Jawa Barat Kebudayaan Prasejarah dan Sejarah Agama Hindu

Buku Guru Pendidikan Agama Hindu Dan Budi Pekerti 85

3. Jawa Tengah

Suburnya peradaban agama Hindu di Jawa Tengah dapat kita ketahui dari diketemukannya prasasti Tukmas. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa, berbahasa Sanskerta dengan tipe tulisan berasal dari tahun 650 Masehi. Prasasti Tukmas memuat gambar-gambar atribut; Dewa Tri Murti, seperti; Triçula lambang Dewa Siwa, Kendi lambang Dewa Brahma, dan Cakra lambang Dewa Wisnu. Prasasti ini juga menjelaskan tentang adanya sumber mata air yang jernih dan bersih yang dapat disamakan dengan sungai Gangga. Kerajaan Kaling yang pada tahun 674 Masehi diperintah oleh raja perempuan bernama “Raja Sima” yang memiliki sistem pemerintahan sangat jujur. Dikatakan Raja Sima secara sengaja menaruh kantong berisi emas di tengah jalan, dan tidak seorangpun berani menyentuhnya. Candi Prambanan dibangun pada sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Candi Arjuna adalah sebuah kompleks candi Hindu peninggalan dari abad ke-7-8 yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun pada tahun 809, Candi Arjuna merupakan salah satu dari delapan kompleks candi yang ada di Dieng. Ketujuh candi lainnya adalah Semar, Gatotkaca, Puntadewa, Srikandi, Sembadra, Bima dan Dwarawati

4. Jawa Timur

Keberadaan kerajaan Kanjuruan dapat kita pergunakan sebagai salah satu landasan untuk mengetahui peradaban agama Hindu di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo merupakan bukti peninggalan sejarah kerajaan Kanjuruan.

5. Bali

Keberadaan agama Hindu di Bali merupakan kelanjutan dari agama Hindu yang berkembang di Jawa. Pertama kalinya disebut-sebut dikembangkan oleh Maha Rsi Markandheya bertempat di Besakih yang sekarang dikenal dengan nama ‘Pura Besakih’. Agama Hindu yang datang ke Bali disertai oleh agama Budha. Setelah di Bali kedua agama tersebut berakulturasi dengan harmonis dan damai. Kejadian ini sering disebut dengan sinkritisme Çiwa – Budha. Disekitar zaman pra sejarah. Setelah datangnya Maha Rsi Markhandeya di Bali pola kepercayaan yang sederhana itu kembali disempurnakan. Keterangan tentang Maha Rsi Markhandeya menyebarkan pengaruh Hindu di Bali dapat diketahui memlalui kitab Markhandeya Purana. Selama menetap di Bali Maha Rsi Markhandeya secara berangsur-angsur mulai meningkatkan kepercayaan masyarakat Bali. 1 Masyarakat Bali mulai diajarkan melakukan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Tuduh, Sang Hyang Prama Kawi, Sang Hyang Prama Wisesa dan yang lainnya adalah sebutan untuk Tuhan Yang Mahaesa. Dengan mempersembahkan upakara api, air, bunga dan buah beliau menyembah ke hadapan Surya “nyuryasewana” tiga kali sehari 86 Kelas XII SMA Semester 1 memuja kebesaran Tuhan. Unsur-unsur upakara yang dipersembahkan itu disebut alat-alat bebali. Selanjutnya beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan adalah untuk mewujudkan keselamatan, hendaknya didahului dengan mempersembahkan bebali kehadapan Sang Hyang Widhi. Ajaran yang demikian disebut agama bebali. 2 Pada saat itu pula mulai dikenal tentang daerah Bali. Bali diartikan daerah yang segala sesuatunya mempergunakan sesajen atau sarana bebali. Masyarakat Bali yang menjadi pengiringnya dan mendiami daerah pegunungan disebut orang-orang Bali aga. 3 Pura Besakih mulai dibangun dan difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa guna memohonkaan keselamatan umatnya. Tempat suci lainnya yang dibangun oleh beliau adalah Pura Andakasa, Lempuyang, Watukaru, Sukawana dan yang lainnya. 4 Warna merah dan putih mulai dipergunakan sebagai ider-ider atau umbul- umbul di tempat-tempat suci. Kedua warna itu melambangkan kesucian yang bersumber dari warna surya dan bulan. 5 Upacara bebali untuk keselamatan binatang dan peternakan ditetapkan pada tumpek kandang atau hari sabtu-kliwon wuku uye. Sedangkan untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan ditetapkan pada tumpek pengatag atau hari sabtu-kliwon wuku wariga. Personifikasi Tuhan Yang Mahaesa yang menganugrahkan keselamatan kepada binatang dan tumbuh-tumbuhan disebut Sang Hyang Rareangon dan Sang Hyang Tumuwuh. Kemudian dilanjutkan oleh Mpu Sang Kulputih. Beliau disebut-sebut sebagai pemongmong Pura Besakih. Banyak peran yang dilaksanakan dan diambil oleh beliau dalam meningkatkan peran dan kualitas agama Hindu, yaitu a Mengajarkan tentang bebali dalam bentuk seni yang mengandung makna simbol dan suci. b Mengajarkan orang-orang Bali aga menjadi orang-orang suci untuk Pura Kahyangan, seperti; Pemangku, Jro Gede, Jro Prawayah dan Jro Kebayan. Untuk menjadikan diri orang bersangkutan suci diajarkan pula tentang tatacara melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi. c Mpu Sang Kulputih juga mengajarkan masyarakat untuk melaksanakan hari-hari suci, seperti; Galungan, Kuningan, Sugian, Pagerwesi, Tumpek, dan yang lainnya. Di samping itu juga mengajarkan tentang tatacara membuat arca lingga dari kayu, logam atau uang kepeng sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Waça beserta manifestasinya. Bangunan suci yang ada sampai sekarang dibangun menurut ajaran beliau adalah; 1 Sanggah Kemulan, Taksu dan Tugu untuk setiap rumah tangga dalam satu pekarangan.