Hubungan Level Energi Ransum Terhadap Percepatan Perkawinan Calon Induk Domba Loka

(1)

ii ABSTRACT

Energy Level Relationships With Accelerated Mating Of Local Sheep

A. Maulidina, K. B. Satoto and K. G. Wiryawan

The aim of this study was to find the appropiate ration energy levels to determine the time of ewes puberty. The animals used were sheep consisted of 12 sheep thin tail post weaning aged approximately 2-3 months with an average body weight 9,79±1,97 kg. This sheep was the off spring of ewes obtained from Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU) Faculty of Animal Science IPB with garut male sheep. The rations consisted of 3 types, ration I with TDN 65%, ration II TDN 70%, ration III TDN 75% with 14% crude protein. Ration consisted of grass and concentrate with ratio 40:60 on rations I and II, 30:70 on ration III and ad libitum of water. The experimental design was completely randomized design. The variables measured were consumption, body weight gain, age and body weight of first conception. The results showed that ration energy level did not show significant effect on the age and weight of first conception, consumption, and body weight gain. In general the first estrus was at the age of 180-203 days with the average of first conception body weight was 18-22 kg.


(2)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak domba merupakan salah satu di antara jenis ternak yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan daging. Populasi domba di Indonesia cukup tinggi, pada tahun 2005 mencapai sekitar 8,3 juta ekor yang sebagian besar tersebar di seluruh Pulau Jawa seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura serta Sulawesi Tengah (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Populasi domba di daerah Jawa mencapai 91,6% dari populasi domba yang ada dan sekitar 48,9% terdapat di daerah Jawa Barat (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Menurut Mulyaningsih (1990) domba di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Domba Ekor Tipis (javanese thin tailed), domba priangan (priangan of west java) dikenal juga dengan domba garut, dan domba ekor gemuk (javanese fat tailed). Di Indonesia, domba ekor tipis memiliki keistimewaan umur pubertas dicapai lebih awal (Sutama, 1992), tidak mengenal sifat kawin musiman sehingga sangat menguntungkan untuk kondisi tropis dan dapat beranak banyak (peridi) dan dapat bunting kembali setelah sebulan melahirkan (Diwyanto dan Inounu, 2001).

Salah satu hal penting yang mempengaruhi pengembangan ternak domba lokal adalah birahi atau estrus. Kebuntingan domba sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan kebenaran dalam menentukan estrus, karena akan mempengaruhi tingkat keberhasilan perkawinan domba. Dengan memperbaiki efisiensi reproduksi diharapkan populasi ternak domba dapat ditingkatkan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000). Peningkatan laju reproduksi induk tidak saja meningkatkan efisiensi biologis ternak, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi produksi usaha ternak (Dickerson, 1996) yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan peternak.

Calon induk domba dalam pertumbuhannya sangat bergantung pada tahap lepas sapih. Pemberian pakan dengan nutrisi yang sesuai dan seimbang akan mempengaruhi performanya. Kondisi performans calon induk domba mempengaruhi efisiensi reproduksinya dalam produksi bibit domba sebelum siap menjadi induk. Efisiensi produksi ini berdasarkan sifat prolifik domba, yaitu dapat beranak hingga 4 ekor tiap kelahirannya (Inounu dan Ignicius, 1993).


(3)

2 Percepatan kebuntingan adalah salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi usaha dan produk, terutama untuk mempecepat perputaran modal dan mempermudah pemeliharaan. Salah satu cara untuk meningkatkan percepatan kebuntingan yaitu dengan pemberian ransum yang cukup kandungan zat makanan terutama energi dan protein. Kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus. Menurut Tillman et al., (1991) bahwa penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi, akan tetapi kekurangan energi akan menghambat pertumbuhan pada hewan muda dan kehilangan bobot badan pada hewan dewasa, serta pencapaian dewasa kelamin. Pakan ruminansia secara umum terdiri dari hijauan dan konsentrat. Ternak yang diberikan konsentrat produksinya lebih tinggi namun akan menyebabkan kurangnya asupan utama yaitu serat yang berasal dari hijauan dan biaya pakan lebih mahal. Kombinasi antara pakan hijauan dan konsentrat akan lebih ideal untuk memenuhi nutrien pada ternak sesuai kebutuhan produksi untuk meningkatkan performans dan reproduksi domba. Berhubungan dengan hal-hal tersebut penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan level energi ransum yang berbeda terhadap percepatan estrus pada domba lokal.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan level energi ransum yang tepat, pada program percepatan estrus calon induk hasil persilangan domba UP3 Jonggol, Fakultas Peternakan IPB dengan domba pejantan Garut.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa manajemen pemberian pakan yang tepat akan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, baik dari segi biaya maupun performans reproduksi dari domba tersebut.


(4)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Keadaan Umum Lokasi Asal Induk Domba

Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol (UP3J) merupakan areal peternakan domba milik Institut Pertanian Bogor (IPB) dibawah pengelola Fakultas Peternakan yang terletak di desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor. UP3J disamping dikelola untuk tujuan komersil juga digunakan sebagai sarana pendidikan dan penelitian terutama pada bidang peternakan, sebagai tempat praktek kerja lapang bagi mahasiswa. UP3J memiliki luas areal 169 hektar, terdiri atas 20% kondisi lahan datar, 60% bergelombang dan 20% curam dan lembab, dilengkapi dengan padang penggembalaan dengan tanaman utama Brachiaria Humidicola, kebun rumput, sarana dan prasarana di UP3J-IPB dalam penunjang kegiatan peternakan.

Secara geografis UP3J terletak antara 60LU dan 106, 530BT pada ketinggian 70 m diatas permukaan laut. Kondisi iklim di UP3J secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu bulan basah dan bulan kering. Bulan kering terjadi antara Maret-Oktober dan bulan basah antara November-februari.

Tabel 1. Kondisi iklim UP3J

Kondisi iklim Bulan basah Bulan kering

Curah hujan (mm/bulan) 457,33 182,22

Suhu maksimum (0C) 30,77 33,63

Suhu minimum (0C) 22,15 21,78

Suhu basah (0C) 26,90 28,95

Suhu kering (0C) 25,81 26,29

Kelembapan (%) 92,36 91,54

Kecepatan angin (m/jam) 3479,33 1848,89

Sumber : UP3J (2007)

Domba ekor tipis yang terdapat di UP3 Jonggol sebanyak 670 ekor. Domba Jonggol diharapkan dapat dikembangkan menjadi domba lokal spesifik yang adaptif dengan lingkungan tropik. Selain itu UP3 Jonggol ditanami hijauan yaitu rumput


(5)

4 seperti rumput brachiaria humidicola dan legum dengan beraneka ragam spesies yang berpotensi sebagai sumber pakan domba.

Potensi Domba Lokal Indonesia

Domba Ekor Tipis merupakan domba umum di Propinsi Jawa Barat yang telah beradaptasi dengan baik dengan kondisi panas dan kelembapan tinggi. Biasanya dipelihara secara tradisional oleh keluarga petani dengan skala pemeliharaan kecil (Bradford dan Inounu, 1996).

Di Indonesia, domba ekor tipis memiliki keistimewaan umur pubertas dicapai lebih awal (Sutama, 1992), tidak mengenal sifat kawin musiman sehingga sangat menguntungkan untuk kondisi tropis dan dapat beranak banyak (peridi) dan dapat bunting kembali setelah sebulan melahirkan (Diwyanto dan Inounu, 2001).

Ternak domba di Indonesia sebagian besar dipelihara di pedesaan. Masalah produksi ternak domba di pedesaan adalah rendahnya tingkat reproduksi induk domba, hal ini diduga karena rendahnya tingkat kelahiran per tahun, panjangnya selang beranak, tipe kelahiran anak umumnya tunggal dan tingginya tingkat kematian.

Ternak yang memiliki mutu genetik tinggi, baik untuk sifat produksi maupun sifat reproduksi akan mempunyai tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan rataan populasi. Domba ekor tipis ialah komoditas ternak yang akan ditingkatkan mutu genetiknya, karena domba ekor tipis mempunyai pertambahan bobot badan dan sifat prolifik lebih rendah daripada domba ekor gemuk.

Sumantri et al. (2007) menyatakan bahwa domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi sosial, ekonomis, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor. Selain itu, domba juga termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial.

Konsumsi

Menurut Tillman et al. (1998), konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Konsumsi merupakan faktor yang penting dalam


(6)

5 menentukan produktifitas ruminansia dan ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan (Aregheore, 2000), karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Parakkasi 1999). Semakin baik kualitas makanannya, semakin tinggi konsumsi ransum ternak (Parakkasi, 1998).

Konsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam ternak itu sendiri seperti jenis kelamin, bobot badan, nafsu makan, kesehatan dan kondisi ternak. Faktor eksternal berasal dari pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup, konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh palatabilitas. Menurut Parakkasi (1999), jumlah pakan yang diberikan pada ternak sehari-hari harus lebih banyak dari kebutuhan hidup pokok agar ternak tidak mengalami kesulitan produksi. Kebutuhan bahan kering untuk domba fase pertumbuhan atau dengan bobot badan sekitar 15-25 kg adalah 3% dari bobot badannya atau sekitar 400-500g/ekor/hari (NRC, 2006). Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40:60 menghasilkan konsumsi bahan kering rumput berkisar 207,57-216,81 g/e/h dan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 g/e/h.

Sulistyowati (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternyata mampu meningkatan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentrat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat melebihi 320 g/h pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah.

Konversi Pakan

Konversi ransum adalah salah satu parameter untuk mengetahui efisiensi penggunaan makanan. Konversi pakan ialah banyak zat makanan yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit produk. Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang


(7)

6 dikonsumsi untuk mendapatkan kenaikan satu satuan bobot hidup (Parakkasi,1998). Efisiensi dari penggunaan pakan termasuk dalam program pemberian pakan yang diukur dari konversi pakan atas bobot badan hidup domba. Konversi pakan ditentukan oleh beberapa faktor yaitu suhu lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi dan penyakit (Parakkasi, 1999). Konversi pakan juga dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, bobot badan, gerak atau aktivitas tubuh, musim dan suhu dalam kandang.

Kualitas pakan yang dikonsumsi oleh ternak semakin baik maka semakin efisien dalam penggunaan pakan (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang berpengaruh pada konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan juga berpengaruh terhadap konversi ransum. Semakin timggi nilai konversi ransum berarti efisiensi penggunaan ransum semakin rendah, dan semakin rendah nilai konversi ransum berarti ransum yang dibutuhkan untuk menaikkan bobot badan persatuan berat semakin sedikit.

Pertambahan Bobot Badan Harian

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran bobot badan. Pertambahan bobot badan adalah kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas bahan makanan ternak. Menurut NRC (2006) pertambahan bobot badan harian domba sekitar 100 g/ekor/hari, sedangkan menurut Tomaszewska et al. (1993) pertambahan bobot badan harian domba untuk daerah tropis adalah 70 g/ekor/hari.

Pertumbuhan selanjutnya didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahaan organ-organ dan jaringan tersebut berlangsung secara gradual hingga tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut (Soeparno,1994). Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan.. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam laju pertambahan bobot badan adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan kecepatan dan sifat tumbuh yang diwariskan oleh tetuanya dan jenis ternak. Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen pemeliharaan dan pakan (Church, 1991).


(8)

7 Bahan Pakan

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al., 1998). Adapun bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

Rumput Lapang

Rumput lapang adalah campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas nutrien yang rendah. Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah, pegunungan , tepi jalan, dan semak-semak. Wiradarya (1989) menyatakan bahwa rumput lapang mudah diperiksa, murah, dan pengelolaannya mudah. Pemberian rumput lapang segar sebagai pakan cukup baik dalam produksi maupun reproduksi selama pemeliharaan.

Jagung

Jagung adalah bahan makanan yang sangat baik untuk ternak. Jagung sangat disukai ternak dan pemakaiannya dalam ransum ternak tidak ada pembatasan, kecuali untuk ternak yang akan digunakan sebagai bibit. Dalam peternakan, jagung digunakan sebagai bahan utama pembuat konsentrat. Jagung digunakan sebagai bahan makanan sumber energi karena mengandung TDN sebesar 80,80% (Sutardi, 1981). Jagung kaya energi dan rendah dalam serat dan serta mineral. Jagung merupakan sumber energi tercerna yang unggul tetapi jagung rendah protein dan proteinnya berkualitas rendah (defisien lisin), protein jagung sekitar 8,5% (NRC, 1994).

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa merupakan hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering (SNI, 1996). Bungkil kelapa dapat digunakan untuk mensuplai sebagian protein yang diperlukan untuk ternak (Pond et al., 1995). Tillman et al. (1998) menyatakan bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan zat makanan yang utama adalah protein kasar, yaitu sebanyak 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasar dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15%


(9)

8 dan ini merupakan sifat dari bungkil kelapa atau ampas bahan makanan yang berasal dari tumbuhan.

Onggok

Onggok merupakan bahan pakan ternak berupa padatan hasil sampingan dari proses pengolahan singkong atau ubi kayu menjadi tepung tapioka. Sebanyak dua per tiga, singkong dikonsumsi oleh manusia dan sisanya digunakan untuk pakan ternak (Nwokoro et al., 2002). Ketersediaan onggok pun terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi ubi kayu (Supriyati, 2003). Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 21.756.991 (BPS, 2009). Sebagai sumber energi, onggok lebih rendah dibandingkan dengan jagung dan ubi kayu akan tetapi lebih tinggi daripada dedak. Ditinjau dari komposisi zat makanannya, onggok merupakan pakan sumber energi dengan kandungan BETN 86,33%, namun kandungan protein yang rendah (2,21%) disertai dengan kandungan serat kasar yang tinggi (11,16%) (Lubis, et al., 2007).

Molases

Molases merupakan hasil sampingan pada industri pengolahan gula dengan wujud bentuk cair, atau dengan kata lain limbah utama dalam industri pemurnian gula (Cheeke, 1999). Molases atau yang biasa dikenal dengan tetes dapat digunakan sebagai bahan makanan ternak yang berenergi tinggi. Disamping rasanya manis, keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48-60% sebagai gula), kadar mineral cukup, dan rasanya disukai ternak. Kadar kalium molases yang tinggi dapat menyebabkan diare jika konsumsinya terlalu banyak (Rangkuti et al., 1995).

Urea

Urea merupakan salah satu sumber nitrogen bukan protein (NBP) yang berbentuk kristal putih, bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45% nitrogen (Parakkasi, 1995). Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan kembali oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida dan selanjutnya amonia akan digunakan untuk menbentuk asam amino. Dalam penggunaannya, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pada penambahan urea yaitu ketersediaan karbohidrat


(10)

9 yang mudah dicerna, harus dicampur dengan baik dengan bahan pakan lain, diberikan pada waktu adaptasi dua sampai dengan tiga minggu, serta pemberiaanya disarankan disertai dengan penambahan mineral (Parakkasi, 1995).

Mineral Mix

Menurut Parakkasi (1999), kebutuhan Ca dan P untuk ternak ruminansia menjadi unsur yang sangat penting diperhatikan pada hampir semua kondisi pemberian pakan. Dari beberapa mineral makro yang dibutuhkan ternak, hanya garam (NaCl), kalsium (Ca), phospor (P), secara rutin ditambahkan ke ransum ternak. Garam merupakan salah satu bahan baku mikro yang dapat digunakan dalam ransum ternak. Garam paling umum terdapat dalam ransum, berasal dari satu sumber, tidak mahal dan relatif mudah diuji. Sifat fisik garam sebagai bahan uji adalah lebih padat, bentuk kubik dan lebih kecil dibanding partikel lain. Pengujian sampel yang mengandung garam dapat dilakukan dengan teknik pengujian Na+ atau Cl- . Garam dapur atau NaCl ini merupakan bahan alami yang di gunakan untuk melengkapi mineral-mineral lainnaya yang dibutuhkan oleh ternak. Dikalsium Fospat (Dicalsium Phospate / DCP) merupakan bahan untuk melengkapi kebutuhan kalsium dan phosphate bagi ternak, DCP yang dibutuhkan adalah 1-2%.

Income Over Feed Cost

Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha penggemukan domba, karena tujuan akhir dari penggemukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan dari pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama penggemukan. Faktor yang dapat berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selain pemeliharaan, konsumsi pakan dan harga pakan (Mulyaningsih, 2006). Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, tapi pertumbuhan yang baik dan diikuti dengan konversi pakan yang baik pada serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal.

Sifat Reproduksi Domba Betina

Reproduksi merupakan proses perkembangbiakan suatu makhluk hidup, dimulai sejak bersatunya sel telur makhluk hidup betina dengan sel mani dari jantan


(11)

10 menjadi makhluk hidup baru yang disebut zigot, disusul dengan kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran anak. Daya reproduksi kelompok ternak yang tinggi disertai dengan pengelolaan ternak yang baik akan menghasilkan efisiensi reproduksi yang tinggi pula (Hardjopranjoto, 1995). Prinsip-prinsip reproduksi dan cara pengendaliannya, penyebab menurunnya efisiensi reproduksi, serta cara-cara untuk meningkatnya merupakan hal penting untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam usaha peternakan (Tomaszewska et al., 1991).

Performans reproduksi ternak ruminansia pada daerah tropis umumnya ditentukan oleh empat faktor, yaitu genetik, lingkungan fisik, nutrisi dan manajemen ( Smith dan Akinbamijo, 2000). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam reproduksi adalah dewasa kelamin dan perkawinan pertama, masa dan tanda-tanda berahi serta siklus berahi, saat perkawinan yang tepat di waktu berahi, lama bunting, perkawinan kembali setelah beranak, cara perkawinan, dan kegagalan reproduksi serta penanggulangannya (Ginting dan Sitepu, 1989).

Pubertas

Pubertas atau dewasa kelamin adalah umur atau waktu dimana organ-organ reproduksi mulai berfungsi, atau umur pada saat estrus pertama kali yang disertai ovulasi. Umur dewasa kelamin pada berbagai jenis ternak tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Umur Dewasa Kelamin pada Berbagai jenis ternak

Jenis Ternak Umur Pubertas Variasi

Sapi 12 bulan 6-24 bulan

Kuda 18 bulan 10-24 bulan

Domba 8 bulan 4-12 bulan

Kambing 8 bulan 4-12 bulan

Kerbau 24 bulan 12-40 bulan

Babi 6 bulan 4-8 bulan

Sumber : Partodihardjo (1980)

Pubertas terjadi ketika gonadotropin dihasilkan oleh hypopysis anterior dalam konsentrasi yang cukup tinggi untuk menginisiasi folikel dan ovulasi. Pada hewan jantan pubertas ditadai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain.


(12)

11 Sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1993). Pubertas pada domba dapat dicapai pada umur bervariasi 6 – 12 bulan atau pada berat sekitar 55-60% dari berat badan dewasa (Sutama et al., 1995).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pubertas antara lain faktor ternak itu sendiri dan lingkungan yaitu :

a. Nutrisi

Nutrisi sangat berpengaruh terhadap pubertas, dan merupakan faktor utama dari hewan yaitu bobot badan pada saat pencapaian pubertas.

b. Musim

Musim sangat mempengaruhi pada alat reproduksi hewan. Biasanya ternak birahi pada musim semi, karena untuk menjaga kesehatan serta ketersediaan pakan yang sudah tercukupi.

c. Suhu

Masa pubertas juga dipengaruhi oleh suhu. Suatu lingkungan dengan suhu ideal akan sangat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan suatu ternak terutama pada masa-masa pubertasnya. Suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas (tidak normal) akan mengganggu hal tersebut.

d. Makanan

Pakan yang diberikan atau makanan yang diperoleh oleh ternak baik itu jumlah maupun kualitasnya baik akan mempercepat pubertas.

e. Musim Kawin

Musim kawin juga mempengaruhi pubertas. Ketika musim kawin terjadi banyak ternak yang terangsang baik itu yang sudah dewasa maupun yang belum dewasa sekalipun. Sehingga kondisi tersebut dapat mempercepat pubertas pada ternak yang belum dewasa terutama dewasa kelaminnya. Faktor yang mempengaruhi musim kawin antara lain lamanya siang hari, mekanisme hormonal.

f. Pengaruh Ternak Jantan

Stimulasi pejantan melalui kontak suara, bau, dan fisik terjadi pada sistem hpotalamus dan menyebabkan terjadi sekresi LH dan ovulasi yang menyebabkan terjadinya birahi. (Tomaszewska, 1991).


(13)

12 Pubertas yang lebih awal akan menguntungkan karena dapat mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang masa hidup produktif ternak. Selain itu dapat terjadi peningkatan genetik lebih cepat karena interval generasi berkurang bila dilakukan seleksi dengan baik dan program seleksi yang efektif (Tomaszewska et al., 1991).

Siklus birahi

Hewan betina yang masih dara akan menunjukkan birahi pertama bila berat badannya telah mencapai 55%-60% dari berat badan dewasa serta didukung dengan pemberian pakan yang cukup dan berkualitas baik.

Tanda-tanda berahi yang paling penting adalah domba kelihatan tidak tenang, gelisah dan nafsu makan biasanya turun, vulva tampak bengkak, merah, hangat, dan keluar cairan seperti lendir mirip putih telur dari vagina, bulu dipangkal ekor rontok, dan akan diam bila dinaiki pejantan. Kadang-kadang tanda tersebut tidak jelas dan

tipe berahi ini disebut “berahi tenang” atau silent heat (birahi tersembunyi).

Tanda-tanda berahi berakhir adalah keluar lendir berwarna kuning dan bercampur darah dari vagina (Ginting dan Sitepu, 1989).

Untuk memudahkan deteksi birahi dan efisiensi perkawinan dapat dilakukan dengan rangsangan birahi (Direktur Jenderal Peternakan, 1991). Cara pendeteksian birahi di lapangan ada 2 (dua) cara, yaitu : Secara manual melihat langsung tanda-tanda birahi pada ternak betina yang dilakukan oleh peternak. Secara alami digunakan pejantan pengusik (teaser), dengan cara memasukkan pejantan ke dalam kandang induk. Pejantan akan mendekati dan menaiki betina, betina yang sewaktu diam dinaiki dan menunjukkan tanda-tanda birahi maka domba betina tersebut sedang birahi.

Siklus berahi merupakan jarak waktu berahi periode pertama dengan berahi periode berikutnya. Jarak berahi terjadi sekitar 11-19 hari dengan rata-rata 16,7 hari (Toelihere, 1985), menurut Partodiharjo (1980) siklus birahi ternak bervarisai seperti yang tercantum pada tabel 3. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi siklus berahi ialah umur ternak, bangsa, perubahan panjang siang dan panjang malam hari, suhu lingkungan, kualitas makanan dan kehadiran pejantan (Tomaszewska et al., 1991). Persentase kebuntingan yang tinggi dapat dicapai apabila dilakukan pada saat yang tepat.


(14)

13 Tabel 3. Panjang Siklus Birahi pada Berbagai Jenis Ternak

Jenis Ternak Panjang Siklus Birahi Variasi

Sapi 21 hari 18-24 hari

Kuda 21 hari 19-21 hari

Domba 16,5 hari 14-20 hari

Kambing 18 hari 19-21 hari

Babi 21 hari 18-24 hari

Anjing - 6-12 bulan

Sumber : Partodihardjo (1980)

Siklus berahi terbagi menjadi empat fase yaitu fase proestrus, fase estrus, fase metestrus dan fase diestrus. Fase proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan berhentinya progesteron dan memperluas untuk memulai estrus. Pada fase ini terjadi pertumbuhan folikel yang sangat cepat. Akhir periode ini adalah efek estrogen pada sistem saluran dan gejala perilaku perkembangan estrus yang dapat diamati. Fase proestrus berlangsung sekitar 2-3 hari dan dicirikan dengan pertumbuhan folikel dan produksi estrogen. Fase estrus merupakan periode waktu ketika betina reseptif terhadap jantan dan akan melakukan perkawinan. Ovulasi berhubungan dengan fase estrus, yaitu setelah selesai fase estrus. Pada fase ini estrogen bertindak terhadap sistem saraf pusat. Fase metestrus diawali dengan penghentian fase estrus. Umumnya pada fase ini merupakan fase terbentuknya corpus luteum sehingga ovulasi terjadi selama fase ini. Fase diestrus merupakan fase corpus luteum bekerja secara optimal. Pada domba hal ini di mulai ketika konsentrasi progresteron darah meningkat dapat dideteksi dan diakhiri dengan regresi corpus luteum. Fase ini disebut juga fase persiapan uterus untuk kehamilan.

Umur dan bobot kawin Pertama

Hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkinkan untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal. Hal ini karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai. Umur kawin pertama menjadi perhatian peternak dalam proses reproduksi ternak, karena umur yang terlalu


(15)

14 muda akan menghasilkan keturunan yang kurang baik, walaupun kematangan biologis sudah tercapai namun kematangan fisik belum mendukung karena masih berada pada fase pertumbuhan yang relatif cepat.

Nutrisi sangat berpengaruh terhadap pubertas dan merupakan faktor utama dari hewan tersebut untuk masuk dalam periode pubertas. Meskipun berat badan hewan kurang memenuhi syarat untuk terjadinya birahi pertama kali, maka hewan tersebut walaupun umurnya sudah mencukupi tetap saja tidak akan mengalami masa pubertas.

Kebutuhan Zat Makanan Domba

Kebutuhan zat makanan ternak ruminansia terdiri atas kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Zat makanan yang diperlukan ternak dapat dipisahkan menjadi komponen utama antara lain energi, protein, mineral, dan vitamin. Kebutuhan bahan kering dihitung berdasarkan bobot badan, tingkat produksi susu, bulan laktasi, dan lingkungan (NRC, 2001).

Salah satu faktor yang mempengaruhi produktifitas ternak adalah bahan makanan yang meliputi jumlah dan kualitas pakan. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan ternak bervariasi antar jenis dan umur fisiologis yang berbeda (Sutardi, 1980). Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi ternak adalah jenis kelamin, tingkat produksi, keadaan lingkungan dan aktivitas fisik ternak (Haryanto, 1992). Kebutuhan nutrisi ternak dapat dikelompokkan menjadi komponen utama yaitu energi, protein, mineral, dan vitamin. Komponen-komponen utama tersebut diperoleh dari zat makanan yang masuk kedalam tubuh ternak.

Pakan yang kurang pada jangka waktu yang lama pada domba betina dapat menghambat timbulnya dewasa kelamin, dan juga dapat menyebabkan siklus berahi yang tidak normal. Pakan dengan kualitas dan kuantitas rendah seperti kekurangan lemak dan karbohidrat dapat mempengaruhi aktivitas ovarium sehingga menekan pertumbuhan folikel dan mendorong timbulnya anestrus, kekurangan protein mendorong terjadinya hipofungsi ovarium disertai anestrus. Oleh karena itu kualitas dan kuantitas pakan sangat penting untuk proses perkawinan pada calon induk domba lokal. Peningkatan konsumsi energi dan protein bereran dalam peningkatan konsentrasi insulin dan insulin growth factor (IGF) dalam darah yang berpengaruh terhadap folikel yang hubungannya dengan hormone FSH dan LH (Pulina, 2004).


(16)

15 Energi, protein, mineral, vitamin, dan air dibutuhkan untuk proses reproduksi secara normal sama halnya dengan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme tubuh yang lain (hidup pokok, pertumbuhan, dan produksi susu). Pada dasarnya ternak membutuhkan zat makanan atau energi untuk hidup pokok dan untuk energi cadangan yang akan disimpan dalam jaringan baru dan energi untuk proses-proses metabolism. Secara langsung, nutrisi menyediakan glukosa, asam amino, vitamin, dan elemen kimia esensial. Secara tidak langsung, nutrisi dapat memodifikasi fungsi hormonal, dimana dapat meningkatan kematangan sel telur, ovulasi atau terjadinya birahi, perkembangan embrio, pertumbuhan fetus, dan daya tahan anak yang lahir (Freer dan Dove, 2002).

Kebutuhan Energi

Energi adalah suatu zat yang mempunyai kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan dan berbagai bentuk kegiatan. Sutardi (1981) menyatakan bahwa energi merupakan hasil metabolisme zat makanan organik yang terdiri atas karbohidrat, lemak, dan protein. Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan zat makanan yang dominan dalam menyediakan bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses pencernaan. Energi didapatkan dari hasil metabolisme zat-zat makanan dalam tubuh ternak itu sendiri. Ternak membutuhkan energi untuk mempertahankan hidupnya dan berproduksi secara normal (Kartadisastra, 1997). Kebutuhan energi ternak untuk hidup pokok adalah jumlah energi dalam pakan yang harus dikonsumsi setiap hari bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, energi tersebut digunakan untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan tubuhnya. Kebutuhan untuk produksi dan reproduksi adalah energi di atas kebutuhan hidup pokok yang dimanfaatkan untuk proses-proses produksi dan reproduksi (NRC, 2006).

Ensminger (1993) menyatakan bahwa kekurangan energi merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat disebabkan oleh kekurangan pakan atau mengkonsumsi pakan dengan kualitas yang rendah. Menurut Tillman et al., (1991) bahwa penggunaan energi tinggi akan merangsang estrus dan memiliki efek positif pada tingkat konsepsi, akan tetapi kekurangan energi akan menghambat pertumbuhan pada hewan muda dan kehilangan bobot badan pada hewan dewasa, serta pencapaian dewasa kelamin.


(17)

16 Berdasarkan NRC (2006) menyatakan bahwa kebutuhan energi pada ternak domba dipengaruhi oleh umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, dan produksi. Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembapan, dan cuaca juga berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Banyak sedikitnya jumlah energi dalam pakan (kandungan bahan kering) berpengaruh pada organ reproduksi dan aktivitas ovarium, bila terjadi ketidak seimbangan energi dalam pakan (intake) dengan energi untuk pertumbuhan akan menurunkan birahi pada ternak muda yang sedang tumbuh. Birahi pertama akan tertunda bila energi yang dikandung dalam pakan sebelum dan sesudah beranak rendah, hal tersebut akan mempengaruhi siklus birahi berikutnya dan akan memperpanjang selang beranak.

Kebutuhan Protein

Protein merupakan unsur penting dalam tubuh dan diperlukan terus-menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sinteis (NRC, 2001). Berdasarkan NRC (2001) pada saat pertumbuhan seekor ternak membutuhkan kadar protein yang tinggi untuk proses pembentukan jaringan tubuh. Ternak muda memerlukan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa karena untuk memaksimalkan pertumbuhannya.

Kebutuhan protein untuk domba dipengaruhi antara lain oleh masa pertumbuhan, umur, fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh, dan rasio energi protein (Ensminger, 1990). Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien dan tidak seperti bahan makronutrien lain seperti lemak dan karbohidrat, protein dapat berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Protein dapat juga dipakai sebagai bahan bakar jika kebutuhan energi tubuh terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak.

Herman (2003) menyatakan bahwa kebutuhan protein dan pertumbuhan ternak mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan energi, sehingga energi perlu diperhitungkan. Bila hewan diberi makan protein dan energi yang dihasilkan melebihi kebutuhan hidup pokoknya, maka hewan tersebut akan menggunakan kelebihan zat makanan tersebut untuk pertumbuhan dan produksi (Tillman et al., 1998).


(18)

17 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kandang B Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Januari sampai dengan April 2011, dengan beberapa tahapan yaitu dua minggu pertama adaptasi ransum, dilanjutkan beberapa minggu kemudian pengambilan data.

Materi Penelitian Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan sebanyak 12 ekor domba betina lepas sapih hasil persilangan domba betina dari UP3 Jonggol dengan pejantan Garut umur sekitar 2-3 bulan dengan bobot badan awal rata-rata 9,79±1,97 kg.

Gambar 1. Domba Dara Penelitian

Pakan

Pakan yang digunakan selama penelitian terdiri atas rumput lapang dan konsentrat. Konsentrat terdiri dari jagung, onggok, bungkil kelapa, molases, crude palm oil (CPO), kalsium karbonat (CaCO3), premix, urea, garam, dan dikalsium fosfat (DCP). Imbangan Hijauan : Konsentrat yang diberikan ialah 40:60 untuk P1 dan P2, serta 30:70 untuk P3, serta Air minum diberikan secara ad libitum atau tersedia sepanjang hari. Komposisi bahan pakan dan kandungan zat makanan terdapat dalam Tabel 4 dan 5.


(19)

18 Tabel 4 . Komposisi Bahan Pakan Ransum Perlakuan

Keterangan P1: Ransum TDN 65%, PK 14% P2 : Ransum TDN 70%, PK 14% P3 : Ransum TDN 75%, PK 14%

(Berdasarkan Perhitungan Formulasi Ransum) Tabel 5. Kandungan Ransum Perlakuan

Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB. P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% ; P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%; P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.

Bahan Pakan Ransum Penelitian

P1 P2 P3

---%--- Rumput Konsentrat Jagung 40 60 11 40 60 7,4 30 70 32

Onggok 14,1 15 12

Bk. Kelapa 31,1 31 21

Urea CPO Molases CaCO3 DCP 0,4 0 0 2,9 0 1 2 2 1 0,2 1,1 2,2 1 0,2 0,3

Garam 0,3 0,2 0,1

Premix 0,2 0,2 0,1

Komposisi Nutrien Ransum

P1 P2 P3

---(%)--- Bahan Kering Abu 89,37 9,15 88,62 10,38 88,37 7,01

Lemak Kasar 8,42 10,43 7,36

Protein Kasar 14,60 17,90 16,32

Serat Kasar 13,44 13,86 11,35

Ca 1,29 0,85 0,65

P TDN 0,11 67 0,06 70 0,12 73


(20)

19 Jumlah pemberian ransum sebanyak 3-5% dari bobot badan, konsentrat diberikan terlebih dahulu, kemudian setelah habis baru diberi hijuan. Pencampuran ransum atau konsentrat dilakukan secara manual yaitu menggunakan tangan di bak plastik dan di lantai yang yang kering dan bersih menggunakan sekop untuk mengaduk ransum seperti terlihat di Gambar 2. Ransum yang diberikan mengandung kadar Total Digestible Nutrien (TDN) masing-masing sekitar 67%, 70%, 73% BK, dengan isoprotein sekitar 14-17% BK.

Gambar 2. Pencampuran bahan baku pakan untuk dijadikan konsentrat

Kandang dan Peralatan

Domba dipelihara di dalam kandang individu yang berjumlah 12 buah yang berukuran 125x55x110 cm, beralaskan kayu dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum yang terlihat pada tampak luar kandang seperti pada (Gambar 3a) dan terdapat di dalam bangunan kandang yang terlihat seperti pada (Gambar 3b).

(Gambar 3a) (Gambar 3b)


(21)

20 Peralatan lain yang digunakan pada penelitian ini, antara lain tempat minum (Gambar 4c), tempat pakan (Gambar 4d), timbangan digital dengan kapasitas 5 kg (Gambar 4f), timbangan gantung dengan kapasitas 50 kg (Gambar 4e).

(Gambar 4c) (Gambar 4d)

(Gambar 4e) (Gambar 4f)

(Gambar 4g)

Gambar 4. Peralatan yang digunakam antara lain tempat minum (Gambar 4c), tempat pakan (Gambar 4d), timbangan digital dengan kapasitas 5 kg (Gambar 4f), timbangan gantung dengan kapasitas 50 kg (Gambar 4e)

Metode Penelitian Prosedur Pemeliharaan

Pemeliharaan domba dilakukan kurang lebih selama 16 minggu (± 4 bulan). Sebelum memulai pemeliharaan terlebih dahulu menyiapkan kandang, pembuatan konsentrat perlakuan, kemudian pemilihan domba. Pemilihan domba dilakukan


(22)

21 dengan mencari domba yang mempunyai bobot sama. Setelah domba terpilih, kemudian dimasukan ke dalam kandang individu yang sudah dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat air minum.

Selain itu, pada setiap kandang ditempel data profil domba dan perlakuan yang diberikan untuk memudahkan dalam pemberian pakan dan pencatattan. Setelah domba diletakan ke dalam kandang individu dengan masin-masing perlakuan, kemudian dilakukan adaptasi ransum perlakuan selama dua minggu yaitu masing-masing domba diberi ransum perlakuan sesuai dengan kebutuhan bahan kering sebanyak 3-5% bobot badan.

Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB dan sore hari sekitar pukul 14.00 WIB dengan pemberian konsentrat : hijauan secara terpisah. Konsentrat diberikan terlebih dahulu dan setelah habis baru diberikan hijauan masing-masing perlakuan. Pakan yang diberikan sebesar 3-5% bahan kering dari BB dengan rasio hijauan : konsentrat yaitu 40:60 untuk P1, P2, dan 30:70 untuk P3, serta air minum diberikan secara ad libitum setiap pagi dan sore hari. Sisa pakan dihitung keesokan harinya untuk mengetahui konsumsi harian ransum.

Penimbangan bobot badan dilakukan setiap dua minggu sekali, untuk mengetahui pertambahan bobot badan mingguan/harian. Setelah mengetahui pertambahan bobot badan mingguan, kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui rata-rata pertambahan bobot badan harian.

Deteksi Birahi dan Perkawinan Domba

Setelah domba mencapai bobot badan yang sesuai yaitu sudah mencapai 60% dari berat badan dewasa atau yang telah memasuki umur 5-6 bulan dan setelah mencapai bobot badan sekitar 13-18 kg, kemudian dilakukan pendeteksian birahi dengan menggunakan cara teaser yaitu menggunakan domba pejantan pengusik. Pelepasan teaser di dalam kandang dilakukan setelah waktu pemberian pakan yaitu pagi hari dan sore hari. Berdasarkan deteksi dari teaser, maka domba betina dikeluarkan dari kandang individu untuk memastikan apakah domba betina tersebut birahi. Apabila domba betina itu diam saat dinaiki oleh teaser terjadi perkawinan, maka domba betina tersebut sudah dianggap birahi.

Setelah terjadi perkawinan, lalu dicatat tanggal terjadinya perkawinan dan domba langsung ditimbang untuk mengetahui bobot badan saat kawin. Selain itu,


(23)

22 berdasarkan tanggal kawin dan tanggal lahir domba dapat diketahui umur saat kawin pertama.

Analisa

Sampel rumput dan konsentrat perlakuan di analisa di Laboratorium Pengetahuan Bahan Makanan Ternak untuk mengetahui kandungan zat makanan ransum perlakuan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dengan 4 ulangan. Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Yij = + i + j + ij Keterangan :

Yij = Efek ulangan ke-i,  = Rataan umum i = Efek ulangan ke-i j = Efek utama perlakuan

ij = Error (gallat) ulangan ke-i dan perlakuan Perlakuan

Perlakuan pakan yang diberikan memiliki tingkat kandungan energi yang berbeda dan isoprotein. Perlakuan yang diberikan sebagai berikut:

P1 = Ransum dengan kandungan PK 14%, TDN sekitar 65%. P2 = Ransum dengan kandungan PK 14%, TDN sekitar 70% P3 = Ransum dengan kandungan PK 14%, TDN sekitar 75%

Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah

1. Konsumsi BK Ransum (g/ekor/hari)

Konsumsi ransum harian dihitung setiap hari dari awal penelitian sampai selesai penelitian. Pengukuran konsumsi ransum, dilakukan berdasarkan jumlah


(24)

23 pemberian konsentrat dan hijauan dikurangi dengan jumlah sisa konsentrat dan hijauan pada esok harinya.

Setelah diketahui jumlah konsumsi harian konsentrat dan hijauan, maka konsumsi tersebut dikonversi ke dalam bahan kering hasil analisis laboratorium dengan perhitungan sebagai berikut :

Konsumsi BK ransum = (Jumlah pemberian rumput x % BK rumput + Jumlah pemberian konsentrat x % BK konsentrat) – (Sisa rumput x % BK rumput + sisa konsentrat x % BK konsentrat)

2. Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dilakukan setiap dua minggu, sehingga diketahui pertambahan bobot badan setiap dua minggu dan selanjutnya dikonversi ke dalam bobot badan harian.

PBB harian = Bobot badan 2 minggu – bobot badan awal 14 hari

3. Umur dan bobot kawin pertama

Umur domba pada saat kawin pertama diketahui dari tanggal lahir sampai dengan tanggal kawin pertama terjadi. Sedangkan bobot badan domba saat kawin pertama diketahui dari penimbangan saat selesai perkawinan terjadi.

Umur Kawin (hari) = Tanggal lahir – Tanggal kawin pertama Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance/ANOVA). Apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata maka perbedaan tersebut selanjutnya akan diuji dengan menggunakan uji Kontras Ortogonal (Steel and Torrie, 1993).


(25)

24 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Bahan Kering (BK)

Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Rata-rata konsumsi (BK) rumput, konsentrat dan ransum disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Konsumsi BK Ransum Perlakuan

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% P2 = Ransum TDN 70%, PK 14% P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Dari tabel 6 diatas terlihat bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi BK ransum. Hal ini disebabkan domba pada penelitian ini mendapatkan pakan dengan sifat fisik dan komposisi nutrien pakan yang hampir sama. Parakkasi (1999) menyatakan, bahwa faktor pakan yang mempengaruhi konsumsi BK untuk ruminansia antara lain sifat fisik dan komposisi kimia pakan. Tingkat palatabilitas juga berpengaruh terhadap tingkat konsumsi BK ransum yang diantaranya dipengaruhi oleh bau, rasa, tekstur dan suhu (Pond et al., 1995). Besarnya konsumsi BK ransum sekitar 450,29 - 517,21 g/e/hr, atau 3,20 – 3,49% bobot badan. NRC (1985) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 10-20 kg membutuhkan bahan kering sebesar 500-1000 g/e/h atau 3-5% dari bobot badan.

Pemberian konsentrat dan hijauan secara terpisah menyebabkan ratio hijauan dan konsentrat agak berbeda dengan perlakuan yang diharapkan. Rasio hijauan : konsentrat selama pemeliharaan yaitu 33:67, 32:68, dan 24:76 untuk P1, P2, dan P3

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi

Rumput (g/e/hr) Konsentrat (g/e/hr) Total (g/e/hr) Konsumsi BK Ransum (% BB)

Rasio Konsumsi H : K (%)

149,85 300,44 450,29 ± 100,76

3,20 33 : 67

151,50 312,37 463,87 ± 70,30

3,26 32 : 68

122,27 394,94 517.21 ± 115,13

3,49 24 : 76


(26)

25 berbeda dari yang diberikan sebesar 40:60 untuk P1, P2 dan 30:70 untuk P3. Konsumsi konsentrat yang tinggi menunjukan bahwa domba lebih menyukai konsentrat daripada hijauan. Konsumsi bahan kering konsentrat untuk P1 , P2, dan P3 adalah 300, 312, dan 394 g/e/h. Sitepu (2011) dalam penelitiannya melaporkan, pemberian rumput dan konsentrat secara terpisah dengan rasio 40:60 menghasilkan konsumsi bahan kering konsentrat berkisar 311,36-325,21 g/e/h. Sulistyowati (1999) dalam penelitiannya melaporkan bahwa ransum yang terdiri dari hijauan dengan jumlah yang rendah dan konsentrat dengan jumlah yang tinggi ternayata mampu meningkatan konsumsi bahan kering maupun bahan segar konsentrat. Konsumsi bahan kering rumput untuk P1, P2, dan P3 masing-masing ialah 149, 151, dan 122 g/e/h. Konsumsi bahan kering rumput berbanding terbalik dengan konsumsi bahan kering konsentat. Semakin tinggi konsumsi bahan kering konsentrat, menyebabkan konsumsi bahan kering rumput menurun. Freer dan Dove (2002) menyatakan bahwa konsumsi konsentrat melebihi 320 g/h pada domba yang digembalakan dapat menurunkan konsumsi hijauan. Forbes (2007) menyatakan bahwa tingginya propionat yang dihasilkan konsentrat dapat menurunkan kecernaan rumput, sehingga sulitnya rumput yang dicerna pada rumen menyebabkan konsumsi bahan kering rumput rendah. Walaupun ratio hijauan : konsentrat tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi konsumsi energi atau TDN ransum perlakuan masih berkisar antara 68%, 72%, 76% untuk P1, P2, dan P3 seperti yang terlihat pada tabel 7.

Pola Konsumsi Bahan Kering (BK)

Konsumsi pakan sangat menentukan besarnya jumlah nutrien yang diperoleh ternak serta berperan pada tingkat produksi ternak. Rata-rata konsumsi bahan kering selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 4. Konsumsi BK meningkat dengan bertambahnya umur atau bobot badan ternak seperti yang terlihat pada Gambar 4. Konsumsi BK pada minggu 1 rata-rata 3 perlakuan sekitar 230-241 g/e/h (Gambar 4). Semakin tinggi bobot badan, konsumsi BK ransum meningkat tetapi berdasarkan persentase bobot badan, konsumsi ransum relatif menurun. Grafik rataan konsumsi bahan kering domba selama pemeliharaan disajikan pada Gambar 4


(27)

26 Gambar 5. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering selama Pemeliharaan (■) untuk P1 : Ransum TDN 65%, PK 14% ; (■) untuk P2 : Ransum TDN 70%, PK 14% ; (■)untuk P3: Ransum TDN 75%, PK 14%

Menurut (Parakkasi, 1995) kemampuan ternak ruminansia dalam mengkonsumsi ransum dipengaruhi oleh faktor hewan itu sendiri (berat badan, status fisiologik, potensi genetik, tingkat produksi, dan kesehatan termasuk umur), faktor makanan, dan faktor lingkungan yang berpengaruh langsung pada hewan adalah temperatur, kelembaban, dan sinar matahari serta yang berpengaruh secara tidak langsung adalah kadar air dan zat makanan lain.

Dari Gambar 4 terlihat bahwa sampai minggu ke-5 konsumsi ransum ketiga perlakuan adalah sama yaitu meningkat dari rata-rata 240 g/e/minggu menjadi 690 g/e/minggu. Setelah minggu ke-5, P3 meningkat lebih besar yaitu 691 g/e/minggu dari P1 dan P2 yaitu masing-masing, 645, 659 g/e/minggu. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan bahan kering domba selama fase pertumbuhan mengalami peningkatan sesuai dengan pertambahan bobot badannya.

Konsumsi Zat Makanan

Konsumsi zat makanan adalah jumlah zat makanan di dalam pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak pada periode tertentu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Konsumsi zat gizi di dalam pakan yang sangat diperlukan untuk hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Rata-rata konsumsi dan kandungan zat makanan berdasarkan konsumsi BK disajikan pada Tabel 7.


(28)

27 Tabel 7. Konsumsi dan Kandungan zat makanan berdasarkan konsumsi BK

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%

P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%

P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Konsumsi protein kasar (PK) untuk perlakuan P1 lebih rendah yaitu rata-rata sekitar 67,08 gram dan TDN lebih rendah yaitu 306,53 gram, sedangkan untuk perlakuan P2 dan P3 konsumsi PK hampir sama yaitu sekitar 86,84 dan 86,55 gram dan TDN untuk P2 lebih rendah yaitu dan 333,32 gram dibandingkan dengan P3 yaitu 390,51 gram. Besarnya konsumsi Total Digestibly Nutrien, hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Rianto et al. (2006), yaitu sebesar 341,33 g. Dari hasil tersebut konsumsi protein kasar dan TDN antara 3 perlakuan nilainya lebih rendah dari yang direkomendasikan oleh NRC (1985) yaitu menurut domba dengan bobot hidup 10-20 kg haruslah mengkonsumsi protein kasar sekitar 127- 167 g/ekor/hari dan TDN sekitar 400-800 g/ekor/hari. Protein kasar dan TDN untuk domba penelitian masih dibawah standar kebutuhan yang direkomendasikan NRC, dikarenakan kebutuhan PK dan TDN yang sesuai NRC adalah untuk domba di daerah subtropis, sedangkan untuk domba untuk penelitian ini adalah domba lokal yang cocok didaerah tropis yang kebutuhan PK dan TDN berbeda dengan domba-domba di daerah subtropis.

Komposisi Nutrien

Perlakuan

P1 P2 P3

(g/e/h) (%) (g/e/h) (%) (g/e/h) (%) Bahan Kering 450,28 67,99 463,86 64,75 517,70 70,42

Abu 42,94 6,48 50,80 7,09 36,86 5,01

Lemak Kasar 39,43 5,95 51,27 7,15 36,41 4,95 Protein Kasar 67,08 10,12 86,84 12,12 86,55 11,78 Serat Kasar 55,63 8,40 59,00 8,23 53,16 7,23

Ca 6,32 0,95 4,24 0,59 3,55 0,48

P 0,55 0,08 0,29 0,04 0,63 0,08


(29)

28 Tingginya konsumsi konsentrat dan rendahnya konsumsi hijauan disebabkan karena kandungan zat makanan yaitu lemak kasar setiap perlakuan hampir di atas 5%. Hal ini karena lemak diketahui mengandung energi yang lebih tinggi daripada karbohidrat atau protein dan menghasilkan panas metabolis yang lebih rendah. Bila lemak diberikan dalam jumlah berlebih (di atas 5%) kepada ternak ruminansia dapat mengganggu populasi mikroba di dalam rumen dan mengurangi kemampuan ruminansia untuk mencerna hijauan.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu peubah yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pakan ternak. Menurut McDonald et al (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot, dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Hubungan level energi yang berbeda dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan betina selama penelitian ditampilkan pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14% (*) Bobot Domba Penelitian

P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%

P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Ransum P1, P2, dan P3 yang diberikan kepada domba dara tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) pada pertambahan bobot badan domba (Tabel 8). Hal ini menunjukan bahwa pakan level energi yang berbeda memberikan pengaruh yang sama terhadap pertambahan bobot badan harian domba, juga hal ini menunjukan bahwa kemampuan domba betina dalam memanfaatkan pakan yang dikonsumsi untuk pertumbuhan adalah sama. Hasnudi dan Wahyuni (2005) melaporkan bahwa

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3 Bobot Lahir (kg/e)* 2,46 ± 0,71 2,12 ± 0,67 1,90 ± 0,42 Bobot Sapih (kg/e) 9,75 ± 2,90 9,87 ± 1,70 9,75 ± 1,71 Bobot Kawin (kg/e) 18,37 ± 3,27 19,87 ± 1,93 22 ± 2,94 PBB sampai kawin (g/e/hari) 82,74 ± 10.85 90,33 ± 21,99 104,87 ± 13,04


(30)

29 PBB yang tidak berbeda nyata dapat juga disebabkan ternak domba mengkonsumsi pakan yang jumlahnya tidak berbeda nyata.

Pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan P1 sebesar 82,74 g/hr dan P2 sebesar 90,33 g/hr, P3 sebesar 104,87 g/hr (Tabel 8). Hasil PBB yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dari hasil penelitian Prawoto et al. (2001) yaitu melalui perbaikan pakan PBB domba lokal mampu mencapai 57–132 g/ekor. Menurut Tomaszewska et al. (1993) bahwa laju PBB dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik, yaitu berat tubuh awal fase pertumbuhan berhubungan dengan berat dewasa.

Pola Pertumbuhan

Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran bobot badan. Pertambahan bobot badan adalah kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Pertumbuhan juga didefinisikan sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linier dan komposisi tubuh termasuk perubahaan organ-organ dan jaringan tersebut berlangsung secara gradual hingga tercapai ukuran dan bentuk karakteristik masing-masing organ dan jaringan tersebut (Soeparno,1994). Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan.. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam laju pertambahan bobot badan adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan kecepatan dan sifat tumbuh yang diwariskan oleh tetuanya dan jenis ternak. Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen pemeliharaan dan pakan (Church, 1991). Pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan untuk semua perlakuan relatif sama dan meningkat setiap minggunya. Kondisi ini menunjukkan bahwa zat makanan yang dikonsumsi dapat digunakan ternak untuk pertumbuhan jaringan yang ditunjukan dengan adanya pertumbuhan, hal ini sejalan dengan tingkat konsumsi bahan kering yang mengalami peningkatan juga. Setiap minggunya terjadi peningkatan bobot badan domba, hampir sama dengan standar peningkatan bobot badan harian menurut NRC (2006) yaitu sekitar 100 g/ekor/hari.


(31)

30 Gambar 6. Grafik bobot badan domba Pemeliharaan (■)untuk P1 : Ransum TDN

65%, PK 14% ; (■)untuk P2: Ransum TDN 70%, PK 14% ; (■)untuk P3: Ransum TDN 75%, PK 14%

Efisiensi Ransum

Efisiensi pakan merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya pakan yang dapat diubah menjadi satuan unit produk ternak. Faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi pakan diantaranya adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, dan komposisi nutrien pakan (Parakkasi, 1999). Rata-rata Efisiensi ransum selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 9.

Efisiensi pakan pada masing-masing perlakuan P1, P2, dan P3 secara berturut-turut sebesar 0,18±0,17, 0,19±0,11, dan 0,20±0,10. Penggunaan pakan berenergi tinggi dapat meningkatkan efisiensi pakan karena pakan berenergi tinggi memiliki kandungan glukosa yang tinggi sehingga meningkatkan penggunaan pakan dalam saluran pencernaan.

Tabel 9. Efisiensi dan Konversi Pakan

Perlakuan Efisiensi Pakan Konversi Pakan

Setelah Pemeliharaan

P1 0,18 ± 0,17 5, 44 ± 3, 47

P2 0,19 ± 0,11 5,14 ± 2,33

P3 0,20 ± 0,10 4,93 ± 1,92

Rataan 0,19 ± 0,13 5,17 ± 2,57

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%, P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%, P3 = Ransum

TDN 75%, PK 14%

Minggu

B

B

kg/e


(32)

31 Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap konversi pakan domba. Konversi pakan yang tidak berbeda nyata sejalan dengan konsumsi bahan kering dan pertambahan bobot badan harian. Rata-rata konversi pakan domba selama pemeliharaan sekitar 5,17. Hal ini hampir sama dengan standar NRC (2006) yang menyatakan bahwa konversi pakan domba sekitar 5,74.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha penggemukan domba, karena tujuan akhir dari penggemukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan dari pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama penggemukan.

Tabel 10. Rata-rata income over feed cost (Rp)

Perlakuan Ulangan Rata-rata

IOFC

1 2 3 4

1 1615 1409 1191 1304 1379±180

2 1749 1866 780 1622 1504±493

3 1280 1493 1190 1996 1489±360

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%

P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%

P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap income over feed cost. Hal ini disebabkan karena tidak berbeda nyatanya pertambahan bobot badan domba dan konsumsi pakan. Menurut Mulyaningsih (2006) faktor yang mempengaruhi nilai perhitungan IOFC selama penggemukan seperti PBB, konsumsi pakan, dan harga pakan saat pemeliharaan. Dari tabel 10 didapat rata-rata income over feed cost tertinggi pada perlakuan P2 yaitu Rp 1504/kg dibandingkan dengan P1 dan P3 sebesar Rp 1379/kg dan Rp 1489/kg. Dari hasil penelitian diperoleh income over feed cost, terlihat pada Tabel 10.

Penampilan Reproduksi Domba Dara

Siklus estrus adalah sebuah siklus dalam kehidupan domba betina yang sudah dewasa dan setiap siklus akan diakhiri dengan proses ovulasi (Najamuddin dan


(33)

32 Ismail, 2006), selanjutnya menurut Hafez (2000) bahwa estrus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keturunan, umur, musim, dan domba pejantan.

Pubertas adalah umur atau waktu yaitu organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan perkembangbiakan terjadi. Pada hewan jantan pubertas ditadai dengan kemampuan hewan untuk berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain, sedangkan pada hewan betina ditandai dengan terjadinya estrus dan ovulasi (Toelihere, 1993).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pubertas antara lain faktor lingkungan seperti makanan, kesehatan, sanitasi, umur, temperatur, hereditas, tingkat pelepasan hormon, berat badan (Anonim., 2004). Faktor lain yang mempunyai pengaruh besar terutama nutrisi dan pakan. Kemudian faktor-faktor musim kawin (breeding season) juga mempengaruhi pubertas.

Bobot dan Umur Pubertas

Penentuan umur kawin pada induk muda menjadi pertimbangan dalam pengelolaan induk. Namun, umur bukan satu-satunya faktor utama yang menentukan saat kawin yang optimal pada induk muda, faktor lain yang sangat penting adalah bobot badan. Bobot badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi usia pubertas, meskipun ada perbedaan antara keturunan.

Tabel 11. Bobot dan Umur Kawin Pertama

Keterangan : P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%

P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%

P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%

Dari Tabel 10 di atas terlihat bahwa tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kawin pertama. Bobot badan kawin pertama untuk P1, P2, dan P3 masing-masing 18, 19, dan 22 kg. Hal ini disebabkan karena pada induk dengan kondisi tubuh gemuk biasanya kurang responsif terhadap pemberian pakan konsentrat tinggi. Pemberian energi dan protein tinggi lebih sering

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Bobot kawin (kg) 18,37 ± 3,27 19,75 ± 1,75 22 ± 2,94 Umur kawin pertama (hari) 186,75 ± 11,89 198 ± 16,39 203 ± 3,65


(34)

33 mendapatkan respon berupa peningkatan laju ovulasi pada induk dengan kondisi tubuh relatif kurus, dan juga pelepasan estrogen untuk terjadinya estrus tidak secepat pada domba yang badannya relatif kurus. Tiesnamurti (1987) menyatakan bahwa bobot badan sekitar 17 kg pada domba ekor tipis terlepas dari umur ternak, merupakan bobot badan ternak mencapai pubertas.

Tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur kawin pertama. Umur kawin pertama pada perlakuan dengan kandungan TDN 75% lebih lama 5-17 hari dibandingkan dengan ransum perlakuan TDN 70% dan 65% (P2 dan P1). Birahi pertama kali pada domba dicapai pada umur yang sama yaitu 6-7 bulan atau 186-203 hari dengan bobot badan pada saat kawin antara 18-22 kg. Pada domba pubertas dicapai pada umur bervariasi 6 – 12 bulan atau pada berat sekitar 55-60% berat badan dewasa (Sutama et al., 1995).

Detekasi dan Tanda-tanda birahi

Tanda-tanda berahi yang paling penting adalah domba kelihatan tidak tenang, gelisah dan nafsu makan biasanya turun, vulva tampak bengkak, merah, hangat, dan keluar cairan seperti lendir mirip putih telur dari vagina, bulu dipangkal ekor rontok, dan akan diam bila dinaiki pejantan. Kadang-kadang tanda tersebut tidak jelas dan

tipe berahi ini disebut “berahi tenang” atau silent heat. Tanda-tanda berahi berakhir

adalah keluar lendir berwarna kuning dan bercampur darah dari vagina (Ginting dan Sitepu, 1989). Pada Gambar 7, menunjukan tanda-tanda birahi pada domba betina yaitu salah satumya dengan mengibaskan ekor untuk menarik domba pejantan agar terjadi suatu perkawinan (Gambar 7a). Kemudian terjadi perkawinan atau kopulasi antara domba betina dengan domba pejantan (Gambar 7b).

(Gambar 7a) (Gambar 7b)

Gambar 7. Domba pejantan mendekati domba betina (Gambar 7a); Perkawinan domba atau kopulasi (Gambar 7b)


(35)

34 Deteksi birahi dan efisiensi perkawinan dapat dilakukan dengan rangsangan birahi (Ditjennak, 1991). Cara pendeteksian birahi pada penelitian ini dilakukan secara alami dengan menggunakan pejantan pengusik (teaser), dengan cara memasukkan pejantan ke dalam kandang induk. Pejantan akan mendekati dan menaiki betina yang sedang birahi.

Hormon dan Perbedaan Timbulnya Pubertas

Hormon testosteron yang terdapat pada domba pejantan ini merangang pejantan untuk merangsang atau mengajak betina untuk kawin, hal ini merangsang domba betina melepaskan gonadotropin, hormon ini merangsang pertumbuhan ovarium yang sekaligus berfungsi menghasilkan estrogen dan menimbulkan kondisi birahi/estrus. Berahi pada domba ini ditimbulkan oleh hormon seks betina, yakni estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel ovarium. Menurut Schillo (1992) energi

tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memproduksi “luteinizing hormone” (hormon

LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). Kedua hormon ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan folikel (mengaktifkan fungsi ovarium) sehingga terjadi estrus.

Perbedan berahi sangat dipengaruhi oleh genetik, umur, musim, pakan dan kehadiran jantan, oleh karena itu, munculnya berahi setiap ternak berbeda. Menurut Toelihere (1985) pubertas umumnya terjadi apabila berat badan dewasa hampir tercapai dan kecepatan pertumbuhan mulai menurun. Kemunculan birahi pertama setiap perlakuan pada umur 186, 198 dan 203 hari. Penentuan umur kawin pada induk muda menjadi pertimbangan dalam pengelolaan induk. Umur dewasa kelamin pada setiap jenis ternak tidak sama. Umur dewasa kelamin ini juga tergantung pada keadaan iklim, keadaan makanan, heriditas dan tingkat pelepasan hormon. Pada semua ternak, dewasa kelamin akan tercapai pada saat dewasa tubuh tercapai. Pada saat ini ternak sudah mampu untuk melakukan perkawinan, tetapi pada saat itu tubuhnya belum mampu untuk melakukan proses reproduksi selanjutnya seperti bunting, melahirkan dan menyusui. Tubuhnya masih dalam proses pertumbuhan, ternak bunting tubuhnya harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dirinya dan pertumbuhan anak yang dikandungnya. Apabila hal ini terjadi maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan akan terjadi seperti terjadi kematian baik pada induk maupun anaknya, akan melahirkan anak-anak yang cacat


(36)

35 atau lemah, kecil dan lain-lain. Untuk menghindari hal-hal tersebut di atas sebaiknya perkawinan hendaknya ditangguhkan beberapa saat sampai tubuhnya cukup dewasa atau dewasa tubuh telah tercapai.

Perbedaan timbulnya birahi pada perlakuan juga disebabkan terjadinya ketidakseimbangan energi dalam pakan (intake) dengan energi untuk pertumbuhan sehingga akan menurunkan birahi pada ternak muda yang sedang tumbuh karena banyak sedikitnya jumlah energi dalam pakan (kandungan bahan kering) berpengaruh pada organ reproduksi dan aktivitas ovarium.


(37)

36 KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Ransum dengan kandungan TDN 65, 70, dan 75% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi BK ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan dan timbulnya birahi pertama kali. Besarnya konsumsi BK ransum sekitar 450,29 - 517,21 g/e/hr, atau 3,20 – 3,49% bobot badan. Pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan P1 sebesar 82,74 g/hr dan P2 sebesar 90,33 g/hr, P3 sebesar 104,87 g/hr. Pencapaian birahi pertama kali dicapai pada umur 180-203 hari dengan bobot badan sebesar 18-22 kg. Besarnya income over feed cost masing-masing perlakuan yaitu Rp 1379/kg, Rp 1504/kg , Rp 1489/kg untuk P1, P2 dan P3.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keberhasilan perkawinan pada setiap ternak dan mengetahui domba yang bunting.


(38)

HUBUNGAN LEVEL ENERGI RANSUM DENGAN

PERCEPATAN PERKAWINAN CALON

INDUK DOMBA LOKAL

SKRIPSI

ACHMAD MAULIDINA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(39)

HUBUNGAN LEVEL ENERGI RANSUM DENGAN

PERCEPATAN PERKAWINAN CALON

INDUK DOMBA LOKAL

SKRIPSI

ACHMAD MAULIDINA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(40)

i RINGKASAN

ACHMAD MAULIDINA. D24070275. 2011. Hubungan Level Energi Ransum Dengan Percepatan Perkawinan Calon Induk Domba Lokal. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS

Pembimbing Anggota : Prof. Dr.Ir. Komang G. Wiryawan

Kebuntingan domba sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan kebenaran dalam menentukan estrus, karena akan mempengaruhi tingkat keberhasilan perkawinan domba. Dengan memperbaiki efisiensi reproduksi diharapkan populasi ternak domba dapat meningkat (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000), tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi produksi usaha ternak (Dickerson, 1996) yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan peternak. Pakan kebutuhan hidup pokok, reproduksi dan produksi terutama pada ternak bunting dan laktasi (Devendra dan Mcleroy, 1982). Menurut Tillman et al., (1991) penggunaan energi tinggi pada pakan akan merangsang terjadinya estrus, akan tetapi kekurangan energi pada ternak muda akan menghambat pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan level energi ransum yang tepat

untuk mempercepat estrus calon induk domba betina. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah domba lokal dara ekor tipis sebanyak 12 ekor dengan berat sapih 9,79±1,97 kg. Domba tersebut berasal dari hasil persilangan domba betina yang diperoleh dari dari Unit Pendidikan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan IPB dengan domba jantan garut. Ransum yang diberikan terdiri atas 3 jenis yaitu ransum I, II, III dengan kandungan Total Digestibly Energi (TDN) 65, 70, dan 75% dengan masing-masing isoprotein 14%. Ransum yang digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 40 : 60 pada ransum I dan II, 30 : 70 pada ransum III serta air diberikan secara ad libitum. Rancangan percobaan yang diamati Rancangan Acak Lengkap (RAL). Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi ransum sampai terjadinya kawin, pertambahan bobot badan sampai terjadinya kawin, kemudian umur dan bobot kawin pertama.

Ransum dengan kandungan TDN 65, 70, dan 75% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi BK ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi pakan dan timbulnya birahi pertama kali. Besarnya konsumsi BK ransum sekitar 450,29 - 517,21 g/e/hr, atau 3,20 – 3,49% bobot badan. Pertambahan bobot badan yang dihasilkan pada perlakuan P1 sebesar 82,74 g/hr dan P2 sebesar 90,33 g/hr, P3 sebesar 104,87 g/hr. Pencapaian birahi pertama kali dicapai pada umur 180-203 hari dengan bobot badan sebesar 18-22 kg. Besarnya income over feed cost untuk P1, P2 dan P3 yaitu sebesar Rp 1379/kg, Rp 1504/kg , Rp 1489/kg.


(41)

ii ABSTRACT

Energy Level Relationships With Accelerated Mating Of Local Sheep

A. Maulidina, K. B. Satoto and K. G. Wiryawan

The aim of this study was to find the appropiate ration energy levels to determine the time of ewes puberty. The animals used were sheep consisted of 12 sheep thin tail post weaning aged approximately 2-3 months with an average body weight 9,79±1,97 kg. This sheep was the off spring of ewes obtained from Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU) Faculty of Animal Science IPB with garut male sheep. The rations consisted of 3 types, ration I with TDN 65%, ration II TDN 70%, ration III TDN 75% with 14% crude protein. Ration consisted of grass and concentrate with ratio 40:60 on rations I and II, 30:70 on ration III and ad libitum of water. The experimental design was completely randomized design. The variables measured were consumption, body weight gain, age and body weight of first conception. The results showed that ration energy level did not show significant effect on the age and weight of first conception, consumption, and body weight gain. In general the first estrus was at the age of 180-203 days with the average of first conception body weight was 18-22 kg.


(42)

iii

HUBUNGAN LEVEL ENERGI RANSUM DENGAN

PERCEPATAN PERKAWINAN CALON

INDUK DOMBA LOKAL

ACHMAD MAULIDINA D24070275

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(43)

iv Judul Skripsi : Hubungan Level Energi Ransum Terhadap Percepatan

Perkawinan Calon Induk Domba Lokal Nama : Achmad Maulidina

NRP : D24070275

Menyetujui:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

( Ir. Kukuh Budi Satoto ) (Prof. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan) NIP. 19490118 197603 1 001 NIP. 19610914 198703 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr NIP. 19670506 199103 1 001


(44)

iii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 31 Oktober 1988 di Bogor. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ujang Sjamsudin dan Ibu Titi Hayati.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN Bangka 3 Bogor, pendidikan lanjutan pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTPN 3 Bogor dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di MAN 2 Bogor. Pada tahun 2007 penulis diterima untuk menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, Penulis tinggal dan aktif sebagai pengurus di Asrama Sylvasari sebagai staff Humas, pernah menjadi anggota bela diri Merpati Putih tahun 2008, kemudian aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-D) diamanahkan sebagai kepala divisi kewirausahaan tahun 2009, lalu di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) menjadi staff biro ilmu dan teknologi (IT) tahun 2010, pernah mengikuti program praktek lapang di PT. Japfa Comfeed Divisi Pakan di Cikupa Tangerang, selanjutnya menjadi auditor di PT. Nielsen Company perusahaan yang bergerak di bidang survei kepuasaan konsumen suatu produk pada tahun 2010. Penulis bersama teman satu tim pernah mendapatkan dana hibah dari DIKTI untuk Program Kreativitas Mahasiswa Program Penelitian (PKM-P) yang berjudul “Pemberian Ransum Berkadar Energi Tinggi Pada Program “Flushing” Untuk Meningkatkan Jumlah Kelahiran Pada Domba Lokal” pada tahun 2010. Penulis berkesempatan menjadi penerima beasiswa BKM dari Pemerintah, Supersemar, Karya Salemba Empat pada tahun 2009-2011. Kemudian menjadi enumerator, kerja sama antara IPB dengan PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor pada tahun 2011, lalu menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi pada tahun 2011.


(45)

iv KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT karena atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Level Energi Ransum Dengan Percepatan Perkawinan Calon Induk Domba Lokal” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Januari sampai dengan April 2011 di di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan level energi yang tepat untuk mempercepat estrus calon induk domba lokal.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Oktober 2011

Penulis


(1)

38 DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Fisiologi Reproduksi Ternak I. Bag. Reproduksi dan Kebidanan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Aregheore, E. M. 2000. Crop residues and agroindustrial by product in four Pasific Island countries: availability, utilization and potensial value in ruminant nutrition. Asian-Aust. J. of Anim. Sci.13 (Supplement B): 266-269.

Biro Pusat Statistik. 2009. Production of secondary food crops in Indonesia. http//www.bps.go.id/statbysection/agri/pangan/table2/shtml [5 September 2011].

Bradford, G. E. & Inounu. 1996. Prolific sheep of Indonesia. In: M. H. Fahmy (Ed.). Prolific Sheep. CAB International. pp: 109-120.

Cerbito WA, NG Natural, FB Aglibut & K Sato. 1995. Evidence of ovulation in goats (Capra hircus) with short oestrous cycle and its occurrence in the tropics. Theriogenology 43:803‐812

Cheeke, P. R. 1999. Applied Animal Nutrition. Feeds and Feeding 2nd Edition. Prentice hall, Upper Saddle River. New Jersey.

Church, D. C. 1991. Digestive Physiologi and Nutrition of Ruminants. Oregon State University Press, Carvallis, Oregon.

Devendra.C & G.B. Mc Leroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics.General Payne.W.J.A.Logman London and New York.General Editor Payne. W.J.A. Intermediate Tropical Agriculture Series. Printed in Singapore by Toppan Printing Co. (S) Pte .Ltd.

Dickerson, G.E. 1996. Economic importance of prolificacy in sheep. In M.H. Fahmy (Ed). Prolific Sheep. Cambridge. p. 205-214.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Laporan Hasil Survey Inventarisasi Sumber Bibit Kambing/Domba di Indonesia. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. Direktorat Jenderal Peternakan. 2000. Buku Statistik Peternakan 2000. Direktorat

Jenderal Peternakan. Jakarta.

Direktorat Jendral Peternakan. 2006. Statistik Peternakan 2006. Jakarta: CV Arena Seni.

Diwyanto, K. & Inounu. 2001. Ketersediaan teknilogi dalam pengembangan ruminansia kecil. Makalah pada Seminar Domba dan Kambing di Institut Pertanian Bogor, 22 September 2001.

Ensminger, M. L., 1990. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing. Company, California.

Ensminger, M. L. 1993. Feed and Nutrition 2nd Edition. The Ensminger Publishing. Company, California.

Forbes,J. M. 2007. Voluntary Food Intake and Diet Selection In Farm Animal. Ed: 2nd. CABI Publishing.


(2)

39 Ginting N, Sitepu P. 1989. Teknik beternak sapi perah di Indonesia. Jakarta.

Hafez, E. S. E. 1993. Hormones Growth Factors and Reproduction. In: E. S. E. Hafes (Editor) Reproduction Animals. 6th Edition. Lea and Febriger, Philadelphia. Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak, Penerbit Airlangga

University Press. Surabaya.

Haryanto, B. 1992. Pakan domba dan kambing. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Bogor dan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Cabang Bogor, Bogor.

Herman, R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil, Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Inounu,-I. 1996. Keragaan Produksi Ternak Domba Prolifik. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

LRPI. 2006. Pemanfaatan oleokimia berbasis minyak sawit. Media Komunikasi Lingkup Unit Kerja LRPI . Vol.2 No. 2, Bogor.

Lubis, A. D., Suhartono, B. Darmawan, H. Ningrum, I. Yunitha & N. Nakagoshi. 2007. Evaluation of fermented cassava (Manihot esculenta Crantz) pulp as feed ingredient for broiler. Journal of Tropics 17:73-80.

Mulyaningsih N. 1990. Domba garut sebagai sumber plasma nutfah ternak. Plasma Nutfah Hewan Indonesia. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Indonesia. Bogor: 42-49.

Mulyaningsih, T. 2006. Penampilan domba ekor tipis (Ovis aries) jantan yang digemukan dengan beberapa imbangan konsentrat dan rumput gajah (Pennisetum purpureum). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. National Academy of Science. Washington, DC.

National Research Council. 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Edition. National Academy Press, Washington.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 8th Revised Edition. National Academy Press, Washington

National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. National Academy Press, Washington

Nwokoro, S. O., A. M. Orheruata & P. I. Ordiah. 2002. Replacement of maize with cassava sievates in cockerel starter diets: effect on performance and carcass characteristics. Tropical Animal Health and Production, 2 (34):163-167. Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas

Indonesia Press, Jakarta.

Parakkasi, A. 1998. Ilmu Nutrisi Ruminansia Pedaging. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor.


(3)

40 Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas

Indonesia. Jakarta.

Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Penerbit Mutiara Sumber Widya. Jakarta

Pond, W. G., D. C. Church, & K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons press, New York.

Pulina, G. 2004. Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing. Wallingford.

Purwanti M. 1989. Superovulasi dan Panen Embriopada Kambing Kacang. Tesis. Universitas Gajah Mada.

Rangkuti, M., A. Musofie., P. Sitorus., I. P. Kompiang., N. Kusumawardhani & A. Roesjat. 1995. Pemanfaatan daun tebu untuk pakan ternak di Jawa Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.

Rianto, E., D. Anggalina, S. Dartosukarno, & A. Purnomoadi. 2006. Pengaruh metode pemberian pakan terhadap produktivitas domba ekor tipis. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006, Bogor. Hal: 361-364

Siregar TN, S Hartantyo, & Sugijanto, 1999. Induksiovulasi kambing kacang dengan PMSG dan hCG. Agrosains 12(1):35‐48.

Sitepu, N. 2011. Penampilan Produksi dan Reproduksi Calon Induk Domba Lokal (Jonggol) yang Mendapat Ransum dengan Sumber Energi Berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Smith, O.B. & O.O. Akinbamijo. 2000. Micronutrients and reproduction in farm animals. Anim. Reprod. Sci., 60-61: 549-560.

Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1996. SNI Bungkil Kelapa. SNI.01-2904-1996.

Steel, R. G. D., & J. H. Torrie. 2003. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan PT. Gramedia. Jakarta.

Subandriyo & Djajanegara. 1996. Potensi produktivitas ternak domba di Indonesia. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 8:23-31.

Sulistyowati, E. 1999. Imbangan hijauan-konsentrat optimal untuk meningkatkan konsumsi ransum dan produksi susu sapi perah Holstein laktasi. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Ciawi-Bogor.

Sumantri C, Einstiana, Salamena, & I Inounu. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenic antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. J.Ilmu Ternak dan Veteriner 12: 42-54.

Supriyati. 2003. Fermented cassava waste and its utilization in broiler chickens rations. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 8(3): 146-150.


(4)

41 Sutama, I. K. 1992. Reproductive development and performance of small ruminants in Indonesia. In: P. Ludgate., S. Scholz (Ed.). News for Small Ruminants Productions in Indonesia.

Sutama, I.K. Budiarsana, H. Setianto & A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performances of young Peranakan Etawah. Ilmu Ternak Vet. 1:81-85.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi, Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sutardi, T. 1981. Diktat Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan, Bogor.

Tiesnamurti, B. 1987. Inheritance og prolificacy in Javanese Thin Tail Sheep. MSc. Thesis. University of California, Davis.

Tillman, E., H. Hartadi, S. Reksohadipradjo & S. Labdosoeharjo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Pres, Yogyakarta.

Tillman, E., H. Hartadi, S. Reksohadipradjo & S. Labdosoeharjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Pres, Yogyakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo & S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa, Bandung. Toelihere, M.R. 1993. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung. Penerbit Angkasa. Tomaszewska, M.W., Sutama Putu, I.K., & Chaniago, D. T. 1991. Reproduksi,

Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tomaszewska, M. W., I..M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner & T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta.

Utomo, B. 2003. Tampilan produksi susu dan komponen metabolisme tubuh sapi perah friesian holstein (FH) akibat perbedaan kualitas ransum. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

Wiradarya, T. R. 1989. Peningkatan produktivitas ternak domba melalui perbaikan efisiensi nutrisi rumput lapang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(5)

42 LAMPIRAN


(6)

43 Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Selama pemeliharaan

Sumber db JK KT F F 0,05 F 0,01

Perlakuan 2 10010.35 5005.17 0.52 4.25 8.02

Error 9 85049.54 9449.95

Total 11 95059.89

Lampiran 2. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan selama pemeliharaan

Sumber Db JK KT F F 0,05 F 0,01

Perlakuan 2 1011.84 505.92 1.96 4.25 8.02

Error 9 2313.96 257.10

Total 11 3325.81

Lampiran 3. Sidik Ragam Bobot Kawin Pertama

SK Db JK KT F F 0,05 F 0,01

Perlakuan 2 26.54 13.27 1.72 4.25 8.02

Error 9 69.37 7.70

Total 11 95.91

Lampiran 4. Sidik Ragam Umur Kawin Pertama

Sumber Db JK KT F F 0,05 F 0,01

Perlakuan 2 554.16 277.08 1.96 4.25 8.02

Error 9 1270.75 141.19

Total 11 1824.91

Lampiran 5. Sidik Ragam Income Over Feed Cost (IOFC)

Sumber Db JK KT F F 0,05 F 0,01

Perlakuan 2 206x109 10x109 2.61 4.25 8.02

Error 9 355x109 3x109