempat produksi yang mengolah ubi jalar menjadi tepung masih sedikit.
Menurut Djami (2007), potensi pangsa pasar yang dapat diambil KTH dalam
pemasaran tepung ubi jalar adalah sebesar 50 persen sampai 60 persen dari
potensi pasar. Perhitungan potensi tepung ubi jalar didapatkan dari hasil
pandangan bahwa tepung ubi jalar dapat mensubstitusi tepung terigu sebesar 20
persen sampai dengan 100 persen, dengan kebutuhan tepung terigu sekitar 70
ton/bulan di Bogor. Angka pangsa pasar yang dapat diambil KTH sebesar 50

5

persen sampai 60 persen tersebut dikarenakan produksinya masih sedikit yaitu
sekitar 35-42 ton/bulan.
Penelitian tersebut juga dilakukan oleh Kussuma (2008), dimana
pemenuhan terhadap permintaan sebesar 60 persen dari total permintaan tepung
ubi jalar untuk industri (kue, kerupuk, dodol, roti, keripik, mie) yang ada di
wilayah Bogor. Pengkonversian kebutuhan tepung terigu, tepung beras, dan
tepung tapioka industri tersebut, maka dapat diketahui kebutuhan tepung ubi jalar
sebesar 6.643,5 kilogram setiap bulannya. Pemenuhan permintaan 60 persen atau
sekitar 4.000 kilogram perbulannya, dikarenakan hal yang disebutkan sebelumnya
bahwa pesaing masih sedikit.

Perumusan Masalah
Komoditas ubi jalar di Indonesia belum dianggap sebagai komoditas yang
penting, sedangkan di negara-negara maju ubi jalar menjadi komoditas yang
penting dan harga jualnya tinggi. Hal tersebut dikarenakan di negara maju tersebut
penggunaan ubi jalar tidak hanya sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai bahan
baku industri non pangan (fermentasi, tekstil, perekat, kosmetik, dan farmasi).
Pengembangan ubi jalar untuk berbagai produk cukup menjanjikan. Produkproduk yang dihasilkan dari ubi jalar dapat berupa produk jadi atau produk
setengah jadi. Beberapa olahan yang dapat dibuat dari ubi jalar adalah tepung,
saus, ubi goreng, ubi rebus, kripik. Dilihat dari harga jual ubi jalar segar sebesar
tujuh ratus sampai dua ribu rupiah per kilogram, sedangkan harga jual tepung ubi
jalar hurip sendiri sebesar dua belas ribu sampai empat belas ribu per kilogram.
Hal tersebut menunjukan ada perbedaan nilai ekonomi antara produk ubi jalar
sebelum diolah dan setelah diolah.
Sampai saat ini pemanfaatan ubi jalar masih terbatas sebagai bahan pangan
yang dikonsumsi secara langsung, Melalui diversifikasi ubi jalar segar menjadi
produk olahan pangan seperti kue basah, kue kering, keripik dan lain-lain,
pemasaran ubi jalar dapat sedikit diperluas. Akan tetapi, potensi ubi jalar dapat
lebih dikembangkan lagi apabila produk ini dapat diolah menjadi bahan setengah
jadi atau bahan baku bagi industri lain. Produk-produk ini lebih memiliki nilai
ekonomis karena dapat memiliki umur simpan yang cenderung lebih baik dari ubi
jalar segar atau produk olahan pangan. Selain itu juga dapat memiliki pangsa
pasar yang jauh lebih besar karena dapat diperdagangkan antar propinsi bahkan
sebagai komoditas ekspor. Akan tetapi untuk dapat mengolah ubi jalar menjadi
produk-produk ini diperlukan teknologi pengolahan dan alat pengolah yang tepat.
Beberapa industri di daerah sentra penghasil ubi jalar telah mulai melakukan
pengolahan ubi jalar menjadi tepung.
Tepung ubi jalar dapat dimanfaaatkan sebagai bahan baku bagi pembuatan
kue kering, kue basah, mi, bahan aditif dan lain-lain. Pembuatan tepung ubi jalar
ini sangat prospektif, mengingat tepung ubi jalar dapat dijadikan sebagai bahan
substitusi tepung terigu yang masih merupakan produk impor. Tepung ubi jalar
belum banyak dikenal oleh masyarakat luas meskipun penelitian
pengembangannya sudah dilakukan sejak lama. Tepung ubi jalar sendiri nantinya
dapat dijadikan sebagian produk substitusi dari tepung terigu yang dapat
digunakan sebagai bahan baku pembuatan kue, mie, dan produk-produk yang

6

menggunakan tepung terigu sebagai bahan bakunya, atau dapat pula dijadikan
sebagai tepung komposit (teknologi tepung campuran).
KTH merupakan salah satu produsen tepung ubi jalar di wilayah Bogor,
selain produsen yang ada di wilayah Desa Giri Mulya, Kecamatan Cibungbulang,
Kabupaten Bogor. Hal tersebut dapat dijadikan peluang untuk menjual produk
tepung ubi jalarnya dan dapat menguasai pasar yang ada. Pasar menjadi sebuah
tujuan utama dari dilakukannya suatu usaha. Hal tersebut menjadi motivasi bagi
KTH untuk memproduksi tepung ubi jalar. Pasar tentunya memiliki hambatan dan
pengguna tepung ubi jalar itu sendiri perlu dikaji lebih lanjut. Awalnya, pada
tahun 2007 KTH memproduksi tepung ubi jalar dengan menumpang di tempat
pengolahan lain.
Tahun 2009 KTH mulai memproduksi tepung ubi jalar sendiri dengan
peralatan dari Lingkar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), tempat produksi
masih dilakukan di rumah ketua KTH dan masih dipasarkan sekitar desa, belum
secara luas. Harga bahan baku saat ini juga menjadi kendala selain pemasaran.
Sejak tahun 2011 sampai saat ini harga ubi jalar segar mengalami kenaikan, saat
ini harga ubi jalar segar sebesar Rp 1500/kg, dimana sebelumnya pada tahun
2009-2010 harga bahan baku ubi jalar segar sebesar Rp 700/kg. Kenaikan tersebut
tentu berpengaruh pada penjualan produk. Upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut yaitu menekan biaya, menggunakan sumber daya
secara efisien, atau menaikkan harga jual. Selain bahan baku ubi jalar segar KTH
juga membeli bahan baku yang sudah dalam bentuk sawut kering seharga Rp
5000/kg.
Bahan baku yang digunakan (ubi jalar segar atau sawut kering), selain dari
anggota KTH juga berasal dari luar anggota. Bahan baku yang berasal dari luar
tersebut, masih berada di sekitar Kota Bogor. Bahan baku dari luar anggota
dikenakan harga yang sama. Harga jual dari tepung ubi jalar KTH juga cukup
tinggi dibandingkan dengan beberapa jenis tepung yang ada di pasar seperti
tepung terigu dan tapioka (Tabel 3).
Tabel 3. Harga produk tepung3
Jenis Tepung
Terigu Segitiga Biru
Terigu Cakra Kembar
Terigu Kunci Biru
Terigu Giant
Tapioka Alini
Ketan Giant
Maizena Giant
Terigu Curah
Ubi Jalar Hurip*)

3

Ukuran
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg
1 kg

Harga (Rp)
8.000-10.100
8.550-10.000
8.100-9.700
7.990
12.980
17.980
27.980
6.000
12.000

Harga tepung didapatkan dari hasil observasi beberapa pasar (tradisional dan modern),
dengan kisaran harga terendah sampai tertinggi di tingkat pasar, kecuali tepung ubi jalar yang
harganya dari Kelompok Tani Hurip (produsen).

7

Daftar harga yang ada pada Tabel 3, merupakan harga beberapa jenis tepung
yang ada di pasar, baik pasar tradisional dan pasar modern (supermarket/
hypermart). Harga beberapa jenis tepung berdasarkan harga bulan Februari
sampai Maret 2013. Pasar tradisional yang dimaksud diantaranya adalah Pasar
Ciluar, warung, Pasar Anyar, Pasar Warung Jambu. Sedangkan pasar modern
meliputi Giant, Ngesti, Indomart. Jika dibandingkan harga jual tepung ubi jalar
seharga Rp 6.000/500gr, harga tepung terigu masih lebih murah yaitu sekitar Rp
3.000/500gr sampai Rp 5.000/500gr. Harga tepung terigu tersebut juga sudah
merupakan harga jual di pasar, sedangkan harga jual produk tepung ubi jalar
sebesar Rp 6.000/500gr merupakan harga jual di tingkat produsen (KTH). Harga
jual tersebut tentu dipengaruhi beberapa faktor, seperti harga bahan baku, proses
pengolahan, hingga produk siap dijual.
Mulai tahun 2011 KTH dibantu oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor
dengan memberikan fasilitas seperti bangunan pabrik pengolahan tepung.
Kemudian pada tahun 2012, KTH diberikan mesin produksi yaitu mesin
penyawut, mesin penggiling dan perlengkapan lainnya. Mesin produksi tersebut
mampu menghasilkan tepung sebanyak lima kwintal sampai satu ton per produksi,
dimana awalnya mesin yang ada di KTH hanya mampu memproduksi 25 kg – 30
kg sekali produksi. Selain peralatan, Dinas Pertanian juga memberikan bantuan
berupa kemasan produk.
Dinas Pertanian Kabupaten Bogor memberikan bantuan kepada KTH,
karena melihat bahwa prospek tepung ubi jalar cukup baik. Selain itu juga
didorong tujuan pemerintah dalam hal penganekaragaman pangan berbasis
panganan lokal. Produk-produk berbentuk tepung yang berasal dari bahan pangan
lokal tersebut diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada tepung terigu
berbahan baku gandum, dimana gandum yang digunakan berasal dari produk
impor.
Berdasarkan masalah tersebut, maka perlu juga melihat seberapa besar
keuntungan yang didapat dari pengolahan ubi jalar menjadi tepung dan besarnya
nilai tambah yang diberikan pada usaha tepung ubi jalar, sehingga memberikan
nilai ekonomi yang lebih tinggi dan dapat memperpanjang jangka waktu
penyimpanan. Usaha pengolahan tepung ubi jalar ini juga memerlukan investasi
yang tidak sedikit, belum lagi biaya yang dikeluarkan selama proses produksi.
Bahan baku ubi jalar segar seberat satu kwintal, menghasilkan 20 kg tepung. Dari
beberapa permasalahan tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan
yang ingin dibahas dalam penelitian ini, yaitu :
1. Berapa besar keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengolahan ubi jalar
dan sawut kering menjadi tepung yang dijalankan oleh Kelompok Tani
Hurip?
2. Berapa besar nilai tambah dari pengolahan ubi jalar segar dan sawut
kering menjadi tepung yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Hurip?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah :

8

1.
2.

Menganalisis profitabilitas usaha pengolahan ubi jalar segar dan sawut
kering menjadi tepung di Kelompok Tani Hurip.
Menganalisis nilai tambah pengolahan ubi jalar segar dan sawut kering
menjadi tepung di Kelompok Tani Hurip.
Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat dalam
memberikan informasi bagi pelaku usaha atau yang akan melakukan usaha
pengolahan tepung ubi jalar, khususnya dalam melihat kemampuan menghasilkan
laba dan nilai tambah yang dihasilkan. Kegunaan penelitian ini bagi peneliti
sendiri dapat memberikan manfaat dalam melatih kemampuan analisis dan
sebagai aplikasi dari materi atau ilmu-ilmu yang telah dipelajari. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca ataupun dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan atau acuan penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kelompok Tani Hurip, yang terletak di Desa
Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Lingkup penelitian yang
dilakukan hanya pada usaha pengolahan ubi jalar segar dan sawut kering menjadi
tepung. Materi penelitian tentang analisis titik impas, profitabilitas, serta nilai
tambah dari usaha yang dijalankan KTH yaitu tepung ubi jalar. Perhitungan yang
dilakukan mengenai biaya, penerimaan, titik impas (rupiah dan unit),
profitabilitas, dan nilai tambah usaha tepung KTH dengan penggunaan bahan
baku ubi jalar segar dan sawut kering.

TINJAUAN PUSTAKA
Ubi Jalar
Ubi jalar atau ketela rambat merupakan salah satu jenis tanaman umbiumbian yang dapat dibudidayakan. Ubi jalar ini memiliki nama ilmiah Ipomoea
batatas. Jenis-jenis ubi jalar sendiri cukup bervariasi, seperti ubi jalar merah, ubi
jalar ungu, dan ubi jalar putih. Menurut Prihatman (2010), varietas atau kultivar
atau klon ubi jalar yang ditanam di berbagai daerah jumlahnya cukup banyak,
antara lain: lampeneng, sawo, cilembu, rambo, SQ-27, jahe, kleneng, gedang,
tumpuk, georgia, layang-layang, karya, daya, borobudur, prambanan, mendut, dan
kalasan. Varietas unggul ubi jalar yang dianjurkan adalah daya, prambanan,
borobudur, mendut, dan kalasan.
Menurut Hafsah (2004), salah satu industri pengolahan ubi jalar yang dapat
dikembangkan adalah tepung. Bahan pangan ini akan lebih mudah diolah menjadi
berbagai produk pangan maupun non pangan. Produk turunan dari ubi jalar cukup
beragam. Produk olahan ubi jalar diantaranya adalah gaplek ubi jalar, tepung ubi
jalar, pati ubi jalar, keripik ubi jalar, cheese stick ubi jalar, dodol ubi jalar, dan

9

french fries ubi jalar. Tepung ubi jalar merupakan salah satu olahan ubi jalar yang
diharapkan mampu dikembangkan karena tepung ubi jalar dapat diolah kembali
menjadi produk yang lebih beragam dan lebih mudah menghasilkan jenis
makanan baru seperti mie, cookies, aneka kue, dan produk olahan lainnya.

Tepung Ubi Jalar
Usaha pemenuhan percepatan diversifikasi pangan salah satunya adalah
dengan mengolah ubi jalar menjadi tepung, sehingga dapat digunakan dalam
pengolahan berbagai produk makanan. Selain itu pengolahan ubi jalar menjadi
tepung juga dapat memperpanjang masa simpan, untuk mengatasi masalah sifat
produk yang mudah rusak. Tepung ubi jalar dapat menjadi solusi subtitusi tepung
terigu, dimana diketahui bahwa bahan pembuatan tepung terigu merupakan
gandum yang didapatkan dengan cara mengimpor. Hal tersebut dapat membuat
ketergantungan akan gandum, sehingga saat harga gandum naik akan
menimbulkan masalah tersendiri. Pemilihan ubi jalar dikarenakan ubi jalar cukup
banyak ketersediaannya dan belum dimanfaatkan sepenuhnya, selain itu juga ubi
jalar tidak terlalu sulit untuk dikembangkan di Indonesia dibandingkan dengan
gandum (Hafsah, 2004).

Proses Pengolahan Tepung Ubi Jalar
Pengolahan suatu produk dari bahan mentah menjadi bahan setengah jadi
atau bahan jadi tentunya mengalami proses, termasuk dalam pembuatan tepung
ubi jalar. Proses pembuatan tepung ubi jalar dimulai dari bahan mentah yaitu ubi
jalar segar hingga menjadi tepung (Gambar 2). Teknologi dalam pengolahan
tepung ini menggunakan teknologi sawut dan penepungan.
Diagram alir pada Gambar 2 menunjukkan alur proses pengolahan ubi
menjadi tepung ubi jalar. Proses pembuatan tepung mengacu pada pembuatan
tepung yang dilakukan oleh Kelompok Wanitatani Ngudi Lestani, Kabupaten
Gunung Kidul. Ubi jalar segar sebagai bahan baku selanjutnya dikupas dan dicuci
untuk membersihkan dari kotoran dan membuang kulitnya. Kemudian disawut
dan diberi larutan cuka untuk perendaman. Pemberian larutan cuka sebanyak 5
persen pada proses penyawutan dimaksudkan agar sawut tidak mengalami
pencokelatan jika dikeringkan. Setelah melewati proses perendaman kemudian
sawut ditiriskan. Ubi jalar yang telah menjadi sawut basah kemudian dijemur
hingga kering. Setelah kering, ubi jalar dengan bentuk sawut kering dapat diproses
lebih lanjut atau dilakukan penyimpanan. Hal lain yang penting adalah
penyimpanan. Sebenarnya ubi jalar yang sudah dalam bentuk sawut atau tepung
dapat disimpan atau langsung digunakan. Penyimpanan dapat menggunakan
kantung plastik dengan ketebalan 0,8 mm. Penyimpanan sebaiknya dalam bentuk
sawut kering, hal tersebut dikarenakan saat dalam bentuk sawut kering bisa tahan
disimpan hingga waktu 6 bulan, sedangkan jika disimpan dalam bentuk tepung
hanya sekitar 2-3 bulan. Tepung yang disimpan lebih dari tiga bulan,
kemungkinan akan timbul bau. Jika sawut kering langsung diproses, maka proses

10

selanjutnya adalah penepungan atau penggilingan hingga bahan dalam bentuk
sawut kering tersebut menjadi tepung ubi jalar.

Ubi jalar segar

Pengupasan dan pencucian

Larutan cuka 5%

Kulit dan kotoran

Penyawutan dan perendaman
selama 30 menit

Penirisan

Sawut basah

Pengeringan

Sawut kering

Penyimpanan

Penepungan

Tepung ubi jalar

Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar
Sumber : Djaafar dan Rahayu (2002)

Pengolahan pembuatan tepung ubi jalar selain cara di atas, yaitu dengan cara
sederhana sebagai berikut : ubi dikupas dan kemudian dicuci hingga bersih; ubi
jalar diparut halus, hingga membentuk seperti bubur; Tambahkan air dengan
perbandingan ubi jalar dengan air adalah 1:2; Setelah itu, bubur disaring dengan
menggunakan kain. Bubur ubi jalar diperas hingga sari patinya keluar, dan hanya
tertinggal serat-seratnya di dalam kain; Biarkan saripati itu mengendap. Kira-kira
tunggu sampai 12 jam; Cairan di atas endapan dibuang, kemudian endapan yang
berupa pasta dijemur, bisa menggunakan tampah saat menjemurnya; Tepung ubi
jalar yang dihasilkan bertekstur agak kasar. Apabila ingin lebih halus, bisa
dihaluskan menggunakan mesin selep, ataupun blender4.

Kelompok Tani
Kelompok tani dapat diartikan sebagai sebuah organisasi atau kelompok
yang dibentuk oleh para petani. Biasanya kelompok tani merupakan kesamaan
komoditi atau merupakan petani yang ada dalam satu kawasan daerah. Kelompok
4

Siwi Tri Puji. Cara Membuat Tepung Ubi Jalar. Republika. http://www.republika.co.id/.
[1 Oktober 2012]

11

tani didefinisikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas
petani dewasa, pria dan wanita, tua dan muda, yang terkait secara informal dalam
suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta
berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani (Deptan RI,
1980 dalam Swastika dan Nuryanti, 2011). SK Menteri Pertanian No.
93/Kpts/OT. 210/3/97, Tanggal 18 Maret 1997, menyebutkan kelompok tani
adalah kumpulan petani yang tumbuh berdasarkan keakraban dan keserasian, serta
kesamaan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya pertanian untuk bekerja
sama meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan anggotanya.
Kemudian untuk lebih luasnya yaitu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan)
adalah: Kumpulan dari beberapa kelompok tani yang mempunyai kepentingan
yang sama dalam pengembangan komoditas usaha tani tertentu untuk menggalang
kepentingan bersama, atau merupakan suatu wadah kerjasama antar kelompok
tani dalam upaya pengembangan usaha yang lebih besar5.

Analisis Profitabilitas
Setiap pelaku usaha mengharapkan usahanya dapat menghasilkan
keuntungan atau laba, terutama usaha yang bertujuan secara komersil.
Kemampuan suatu usaha dalam menghasilkan laba dapat juga disebut
profitabilitas. Ada beberapa alasan mengapa diperlukan analisis perhitungan laba,
diantaranya adalah untuk melihat kelangsungan hidup usaha dan pengukuran
kinerja manajerial. Penelitian mengenai profitabilitas telah dilakukan oleh
Damayanti (2004), Andriastuti (2005), Putriyana (2008), Tunggadewi (2009).
Perhitungan profitabilitas sebuah usaha umumnya berhubungan dengan titik
impas (BEP), sehingga menghasilkan margin of safety (MOS) dan marginal
income ratio (MIR). Damayanti (2004), menganalisis profitabilitas salah satu
perusahaan di Jawa Barat yang memproduksi teh. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa usaha teh dapat menghasilkan profitabilitas sebesar 9,53 persen, yang
artinya bahwa kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba adalah sebesar
9,53 persen dari total penerimaannya.
Andriastuti (2005), menganalisis profitabilitas pada peternakan ayam
broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profit yang diperoleh perusahaan
dari total hasil penjualan ayam broiler selama satu tahun adalah sebesar 6,13
persen. Selain itu peneliti juga melakukan perhitungan rentabilitas untuk melihat
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yaitu rentabilitas ekonomi dan
rentabilitas modal sendiri. Rentabilitas ekonomi perusahaan selama satu tahun
produksi sebesar 6,29 persen, yang artinya kemampuan modal yang digunakan
dalam suatu usaha dalam menghasilkan laba yaitu sebesar 6,29 persen. Sedangkan
rentabilitas modal sendiri dalam satu tahun sebesar 4,42 persen, artinya
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan modal sendiri adalah
sebesar 4,42 persen.
Putriyana (2008), menganalisis profitabilitas pada usaha roti di Bella Bakery
yang terletak di daerah Pondok Gede, Bekasi. Produk yang diteliti dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu roti tawar dan roti manis. Penelitian dilakukan dengan
5

Nasir. Pengembangan Dinamika Kelompok Tani. http//www.deptan.go.id/. [1 Oktober 2012]

12

melihat data dari tahun 2005-2007. Hasil penelitian menunjukkan profitabilitas
untuk roti tawar tertinggi pada tahun 2006 yaitu sebesar 44,98 persen dan terendah
pada tahun 2007 dengan profitabilitas sebesar 38,45 persen. Hal tersebut
dikarenakan perusahaan tidak menaikkan harga jual produk terlalu besar, sehingga
menekan keuntungan. Sedangkan untuk produk roti manis, profitabilitas tertinggi
pada tahun 2007 sebesar 53,08 persen dan terendah pada tahun 2006 sebesar
48,62 persen. Perbedaan profitabilitas produk tiap tahunnya dapat terjadi karena
adanya perubahan permintaan. Perubahan profitabilitas selama tiga tahun terakhir
sebelum penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas dipengaruhi oleh besarnya
biaya, volume penjualan dan harga jual. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan
menekan biaya produksi seperti penggantian merek bahan baku yang lebih murah
dan peningkatan harga jual.
Tunggadewi (2009), melakukan penelitian mengenai profitabilitas pada
usaha tahu dan tempe di Kota Bogor. Peneliti mencoba membandingkan
profitabilitas antara usaha tahu dan tempe, sehingga dapat terlihat usaha yang
lebih menguntungkan serta penyebab perbedaan dalam menghasilkan laba. Hasil
penelitian menunjukkan profitabilitas pada usaha tahu sebesar 37 persen dari hasil
penjualannya sebesar Rp 444.306.619 per tahun atau Rp 1.481.022 per hari.
Sedangkan profitabilitas pada usaha tempe sebesar 26 persen dari hasil
penjualannya sebesar sebesar Rp 357.912.500 per tahun atau Rp 1.193.042 per
hari. Jika dilihat dari hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa usaha tahu
memiliki kemampuan lebih dalam menghasilkan laba. Perbedaan profitabilitas
dari usaha tahu dan tempe dikarenakan adanya perbedaan total biaya dari usaha
tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa usaha tempe memiliki biaya tetap yang
lebih besar dari usaha tahu. Hal ini menandakan bahwa struktur biaya usaha tempe
belum efisien, berbeda dengan struktur biaya usaha tahu yang jauh lebih kecil.
Penelitian yang telah dilakukan mengenai profitabilitas menunjukkan bahwa
setiap usaha diharapkan mampu menghasilkan keuntungan dan bermanfaat bagi
pelaku usaha khususnya. Tingkat keuntungan yang dihasilkan dari usaha-usaha
tersebut berbeda. Perbedaan dalam profitabilitas sendiri dapat disebabkan oleh
beberapa hal, seperti besarnya skala usaha, volume penjualan dan biaya yang
dapat mempengaruhi keuntungan atau laba dari suatu usaha.

Analisis Nilai Tambah
Metode penelitian nilai tambah yang digunakan peneliti pada umumnya
menggunakan Metode Hayami et all tahun 1987. Penelitian nilai tambah
diantaranya dilakukan oleh Purba (2002), Jati (2006), Wiradisastra (2008),
Tunggadewi (2009) Pohan (2011). Purba (2002), menganalisis nilai tambah pada
usaha tepung tapioka di Desa Ciparigi Kecamatan Bogor Utara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa usaha tapioka dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp
98.753 per kilogram ubi kayu. Rasio nilai tambah sebesar 24,115 persen dari total
nilai output. Nilai tambah Rp 98.753 merupakan pendapatan tenaga kerja sebesar
Rp 69.000 dan keuntungan sebesar Rp 29.753. Proporsi terbesar dari nilai tambah
adalah untuk pendapatan tenaga kerja yaitu sebesar Rp 69.000.
Jati (2006), melakukan penelitian nilai tambah pada produk kopi bubuk
arabika di Kelompok Tani Manunggal VI, Kecamatan Jambu, Semarang. Hasil

13

penelitian menunjukkan nilai tambah yang diperoleh pengolah adalah Rp 8.797,60
per kilogram, dengan rasio nilai tambah sebesar 41,89 persen, yang artinya dari
Rp 21.000 per kilogram nilai produk, 41,89 persen merupakan nilai tambah dari
pengolahan produk. Imbalan tenaga kerja sebesar Rp 1.600, hal tersebut berarti
bahwa 17,97 persen dari nilai tambah pemasaran merupakan imbalan yang
diterima tenaga kerja. Nilai tambah bersih sebesar Rp 7.200 atau 34,32 persen dari
harga jual produk merupakan keuntungan yang diterima oleh Kelompok Tani.
Wiradisastra (2008), melakukan analisis nilai tambah pada pemasaran ayam
broiler dengan mengambil kasus pedagang pemotong di Pasar Baru, Kota Bogor.
Pedagang pemotong dibedakan menjadi dua, yaitu pedagang pemotong besar dan
pedangan pemotong kecil. Nilai tambah yang diterima pedagang pemotong besar
yaitu Rp 3.084,73 hingga Rp 9.881 per ekor ayam, sedangkan pada pedagang
pemotong kecil sebesar Rp 7.583,81 hingga Rp 8.779,53. Rasio nilai tambah
sebesar 34,85 persen pedagang pemotong besar, yang berarti nilai dari Rp
17.748,31 dari pemotong besar, sebesar 34,85 persen dari pengolahan produk
yang dilakukan. Pedagang pemotong kecil, rasio nilai tambah sebesar 38,06
persen, yang artinya dari Rp 21.083,3 per ekor, 38,06 persen merupakan nilai
tambah dari pemotongan ayam. Imbalan tenaga kerja sebesar Rp 351,46 pada
pemotongan besar, hal tersebut berarti 6,35 persen dari nilai tambah pemasaran
merupakan imbalan yang diterima tenaga kerja. Sedangkan pada pemotongan
kecil, imbalan tenaga kerja sebesar Rp 146,87 per ekor, yang berarti bahwa 2
persen dari nilai tambah pemasaran merupakan imbalan bagi tenaga kerja. Nilai
tambah bersih pada pedagang pemotong besar sebesar Rp 5.866,24 atau 32,92
persen merupakan keuntungan yang diterima pengusaha. Nilai tambah bersih pada
pedagang pemotong kecil sebesar Rp 7.876,36 atau 37,36 persen merupakan
keuntungan yang diterima pedagang pemotong kecil.
Tunggadewi (2009), melakukan penelitian nilai tambah pada usaha
pengolahan kedelai yaitu usaha tahu dan tempe. Penelitian dilakukan dengan
membandingkan nilai tambah dari ke dua usaha tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan dari usaha tahu sebesar Rp 6.881,
sedangkan untuk usaha tempe sebesar Rp 4.947. Besarnya keuntungan yang
diperoleh dari pengolahan kedelai yang dilakukan masing-masing usaha, yaitu
sebesar Rp 6.381 untuk usaha tahu dan Rp 4.587 untuk usaha tempe. Bagian
tenaga kerja dari keuntungan nilai tambah yang diperoleh usaha tahu dan tempe
sama yaitu tujuh persen, dengan besar imbalan yang diperoleh tenaga kerja pada
masing-masing usaha per harinya sebesar Rp 500 untuk usaha tahu dan Rp 360
untuk usaha tempe. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan proses
pengolahan kedelai yang dilakukan pengusaha tahu dan tempe.
Pohan (2011), melakukan penelitian nilai tambah pada komoditi ubi kayu
yang diproses menjadi aci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai
faktor konversi untuk produk utama adalah sebesar 0,24 dan untuk produk
sampingan sebesar 0,056. Nilai faktor konversi menunjukkan bahwa setiap 100
kilogram ubi kayu mampu menghasilkan 24 kilogram aci dan 5,6 kilogram
onggok. Rata-rata nilai koefisien tenaga kerja sebesar 0,0032 menunjukkan bahwa
untuk mengolah 100 kilogram ubi kayu menjadi 24 kilogram aci dan 5,6 kilogram
onggok diperlukan tenaga kerja langsung sebanyak 0,32 HOK. Rata-rata upah
tenaga kerja per proses produksi yaitu sebesar Rp 51.401,26 per HOK. Jadi
besarnya pendapatan yang diterima oleh tenaga kerja langsung dari pengolahan

14

satu kilogram ubi kayu menjadi aci dan onggok adalah Rp 164,24 per kilogram,
dengan bagian tenaga kerja sebesar 45,75 persen dari nilai tambah.
Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan nilai tambah
menunjukkan bahwa suatu proses pengolahan dapat memberikan nilai tambah.
Nilai tambah secara ekonomi dapat dilihat pada harga produk sebelum diolah
dengan produk yang telah diolah. Berdasarkan penelitian tersebut juga dapat
diketahui seberapa besar suatu produk memberikan atau menghasilkan nilai
tambah dengan tanpa nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan sebuah produk
dapat disalurkan atau dapat dikatakan sebagai balas jasa, seperti untuk tenaga
kerja, input lain, dan pelaku usaha. Nilai tambah yang dihasilkan dari masingmasing produk tentu akan berbeda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh banyak
faktor, seperti volume produksi, kebutuhan atau harga input, harga output, upah
tenaga kerja, dan lainnya.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Usaha yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, diharapkan
memperoleh keuntungan atau laba terutama untuk usaha komersil. Sebelum
sebuah usaha berjalan, tentu melalui beberapa tahap seperti perencanaan usaha
baik itu produk, pasar, tempat, penentuan harga jual. Kegiatan tersebut akan
diperlukan kerjasama dari beberapa orang yang melakukan kegiatan manajemen
untuk mencapai tujuan dari usahanya. Kegiatan manajemen dalam usaha dapat
berfungsi dalam perencanaan dan pengendalian biaya, selain itu juga dapat dilihat
dalam penerapan kegiatan operasional yang efisien. Kerangka pemikiran teoritis
meliputi konsep biaya, penetapa

Dokumen yang terkait

Prospek Pemasaran Tepung Ubi Jalar Ditinjau Dari Potensi Permintaan Industri Kecil Di Wilayah Bogor” (Studi Kasus : Kelompok Tani Hurip Desa Cikarawang)

2 20 105

Perumusan Strategi Pemasaran Tepung Ubi Jalar Produksi Usaha Kecil (Studi Kasus : Kelompok Tani Hurip Desa Cikarawang)

10 155 141

Studi Kelayakan Usaha Tungku Sekam Di Kelompok Tani Hurip, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

0 17 143

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi jalar: studi kasus Kelompok Tani Hurip, Desa Cikarawang Kecamatan Darmaga Kabupaten Bogor

10 37 93

Analisis kelayakan finansial usaha pupuk kompos (Studi Kasus : Kelompok Tani Hurip, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

2 12 227

Peran Himpunan Profesi Mahasiswa Dalam Upaya Peningkatan Nilai Tambah Produk dan Daya Tawar Petani (Studi Kasus: Kelompok Tani Hurip, di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor)

0 6 10

Sistem Pemasaran dan Nilai Tambah Produk Olahan Ubi Jalar (Ipomoea batatas, L.) di Desa Cikarawang dan Desa Petir, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

1 14 77

Analisis Corak Pengembangan Usaha Tani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

0 18 50

Analisis Pemasaran Ubi Jalar (Studi Kasus: Kelompok Tani Hurip, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor)

9 46 125

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR (Ipomea batatas) DAN KERAGAAN PENYULUHAN PADA KELOMPOK TANI HURIP DI CIKARAWANG, DRAMAGA, BOGOR

0 0 9