6
1x1 tablethari 20mg
2 Cara
Oral 43
100 Pemberian
Obat Parenteral
43 100
3 Bentuk
Sediaan Oral
Kaplet 1
2,3 Tablet
3 7,0
Sirup 7
16,2 Kapsul
12 28,0
Parenteral Injeksi
7 16,2
Infus 9
21,0
A. Golongan dan Jenis Obat
1. Analgesik-Antipiretik
Pada penelitian ini analgesik-antipiretik digunakan pada kasus 69,8. Kasus DBD biasanya diawali dengan fase demam, fase demam akan berlangsung 2-7 hari. Pemberian
analgesik-antipiretik diberikan untuk mengatasi demam, sakit kepala dan nyeri perut yang sering muncul pada pasien DBD. Penggunaan analgesik-antipiretik yang direkomendasikan
paling tepat adalah Paracetamol Kementrian Kesehatan RI, 2011. Dari data hasil penelitian antipiretik dana analgesik digunakan yakni, Paracetamol,
Sanmol
®,
Antrain®, Analsik®, Procolic®, Sumagesic®, dan Sistenol®. Sumagesic® dan Sanmol
®
adalah analgesik antipiretik dengan zat aktif Paracetamol. Paracetamol merupakan obat analgesik yang paling aman bagi pasien DBD, karena analgesik lain seperti asetosal dan
ibuprofen yang bersifat antiplatelet berkontraindikasi dengan pasien DBD. Sistenol® merupakan analgesik-antipiretik dengan kombinasi antara Paracetamol dan
n-acetylcysteine. Pemberian kombinasi Parcetamol pada pengobatan DBD tidak sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD, karena antipiretik yang digunakan seharusnya adalah obat
tunggal, tanpa adanya campuran dengan zat aktif lain Setyoputranto, 2005. Antrain®, Analsik® dan Procolic® merupakan obat analgesik-antipiretik dengan zat
aktif golongan dipiron NSAID. Antrain® adalah obat dengan komposisi zat aktif yakni Metamozole HCl. Analsik® adalah obat analgesik dengan kombinasi Methampyrone,
diazepam, Echinacea purpurea, Phyllanthus niruri, Black elderberry, Zn picolinate dan vitamin C. Procolic® adalah obat analgesik dengan zat aktif yakni Metamizole, hyoscine-N-
butylbromide MIMS, 2017. Lanjutan Tabel 1
7 Pethidin® merupakan obat analgesik kuat golongan opioid dengan zat aktif meperidine
untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Analgesik ini biasa digunakan apabila pemberian analgesik biasa tidak menunjukan respon. Dosis penggunaan dapat ditingkatkan apabila terjadi
toleransi. Pada tatalaksana DBD tidak dicantumkan penggunan analgesik opioid sebagai pilihan mengatasi nyeri yang dirasakan pasien DBD MIMS,2017.
Metampyron dan metamizole merupakan obat dipiron yang termasuk golongan obat NSAID, penggunaan NSAID diindikasikan untuk mengatasi nyeri pasien dan sebagai
antipiretik. Penggunaan NSAID dari data yang diperoleh paling banyak menggunakan Analsik® dan Antrain®. Penggunaan obat dipyron pada pasien DBD dapat menyebabkan
penurunan jumlah platelet dan meningkatkan resiko dari penyakit DBD Quijano et al., 2005. Pasien DBD sebaiknya dihindarkan dari penggunaan NSAID, karena penderita DBD
umumnya terjadi trombositopenia dan hal ini kontraindikasi dengan penggunaan NSAID Ministry of Health, 2009.
Mekanisme dari NSAID adalah menghambat enzim siklooksigenase 1 COX-1 dan siklooksigenase 2 COX-2. Enzim COX-1 dapat menginduksi tromboksan A2. Fungsi
tromboksan A2 yakni memperkuat agregasi trombosit untuk mencegah terjadinya perdarahan. Penggunaan obat NSAID pada pasien DBD, sebaiknya dihindarkan karena dapat
memperparah kondisi pendarahan yang dialami pasien Kotter et al., 2014 dan Patterson et al, 2016.
2. Vitamin dan Mineral
Bedasarkan data penelitian vitamin yang diberikan yakni Curcuma FCT®, Formuno®, Elkana®, Imunos®, Sanfuliq®, Proza® dan Lesichol®. Pemberian vitamin untuk pasien DBD
bersifat suportif untuk memulihkan kondisi pasien Kalayanarooj, 2011. Pemberian vitamin dan mineral pada pasien DBD juga untuk membantu memelihara fungsi hati. Pasien DBD
cendrung mengalami hepatomegali pembesaran hati, pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit. Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, namun nyeri saat ditekan pada daerah hati berhubungan dengan adanya pendarahan Kemenkes, 2004.
3. Obat untuk Saluran Cerna
Terapi kedua yang paling banyak diberikan pada pasien adalah obat untuk saluran cerna 88,3 meliputi obat antitukak dan antiemetik Lihat Tabel 2. Dari hasil penelitian
8 didapatkan obat anti tukak yanng diberikan yakni, Omeprazole, Pumpisel
®,
Panloc
®,
Pantozol
®,
Pumpitor®, Episan® dan Ranitidin
.
Pumpisel
®,
Panloc
®,
Pumpitor®
dan
Pantozol
®
merupakan obat antitukak golongan Proton Pump Inhibitor PPI sedangkan Episan® merupakan antitukak denganz at aktif sucralfat. Pasien paling banyak mendapatkan
obat antitukak golongan H2RA yakni Ranitidin. Pertimbangan pemberian antitukak yakni manifestasi klinis yang paling sering muncul
pada pasien DBD adalah terjadinya pendarahan pada gastrointestinal Wulandari, 2009. Oleh sebab itu, obat antitukak diperlukan untuk melindungi lambung dari asam yang dapat
menimbulkan tukak lambung parah, akibat kondisi mukus lambung yang rusak akibat pendarahan serta untuk mengatasi keluhan nyeri lambung Rajapakse et al, 2014. Pemberian
antitukak yang direkomendasikan adalah Ranitidin IV atau PPI yakni Pantoprazol Ministry of Health, 2009.
Pasien juga mengkonsumi antiemetik untuk mengatasi mual, antiemetik yang paling sering digunakan adalah Ondansentron Lihat Tabel 2. Pertimbangan pemberian antiemetik
ialah pasien DBD cendrung sering merasa mual dan rasa tidak nyaman di perut. Pemberian antiemetik yang direkomendasikan oleh Ministry of Health, 2009 adalah Domperidon.
4. Antibiotik
Antibiotik biasanya digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pada kasus terdapat penggunaan antibiotik sebanyak 11,6 . Pada pasien DBD pertahanan tubuh menurun dan
dapat terjadi leukopenia, pada kondisi tersebut tubuh cendrung rentan terkena infeksi bakteri profilaksis. Obat antibiotik yang digunakan pasien rawat inap RS. Panti Nugroho adalah
Thiampenicol dan Cefriaxon Lihat Tabel 2. 5.
Kortikosteroid Penggunaan kortikosteroid pada pasien DBD di RS. Panti Nugroho sebesar 9,3.
Kortikosteroid yang digunakan di RS Panti Nugroho adalah metilprednisolon. Pemberian metilprednisolon ada secara oral dan parenteral.
Kortikosteroid biasanya digunakan untuk menangani edema otak pada enselopati dengue yang merupakan manifestasi syok berkepanjangan, tetapi kontraindikasi pada DSS
dengan pendarahan masif Lardo, 2013. Hasil wawancara dengan dokter, kortikosteroid diberikan ke pasien di hari ke-7 yang biasanya ditandai dengan adanya syok. Penggunaan
9 kortikosteroid juga biasanya untuk mengatasi reaksi alergi misal gatal-gatal dan kemerahan
dikulit akibat injeksi ataupun transfusi Wulandari, 2009
.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tham et al., 2012, pemberian kortikosteroid pada pasien DBD tidak lebih efektif daripada tanpa pemberian kortikosteroid dalam
memperbaiki manifestasi klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, lama perawatan, kebutuhan transfusi darah, serta kejadian mual muntah. Kortikosteroid juga dikatakan tidak efektif untuk
menangani syok pada DBD dan dapat menyebabkan pendarahan gastrointestinal Ministry of Health, 2009. Pada kasus pasien tidak mengalami edema otak ataupun reaksi alergi, hal ini
mungkin karena pencatatkan data rekam medik yang tidak lengkap. 6.
Diuretik Diuretik yang digunakan adalah Lasix®, penggunaan diuretik di RS. Panti Nugroho
sebesar 9,3. Pemberian diuretik pada pasien ada secara oral dan parenteral Lihat Tabel 2. Penggunaan Lasix® sebagai diuretik pada kasus 6 dan 16 tidak diperlukan. Hasil
wawancara dengan dokter, pemberian diuretik karena pasien DBD mengalami kebocoran plasma sehingga terjadi pembengkakkan dan biasa ditandai dengan rasa sesak pada pasien.
Diuretik biasanya digunakan untuk mengatasi tanda-tanda kelebihan cairan seperti, asites pengumpulan cairan di rongga abdomen dan udem paru pengumpulan cairan dalam
pleura. Diuretik digunakan untuk segera mengeluarkan cairan tersebut agar tidak timbul komplikasi lain yang membahayakan seperti sesak nafas Kalayanarooj, 2011. Pada kasus
tidak dijelaskan pasien mengalai sesak atau pembengkakkan, hal ini mungkin karena informasi data rekam medik yang tidak lengkap.
B. Cara Pemberian dan Obat Bentuk Sediaan Obat