Analisis Corak Pengembangan Usaha Tani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)

ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI
JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan
Dramaga Kabupaten Bogor)

SABILIL HAKIMI AMIZUAR

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Corak
Perkembangan Usahatani Serta Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (Studi
Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan Dramaga Kabupaten
Bogor) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Sabilil Hakimi Amizuar
NIM H34100149

ABSTRAK
SABILIL HAKIMI A. Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta FaktorFaktor Yang Mempengaruhinya (Studi Kasus : Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu
peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen ketersediaan
ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal ini mendorong
intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat komersialisasinya Namun
kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan pembangunan
infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap daerah sehingga
mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya perbedaan

infrastruktur dan aksesibilitas pasar dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat komersialisasii ubi jalar. Penelitian ini dilakukan pada dua Desa yaitu Cikarawang
dan Purwasari dimana Desa Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan
infrastruktur yang lebih baik daripada Desa Purwasari. Hasilnya menunjukkan bahwa
tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang lebih tinggi daripada
tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar di Desa Purwasari yaitu 60.58 persen untuk
Desa Cikarawang dan 49.84 persen untuk Desa Purwasari. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat komersialsasi usahatani di pengaruhi oleh infrastrutur dan aksesibilitas
pasar. Adapun faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi tingkat komersialisasi pada
kedua desa adalah luas lahan, jumlah tanggungan keluarga petani, dan harga jual ubi jalar.
Kata kunci: aksesibilitas pasar, infrastruktur, tingkat komersialisasi, ubi jalar.

ABSTRACT
SABILIL HAKIMI A. The Analysis of Sweet Potato Farming Commercialization Level
and Its Determinant Factors (A case of sweet potato smallholder farmers in Cikarawang
and Purwasari, Dramaga, Bogor) Supervised by NUNUNG KUSNADI.
The massive growth of sweet potato downstream industries in Indonesia has
triggered the excalation of sweet potato availability as derivated product ingredient.
Almost seventy percent of national sweet potato production was processd by industries. It
leads to sweet potato intensification to increase its level of commercialization. However

the uneven distribution of Indonesia economy contribution leads to a different
infrastructure and market accessibility development. This study that was conducted in
two villages namely Cikarawang and Purwasari aimed to identify the level of
commercialization of sweet potato farming due to differences in infrastructure and market
accessibility and to analyze the factors that affect the level of commercialization of sweet
potato farming. Cikarawang has a closer market accessibility and better infrastructure
than Purwasari. The result showed that level of commercialization of sweet potato
farming in Cikarawang higher than level of commercialization of sweet potato farming in
Purwasari (60.58 persent for Cikarawang and 49.84 persent for the Purwasari ). This
indicated that the level of commercialization of swet potato farming was determined by
infrastructure and market accessibility. The significant factor that influence level of
commercialization of sweet potato farming in both two villages are land , farmer family
size, and the price of sweet potato.
Keywords: infrastructure, level of commercialization, market accessibility, sweetpotato.

ANALISIS CORAK PERKEMBANGAN USAHATANI UBI
JALAR SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari Kecamatan
Dramaga Kabupaten Bogor)


SABILIL HAKIMI AMIZUAR

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat segala
kemurahan dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Corak Perkembangan Usahatani Ubi Jalar Serta Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya (Studi Kasus Desa Cikarawang dan Desa Purwasari

Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor)”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS
selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulisan skripsi ini. Terima
kasih penulis ucapkan pula kepada ibu Dr Ir Dwi Rachmina MSi selaku dosen
penguji utama dan Ibu Eva Yolynda Aviny SP MSi selaku dosen penguji komisi
pendidikan Departemen Agribisnis. Selanjutnya terima kasih juga disampaikan
kepada tim peneliti dari Departemen Agribisnis yang diketuai oleh Ibu Dr Ir Netty
Tinaprilla MM atas data-data di lapangan dari penelitiannya yang berjudul
“Pengembangan Usahatani Ubi Jalar melalui Peningkatan Pendapatan dan
Efisiensi untuk Mendukung Diversifikasi Pangan”. Di samping iu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad Bastari ketua kelompok tani Hurip di
Desa Cikarawang dan Bapak Adi Suardi ketua kelompok tani Rawasari di Desa
Purwasari yang telah membantu selama pengumpulan data usahatani ubi jalar
dilapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan motivasinya. Terakhir penulis sampaikan
salam semangat dan terima kasih kepada temen-teman Agribisnis 47 IPB dan
sahabat-sahabat yang selalu memberi dukungan dan bantuan dalam pembuatan
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, Juli 2014
Sabilil Hakimi Amizuar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

ABSTRAK

ii


ABSTRACT

ii

PRAKATA

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

4


Tujuan Penelitian

4

Manfaat Penelitian

4

Ruang Lingkup Penelitian

5

TINJAUAN PUSTAKA

5

Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya

5


Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke
Komersial

6

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN

8
8
13
15

Lokasi dan Waktu

15


Jenis dan Sumber Data

15

Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data

15

Pengolahan dan Analisis Data

16

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

19

Karakteristik Wilayah

19


Karakteristik Petani Responden

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

22

Struktur Biaya Usahatani Ubi Jalar

22

Tingkat Komersialisasi Usahatani Ubi jalar

24

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Komersialisasi Usahatani
Ubi Jalar
26
Hubungan Tingkat Komersialisasi Terhadap Keuntungan Usahatani
SIMPULAN DAN SARAN

29
32

Simpulan

32

Saran

32

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan
alokasi konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a)
2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di
Indonesia tahun 2008-2013a)
3 Karakteristik petani responden di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
4 Struktur biaya usahatani ubi jalar per hektar per musim di Desa
Cikarawang dan Desa Purwasari
5 Analisis tingkat komersialisasi usahatani dilihat dari rasio indikatorindikator tingkat komersialisasi usahatani antara Desa Cikarawang dan
Purwasari
6 Hasil pendugaan model fungsi regresi terhadap tingkat komersialisasi
usahatani
7 Penerimaaan usahatani ubi jalar per hektar di Desa Cikarawang dan
Desa Purwasari
8 Keuntungan usahatani ubi jalar per hektar dan R/C rasio di Desa
Cikarawang dan Desa Purwasari

2
3
21
23

24
26
30
31

DAFTAR GAMBAR
1 Tingkat Komersialisasi Usahatani
2 Kerangka Operasional

12
14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Output analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
komersialisasi usahatani ubi jalar
2 Analisis keuntungan per hektar usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang
dan Desa Purwasari

36
37

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usahatani komoditi pangan yang subsisten pernah terjadi ketika Indonesia
dengan perekonomiannya yang lemah belum bisa memproduksi pangan secara
cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Seperti yang terjadi di Jawa dan
Madura pada tahun 1963 hanya 21 persen hasil padi yang dijual ke pasar dan
sebagian besar lainnya dikonsumsi keluarga petani (Mubyarto, 1989). Salah satu
komoditi pangan yang dibudidayakan sebagai makanan pengganti ketika beras
tidak cukup pada saat itu adalah komoditi ubi jalar. Usahatani ubi jalar dilakukan
oleh para petani dengan orientasi memenuhi kebutuhan pangan keluarga sendiri.
Ubi jalar diposisikan sebagai secondary crop yang dibudidayakan oleh petani
pada lahan sempit yang hasil panennya hanya cukup untuk menjadi makanan
pokok keluarga petani jika produksi padinya tidak mencukupi untuk konsumsi
keluarganya.
Seiring dengan semakin membaiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia,
pembangunan infrastruktur pasar, dan penerapan teknologi pertanian, usahatani
ubi jalar saat ini dilakukan dengan intensif sehingga komoditi ubi jalar saat ini
mengalami perkembangan dengan meningkatnya ketersediaan ubi jalar per kapita
per tahun sebagai bahan makanan di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir. Berdasarkan data neraca bahan makanan ubi jalar, laju peningkatan
penggunaan ubi jalar sebagai bahan makanan adalah sebesar 4.26 persen per tahun
yaitu dari 7.8 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 menjadi 9.15 kg/kapita/tahun pada
tahun 2013. Peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan
mengindikasikan bahwa permintaan terhadap ubi jalar juga mengalami
peningkatan baik untuk di konsumsi untuk rumah tangga maupun untuk bahan
baku industri hilir yang mengolah ubi jalar menjadi produk-produk turunan.
Sebagian ubi jalar yang tersedia sebagai bahan makanan diserap untuk
konsumsi rumah tangga di Indonesia dalam wujud ubi jalar primer yang belum
diolah menjadi produk turunan. Berdasarkan data konsumsi menurut Pusdatin
yang mengacu kepada hasil Susenas BPS, besaran konsumsi dalam wujud ubi
jalar primer pada rumah tangga di Indonesia dari tahun 2009 sampai 2013
berfluktuasi namun laju pertumbuhannya mempunyai kecendrungan mengalami
peningkatan sebesar 2.28 persen per tahun yaitu dari 2.24 kg/kapita/tahun pada
tahun 2008 menjadi 2.35 kg/kapita/tahun pada tahun 2013 seperti yang tersaji
pada Tabel 1.
Peningkatan konsumsi ubi jalar sebagai bahan makanan ini dipicu oleh
pertumbuhan industri-industri hilir yang menghasilkan produk-produk turunan
dari ubi jalar. Sebagai contoh di Kuningan Jawa Barat terdapat PT. Galih Estetika
yang mengolah ubi jalar menjadi produk-produk turunan yang memiliki nilai
tinggi dengan kualitas ekspor seperti tepung ubi jalar, fried frozen, dan pasta beku
(steamed frozen). Selain PT. Galih estetika ada beberapa perusahaan lain seperti
PT. Cianjur Asri Mandiri (Jawa Barat); PT. Sumberboga Abadi, PT. Twas
Prospekta, Kern Farm (Jawa Tengah); PT. Randutatah Agro Cemerlang, Ganken
Farm, Arjuno Flora (Jawa Timur); PT. Toyota Bio Indonesia (Lampung).
Masing-masing perusahaan tersebut menerima jatah (quota) untuk ekspor produk

2
turunan ubi jalar. PT. Galih Estetika memiliki kuota terbesar dengan harus
memasok 600 ton/bulan atau 150 ton/minggu atau sekitar 7 container 20
feet/minggu sehingga untuk memenuhi kuota ekspor PT Galih Estetika bermitra
dengan 2500 petani ubi jalar yang tersebar di Pulau Jawa (Widodo et al, 2005).
Tabel 1 Perkembangan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan dan alokasi
konsumsi ubi jalar di Indonesia, 2009-2013a)
Tahun

2009
2010
2011
2012
2013
Laju
Pertumbuhan (%)
a

Ketersediaan
(kg/kapita/
tahun)
7.80
7.45
7.86
8.89
9.15
4.26

Konsumsi Rumah
Tangga
(kg/kapita/
tahun)
2.24
2.29
2.87
2.35
2.35
2.28

Konsumsi Industri Ubi
Jalar
(kg/kapita/
tahun)
5.56
5.16
4.99
6.54
6.80
6.13

) Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian

Pada Tabel 1 tersedia data besaran konsumsi ubi jalar yang terserap ke
industri hilir nasional pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar dari hasil
selisih antara ketersedian per kapita ubi jalar dengan konsumsi per kapita rumah
tangga. Berdasarkan Tabel 1 tersebut, besaran pasokan ubi jalar yang terserap ke
industri pengolahan ubi jalar juga berfluktuasi dari tahun 2009 sampai 2013
namun memiliki laju pertumbuhan yang meningkat yaitu sebesar 6.13 persen per
tahun dari 5.56 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 mencapai 6.80 kg/kapita/tahun
pada tahun 2013. Dengan demikian pada periode 2009 sampai 2013 rata-rata
besaran yang terserap ke industri pengolahan makanan berbahan dasar ubi jalar
adalah 70 persen dari ketersediaan ubi jalar (Pusdatin, 2013).
Peningkatan laju penyerapan ubi jalar oleh industri pengolahan makanan
berbahan dasar ubi jalar (off-farm) secara tidak langsung memicu peningkatan
pula pada produksi nasional ubi jalar. Terlihat dalam kurun waktu 6 tahun
pertumbuhan produksi ubi jalar Indonesia cenderung meningkat rata-rata 6.72
persen per tahun dari 1 881 761 ton pada tahun 2008 menjadi 2 594 064 ton pada
tahun 2013. Produktivitas nasional ubi jalar juga mengalami peningkatan dengan
rata-rata diatas angka pertumbuhan produksi yaitu mencapai 8.41 persen per tahun,
namun pertumbuhan luas panennya mengalami penurunan yaitu dengan rata-rata
1.40 persen per tahun seperti dikemukakan pada Tabel 2 berikut.

3
Tabel 2 Perkembangan luas panen, produktivitas, dan produksi ubi jalar di
Indonesia tahun 2008-2013a)
Tahun
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-rata
a

Luas Panen
(Ha)
%
174 561
183 874
5.34
181 073 -1.52
178 121 -1.63
178 298
0.09
161 703 -9.30
176 271 -1.40

Produktivitas
(ku/ha)
%
107.80
111.92
3.82
113.27
1.21
123.29
8.85
139.29
12.97
160.42
15.16
125.99
8.41

Produksi
(ton)
1 881 761
2 057 913
2 051 046
2 196 033
2 483 467
2 594 064
2 210 714

%
9.36
-0.33
7.07
13.08
4.45
6.72

) Badan Pusat Statistik

Pertumbuhan positif laju produksi nasional serta meningkatnya laju
penyerapan komoditi ubi jalar baik ke industri hilir pengolahan makanan berbahan
dasar ubi jalar maupun untuk konsumsi rumah tangga dalam kurun waktu 5 tahun
terakhir memperlihatkan suatu dinamisasi yang positif dari sisi supply (produksi)
dan demand (permintaan) yang menjadikan ubi jalar sebagai komoditi bisnis.
Implikasinya adalah kegiatan usahatani ubi jalar tidak hanya bertujuan untuk
konsumsi sendiri, namun akan berorientasi kepada profit dan permintaan/pasar.
Keadaan ini akan mempengaruhi corak usahatani ubi jalar yang berkemungkinan
arah tujuan dari usahatani ubi jalar berubah dari subsisten menjadi komersil.
Pembangunan infrastruktur serta kontribusi perekonomian nasional yang
tidak merata di setiap daerah mempengaruhi perkembangan corak usahatani
komoditi ubi jalar. Daerah dengan pembangunan infrastruktur yang lambat serta
perekonomian yang lemah karena aksesibilitas pasar yang sulit membuat tingkat
komersialisasi usahatani ubi jalar rendah. Sebagai contoh di Provinsi Papua
terbatasnya sarana transportasi dalam akses ke pasar dan industri pengolahan ubi
jalar membatasi usahatani dan perdagangan ubi jalar. Usahatani ubi jalar tidak
dikelola secara intensif karena 75 persen untuk konsumsi manusia dan ternak
sedangkan 25 persen dari hasil panen yang dijual (Limbongan dan Soplanit, 2007).
Adapun daerah yang memiliki infrastruktur, aksesibilitas pasar, dan
pertumbuhan industri pengolahan ubi jalar yang baik contohnya seperti di
Provinsi Jawa Barat secara tidak langsung berpengaruh pada pengelolaan
usahatani ubi jalar yang intensif. Pada data tahun 2012 Provinsi Jawa Barat yang
menjadi sentra produksi ubi jalar nasional, dengan luas panen 26 531 Ha yang
lebih sempit dari pada Provinsi Papua yaitu 33 071 Ha dapat memproduksi ubi
jalar lebih banyak daripada Provinsi Papua yaitu 436 577 ton berbanding dengan
345 095 ton untuk Provinsi Papua serta produktivitas ubi jalar di Provinsi Jawa
Barat sebesar 165.55 kw/ha lebih tinggi daripada Provinsi Papua sebesar 104.35
kw/ha (Kementan, 2013). Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa
pembangunan infrastruktur pasar dan pertumbuhan industri hilir pengolahan ubi
jalar di Provinsi Jawa Barat memiliki pengaruh terhadap tingkat komersialisasi
usahatani ubi jalar melalui pengelolaan usahatani dengan intensifitas tinggi.
Intensifitas usahatani ubi jalar yang tinggi dikarenakan tujuan dari usahatani
tersebut bukan hanya untuk memproduksi ubi jalar yang dikonsumsi sendiri

4
namun untuk menyuplai kebutuhan pasar ubi jalar sehingga petani mendapatkan
profit dari usahataninya.
Perumusan Masalah
Pertumbuhan makroekonomi suatu negara melalui pembangunan
infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada industri pengolahan produk turunan
mempengaruhi tingkat komesialisasi usahatani (Pingali dan Rosegrant, 1995).
Perekonomian negara Indonesia yang semakin membaik berimplikasi pada
berkembangnya pasar ubi jalar yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan industriindustri pengolahan makanan berbasis ubi jalar sehingga memicu peningkatan
intensifitas usahatani ubi jalar yang terlihat pada pertumbuhan poduksi dan
produktivitas dalam kurun waktu tahun 2009 sampai 2013. Peningkatan
intensifitas usahatani ubi jalar mengindikasikan adanya perkembangan corak
usahatani atau tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar saat ini.
Kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan
pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada
setiap daerah. Sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang dengan
memberikan contoh pada dua daerah yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Jawa
Barat bahwa perbedaan dalam infrastruktur dan aksesibilitas pasar kepada
industri-industri hilir berbasis ubi jalar mempengaruhi tingkat komersialisasi
usahatani ubi jalar melalui intensifitas pengelolaan usahatani yang berbeda, maka
pertanyaan yang muncul adalah:
1. Bagaimana pengaruh infrastruktur & aksesibilitas pasar terhadap tingkat
komersialisasi usahatani ubi jalar?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi tingkat komersialisasi atau corak
usahatani ubi jalar serta bagaimana pengaruhnya?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar akibat adanya
perbedaan infrastruktur dan aksesibilitas pasar.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi corak usahatani ubi
jalar
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1. Sebagai bahan informasi bagi Petani ubi jalar dalam pengambilan
keputusan pada usaha budidaya ubi jalar yang dilakukan.
2. Sebagai tambahan informasi dan masukan bagi Pemerintah daerah
dalam upaya penyusunan strategi dan kebijakan pertanian terutama
menyangkut ubi jalar.
3. Sebagai bahan pembelajaran bagi penulis dalam melakukan penulisan
ilmiah dan penelitian.
4. Sebagai informasi bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian lebih
lanjut pada bidang yang sama.

5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada petani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa
Purwasari. Analisis tingkat komersialisasi diukur secara kuantitatif dengan
indikator-indikator ekonomi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
komersialisasi melalui analisis regresi berganda.

TINJAUAN PUSTAKA
Subsistensi Pertanian : Indikator Pengukuran dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhinya
Berbagai pandangan dari para ahli ekonomi telah mendeskripsikan definisi
dari pertanian subsisten. Menurut Mubyarto (1989) pertanian yang subsisten
adalah suatu sistem bertani di mana tujuan utama dari seorang petani untuk
memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya. Definisi mengenai pertanian
subsisten secara kuantitatif juga telah dijelaskan oleh Wharton (1969) yaitu petani
yang subsisten adalah yang menjual kurang dari 50 persen dari seluruh hasil
panennya. Orientasi petani yang subsisten adalah memproduksi pangan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri. Subsistensi pertanian merupakan suatu hal yang
kompleks yang membutuhkan pengukuran dengan indikator-indikator yang dapat
mendeskripsikan tingkat subsistensi dari suatu usahatani. Ellis (1993) dalam
Kostov dan Lingard (2002) mendefinisikan subsistensi pertanian dengan
memberikan indikator di mana usahatani subsisten dapat diukur dengan besar
proporsi tenaga kerja dalam keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja luar
keluarga serta penggunaan input komersil yang tidak intensif yang mengakibatkan
produksi output yang rendah. Sebagai contoh Rahayu (2001) menggunakan
indikator rasio upah tenaga kerja tingkat subsistensi usahatani padi ladang Luar
Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 66.02 persen lebih mengarah ke komersial
dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi tenaga kerja luar keluarga lebih
besar daripada tenaga kerja dalam keluarga. Selain itu Rahayu (2001) juga
menggunakan indikator rasio biaya input tenga kerja tingkat subsistensi usahatani
padi ladang Luar Baduy (Jalupang Mulya) sebesar 26.61 persen lebih mengarah
ke komersial dibanding Baduy Luar (Kanekes) karena proporsi input modern yang
dibeli lebih besar daripada menggunakan input sendiri yang ada di dalam
keluarga.
Proses transisi usahatani yang subsisten menjadi usahatani yang komersil
dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor yang dilihat dari mikroekonomi rumah
tangga petani. Mathijs dan Noev (2002) telah mengidentifikasi faktor-faktor yang
menghambat rumah tangga petani pada era transisi pertanian ini untuk
berpartisipasi dalam pasar dan bisa keluar dari pola usahatani yang subsisten. Ada
10 karakteristik rumah tangga petani yang digunakan untuk mengukur tingkat
komersialisasi petani pada 4 negara ekonomi transisi yaitu, (1) umur pelaku
usahatani, (2) pendidikan, (3) Skala rumah tangga, (4) pendapatan, (5)
kepemilikan mobil, (6) keanggotaan di koperasi, (7) kepemilikan lahan, (8)
kepemilikan mesin budidaya, (9) Kepemilikan ternak, dan (10) jarak akses ke
pasar.

6
Umur petani memiliki pengaruh penting dalam proses transisi usahatani
subsisten kepada usahatani yang komersial. Suatu usahatani yang dimulai oleh
petani yang sudah tua akan lebih subsisten dari pada usahatani yang dimulai dari
petani yang masih muda. Kostov dan Lingard (2002) kebanyakan usahatani
subsisten dilakukan oleh para pensiunan yang susah mencari kerja karena sudah
tua sehingga bertahan hidup dengan melakukan usahatani yang subsisten adalah
salah satu sumber mata pencahariannya di desa.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani adalah
lahan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi kunci keberhasilan usahatani.
Semakin luas lahan maka akan semakin besar penjualan dan surplus dari output
usahatani (Mathjis dan Noev, 2002). Sebagai contoh menurut Lerman dan
Mirzakhanian (2001) dalam Mathjis dan Noev (2002) di Negara Armenia petani
yang komersil memiliki luas lahan yang lebih luas dari pada petani yang tidak
komersil.
Skala rumah tangga atau jumlah tanggungan keluarga petani juga
memberikan dampak kepada transisi usahatani subsisten ke usahatani komersil.
Petani yang subsisten melakukan usahatani dengan orientasi pemenuhan
kebutuhan sendiri dan keluarga setalah tujuan ini terpenuhi barulah petani tersebut
menjual sisa hasil panennya. Produksi output usahatani yang rendah dan jumlah
tanggungan keluarga petani yang banyak akan semakin membuat petani
melakukan subsistensi usahatani seperti yang dikemukakan oleh Mathjis dan
Noev (2002) bahwa skala rumah tangga yang lebih kecil akan membentuk
surplus produksi yang lebih banyak dan marketable.
Faktor lain yang mempengaruhi upaya transisi subsistensi usahatani menuju
pertanian yang komersil adalah akses kepada kredit sebagai bantuan modal petani
merupakan hal yang penting bagi petan sebagai upaya untuk membentuk
usahatani yang komersil. Menurut Mathjis dan Noev (2002) akses kepada kredit
menjadi salah satu faktor dominan yang mempengaruhi proses komersialisasi
usahatani. Adapun problem yang dihadapi oleh petani yang subsisten dalam
meminta kredit dari suatu bank adalah tidak dimilikinya angunan (collateral)
sebagai jaminan sehingga dibutuhkan suatu sistem yang didukung oleh
pemerintah dalam menciptakan sumber-sumber pendanaan bagi para petani
subsisten dengan syarat yang memudahkan mereka.
Proses komersialisasi usahatani subsisten erat hubungannya dengan
perkembangan ekonomi di suatu daerah. Petani akan menjadi semakin komersil
apabila memiliki akses kepada sumber ekonomi yaitu pasar. Akses kepada pasar
akan sangat mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani. Menurut Mathjis dan
Noev (2002) dalam penelitiannya dijelaskan bahwa jarak kepada pasar memiliki
korelasi yang positif terhadap tingkat komersialisasi dimana petani yang tinggal
dekat pasar akan memiliki akses yang lebih baik untuk menjual output dan
mendapatkan input modern untuk meningkatkan produksi usahatani.
Hubungan Kebijakan Pemerintah Terhadap Transisi Pertanian Subsisten ke
Komersial
Istilah mengenai subsisten dapat merujuk ke berbagai tingkat analisis atau
agregasi, seperti produksi subsisten, tingkat subsistensi hidup, pertanian subsisten,
ekonomi subsisten, dan petani subsisten. Khususnya mengenai yang terakhir tidak

7
ada definisi yang konsesus. Namun, kebanyakan akademisi sepakat bahwa
pertanian subsisten dapat dikaitkan dengan kemiskinan, rendahnya tingkat
teknologi, produksi tidak efisien, dan rendahnya tingkat komersialisasi (Mathijs
and Noev, 2002). Pertanian yang subsisten merupakan perkembangan yang lambat.
Selain itu, petani subsisten juga tidak responsif terhadap pasar dan kebijakan
pemerintah (Wharton, 1969; Lerman, 2001; von Braun and Lohlein, 2001;
Bruntrup and Heidhues, 2002).
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki korelasi yang kuat
dengan komersialisasi usahatani. Menurut Pingali dan Rosegrant (1995)
komersialisasi sistem pertanian merupakan fenomena yang umum dan irreversible
yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi. Tingkat komersialisasi bervariasi antar
benua dan antar negara-negara dalam satu benua pada arah perubahan yang sama
di seluruh dunia. Kebijakan-kebijakan mengenai liberalisasi perdagangan yang
sedang diimplementasikan di negara-negara berkembang bisa mengingkatkan
percepatan proses terjadinya komersialisasi. Tren komersialisasi membutuhkan
pergeseran paradigma dalam perumusan kebijakan pertanian dan penentuan
prioritas penelitian. Paradigma tentang swasembada pangan pokok yang telah
menjadi patokan kebijakan di negara-negara berkembang menjadi semakin usang
dengan pertumbuhan ekonomi. Paradigma yang relevan untuk abad ke-21 adalah
penekanan pada masa depan pertanian yaitu dengan kebijakan memaksimalkan
pendapatan rumah tangga petani daripada menghasilkan surplus pangan.
Komersialisasi sistem pertanian diharapkan dapat menjadi perubahan yang
substansial dalam organisasi produksi. Strategi jangka panjang yang penting untuk
memfasilitasi kelancaran transisi ke pola komersial adalah investasi di pasar
pedesaan, infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk memfasilitasi integrasi
ekonomi pedesaan, investasi pada penelitian untuk meningkatkan produktivitas,
dan peningkatan pemberian modal untuk petani kecil.
Salah satu faktor yang dapat mempercepat komersialisasi pertanian adalah
kemampuan petani dalam akses pasar yang harus didukung dengan kebijakan
suatu negara dengan membuat atmosfir pasar yang ramah dan berkeadilan bagi
pelaku usahatani. Menurut Kostov dan Lingard (2002) pola usahatani subsisten
tidak mungkin mengalami perubahan mendadak menjadi komersil dalam jangka
menengah dan harus diperhitungkan ketika kebijakan-kebijakan mengenai
pertanian, lingkungan dan daerah akan dirancang dan diimplementasikan. Aspek
terkait adalah pertanian subsisten memerlukan kebijakan khusus untuk
mempercepat proses transformasi pertanian subsisten menjadi komersial yaitu
dengan meningkatkan infrastruktur pasar dan efisiensi pasar. Namun faktor yang
paling berpengaruh yang berdampak pada penghidupan yaitu dengan
pengembangan ekonomi secara keseluruhan, pengentasan kemiskinan, dan
pembangunan pedesaan. Komersialisasi erat hubungannya dengan tingkat
pendapatan petani sehingga peningkatan kesejahteraan petani dapat dilakukan
dengan transisi dari pola subsisten ke komersial.

8

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Klasifikasi Usahatani Berdasarkan Corak Usahatani
Corak usahatani terbagi menjadi dua, yakni usahatani subsisten dan
usahatani komersial. Usahatani subsisten adalah suatu sistem bertani dimana
tujuan petani hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya
(Mubyarto, 1989). Sedangkan usahatani komersial berorientasi kentungan yang
dihasilkan dengan menjual produksi dari usahatani untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat banyak. Secara umum, petani yang masih menerapkan pola subsisten
merupakan petani kecil. Soekartawi (1986) mengatakan pola subsisten ini
biasanya dilakukan oleh petani kecil. Usahatani tersebut memiliki keterbatasan
dalam hal sumberdaya seperti kekurangan modal, pendapatan yang rendah, dan
memiliki keterbatasan sumber daya dalam mengakses faktor-faktor produksi
dalam berusahatani. Adapun ciri-ciri petani kecil yang memiliki corak usahatani
subsisten menurut Hernanto (1996) adalah:
a. Luas lahan sempit
b. Tingkat produktifitas tanah rendah.
c. Tingkat kesuburan tanah rendah.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas rendah.
e. Pendapatan petani rendah.
f. Kedudukan petani pada garis kemiskinan di pedesaan.
g. Status sosial petani rendah.
h. Mobilitas fisik dan ekonomi rendah.
i. Tingkat efisiensi ekonomis maupun teknis rendah.
j. Tingkat produktifitas tenaga kerja rendah.
Dari ciri-ciri diatas terdapat faktor penyebab corak subsisten usahatani dan
juga akibat dari faktor penyebab yang dapat diklasifikasikan menjadi dua kriteria
yaitu kriteria ekonomi dan kriteria sosial. Luas lahan yang sempit, tingkat
produktifitas dan kesuburan tanah yang rendah, faktor-faktor yang mempengaruhi
produktifitas usahatani rendah, tingkat efisiensi ekonomis dan teknis yang rendah,
dan tingkat produktifitas tenaga kerja yang rendah merupakan faktor sebab petani
berproduksi secara subsisten. Faktor penyebab ini mengakibatkan tingkat
pendapatan petani rendah. Hal ini dapat dijadikan indikator subsistensi usahatani
pada kriteria ekonomi.
Adapun kriteria sosial meliputi tingkat hidup petani. Dari ciri-ciri diatas
tingkat hidup petani dipengaruhi oleh kedudukan petani pada garis kemiskinan di
pedesaan, status sosial petani yang rendah serta mobilitas sosial yang rendah.
Mobilitas sosial berhubungan dengan keterbukaan terhadap akses informasi
atau penerimaan dalam adopsi inovasi. Petani subsisten akan sulit sekali
menerima perubahan. Dalam melakukan usahatani mereka cenderung
mempertahankan pola yang telah ada. Jadi lambat sekali dalam mengadakan
perubahan.

9

Karakteristik Empat Unsur Pokok Usahatani Subsisten dan Komersil
Untuk mencapai keberhasilan usahatani seorang petani harus bisa
mendapatkan faktor-faktor produksi usahatani yang mempengaruhi usahatani
tersebut. Hernanto (1996) menyatakan bahwa keberhasilan usahatani
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada usahatani itu
sendiri (internal) dan faktor-faktor di luar usahatani (eksternal). Adapun faktor
internal antara lain para petani pengelola, lahan, tenaga kerja, modal, tingkat
teknologi, jumlah keluarga, dan kemampuan petani dalam mengaplikasikan
penerimaan keluarga. Di sisi lain, faktor eksternal yang berpengaruh pada
keberhasilan usahatani adalah tersedianya sarana transportasi dan komunikasi,
aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan usahatani (harga jual,
harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana penyuluhan bagi petani.
Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya
memperhatikan cara-cara petani memperoleh dana dengan memadukan
sumberdaya yang ada dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan
usahatani selalu ada empat unsur pokok yang biasa disebut faktor produksi yaitu
lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan (manajemen) yang terbatas
ketersediaanya.
Kondisi perekonomian petani yang berbeda mengakibatkan tidak semua
petani dapat menguasai keempat unsur pokok tersebut dengan baik. Perbedaan
akses petani dalam kepemilikan unsur-unsur usahatani memiliki hubungan dengan
orientasi usahataninya. Dalam mengidentifikasi suatu usahatani keempat unsurunsur pokok usahatani dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman mengenai
karakteristik usahatani yang nantinya dikatakan usahatani subsisten atau
komersial. Petani yang subsisten tidak dapat berkembang karena memiliki
keterbatasan dalam kepemilikan dan penguasaan empat unsur pokok usahatani.
Adapun petani komersil memiliki akses yang besar dalam menguasai keempat
unsur-unsur pokok usahatani tersebut. Uraian berikut akan menjelaskan keempat
unsur pokok usahatani secara singkat untuk memberikan gambaran akan suatu
usahatani yang dikatakan komersil atau subsistem berdasarkan perbedaan status
kepemilikan keempat unsur-unsur pokok usahatani tersebut.
a. Lahan
Lahan merupakan faktor produksi yang mewakili unsur alam dan
lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi
lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Lahan
usahatani dapat berupa pekarangan, sawah, tegalan dan sebagainya. lahan
memiliki beberapa sifat yaitu : (1) luasnya relatif atau dianggap tetap, (2)
tidak dapat dipindah-pindahkan dan (3) dapat dipindahtangankan atau
diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan membeli, menyewa,
pemberian negara, membuka lahan sendiri, ataupun wakaf.
Faktor produksi lahan/tanah mempunyai kedudukan yang paling penting
karena besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan faktor-faktor
lainnya (Mubyarto, 1994). Pentingnya penguasahaan lahan akan mempengaruhi
tingkat komersialisasi usahatani. Tingkat komersialisasi usahatani secara
konsisten meningkat seiring dengan penguasaan/kepemilikan lahan yang lebih
luas (Lerman, 2004). Petani yang berorientasi kepada penjualan hasil panen sesuai
dengan permintaan pasar akan berusaha untuk memperluas penguasaan lahannya

10
untuk menambah produksi komoditi komersilnya karena memiliki akses untuk hal
tersebut. Dalam memperluas lahanya petani komersil akan menyewa lahan
tambahan yang dimiliki oleh orang lain. Adapun petani dengan usahatani
subsisten karena tujuan usahataninya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya
lahan yang dikuasainya sangat terbatas yang luasnya kurang dari 0.5 ha dan tidak
memiliki sumber daya yang cukup untuk menambah lahannya melauli tanah sewa.
b. Tenaga Kerja
Tenaga kerja menjadi pelaku usahatani yang diperlukan dalam
menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tenaga kerja dalam usahatani
dibedakan ke dalam tiga jenis yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak,
dan tenaga kerja mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan menjadi tenaga kerja
pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi umur, pendidkan, keterampilan,
pengalaman, tingkat kesehatan dan kondisi lainnya. Oleh karena itu dalam
praktiknya, digunakan satuan ukuran yang umum untuk mengatur tenaga kerja
yaitu jumlah jam dan hari kerja total. Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari
dalam dan luar keluarga. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka petani
mempekerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi upah.
Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan angkutan. Begitu
pula dengan tenaga kerja mekanik yang digunakan untuk pengolahan lahan,
penanaman, pengendalian hama, serta pemanenan.
Pembahasan mengenai tenaga kerja dalam pertanian di Indonesia dibedakan
ke dalam persoalan tenaga kerja dalam usahatani subsisten dan ke dalam
persoalan tenaga kerja dalam usahatani komersial. Menurut Wharton (1969) pada
usahatani subsisten penyumbang terbesar tenaga kerja usahatani berasal dari
dalam keluarga petani karena petani yang berorientasi subsisten memiliki
keterbatasan biaya untuk mengupah tenaga kerja dari luar keluarga. Adapun
sebaliknya petani dengan tingkat komersialisasi yang lebih tinggi akan menyerap
tenaga kerja luar keluarga yang lebih banyak daripada tenaga kerja dalam
keluarga. Selain menggunakan tenaga kerja manusia, petani komersil juga
menggunakan tenaga kerja mekanik agar produksi yang diharapkan semakin
bertambah baik skala maupun kualitasnya karena berorientasi pasar.
c. Modal
Modal adalah faktor produksi dalam usahatani setelah lahan dan tenaga
kerja. Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor
produksi lain dan tenaga kerja serta manajemen menghasilkan barang-barang baru
yaitu produk pertanian. Penggunaan modal untuk membantu meningkatkan
produktivitas baik lahan maupun tenaga kerja guna meningkatkan pendapatan dan
kekayaan petani. Modal dalam suatu usahatani untuk membeli sarana produksi
serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
usahatani diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit formal, non
formal, dan lain-lain), warisan, usaha lain, atau kontrak sewa.
Pembicaraan masalah modal dalam usahatani tidak bisa lepas dari
pembicaraan mengenai kredit (Mubyarto, 1994). Permasalahan yang dibahas
disini mengenai kredit dalam usahatani adalah akses terhadap modal
pinjaman/kredit karena dapat mempengaruhi usahatani. Kemudahan petani dalam
mengakses kepada kredit tidak semua sama yang dipengaruhi oleh perkembangan
fasilitas dan infrastruktur daerah petani tersebut. Hal ini memilki hubungan
dengan tingkat komersialisasi usahatani sejalan dengan pernyataan Mathijs dan

11
Noev (2002) bahwa akses kepada modal sering disebutkan sebagai salah satu
faktor
yang
mempengaruhi
komersialisasi
usahatani.
Persyaratan
angunan/jaminan dalam mengakses kredit di bank menjadi salah satu penghambat
yang menyulitkan petani kecil subsisen untuk mengembangkan usahataninya agar
mengarah ke komersial demi pendapatan yang lebih besar. Berbeda dengan petani
komersil yang mudah mengakses kredit di bank karena memiliki aset yang bisa
dijadikan sebagai jaminan.
d. Pengelolaan usahatani
Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik
baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sedemikian rupa
sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil,
maka pemahaman mengenai prinsip teknis maupun ekonomis harus dikuasi oleh
pengelola. Kemampuan dalam mengelola usahatani yang baik akan menjadikan
setiap keputusan baik teknis maupun ekonomis akan memberikan risiko sekecil
mungkin bagi usahanya dan memberikan keuntungan yang maksimum.
Pengelolaan usahatani akan semakin baik apabila didasari dengan
pemahaman akan ekonomi pertanian. Pemahaman tersebut akan bermanfaat dalam
mengukur efisiensi usahatani. Salah satu pemahaman ekonomi yang digunakan
pengelola usahatani untuk mencapai efisiensi adalah analisa pendapatan marjinal
atau analisa biaya marjinal. Petani dengan usahatani subsisten memiliki cara
pengelolaan yang berbeda dengan petani yang usahataninya berorientasi pasar.
Pengelolaan yang efisien dilakukan oleh petani subsisten dengan berfokus pada
pendapatan marjinal yaitu besarnya hasil produksi tidak pada rendahnya biaya
untuk memproduksi hasil itu (Mubyarto, 1994). Adapun petani dengan tujuan
produksi adalah pasar dan keuntungan akan menemui saingan produk yang sama
dengan harga sama sehingga pengelolaan usahatani berpusat pada analisis biaya
marjinal yaitu agar dapat meproduksi output yang kualitas sama namun dengan
biaya yang semurah-murahnya.
Indikator Pengukuran Tingkat Komersialisasi Usahatani
Menurut Wharton (1969) subsistensi secara garis besar terdiri dari dua
bagian yaitu produksi yang subsisten dan tingkat hidup subsisten. Produksi
subsisten lebih banyak berkaitan dengan aspek ekonomi petani dalam ha1 ini
berupa lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produktifitas lahan.
Sedangkan tingkat hidup subsisten merupakan cerminan dari produksi subsisten.
Beberapa formula pengukuran tingkat subsitensi usahatani diperoleh dari
beberapa kriteria Wharton (1969), yang cukup strategis untuk menilai tingkat
subsistensi usahatani ubi jalar yaitu :
a. Nilai umum, sikap, dan motivasi
b. Tujuan berproduksi
c. Pengambilan keputusan
d. Tingkat teknologi yang diimplementasikan para petani dibandingkan
dengan rekomendasi dinas pertanian setempat
e. Derajat komersialisasi dari produki usahatani ubi jalar, diukur dengan
rasio tingkat penjualan produk usahatani terhadap total produksi

12
f. Derajat komersialisasi dari input usahatani ubi jalar, diukur dengan rasio
belanja faktor input terhadap total biaya faktor input atau rasio upah tenaga
kerja terhadap total tenaga kerja
g. Tingkat sumbangan pendapatan usahatani dalam ekonomi keluarga petani
h. Tingkat pendayagunaan lembaga pertanian setempat
Dengan kriteria diatas dapat mengukur tingkat komersialisasi pada suatu
atau wilayah usahatani. Menurut Hernanto (1996) tingkat komersialisasi ini
dijelaskan melalui derajat skala yang memiliki tiga tingkatan yaitu statis/subsisten
sebagai tingkat terendah, transisi/semi komersial dan tingkat dinamis/komersial.
I

II

STATIS

III

TRANSISI

100% SUBSISTEN

DINAMIS

KOMERSIAL 100%

0% KOMERSIAL

SUBSISTEN 0 %

Gambar 1 Tingkat Komersialisasi Usahatani
Menurut Wharton (1969) ada empat kriteria pengukuran tingkat
komersialisasi usahatani yaitu :
a. Kriteria ekonomi
1) Rasio tingkat penjualan produk usahatani (RTPPU)
Menurut kriteria ini usahatani subsisten di gambarkan dengan baik
sebagai tingkat konsumsi terbesar dari produksinya.
RTPPU =

������ ������ ���� ������
������ �������� �����

2) Rasio upah tenaga kerja atau rasio biaya input beli (RUTK atau RBIB)
Menurut kriteria ini modernisasi (komersial) dalam proses
pertanian mewajibkan perlunya intensifikasi biaya (belanja) faktor input
produksi di dalam proses usahatani.
RUTK =

������ ����� ����� ������ ����� ���� ������
������ ����� ������ ����� �����

Atau,
������ ������ ����� ���� ������
RBIB =
������ ������ ����� �����

3) Tingkat Teknologi
Menurut kriteria ini usahatani yang komersil melakukan kegiatan
budidaya dengan menggunakan teknologi yang intensif diantaranya
adalah teknologi kimia berupa penggunaan pupuk, teknologi biologis
berupa penggunaan bibit unggul dengan produktiftas tinggi, dan
teknologi mekanis berupa penggunaan alat-alat pertanian untuk
meningkatkan efisiensi teknis usahatani.
4) Kebebasan membuat keputusan
Menurut kriteria ini usahatani atau petani subsisten kurang atau
tebatas dalam tingkat pembuatan keputusan. Biasanya keputusan dalam
berusahatani dipengaruhi oleh adat dan budaya setempat.
b. Kriteria sosial budaya
1) Faktor-faktor non-ekonomi dalam membuat keputusan

13
Menurut kriteria ini ciri khusus usahatani atau petani subsisten
adalah besarnya pengaruh (jika tidak dominan) dari pertimbangan sosial
budaya dalam proses produksi dan penggunaan tenaga kerja.
2) Derajat atau ukuran hubungan dengan dunia luar
Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani
yang kurang berhubungan dengan dunia luar.
3) Hubungan alami antar individu
Kriteria ini cenderung untuk membedakan penduduk yang
mengistimewakan ‘sistem kekeluargaan’ dari hal yang menyangkut
individualistis
dalam
melakukan
hubungannya,
sebagaimana
dikemukakan oleh Hoselitz (1960) dalam Wharton (1963).
4) Perbedaan psikologi
Beberapa partisipan petani merasa karakteristik psikologi sebagai
tujuan akhir dan sebagai aksi implementasi akhir. Seluruh motivasi dan
bermacamnya sikap yang terlihat pokok dalam efek tersebut khususnya
pada prilaku sosial dan ekonomi.
c. Kriteria perkembangan (pertumbuhan)
Menurut kriteria ini usahatani subsisten adalah suatu usahatani yang
proses peningkatan perkembangannya lambat, tidak terlihat perubahan baik
dalam kegiatan produksi maupun pemasaran
Kerangka Pemikiran Operasional
Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu
peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan sebesar 70 persen
ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di Indonesia. Hal
ini mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan tingkat
komersialisasinya Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata
mengakibatkan pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang
tidak sama pada setiap daerah sehingga mempengaruhi tingkat komersialisasi
usahatani ubi jalar.
Penelitian ini dilakukan dengan metode studi kasus. Objek penelitian ini
adalah usahatani ubi jalar di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari dimana Desa
Cikarawang yang memiliki akses pasar yang lebih dekat dan infrastruktur yang
lebih baik daripada Desa Purwasari. Dengan adanya perbedaan akses pasar dan
infrastruktur antara kedua desa akan dianalisis tingkat komersialisasi usahatani ubi
jalar pada masing-masing desa serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
komersialisasi usahatani ubi jalar.
Penelitian ini melakukan analisis tingkat komersialisasi menggunakan
indikator-indikator ekonomi, yaitu: rasio komersialisasi output, rasio upah tenaga
kerja, rasio biaya input beli, dan rasio tingkat pendapatan tunai petani. Setelah itu,
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat komersialisasi ubi jalar
dengan analisis regresi berganda. Adapun variabel-variabel yang digunakan
sebagai faktor adalah luas lahan ubi jalar, umur, pengalaman, tangungan keluarga,
tingkat pendidikan, harga jual ubi jalar dan dummy desa (perbedaan aksesibilitas
pasar dan infrastruktur) Secara sederhana kerangka pemikiran operasional di
dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

14
• Pertumbuhan industri-industri hilir pengolahan ubi jalar yang pesat memicu
peningkatan ketersediaan ubi jalar sebagai bahan makanan.
• Sebesar 70 persen ketersediaan ubi jalar diserap oleh industri pengolahan ubi jalar di
Indonesia sehingga mendorong intensifitas usahatani ubi jalar untuk meningkatkan
tingkat komersialisasi usahatani.
• Namun kontribusi perekonomian Indonesia yang tidak merata mengakibatkan
pembangunan infrastruktur dan aksesibilitas pasar ubi jalar yang tidak sama pada setiap
daerah.
• Hal ini mempengaruhi tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar melalui intensifitas
pengelolaan usahatani yang berbeda

Diperlukannya analisis corak perkembangan usahatani ubi jalar dengan pengukuran
tingkat komersialisasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya

Desa Cikarawang

Desa Purwasari

Perbedaan Akses Fasilitas Ekonomi dan Infrastruktur

Penentuan Corak Dengan Analisis Tingkat
Komersialisasi Usahatani Ubi Jalar :
1. Rasio Komersialisasi Output (RKO)
2. Rasio Upah Tenaga Kerja (RUTK)
3. Rasio Biaya Input Beli (RBIB)
4. Rasio Tingkat Pendapatan Tunai (RTPT)





Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Corak/Tingkat Komersialisasi Usahatani :
• Luas Pengusahaan Lahan
• Umur
• Pengalaman
• Tangungan Keluarga
• Tingkat Pendidikan
• Harga Jual Output
• Dummy Desa (Perbedaan aksesibilitas
pasar dan infrastruktur)



Tingkat Komersialisasi
Usahatani Ubi Jalar:
Usahatani Subsisten
(statis)
Usahatani Semi
Subsisten mengarah ke
subsisten (transisistatis)
Usahatani Semi
Subsisten mengarah ke
komersial (transisidinamis)
Usahatani Komersial

Hubungan Tingkat
Komersialisasi dengan
Keuntungan Usahatani Ubi
Jalar
• Analisis R/C rasio

Gambar 2 Kerangka Operasional

15

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang dan Desa Purwasari
Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat
dipilih karena Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi ubi jalar
nasional di Indonesia yaitu sebesar 436 577 ton (Kementan, 2013). Kabupaten
Bogor dipilih karena dalam kurun waktu tahun 2010 sampai 2012 memiliki laju
pertumbuhan produksi ubi jalar yang paling tinggi yaitu 12.24 persen per tahun
(BPS, 2013). Kemudian Kecamatan Dramaga dipilih secara purposive karena
memiliki produktivitas ubi jalar yang paling tinggi dari seluruh kecamatan di
Kabupaten Bogor yaitu sebesar 210.98 kw/ha (BPS, 2013). Adapun pemilihan
Desa Cikarawang dan Desa Purwasari juga secara purposive karena perbedaan
jarak yang jelas bagi kedua desa untuk mengakses pasar. Hal ini untuk
memudahkan peneliti dalam menganalisis pengaruh perbedaan infrastruktur desa
dalam mengakses pasar terhadap corak usahatani ubi jalar.
Secara letak geografis Desa Cikarawang memiliki akses yang cepat untuk
menjangkau pasar dan fasilitas ekonomi di Kota Bogor dibandingkan dengan
Desa Purwasari yang jauh dari Kota Bogor. Desa Cikarawang didukung dengan
subsistem penunjang yang lebih memadai daripada Desa Purwasari seperti
gabungan kelompok tani, bank, posdaya, dan lain-lain. Selain itu di Desa
Cikarawang ada unit bisnis pengolahan ubi jalar yang sudah berjalan dalam skala
home industri sehingga dengan perbandingan-perbandingan antar kedua Desa
tersebut dapat diidentifikasi perbedaan tingkat komersialisasi usahatani ubi jalar
antara Desa Cikarawang dan Purwasari. Pengambilan data dilakukan pada bulan
Agustus sampai Oktober 2013
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan da