Kadar komplemen C3 Pada Penderita demam Bewrdarah Dengue

(1)

KADAR KOMPLEMEN C3 PADA PENDERITA

DEMAM BERDARAH DENGUE

SEMINAR HASIL

Oleh : E r w i n

Pembimbing :

Dr.Ozar Sanuddin. SpPK

Dr.Yosia Ginting SpPD KPTI

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA/ RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2008


(2)

KADAR KOMPLEMEN C3 PADA PENDERITA

DEMAM BERDARAH DENGUE

T E S I S

Diajukan untuk melengkapi persyaratan untuk mencapai keahlian

Dalam bidang Patologi Klinik pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh : E R W I N

DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

SUMATERA UTARA/ RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN

2008


(3)

Medan , Juni 2008

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat Program Pendidikan untuk mendapatkan gelar Dokter Spesialis Patologi Klinik di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di Medan.

Disetujui

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Dr. Ozar Sanuddin, SpPK Dr. Yosia Ginting, SpPD KPTI NIP. 130 925 040 NIP. 140 151 081

Disyahkan oleh:

Kepala Departemen Patologi Klinik Ketua Program Studi Departemen FK USU/RSUP H. Adam Malik Patologi Kliniok FK USU/RSUP Medan H. Adam Malik Medan

Prof.Dr.Adi K.Aman, SpPK-KH,FISH Prof.DR.Dr.Ratna A.Ganie,SpPK,FISH NIP; 130 701 884 NIP. 130 802 436


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi ... i

Daftar gambar, Grafik dan tabel ……… v

Daftar Lampiran ... vi

Daftar Singkatan ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Hipotesa Penelitian ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komplemen . ... 5

2.1.1. Aktivasi Komplemen . ... 5

2.1.1.1. Aktivasi Komplemen Melalui Jalur Klasik... 6

2.1.1.2. Aktivasi Komplemen Melalui Jalur Alternatif ... 7

2.1.2. Fungsi Komplemen .. ... 8

2.1.2.1. Inflamasi ... 8

2.1.2.2. Kemokin ... 9

2.1.2.3. Fagositosis dan Opsonin ... 9

2.1.2.4. Adherens Imun ... 10

2.1.2.5. Eliminasi Kompleks Imun ... 10

2.1.2.6. Lisis Osmotik ... 10


(5)

2.1.3. Sistem Pengendalian Komplemen ... 11

2.1.4. Katabolisme Komplemen C3 ... 12

2.1.5. Pemeriksaan Komplemen ... 12

2.2. Demam berdarah Dengue (DBD) ... 14

2.2.1. Sejarah dan Epidemi ... 14

2.2.2. Etiologi ... 16

2.2.3. Vektor ... 17

2.2.4. Penyebaran ... 19

2.3. Patogenesis Demam Berdarah Dengue ... 20

2.3.1. Teori Secondary Heterologous Infection ... 25

2.3.2. Teori Enhancing Antibody ... 25

2.3.3. Teori Antigen Antibodi ... 26

2.3.4. Teori mediator ... 26

2.4. Diagnosa Klinis ... 27

2.4.1. Kriteria Klinis ... 27

2.4.2. Kriteria Laboratorium ... 27

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang ... 28

2.4.3.1. Pencitraan Radiologis ... 28

2.4.3.2. Pencitraan Ultrasonografis (USG) ... 29

2.4.3.3. Serologis ... 29

2.4.3.3.1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi ... 30

2.4.3.3.2. Uji Fiksasi Komplemen ... 30

2.4.3.3.3. Uji Netralisasi ... 30


(6)

2.4.3.3.5. Uji Imunokromatografi (ICT) ... 31

2.5. Gangguan Hemostasis Pada DBD ... 31

2.5.1. Vaskulopati ... 32

2.5.2. Trombositopenia dan Gangguan Fungsi Trombosit ... 32

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ……….34

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 34

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian ... 34

3.3.1. Populasi Penelitian ... 34

3.3.2. Subjek Penelitian ... 34

3.3.3. Kriteria Inklusi ... 35

3.3.4. Kriteria Eksklusi ... 35

3.4. Perkiraan Besar Sampel ... 35

3.5. Analisa data ... 36

3.6. Bahan dan Cara Kerja ... 36

3.6.1. Pengambilan Sampel ... 36

3.6.2. Pengolahan Sampel ... 37

3.6.3. Pemeriksaan Laboratorium ... 37

3.6.3.1. Pemeriksaan Komplemen ... 37

3.6.3.2. pemeriksaan Darah Lengkap ... 38

3.7. Pemantapan Kualitas ... 38

3.8. Kerangka Kerja ... 40

3.9. Jadwal Pelaksanaan ... 40


(7)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 43

BAB 5. PEMBAHASAN ……….……….. 50

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

DAFTAR PUSTAKA... 58

LAMPIRAN ... 67


(8)

DAFTAR GAMBAR, GRAFIK DAN TABEL

Halaman GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD……….. 22

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD ……… 24

Gambar 3. Profil dari penelitian ……….. 43

Grafik 1. Rata-rata jumlah limfosit pada penderita DBD ... 46

Grafik 2. Rata-rata jumlah trombosit pada penderita DBD …………. 47

Grafik 3. Hasil rata-rata komplemen C3 pada penderita DBD ……… 49

TABEL Tabel 1. Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol Precinorm protein. 39 Tabel 2. Karakteristik Subyek Penelitian ……….. 43

Tabel 3. Rata-rata jumlah limfosit pada penderita DBD ………….. 45

Tabel 4. Rata-rata jumlah trombosit pada penderita DBD ………….. 46

Tabel 5. Rata-rata kadar komplemen C3 pada subyek penelitian …... 47


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Status Pasien ………. 67 Lampiran 2. Surat Persetujuan ... 69 Lampiran 3. Data dasar pasien Demam Berdarah Dengue …………. 70 Lampiran 4. Data dasar pasien kontrol DBD ………. 71 Lampiran 5. Surat persetujuan Komite Etik ………. 72


(10)

DAFTAR SINGKATAN

DBD : Demam Berdarah Dengue

DSS : Dengue Shock Syndrome

LED : Laju Endap Darah

WHO : World Health Organization

ADCC : Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity

MAC : Membrane Attack Complex

INH : Inhibitor

CFT : Complement Fixation Test

DHF : Dengue hemorrhagic Fever

DEN : Dengue

ADE : Antibody Dependent Enhancement

ADP : Adenosin Diphospat

RES : reticulo Endotelial System

KID : Koagulasi Intravaskular Diseminata

PRNT : Plaque Reduction Neutralizatio Test


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Ada sembilan komponen dasar komplemen yaitu C1 sampai C9 yang bila diaktifkan, dipecah menjadi bagian-bagian yang besar dan kecil (C3a, C4a dan sebagainya). Fragmen yang besar dapat berupa enzim tersendiri dan mengikat serta mengaktifkan molekul lain. Fragmen tersebut dapat juga berinteraksi dengan inhibitor yang menghentikan reaksi selanjutnya. Komplemen sangat sensitif terhadap sinyal kecil, misalnya jumlah virus yang sangat sedikit sudah dapat menimbulkan reaksi beruntun yang biasanya menimbulkan respon lokal. (1,3,11)

Sistem komplemen aktif dengan dua mekanisme yaitu jalur klasik dan jalur alternatif. Walaupun jalur-jalur ini beberapa gambaran umum dan hasil aktivasi biologi dari masing-masing dapat sama sebenarnya kedua jalur ini sedikit berbeda. Aktivasi jalur klasik sering dimulai oleh ikatan komponen komplemen C1 ke antigen antibodi kompleks. Jalur alternatif dimulai dengan pengaktifan dari komponen komplemen C3. C3 diaktifkan oleh C42 atau konvertase C3 sehingga C3 dipecah menjadi fragmen-fragmen C3a yang kecil dan C3b yang lebih besar. Satu molekul konvertase C3 dapat mengaktifkan ratusan molekul C3 dan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, bahan-bahan ini mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin yang merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler. (2,4,20)


(12)

Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh manusia dianggap sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi membentuk kompleks virus-antibodi yang akan mengaktifkan sistem komplemen. (5,7) Aktivasi sistem komplemen menimbulkan interaksi berantai menghasilkan produk-produk yang mempunyai aktifitas biologik dan menyusun suatu sistem mediator humoral yang penting dalam reaksi-reaksi inflamatoris, sebagai opsonin dan pembentukan kompleks serangan membran makromolekular yang menyebabkan kematian sel-sel sasaran. (1,11,14)

Patogenesis penyakit infeksi virus Dengue sampai sekarang masih belum jelas. Para sarjana cenderung mengemukakan hipotesis reaksi sekunder heterologus anamnestik yang proses selanjutnya menunjukkan terjadinya kebocoran plasma ke jaringan tubuh sekitarnya dengan manifestasi klinis efusi pleura, ascites, perdarahan dan syok. Beberapa sarjana mengemukakan bahwa kegawatan dapat terjadi karena virulensi virus, peran mediator dan proses apoptosis. (5,9,30,36)

Suvatte tahun 1977 membuat suatu hipotesis infeksi sekunder heterologus terhadap kejadian infeksi pada penderita demam berdarah dengue, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita DBD. Respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan peningkatan titer antibodi IgG anti dengue dan terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. (6,17,18 )


(13)

Viktor A.B et al, Thailand 1972 meneliti hubungan kadar komplemen C3 dengan jumlah trombosit pada penderita demam berdarah dengue dan penderita demam shock sindrom, dijumpai pada jam ke 20 sakit kadar komplemen menurun 20-40% dari kadar normal dan jumlah trombosit bersisa 5%-10% dari nilai normal. Pada jam ke 45 sakit jumlah trombosit meningkat 40% dan kadar komplemen C3 meningkat 20%. (14)

R S Briggs et al 1978 melaporkan kasus dengue syok sindrom di Jamaica pada penderita demam berdarah dengue orang dewasa dijumpai adanya penurunan kadar komplemen C3 mencapai 20-30 % dari kadar normal dengan kadar IgG normal. (10)

Robert E, et al, Honolulu England 1979 meneliti hubungan kadar komplemen C3 dengan Jumlah trombosit pada penderita DBD, dijumpai pada hari ke 5-8 sakit terjadi penurunan kadar komplemen C3 yang tajam disertai dengan penurunan jumlah trombosit yang banyak sampai hari ke-9. Hari ke-9 kadar komplemen C3 meningkat drastis, jumlah trombosit baru meningkat pada hari ke-10 secara cepat dan kemudian tidak ada penurunan sampai fase penyembuhan. (11)

Scott B. H, 1981 melakukan penelitian terhadap penderita demam berdarah dengue dan dengue syok sindrom terhadap anak. dijumpai adanya penurunan kadar komplemen C3,C4 dan C5. penurunan kadar komplemen ini berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang mengkonsumsi komplemen melalui jalur klasik dan penurunannya bervariasi pada setiap individu. (12)


(14)

Ampaiwan C, Kanchana T,Thailand 2005 melaporkan bahwa kadar komplemen C3 pada demam berdarah dengue dijumpai menurun selama fase akut demam dan dalam fase toxic meningkat kembali. (9)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Apakah kadar komplemen C3 pada demam berdarah dengue menurun ?.

2. Apakah ada hubungan penurunan jumlah trombosit terhadap kadar komplemen C3 ?.

1.3. Hipotesa Penelitian

Kadar komplemen C3 pada demam berdarah dengue menurun. 1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kadar komplemen C3 pada demam berdarah Dengue dan melihat pengaruh penurunan jumlah trombosit terhadap kadar Komplemen C3.

1.5. Manfaat Penelitian

Diharapkan pengukuran kadar komplemen C3 pada penderita demam berdarah dengue dapat dipakai oleh klinisi sebagai indikator aktifitas virulensi Demam Berdarah Dengue.


(15)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Komplemen

Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi partikel antigen dan kerusakan (lisis) membran patogen. Sampai saat ini diketahui melibatkan sekurang-kurangnya 20 jenis protein yang berperan dalam sistem komplemen beredar dalam plasma bentuk inaktif. Komplemen merupakan molekul dari sistem imun non spesifik yang larut dalam keadaan tidak aktif dapat diaktifkan oleh berbagai bahan seperti toksin bakteri. Komplemen dapat juga merupakan bagian dari sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan oleh kompleks imun (antigen-antibodi kompleks). Aktivasi sistem komplemen menghasilkan interaksi berantai menghasilkan produk-produk yang mempunyai aktifitas biologik dan menyusun suatu sistem mediator humoral yang penting dalam reaksi-reaksi inflamatoris. Aktivasi komplemen sering pula disertai kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri. (1,2,4)

2.1.1. Aktivasi Komplemen

Aktivasi komplemen dapat dirangsang oleh berbagai substansi dan berlangsung melalui 2 jalur, yaitu jalur kalsik dan jalur alternatif atau jalur properdin. Kedua jalur bertemu pada pertengahan sistem komplemen, selanjutnya kedua jalur reaksi mulai dari aktivasi C5 hingga C9 sama. Fase terakhir aktivasi komplemen juga dapat dirangsang oleh enzim nonkomplemen atau enzim selular tanpa didahului oleh aktivasi komponen


(16)

komplemen sebelumnya. Rangkaian reaksi aktivasi dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase awal, fase amplifikasi yang melibatkan berbagai protease serta molekul-molekul lain, dan fase lisis membran sel. Protein-protein ini disintesa dalam hepar, tetapi dapat juga oleh sel-sel sistem limforetikuler seperti limfosit dan monosit. (2,3,4,20)

2.1.1.1. Aktivasi Komplemen Melalui Jalur Klasik

Aktifasi jalur klasik umumnya terjadi oleh kompleks antigen antibodi atau agregat imunoglobulin, baik yang larut maupun yang melekat pada permukaan sel. Imunoglobulin yang mampu mengaktifasi jalur klasik ini adalah IgG1, IgG2 dan IgG3 serta IgM. Aktifasi terjadi melalui pengikatan C1q dengan salah satu bagian fragmen Fc dari satu atau lebih molekul IgG atau IgM. Reaksi ini disusul dengan aktivasi proenzim C1r menjadi enzim protease yang aktif dan dapat memecah C1s. Selanjutnya C1s merupakan enzim yang aktif merombak C4 menjadi C4a dan C4b, kemudian C2 yang melekat pada C4b dirombak menjadi C2a, tetap melekat pada C4b dan C2b yang dilepaskan. Kompleks C4b2a adalah suatu protease yang dapat merombak C3 sehingga disebut C3-convertase; perombakan ini menghasilkan C3a dan C3b keduanya merupakan molekul peptida yang mempunyai fungsi biologik yang sangat penting. C3a adalah suatu anafilatoksin, sedangkan C3b dapat melekat pada permukaan sel dan mengikat C5. Selanjutnya C5 dirombak menjadi C5a anafilatoksin dan C5b yang merupakan inti dari kompleks molekul yang dapat merusak membran sel. (2,3,13)


(17)

2.1.1.2. Aktivasi Komplemen Melalui Jalur Alternatif

Aktivasi jalur alternatif dapat berlangsung tanpa diawali oleh terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Reaksi dapat terjadi bila ada C3b yang melekat pada permukaan sel, yang mungkin berasal dari reaksi antara C3 dengan faktor B, enzim sistem fibrinolitik atau enzim jaringan yang lain. C3b yang melekat pada permukaan sel bereaksi dengan faktor B dan D membentuk C3bBb yang mampu memecah C3 lebih lanjut. Proses ini lebih ditingkatkan lagi oleh properdin yang memperlambat pengikatan faktor Bb.Reaksi selanjutnya adalah perombakan C5 dan seterusnya sampai mekanisme pengerusakan membran sel oleh reaksi C5-C9 diawali dengan perombakan C5 oleh kompleks C4b2a3b, C3bBb atau enzim enzim-enzim tertentu misalnya plasmin. Aktivasi menghasilkan C5a yaitu suatu peptida yang mempunyai aktivitas biologik dan C5b yang dapat mengikat C6 dan C7 membentuk kompleks trimolekuler yaitu C5b67 yang cenderung melekat pada permukaan sel. Perlekatan ini dapat dihambat oleh protein-S. Kompleks C5b67 kemudian mengikat C8, dan pada saat ini mulailah pengerusakan membran sel, dan pengerusakan selanjutnya ditingkatkan dengan pengikatan C9. Kompleks yang terdiri atas molekul C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9 merupakan dasar proses sitolitik dari sistem komplemen. Dengan melekatnya kompleks pada permukaan sel yang kemudian disebut sebagai membrane attack complex (MAC), terjadi perubahan Ultrastruktur dan perubahan muatan listrik pada permukaan sel serta pembengkakan. Kompleks C5b-9 menembus membran sel dan merusak lapisan lipid dan fosfolipid yang


(18)

terdapat pada membran sekitar kompleks C5b-9 lalu menimbulkan lubang-lubang dan berakhir dengan lisis sel. (2,4,13,20)

2.1.2. Fungsi Komplemen

Berbagai fragmen yang dilepaskan oleh aktivasi jalur alternatif dan klasik ikut berperan dalam pertahanan imun. Disamping penglepasan fragmen proteolitik, aktivasi komplemen baik jalur klasik maupun alternatif dapat menghasilkan serangan membran yang kompleks (Membrane Attack Complex:= MAC ) di permukaan sel bakteri. Ada beberapa fungsi komplemen secara umum yaitu; (2,13,20)

2.1.2.1. Inflamasi

Sebagai langkah awal untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta membersihkan jaringan yang rusak, tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk ke tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. Dalam proses inflamsi ada tiga hal yang terjadi yaitu pertama terjadi peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing dan mikroorganisme atau jaringan yang rusak tersebut, kedua terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang memungkinkan molekul yang lebih besar seperti antibodi dan fagosit bergerak ke luar pembuluh darah menuju ke tempat benda asing atau mikroorganisme berada kemudian diikuti peristiwa ketiga lekosit terutama fagosit polimorfonuklear dan monosit dikerahkan dari sirkulasi dan bergerak menuju tempat benda asing atau mikroorganisme. (13,20)


(19)

Peningkatan permeabilitas vaskuler yang lokal terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a,C4a,C5a). Aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan atau basofil melepas histamin kemudian merangsang peningkatan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos dan memberikan jalan untuk terjadinya migrasi sel-sel lekosit memasuki jaringan dan keluarnya plasma yang mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen kejaringan. (2,4,13)

2.1.2.2. Kemokin

Kemokin adalah molekul yang dapat menarik dan mengerahkan sel-sel fagosit. C3a,C5a dan C5-6-7 merupakan kemokin yang dapat mengerahkan sel-sel fagosit baik mononuklear maupun polimorfonuklear ketempat terjadinya infeksi. C5a adalah kemotraktan untuk netrofil yang juga merupakan anafilatoksin. Monosit yang masuk jaringan menjadi makrofag dan fagositosisnya diaktifkan opsonin dan antibodi. Makrofag yang diaktifkan melepaskan berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamsi. (20,22)

2.1.2.3. Fagositosis dan Opsonin

C3b dan C4b mempunyai sifat opsonin. Opsonin adalah molekul yang dapat diikat di satu pihak oleh partikel(kuman) dan di lain pihak oleh reseptornya pada fagosit sehingga memudahkan fagositosis bakteri atau sel lain. C3 yang banyak diaktifkan pada aktivasi komplemen merupakan sumber opsonin utama bagi C3b. (2,20,22)


(20)

2.1.2.4. Adherens Imun

Adherens imun merupakan fenomena dari partikel yang melekat pada berbagai permukaan (misalnya permukaan pembuluh darah), kemudian dilapisi antibodi dan mengaktifkan komplemen. Akibatnya antigen akan mudah difagositosis. C3b berfungsi dalam adherens imun tersebut. (22,34)

2.1.2.5. Elimiminasi Kompleks Imun

C3a dan iC3b dapat diendapkan di permukaan kompleks imun dan merangsang eliminasi kompleks imun. Baik sel darah merah dan neutrofil memiliki CR1-R dan mengikat C3b dan iC3b. C3 dan C4 ditemukan dalam kompleks imun yang larut. Neutrofil dapat mengeliminasi kompleks imun kecil dalam sirkulasi. Bila antigen tidak larut yang diikat antibodi dalam darah tidak disingkirkan, akan memacu inflamasi dan dapat menimbulkan penyakit kompleks imun. Kompleks imun besar tidak larut, sulit untuk disingkirkan dari jaringan. Sejumlah besar C3 yang diaktifkan dapat melarutkan kompleks tersebut. ( 2,34)

2.1.2.6. Lisis Osmotik

Aktivasi C3 (Jalur alternatif atau klasik ) akan mengaktifkan bagian akhir dari kaskade komponen komplemen C5-C9. Aktivasi komplemen yang terjadi dipermukaan sel virus akan membentuk membrane attack Complex dan akhirnya menimbulkan lisis osmotik sel atau virus. C5 dan C6 memiliki aktivitas enzim yang memungkinkan C7,C8 dan C9 memasuki membran plasma dari sel sasaran. (19,34,39)


(21)

2.1.2.7. Aktivitas Sitolitik

Eosinofil dan sel polimorfonuklear mempunyai reseptor untuk C3b dan IgG sehingga C3b dapat meningkatkan sitotoksisitas sel efektor Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) yang kerjanya tergantung pada IgG. Disamping itu, sel darah merah C3b dapat dihancurkan juga melalui kerusakan kontak ( contactual damage ). C8-9 merusak membran membentuk saluran-saluran dalam membran sel yang menimbulkan lisis osmotik. (4,20,39)

2.1.3. Sistem Pengendalian Komplemen

Protein dalam serum yang merupakan komponen pada aktivasi komplemen, baik pada jalur klasik maupun jalur alternatif dibentuk oleh hati, makrofag, monosit dan sel epitel intestinal. Bahan-bahan tersebut dilepas ke dalam serum dalam bentuk tidak aktif. Pad tiap tahap pelepasan mediator terdapat mekanisme tubuh untuk menetralkan, yang kita kenal sebagai regulator sehingga tidak akan terjadi reaksi yang berlangsung terus menerus yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Sistem enzim yang kompleks ini diatur oleh beberapa penyekat protein yang dapat mencegah aktivasi prematur dan aktivitas yang menunjang dari setiap produk. Contoh penghambat esterase C1 (C1 INH ). Penghambat C3b, inaktivator anafilatoksin dan penghambat C4b. Defisiensi bahan-bahan tersebut jarang ditemukan. Penghambat anafilatoksin menginaktifkan C3a dan C5a. Penghambat C3b mengikat molekul tersebut dan membuatnya jadi tidak aktif. Defisiensi penghambat esterase C1 (C1 INH ) mengakibatkan aktivasi C4 dan C2 oleh C1 terjadi


(22)

terus menerus sehingga menimbulkan lebih banyak fragmen-fragmen yang kemudian diaktifkan plasmin dan membentuk peptida vasoaktif. Jadi stimulasi kecil yang mengaktifkan C1 dapat menimbulkan respon besar yang tidak dapat dikendalikan. Penderita dengan defisiensi C1 INH menunjukkan oedem angineurotik, oedem diberbagai organ tubuh seperti kulit, saluran cerna dan napas. Oedem berat yang terjadi dilarings dan saluran napas menimbulkan kematian. (3,14,22,34)

2.1.4. Katabolisme Komplemen C3

Komplemen C3 adalah globulin dengan berat molekul 180.000 dalton dan dilepas sebagai pro C3 oleh makrofag. C3 diaktifkan oleh C42 atau konvertase C3 sehingga C3 dipecah menjadi fragmen-fragmen C3a yang kecil dan C3b yang lebih besar. Satu molekul C42 dapat mengaktifkan ratusan molekul C3. Selain itu komplemen C3 dapat diaktifkan oleh IgG4, agregat IgA (IgA1,IgA2).(1)

C3a dan C3b mempunyai sifat biologik dan fungsi tersendiri yaitu dapat berikatan dengan membran sel (sel darah merah,virus dengue, bakteri, Polimorfonuklear,makrofag, trombosit yang semuanya mempunyai reseptor untuk C3b), berikatan dengan C42 dan membentuk C423, atau enzim yang disebut konvertase C5. (1,2)

2.1.5. Pemeriksaan Komplemen

Perubahan dalam kadar komplemen menunjukkan adanya proses penyakit. Kadar komplemen yang meningkat sering ditemukan pada inflamasi akut dan infeksi. Penurunan kadar komplemen C3 sering berhubungan dengan penyakit autoimun, neonatal respiratory distress


(23)

syndrom, bakterimia, inflamasi kulit, hepatitis kronis dan glomerulonefritis. Defisiensi komplemen dapat dibagi menjadi defisiensi primer yang ditentukan oleh faktor genetik dan defisiensi sekunder yang diakibatkan oleh pemakaian komplemen dalam interaksi antigen-antibodi yang lebih memberikan hubungan dengan patogenesis penyakit. (17,19,20)

Pemeriksaan komplemen C3 yang sering dipakai dalam membantu menegakkan diagnosa dan pengobatan demam berdarah dengue adalah dengan cara Compelemen fixation Test (CFT) atau uji fiksasi komplemen merupakan cara untuk menemukan antigen atau antibodi yang hanya bereaksi bila ada komplemen. Prinsip dasar pemeriksaan adalah bila antigen dicampur dengan serum penderita yang mengandung antibodi yang homolog, dan komplemen, maka komplemen akan diikat oleh kompleks antigen-antibodi tersebut sehingga tidak ada sisa komplemen yang bebas. Bila kemudian ditambahkan sel darah merah domba yang telah disensitisasi dengan sel darah merah domba, tak terjadi hemolisis, maka tes dikatakan positip. Sebaliknya bila dalam serum tidak terdapat antibodi yang sesuai (homolog) dengan antigen, maka tidak akan terjadi ikatan antigen-antibodi, sehingga komplemen dalam keadaan bebas. Bila selanjutnya ditambahkan sel darah merah domba yang tersensitisasi, maka sel darah domba tersebut dilisiskan oleh komplemen dan tes dikatakan negatif. (4,5,7,20)

Pengukuran kadar komplemen C3 didalam serum penderita demam berdarah dengue memakai metode imunoturbidimetri merupakan cara penentuan komplemen C3 secara kuantitatif, prinsip dasarnya adalah


(24)

pengukuran kekeruhan konsentrasi larutan antigen-antibodi kompleks yang terbentuk didalam serum penderita. Kekeruhan diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 340 nanometer. (26,39,40)

2.2. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau yang dikenal juga dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) di dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit DBD didefenisikan sebagai berikut : adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, yang ditandai dengan adanya demam mendadak 2 sampai 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan dikulit berupa bintik perdarahan (petekie), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang mimisan, berak darah, kesadaran menurun atau renjatan (shock). (17,18,19)

2.2.1. Sejarah dan Epidemi

Banyak pendapat tentang asal kata dengue, akan tetapi masih simpang siur. Ada yang berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘asteni’, sebagian menganggap berasal dari bahasa Afrika Barat dinga atau dari bahasa Indian dengue, keduanya berarti ‘tiupan’, yang mungkin mencerminkan gejala yang mendadak dari penyakit ini. Ada juga yang beranggapan istilah tersebut berasal dari bahasa Spanyol dengue yang berarti ‘sopan santun’, yang mencerminkan sikap membungkuk yang aneh pada cara berjalan sebagai akibat rasa nyeri pada lutut dan mata kaki. Oleh karena rasa nyeri disendi lutut dan


(25)

tulang tersebut maka dengue disebut juga broken wing, break bone fever (Amerika Serikat), knokkel koorts (Belanda), dan abos-abous, abourekabe yang berarti ‘nyeri lutut’ (Arab, Syria, Mesir). Oleh karena rasa lemah yang bersifat luas dan berkepanjangan, maka penyakit ini di Filadelpia disebut break heart fever.(6,17,18)

Di Indonesia, infeksi virus dengue telah ada sejak abad ke-18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada waktu itu infeksi virus dengue dikenal dengan penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts), disebut demikian karena demamnya menghilang dalam waktu lima hari dan demam tersebut disertai dengan adanya nyeri sendi, nyeri otot dan nyeri kepala. Di Asia Tenggara sendiri infeksi virus dengue tersebut pada tahun 1952 menjadi epidemi terutama di Filipina sehingga waktu itu disebut Philippine Haemorrhagic Fever.(5)

Di Indonesia, DBD pertama sekali dicurigai pada tahun 1968 di Surabaya, akan tetapi konfirmasi virologisnya baru diperoleh pada tahun 1970. Epidemi pertama diluar Pulau Jawa dilaporkan pada tahun 1972 (Sumatera Barat, Lampung). Pada tahun 1994 DBD telah menyebar keseluruh provinsi di Indonesia dan pada saat ini DBD sudah endemis di kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah menjangkiti daerah pedesaan. (5,7,18)

Laporan Demam Berdarah Dengue Dinas Kesehatan Kota Medan tahun 2006 bahwa angka Inciden rate DBD sebesar 66,6 per 100.000 penduduk dengan jumlah kasus 1378 orang. Berarti Incidens rate Demam Berdarah Dengue di kota Medan sudah melewati angka nasional sebesar


(26)

5 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus kematian tahun 2006 yang disebabkan oleh penyakit DBD adalah sebanyak 21 kasus dengan angka case fatality rate (CFR) sebesar 1,5% angka ini sudah melewati angka nasional yaitu sebesar <1%. (41)

2.2.2. Etiologi

DBD merupakan penyakit yang ditularkan oleh serangga (Arthopoda) dan virus penyebabnya digolongkan Arthopoda borne virus (Arbovirus). Bila artropoda tersebut menggigit/menghisap darah dari vertebrata yang sedang dalam keadaan viremia maka virus akan berkembang biak dalam tubuh artropoda tersebut dan bila artropoda tersebut menggigit vertebra lainnya maka akan dapat menularkan virus tersebut. (6,18)

Ada lima famili virus yang masuk kedalam arbovirus yaitu : Flaviviridae (Flavivirus), Togaviridae (Alphavirus), Rhabdoviridae, Bunyaviridae dan Reoviridae (Orbivirus). Infeksi virus dengue disebut juga mosquito-borne infection oleh karena virus dengue tersebut ditularkan oleh nyamuk. (5,19)

Virus dengue mempunyai struktur yang lengkap yaitu terdiri dari cor, capsid dan envelope (selubung) sehingga virus dengue tersebut disebut juga virion. Dengan mikroskop elektron virus dengue tersebut terlihat kasar, berbentuk spheris dengan diameter 40 nm – 60 nm, terdiri dari asam nukleat, yang tersusun dari protein tunggal, dikelilingi oleh envelope yang terdiri dari dua lapisan lipid dan satu lapisan membran protein (M – protein). Envelope (selubung) tersebut berperan dalam hal


(27)

fenomena haemaglutinasi, netralisasi dan interaksi antara virus dengan sel pada saat awal infeksi. Genome (rangkaian kromosom) dari virus dengue tersebut berukuran panjang sekitar 11.000 base pairs dan terbentuk dari tiga gen protein struktural dan tujuh gen non struktural (NS). Virus dengue bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh natrium dioksikolat dan dietil eter, stabil pada suhu 70ºC dan mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi butir darah merah angsa. (5,10,12)

Sampai saat ini dikenal empat serotipe virus dengue, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe tersebut tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis DBD dapat terinfeksi dengan tiga atau bahkan empat serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe tersebut saat ini dapat ditemukan diberbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. (5,6,7)

2.2.3. Vektor

Graham, merupakan sarjana pertama pada tahun 1903 yang membuktikan peranan nyamuk dalam transmisi dengue di kota Beirut Libanon, dengan mengatakan bahwa Culex fatigans merupakan transitor virus dengue, barulah pada tahun 1906 Bancroft membuktikan bahwa nyamuk yang menularkan virus dengue menggigit di siang hari, hal ini mengenyampingkan Culex fatigans sebagai vektor dan menyokong Aedes aegypti sebagai vektor. Sampai saat ini telah diketahui beberapa nyamuk


(28)

sebagai vektor dengue seperti Aedes stegomya, Aedes scuttelaris, Aedes polynensis, akan tetapi diperkirakan bahwa Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor utama dari penyakit DBD, demikian pula di Indonesia. Nyamuk Aedes mempunyai pola yang sangat jelas, pada dinding dada terdiri dari corak hitam dan putih, kakinya dilingkari warna hitam dan putih seperti cincin. (5,13)

Nyamuk Aedes aegypti dapat dijumpai pada daerah 30º lintang utara dan 20º lintang selatan bahkan dapat dimumpai pada daerah dengan ketinggian 2300 kaki diatas permukaan laut, juga dapat dijumpai pada daerah tropis dan subtropis. Aedes aegypti bersifat antropofilik (senang pada manusia) dan hanya nyamuk betina yang menggigit, biasanya nyamuk betina menggigit didalam rumah (indoor biting), pada siang hari (day biting), bisa juga ditempat yang agak gelap dan kadang-kadang juga menggigit diluar rumah. Nyamuk jantan juga tertarik pada manusia bila melakukan perkawinan tetapi tidak menggigit. Pada malam hari biasanya nyamuk tersebut beristirahat didalam rumah pada benda-benda yang di gantung sepert pakaian, kelambu, biasanya ditempat gelap. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang (multiple bitters) yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat. Nyamuk betina dapat terbang sejauh 2 kilometer, kemampuan normalnya kira-kira 40 meter. (13,15)

Nyamuk Aedes albopictus merupakan vektor demam berdarah dikawasan Asia Tenggara, tumbuh dan berkembang di alam dan barang-barang bekas seperti ban bekas, jambangan air. Nyamuk ini selalu


(29)

menggigit dan menghisap darah manusia sepanjang hari mulai pagi hingga sore baik pada waktu hujan maupun waktu hujan sedikit. Waktu menggigit palilng sedikit adalah tengah hari selama cuaca kering dan panas. Frekwensi menggigit diluar rumah bisa sampai 25 kali lebih besar dari pada di dalam rumah. Nyamuk ini mempunyai daya terbang yang lemah, yaitu 1,4 meter sehari. Secara normal nyamuk ini terbang 18 meter selama masa hidupnya. (5,15)

2.2.4. Penyebaran

Ada tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus itu sendiri dan vektor perantara. Bila manusia yang dalam keadaan viremia digigit oleh nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus, maka didalam tubuh nyamuk tersebut akan terdapat virus dengue. Virus yang berada didalam kelenjar liur nyamuk akan berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia lain pada gigitan berikutnya. Sekali virus masuk ke dalam tubuh nyamuk dan berkembang biak, maka nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus itu selama hidupnya (infektif). Ditubuh manusia virus memerlukan waktu 4-6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakidt. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu dua hari sebelum demam sampai lima hari setelah demam timbul. (5,15,33)


(30)

2.3. Patogenesis Demam Berdarah Dengue

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian. Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD. Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel lekosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan


(31)

peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok. (5,9,17,18)

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak.Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan


(32)

genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar.Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris. (4,5,27,30,32,36) Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody response Kompleks virus-antibodi

Aktivasi komplemen

Komplemen Anafilatoksin (C3a,C5a)

Histamindalam urin me Permeabilitas kapiler meningkat

Ht meningkat >30% pd kasus Perembesan plasma Natrium Menurun shock 24-48 jam Cairan dlm rongga serosa Hipovolemia

Syok

Anoksia Asidosis

Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD Sumber : Suvatte, 1977.


(33)

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin Diphosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (Reticulo Endothelial System) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.


(34)

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi Virus (+) Anamnestic antibody Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit Aktivasi kaogulasi Aktivasi komplemen

Penghancuran PLT Pengeluaran Plasma Aktivasi Oleh RES FP III Faktor Hageman

Trombositopenia Koagulopati Sistim Kinin Anafilatoksin Konsumtif

Kinin Penurunan

Faktor Pembekuan FDP Meningkat Peningkatan permeabilitas Kapiler

Gangguan Perdarahan Masif Syok Fungsi Trombosit

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD (Sumber: Suvatte, 1977) Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi,perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan


(35)

kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. (28,29,32,33)

2.3.1. Teori Secondary Heterologous Infection

Teori ini mengatakan bahwa bila seseorang terinfeksi pertama sekali oleh virus dengue maka akan menghasilkan antibodi terhadap virus dengue serotipe tersebut, bila orang tersebut terinfeksi lagi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka virus tersebut akan di eliminasi oleh respon memori (antibodi), akan tetapi bila orang tersebut terinfeksi oleh virus dengue dengan serotipe yang berbeda maka oleh antibodi non netralisasi virus tersebut tidak dapat dinetralisir, bahkan akan bereplikasi didalam monosit yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pelepasan mediator-mediator inflamasi dan pada saat itu akan tampak manifestasi kllinis DBD yang lebih berat. (5,6,16,37)

2.3.2. Teori Enhancing Antibody

Teori ini berdasarkan peranan sel fagosis mononuklear yang merangsang terbentuknya antibodi non netralisasi yaitu antibodi yang tidak dapat menetralisir virus dengue bahkan dapat memacu replikasi virus dengue tersebut. (15,30)

Virus dengue yang masuk ke dalam tubuh manusia mlalui gigitan nyamuk Aedes aegypti akan melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan masuk kedalam monosit (mekanisme aferen= A). Kemudian monosit yang mengandung virus tersebut menyebar ke hati, limpa, usus dan sumsum tulang dan terjadilah viremia (mekanisme eferen = B). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang telah terinfeksi tersebut akan


(36)

berinteraksi dengan sistim humoral, seperti sistim komplemen yang akan mengeluarkan substansi inflamasi, pengeluaran sitokin dan tromboplastin yang akan mempengarauhi permeabilitas kapiler dan mengktivasi sistim koagulasi (mekanisme efektor = C). (9,11,25)

2.3.3. Teori Antigen Antibodi

Virus dengue yang masuk kedalam dtubuh manusia dianggap ssebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi membentuk “kompleks virus-antibodi” yang akan mengaktifkan sistim komplemen dan menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a, bahan-bahan ini mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin yang merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler dengan akibat terjadinya kebocoran plasma ke ruang ekstravaskuler yang akan mengakibatkan turunnya volume darah yang akan berakibat terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan syok. (5,17,24,37)

2.3.4. Teori Mediator

Virus dengue yang menginfeksi sel-sel fagosit akan menyebabkan sel yang terinfeksi tersebut mengeluarkan sitokin-sitokin seperti interferon (IFN), interleukin I (IL-I), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). Sitokin-sitokin tersebut akan mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler, juga akan merangsang hipotalamus anterior dan korteks serebellum yang akan mengakibatkan terjadinya demam. (11,30,37)


(37)

2.4. Diagnosis Klinis

Gejala klinis utama dari DBD adalah demam dengan manifestasi perdarahan, baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet. WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. (27)

2.4.1. Kriteria Klinis:

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan: a. Uji torniquet positip

b. Petekie, ekimosis, purpura

c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi d. Hematemesis dan atau melena.

3. Pembesaran hati (hepatomegali)

4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah. (5,17,27)

2.4.2. Kriteria laboratorium :

1.Trombositopenia (≤ 100.000 ku/ml)

2. Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% Atau lebih. (2,5,27,32)

Dua dari data kriteria klinis tersebut ditambah salah satu dari kriteria laboratorium sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD.


(38)

Secara klinis DBD dapat dibagi menjadi 4 stadia :

1. Derajat I : DBD ringan, demam mendadak 2-7 hari disertai gejala kli- nis lain dan manifestasi perdarahan teringan, uji torniquet positip.

2. Derajat II : DBD derajat I ditambah dengan perdarahan bawah kulit dan tempat lain (gusi, epistaksis dan lain-lain).

3. Derajat III : terdapat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah, atau hipotensi disertai kulit dingin dan lembab serta penderita menjadi gelisah.

4. Derajat IV : syok, yang ditandai dengan penurunan tekanan darah dan nadi tidak terukur.

DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindroma syok dengue. (5,6,13,27)

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan utama pada DBD adalah adanya kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya hemokonsentrasi, adanya penumpukan cairan ekstravaskuler yang tercermin dengan adanya efusi pleura, asites, dan lain-lain. (36,38)

2.4.3.1. Pencitraan Radiologis

Pencitraan dengan foto paru dapat menunjukkan adanya efusi pleura. Albar H dan kawan-kawan dalam penelitiannya untuk melihat manfaat pemeriksaan radiologis toraks posisi lateral dekubitus kanan sebagai alat bantu diagnosis DBD terhadap 15 penderita DBD anak di RSU Ternate pada tahun 1990-1991 menyimpulkan bahwa pemeriksaan


(39)

radiologik toraks dengan posisi lateral dekubitus kanan sangat berperan dalam menegakkan diagnosis DBD. (9,27)

2.4.3.2. Pencitraan Ultrasonografis (USG)

Adanya asites maupun cairan pleura dapat dideteksi dengan USG dapat dipakai sebagai alat bantu dalam meramalkan kemungkinan penyakit menjadi lebih berat dengan melihat penebalan dinding kandung empedu dan pankreas. (10,27,38)

2.4.3.3. Serologis

Isolasi virus merupakan cara yang paling baik dalam arti sangat menentukan, tetapi karena memerlukan peralatan dan tehnik yang canggih, isolasi virus tersebut tidak dipakai secara rutin, Test serologis jauh lebih sederhana dan cepat tetapi dapat memberikan hasil yang positip palsu. Ada lima cara pemeriksaan serologi untuk menentukan adanya virus dengue : 1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition Test = HI Test), 2. Uji Komplemen Fiksasi (Complement Fixation Test =CF Test), 3. Uji Neutralisasi (Neutralization Test = NT Test), 4. Test Mac. Elisa (Igm capture enzyme-linked immunosorbent assay) , 5. Test IgG Elisa indirek. (13,27,32,39)

2.4.3.3.1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

Test ini paling banyak dipakai karena sederhana, mudah, murah dan sensitif. Antibodi HI akan berada dalam darah untuk waktu yang lama (>50 tahun) begitu seseorang mendapat infeksi virus dengue. Antibodi HI akan muncul pada hari ke 5 atau 6 dari perjalanan penyakit. Pada infeksi sekunder dan tertier titer akan tinggi pada hari-hari pertama, dapat


(40)

mencapai 1 : 5.120 sampai 1 : 10.240 atau bahkan lebih. Titer 1 : 1.280 atau lebih pada serum fase akut menunjukkan adanya infeksi dengue yang baru. Titer HI akan tetap tinggi selama 2 – 3 bulan, tetapi umumnya titer HI akan mulai menurun pada hari ke 30 – 40. (13,32)

2.4.3.3.2. Uji Fiksasi Komplemen

Uji ini tidak rutin dilakukan karena pemeriksaannya rumit dan memerlukan keahlian tersendiri. Antibodi fiksasi komplemen ini hanya dapat bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 – 3 tahun). (5,17,27,32)

2.4.3.3.3. Uji Netralisasi

Uji ini merupakan uji yang paling sensitif dan spesifik akan tetapi tidak dilakukan secara rutin karena memerlukan biaya yang mahal dan keterampilan khusus. Uji ini memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PRNT), yaitu berdasarkan reduksi plak yang terjadi sebagai akibat adanya proses netralisasi virus. Antibodi netralisasi ini dapat bertahan sampai > 50 tahun dalam darah. (5,6,27,32)

2.4.3.3.4. Test Mac ELISA

Tes ini banyak dipakai karena cukup sederhana dan tidak memerlukan alat canggih. Tes ini untuk mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Antibodi anti-dengue IgM akan timbul terlebih dahulu daripada antibodi anti-dengue IgG dan biasanya sudah dapat terdeteksi pada hari ke-5. Timbulnya IgM ini bervariasi pada beberapa orang, dapat timbul pada hari ke 2 – 4 dari jalannya penyakit tetapi dapat pula timbul pada hari ke 7 – 8. IgM dapat bertahan dalam darah selama 2 – 3 bulan. (27,32,35,39)


(41)

2.4.3.3.5. Uji Imunokromatografi (ICT)

Uji ini dapat mendeteksi baik IgM dan IgG anti Dengue sekaligus dalam serum tunggal dalam waktu 15-30 menit. Pada Dengue Rapid Test (uji ICT) berbentuk strip telah distandardisasi sedemikian rupa sehingga pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgGnya negatif, sebaliknya pada infeksi sekunder hasil IgG positip dapat disertai dengan atau tanpa hasil IgM yang positif. (27,31,32,39)

Prinsip pemeriksaan yaitu Captured ELISA dengan fase padat nitroselulose/ dipstick dengan daya kromatografi maka antibodi IgM atau IgG anti dengue yang terdapat di dalam serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau antihuman IgG yang telah dimobilisasi pada fase padatnya membentuk garis melintang pada membran tes. Secara bersamaan antibodi monoklonal anti dengue yang berlebel gold bereaksi dengan antigen dengue (rekombinan). Konjugat ini (antibodi monoklonal anti dengue yang berikatan dengan antigen dengue) akan berikatan dengan antibodi IgM atau IgG dari serum penderita tersebut membentuk garis berwarna ungu. (31,32,35,39 )

2.5.Gangguan Hemostasis Pada DBD.

Penyebab perdarahan pada penderita DBD adalah adanya vaskulopati, trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit serta koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. (8,21,30)


(42)

2.5.1. Vaskulopati.

Terjadinya vaskulopati pada DBD dapat bermanifestasi sebagai adanya petekie, uji torniquet positip maunpun perembesan cairan dan protein ke ruang ekstravaskuler. Defek pada vaskuler tersebut disebabkan oleh infiltrasi limfosit, fagosit mononuklear, deposit IgM, komplemen maupun fibrinogen pada dinding pembuluh darah. (13,16,21)

Pada DBD, jenis perdarahan yang terbanyak adalah perdarahan kulit, seperti uji torniquet yang positip, purpura maupun ekimosis. Uji torniquet positip menunjukkan keadaan fragilitas kapiler yang meningkat. Uji torniquet dilakukan dengan cara pembendungan di lengan atas pada tekanan setengah dari tekanan nadi selama 10 menit. Dikatakan positip bila terdapat lebih dari 10 petekie dalam lingkaran dengan diameter 5 cm pada daerah volar lengan bawah. (5,6,13,18)

Petekie biasanya muncul pada hari-hari pertama demam. Untuk memastikan petekie dilakukan penekanan pada bintik merah yang dicurigai dengan penggaris plastik transparan ataupun dengan kaca objek, Jika bintik merah menghilang maka bukan petekie. (5,13,26,27 )

2.5.2. Trombositopenia dan Gangguan Fungsi Frombosit.

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Jumlah trombosit biasanya akan menurun sampai dibawah 100.000/mm3 pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada waktu syok. Jumlah trombosit akan meningkat dengan cepat sampai normal pada masa penyembuhan, biasanya 7 – 10 hari sejak permulaan penyakit. (27,33)


(43)

Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial. Beberapa peneliti mengatakan penyebabnya adalah trombopoesis yang menurun dan terjadinya destruksi trombosit. Peneliti lain mengatakan penyebabnya adalah gangguan fungsi trombosit sendiri. Mekanisme penekanan pada sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya penekanan pada megakariosit belum diketahui, akan tetapi diperkirakan hal tersebut terjadi oleh efek langsung dari virus dengue ataupun efek tidak langsung melalui mekanisme sistim imun ataupun keduanya. Destruksi trombosit terjadi oleh karena aktivasi sistim komplemen berupa ikatan antara trombosit dengan fragmen C3g maupun dengan antigen virus, sedangkan gangguan fungsi trombosit terjadi oleh karena adanya defek pada pelepasan ADP trombosit, peningkatan kadar – tromboglobulin dan PF4 (Platelet Factor 4). – tromboglobulin dan PF4 tersebut merupakan marker dari degranulasi trombosit, sedangkan ADP trombosit diperlukan untuk proses agregrasi trombosit, sehingga bila terjadi defek pada pelepasan ADP trombosit maka proses agregrasi trombosit terganggu. (21,23,24,25)


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1.Desain Penelitian

Penelitian dilakukan secara cross sectional study. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP Haji Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.Pirngadi Medan bekerjasama dengan Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan.

Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2007 sampai dengan Maret 2008. Penelitian dihentikan bila jumlah sampel minimal tercapai atau waktu pengambilan sampel telah mencapai tiga bulan.

3.3. Populasi dan Subjek Penelitian 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah pasien demam berdarah dengue yang sakit hari ke 5 sampai 7,rawat inap di bangsal penyakit dalam yang telah didiagnosa oleh dokter Poliklinik dan ruang rawat inap ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.Pirngadi Medan bekerjasama dengan Departemen Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3.2. Subjek Penelitian

Subjek yang diikutkan dalam penelitian adalah semua penderita Demam Berdarah Dengue dan memenuhi kriteria sebagai berikut :


(45)

3.3.3. Kriteria Inklusi

1. Bersedia ikut dalam penelitian

2. Bila dijumpai demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas berlangsung terus menerus selama 2-7 hari ditambah dua dari gejala klinis lainnya menurut kriteria WHO tahun1997.

3. Satu dari hasil pemeriksaan laboratorium positip.

4. Konfirmasi dengan pemeriksaan serologi anti dengue IgG, IgM yaitu :

-IgG(+), IgM(+), -IgG(+), IgM(-), -IgG(-) , IgM(+).

-IgG (-), IgM (-) dimasukkan kedalam kontrol. 3.3.4. Kriteria Ekslusi

1. Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

2. Demam yang disebabkan oleh penyakit infeksi lain. 3. Trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit lain. 4. Manifestasi perdarahan yang disebabkan oleh penyakit lain.

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Sampel dipilih secara consecutive sampling dengan perkiraan besar sampel minimum dari subjek yang diteliti dipakai rumus uji hipotesis rerata dua kelompok independent :


(46)

2 n1 = n2 = 2 [ z(0,5 – /2) + z(0,5 – ) ] Sd

(X1 – X2) 2

= 2 (1,96 + 1,282) .0,525 0,5

= 23,17 ≈ 23

n1 = jumlah pasien, n2 = jumlah pasien kontrol z(0,5– /2) = nilai baku normal dari tabel z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan. Untuk = 0,05 z(0,5 – /2) = 1,96

Z(0,5 – ) = nilai baku normal dari tabel z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan. Untuk = 0,10 Z(0,5 – ) = 1,282

(X1– X2) = selisih rerata kedua kelompok yang bermakna, ditentukan = 0,5

3.5. Analisa Data

Pengolahan data dan perhitungan statistik digunakan perangkat komputer Microsoft Exel. Untuk melihat gambaran kadar komplemen C3 hasil disajikan dalam bentuk tabulasi dan didiskripsikan. Untuk melihat hubungan penurunan kadar komplemen dengan jumlah trombosit digunakan korelasi spearmen. Dikatakan bermakna bila nilai dari p< 0,05. 3.6. Bahan dan Cara Kerja

3.6.1. Pengambilan Sampel

Sampel darah diambil dari vena mediana cubiti. Tempat punksi vena terlebih dahulu didesinfektan dengan alkohol 70 % dan dibiarkan


(47)

kering, kemudian dilakukan punksi. Pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan spuit disposibel sebanyak 6 cc, lalu darah dibagi atas dua bagian yaitu :

- 4 cc darah tanpa antikoagulan untuk pemeriksaan complemen C3 dan serologi IgG ,IgM anti dengue.

- 2cc dengan antikoagulan Ethylen Diamine Tetra Acetate (EDTA) untuk pemeriksaan darah lengkap.

3.6.2. Pengolahan Sampel

- Darah dengan antikoagulan EDTA dilakukan pemeriksaan darah - Lengkap.

- Darah tanpa koagulan dibiarkan dalam suhu ruangan selama 30 menit , kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 g selama 15 menit, serum dipisahkan secara hati-hati kedalam tabung plas- tik tertutup dan segera disimpan dalam freezer suhu -20ºC sam- pai dilakukan pemeriksaan komplemen C3 secara serentak. Sebagian dari serum ini dipisahkan untuk dipakai pada pemerik- saan serologi anti dengue IgG, IgM.

3.6.3. Pemeriksaan Labaoratorium 3.6.3.1. Pemeriksaan Komplemen

Pemeriksaan dilakukan secara serentak sebulan sekali setelah terkumpul sejumlah sampel dengan alat Automatic Analyzer Cobas Integra 400. Sampel yang beku dari freezer dicairkan pada suhu ruangan . Reagensia, kalibratror dan kontrol juga disamakan suhunya dengan suhu ruangan (20 – 25 ºC). Reagensia diletakkan pada disk reagensia,


(48)

Kalibrator dan sampel pada disk sampel. Metode pemeriksaan Komplemen C3 adalah berdasarkan pengukuran kekeruhan larutan komplemen C3 metode Imunoturbidimetri yang diukur dengan spectrofotometer pada gelombang 340 nm. (26,39,40,42)

Prinsip reaksi adalah sebagai berikut.

Komplemen C3 (sampel) + Antibodi Kompelemen C3-Antibodi (pengumpulan kekeruhan) diukur dengan spektrofotometer 340 nm. 3.6.3.2. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan dengan menggunakan alat Cell-Dyne 3700 untuk :

- Pemeriksaan Hb, Jumlah lekosit, jumlah trombosit, dan hematokrit. - Pemeriksaan hitung jenis lekosit dan morfologi darah tepi.

3.7. Pemantapan Kualitas

Pemantapan kualitas untuk pemeriksaan komplemen C3 dilakukan dengan menggunakan kontrol Precinorm protein, dimana hasil pemeriksaan tersebut harus masuk dalam nilai batas yang dapat diterima dengan nilai 90 – 180 mg/dl. Setelah didapatkan hasil pemeriksaan Precinorm protein, selanjutnya dilakukan pemeriksaan komplemen C3 pada sampel penderita. Jika hasil pemeriksaan serum kontrol berada dalam batas-batas nilai yang dicantumkan dalam kit reagen, maka hasil pemeriksaan saat itu dianggap baik. (26,39)


(49)

Tabel 1. Pemantapan Kualitas Menggunakan Kontrol Precinorm protein Pada Pemeriksaan Kadar Komplemen C3.

NO Kelompok Pemeriksaan

Tanggal Pemeriksaan

Precinorm Protein (g/dl)

Nilai Target (g/dl)

1. I (n= 12) 29/01/2008 124

2. II (n= 12) 30/01/2008 118

3. III (n= 4) 31/01/2008 132

90 - 180

Tabel 1. Pemantapan kualitas menggunakan kontrol Precinorm protein dan dilakukan pada pemeriksaan komplemen C3. Sebelumnya alat di kalibrasi dahulu dengan kalibrator c.f.a.s protein sesudah runing dilakukan kontrol dengan precinorm protein bila sudah masuk dalam batasan normal (mean ± 1 SD) baru kemudian dilakukan pemeriksaan sampel serum komplemen C3. Runing kontrol dengan precinorm protein dilakukan sewaktu sampel berikutnya mau diperiksa. Kelompok pemeriksaan I jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 12 sampel masing-masing kelompok kasus dan kontrol, nilai precinorom protein 124 g/dl. Kelompok pemeriksaan II jumlah sampel yang diperiksa sebanyak 12 sampel masing-masing kelompok nilai kontrol precinorm protein 118 g/dl dan Kelompok pemeriksaan terakhir masing-masing 4 sampel mempunyai nilai kontrol precinorm protein 132 g/dl. Nilai target komplemen C3 90-180 g/dl. Hasil semua pemeriksaan masuk dalam batasan Mean ± 1 SD.


(50)

3.8. Kerangka Kerja.

Inklusi : Bersedia ikut dalam penelitian,Penderita DBD sesuai kriteria WHO 1997, Konfirmasi serologi IgG/IgM Populasi : Penderita Demam Berdarah Dengue Kadar komplemen C3

Eksklusi : -Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

-Demam akibat penyakit lain -Trombositopenia akbat penyakit lain

-Perdarahan akibat penyakit lain

3.9. Jadwal Pelaksanaan

NO Kegiatan Desember 2007 Januari 2008 Pebruari 2008 Maret 2008 1. Proposal X

2. Pengumpulan Data

X X X

3. Analisa Data X X


(51)

Perkiraan Biaya Penelitian

NO JENIS PENGELUARAN JUMLAH HARGA BIAYA

1. IgG/IgM Antidengue 50 stick @ Rp. 100.000. Rp. 5.000.000,. 2. Calibrator protein,

Precinorom protein

1 kit @ Rp.2.373.700. Rp. 2.373.700,.

3. Reagensia C3 1 kit @ Rp.4.455.000. Rp. 4.455.000,. 4. ATK 50 @ Rp. 10.000. Rp. 500.000,. 5. Konsumsi 50 @ Rp. 20.000. Rp. 1.000.000,.


(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian secara cross sectional selama periode Desember 2007 sampai dengan Maret 2008 dengan memeriksa kadar komplemen C3 dan parameter lainnya terhadap 56 orang penderita demam berdarah dengue yang dirawat diruang rawat penyakit dalam RSUP Haji Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan bekerjasama dengan bagian Penyakit Dalam FK USU Medan. Populasi penelitian ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi IgG dan IgM antidengue setelah diagnosanya ditegakkan oleh bagian penyakit dalam dengan diagnosa DBD. Bila salah satu dari IgG atau IgMnya positip dimasukkan kedalam kelompok sampel hasil dan bila IgG atau IgM keduanya negatip dimasukkan dalam kelompok kontrol. Kontrol sebanyak 28 orang dari jumlah sampel sebanyak 56 orang dengan konfirmasi serologi antidengue IgG(-) dan IgM(-) dan 28 orang sebagai sampel penelitian konfirmasi serologinya positip dibagi atas tiga kelompok yaitu 12 orang (42,9%) dengan hasil serologi IgG(+)/IgM(+), 12 orang (42,9%) hasil serologi IgG(+)/IgM(-) dan 4 orang (14,2%) hasil serologi IgG(-)/IgM(+). Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar komplemen C3 terhadap sampel penelitian.


(53)

28 orang sampel Hasil

IgG atau IgM antidengue (+)

12 orang IgG(+)/IgM(+) 4 orang IgG(-)/IgM(+) 12 orang IgG(+)/IgM(-) Pemeriksaan Kadar C3 28 orang sampel kontrol IgG dan IgM antidengue (-) 56 orang populasi sampel

kriteria WHO

Gambar 3. Profil dari penelitian.

Tabel 2. Karakteristik Subyek Penelitian

Karakteristik Penderita DBD (n = 28)

Penderita Kontrol

(n = 28) p

Jenis kelamin :

Laki-laki 16 (28,6%) 15 (26,8%)

Perempuan 12 (21,4%) 13 (23,2%)

0,788

Umur (tahun) 25.39 ± 9.22 27.50 ±10.98 0,440

Lama demam (hari) 6.04 ± 0.83 5.96 ± 0.74 0,737 Hb darah (g/dl) 14.03 ± 1.76 13.54 ± 1.80 0,301 Ht darah (%) 41.44 ± 5.80 40.28 ± 5.61 0,453 Jumlah lekosit (x103

sel/mm3) 4.93 ± 3.15 4.86 ± 2.68

0,926

Jumlah Monosit (%) 16.29 ± 4.33 17.50 ± 5.97 0,388 Jumlah Limfosit (%) 49.50 ± 13.95 36.75 ± 10.96 0,001 *) Jumlah Trombosit

(x103sel/mm3) 53.15 ± 31.92 76.22 ± 42.02

0,025 *)

Keterangan: *) signifikan

Dari table 2 ini terlihat, jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita DBD dibanding dengan kelamin perempuan. Laki-laki 16 orang


(54)

(28,6%) dan 15 orang (26,8%) pada kontrol. Perempuan 12 orang (21,4%) pada penderita DBD dan 13 orang (23,2%) pada penderita kontrol, tidak ada perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Rata-rata umur penderita DBD adalah (25,39 ± 9,22) tahun, pada pasien kontrol (27,50 ± 10,98) tahun, tidak ada perbedaan umur antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Lamanya demam pada penderita DBD rata-rata (6,04 ± 0,83) hari, pasien kontrol (5,96 ± 0,97) hari, tidak ada perbedaan lamanya demam antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Kadar Hemogloblin darah (Hb darah) pada penderita DBD rata-rata (14,03 ± 1,76) g/dl, pada pasien kontrol (13,54 ± 1,80) g/dl tidak ada perbedaan kadar Hb antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Kadar Hematokrit darah (Ht darah) rata-rata pada penderita DBD adalah (41,44 ± 5,80)%, pada pasien kontrol nilai rata-rata Ht (40,28 ± 5,61)%, tidak ada perbedaan kadar Ht antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Jumlah lekosit rata-rata pada penderita DBD adalah (4,93 ± 3,15) x103 sel/mm3, pada pasien kontrol jumlah lekosit rata-rata adalah (4,86 ± 2,68) x103 sel/mm3, tidak ada perbedaan jumlah lekosit antara kedua kelompok dengan p > 0.05.

Jumlah monosit rata-rata pada penderita DBD adalah (16,29 ± 4,33) %, sedang pada pasien kontrol (17,50 ± 5,97) %, tidak ada perbedaan jumlah monosit antara kedua kelompok dengan p > 0,05.


(55)

Jumlah limfosit rata-rata pada penderita DBD adalah (49,50 ± 13,95) %, sedang pada pasien kontrol dijumpai rata-rata limfosit (36,75 ± 10,96) %, dijumpai perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05.

Jumlah trombosit rata-rata pada penderita DBD (53150 ± 31920) /mm3, pada pasien kontrol (76220 ± 42020) /mm3, dijumpai perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05.

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Limfosit pada penderita Demam Berdarah Dengue Bedasarkan Uji Serologi.

Jumlah Limfosit Penderita DBD (%)

Jumlah Limfosit Kontrol (%)

Uji Serologi

n Mean ± SD n Mean ± SD

p

IgG(+)/IgM(+) 12 53,08 ± 10,62 28 36,75 ±10,96 0,001 *) IgG(+)/IgM(-) 12 44,92 ± 15,68 28 36,75 ±10,96 0,063 IgG(-)/IgM(+) 4 52,50 ± 17,00 28 36,75 ±10,96 0,022 *)

Keterangan: *) signifikan

Tabel 3 memperlihatkan jumlah limfosit rata-rata pada penderita DBD berdasarkan uji serologi IgG,IgM antidengue dibanding dengan jumlah trombosit rata-rata kontrol. Hasil uji serologi IgG(+)/IgM(+) dijumpai 12 orang jumlah limfosit rata-rata (53,08 ± 10,62)%,sedang pasien kontrol IgG(-)/IgM(-) 28 penderita rata-rata jumlah limfosit (36,75 ±10,96)%, ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05. Kelompok dengan uji serologi IgG(+)/IgM(-) ada 12 penderita DBD rata-rata jumlah limfosit (44,92 ± 15,68) % dibanding dengan pasien kontrol 28 penderita dengan uji serologi IgG(-)/IgM(-) rata-rata (36,75 ±10,96) %,


(56)

tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dengan nilai p > 0,05. dan kelompok uji serologi IgG(-)/IgM(+) ada 4 orang penderita rata-rata jumlah limfosit (52,50 ± 17,00) %, dibanding dengan kelompok kontrol dengan uji serologi IgG(-)/IgM(-) 28 penderita rata rata jumlah limfosit (36,75 ±10,96) %, dijumpai perbedaan bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05.

Grafik 1. Rata-rata Jumlah limfosit pada penderita DBD Konfirmasi serologi IgG, IgM antidengue.

IgG (-) dan IgM(-) IgG (-) dan IgM(+)

IgG (+) dan IgM(-) IgG (+) dan IgM(+)

60 50 40 30 Rata-rata Jumlah Limfosit

Tabel 4. Rata-rata Jumlah Trombosit pada penderita DBD Konfirmasi Serologi IgG, IgM antidengue.

Jumlah Trombosit Penderita DBD (x 103 sel/mm3)

Jumlah Trombosit Kontrol ( x 103 sel/mm3) Uji Serologi

n Mean ± SD n Mean ± SD

p

IgG(+)/IgM(+) 12 41.15± 25.00 28 76.22 ± 42.02 0,008 *) IgG(+)/IgM(-) 12 55.28 ± 35.84 28 76.22 ± 42.02 0,104 IgG(-)/IgM(+) 4 82.75 ± 20.15 28 76.22 ± 42.02 0,741


(57)

Tabel 4 memperlihatkan jumlah trombosit rata-rata pada penderita demam berdarah dengue berdasarkan uji serologi IgG,IgM antidengue dibanding dengan jumlah trombosit rata-rata kontrol. Hasil uji serologi IgG(+)/IgM(+) dijumpai 12 orang jumlah trombosit rata-rata (41.15± 25.00)x1000 sel/mm3,sedang pasien kontrol Ig(-)/IgM(-) 28 penderita rata-rata jumlah trombosit (76.22 ± 42.02) x1000 sel/mm3, ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05. Jumlah trombosit kelompok dengan uji serologi IgG(+)/IgM(-) ada 12 orang dan kelompok uji serologi IgG(-)/IgM(+) ada 4 orang dibanding dengan jumlah trombosit kelompok kontrol dengan uji serologi IgG(-)/IgM(-) 28 orang, tidak ada perbedaan antara kedua kelompok dengan p > 0,05.

Grafik 2. Rata-rata Jumlah Trombosit pada penderita DBD dan Kontrol konfirmasi serologi IgG, IgM antidengue.

IgG (-) dan IgM(-) IgG (-) dan IgM(+)

IgG (+) dan IgM(-) IgG (+) dan IgM(+)

90 80 Rata-rata Jumlah Trombosit 30 40 50 70 60

Tabel 5 . Rata-rata Kadar Komplemen C3 pada Subyek Penelitian. Penderita DBD Kontrol

Kadar

n Mean ± SD n Mean ± SD p Komplemen

C3 (g/dl)

28 81.43 ± 16.70 28 114.57 ± 21.17 0,001 *)


(58)

Dari tabel 5 ini terlihat kadar komplemen C3 rata-rata pada penderita DBD adalah (81,43 ± 16,70) g/dl, pada pasien kontrol kadar komplemen C3 rata-rata (114,57 ± 21,17) g/dl, dijumpai perbedaan bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,05.

Tabel 6. Rata-rata kadar Komplemen C3 pada penderita DBD Konfirmasi Serologi IgG, IgM antidengue.

Kadar C3 Penderita DBD (g/dl)

Kadar C3 Kontrol (g/dl) Uji Serologi

n Mean ± SD n Mean ± SD

p

IgG(+)/IgM(+) 12 68.75 ± 12.22 28 114.57 ± 21.17 0,001 *) IgG(+)/IgM(-) 12 91.67 ± 14.56 28 114.57 ± 21.17 0,001 *) IgG(-)/IgM(+) 4 88.75 ± 7.14 28 114.57 ± 21.17 0,009 *)

Keterangan: *) signifikan

Tabel 6 ini menggambarkan kadar rata-rata komplemen C3 pada penderita demam berdarah dengue berdasarkan uji serologi IgG,IgM anti dengue dibanding dengan kadar komplemen C3 kontrol.Hasil uji serologi IgG(+)/IgM(+) 12 orang rata-rata kadar komplemen C3 (68,75 ±12,22)g/dl, sedang pasien kontrol Ig(-)/IgM(-) 28 penderita rata-rata kadar komplemen C3 (114,57 ± 21,17)g/dl, ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dengan p < 0,001. Pada uji serologi dengan IgG(+)/IgM (-) 12 orang dengan rata-rata kadar komplemen C3 (91,67 ± 14,56)g/dl sedang rata-rata komplemen C3 kontrol (114,57 ± 21,17)g/dl, ada perbedaan kadar C3 yang bermakna pada kedua kelompok dengan p < 0,001. Kemudian dari uji serologi IgG(-)/IgM(+) didapati 4 orang dengan rata-rata kadar komplemen C3 (88,75 ± 7,14)g/dl, pasien kontrol rata-rata kadar komplemen C3 (114,57 ± 1,17)g/dl dari kedua kelompok ini dijumpai


(59)

perbedaan yang bermakna dengan p < 0,05. Hasil keseluruhan table 6 dapat dilihat dari grafik 3 dibawah ini.

Grafik 3. Hasil rata-rata kadar komplemen C3 pada penderita DBD dan kontrol Konfirmasi serologi IgG, IgM antidengue.

Rata-rata

Kadar C3

IgG (-) dan IgM(-) IgG (-) dan IgM(+)

IgG (+) dan IgM(-) IgG (+) dan IgM(+)

60 70 80 90 100 110 120


(60)

BAB 5 PEMBAHASAN

Gomez dkk 2005, di Mexico mendapati lebih banyak laki-laki yang menderita DBD yaitu 151 orang (52,2%) dan perempuan 138 orang (47,8%) dari 289 sampel penelitian.(39) Sopacua E, 2005, di Medan mendapatkan lebih banyak laki-laki yang menderita DBD, 413 orang (53,4%) dan perempuan 361 orang (46,6%).(51) Siregar AD, 2005, di Singkawang juga mendapatkan lebih banyak kelompok jenis kelamin laki-laki 261 orang (50,4%) yang menderita DBD dibanding dengan perempuan 257 orang (49,6%).(49) Pada penelitian ini penderita demam berdarah dengue lebih banyak dijumpai pada kelompok kelamin laki-laki sebanyak 31 orang (55,4%) dibanding dengan perempuan 25 orang (44,6%) dari 56 sampel penelitian. Hal ini ada kesamaam dengan penelitian Gomez dkk , Sopacua E dan Siregar AD.

Solano dkk tahun 2001 di mexico, melaporkan kelompok umur 5 -9 tahun (32%) terbanyak yang menderita DBD dan paling sedikit adalah kelompok umur 1 tahun (1,9%) dari 53 orang pasien penelitian demam berdarah dengue.(50) Shah dkk 2004, di Mumbai mendapatkan kelompok umur rata-rata yang menderita DBD adalah 6,10 ± 3.90 dari 34 kasus yang diteliti.(63) Siregar AD dkk 2005, di singkawang dari semua kelompok umur yang diteliti terbanyak menderita DBD adalah kelompok umur 5-9 tahun (42,7%) dan yang terendah adalah kelompok umur dibawah usia 1 tahun (4,1%) dari 518 sampel.(49) Sopacua E, tahun 2005 di Medan melaporkan dari semua kelompok umur yang terbanyak menderita DBD adalah kelompok


(61)

umur 20-25 tahun yaitu 32,4% dari 251 orang sampel penelitian dan yang paling sedikit adalah kelompok umur 16-20 tahun yaitu 13%.(51) Pada penelitian ini kelompok umur terbanyak dijumpai pada umur 24-28 tahun yaitu 35%, ada persamaan dengan kelompok umur yang dijumpai oleh Sopacua E pada penderita DBD. Dengan Solano, Shah, dan Siregar AD ada perbedaan dalam kelompok umur yang menderita DBD. Mungkin oleh karena design, metode, jumlah sampel penelitian dan waktu penelitian yang berbeda.

Soedarmo SSP,1988 di Jakarta menjumpai penderita DBD yang dirawat, sebanyak 110 orang penderita (30,7%) dari 358 penderita, hari ke-5 sakit dirumah baru kemudian dibawa berobat dan 31 orang penderita (8,8%) sudah menderita sakit demam dirumah selama 6 hari.(62) Chairulfatah A dkk 2003, di Bandung melaporkan dari 1300 penderita didapati 1198 (92%) orang penderita DBD dan 102 orang (8%) jatuh kedalam DSS. Hal ini disebabkan penderita lama demam dirumah baru kemudian berobat kerumah sakit. 222 orang(22%) penderita hari ke-4 sakit demam baru berobat dan menderita DBD, 23 orang(23%) dari 102 orang penderita DSS setelah hari ke-4 sakit demam baru berobat Pada hari ke-5 sakit demam dijumpai 205 orang (20%) menderita DBD dan 26 orang (26%) pada hari ke-5 sakit demam menjadi DSS.(59) Pada penelitian ini penderita DBD yang diambil sebagai sampel penelitian adalah yang sudah demam dirawat dirumah sakit pada hari ke-5 dan ke-6, ada perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumarmo dan


(62)

Chairulfatah A dkk, mungkin oleh karena adanya perbedan metode, jumlah sampel, tempat dan lamanya penelitian yang dilakukan.

Kalayanarooj.S dkk 1997 di thailand dari 172 penderita demam yang diobservasi dijumpai 60 orang (35%) akibat virus dengue meliputi 32 orang deman dengue dan 28 orang DBD didapati kadar Hematokrit demam dengue (36 ± 5)% dan kadar Hematokrit DBD (39 ± 4)%.(57) Thanh hung nguyen dkk 2002 di Vietnam menemukan ada perbedaan yang bermakna antara kadar hematokrit pasien DBD non syok (39,2 ± 3,6)% dengan pasien dengue syok sindrom (43,6 ± 4,8)%. (55) Narayanan M dkk 2003 di India dari 59 orang penderita demam berdarah dengue berusia dibawah 12 tahun dijumpai Nilai Ht penderita DBD dengan syok (34,4 ± 3,2)% dan tanpa syok (32,9 ± 3,4)%. Nilai Ht pada penderita DBD dengan perdarahan (32,3 ± 2,8)% dan tanpa perdarahan Ht (32,2 ± 2,0)%.(56) Pada penelitian ini kadar hematokrit penderita DBD (41,44 ± 5,8)% lebih tinggi dari kadar hematokrit kontrol ( 40,28 ± 5,61)% ada kesamaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalayanarooj.S walau dengan jumlah sampel yang berbeda. Berbeda dengan Narayana M dan Thanh hung nguyen, pasien yang diteliti DBD dengan syok dan usia anak-anak.

Jumlah lekosit kurang dari 45000/mm3 dijumpai pada penelitian ini baik pada penderita DBD maupun pada penderita non DBD, Thanh hung nguyen dkk 2002 di Vietnam melakukan studi prospektif terhadap 208 penderita DBD. Ada perbedaan yang bermakna antara jumlah lekosit pada penderita demam berdarah dengue non syok (7211,2 ± 3172,2)mm3


(63)

dan pada penderita dengue syok sindrom (5719,5 ± 2451,7)mm3.(55) Kalayanarooj dkk 2002, menyatakan bahwa lekopenia dapat dipakai sebagai indikator yang baik untuk para klinisi agar mewaspadai kondisi pasien yang akan mendekati kritis karena lekopenia mempunyai sensitivitas yang tinggi (91,19%) untuk menegakkan diagnosa infeksi dengue.(57)

Jumlah monosit pasien kontrol lebih tinggi (17.50 ± 5.97) % dibanding dengan jumlah monosit pada penderita DBD (16.29 ± 4.33) % tidak dijumpai perbedaan jumlah monosit antara kedua kelompok. Liu J W dkk 2003, diTaiwan menjumpai jumlah monosit 31 orang penderita DBD (27,7%) dan 13 orang penderita demam berdarah non dengue mempunyai jumlah monosit (30,2%) dari 43 sampel penderita demam dengue.(48) Penelitian ini dan Liu J W dkk ada persamaan antara jumlah monosit yang didapati pada demam dengue lebih tinggi dibanding dengan jumlah monosit pada penderita DBD. Halstead 1989, mendapatkan bahwa monosit atau makrofag adalah salah satu sel target dari virus dengue. Virus dengue berkembang biak didalam sel ini, semakin banyak makrofag yang terinfeksi virus semakin berat penyakit yang ditimbulkannya.(52,53)

Liu JW dkk 2003, di Taiwan menjumpai ada perbedaan yang bermakna antara jumlah limfosit penderita DBD (56,3%) dengan penderita dengue fever (30,2%).(48) Jumlah limfosit penderita DBD pada penelitian ini berdasarkan konfirmasi serologi IgG(+)/IgM(+) dan IgG(-)/IgM(+)ada perbedaan yang bermakna dengan pasien kontrol. Sementara jumlah limfosit penderita DBD dengan IgG(+)/IgM(-) tidak berbeda dengan


(64)

kontrol. Diduga IgM(+) pada penelitian ini lebih berperan dari IgG karena IgM yang bersifat spesifik pada infeksi sekunder dapat mencegah timbulnya sakit yang berat. Secara umum IgM antidengue yang berbentuk pentamer diperlukan untuk menetralisir virus. Semakin sedikit IgM semakin lemah daya tahan terhadap virus.(52,64)

Kalayanarooj.S dkk 1997 di thailand, dari 172 penderita demam yang diobservasi 60 orang (35%) akibat virus dengue meliputi 32 orang deman dengue dan 28 orang DBD. Dari sini dijumpai perbandingan jumlah trombosit penderita demam dengue (239 ±111) x103 sel/mm3 dan penderita demam berdarah dengue (184 ± 106) x103 sel/mm3.(57)

Thanh hung nguyen dkk 2002, di Vietnam mendapatkan ada perbedaan yang bermakna antara jumlah trombosit penderita demam berdarah dengue non syok (64,3 ± 33,3 (x103 sel/mm3) dengan penderita demam berdarah dengue syok (54,9 ± 29,2 x103 sel/mm3).(55) Prasonk W 2002 di Thailand menjumpai jumlah trombosit pada kasus DBD yang fatal rata-rata (29.338 ± 26.662 x 1000 sel/mm3) dan jumlah trombosit kasus DBD tidak fatal rata-rata (37.411,7 ± 24.153,3 x 103 sel/mm3.(55) Narayanan M dkk 2003, di India mendapatkan jumlah trombosit pada penderita DBD dengan syok (46100±800)/mm3 dan tanpa syok (65200±1500)/mm3.(56) Chairulfatah A dkk 2003, di Bandung dari 1300 penderita demam dengue didapati jumlah trombosit dibawah 25.000 sebanyak 59 orang (4,5%), jumlah trombosit 25.000-49.000 /mm3 sebanyak 164 orang (12,6%), jumlah trombosit 50.000-74.000/mm3 sebanyak 205 orang (15,8%), 775.000-100.000 /mm3 sebanyak 209 orang (16,1%) dan yang diatas


(65)

100.000 /mm3 sebanyak 663 orang (51%).(59) Pada penelitian ini ada perberbedaan antara jumlah trombosit penderita DBD ( 53150 ± 31920) /mm3 dengan kontrol (76220± 42020) /mm3. Dengan penelitian Kalayanarooj.S dkk, Chairulfatah A dkk ada kesamaan dalam jumlah trombosit yang menurun antara penderita DBD dengan kontrol. Dengan peneliti yang lainnya ada perbedaan mungkin dalam metode, jumlah sampel dan kriteria DBD yamg mereka tentukan.

De Bracco MM dkk 1978, di Argentina dari 19 penderita demam berdarah dengue dijumpai penurunan kadar komplemen C3 sebanyak 12-20% dari kadar normal pada penderita DBD sedang berat dan 30-60% pada DBD berat selama periode fase akut dan aktivitas komplemen kembali kekadar normal setelah munculnya antibodi.(61) Robert E dkk 1979, di Honolulu menemukan kadar komplemen C3 pada penderita DBD, hari ke 5-8 sakit terjadi penurunan kadar komplemen C3 sebesar 20-30%, sampai hari ke-9. Hari ke-9 kadar komplemen C3 meningkat drastis.(11) S B Halstead 1981, di Havana menjumpai penurunan kadar komplemen C3 pada penderita DBD sebanyak 30-50% dari kadar normal. Penurunan kadar komplemen ini berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang mengkonsumsi komplemen melalui jalur klasik dan penurunannya bervariasi pada setiap individu.(12) S.Rajajee,D.Mukenden.1993, di Madras India dari 25 orang anak pasien DBD/DSS 15 orang pasien DBD/DSS mempunyai kadar komplemen C3 menurun 30-50% dan kemudian kembali kekadar normal pada fase penyembuhan.(60) Ampaiwan C, Kanchana T. diThailand 2005 melaporkan bahwa kadar komplemen C3


(66)

pada demam berdarah dengue dijumpai menurun 10-35% selama fase akut demam dan dalam fase toxic meningkat kembali.(9) Pada penelitian ini dijumpai kadar rata-rata komplemen C3 pada penderita DBD dengan IgG(+)/IgM(+); rata-rata kadar komplemen C3 (68,75±12,22)g/dl, ada penurunanan kadar komplemen C3 sebesar 10,03% - 37,2%. Dengan IgG(+)/IgM(-); rata-rata kadar komplemen C3 (91,67±14,56)g/dl, dijumpai penurunan kadar komplemen C3 sebesar 14,3% dan IgG(-)/IgM(+);rata-rata kadar komplemen C3 (88,75 ± 7,14)g/dl dijumpai penurunan kadar komplemen C3 sebesar 9,32%. Penelitian ini ada kesamaan dengen penelitian De Bracco MM dkk, S B Halstead, S.Rajajee, D.Mukenden dan Ampaiwan C, Kanchana T, pada penderita DBD terjadi penurunan kadar komplemen C3 berkisar 10 – 40 % pada fase akut penyakit. Dengan peneliti-peneliti yang lain dijumpai penurunan kadar komplemen C3 pada penderita DBD yang shock. Pada penelitian ini tidak dijumpai penderita DBD yang shock oleh karena penderita cepat mencari pengobatan kerumah sakit dan tempat-tempat pengobatan yang terdekat.

Ada hubungan yang erat antara penurunan kadar komplemen C3 dengan jumlah trombosit. Dengan nilai r = 0,366, p < 0,05. Berarti hubungan antara penurunan kadar komplemen C3 dengan penurunan jumlah trombosit adalah bermakna.


(1)

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah lengkap;

Hb

:

Ht

:

Lekosit :

Trombosit :

MCV

:

MCH

:

MCHC :

Difftel

:

Morfologi :

Eritrosit :

Lekosit

:

Trombosit

:

2. Pemeriksaan Serologi Anti Dengue IgG, IgM

3. Pemeriksaan Kadar Komplemen C3 : ……….mg/dl


(2)

Lampiran 2

FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Departemen Patologi Klinik FK.USU/RSUP HAM Medan

SURAT PERSETUJUAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama

:

Umur

:

Jenis Kelamin

:

Pekerjaan

:

Alamat :

Setelah mendapat keterangan secukupnya serta menyadari manfaat dan

resiko penelitian yang berjudul :

Kadar Komplemen C3 Pada Penderita

Demam Berdarah Dengue,

dan memahami bahwa subyek dalam

peneltian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikut-

Sertaannya, maka saya setuju ikut serta dalam penelitian ini dan bersedia

berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati.

Medan, ...2007/2008

Mengetahui Yang Menyatakan

Penanggung jawab Penelitian Peserta Uji Klinik

(Nama Jelas...) ( Nama Jelas...)

Saksi


(3)

(4)

Lampiran 3. Data Dasar Pasien Demam Berdarah Dengue

NO Nama

Umur Kelamin Lama

Demam

Hb Ht Leuko Plt IgG IgM

Kadar

C3

(mg/dl)

Jumlah

Monosit

Jumlah

Limfosit

Grade

DBD

1. M.F

17 L 7 14.7 43 2.8 22.6 (+) (+) 49 13 59 2

2. M.I

27 L 6 18.6 56.2 2.9 14.3 (+) (+) 73 12 56 2

3. Pt

21 L 6 14.8 44.3 7 24 (+) (+) 80 20 54 2

4. Ju

17 P 6 14.4 42.6 5.7 35.8 (+) (+) 57 12 66 2

5. Er

29 P 7 13.5 40.8 2.4 22.7 (+) (+) 56 12 56 2

6. S.Z

54 L 7 14.7 43.7 2.5 58.1 (+) (+) 52 18 40 2

7. P

.S

16 P 6 13.5 40.5 9 22 (+) (+) 71 17 54 2

8. Yu

28 L 5 15.5 46.8 3 21.6 (+) (+) 74 12 61 2

9. H.S

23 P 5 11.4 32 2.4 71 (+) (+) 73 13 56 2

10. Eva

27 P 5 13.2 39.7 1.1 65 (+) (+) 77 15 50 2

11. S.P

23 P 6 13.8 40 4 44.1 (+) (+) 75 14 59 2

12. Pi

45 L 6 10.4 30.5 6.7 92.6 (+) (+) 88 14 26 2

13. Si.

S

21 L 6 14.8 44.1 6.3 51.6 (+) (-) 96 21 46 2

14. Po

19 L 6 17.8 54.3 5.9 47.2 (+) (-) 108 20 27 2

15. Ha.

M

23 L 5 13.8 40.3 2.9 38.6 (+) (-) 97 21 27 1

16. An

25 L 7 14.6 43.6 4.5 21.6 (+) (-) 75 20 28 2

17. Ma

24 L 7 15.8 47 3.3 23.5 (+) (-) 83 8 76 2

18. Sun

23 L 7 15.9 46.5 4.6 131 (+) (-) 68 17 35 2

19. De

29 L 5 14.2 42.1 4.2 90.5 (+) (-) 75 12 47 2

20. Ry

19 P 6 11.5 34.4 9.5 27.5 (+) (-) 89 16 38 2

21. Li

46 L 7 13.9 40.9 5.9 8.2 (+) (-) 89 18 67 2

22. Sri

23 P 7 14.6 43.7 3.4 60.5 (+) (-) 104 22 44 2

23. Dwi

16 P 7 13.3 39.2 17.3 70.3 (+) (-) 116 28 58 2

24. Sri

Y

30 P 7 12 35 5.5 92.9 (+) (-) 100 17 46 2

25 T.S

25 L 5 12.5 35 5.1 68 (-) (+) 83 12 64 2


(5)

Lampiran 4. Data Dasar Pasien Kontrol Demam Berdarah Dengue

NO Nama

Umur Kelamin Lama

Demam

Hb Ht Leuko

Plt IgG

IgM

Kadar

C3

(mg/dl)

Jumlah

Monosit

Jumlah

Limfosit

Grade

DBD

1 Ba

19 L 5 9.1 26.4 13.9 22 (-) (-) 93 15 36 1

2. Al

16 L 5 14.3 42.3 3.7 100 (-) (-) 128 19 28 2

3. Frs

23 L 5 14.8 43.4 3 40 (-) (-) 90 25 35 2

4. S.

L

29 P 6 15.4 47.3 3 65 (-) (-) 178 28 30 2

5. Ma

18 L 5 15.3 46.1 4 37 (-) (-) 93 15 32 2

6. La

54 P 6 13.3 40 3.5 88.3 (-) (-) 138 28 35 2

7. A.P

31 P 7 12.1 36.1 5.46 170 (-) (-) 129 9 30 2

8. Ta

50 P 5 14.5 43.4 3.17 22.6 (-) (-) 124 7 40 2

9. Su

40 L 6 13.1 38.7 3.66 125 (-) (-) 95 12 44 2

10. Sy

18 P 6 12.9 38.3 4.5 48 (-) (-) 102 20 26 2

11 Sus

17 L 6 13 38.3 1.4 76 (-) (-) 96 14 32 2

12. Par

28 P 7 12.8 39.1 3.8 87 (-) (-) 111 14 60 2

13. Yus

21 L 7 15.1 44 2.1 47.1 (-) (-) 127 23 32 2

14. Dic

28 L 7 12.3 34.6 10.5 142 (-) (-) 123 10 20 2

15. Zul

25 L 7 14.4 42.9 8.3 85 (-) (-) 95 24 54 2

16. I.S

17 L 6 16.9 49.9 3.77 32.9 (-) (-) 97 14 62 2

17. A.

Lbs

46 L 7 14.1 41 4.97 39 (-) (-) 134 22 27 2

18. Ra

21 P 6 14.6 43.8 4.03 25.8 (-) (-) 99 11 38 2

19. No

45 P 6 12.6 38 4.32 26.5 (-) (-) 96 24 39 2

20. Sh

17 P 6 11.3 33.5 5.15 106 (-) (-) 126 12 30 2

21. Sa

25 P 6 12.7 38.5 7.12 93.8 (-) (-) 107 23 27 2

22. M.P

25 L 6 14.3 44.2 5.29 98 (-) (-) 141 16 38 2

23. If

37 L 5 14.8 44.8 4.5 104 (-) (-) 118 15 50 2


(6)

25. Fa

15 L 6 13.4 37 2.4 122 (-) (-) 100 20 40 2

26. R.F

23 P 5 11.7 34.9 4.8 156 (-) (-) 112 13 36 1

27. M.S

25 L 6 9.36 28.3 4.26 65.8 (-) (-) 101 24 22 2